Anda di halaman 1dari 4

Pembunuhan Musata

Oleh: Harsa Permata

Suatu masa, jauh sebelum Raja Boneka berkuasa, Saratnusa kala itu masih diperintah oleh Ibu
Ratu Agung yang otoriter. Semua penentangnya dihabisi, sebagian lagi dipenjara, yang dipenjara,
biasanya disiksa sampai tak berdaya, salah satu pejuang bahkan kehilangan nyawa karenanya.
Dua provinsi yang berada di bawah kekuasaan Negeri Saratnusa, bahkan berontak, mereka ingin
merdeka dari kekuasaan lalim Ibu Ratu Agung. Dua provinsi itu, adalah provinsi paling barat dan
paling timur.
Kebijakan represif Ibu Ratu Agung, terhadap rakyatnya ini, sangat disenangi para panglima
tentara Kerajaan Saratnusa. Karena dengan banyaknya perang, maka anggaran untuk mereka
juga semakin besar, tak peduli ribuan nyawa rakyat Saratnusa, yang tewas di ujung bedil tentara
Kerajaan Saratnusa.
Sama dengan Raja Boneka sekarang ini, Ibu Ratu Agung, juga menaikkan harga Bahan Bakar
Rumput (BBR), waktu itu. Hal yang kemudian berujung protes besar-besaran oleh sebagian
besar rakyat Saratnusa, bahkan adik dan sahabat Ibu Ratu Agung, juga ikut memprotes
kebijakannya ini.
Pada masa itu, hiduplah seorang pejuang rakyat, yang bernama Musata. Ia adalah ahli hukum
lulusan Padepokan Gunung Batu, terletak di daerah yang terkenal akan suhunya dinginnya.
Sehari-harinya, kerja Musata, adalah membela rakyat jelata, yang dizalimi oleh penguasa dan
tentara Kerajaan Saratnusa. Tak terhitung jumlah pekerja dan pejuang pemberontak, yang
dibebaskan oleh Musata, dari dinginnya penjara Kerajaan Saratnusa.
Hal ini tentu saja membuat para jenderal dan panglima tentara Kerajaan Saratnusa gerah. Akan
tetapi, mereka tidak mau gegabah menangkap atau membunuh Musata, karena Negeri Atas
Angin, juga menaruh perhatian pada gerak-gerik Musata. Salah-salah bertindak, bisa-bisa
Kerajaan Saratnusa dikucilkan dari pergaulan dunia. Ya, Negeri Saratnusa selepas Raja Filsuf
Agung diturunkan dari tahtanya, adalah negeri yang teramat tunduk pada kehendak para
Penguasa Negeri Atas Angin. Semua kebijakan kerajaan, dipaksa selaras dengan kepentingan
Negeri Atas Angin. Ini terjadi, karena raja-raja yang berkuasa setelah Raja Filsuf Agung, adalah
boneka penguasa Negeri Atas Angin.
Begitulah, para jenderal dan panglima itu, mereka bersikap seolah diam, padahal mereka sedang
menunggu saat yang tepat, untuk melenyapkan Musata. Ternyata, penantian mereka tak sia-sia,
ketika pertempuran perebutan tahta antara Ibu Ratu Agung, dan Panglima Peragu, mendekati titik
akhir, didekatilah Musata, oleh orang-orang Ibu Ratu Agung. Tujuannya, adalah supaya Musata,
mau bergabung dengan barisan pendukung Ibu Ratu Agung. Mereka menawarinya jabatan
Hakim Agung, jabatan bergengsi untuk para hakim di Saratnusa.
Sebelumnya, Musata sudah mendukung, salah satu brahmana dari Padepokan Gajah Pintar,
brahmana ini juga tengah menjabat sebagai salah satu Ketua Senat Saratnusa. Alasan Musata
mendukung brahmana tersebut, adalah untuk menghadang langkah tentara Saratnusa, yang ingin
berkuasa kembali, selepas tergulingnya Mbah Komo si Jago Perang, yang dulunya adalah
seorang Panglima Tentara Kerajaan Saratnusa.
Musata memang terkenal anti pada kasta satria, seperti halnya Parasurama, yang juga anti satria,
bedanya Musata, tidak ingin membunuh satria, seperti halnya Parasurama, ia hanya mau para
satria, atau tentara Kerajaan Saratnusa, tidak berkuasa lagi, karena kekuasaan tentara, bagi
Musata, hanya akan menyengsarakan rakyat Saratnusa.
Sebenarnya jauh-jauh hari, sebelum Musata mendukung brahmana dari Padepokan Gajah Pintar,
orang-orang Ibu Ratu Agung, sudah mendekati Musata. Akan tetapi, Musata tak mau mendukung
Ibu Ratu Agung saat itu. Setelah didesak berkali-kali, akhirnya ia bilang, akan mendukung Ibu
Ratu Agung, jika brahmana yang didukungnya kalah dalam pertempuran.
Setelah si brahmana kalah, orang-orang Ibu Ratu Agung, kembali mendesak Musata, tawaran
untuk menjadi hakim agung, kembali dilontarkan padanya. Musata menerima dengan setengah
hati, karena Ibu Ratu Agung, walaupun bukan dari kasta satria, tetapi kebijakannya lebih represif
daripada kebijakan para panglima tentara, yang pernah jadi raja di Saratnusa.
Istri si Musata, ternyata tidak senang, dengan tindakan Musata mendukung Ibu Ratu Agung,
diingatkannyalah Musata, bahwa salah satu sekolah hakim di Negeri Kincir Oranye, menawari
Musata untuk bersekolah di sana. Musata pun, akhirnya meninggalkan gelanggang pertempuran,
ia lebih memilih bersekolah di Negeri Kincir Oranye.
Ibu Ratu Agung murka, ketika tahu kalau Musata tidak jadi mendukungnya, dipanggilnya
seluruh anak buahnya, semuanya dimarahi oleh Ibu Ratu Agung.
“Bagaimana bisa si Musata tidak jadi mendukungku! Apa saja kerja kalian, membujuk Musata
saja tak becus!” Kata Ibu Ratu Agung, dengan muka merah padam.
Panglima Telik Sandi Sadis Bermuka Klimis, melihat ada kesempatan untuk menghabisi nyawa
Musata, orang yang teramat dibencinya, karena membela rakyat di Tanah Para Gajah, yang
dibantai oleh Panglima Telik Sandi Sadis Bermuka Klimis. Ia kemudian berkata pada Ibu Ratu
Agung.
“Begini saja Ibu Ratu Agung, bagaimana kalau si Musata kita bunuh saja dengan cara tentara,
dengan itu rakyat Saratnusa, tentu akan mendukung kita. Mereka akan berpikir bahwa Panglima
Peragu lah, yang membunuh Musata.”
Tanpa pikir panjang, Ibu Ratu Agung yang haus kekuasaan, langsung menyetujuinya.
“Laksanakan dengan cepat, jangan sampai ada bekasnya!” Perintah Ibu Ratu Agung.
Panglima Telik Sandi Sadis Bermuka Klimis, lalu memerintahkan wakilnya untuk membunuh
Musata. Wakil si panglima kemudian menyuruh anak buahnya, yang jadi nahkoda kapal yang
ditumpangi Musata menuju Negeri Kincir Oranye, untuk menghabisi nyawa Musata.
Musata, lalu meninggal di atas kapal, akibat diracun oleh anak buah si wakil panglima. Sebagian
besar rakyat Saratnusa dan keluarga si Musata, berduka. Ribuan orang mengantar Musata ke
peristirahatan terakhirnya.
Suami Ibu Ratu Agung mengirimi keluarga Musata, sekarung emas, sebagai tanda turut berbela
sungkawa, hanya saja istri Musata tak mau menerimanya, dan karung emas itu kemudian raib
entah kemana.
Dua minggu setelah kematian Musata, rencana jahat Ibu Ratu Agung dan Panglima Telik Sandi
Sadis Bermuka Klimis, gagal total. Panglima Peragu, akhirnya memenangi pertempuran
perebutan tahta Kerajaan Saratnusa. Ia pun memerintah selama sepuluh tahun.
Begitulah kisah pembunuhan Musata oleh Ibu Ratu Agung dan orang-orangnya yang licik. Pada
masa sekarang, ironisnya, ada sebagian kawan Musata, yang berharap bahwa Raja Boneka akan
mengadili dan menangkap penasehat utamanya, yaitu Panglima Telik Sandi Sadis Bermuka
Klimis, karena telah bersalah membunuh Musata. Hal yang memuakkan sekaligus menggelikan,
entah karena dungu atau tidak punya otak, apakah mereka tidak sadar kalau Raja Boneka sangat
menyayangi Panglima Telik Sandi Sadis Bermuka Klimis. Bahkan setelah memenangi
pertempuran perebutan tahta Saratnusa, Raja Boneka sempat menawari untuk membiayai
pengobatan si Panglima Telik Sandi, di Negeri Para Singa. Atas dasar ini pulalah, nahkoda kapal
yang membunuh Musata, dibebaskan oleh pengadilan milik Raja Boneka, tak berapa lama
setelah ia berkuasa.
Yogyakarta, 10 Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai