Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti
(Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat
Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang
penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan
kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara
(Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13
Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
“Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!"