Anda di halaman 1dari 7

Kerajaan Banjar

Chiara Supit, Bethania


Pondaag, Dustin Tanex, dan
Bryan Mamahit
Sejarah
Suku Banjar adalah salah satu suku bangsa terbesar yang mendiami wilayah Kalimantan Selatan. Namun, identitas warga
asli Kalimantan Selatan masih menjadi perdebatan, sebab wilayah ini di tempati oleh bermacam-macam orang dari
berbagai suku bangsa. Identitas Urang Banjar (orang Banjar) yang asli Melayu ataukah Urang Dayak (orang Dayak)
menjadi tema perdebatan masyarakat mengenai asal usul masyarakat Banjar (Yusuf Hidayat, dalam Jurnal Sosiologi
Universitas Airlangga, 2006). Istilah Urang Banjar dimaksudkan untuk menyebut mayoritas penduduk yang mendiami
sebagian besar daerah di Provinsi Kalimantan Selatan, meskipun tidak semua warga Kalimantan Selatan beretnis Banjar
 asli. Dalam buku Urang Banjar dalam Sejarah, mencoba memberikan jalan tengah atas ketidak sepahaman yang terjadi
antara orang Melayu dan orang Dayak tersebut. Masyarakat yang disebut sebagai Urang Banjar setidaknya terdiri dari etnis
Melayu sebagai etnis yang dominan dan ditambah unsur orang-orang Suku Dayak, termasuk Suku Dayak Maanyan . Suku 
Banjar pernah mempunyai pemerintahan bernama Kesultanan Banjar yang berdiri sejak tahun 1526 Masehi. Kesultanan ini
memiliki perjalanan sejarah yang panjang karena diawali dari masa yang jauh sebelum masuknya pengaruh Islam yang
ditandai dengan berdirinya Candi Laras dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha. Kesultanan Banjar merupakan babak
akhir dari rangkaian riwayat sejumlah kerajaan di Kalimantan Selatan pada masa-masa sebelumnya. Pemerintahan yang
pertama kali menjadi cikal-bakal Kesultanan Banjar adalah Kerajaan Nan Sarunai. Kerajaan purba yang dikelola oleh
orang-orang Suku Dayak Maanyan ini disebutkan dengan nama yang berbeda-beda. Selain Nan Sarunai, nama-nama lain
yang juga diyakini sebagai nama kerajaan ini adalah Kerajaan Kuripan, Kerajaan Tanjungpuri, dan Kerajaan Tabalong.
Nama Kerajaan Tabalong disertakan karena kerajaan ini terletak di tepi Sungai Tabalong. Sungai Tabalong adalah anak
sungai Bahan, sedangkan Sungai Bahan adalah anak Sungai Barito yang bermuara ke Laut Jawa.
Masa Kejayaan
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas
dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin.
Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang
penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa. Supremasi Jawa terhadap
Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura
(Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit. Sultan Agung dari Mataram (1613–
1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa
seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram
kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau
Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622. Seiring dengan hal itu,
karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari
kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai,
Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari
kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636. Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan 
Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak
ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi
politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-
pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa. Kerajaan Banjar runtuh pada saat berakhirnya
Perang Banjar pada tahun 1905. Perang Banjar merupakan peperangan yang diadakan kerajaan Banjar untuk melawan
kolonialisasi Belanda. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat
melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu.
Wilayah Kesultanan Banjar
Teritorial kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam
sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu:
1. Negara Agung (wilayah sentral budaya Banjar yaitu wilayah Banjar Kuala, Batang Banyu dan Pahuluan)
2. Mancanegara (daerah rantau: Kepangeranan Kotawaringin, Tanah Dusun, Tanah Laut, Pulau Laut, Tanah Bumbu,
dan Paser)
3. Daerah Pesisir (daerah tepi/terluar: Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur/Utara).
Pada mulanya ibu kota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin kemudian pindah ke Martapura. Pada masa kejayaannya,
wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja
di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan (Banjar
Kulan/Buranun) di timur laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri Sambas dan Karasikan (Banjar
Kulan/Buranun) pernah mengirim upeti kepada raja Banjar. Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri-
negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa Agung/Sawakung). Negeri-negeri bekas milik
Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di sebelah barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan
kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura (Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung
Sambar merupakan perbatasan kuno antara wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala
Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan (sekarang Tanjung Mangkalihat)
adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin dengan wilayah mandala Brunei, tetapi Hikayat Banjar mengklaim
daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/Mangkalihat yaitu Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim
upeti kepada Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah
Hindia Belanda.
Sistem Pemerintahan
1. Raja: bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2. Putra Mahkota: bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3. Perdana Menteri: disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, di bawah Mangkubumi: Mantri Panganan, Mantri
Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4. Lalawangan: kepala distrik, kedudukannya sama seperti pada masa Hindia Belanda.
5. Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja: Kepala Urusan keraton
6. Mandung dan Raksayuda: Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
7. Mamagarsari: Pengapit raja duduk di Situluhur
8. Parimala: Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
9. Sarageni dan Saradipa: Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil,
meriam dll.
10. Puspawana: Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
11. Pamarakan dan Rasajiwa: Pengurus umum tentang keperluan pedalaman/istana
12. Kadang Aji: Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
13. Wargasari: Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
14. Anggarmarta: Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15. Astaprana: Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16. Kaum Mangkumbara: Kepala urusan upacara
17. Wiramartas: Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan
Sultan.
18. Bujangga: Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
19. Singabana: Kepala ketenteraman umum.
Kesultanan Banjar1905–1520 ‫نجر‬
‫كــسلطانـن بــــ‬
Bendera =

Lambang = Peta =
Terima kasih.

Anda mungkin juga menyukai