Sumantri / Suwanda
A. Biodata
1. Asma : Sumantri
2. Asma Paringan Ratu : Patih Suwanda
3. Asma bapakipun : Begawan Suwandageni
4. Asma ibukipun : Dewi Darini
5. Asma Eyangipun : Resi Wisanggeni
6. Asma Ingkeng Rayi : Sukrasana
7. Padepokan / pertapan : Ardisekar, Argasekar, Jatisrana
Gengsi bisa berakibat fatal. Beberapa orang kadang malu mempunyai anggota keluarga atau
saudara yang memiliki kekurangan, atau ingin menutupi diri kalo dulunya berasal dari
keluarga biasa. Ada juga orang berprinsip "Gpp tekor yg penting kesohor" yang
mengakibatkan orang memaksakan diri untuk mengikuti mode agar tetap eksis dan diterima
oleh komunitasnya. Saya mengambil salah satu lakon dalam wayang. Keliatannya kurang
pas ya? karena selain kisah dongeng dan jadul, wayang biasanya hanya ditonton oleh orang-
orang tua saja. Tapi ceritanya bagus kok!
Kakak-beradik bernama Bambang Sumantri dan Bambang Sukrasana yang hidup di masa
Raja Arjuna Sasrabahu di kerajaan Maespati (bukan Arjuna-nya Pandawa). Kisah ini lebih
tua dari Ramayana (Peperangan Rama – Rahwana Raja Alengka untuk merebut Dewi Sinta),
apalagi cerita Barata yudha (Peperangan Pandawa – Kurawa) yang tergolong paling muda.
Kisah ini saya baca dari buku terbitan tahun 70-an.
Bambang Sumantri dan adiknya Bambang Sukrasana sebenarnya adalah putra dari Resi
Suwandagni, namun sejak kecil diasuh oleh kakeknya yaitu Resi Wisanggeni di padepokan
terpencil bernama Ardisekar. Sumantri adalah seorang pemuda berparas menawan,
sedangkan Sukasrana berbadan kontet namun bermuka seperti raksasa, mirip Ucok Baba.
Meskipun demikian, kedua kakak beradik ini amat menyayangi satu sama lain, serta memiliki
perilaku yang santun dan budi pekerti yang luhur. Baik Sumantri maupun Sukasrana banyak
memperoleh ajaran dan ilmu dari Resi Wisanggeni, sehingga mereka tumbuh menjadi dua
anak yg tangguh dan sakti.
Sumantri ambisius, ingin berprestasi dan termotivasi untuk menjadi yang terbaik. Ciri-ciri ini
biasanya dimiliki oleh anak pertama, mereka biasanya lebih berprestasi di bidang akademis
dibanding adik-adiknya. Sedangkan Sukrasana, orangnya sederhana, tidak banyak motivasi
dalam hidupnya, dia hanya ingin hidup rukun dan damai dengan semua makhluk ciptaan
Tuhan. Ciri ini biasanya dimiliki oleh anak bungsu, mereka biasanya tidak pandai dalam
akademis namun pandai dalam bergaul (bersosialisasi). Meskipun Sukrasana tidak terlalu
berambisi dalam menuntut ilmu namun dia selalu mendapatkannya dengan mudah berkat
kemampuannya yang baik dalam berinteraksi dan bergaul dengan semua mahluk ciptaan
Tuhan tanpa melihat status sosial.
Di sisi lain, ternyata Sumantri memiliki satu kekurangan, yaitu terlalu jaga image bila
berinteraksi dengan orang-orang berpangkat. Sumantri malu memperkenalkan adiknya,
Sukrasana yang ber-fisik jelek dan merupakan inti dari cerita ini.
Suatu ketika, Sumantri dan Sukrasana sedang berjalan-jalan di dalam hutan. Sukrasana yang
bertubuh kecil merasa capek dan minta istirahat. Ketika beristirahat, Sukrasana akhirnya
tertidur pulas dan pada saat itu juga datanglah seorang raksasa lapar yang ingin memakan
Sumantri dan Sukrasana. Sumantri dengan sigap membopong adiknya yang tertidur lelap dan
melarikan diri ke dalam hutan. Setelah cukup jauh, Sukrasana dibaringkan di tempat yang
aman sementara Sumantri berusaha menghadang raksasa tersebut. Walau bertarung sekuat
tenaga, Sumantri tidak bisa mengalahkan raksasa tersebut. Sumantri hampir kehabisan
tenaga, namun tiba-tiba datang Batara Indra (yaitu Dewa di terminologi Hindu, sedangkan
Islam dan Kristen mungkin istilahnya Malaikat) dan memberikan panah Cakrabiswara
kepadanya. Sumantri segera melepas anak panah itu ke arah sang raksasa dan akhirnya
raksasa itu mati.
Setelah berhasil membunuh raksasa, Sumantri teringat akan adiknya dan dengan sedikit
khawatir dan terburu-buru, segera melihat keadaan Sukrasana. Sumantri sangat terkejut
melihat binatang-binatang buas di dalam hutan ternyata berkumpul di sekeliling Sukrasana
demi menjaga keselamatannya. Setelah Sukrasana terbangun, Sumantri bertanya kepada
adiknya, ajian apa yang dimiliki olehnya sehingga bisa menguasai binatang-binatang buas.
Sukrasana menjawab bahwa ia tidak memiliki ajian apapun, hanya selama hidupnya dia tak
pernah menganggu ataupun melukai binatang2 sekecil apapun. Kedua bersaudara lalu
kemudian pulang ke padepokan untuk menceritakan kejadian ini kepada Resi Wisanggeni.
Oleh sang resi diceritakan bahwa orang yang memiliki Cakrabiswara merupakan kekasih
Batara Wisnu, sementara yang dilindungi binatang2 liar artinya adalah orang yang berbudi
luhur dan merupakan kekasih Batara Dharma.
Ketika bangun, Sukrasana bingung karena kakaknya telah menghilang. Sukrasana bertanya
kepada Resi Wisanggeni ke mana kakaknya menghilang. Ketika diberitahu perihal kepergian
kakaknya, Sukrasana tidak rela berpisah dengan kakaknya dan memutuskan untuk mencari
kakaknya di Maespati, negeri yang sangat jauh dan berangkat seorang diri.
Meski telah dijelaskan asal usulnya, Sukrasana masih sangsi untuk memperbolehkan Candra
Birawa masuk dan berdiam di dalam tubuhnya. Candra Birawa kemudian menjelaskan bahwa
jika Cakra Birawa numpang ke tubuh Sukrasana, Sukrasana akan menjadi lebih sehat dan
kuat, selain itu jika dalam kesulitan Sukrasana tinggal singkep, lalu memanggil Candra
Birawa dan dirinya akan segera muncul untuk membantu. Dalam pertarungan, Candra Birawa
sangat sakti karena setiap tetes darahnya akan menjadi Candra Birawa baru. Sukrasana pun
setuju dan memperbolehkan Candra Birawa untuk masuk ke dalam tubuhnya. Dalam hatinya,
Sukrasana berpikir bahwa Candra Birawa ini lebih cocok diberikan kepada kakaknya
Sumantri, orang yg amat dicintainya yang berkarir sebagai abdi negara yaitu kstaria / prajurit
di negara Maespati. Dia ingin memberikan Candra Birawa kepada kakaknya, bila telah
berjumpa.
Perjalanan Sumantri untuk mengabdi di negeri Maespati
Sesampainya di istana Maespati, Sumantri menghadap prabu Arjuna Sasrabahu. Arjuna
Sasrabahu akan menerima Sumantri jika Sumantri sanggup untuk memboyong seorang putri
Magada, Dewi Citrawati, untuk menjadi permaisuri prabu Arjuna Sasrabahu. Sumantri-pun
berangkat ke Istana Magada. Sementara itu di Magada, keadaan sangat menegangkan, karena
ada para Raja dari 1000 negara, ingin melamar Dewi Citrawati.
Akhirnya prabu Citragada mengadakan sayembara pertarungan antara raja atau utusan untuk
memperebutkan Dewi Citrawati. Dengan kesaktiannya, tanpa melibatkan para prajurit dari
kedua belah pihak, setelah melewati pertempuran yg sengit, akhirnya Sumantri dapat
menaklukkan Prabu Darmawisesa sekaligus para raja lainnya satu per-satu dan memenuhi
persyaratan perkawinan Dewi Citrawati berupa Putri Domas / pengiring yg berjumlah 800
orang, dan berhak memboyong Dewi Citrawati dari Magada ke Maespati.
Yang jelas, Sumantri mengajukan persyaratan lewat surat yg dikirim melalui seorang utusan
kepada Prabu Arjuna Sasrabahu agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota
dengan cara seorang satria, Disebutkan didalam suratnya “Hamba ingin Dewi Citrawati
direbut dengan peperangan layaknya seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan
meningkatkan pamor dan kewibawaan Sri Paduka, karena bukan saja disaksikan oleh Dewi
Citrawati dan sekalian para putri domas yang berjumlah 800 orang, tetapi juga disaksikan
para raja dari lebih seribu negara di luar sana”, demikian antara lain isi surat Sumantri pada
Prabu Arjuna Sasrabahu.
Sukasrana lalu segera mencari tempat bersemadi untuk memanggil Cakra Birawa yang ada di
dalam tubuhnya. Tiba-tiba Sukasrana tidak terlihat lagi dari pandangan Sumantri, Sumantri
pun bergegas kembali ke Maespati, Sesampai di Maespati, ternyata bertepatan datangnya
taman Sriwedari. Sumantri merasa lega, karena dengan bantuan adiknya, maka permintaan
prabu Arjuna Sasrabahu dapat dipenuhi. Prabu Arjuna Sasrabahu merasa heran, sekaligus
kagum, melihat keberhasilan Bambang Sumantri. Mengingat jasa-jasanya, maka Bambang
Sumantri diangkat menjadi Patih Kerajaan Maespati, dengan gelar Patih Suwanda.
Sumantri menakut-nakuti adiknya, dengan pura-pura akan memanah adiknya. Tetapi anak
panah yang diarahkan kepada adiknya, terlepas dan anak panahnya mengenai adiknya.
Sukasrana sekarat dan kemudian meninggal. Bambang Sumantri menangisi kematian
adiknya. Arwah sukrasana berbicara kepadanya bahwa Sumantri tidak akan masuk
swargaloka (surga), jika tidak dengan Sukrasana. Bambang Sumantri merasa menyesal dan
berdosa besar pada adiknya, Bambang Sukasrana.
Sasrabahu kemudian bertiwikrama, yaitu mengubah tubuhnya menjadi rasaksa yg amat besar,
tidur melintang membendung aliran sebuah sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dan panjang,
dalam waktu tidak terlalu lama, lembah itu berubah menjadi sebuah danau buatan yang
sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun ke dalam air, diikuti oleh para selir dan
para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan
dan gelak tawa. Pemandangan yg terjadi sungguh unik, di mana seribu lebih wanita cantik
menyatu saling bergerak tak karuan di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah
menggemaskan.
Luapan air sungai yang terbendung, semakin lama semakin meninggi, meluas, melebar
menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah.
Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan
tidur ber-Tiwikrama. Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, lalu
melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya, dimana Rahwana,
raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap,
bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Kejadian tersebut menimbulkan
kemarahan Rahwana. la segera menyuruh, abdi kepercayaannya untuk mencari penyebab
bencana itu. Dalam waktu singkat abdi kepercayaan telah kembali dan melaporkan bahwa
yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat
ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang bertiwikrama menjadi raksasa dan
tidur melintang di muara sungai.
Rahwanapun mencari tahu siapa gerangan Arjuna Sasrabahu itu. Dari pamannya, ia
mendengar perihal kesaktian Raja Maespati itu. Ia juga menjadi tahu bahwa permaisuri dan
para selir Sasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja
taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dari kesemua
para putri itu, yang kecantikannya paling menawan adalah sang permaisuri, Dewi Citrawati.
Dia adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai
titisan dari Batari Sri Widawati.
"Hemmm, kebetulan! Aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!" kata
Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan para pungawanya untuk menyiapkan pasukan
perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha
menasehati dan mengingatkan akan kesaktian Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda
(Sumantri) yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri.
Namun Rahwana tetap kukuh dengan kemauannya. "Di jagad raya ini tidak ada seorangpun
titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Batara Siwa kepadaku!" kata Rahwana
lantang.
Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka
sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan
kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan Ribuan raksasa dipihak
Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka
mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang
sendiri menghadapi para senopati perang Maespati. Rahwana merubah wujud menjadi
raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing
tangannya memegang berbagai jenis senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan.
Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan
sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati mencoba
menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukanlah tandingan
Rahwana.
Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda / Sumantri maju sendiri memimpin pasukan
Maespati. Pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak-porandakan
pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat tangkas. Tak satupun para Senopati
perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta
yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang
menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana seperti Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan
Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya mati juga
di medan perang.
Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana.
Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda/Sumantri, masih
bergentayangan melihat pertempuran tersebut. Ia melihat inilah saat yang tepat untuk
‘menjemput dan mengajak’ kakaknya, agar arwah Sukrasana dan Kakaknya, Sumantri bisa
masuk ke Swargaloka bersamaan. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam
taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan
Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana
agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat
senjata Cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia
memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat
daya kesaktian Aji Rawarontek. Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat
pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan
menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda gugur. Arwahnya kemudian
berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka.
Mendapat laporan berita duka cita itu, Sang Prabu Arjuna Sasrabahu segera bangun dari tidur
dan tiwikramanya. Dalam kemarahan besarnya, ia meminta para raja-raja pengikutnya untuk
segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang
akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Cerita ini saya akhiri sampai disini
saja karena sudah keluar dari konteks jalan hidup Bambang Sumantri. Namun supaya
pembaca tidak terlalu penasaran, berikut ini akhir kisahnya. Rahwana akhirnya dikalahkan
Prabu Arjuna Sasrabahu namun tidak dibunuh dan Rahwana berjanji tunduk pada negara
Maespati. Hingga dalam masa yang sangat lama, Prabu Arjuna Sasrabahu wafat, sepak
terjang Rahwana kembali menjadi cerita dalam kisah Ramayana. Sekian.
Dalam perjalanan hidupnya, Sumantri dan beberapa manusia bisa melenceng dari tujuan,
yang awalnya baik, namun berubah setelah diberi kekuasaan, akses birokrasi, kekayaan,
kecerdasan, kesaktian. Karunia tersebut bisa menjadi cobaan yang menyebabkan manusia
mudah untuk berbuat dosa/maksiat
Tema Taman Sriwedari beberapa kali muncul di, dan memang berasal dari, cerita wayang.
Berikut adalah salah satunya.
Diterbitkan pada 1933, R. Hardjasaputra menuliskan dongeng ini untuk bahan pelajaran
siswa di sekolah.
Dikisahkan, pemindahan Taman Sriwedari dari Gunung Nguntara ke Maespati adalah harga
yang harus dibayar oleh Raden Sumantri setelah kalah tanding melawan Prabu Arjunasasra.
Tahu tidak mampu mewujudkan itu, Sumantri memohon bantuan adiknya nan sakti,
Sukasrana; hingga ... pucuk dicinta, tragedi pun tiba.
Selain sudah punya teladan, sejak zaman Majapahit, orang-orang Jawa terbilang telah
beranjak matang, baik secara lahir maupun batin. Dalam cerita wayang sendiri juga tersua
kisah yang berisi panduan cara memilah yang lahir dari yang batin. Panduan itu, semoga saya
tidak keliru, adalah berupa kisah pengabdian Raden Sumantri pada Prabu Arjunasasra.
Singkat cerita, Raden Sumantri diterima mengabdi. Ia lalu diutus maju perang ke Kerajaan
Magada. Magada kala itu dikepung oleh Raja Sewunagari yang sama-sama tengah
memperebutkan Dewi Setyawati. Raja Sewunagari bisa didesak mundur oleh Raden
Sumantri. Raja Sewunagari menyerahkan putrinya sebagai tanda takluk. Para putri dibawa ke
Prabu Sasrabahu. Belum juga sampai di hadapan raja, Raden Sumantri mengajukan usul
kepada Prabu Sasrabahu: karena ini putri utama, bukankah seyogianya diperjuangkan dengan
perang?
Prabu Sasrabahu menyetujui usul itu. Maka, berperanglah keduanya. Hampir saja kalah,
Prabu Sasrabahu beralih-rupa menjelma raksasa. Raden Sumantri keok, lemah tak berdaya
dibuatnya. Ia merintih, memohon ampun. Hingga, giliran Sang Prabu yang mengajukan
permintaan.
Raden Sumantri[1]
Raden Sumantri mengiyakan, dan lalu undur diri. Sesampai di luar, termenung dan
bersedihlah karena tahu persis bahwa ia tidak sanggup mewujudkan permintaan Sang Prabu.
Tiba-tiba ada angin bertiup, yang bersamaan dengan itu muncullah adiknya, Raden
Sukasrana. Bertanyalah Raden Sukasrana, ada apa gerangan kakaknya termenung sedih.
Raden Sumantri menjelaskan duduk perkaranya, bahwa ia diperintah Sang Prabu untuk
memindahkan Taman Sriwedari tapi tidak sanggup. Boro-boro tahu tempatnya, mendengar
namanya pun baru sekali itu.
Jatuh kasihan, Raden Sukasrana akhirnya bersedia membantu. Syaratnya, jika sudah
terwujud, ia harus diizinkan ikut bersamanya karena ia tidak mau berpisah dengan sang
kakak. Raden Sumantri menyanggupi, asalkan Taman Sriwedari bisa dipindah. Sang kakak
lalu digendong. Dalam sekejap, melesat ke angkasa, sampailah Raden Sukasrana di Gunung
Nguntara. Karena Raden Sukasrana tahu bahwa terbentuknya taman itu dengan cara dipuja,
maka pemindahannya pun juga harus demikian.
Disuruhnya Sang kakak masuk ke Balekambang, Raden Sukasrana lalu mengitari taman itu
tiga kali sembari mendedahkan puja mengheningkan cipta. Dewa mengabulkan permintaan.
Taman Sriwedari bergerak, suaranya bergemuruh, dan... hap, lenyap dalam seketika. Raden
Sukasrana bergegas menyusul, terbang ke angkasa, mendarat di Keraton Maespati. Melalui
mengheningkan cipta sekali lagi, Taman Sriwedari sontak mewujud, lengkap tanpa ada yang
tercecer. Alkisah, para penduduk kerajaan berteriak-teriak, "Hoee... Ada taman jatuh dari
surga!" Setelah mendapat laporan, Sang Raja datang menginspeksi diiringi Sang Permaisuri.
Demi tahu raja datang, Raden Sumantri menyuruh adiknya menyingkir. Pasalnya, sang adik
sangat buruk rupa. Karena Raden Sukasrana bergeming, Raden Sumantri menakut-nakuti
dengan senjata cakra. Dan, sudah kehendak Dewa, cakra tadi benar-benar terlepas, meluncur
mengenai Raden Sukasrana. Sang adik tewas seketika.