Anda di halaman 1dari 5

DISITA

“Aku tidak tahan lagi Uni, aku harus berbuat sesuatu, aku harus bekerja cari uang. Aku tidak
mau lagi berdiam dirumah”. Ucap Rahman tiba-tiba, diatas mobil milik Uninya Rahma, yang
dikemudikannya. Mereka sedang berada dipinggiran jurang melewati bukit dalam perjalanan pulang
kekota S.
“Kau mau kerja apa ? Man. Sekarang penghidupan susah, banyak orang jadi pengangguran.
Sarjana saja sekarang menganggur, apalagi kau yang hanya lulusan SMA, mau cari kerja”. Balas
Uni Rahma, mencoba mengurungkan niat Rahman yang susah untuk keadaan sekarang ini.
“Aku mau kerja apa saja Uni, bahkan kalau kehidupan makin parah, akan kupalak para
pemilik toko di sekitar rumah. Kalau mereka tidak mau beri, kugerakkan para pemuda kampung
untuk melempari rumahnya. Percuma aku bekas PP1 & anggota karang taruna kalau tidak bisa
menggerakkan para pemuda. Nanti mereka semua kukasih jatah yang adil”.
“Sebaiknya kau fikir-fikir dulu, lagipula memalak & memeras itu ilegal kan ? memang
hidup susah, semua mahal tapi kau kan bisa mencari duit dengan halal, misalnya usaha buka
warung, buat Siskamling, nantikan ada iurannya yang bisa buat makanmu”.
“Iya Uni, mungkin saja”. Jawab Rahman pesimis.
Dua orang kakak beradik itu kemudian terdiam. Rahman harus berkonsentrasi penuh pada
kendaraan yang dibawanya. Kalau tidak bisa melayang nyawa mereka karena kecelakaan, yang
kerapkali menimpa orang yang tidak hati-hati.
Hari sudah Maghrib, hujan deras sore tadi menunda keberangkatan mereka kekota S. Tiap
minggu Uni Rahma memang selalu pergi kekota P, yang merupakan ibukota provinsi SB ini, untuk
mengunjungi anak perempuannya Yeni yang berkuliah di Universitas A dikota P.Yeni tinggal
disalah satu rumah Uni Rahma & keluarga di kota P.
Dulu biasanya uni Rahma & suaminya yang pergi berdua ke kota P. Tapi semenjak
kesehatan suaminya mulai menurun & refleksnya mulai berkurang, seiring dengan bertambah
tuanya usia. Berhubung juga karena PHK yang menimpa Rahman, dari pekerjaan awalnya sebagai
sopir bus antar daerah. Maka di bawalah Rahman oleh uni Rahma untuk menyetir mobil kekota P,
yang melewati bukit & jurang.
Jam 20.30 mereka tiba dikota S, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar –kurang lebih- 40
km dari kota P. Dirumah uni Rahma, mobil diberhentikan dan barang belanjaan diturunkan. Para
pegawai uni Rahma yang mayoritas perempuan yang kemudian mengangkati barang belanjaan itu
sampai ketingkat dua rumah ini. Disanalah uni Rahma beserta keluarga tinggal, karena lantai satu
digunakan untuk klinik bersalin.
Sementara Rahman bersama istri & seorang anaknya tinggal tepat disamping kiri rumah uni
Rahma. Sebuah warung kecil berdinding kayu dan sebuah pavilliun disamping warung itu,
disanalah Rahman dan keluarganya tinggal.
Warung itu dulu adalah pemberian uni Rahma, karena ia tidak ingin melihat Rani-istri
Rahman- kesepian tanpa pekerjaan dan Rahman yang sedang bekerja sebagai sopir bus. Akibat
ketekunan Rani, mengelola warung itu maka semakin berkembang menjadi waserda –warung serba
ada-. Hasilnya untuk saat ini lumayan bias menambal biaya hidup Rani dan seorang anaknya yang
berusia sepuluh bulan, Rena namanya.
Ketika Rahman terkena PHK, karena perusahaan angkutan tempat dia bekerja kekurangan
dana akibat krisis. Maka dialah yang mengurusi warung ini. Tiap hari Rahmanlah yang menunggu
warung ini. Ia sering duduk dibangku kayu didepan warungnya untuk menunggui warung itu.
Dengan demikian beban Rani agak sedikit berkurang, karena selain menunggu warung, ia juga
harus mengurus anaknya yang masih balita.
Uni Rahma sendiri bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Kesehatan Kota,
sementara suaminya –Azwar- adalah seorang dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah.

1
Pemuda Pancasila : Organisasi Pemuda buatan pemerintah Orde Baru.
Mereka berdua punya tiga orang anak, hasil dari perkawinannya selama 24 tahun, yaitu Yeni-yang
paling tua- ia kuliah di kota P, Rusdi –baru kelas 2 SMA- & Salman –kelas 2 SMP- mereka berdua
sekolah di kota S ini.

Suatu malam di Pavilliun tempat tinggal Rahman dan keluarganya. Saat itu anak mereka
Reni sudah tidur lelap. Sementara Rahman & istrinya belum juga tidur mereka sedang berbincang
pelan.
“Ran, aku ingin kerja. Tidak mungkin penghidupan kita hanya tergantung pada warung ini.
Apabila semua harga naik lagi, akan kekuranganlah nanti kita”.
“Tapi uda, kita tidak punya modal untuk buka usaha yang baru lagi. Atau uda mau bekerja
ke orang lain”.
“Itulah Ran, aku juga masih bingung, kita mau nambah penghasilan dengan apa ? tapi mau
tidak mau kita harus memikirkan itu. Karena kalau tidak bakal terlindas kita nantinya. Apalagi
katanya semua harga akan tetap naik, seiring dengan naiknya BBM”.
“Iya uda, aku setuju itu tapi kita mau usaha apa ?”.
“Ya, sudahlah kau tidur saja, besok kita ngobrol lagi, kita ini mau usaha apa untuk
menambah penghasilan”. Suruh Rahman pada istrinya. Sekejap kemudian lalu tertidurlah mereka
berdua di pavilliun itu.
***
Siangnya… setelah mandi dan berganti pakaian. Rahman kembali duduk dibangku depan
warungnya, menunggu warung. Kala itu ia banyak melamun, tak putus-putusnya matanya
memandangi jalan raya. Mobil-mobil mikrolet berlalu lalang, dari pasar ke terminal dan sebaliknya.
Setelah agak sore, ia minta izin pada istrinya untuk pergi jalan-jalan sebentar.
“Ran, aku pergi dulu ya. Warungnya kutinggal ya”.
Rani yang sedang menidurkan si kecil anaknya hanya mengangguk lemah. Lalu ia pergi
melewati jalanan raya kearah pasar. Ia berjalan terus dengan kepala kosong, tiada memaksa otaknya
untuk berfikir. Sampai di pasar, terlihat orang berjualan dan membeli barang. Ia kemudian pergi
kekedai salah seorang temannya. Di depan pos polisi pasar. Disana temannya sedang menunggui
dagangannya, yaitu : Koran & majalah. Ia singgah dan :
“Rahman, darimana saja, jarang kelihatan sekarang ?”. Sapa temannya.
Ia duduk disebuah kursi plastik kecil.
“Ah tidak darimana-mana, dirumah saja. Nolong istri nunggu warung”.
“Iya, bagaimana kabar istrimu, sehatkah ?”.
“Sehat-sehat saja, sekarang aku lagi bingung nih”.
“Bingung kenapa ? masalah keluarga ?”.
“Ah, tidak juga ini masalah hidup. Saat ini aku butuh tambahan penghasilan. Kalau hanya
mengharapkan warung manalah cukup. Apalagi sekarang semuanya mahal, beras saja sudah dua
kali lipat harganya”.
“Benar juga, semua begitu mahal sekarang, tak tahu juga aku sampai kapan ini berakhir”.
“Bagaimana Rus ? kau tahu bagaimana cara menambah penghasilan ?”. Tanya Rahman pada
kawannya Rusdi.
“Sekarang, nyari kerja sulit. Jangankan menerima kerja. Orang sekarang lebih banyak yang
dipecat”.
“Iya aku juga barusan dipecat dari kerjaku sebagai sopir bus”.
“O ya ? kapan ?”.
“Baru-baru ini, makanya sekarang aku lebih banyak disini. Kalau tidak biasanya aku sibuk
nyopir”.
Perbincangan itu lalu terhenti ketika, seorang ibu berjilbab bersama seorang anaknya ingin
membeli Koran.
“NOVAnya ada dik ?”. Tanya ibu berjilbab itu pada Rusdi. Dijawab dengan anggukan oleh
Rusdi, kemudian diserahkannya Koran itu pada ibu itu.
“Dua ribu saja bu”. Ucap Rusdi menyebutkan harga Koran itu. Ibu itu membayar dan
kemudian pergi.
Lalu perbincangan tadi mulai lagi.
“Eh, kau nanya masalah cari uang ?”. Tanya Rusdi.
“Iya, kau bisa Bantu aku tidak ?”.
“Begini, aku Cuma kasih usul, bagaimana kalau kau berniaga saja”.
“Apa ? berniaga ? mana aku punya modal. Warung itupun pemberian uniku”.
“Modal tidak usah kau fikir, kan bisa meminjam. Unimu kufikir mau meminjamkan barang
sejuta, dua juta. Lagipula berniaga tanpa toko kan bisa. Dipinggir jalan, dimana saja. Asal ada
kemauan pasti ada jalan”. Nasehat Rusdi.
“Iya juga ya, kenapa tidak ? eh Rusdi apakah Cuma itu syarat berniaga ?”.
“Iya Cuma itu, tidak ada yang lain”.
“Baiklah, aku pulang dulu ya, kasihan istriku ngurus warung sendirian”.
“Iya, silakan, silakan, sering-sering kesinilah ya”.
Rahman, pergi melangkah kearah rumahnya. Becak mesin, nampak sibuk berkeliaran.
Mobil-mobil angkutan beranjak pulang ketempatnya. Senja mulai turun, warna jingganya mewarnai
kota kecil ini. Para pedagang di toko, mulai menutupi tokonya, sementara pedagang makanan jadi
berdatangan dengan gerobak-gerobaknya untuk berjualan sampai pagi.
Dalam diri Rahman, mulai timbul semangat baru, baginya masalah yang semalam
diperbincangkan dengan istrinya, dirasanya sudah ditemui jalan keluarnya. “Berdagang tanpa toko
atau kaki lima”. Itulah penyelesaian masalah penghidupan yang difikirnya berlarut-larut.
“Dengan berdagang kita bisa mendapat uang halal, tidak perlu mencuri dan memalak”.
Ucapnya sendiri.

Malam itu kembali, diajaknya istrinya ngobrol berdua. Didalam pavilliun mereka, setelah
anaknya tertidur lelap.
“Ran, aku sudah menemukan cara mendapat tambahan penghasilan. Tadinya aku berfikir
untuk memeras para pedagang toko. Tapi setelah berbincang dengan Rusdi, aku dapat fikiran baru,
bagaimana kalau aku berdagang saja”.
“Aduh uda, itu kan mahal, kita harus sewa toko dan beli barang-barang. Kita tidak punya
uang sebanyak itu uda”. Ucap Rani mengeluhkan ide Rahman yang dirasanya tidak masuk akal.
“Tapi Ran, kita tidak perlu sewa toko & kita kan bisa pinjam uang, kalau hanya untuk
dagang dipinggir jalan”.
“Baiklah tapi uda mau dagang apa ? mau pinjam uang sama siapa ?”.
“Begini, dulu waktu aku masih jadi sopir, aku pernah lihat orang-orang berjualan VCD &
pernah juga suatu kali kuantar mereka ketempat pusat distribusi barang-barang VCD. Jadi aku tahu
dimana tempat aku mengambil barangnya”.
“Lalu modalnya ?”.
“Ah, itu gampang, kan bisa pinjam uni Rahma. Lagipula kalau kita jualan VCD kembali
modalnya cepat. Untungnya banyak”.
“Terserah udalah, Rani ikut saja”.
Setelah itu mereka tertidur, dengan fikirannya masing-masing. Dalam benak Rahman sudah
terbayang kesuksesan sebagai pedagang. Dan malam semakin larut. Sepi, hanya gonggongan anjing
sesekali terdengar memecah kebisuan malam. Harapan yang cerah memenuhi hati Rahman, hingga
terbawa kedalam mimpi. Dalam mimpinya, ia telah berkembang menjadi pedagang yang sukses,
memiliki banyak toko & anak buah. Ia hanya tersenyum-senyum memejamkan mata, menikmati
mimpinya. Tapi sekali lagi, manusia boleh bermimpi tapi kenyataanlah yang nantinya menentukan.
***
Suatu subuh, yang dingin, matahari belumlah terbit. Bunyi kendaraan hanya satu-satu,
belum seribut ketika siang hari. Setelah melewati proses peminjaman uang & pembelian barang-
barang yang dibutuhkannya untuk berjualan dipasar. Maka pergilah Rahman, mendayung becak
sewaan dipagi buta ini. Semua keperluan untuk berjualan telah ditaruhnya didalam becak. Sengaja
ia tidak menyewa angkutan karena, dianggapnya boros, sementara untuk gerak awal harus dimulai
dengan penghematan.
Sesampainya dijalan raya yang membelah pasar, ia kemudian berbelok kekanan, didepan
apotek ia berhenti, diganjalnya ban becak agar tak bergerak-gerak. Diatas becak barang
dagangannya digelar. Terpal sebagai alas & diatasnya VCD berderet serta TV & Player. Selanjutnya
ia hanya menunggu para pembeli, dinyalakannya sebatang rokok agar tidak terlalu terasa
penungguannya.
Pasar masih lengang, belum ada aktivitas jual beli, toko-toko masih ditutup. Agak lama,
barulah terasa olehnya perutnya telah berkeruyukan, layaknya kokok ayam sakit. Ia belum makan
dari bangun pagi. Lupa karena keinginannya untuk cepat-cepat memulai usahanya.
“Bagaimana, ini. Aku harus makan tapi barang daganganku bagaimana ya ?”. Ia
menimbang-bang bagaimana caranya agar perutnya bisa diisi dan barang dagangannya tetap terjaga.
Akhirnya diputuskannyalah untuk menunggu pedagang pertama setelah dia yang membuka
dagangannya dipagi ini.
Satu Jam kemudian. Apotek dibelakang dagangannya digelar telah dibuka. Seorang
perempuan berjilbab, masih muda. Ialah yang membuka apotek itu. Sebuah ide muncul dibenaknya.
“Bagaimana, kalau aku minta tolong mengawasi barang daganganku & aku bisa pergi
makan”.
Tanpa menunggu begitu lama, ia bergerak kearah perempuan itu.
“Dik, boleh minta tolong tidak ?”.
“Boleh-boleh mas, asal saya bisa akan saya bantu”.
“Begini dik, aku mau mengisi perut dulu, bisa nitip tolong dijaga barang daganganku ya”.
“Bisa, bisa mas, nanti saya lihat lewat toko saya”.
“Baiklah, terimakasih ya”.
Ia langsung bergerak cepat kearah warung kopi didekat bioskop dibelakang apotek itu.
Dipesannya kopi dan di isinya piring dengan beberapa makanan kecil. Ia duduk di meja didekat
jalan keluar kedai. Diseruputnya kopi dengan nikmat & diisinya perut dengan makanan kecil.
Akhirnya baru terasa semua menjadi cerah, ketika belum makan tadi semua terasa suram dan
kepalanya agak pusing, apalagi dengan ditambah mendayung becak tadi. Mukanya mulai merona
merah, segar. Ketika Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi, dibayarnya makanan & kopinya.
Sekarang ia bergerak kembali kearah barang dagangannya.
Tapi. Alangkah terkejutnya ia kemudian, ketika melihat satu mobil polisi bersama dua orang
polisi, didekat barang dagangannya. Perempuan penjaga toko itu terlihat pucat ditanyai polisi.
Ketika melihat Rahman tangan perempuan itu menunjuk kearahnya.
“Itu pak pemiliknya”. Wajah perempuan itu agak tenang ketika menemukan dirinya.
Polisi bergerak kearahnya yang berdiri mematung.
“Anda yang punya barang itu ?”. Tunjuk polisi itu pada barang dagangannya.
“I..iya pak ada apa ?”. Tanyanya gugup.
“Anda tahu, kalau anda mengganggu tibum ?”.
“Tibum ? apa itu pak ?”.
“Ketertiban Umum, anda berjualan ditempat yang seharusnya tidak dipergunakan untuk
berjualan. Punya izin tidak ?”.
“T..tidak pak”. Jawabnya lemah.
“Kalau begitu, barang anda kami tahan”.
Suara polisi itu menghentak seluruh tubuhnya, ketika kedua orang polisi itu mengangkuti
barang dagangannya keatas mobil pick-up, ia hanya bisa memandang lesu. Kehabisan tenaga, lemas
membayangkan apa yang akan dilakukannya nanti. Bagaimana ia harus mengatakannya pada
uninya dan istrinya. Bagaimana ia mengembalikan uang uninya yang baru dipinjamnya kemaren
sore.

Semua angan-angan kesuksesan, yang diimpikannya kemaren telah pupus ditelan keadaan.
Sungguh tiada sama sekali maksudnya untuk mengganggu ketertiban umum. Ia hanya ingin
berjualan dan mencari tambahan penghasilan ditengah kehidupan yang semakin susah ini. Ia
terduduk lemas disamping apotek itu sampai matahari terbenam.
Yogyakarta 27 Mei 2002

Data diri
Nama : Harsa Permata
Pekerjaan : Mahasiswa Filsafat UGM angkatan 99
Alamat : JL. Olahraga no. 1 bulaksumur Yogyakarta.
Telp : 08122770358
e-mail : bolshevik@eudoramail.com

Anda mungkin juga menyukai