Anda di halaman 1dari 8

PERCAYA

Hujan deras sering terjadi akhir-akhir ini. Ketika aku sedang melihat ke luar dari jendela
apartemen ku di daerah Jakarta, handphone ku berbunyi dan terlihat panggilan masuk. Aku
melihat kearah handphone dan mengangkat telpon yang masuk.
‘Halo.’ Aku menjawab.
‘Halo Rendi. Ini ada tawaran masuk untuk mengisi acara Stand-Up Off Air di Surabaya
tanggal 20 Maret besok. Kamu bisa nggak?’ Ternyata yang menelepon adalah manajer ku
yang bernama Rani.
‘Duit nya bagus nggak nih menurutmu?’
‘Lumayan bagus sih kalo menurutku. Lagian jadwal mu juga lumayan kosong kok di tanggal
sekitar itu.’
‘Okey deh aku ambil. Atur aja ya.’ Kataku mengiyakan’.
‘Okey makasih ya.’ Lalu telponnya ditutup dan aku menaruh handphone ku kembali sambil
kembali melihat hujan.
Namaku Rendi. Karirku sebagai Stand-Up Comedian dimulai sekitar 5 tahun lalu ketika
umurku masih 21 tahun. Banyak orang yang kaget dengan kemunculanku sebagai komika,
terutama teman-teman SMA ku dulu yang hampir menganggapku tidak ada di sekolah.
Karena aku memang termasuk anak yang kurang populer dan terlihat ketika SMA. Aku pun
tidak mempermasalahkan itu dan ketika aku mulai terkenal dan populer, aku pun tidak
terlalu peduli dengan teman-teman SMA ku.
Ketika aku kuliah, aku menemukan komunitas Stand-Up Comedy di kota tempat aku kuliah,
lalu ikut mencoba masuk dan bergabung. Ternyata aku bisa untuk Stand-Up dan ternyata
aku cukup lucu menurut teman-teman komunitas ku. Sehingga aku rutin mengikuti acara
dan kegiatan komunitas itu. Lalu aku bertemu dengan Rani yang sekarang menjadi manajer
ku ketika sering mengisi acara-acara Stand-Up dan Rani sedang menonton dengan
temannya.
Kita pun bertukar kontak pada saat itu dan mulai berkomunikasi dengan intens. Karena
keminderanku dan ketidakpercayadirian ku yang besar, aku tidak pernah berani
mengungkapkan perasaanku kepada Rani. Disaat itu juga aku sedang mengikuti lomba
Stand-Up Comedy bergengsi di Indonesia. Jadi aku mempunyai rencana untuk menjadikan
Rani sebagai manajer ku ketika aku selesai berkompetisi di lomba ini dengan tujuan aku
masih ingin dekat secara personal dengan Rani.
Jalanku di perlombaan Stand-Up Comedy sudah terhenti di 6 besar karena materi ku yang
kurang lucu saat itu daripada yang lain. Lalu aku keluar dan menjadikan Rini manajerku dan
aku mengizinkan dia untuk tahu semua hal tentang aku. Ternyata setelah aku keluar dari
lomba, tawaran untuk mengisi acara Stand-Up Comedy baik Off Air maupun Live di TV
menjadi banyak dan aku pun kebanjiran tawaran. Memang rejeki tidak ada yang tahu di
masa depan.
Meskipun sudah 5 tahun aku menekuni pekerjaan ini, karakter minder dan tidak percaya diri
ini tetap ada dan selalu ada. Dan aku selalu minta Rani untuk menyediakan satu minggu dari
setiap bulan untuk khusus tidak mengambil tawaran pekerjaan dari siapapun. Karena
setelah minggu tenang tersebut, aku menjadi kembali percaya diri dan tidak minder untuk
tampil di sebuah acara.
Setelah menutup telpon dari Rani, aku baru ingat ada hal lain yang ingin aku obrolkan
dengan Rani, lalu aku mengambil handphone dan menelepon Rani.
‘Halo Ran, aku lupa tadi ada yang mau aku obrolin.’ Kataku ketika telpon telah tersambung.
‘Halo Ren, oh iya ada apa?’ Rani menjawab.
‘Tanggal 20 Maret itu kan weekend ya, kamu tahu kan minggu depannya jatah untuk minggu
tenang ku?’
‘Iya tahu kok, mau disediain apa nggak nih?’ Tanya Rani.
‘Nggak tahu aku Ran, nanti aku kabarin lagi deh kalo aku butuh disediain sama kamu.’
Jawabku.
‘Ohh oke deh, kasih tau nya jangan mendadak ya, biar aku sempet nih nyarinya.’
‘Iya, tenang aja pasti aku kabarin kok.’
‘Oke deh, udah ga ada yang diobrolin?’ Tanya Rani.
‘Udah kok, aku cuma mau mastiin doang tadi.’
‘Okey deh, take care ya. Jangan sakit kamu, nanti nggak bisa ngisi acara, duit nggak ada yang
masuk nanti.’ Ucap Rani sambil tertawa tipis.
‘Bawel banget manajer ku. Siap bu manajer.’ Jawabku dengan nada bercanda.
Lalu aku pun menutup telpon ku dan kembali menaruh handphone ku. Aku pun tidak
merubah posisiku duduk yaitu duduk santai di balkon apartemen menghadap keluar sambil
melihat hujan. Ditemani dengan rokok yang terselip di jariku dan sesekali menyedot rokok
itu dalam-dalam sambil menikmati suasana hujan, serta segelas kopi hitam yang pahit dan
panas yang baru saja aku buat sendiri.
Suasana tenang dan menyejukkan seperti ini yang paling aku suka karena suara rintik air
yang bertemu dengan tanah, dan bau tanah yang muncul dari pertemuan itu membuat
semua masalah hidup dan masa lalu ku yang kelam seakan terkubur dan berganti dengan
memori dan kenangan yang indah selama aku hidup. Dan hujan membuat seakan energi-
energi yang terkuras habis di dalam tubuhku serasa terisi kembali ketika air hujan turun.
Lalu aku melihat kearah televisi yang aku punya namun hampir tidak pernah aku hidupkan.
‘TV ini akan ku hidupkan lagi nanti setelah dari luar kota.’ Aku memang mempunyai
kebiasaan lain yaitu menghidupkan tv yang aku punya setelah balik dari luar kota. Di dalam
minggu tenang ku, memang hiburan yang bisa aku nikmati hanyalah tv karena aku juga
melakukan puasa dari sosial media selama minggu tenang.
Di hari Jumat yang cerah dan tidak terlalu panas, aku dan Rani menginjakkan kaki di kota
Surabaya. Memang sengaja datang h-1 hari acara meskipun acara tersebut masih besok
malam. Setelah keluar dari bandara dan menaiki taksi bersama Rani, kita pun pergi
menjauhi bandara dan menuju hotel tempat kita menginap selama weekend ini.
‘Kaya biasanya aja ya kamarnya. Aku cuma pesenin satu kamar doang.’ Kata Rani. Ya,
memang kebiasaan kita kalau menghadiri acara di luar kota adalah selalu menginap di
kamar hotel yang sama tetapi selalu memesan kamar dengan twin bed. Itu permintaan
khusus ku, dan Rani pun tidak keberatan karena dia tahu aku selama ini tidak pernah
macam-macam ketika menginap.
Akhirnya kita sampai di hotel di tengah kota Surabaya. Aku dan Rani membawa barang
masing-masing masuk ke dalam hotel.
‘Eh Ran, kita ke resto hotel yuk, laper nih aku.’ Ajak aku.
‘Ayo, aku juga laper nih dari Jakarta belum makan.’ Kata Rani.
Setelah bersih-bersih di kamar hotel, kita berdua pun turun dan menuju ke resto hotel.
Ketika sampai dan duduk di salah satu sudut resto, aku melihat ada sekelompok cewek yang
melihat kearah kami, mulai dari kami masuk resto sampai duduk.
‘Eh Ran, kamu lihat nggak arah jam 9 ku, ada segerombolan cewek yang ngeliatin kita dari
tadi.’ Kata aku sambil agak berbisik dan mencondongkan badanku ke arah Rani.
‘Iya nih, aku juga ngerasa dari tadi. Ya nggak kaget sih, kan kamu terkenal.’ Kata Rani sambil
memasang wajah senyum tipis.
‘Mereka semua cocok nih, ya nggak Ran? Gimana menurutmu?’ Tanya aku.
‘Cocok banget sih, kalo aja ada yang berani nyamperin kesini. Pasti kamu gerak cepat.’ Tepat
setelah Rani berkata itu, ada 2 orang cewek dari segerombolan cewek dengan wajah yang
tegang itu mendatangi meja makan kita.
‘Permisi, mas nya Rendi ya? Yang komika terkenal itu?’ Tanya salah satu cewek tersebut.
‘Iya bener itu saya.’ Setelah aku mengatakan itu, wajah mereka langsung berubah menjadi
sumringah dan senang.
‘Mas Rendi aku ngefans banget sama mas, udah beli tiketnya juga buat besok di acara nya.
Aduh aku salting banget nih ketemu Mas Rendi.’ Teman yang satunya langsung nyerocos
tanda nervous.
‘Makasih ya udah beli tiketnya, by the way, ada yang bisa ku bantu?’ Tanyaku kepada
mereka.
‘Oh ya Mas Rendi, aku mau minta foto boleh? Mumpung ketemu Mas Rendi disini.’
‘Oh boleh.’ Aku langsung berdiri dan berpose foto untuk kedua cewek tersebut. Mereka
terlihat sangat senang dengan kehadiranku disini. Aku tersenyum tipis.
‘Oh ya nanti jangan diupload dulu ke media sosial kalian dulu ya sampe hari Minggu. Kalo
Senin boleh deh kalian upload. Oh ya dan satu lagi …’ Aku pun mengambil kertas notes dan
menuliskan urutan nomor telpon Rani yang pribadi.
‘… Ini ada nomor telpon ku, kalo kalian nganggur hubungin aku aja, aku juga lagi santai juga
kok. Tapi syaratnya jangan dikasih tau temen-temenmu yang lain ya.’ Ucapku kepada
mereka.
‘Wah beneran nih mas? Terima Kasih ya mas, kita seneng banget hari ini bisa foto dan dapet
foto bareng mas Rendi.’ Ucap keduanya.
‘Iya, santai aja kok, yaudah aku mau makan dulu ya.’ Kataku.
‘Oh iya mas, silahkan. Selamat datang di Surabaya ya mas.’
Selama aku melayani penggemar ku, Rani hanya melihat diam dengan tatapan bahagia
sekaligus sedih. Lalu ketika aku mulai memberi nomor nya Rani yang aku sebut nomorku,
Rani mulai tersenyum tipis dengan tatapan yang aneh, seolah mengetahui apa yang
selanjutnya akan terjadi.
Setelah kami makan, kami berjalan kembali ke kamar hotel. Di antara perjalanan itu, aku
tidak lagi melihat segerombolan cewek itu. Setelah sampai di kamar hotel, aku dan Rani pun
beristirahat sampai malam.
Malam itu ketika sedang bersantai di kamar bersama Rani, tiba-tiba handphone pribadi Rani
berdering dan tertera unknown caller. Karena aku yakin itu adalah salah satu diantara
mereka yang tadi siang, aku pun mengangkat telpon tersebut.
‘Halo.’ Kataku.
‘Halo mas, ini aku tadi yang foto pertama sama mas Rendi.’ Kata suara di seberang.
‘Oh ya, aku inget. Kita belum kenalan kan sebelumnya. Nama kamu siapa?’ Tanyaku.
‘Namaku Tisha mas.’
‘Hmmm, nama yang cantik.’ Kataku dalam hati.
‘Salam kenal ya Tisha, kamu tadi sama siapa yang nyamperin ke meja makan ku?’
‘Oh itu temenku mas, namanya Susan. Dia juga ngefans banget sama mas Rendi tapi ga
berani telpon nomor ini. Soalnya dia takut grogi ngobrol personal sama mas Rendi.’ Jelas
Tisha.
Sekedar informasi, Tisha dan Susan termasuk cewek-cewek cantik millennial dengan
dandanan modis dan terkini. Yang membedakan dari mereka adalah Tisha yang mempunyai
perawakan Jawa, dengan kulit kuning langsat dan senyum manis khas cewek Jawa. Dan
Susan adalah tipikal cewek perawakan Cina dengan kulit seputih susu dan mata yang hampir
terlihat segaris ketika tersenyum menandakan kecantikan khas Cina.
‘Santai aja kali kalo sama aku. Tapi dia tahu kalo kamu nelpon aku?’
‘Nggak tahu kok mas, soalnya yang megang tulisan nomor telpon mas Rendi aku, jadi dia
nggak tahu dan nggak bakal inget juga nomornya.’ Kata Tisha.
Lalu kami pun terlibat dalam percakapan yang panjang di telpon. Percakapan yang panjang
dan dalam yang istilah anak sekarang disebut deep conversation atau deep talk. Hampir
semua hal tentang dia sudah aku ketahui seperti dia yang menjadi anak tunggal, orang tua
dia jarang ada dirumah karena masing-masing sibuk kerja, dan dia sendiri dirumah bersama
asisten rumah tangga dia. Dia juga menceritakan tentang bagaimana dia merasa kesepian
dan selalu keluar rumah untuk mencari hiburan. Karena orang tua dia datang ketika Tisha
sudah tidur atau masih diluar, dan pergi berangkat kerja ketika Tisha masih tidur. Sembari
Tisha menceritakan tentang kehidupan dia, aku melihat Rani dikamar itu sedang duduk di
bangku menghadap meja, sambil menoleh dengan wajah tidak tega dan sedih kearahku.
Lalu sambil mendengarkan Tisha mengoceh, aku mendekati Rani dan memegang pundak
nya sambil berbisik, ‘Ini cocok nih, kamu nggak usah nyari lagi buat minggu depan.’
Mendengar itu, Rani pun membuang muka ke arah meja dan menatap meja dan tembok
dengan nanar, seakan tahu apa yang akan terjadi.
‘Sha, aku mau istirahat nih buat tampil besok, udahan dulu ya. Jangan lupa besok dateng ke
acara ku ya.’ Kataku mengakhiri obrolan tersebut.
‘Oh iya mas, makasih lho udah mau dengerin aku cerita. Sorry nih kalo panjang banget dan
ngebuat mas bosen.’ Kata Tisha.
‘Nggak kok, santai aja. Yaudah aku tutup ya.’
‘Iya mas, makasih.’ Lalu aku menutup telponnya. Setelah menaruh handphone di pinggir
kasur, aku menatap langit-langit kamar dan berkata dalam hati, ‘Dia cocok nih, enaknya aku
ngapain ya buat dia.’ Lalu aku masuk ke dalam mode hening dan melamun, yang mana Rani
sudah tahu bahwa aku memasuki fase tersebut. Dia lalu ke kasurnya dan memposisikan diri
untuk tidur. Aku yang masih dalam fase melamun akhirnya menutup mata dan tertidur.
Pada hari Sabtu, aku tampil di sebuah acara off-air Stand-Up Comedy di sebuah gedung
serbaguna di Surabaya. Di tengah-tengah aku tampil di atas panggung, aku melihat
kehadiran Tisha dan Susan di antara penonton yang menontonku. Aku pun melambaikan
tanganku kearah mereka tanda aku mengetahui keberadaan mereka. Setelah aku selesai
tampil, aku pun turun ke belakang panggung dan bercengkerama dengan pengisi acara lain
yang mana teman-teman komunitas Stand-Up Comedy Surabaya juga.
Setelah acara tersebut selesai sekitar jam 11 malam, aku pun keluar dari belakang panggung
dan berjalan kearah pintu keluar. Tiba-tiba ada yang memegang tanganku dari samping.
‘Mas Rendi.’ Setelah aku menoleh ternyata Tisha yang memegang tanganku, tapi aku tidak
melihat Susan ada di sekitarnya.
‘Oh Tisha, mana Susan?’ Tadi kayanya pas aku tampil dia ada sama kamu.’ Tanyaku.
‘Dia balik duluan mas, udah dijemput orang tua nya.’ Jawab Tisha.
‘Gitu, terus kamu gimana nih baliknya? Kan ini udah malem jam 11 lho. Apa nggak bahaya
kamu balik sendirian?’
‘Nggak kok mas, aku udah biasa jam segini belum balik. Dan juga orang tua ku nggak peduli
sama aku. Jadi ya aku bebas aja. Lagian juga aku masih mau ketemu sama mas.’ Kata Tisha
sambil mendekatkan tubuhnya ke tubuhku.
‘Jadi gitu, oke. Kamu punya saran buat makan malam? Laper banget nih abis tampil.’ Kataku
sambil menampilkan senyum tipis yang dia tidak tahu.
‘Oh ada kok, yuk jalan sekarang. Kebetulan aku juga laper nih malem-malem.’ Lalu Tisha pun
menggandeng tanganku dan berjalan kearah mobilnya. Dia yang memegang kendali mobil
karena aku tidak tahu jalanan kota Surabaya. Setelah kurang lebih 15 menit, kami pun
sampai ke tempat makan tersebut.
‘Jadi ini itu langganan aku mas kalo malem-malem gini kelaperan. Nasi goreng nya enak
banget. Kalo aku kebetulan di luar kaya gini aku bisa langsung mampir dan makan di tempat.
Kalo aku mager pas dirumah, aku pesen aja lewat ojol.’ Kata Tisha.
‘Gitu ya. Yaudah deh aku pesen samain kaya kamu. Kan kamu yang tahu.’ Kataku.
Sambil menunggu pesanan, kami ngobrol kaya orang pacaran. Dia terlihat senang sekali
menghabiskan waktu berdua bersamaku. Dan kebiasaan ku selama mengisi acara off-air,
aku selalu menyuruh Rani untuk balik duluan ke hotel dibandingkan aku. Jadi saat ini benar-
benar hanya aku dan Tisha sedang mengobrol selayaknya berpacaran.
Setelah makanan datang, kami melanjutkan mengobrol sambil menghabiskan makanan.
Kami pun segera beranjak dari tempat itu dan menuju ke hotel tempat aku menginap. Ketika
kami sampai di lobby hotel, Tisha tetap menggandeng tanganku.
‘Mas, aku boleh ikut nginep disini nggak? Males balik rumah aku.’ Kata Tisha sambil
menatap mataku dengan tatapan memohon.
‘Oh yaudah ayuk aja.’ Aku pun menggandeng tangannya dengan erat sampai di depan
kamar hotel. Lalu aku mengetuk pintu hotel dan keluar Rani dengan pakaian santai nya.
‘Loh mbak? Kok disini?’ Tanya Tisha terheran-heran melihat cewek muncul dari kamarku.
‘Kenalin aku Rani, manajer nya Rendi.’ Mereka pun bersalaman dan Rani mengajak Tisha
masuk kamar.
‘Kenapa kok kamu ikut Rendi balik kesini? Kamu nggak pulang?’ Tanya Rani. Sembari Rani
bertanya tentang Tisha, aku membersihkan dan merapikan diri setelah keluar. Aku keluar
kamar mandi hanya dengan celana pendek tanpa baju.
‘Iya mbak, aku ikut mas Rendi soalnya aku ….’ Tisha pun terdiam ketika melihat aku keluar
kamar mandi tanpa baju atasan. Lalu dia membuang muka tanda menahan malu.
‘Oh pantesan, kamu sih Ren dia kaget nih. Lupa ya kalo ada orang lain.’ Kata Rani sambil
memukul Rendi dengan bantal.
‘Hehe maaf, udah kebiasaan juga.’
‘Iya mas mbak, santai aja, tadi cuma kaget bentar.’ Kata Tisha sambil menenangkan diri.
‘Yaudah aku pesenin extra bed dulu biar kamu tidur di kasurnya Rendi ini.’ Kata Rani sambil
menelpon Hotel Services.
Karena sama-sama kecapekan, akhirnya setelah extra bed nya datang, aku pun langsung
tertidur. Terakhir kali aku sadar ketika aku melihat kearah Rani yang sedang mendengarkan
cerita Tisha dan menunjukkan wajah yang sedih alih-alih bahagia karena menemukan teman
ngobrol.
Besoknya, kami bertiga menghabiskan waktu di luar kamar hotel, berkeliling Surabaya dan
menjelajahi kota selama seharian penuh. Pada saat matahari sudah tenggelam, kami pun
kembali ke kamar hotel.
‘Akhirnya ya kita udah balik, nggak kerasa udah malem aja. Udah seharian kita muter-muter
Surabaya bertiga.’ Kata Tisha dengan perasaan senang.
‘Iya Sha, aku juga seneng kita bisa berteman gini, terus happy happy bareng.’ Sahut Rani
yang wajahnya seakan sudah menduga apa yang akan terjadi.
‘Oh ya tadi kita juga beli ini kan buat have fun di sini.’ Sambil aku mengangkat sebotol
minuman keras yang akan menemani kita.
‘Iya dong.’ Respon Tisha dengan semangat yang masih menggebu-gebu. Sambil aku
tersenyum tipis tanpa diketahui oleh Tisha, aku menyiapkan beberapa gelas minuman keras
untuk mereka berdua. Lalu kita pun minum-minum sambil bersantai dengan bertukar
obrolan tentang pengalaman hidup masing-masing.
‘Aduh kok udah mabuk sih aku, padahal biasanya aku kuat lho.’ Kata Tisha yang sudah
terlihat mau ambruk dengan wajah yang sangat mabuk.
‘Kombinasi kali, antara kamu kecapekan sama minum, jadi lebih cepet naiknya.’ Kataku. Tak
lama setelah itu, Tisha pun tertidur pulas tanda sudah tidak mampu. Karena aku dan Rani
sudah biasa minum, aku dan dia belum terlalu mabuk. Lalu aku pun mengambil pisau yang
habis aku beli ketika keluar tadi tanpa sepengetahuan Tisha dan memulainya.
Aku sadar kembali pada jam 2 pagi. Ternyata aku sudah mabuk 6 jam lamanya bersama Rani
dan Tisha. Lalu aku melihat tanganku dan tubuhku yang ternyata sangat kotor, berceceran,
dan bau amis yang menyengat. Setelah itu aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri
sambil menelepon seorang teman.
‘Halo’ Kataku.
‘Apa bro?’ Kata temanku.
‘Seperti biasa, track aja lokasi handphone ini, terus lakuin seperti biasa.’ Kataku dengan jelas
dan tegas.
‘Siap bro, ada lagi?’
‘Nggak ada. Makasih.’ Langsung aku menutup telpon tersebut dan melanjutkan
membersihkan diri.
Aku dan Rani kembali ke Jakarta pada penerbangan jam 7 pagi. Aku sangat lega dan merasa
membaik ketika kembali ke sini, ke kota yang tidak pernah mati, bersama manager dan juga
cewek yang aku suka. Meskipun aku tidak bisa memiliki dia, aku tetap bisa berada dekat
dengan dia.
3 hari setelah berada di Jakarta, aku dan Rani berada di apartemen ku. Kami sedang
membahas project-project baru untuk bulan depan. Lalu aku menyetel tv dan terlihat
program berita Breaking News. Di berita tersebut disebutkan bahwa ditemukan mayat
korban mutilasi dengan bagian-bagian tubuh yang terpisah di dalam sebuah mobil yang
terparkir sudah lama di parkiran hotel di kota Surabaya. Dan yang lebih aneh nya lagi, tidak
ada bukti cctv yang tersebar di hotel tersebut karena pada saat kejadian, file video cctv
tersebut sudah tidak ada dan semua kamera pada jam itu telah mati. Korban mutilasi
tersebut adalah remaja cewek bernama Tisha.
Aku melihat Rani yang sedang melihat berita tersebut dan mendekatinya. Aku lalu ikut
melihat berita tersebut dan tersenyum tipis karena aku tahu, minggu tenang ku belum
berakhir.

Anda mungkin juga menyukai