Anda di halaman 1dari 183

POLITIK HUKUM

PIDANA DAN SISTEM


HUKUM PIDANA
DI INDONESIA

Membangun Filsafat Pemidanaan


Berbasis Paradigma (Filsafat)
Hukum Pancasila
POLITIK HUKUM PIDANA
DAN SISTEM HUKUM PIDANA
DI INDONESIA

Membangun Filsafat Pemidanaan Berbasis Paradigma (Filsafat) Hukum Pancasila

ii
POLITIK HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Membangun Filsafat Pemidanaan Berbasis Paradigma (Filsafat) Hukum Pancasila

Penulis:
Dr. Rocky Marbun, S.H., M.H.

Cover: Rahardian Tegar* Lay Out: Nur Saadah*

Cetakan Pertama, Juli 2019


ISBN: 978-602-6344-73-1

Diterbitkan Oleh:
Setara Press
Kelompok Intrans Publishing
Wisma Kalimetro
Jl. Joyosuko Metro 42 Malang, Jatim
Telp. 0341-573650, Fax. 0341-573650
Email Pernaskahan: redaksi.intrans@gmail.com
Email Pemasaran: intrans_malang@yahoo.com
Website: www.intranspublishing.com
Anggota IKAPI

Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik
sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Rocky Marbun
Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia: Membangun Filsafat
Pemidanaan Berbasis Paradigma (Filsafat) Hukum Pancasila/Penyusun, Rocky Marbun –
Cet.1.- Malang: Setara Press, 2019 xviii + 210 hlm.; 15,5 cm x 23 cm
1. Hukum Pidana – I. Judul II. Perpustakaan Nasional

Didistribusikan oleh:
PT. Cita Intrans Selaras (PT. Citila)

iii
Sambutan

Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.

Bagi seorang dosen, menulis merupakan suatu keniscayaan. Menulis juga merupakan
tanggung jawab intelektual. Tidak semua orang dapat menulis dengan sistematis, runut, dan
jelas. Seorang dosen yang terbiasa mengajarkan cara berpikir sistematis kepada para
mahasiswanya, maka ketika menulis pun hal itu akan jelas terlihat. Adalagi kelebihan seorang
dosen yang menulis buku apabila dia berlatar belakang praktisi, yakni tulisanya tidak saja
teoritis dan konseptual, tetapi juga diwarnai pengalaman praktiknya. Hal ini akan kita temui
pada buku yang ditulis saudara Rocky Marbun, S.H., M.H. yang terangkum dalam seri Grand
Design Politik Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ini,
Buku ini merupakan seri kedua dari 15 seri Sistem Peradilan Pidana yang direncanakan
oleh penulisnya. Tentu menulis buku sebanyak itu bukanlah pekerjaan mudah, karena
membutuhkan keseriusan, fokus, dan riset pustaka yang tidak sedikit. Tampaknya hal ini bisa
dilakukan oleh saudara Rocky, yang kecintaannya pada dunia akademik begitu kuat. Saat ini
penulis mengajar di beberapa perguruan tinggi hukum dan juga masih menyelesaikan studi
doktoralnya.
Buku ini tentu sangat bermanfaat bagi para mahasiswa dan juga bagi semua kalangan
pemerhati hukum, khususnya sistem peradilan pidana. Kita tahu bahwa masih banyak
persoalan di dalam sistem peradilan pidana kita, hubungan antar subsistem, budaya hukum,
dan persoalan kepastian hukum, dan sebagainya. Demi memahami fenomena yang terjadi
dalam sistem peradilan pidana, kita memang perlu memperluan cakrawala berpikir kita
sekaligus memperbanyak bacaan yang relevan.
Saya menyambut gembira terbitnya buku ini, semoga menambah khazanah keilmuan
dan rujukan tentang sistem peradilan pidana. Semoga penulis yang produktif ini dapat terus
meningkatkan kariernya di bidang akademik.

6 Mei 2015

Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.

iv
Pengantar Ahli

Dr. Hotma P. Sibuea, S.H., M.H.

Buku yang ditulis oleh Saudara Rocky Marbun ini berasal dari "kegalauan" akademinya
melihat Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang menurut pandangan Penulis tersebut belum
merupakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Dalam pandangan Penulis, ego sektoral masih
sangat kental dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia saat ini. Berangkat dari "kegalauan
akademik" Saudara Rocky Marbun mencoba menuangkan gagasan untuk mengembangkan
pemikiran akademik tentang gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang dianggap ideal
oleh Penulis tersebut dari perspektif yang lebih luas.
Hal inilah yang menjadi ciri pembeda karya tulis ini dari karya tulis Sistem Peradilan
Pidana yang lain. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan oleh Penulis ini layak diapresiasi
secara patut. Saya menganjurkan para peminat dan pemerhati hukum pidana untuk membaca
karya Saudara Rocky Marbun ini sebagai bahan pembanding dari karya ilmiah lain tentang
Sistem Peradilan Pidana.
Namun, sebagai suatu karya tulis ilmiah sudah barang tentu selalu ada kelemahannya
dan kelemahan dari buku ini ada pada aspek teknis penulisan yang menyimpang dari teknis
penulisan karya ilmiah standard. Namun, terlepas dari kelemahan teknis tersebut, Saya pribadi
sangat mendukung Saudara Rocky Marbun untuk terus berkarya karena hanya dari karya
itulah hidup menjadi bermakna. Selamat berkarya dan maju terus Bung Rocky Marbun.

Jakarta, Maret 2015

Dr. Hotma P. Sibuea, S.H., M.H.

Pengantar Penulis...
v
Assalammu'alaikum W.W
Alhamdulillah, Saya panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan nikmat sehat dan nikmat iman, sehingga Saya dapat menyelesaikan penulisan
Seri II dari Buku Sistem Peradilan Pidana, dengan judul Politik Hukum Pidana dan Sistem
Hukum Pidana di Indonesia: Membangun Filsafat Pemidanaan Berbasis Paradigma
(Filsafat) Hukum Pancasila. Buku ini merupakan lanjutan dari Seri I dengan judul Sistem
Peradilan Pidana: Suatu Pengantar. Jika pada Seri I saya memberikan pemahaman awal bagi
pembaca mengenai pernak-pernik Sistem Peradilan Pidana, maka pada pembahasan di dalam
Buku II Seri Sistem Peradilan Pidana ini, Saya mencoba menjabarkan lebih lanjut mengenai
ide/wacana yang telah saya singgung pada Buku I yakni berkaitan dengan pembentukan
politik hukum pidana berdasarkan falsafah Pancasila, yang kemudian diejawantahkan ke
dalam suatu sistem -Sistem Hukum Pidana berlandaskan kepada konstitusi Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, serta turunannya dalam
perundang-undangan pidana.
Di dalam sejarah kenegaraan bangsa Indonesia terdapat dua momentum yang sangat
penting, karena merupakan kemuncullan Negara Indonesia. Momentum pertama yakni
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai konsensus seluruh rakyat
Indonesia dan merupakan perjanjian akbar dari seluruh elemen bangsa untuk saling
mengikatkan diri sebagai satu bangsa dan satu negara, yaitu Indonesia. Momentum berikutnya
(kedua) yakni dipilihnya Pancasila sebagai falsafah dan ideologi Bangsa Indonesia
sebagaimana termuat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (pra-amandemen)
sebagai pandangan dan pegangan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ironisnya, titik kulminasi perjuangan pahlawan Indonesia tidak mampu dimanfaatkan
dengan baik, tentunya dikarenakan faktorekternal dan internal bangsa Indonesia pada saat itu,
yang salah satunya adalah minimnya jumlah ahli hukum yang menguasai kemampuan legal
drafting. Termarjinalisasinya local wisdom yang merupakan hukum asli Indonesia selama
masa kolonialisme, menjadikan munculnya gap antara ius contituendum dengan ius
contitutum, akibat pengaruh legal culture yang ditanam selama beratus-ratus tahun oleh pihak
kolonial. Sehingga menjadikan Negara Indonesia memiliki sistem hukum yang sama dengan
sistem hukum negara penjajah, yang pada akhirnya seringkali terjadi benturan nilai-nilai di
dalam implementasinya.
Telah banyak ahli hukum yang menuangkan pengetahuannya baik dalam bentuk sekadar
pemaparan maupun kritik bahwa konsep pemidanaan yang diterapkan di Indonesia oleh
vi
penjajah berbeda dengan negara induknya. Kepentingan kolonialisme memaksakan kepatuhan
dan ketaatan secara absolut warga Hindia Belanda (Indonesia, saat ini) demi kepentingan
ekonomi negara penjajah, melalui penerapan Asas Legalitas secara mutlak. Sehingga,
kemunculan KUHAP yang mengusung ide konsep pemeriksaan peradilan secara accusatoir
hanya sebatas sejauh tulisan-tulisan dalam buku-buku semata, dikarenakan legal culture telah
mendarah-daging atas diterapkannya konsep inquisatoir, khususnya pada Pra-Adjudikasi.
Euforia kemerdekaan setelah 70 tahun, dikarenakan terlalu lamanya mengalamai
tekanan mental dan spiritual, memunculkan arogansi atas kekuasaan. Keputusan-keputusan
yang dikeluarkan oleh masing-masing kekuasaan negara saling berbenturan, tumpang tindih,
dan saling membuka peluang untuk gugat menggugat. Kemunculan Mahkamah Konstitusi
memperjelas kondisi tersebut dengan banyaknya produk legislatif yang dibatalkan baik secara
negative legislator maupun positive legislator.
Perkembangan Hak Asasi Manusia secara Internasional, memaksa bangsa ini segera
berbenah diri, walaupun secara teks-teks konstitusi, pengakuan terhadap HAM tersebut telah
tampak. Namun, lagi-lagi penguasaan legal drafting tidak sampai kepada pemahaman yang
utuh terhadap falsafah bangsa Indonesia, yang tersembunyi di dalam nilainilai Pancasila.
Hakim pun menjadi "corong undang-undang” dalam menerapkan hukum. Hal ini tentunya
berbanding terbalik dengan falsafah Pancasila dan garis konstitusi Indonesia.
Pengalaman saya di dalam dunia praktis, walaupun tidak lama, rasanya cukup
memuakkan saya sehingga mengambil posisi sebagai akademisi yang secara eksternal
memandang dunia praktis. Posisi eksternal saya justru melihat lebih banyak kesemerawutan
dalam memahami ilmu hukum. Posisi internal saya dalam dunia akademisi hampir
menemukan hal-hal yang serupa essensinya namun berbeda bentuk. Ketidakseragaman
keilmuan yang diajarkan kepada mahasiswa/i fakultas hukum bukan terletak kepada
kurikulumnya, melainkan terletak kepada kemampuan mentransfer ilmu hukum kepada calon
sarjana hukum. Namun, penulisan buku ini bukan hendak menunjukan bahwa saya lah yang
paling benar dalam transfer knowledge, namun lebih kepada keinginan saya menyampaikan
hal-hal yang seharusnya ditransfer/dialih-ilmukan. Terkadang seorang pendidik mampu
melakukan transfer knowledge dengan baik, namun kehilangan ruh filosofinya, sehingga
produk sarjana hukum yang lebih berprilakulegalistik positivistik. Hal ini membuktikan
bahwa suatu sistem peradilan pidana, tidaklah mandiri dan bebas, namun saling terikat kepada
semua aspek kehidupan, hingga kehidupan akademis (perkuliahan) sekalipun. Walaupun saya
tidak akan memasukkan materi dalam Buku Seri Sistem Peradilan Pidana ini kajian mengenai
betapa urgentnya pembentukan karakter berdasarkan falsafah Pancasila secara dini mulai dari
bangku perkuliahan.
vii
Banyak aspek yang mengilhami saya untuk melakukan penulisan buku ini yang sengaja
dibuat berseri/jilid, hanya dengan tujuan mempermudah mahasiswa/i di fakultas hukum untuk
memahami Sistem Peradilan Pidana Indonesia secara komprehensif dan mendalam. Bukanlah
tidak mungkin untuk menjadikannya hanya satu buku saja, namun akan menjadi sangat tebal
dan tidak akan menarik minat membaca dari mahasiswa/i fakultas hukum.
Secara keseluruhan, Buku Seri Sistem Peradilan Pidana ini akan digarap hingga lima
belas seri, kesemuanyanya sebenarnya merupakan deskripsi dari seluruh komponen dan sub-
komponen dari suatu sistem, khususnya peradilan pidana, berkaitan dengan korelasi dan
interaksinya; sehingga, menggambarkan apa yang terjadi pada kondisi saat ini, dan bagaimana
idealnya suatu sistem peradilan pidana bergerak menuju tujuan hukum dan tujuan bernegara.
Berikut adalah detil lima belas seri buku Sistem Peradilan Pidana yang akan saya lengkapi ke
depannya.

Buku 1 Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Suatu Pengantar


Buku 2 Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia
Buku 3 Kriminalisasi, Dekriminalisasi, dan Overkriminalisasi
Kekuasaan Kehakiman dalam Sistem Peradilan Pidana: Studi Terhadap
Kekuasaan Yudikatif dalam Sistem Peradilan Pidana
Reformasi Birokrasi Institusi Penegak Hukum dalam Kerangka
IntegratedCriminalJustice System (ICJS)
Buku 6 Kontrakdiksi Eksistensi Advokat: Institusi Penegak Hukum atau Individual?
Buku 7 Sistem Pemasyarakatan: Rekonstruksi Pola dan Pedoman Pemidanaan
Hakim Pengawas dan Pengamat (KIMWASMAT): Hakim 'Wasit Garis yang
Terabaikan
Buku 9 Euforia Lembaga Ekstra Struktural: Suatu Anomali Fungsi
Masyarakat dan Budaya Hukum: Suatu Kajian Viktimologi dan Kriminologi
Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah sebagai Unsur Pendukung dalam Sistem
Peradilan Pidana
Buku 12 Membangun Jembatan antara theLiving Law dan lus Contituendum
Buku 13 Upaya Penerapan Norma Agama sebagai Salah Satu Alasan Pemidanaan
Buku 14 Hukum Pidana Formil dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
Buku 15 Beberapa Keistimewaan R-KUHAP dan R-KUHP: Pro dan Kontra
Buku Seri II ini memberikan gambaran/potret secara menyeluruh mengenai
pembentukan "seharusnya" politik dan sistem hukum pidana yang berdasarkan kepada filsafat
hukum pancasila, sebagai titik anjak dari terbentuknya sistem peradilan pidana. Di dalam
mengkaji sistem peradilan pidana tersebut, menurut pandangan Saya, tidak mungkin hanya
viii
menggunakan hukum pidana semata. Hal tersebut dikarenakan, berbicara suatu sistem, maka
kajiannya lebih mengarahkan kita ke dalam pembahasan hukum administrasi negara dan
hukum tata negara. Sehingga untuk mempertajam secara keseluruhan buku seri ini, Saya juga
menggunakan kajian kefilsafatan ilmu hukum serta ilmu-ilmu bantu lainnya, seperti
kriminologi, viktimologi, sosiologi hukum, serta antropologi hukum. Inilah salah satu alasan
mengapa kajian ini saya bagi menjadi beberapa seri; agar lebih mudah dipahami.
Pada akhir pembahasan dalam buku ini, saya kembali mencoba mengingatkan pembaca
tentang keluhuran budaya Bangsa Indonesia melalui asas musyawarah untuk mufakat.
Beberapa rekan memang menampakkan kesinisan terhadap asas tersebut; saya
memandangnya sebagai suatu kewajaran. Oleh karena, hampir seluruh yang bernuansa
“Pancasila” selalu dianggap sebagai representasi dari Rezim Orde Baru pada masa pra-
reformasi 1998/1999. Namun demikian, sebagai suatu warisan bangsa adalah tidak mungkin
kita berpaling dari identitas bangsa kita sendiri. Jika negara ini beserta seluruh komponennya
lebih mencintai istilah asing yaitu “restorativejustice" yang memiliki kesamaan inti konsep
dengan bangsa ini akan kehilangan jati diri dan identitas diri sebagai bangsa yang asas
musyawarah untuk mufakat maka kaya akan nilai-nilai luhur.
Semoga apa yang telah dan akan saya tuangkan baik dalam Buku Seri II ini maupun
dalam buku-buku berikutnya dapat memberikan pencerahan terhadap bagi siapapun yang
membacanya, khususnya mahasiswa/i fakultas hukum. Mengakhiri sekapur sirih dari Saya
ini, Saya mengucapkan terima kasih secara tulus kepada:
1. Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Indonesia yang telah menyediakan waktu di sela-sela kesibukannya yang
sangat padat, untuk memberikan sambutan tertulis di dalam buku ini;
2. Dr. Hotma P. Sibuea (Ahli HTN/HAN) dari Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus
1945, Jakarta, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan endorsment atau
komentar dan kritik terhadap materi dan teknis penulisan karya ilmiah ini;
Akhirul kalam, saya mengucapkan terima kasih secara tulus kepada semua pihak yang
telah turut membantu terwujudnya buku ini.
Jakarta, 12 April 2017

Rocky Marbun

Pengantar Penerbit ...

ix
Perubahan yang terjadi dalam sistem hukum harus mampu mengikat seluruh institusi
negara, tidak hanya diperuntukkan kepada masyarakat; seperti pendapat dari Cicero bahwa
hukum muncul dari masyarakat. Namun yang juga perlu dipahami, aparat penegak hukum
juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Kritik atas sistem hukum yang berlaku di
Indonesia sebagai warisan kolonialisme, mendorong para pemikir untuk melakukan
pembaharuan hukum. Sejarah menjelaskan adanya peristiwa politik yang mendorong
pembaharuan sistem hukum di Indonesia (orde lama, baru, dan reformasi).
Penulis sebagai seorang intelektual memberikan analisis kritis tentang pembaharuan
sistem hukum yang terjadi, dalam hal ini politik hukum pidana dan sistem hukum pidana.
Analisis yang disampaikan penulis memberikan pencerahan tentang arah pembaharuan
hukum pidana pasca reformasi melalui catatan kritisnya. Ada pemaksaan nilai yang
terkandung dalam politik hukum pidana dan sistem hukum pidana hari ini untuk dipelajari
dan diterapkan oleh masyarakat. Hukum tidak lagi menjadi cermin dari nilai-nilai yang hidup
di masyarakat tetapi kepentingan ekonomi dan finansial segelintir orang
Buku ini memberikan jawaban atas pertanyaan kritis pembaca tentang kondisi kekinian
sistem hukum Indonesia khususnya, hukum pidana. Buku ini menjadi rujukan bagi
mahasiswa, akademis, praktisi, dan profesional, aparatur penegak hukum dan masyarakat
yang ingin mendorong berjalannya prinsip keadilan dalam sistem hukum Indonesia.
Penerbit mengucapkan selamat kepada penulis yang sudah menerbitkan buku Politik
Hukum Pidana & Sistem Hukum Pidana di Indonesia: Membangun Filsafat Pemidanaan
Berbasis Paradigma (Filsafat) Hukum Pancasila. Penerbit juga mengharapkan saran dari
pembaca untuk menjaga kualitas buku-buku dari Intrans Publishing Group. Selamat
Membaca! Mari rebut perubahan dengan membaca!

Daftar Isi

x
Sambutan: Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.................................................................iv
Pengantar Ahli: Dr. Hotma P. Sibuea, S.H., M.H............................................................v
Pengantar Penulis ...............................................................................................................vi
Pengantr Penerbit ..............................................................................................................x
Daftar Isi..............................................................................................................................xi

BAB 1: PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................1
B. Ruang Lingkup Pembahasan............................................................................................5

BAB 2: POLITIK HUKUM PIDANA................................................................................18


A. Pengertian dan Konsep Politik Hukum.............................................................................18
B. Politik Hukum Pidana/Politik Kriminal/Kebijakan Legislatif Pidana..............................28

BAB 3: SISTEM HUKUM..................................................................................................39


A. Pengertian Sistem.............................................................................................................39
B. Pengertian Hukum............................................................................................................43
C. Pengertian Sistem Hukum................................................................................................47

BAB 4: PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM


PIDANA DI INDONESIA...................................................................................................67
A. Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana Pada Masa Sebelum Kemerdekaan...67
B. Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana Pada Masa Sesudah Kemerdekaan ...75

BAB 5: GRAND DESIGN POLITIK HUKUM PIDANA & SISTEM HUKUM PIDANA
DI INDONESIA...................................................................................................................9
A. Kekuasaan Legislatif . Peranan Alat Kelengkapan
Negara dalam Membentuk Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana..............117
B. Hakikat Sanksi Pidana dalam Berhukum dan Bermasyarakat.........................................128
C. Memperkuat Pengaruh Paradigma (Filsafat) Hukum Pancasila Terhadap
Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia
Menarik Benang Merah Asas Musyawarah sebagai Filsafat Pemidanaan.....................135

BAB 6: SIMPULAN.............................................................................................................153
xi
Index .....................................................................................................................................155
Daftar Pustaka ....................................................................................................................165
Tentang Penulis....................................................................................................................174

xii
Bab 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak era tujuh puluhan, masyarakat hukum Indonesia familiar dengan ungkapan
"hukum sebagai sarana pembangunan atau sebagai sarana pembaruan masyarakat”; suatu
ungkapan yang memperoleh inspirasi dari RoscoePound “law as socialengineering"." 1Istilah
tersebut di Indonesia dipopulerkan oleh Mochtar Kusuma-Atmadja.
Mochtar Kusuma-Atmadja dikenal sebagai penggagas pendayagunaan hukum untuk
kepentingan pembangunan nasional, baik dalam praktik pembangunan dan pembinaan hukum
nasional, maupun dalam pemberian arahan kurikuler pada pendidikan tinggi hukum dalam
rangka penyiapan tenaga-tenaga ahli yang professional.2 Dengan demikian, semenjak Mochtar
Kusuma Atmadja diangkat menjadi Menteri Kehakiman, maka hampir keseluruhan kurikulum
yang berlaku di semua Fakultas Hukum, mayoritas menggiring para dosen dan mahasiswa
nya untuk dapat mempelajari keilmuan yang bersifat aplikatif, dalam kerangka mewujudkan
pembangunan nasional.
Paradigma keterkaitan pembangunan nasional yang menyangkut seluruh aspek
kehidupan dengan antisipasi dimensi hukum merupakan keniscayaan. Pembangunan
menghendaki transformasi masyarakat dari suatu kondisi menjadi kondisi yang lebih baik.
Manusia sebagai inti dari aktivitas pembangunan menentukan betapa 'keran' transformasi
merupakan upaya operasionalisasi transformasi itu dengan sengaja. Kedua konsep ini,
transformasi maupun operasionalisasinya, sesungguhnya bermula dari konsep normatif yang
akan menuntun, mengatur, dan menertibkan perwujudannya.3
Pembentukkan suatu politik hukum nasional dan sistem hukum nasional seharusnya
menjadi suatu kajian yang penting. Sehingga, kerangka pembangunan nasional bergerak
dalam koridor sistem hukum dan politik hukum yang dipahami oleh seluruh lapisan

1
Bagir Manan, “Peranan Hukum dalam Mewujudkan Cita-cita Keadilan Sosial Menurut UUD 1945”,
dalam Varia Peradilan Tahun XXIX No. 340 Maret 2014, hlm. 7.
2
SoetandyoWignjosoebroto, “Mochtar Kusuma-Atmadja: Manusia Yang Pernah Saya Kenal dan
Pemikirannya (Sebuah Pengantar Ringkas)", dalam Shidarta., et.al., Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori
Hukum Pembangunan. Eksistensi dan Implikasi, (Jakarta: EpistemaInstitute&HuMA, 2012), hlm. Viii.
3
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1994), hlm. 12.

1
masyarakat. Saya berangkat dari asumsi bahwa hukum bukan hanya untuk masyarakat;
hukum juga mengikat seluruh badan-badan (institusi) negara. Walaupun jika mengacu kepada
pendapat Cicero yang mengatakan bahwa hukum muncul dari masyarakat, namun yang perlu
dipahami adalah aparat penegak hukum juga merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri.
Setiap sistem hukum paling kurang mengandung unsur-unsur berikut:4
1. Undang-undang atau peraturan-peraturan hukum yang ditetapkan oleh lembaga legislatif;
2. Keputusan-keputusan lembaga peradilan, tradisi, dan prinsipprinsip yang diakui oleh
lembaga peradilan dengan efek yang mengikat secara legal; serta
3. Berbagai jenis lembaga hukum yang menentukan dan menjalankan prinsip-prinsip dan
keputusan-keputusan legal.
Oleh karena itu, setiap undang-undang atau keputusan hukum harus ditempatkan dalam
bingkai sistem hukum tersebut. Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (3)
Bab 1, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan kembali bahwa
"Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Artinya. bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum, tidak berdasarkan semata-mata atas
kekuasaan (machtstaat),5 dan pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar),
bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3)
Amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945, terdapat tiga prinsip dasar wajib dijunjung
oleh setiap warga negara yaitu (1). Supremasi hukum; (2). Kesetaraan di hadapan hukum, dan
(3). Penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Tiga prinsip
dasar ini selalu menjadi agenda pemerintah yang berkuasa dalam menjalankan roda reformasi,
khususnya reformasi hukum.6 Dengan demikian, pembentukan sistem hukum Indonesia yang
4
Yong Ohoitimur, "Tujuh Teori Etika tentang Tujuan Hukum”, Jurnal Universitas De La Salle, Vol. 1,
No. 2, (Manado: Oktober 2011), hlm. 1.
5
Merujuk pada pendapat tersebut, tampaknya terjadi commonmistake dalam memperbincangkan
Indonesia sebagai Negara Hukum. Istilah Negara Hukum, selalu menggunakan isi dari penjelasan yang termuat
di dalam Penjelasan UUD 1945 praamandemen. UUD 1945 pra-amandemen masih menggunakan rechtsstaat
sebagai istilah pengganti dari Negara Hukum, sehingga secara umum akan dipahami, bahwa konsep Negara
Hukum yang dianut, pasca-amandemen, adalah rechtsstaat. Berdasarkan Kesepakatan Panitia Ad Hoc Badan
Pekerja MPR, penjelasan UUD 1945 serta hal-hal normatif yang termuat di dalam penjelasan tersebut
dihapuskan, dinormatifkan ke dalam batang tubuh UUD NRI 1945 (pasca amanademen). Oleh karena itu, maka
jelaslah bahwa Negara Hukum Indonesia sudah tidak lagi secara tegas mengadopsi konsep rechtsstaat. Dengan
demikian, konsep Negara Hukum Indonesia bersifat otonom dan mandiri. Namun sayangnya, tidak ada
penjabaran secara tegas apakah Pancasila secara otomatis menjadi dasar dari konsep Negara Hukum Indonesia
saat ini ataukah tidak.
6
Azmi Effendi, “Perbaikan Sistem Hukum dalam Pembangunan Hukum di Indonesia", Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 2, No. 2, Tahun 2013, hlm. 2.
2
ajeg menjadi suatu keharusan untuk dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan
masyarakat pada umumnya, dengan dibarengi pada pembatasan kekuasaan yang bersifat
absolut dari institusi penegak hukum yang merupakan perpanjangan tangan atau mewakili
negara.
Berkaitan dengan penyelenggaraan bernegara dalam konteks negara hukum, dalam
menjalankan fungsinya, negara memiliki dua kebijakan utama, yaitu kebijakan kehidupan
sosial dan kebjakan kehidupan bernegara. Maksud dari penyelenggaraan kebijakan kehidupan
bernegara ialah bidang yang bersangkut paut dengan kelangsungan hidup organisasi negara.
Hal tersebut di atas meliputi hal-hal berikut:7
Pembentukan mekanisme perundang-undangan sebagai kelanjutan dari hukum dasar
tertulis dan tidak tertulis, menyelidiki
pasal-pasalnya, bagaimana penerapannya, suasana kebatinannya, perumusan teks
perundang-undangan, suasana terciptanya teks perundang-undangan tersebut,
keterangan keterangan berkaitan proses pembentukannya, di mana kesemuanya
berkaitan dengan pengaturan yang terdapat di dalam konstitusi mengenai organisasi
kenegaraan. Dalam bidang ini, perlu dicatat beberapa tahap pelaksanaan ketentuan-
ketentuan mengenai organisasi negara yang dipengaruhi oleh keadaan dan waktu.

Membicarakan hubungan antara negara dan masyarakat pada hakikatnya adalah


membicarakan suatu hubungan kekuasaan, ialah antara yang berkekuasaan dan yang dikuasai.
Dalam banyak pembicaraan, 'negara'-yang terpersonifikasi dalam rupa para pejabat
penyelenggara kekuasaan negara, baik yang berkedudukan dalam jajaran yang sipil maupun
yang militer - sering diidentifikasi sebagai sang penguasa. Sementara itu, yang seringkali
hendak diidentifikasi sebagai pihak yang dikuasai tidaklah lain daripada si masyarakať, atau
tepatnya para 'warga masyarakat (yang dalam banyak perbincangan sehari-hari disebut
'rakyat).8 Sehingga tepatlah kiranya, ketika Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa
memperbincangkan Sistem Peradilan Pidana pada dasarnya membicarakan sistem kekuasaan/
kewenangan dalam ranah kekuasaan kehakiman. Pernyataan di atas, menurut saya, apabila
menjadi suatu corak tersendiri dalam membangun sistem hukum maka pihak 'negara' akan

7
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986),
hlm. 17-18.
8
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hubungan Negara dan Masyarakat dalam konteks Hak-hak Asasi Manusia:
Sebuah Tinjauan Historik dari Perspektif Relativisme Budaya Politik”, Makalah disampaikan dalam seminar
Pembangunan Hukum Nasional VII, dengan tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan

3
membentuk suatu sistem hukum yang didasarkan kepada pemahaman atas hubungan timbal
balik tersebut.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan perwujudan dari doktrin dan teori
pemisahan kekuasaan dalam demokrasi dan menjadi salah satu unsur penting di dalam negara
hukum. Pemisahan kekuasaan negara (separationofpowers) ke dalam cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif memisahkan kekuasaan kehakiman (judicialpower) dari
organ lainnya. Keterpisahan dan independensi kekuasaan kehakiman (separateness and
independence of judicial powers) diwujudkan untuk melaksanaan fungsi kontrol dan
penyeimbang terhadap jenis kekuasaan lainnya.
Namun demikian harus diakui bahwa pemahaman dan penerapan konsep independensi
kehakiman bervariasi antara satu negara dengan negara lain, bahkan untuk waktu yang
berlainan di suatu negara.9 Menurut Solly Lubis, realitas kehidupan kenegaraan selama tiga
dasawarsa yang lalu membuktikan terjadinya inkonsistensi dan deviasi dari konsep dasar
sistem manajemen yang seharusnya, yakni UUD 1945. Sistem pemerintahan itu bergeser dari
pola demokrasi kepada oligarki, berlarut-larut, sehingga akhirnya terjadi diskrepansi atau
kesenjangan-kesenjangan, baik di bidang sosial politik, maupun sosial ekonomi, sosial
budaya, dan Hankamtibmas. Maka pada prinsipnya, tuntutan reformasi sistem manajemen
kehidupan bangsa secara menyeluruh itulah yang memerlukan adanya reformasi kebijakan
politik dan reformasi sistem hukum, supaya manajemen nasional itu dapat dikembalikan
kepada sistem menurut konsep dasarnya sendiri secara konstitusional.10
Munculnya fenomena-fenomena benturan antara bidang hukum dengan bidang-bidang
yang lain telah lama menjadi sorotan para ahli hukum di Indonesia. Permasalahan tersebut
telah seringkali diangkat menjadi suatu topik dalam berbagai bentuk seminar, diskusi,
maupun lokakarya. Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) bahkan telah secara tegas mengisyaratkat
bahwa perlunya suatu grand design reformasi hukum yang sinergistik dan sistemik, yang
berkorelasi dengan bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan agama.11

9
Mohammad Fajrul Falakh, “Transparansi dan Akuntabilitas Yudikatif di Indonesia”, Materi Pelatihan
HAM bagi Jejaring Komisi Yudisial, diselenggarakan oleh PUSHAM UII bekerja sama dengan Komisi Yudisial
RI dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR), Denpasar, 22-26 Juni 2010 dan Bandung, 29 Juni-3
Juli 2010, hlm. 1.
10
M. Solly Lubis, “Pembangunan Hukum Nasional", Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan
Hukum Nasional VII, dengan tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
Denpasar, (14-18 Juli 2003), hlm. 1.
4
Amanah dari Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII tersebut sejalan dengan
pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum bukanlah tujuan, namun merupakan sarana
atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang berdasarkan
rangsangan dari luar hukum, sehingga hukum itu sendiri menjadi bersifat dinamis. 12Oleh
karea itu, bergeraknya hukum sebagai sarana, diperlukan pengaturan-pengaturan yang
harmonis dan sinkron antara satu dengan yang lain. Sehingga pembentukan grand design
sistem hukum memiliki fungsi sebagai wujud dari pembentukan sistem hukum dalam
mencapai tujuan-tujuan hukum yang telah disepakati secara bersama.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hotma P. Sibuea menjelaskan bahwa cita negara dan
tujuan bernegara tiap bangsa adalah sesuatu yang unik dan khas sehingga tidak pernah sama
bagi setiap bangsa. Struktur ketatanegaraan yang dinegasikan dari tiap cita negara dan tujuan
negara yang berbeda dengan sendirinya juga akan selalu berbeda bagi setiap bangsa. Jadi,
untuk mencapai tujuan negara sebagai tujuan bersama bangsa perlu dilakukan
pengorganisasian kekuasaan negara yang bertitik tolak dari cita negara.13 Dalam membentuk
suatu sistem hukum, otoritas yang berwenang hendaknya, wajib, memperhatikan input hukum
yang masuk ke dalam ekstraksi norma-norma hukum ke dalam regulasi yang dibentuk.
Hampir sebagian besar dari kita jarang sekali memperhatikan input hukum tersebut.14 Menurut
Lawrence M. Friedmann, Input hukum merupakan gelombang kejut berupa tuntutan yang
memancar bersumber dari masyarakat; input hukum tersebut yang pada akhirnya
menggerakkan proses hukum.15 Masih menurut Friedmann, mayoritas Ahli Hukum
terkonsentrasi kepada output hukum, sehingga menurut saya, pemahaman pembentukan suatu
produk perundang-undangan tidaklah komprehensif.
Tampaknya pembentuk undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kurang
memahami betapa pentingnya posisi mereka sebagai legislator dalam sistem peradilan pidana
berdasarkan kajian politik hukum pidana. Bahwa ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan
dalam sistem peradilan pidana saat ini juga merupakan kontribusi para legislator di DPR.
Sehingga, sangat tidak etis ketika DPR sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah
11
Laporan Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Kuta, Bali, (14-18
Juli 2003), hlm. 5.
12
SudiknoMertokusumo, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), hlm. 40.
13
Hotma P. Sibuea, "Kedudukan, Fungsi, Wewenang dan Tugas Dewan Perwakilan Daerah dalam
Struktur Ketatatnegaraan Republik Indonesia", Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Universitas Pelita
Harapan, Karawaci-Tangerang (2008), hlm. 293
14
Lawrence M. Friedmann, M. Khozim (Pent.), The Legal System. A SocialSciencePerspective,
(Bandung: Nusamedia, 2011), hlm. 3.
15
Ibid., hlm. 13.

5
sistem, justru mengkritik tanpa solusi. Oleh karena itu, dalam legal drafting tidak hanya
diperlukan kecakapan merancang kata-kata dalam bentuk undang-undang semata. Undang-
undang seyogyanya bukan hanya dibuat untuk memberantas suatu tindak pidana semata,
namun hendaknya juga mampu memunculkan upaya pencegahan sebelum terjadinya suatu
tindak pidana. Dan bukan hanya itu saja, dalam membentuk sebuah undang-undang, sisi
kelemahan yang paling fatal di Indonesia, tidak pernah ada sinkronisasi dalam tingkat
undang-undang. Seolah-olah, pembentuk undang-undang hanya fokus pada rancangan
undangundang yang akan dibahasnya tanpa ada pengkajian lebih mendalam. Lebih jauh,
Barda Nawawi Arief mengutip pendapat MarcAncel yang menjelaskan bahwa di antara
studi mengenai faktor-faktor kriminologis di satu pihak dan studi mengenai teknik
perundangundangan di lain pihak, ada tempat bagi suatu ilmu pengetahuan yang mengamati
dan menyelidiki fenomena legislatif dan bagi suatu seni yang rasional, yang dalam ruang
tersebut para sarjana dan praktisi, para ahli kriminologi dan sarjana hukum dapat bekerja
sama tidak sebagai pihak yang saling berlawanan atau saling berselisih, tetapi sebagai kawan
sekerja yang terikat di dalam tugas bersama, terutama untuk menghasilkan suatu kebijakan
pidana yang realistik, humanis, dan berpikiran maju (progresif) lagi sehat.16
Berdasarkan pendapat tersebut diketahui bahwa pembentukan sistem peradilan pidana
yang baik hendaknya melewati tahap sinkronisasi antara undang-undang yang terkait. Namun
pada kenyataannya, pembentuk undang-undang khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
kurang memperhatikan keselarasan antara peraturan satu dengan peraturan yang lain.
Pasal 5 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 17dijelaskan bahwa dalam membentuk
peraturan perundang-undangan maka harus di dasarkan pada asas kesesuaian antara jenis,
hierarkhi, dan materi muatan. Undang-undang pun mensyaratkan bahwa keserasian tersebut
hendaknya memperhatikan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam setiap
materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa
dan negara.
Permasalahan pokok terkait dengan insinkronisasi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, terutama adalah masih terjadinya tumpang tindih dan pertentangan
antara peraturan perundang-undangan bukan hanya di tingkat pusat dan daerah, namun juga
terhadap peraturan setingkat undang-undang. Sebagai contoh, Departemen Keuangan hampir
tiap hari membatalkan sekitar 5 hingga 10 usulan Peraturan Daerah (Perda) tentang usulan

16
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002),
hlm. 21-22.
17
Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
perhatikan Pasal 5 huruf c jo Pasal 6 ayat (1) huruf j.
6
pajak dan retribusi daerah yang disampaikan oleh pemerintah daerah. Pertimbangan
pembatalan Perda tersebut, antara lain, karena dinilai melanggar ketentuan umum, peraturan
daerah yang semula dibuat untuk kepentingan daerah. Namun dalam pelaksanaannya,
seringkali bersifat diskriminatif dan tidak berperspektif gender, tidak ramah investasi, tidak
ramah lingkungan, serta tidak berperspektif hak asasi manusia. Hal itu mengakibatkan terjadi
ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban subjek yang diatur sehingga belum dapat
memberikan upaya perlindungan serta menjamin hak-hak setiap warga negara untuk setara
dan adil di hadapan hukum.18 Permasalahan sinkronisasi bukan hanya terbatas dengan
insinkronisasiantarperaturan perundang-undangan semata, namun terkait dengan keseluruhan
sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Berbicara mengenai legal policy dalam kaitannya
dengan kerangka pembaharuan hukum, maka perlu diteliti keseluruhan sistem hukum yang
terkait.19
Selain permasalahan sinkronisasi, Romli Atmasasmita menyoroti permasalahan pada
terjadinya pembentukan peraturan perundangundangan yang tidak berjalan secara efektif,
yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain:20
1. Substansi peraturan perundang-undangan kurang lengkap dan masih ada kelemahan-
kelemahan (loopholes), sehingga memberikan peluang penyalahgunaan wewenang oleh
aparatur penegak hukumnya;
2. Substansi peraturan perundang-undangan tumpang tindih satu sama lain, sehingga
menimbulkan perbedaan penafsiran antara aparatur penegak hukum, sehingga
memberikan peluang untuk memandulkan peraturan perundang-undangan dalam kasus
kasus yang sarat dengan konflik kepentingan;
3. Ada substansi peraturan perundang-undangan yang masih menempatkan kepentingan
pemerintah terlalu besar melebihi kepentingan masyarakat luas;
4. Masih belum ada ketegasan mengenai perbedaan antara fungsi eksekutif, yudikatif, dan
legislatif;
5. Kesadaran dan tanggungjawab berbangsa dan bernegara dalam menghasilkan produk
peraturan perundang-undangan, dan menegakkan hukum masih lemah; kelemahan
tersebut muncul sebagai mata rantai dari kelemahan-kelemahan di bidang pembangunan
sosial, budaya, dan politik yang telah dilaksanakan selama ini semenjak Republik
Indonesia berdiri.
18
“Pembenahan Sistem dan Politik Hukum”, www.bappenas.go.id/get-file-server/ node/152/ (12 Juli
2012).
19
Varia Peradilan No. 122 Tahun 1999, hlm. 146
20
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan (Hukum Bandung: Mandar
Maju, 2001), hlm. 11-12.

7
Dalam konteks ini sistem hukum nasional sebagai suatu himpunan bagian hukum atau
subsistem hukum yang saling berkaitan yang membentuk satu keseluruhan yang rumit atau
kompleks tetapi merupakan satu kesatuan.21 Menurut Achmad Ali, sebagaimana mengutip
pendapat Lawrence M. Friedmann, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure),
substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).22 Sehingga ketika
berbicara pembaharuan sistem peradilan pidana dalam kajian legal policy, tidak hanya
kebijakan undang-undang, namun juga kebijakan yang berkaitan dengan struktur dan budaya
hukum yang berkembang baik secara struktural maupun di masyarakat.
Sebenarnya, pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP.
Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif daripada sekadar mengganti KUHP.
Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur, dan materi
hukum. Sedangkan pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana.23
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa tidak ada artinya hukum pidana (KUHP)
diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu
hukum pidananya. Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus
disertai pula dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya
(legal/criminal science reform). Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya
hukum masyarakat (legal culturereform) dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya
(legal structure reform).24 Sedangkan menurut Sudarto, pembaharuan hukum pidana yang
menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal
dan hukum pelaksanaan pidana.25
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka pembahasan terhadap wacana
pembaharuan hukum (legal reform) khususnya pada hukum pidana, tidak mungkin dipisah-
pisahkan antara hukum pidana materiil dengan hukum pidana formiil. Dengan demikian, baik
KUHP maupun KUHAP, merupakan satu kesatuan sistem hukum pidana yang saling terkait.
Oleh karena itu, penentuan sistem hukum pidana sangat tergantung pula dengan pandangan
terhadap kajian politik hukum pidana yang dimiliki oleh kekuasaan legislatif di Indonesia.

21
KusnuGoesniadhie, Harmonisasi Hukum dalam Perspektif Perundang-Undangan (Lex Spesialis Suatu
Masalah), (Surabaya: JP Books, 2006), hlm. 72.
22
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2005), hlm. 1.
23
Ahmad Bahiej, “Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. (Telaah atas Rancangan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Indonesia)", Makalah disampaikan pada kajian rutin Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH)
Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (29 Desember 2003).
24
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 133
25
Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta,1986), hlm. 27.
8
Adapun kaitan antara politik hukum dengan pembentukan sistem hukum telah
dijelaskan oleh E. Utrecht, yang mengatakan bahwa perlu juga dikemukakan bahwa sering
pula pelajaran hukum umum, sebagai ilmu hukum positif, membuat penilaian (waarde-
oordelen) tentang kaidah-kaidah hukum dan sistem hukum yang telah diselidikinya dan,
selanjutnya menentukan hukum yang seharusnya berlaku (ius constituendum). Menentukan
ius constituendum ini pada pokoknya suatu perbuatan politik hukum.26 Selanjutnya, tambah E.
Utrecht, karena hukum juga menjadi obyek politik, yaitu politik hukum. Maka, politik hukum
berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia
bertindak. Politik hukum, tambah E. Utrecht lagi, menyelidiki perubahan-perubahan apa
yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan sociale
werkelijkheid.27
Tidak berbeda jauh dengan pendapat E. Utrecht, Teuku Mohammad Radhie
mengatakan bahwa politik hukum merupakan pernyataan kehendak penguasa negara
mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah kemana hukum hendak
dikembangkan.28 Terkait dengan pandangan Teuku Mohammad Radhie tersebut, Moh.
Mahfud MD mengatakan bahwa definisi yang dikemukakan Teuku Mohammad Radhie
mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara pada saat ini dan ius
constituendum atau hukum yang akan atau seharusnya diberlakukan di masa mendatang. 29
Perwujudan dari pandangan politik hukum yang kemudian membentuk suatu sistem hukum
tertentu, pada akhirnya oleh lembaga yang memiliki otoritas dituangkan ke dalam peraturan
perundangundangan. Peraturan perundang-undangan ditujukan pada perilaku. Pada umumnya,
semua peraturan mengekspresikan adanya keputusan kolektif, bahwa masyarakat atau unsur
yang berkuasa menghendaki agar perilaku mengarah pada tujuan tertentu.30
Dari pendapat-pendapat tersebut, diketahui bahwa politik hukum dan sistem hukum
memiliki keterkaitan yang sangat erat. Wawasan mengenai pandangan terhadap politik hukum
akan menentukan sistem hukum yang akan digunakan pada sebuah negara. Namun demikian,
layaknya istilah hukum maka istilah politik hukum pun, oleh para ahli hukum, banyak
memiliki ketidakseragaman dalam menjabarkan pengertian-pengertiannya, yang oleh LJ Van

26
E. Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Ikhtiar, 1961),
hlm. 124
27
Ibid., hlm. 125.
28
SF. Marbun et.all, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UI Press, 2001), hlm. 162.
29
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta, LP3ES, 2006),
hlm. 13.
30
Lawrence M. Friedmann, The Legal System.......... Op.cit, hlm. 50.

9
Apeldorn dianggap sebagai suatu kewajaran, dikarenakan perbedaan sudut pandang dalam
menginterpretasikan suatu istilah.
Sebagai akibat dari pengaruh hubungan-hubungan hukum yang telah terjadi secara
meluas, bahkan melewati batas-batas negara, atau lebih dikenal dengan istilah globalisasi,
pengaruh filsafat hukum dalam membentuk politik hukum dan sistem hukum suatu negara,
dapat pula dikatakan sebagai salah satu unsur yang memengaruhi pola pikir dalam
pembentukan hukum. Sebagaimana dijelaskan oleh CFG.Sunaryati Hartono bahwa terdapat
filsafah-filsafah hukum yang memengaruhi pembangunan hukum nasional baik masa lalu
maupun masa saat ini.31
Pengaruh yang paling nyata dari keterlibatan filsafat hukum adalah selalu berkaitan
dengan pembentukan hukum itu sendiri. Salah satu pemikiran yang sering menjadi
pembahasan cukup menarik adalah, apakah dalam pembentukan hukum menggunakan sistem
terbuka, di mana masyarakat memiliki andil untuk terlibat, ataukah tidak?
Pemikiran tentang hukum dan keterlibatan masyarakat dalam pembentukan hukum
terbagi menjadi dua kelompok mazhab, yang satu dengan lainnya saling bertentangan.
Kelompok pertama mencoba memisahkan hukum dari anasir moral, etik, sosial, dan politik
dengan kekuasaan pembentuknya, yaitu lembaga pembentuk undang-undang (legislatif).
Pemikiran ini berada di bawah naungan Mazhab Positivisme Hukum. Sedangkan, kelompok
kedua mendefinisikan hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
berkembang dalam masyarakat, dan kekuasaan membentuknya berada di tangan rakyat.
Pemikiran ini diwakili oleh Mazhab Sejarah Hukum dan Sociological Jurisprudence.32
Perlu diingatkan pula bahwa banyak aliran-aliran (madzab) di dalam filsafat (ilmu)
hukum, antara lain:33
1. Aliran Hukum Alam. Aliran ini memiliki konsepsi bahwa hukum itu berlaku universal dan
abadi. Beberapa tokoh aliran ini, antara lain: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, dan
Grotius.
2. Aliran Positivisme Hukum. Aliran ini memiliki konsepsi hukum bahwa hukum merupakan
perintah dari penguasa berdaulat (Jhon Austin) dan merupakan kehendak dari pada
Negara (Hans Kelsen).
31
CFG. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni,
1991), hlm. 52.
32
Veri Junaidi, Khoirunnisa Agustyati, dan Ibnu Setyo Hastomo, Politik Hukum Sistem Pemilu: Potret
Keterbukaan dan Partisipasi Publik dalam Penyusunan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD, (Jakarta: Yayasan Perludem, 2013), hlm. 24.
33
Sudjito, “Pancasila Sebagai Dasar Filsafat dan Paradigma Ilmu Hukum”, Makalah dipresentasikan pada
Konferensi Nasional ke-3 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), dengan tema: Melampaui Perdebatan
Positivisme Hukum dan Teori Hukum Kodrat, yang diselenggarakan oleh AFHI dan EpistemaInstitute bekerja
sama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, (27-28 Agustus 2013), hlm. 3.

10
3. Mahzab Sejarah (historical jurisprudence), yaitu aliran hukum yang berpendapat bahwa
hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan
masyarakat. Tokoh yang cukup kesohor adalah: CarlvonSavigny, Brian Z. Tamanaha.
4. Aliran Sociological Jurisprudence, yaitu aliran hukum yang menghendaki agar hukum
yang dibuat Negara senantiasa memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau
livinglaw baik tertulis maupun tidak tertulis. Tokohnya antara lain: EugenEhrlich, Van
Vollenhoven.
5. Aliran Pragmatic Legal Realism, yaitu aliran hukum yang berpendirian hukum dapat
berperan sebagai alat pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering).
Tokoh: Roscoe Pound.
6. Aliran MarxisYurisprudence, yaitu aliran yang memiliki konsep bahwa hukum harus
memberikan perlindungan terhadap golongan proletar atau golongan ekonomi lemah.
Tokoh: Lenin, Bernstein, Gramsci, Horkheimer, HebertMarcuse.
7. Aliran Anthropological Jurisprudence, yaitu aliran pemikiran bahwa hukum merupakan
cermin nilai sosial budaya (ditokohi:Northrop), dan hukum wajib mengandung sistem
nilai (ditokohi:MacDougall).
8. Aliran Utilitarianism, yaitu aliran yang memiliki konsep bahwa hukum memberikan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi orang sebanyak-banyaknya (the greatest
happines for the greatest number). Tokoh aliran ini adalah Jeremy Bentham
Sedangkan yang terjadi di Indonesia termasuk cukup unik jika dicermati secara
mendalam. Bahwa pembentukkan konstitusi Republik Indonesia sangat dipengaruhi atau
sangat kental nuansa Sociological Jurisprudence, sebagaimana diwakili dengan keberadaan
Pasal 33 UUD NRI 1945.34 Namun, peraturan perundang-undangan turunannya, lebih banyak
dipengaruhi oleh Mahzab Positivisme Hukum dan ajaran Legisme, seiring dengan
pentransferan ilmu hukum dari Belanda ke ahli-ahli hukum di Indonesia. Walaupun terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan yang masih mengakui adanya nuansa hukum adat,

34
Pasal 33 UUD NRI 1945:
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4.Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan,
kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Per. Ke-4).
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang (Per. Ke-4).

11
sebagai bentuk pengakuan dari negara kepada masyarakat adat di Indonesia, misalnya di
dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang di dalam Penjelasan Pasal II Angka 3
ditemukan istilah recognitie35. Namun penerapannya tetap mengejawantahkan pemikiran
secara positivistik.
Perkembangan pemikiran hukum di Indonesia, banyak dipengaruhi oleh tradisi hukum
Eropa Kontinental atau civil law - yang masuk melalui kolonial Belanda- berkembang di
bawah bayangbayang paradigma positivisme yang menjadi paradigma mainstream di tanah
asalnya Eropa Kontinental. Paradigma ini pada dasarnya berasal dari filsafat positivisme yang
dikembangkan August Comte, yang kemudian dikembangkan di bidang hukum. Paradigma
positivisme memandang hukum sebagai hasil positivisasi dari norma-norma yang telah
dirundingkan di antara warga masyarakat, sebagai sistem aturan yang bersifat otonom dan
netral.36
Positivisme sebagai teori yang bertujuan untuk penyusunan fakta-fakta yang teramati.
Sehingga August Comte menolak sama sekali metafisika dan bentuk pengetahuan lain,
seperti moral, etika, teologi, seni yang melampaui fenomena teramati. Sebagai sebuah
paradigma, Positivisme pada dasarnya berasal dari aliran filsafat yang meminjam pandangan,
metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas (saintisme). Sehingga, akibatnya bagi
ilmu hukum yaitu dibebaskan dari hermeneutika dan diharuskan mengikuti cara kerja
(metode) kuantitatif ilmu pasti. Oleh karena itu, penganut aliran ini sangat mengagungkan
kepastian hukum.37
Demi tujuan kepastian hukum, Positivisme Hukum mengistirahatkan filsafat dari kerja
spekulasinya dan mengidentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan. Hanya
dengan mengindetifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan, kepastian hukum
akan diperoleh karena orang tahu dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya.

35
Yance Arzona, Antara Teks dan Konteks, Dinamika Pengakuan Hukum terhadap Hak Masyarakat Adat
Atas Sumber Daya Alam di Indonesia, (Jakarta: HUMA, 2010), hlm. 5.; Dalam UUPA, recognitie digunakan
untuk menjelaskan hak yang akan diberikan kepada masyarakat adat yang tanahnya akan digunakan untuk
keperluan pembangunan. Istilah recognitie yang dipakai dalam UUPA sebenarnya merupakan istilah yang
diadopsi dari hukum adat. Dalam hukum adat, istilah ini dipakai apabila ada orang yang bukan anggota
persekutuan adat tertentu hendak menggunakan tanah ulayat, maka orang tersebut diperbolehkan untuk
menggunakan tanah tersebut sampai tujuannya tercapai, hanya apabila ia memberikan sesuatu.
36
Khudzaifah Dimyati, "Dominasi Pemikiran Hukum Positivistik: Otokritik dan Otensitas dan
Kemiskinan Ke-Indonesia-an", Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional ke-3 Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia (AFHI), dengan tema: Melampaui Perdebatan Positivisme Hukum dan Teori Hukum Kodrat,
yang diselenggarakan oleh AFHI dan EpistemaInstitute bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, (27-28 Agustus 2013), hlm. 1.
37
Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap Paradigma Positivisme Hukum, (Yogyakarta: Genta Publishing,
2011), hlm. 14.

12
Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, melainkan karena telah ditetapkan oleh
penguasa yang sah.38
Hal tersebutlah yang kemudian membuat Indonesia tidak memiliki jati diri yang jelas
terkait hukum, sehingga banyak sekali terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang,
selain tumpang tindih, justru memunculkan rasa ketidakadilan bagi masyarakat. Hukum hanya
dipahami sebagai sarana atau alat untuk mengatur masyarakat, sedangkan bermakna terbalik
ketika bersinggungan dengan institusi pemerintahan. Jika dikaitkan dengan upaya
pembangunan nasional adalah tercapainya kualitas kehidupan masyarakat adil dan makmur.
Pencapaian kualitas kehidupan masyarakat adil dan makmur yang diupayakan oleh
pemerintah Indonesia melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan/berkelanjutan
(sustainable development) termasuk pembangunan hukum nasional yang oleh pemerintah
Indonesia diprogramkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) ada dalam
Visi dan Misi Program Legislasi Nasional Tahun 20052009 (Keputusan DPR-RI No.01/DPR
RI/III/2004-2005) - selanjutnya digunakan kata Prolegnas, sebagai berikut:
Pembangunan hukum nasional merupakan bagian dari sistem pembangunan nasional
yang bertujuan mewujudkan tujuan negara untuk melindungi segenap rakyat dan
bangsa, serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, melalui suatu sistem
hukum nasional. Program pembangunan hukum perlu menjadi prioritas utama karena
perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
memiliki implikasi yang luas dan mendasar dalam sistem ketatanegaran yang perlu
diikuti dengan perubahan-perubahan di bidang hukum/penataan sistem hukum.

Padmo Wahyono menjelaskan bahwa pembangunan hukum nasional dimaksudkan


untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian, pelaksanaan keseluruhan kegiatan
kenegaraan dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu (1) Penyelenggaraan kehidupan
negara; dan (2). Penyelenggaraan kehidupan sosial. Bidang penyelenggaraan negara ialah
bidang yang bersangkut paut dengan kelangsungan hidup organisasi negara, meliputi
pembentukan mekanisme perundang-undangan sebagai kelanjutan dari hukum dasar tertulis
dan tidak tertulis, menyelidiki pasal-pasalnya, penerapannya, suasana kebatinannya,
perumusan teks perundang-undangan, suasana terciptanya teks perundang-undangan tersebut,
dan keterangan-keterangan berkaitan proses pembentukannya; kesemuanya berkaitan dengan
pengaturan yang terdapat di dalam konstitusi mengenai organisasi kenegaraan. Dalam bidang
38
Ibid., hlm. 27-28
13
ini, menurut Padmo Wahyono, perlu dicatat beberapa tahap pelaksanaan ketentuanketentuan
mengenai organisasi negara yang dipengaruhi oleh keadaan dan waktu.39 Sedangkan terkait
bidang penyelenggaraan kesejahteraan sosial, maka penyelenggaraan kehidupan negara lebih
menentukan hal wahana yang memadai untuk mencapai tujuan bernegara, maka
penyelenggaraan kehidupan sosial menentukan dan membentuk tingkat-tingkat perekonomian
guna mencapai tujuan bernegara yang pada dasarnya bersifat dinamis. Bidang ini merupakan
tahapan fungsional dari mekanisme garis-garis besar daripada haluan negara.40
Jika mencermati uraian tersebut maka sebenarnya tampak jelas adanya korelasi sistemik
antara pembangunan nasional dengan pembangunan sistem hukum nasional dalam pencapaian
tujuan nasional, yaitu kesejahteraan dan perlindungan masyarakat dan secara global ikut serta
dalam upaya melaksanakan ketertiban dunia. Landasan pencapaiannya tidak dapat dipisah-
lepaskan dengan citacita Proklamasi Kemerdekaan dan Undang-undang Dasar 1945. Dengan
demikian, perkembangan dan perubahan paradigma berpikir yang memengaruhi pembentukan
sistem hukum nasional memiliki ketergantungan kepada tingkat kecerdasan dari suatu bangsa
itu sendiri serta bergantung pula kepada berkembangnya aliran-aliran yang muncul di dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dilihat dari aspek pengembangan ilmu hukum pidana, ada sesuatu yang dirasakan
kurang memuaskan, memprihatinkan, atau setidaktidaknya ada sesuatu yang selayaknya patut
diwaspadai dari penyajian Ilmu Hukum Pidana (IHP) positif selama ini. Menurut Barda
Nawawi Arief, Ilmu Hukum Pidana positif yang berlaku saat ini masih berorientasi pada
KUHP. Walaupun diajarkan juga hukum pidana khusus di luar KUHP, namun prinsip-prinsip
umumnya terkait juga dengan aturan/ajaran umum yang terdapat di dalam KUHP sebagai
induk dari hukum pidana positif di Indonesia. 41 Jika kita kaitkan dengan pandangan dari
Padmo Wahyono di atas, maka adalah tidak logis manakala KUHP yang merupakan produk
kolonial selalu dipertahankan keberadaannya. Secara jelas dan tegas kita dapat
mengklasifikasikan KUHP tersebut ke dalam perumusan perundang-undangan pada bidang
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Pencabutan/penggantian peraturan (lama) demi memperlancar pembangunan, masih
menurut Padmo Wahyono, memang sudah sewajarnya harus dilaksanakan mengingat adanya
peraturanperaturan dari zaman pra-kemerdekaan yang memuat falsafah dasarnya berbeda,

39
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan......... Loc.cit.
40
Ibid., hlm. 18
41
Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi
Baru Hukum Pidana Indonesia)", Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru
Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, (Semarang, 25 Juni 1994), hlm. 6.

14
walaupun secara teknis yuridis mungkin memadai. Penggunaan teori yang lebih modern dan
demokratis untuk dapat melaksanakan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum
merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan agar tidak menimbulkan kesan bahwa yang
lama masih lebih baik secara teknis yuridis.42
Nilai-nilai (values) yang termuat di dalam KUHP yang saat ini berlaku di Indonesia
mengacu pada nilai-nilai (values) yang bersifat individualistik yang terkandung di dalam
KUHP. Hal tersebut merupakan suatu kewajaran, dikarenakan KUHP yang diterapkan
berdasarkan asas konkordansi tersebut, mengacu pada suatu sistem hukum yang
mengagungkan paham individualisme; yang pada dasarnya merupakan pertentangan nilai
(value) yang dikandung di dalam Pancasila, yaitu nilai-nilai kenyataan (socio politik, socio
ekonomi dan socio budaya) yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.
Dengan demikian, usaha pembaharuan hukum Indonesia, khususnya sistem hukum
pidana, pada dasarnya adalah merupakan upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan
terhadap tata hukum nasional yang telah ada berdasarkan kepada jiwa dan kepribadian bangsa
Indonesia.

B. Ruang Lingkup Pembahasan


Pembangunan hukum nasional, khususnya hukum pidana, baik yang bersifat materiil
maupun formiil selalu berjalan melalui dua bentuk, yang akan selalu secara intens saling
berkaitan yaitu pembentukan kebijakan dan penegakan hukum. Dalam buku ini saya
berkonsentrasi pada pembentukan kebijakan yang biasa dikenal dengan politik hukum, serta
bekerjanya suatu atau beberapa kebijakan yang biasa disebut sistem hukum, dengan
melibatkan komponen dan subkomponen dari sebuah Sistem Peradilan Pidana.
Kajian yang selalu dan sering muncul ke publik selalu dikaitkan dengan bekerjanya
komponen dan sub-komponen di dalam proses penegakan hukum. Bahwa perlu dipahami
proses bekerjanya komponen dan sub-komponen dari Sistem Peradilan Pidana selalu
dilandaskan kepada dalil-dalil yuridis. Hal tersebut mengandung makna bahwa perundang-
undangan pidana dan peraturan yang terkait merupakan dasar hukum terciptanya suatu sistem
yang bergerak dalam ranah Hukum Pidana, sebagaimana ditetapkan dalam Asas Legalitas.
Dengan demikian, merupakan suatu notoire feiten bahwa DPR merupakan alat kelengkapan
negara yang memiliki kekuasaan legislatif dengan fungsi legislasi dalam membentuk suatu
Sistem Peradilan Pidana yang baik. Nilai akademis yang terkandung di dalam suatu

42
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan ..Op.cit., hlm. 19.

15
perundang-undangan pidana dan yang terkait menjadi suatu pertaruhan atas pemahaman yang
baik dari politik hukum terhadap Hukum Pidana oleh setiap legislator.
Pemahaman mengenai politik hukum sebagai suatu ilmu yang dimiliki oleh legislator
turut pula dipengaruhi oleh faktor objektif terhadap konsep Negara Hukum yang hendak
dikembangkan. Pemahaman yang terhadap politik hukum dan konsep Negara Hukum
bukanlah suatu hal yang bersifat superior satu dengan yang lainnya. Konsep Negara Hukum
dan Politik Hukum merupakan kedwitunggalan yang tidak dapat dipisahkan agar memperoleh
pengetahuan yang utuh dalam mengekstraksi philosofische grondslag dari Bangsa Indonesia.
Desakan akan kebutuhan terhadap suatu perundang-undangan yang berkualitas menjadi suatu
isu utama semenjak masa reformasi; ditandai dengan bergesernya hegemoni dari eksekutif
dalam mengajukan rancangan perundang-undangan kepada legislatif dengan mengemban
fungsi legislasinya.
Berkaitan dengan hal tersebut, saya menampilkan gambaran secara utuh yang menjadi
faktor-faktor yang memengaruhi, selain yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal,
terbentuknya faktor objektif dari legislator-legislator tersebut. Salah satu faktor tersebut
misalnya perbedaan pemahaman terhadap suatu konsep Ilmu Hukum yang dibawa oleh
sarjana-sarjana hukum yang menuntut Ilmu Hukum baik yang mengacu kepada konsep
common law maupun konsep civil law, serta munculnya kelompok status quo yang dengan
pertimbangan akan tercipta rechtsvacuum jika terjadi perubahan yang mendasar. Oleh karena
itu, saya mencoba memberikan suatu gambaran permasalahan yang dapat merangkum semua
permasalahan yang ada, yaitu, "Apakah yang seharusnya melandasi pembentukan politik
hukum pidana dan sistem hukum pidana di Indonesia?"
Berdasarkan permasalahan pokok tersebut, saya berharap mampu menampilkan
gambaran secara utuh mengenai pembentukan politik hukum pidana dan sistem hukum pidana
di Indonesia. Selain itu, mengacu pada pandangan yang telah saya paparkan dalam buku
Sistem Peradilan Pidana: Suatu Pengantar, komponen dari Sistem Peradilan Pidana dibagi
menjadi tiga bagian yaitu unsur primer, unsur sekunder, dan unsur tersier. Pada unsur primer
terdapat pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki kewajiban
dalam membentuk politik hukum pidana yakni menghasilkan suatu sistem hukum pidana
dalam bentuk hukum dan peraturan perundangundangan pidana.
Pemahaman terhadap jiwa dan kepribadian bangsa sebagai pandangan hidup secara utuh
menjadi sangat menentukan arah pembentukan Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum
Pidana yang berujung pada tiga aspek yaitu keterukuran suatu perbuatan yang diklasifikasikan
sebagai tindak pidana, keterukuran sanksi pidana yang diancamkan dan keterukuran
penerapan hukum pidana. Dengan demikian, pembahasan dalam buku ini diarahkan pada
16
peranan pemerintah bersama DPR dalam membentuk Politik Hukum Pidana dan Sistem
Hukum Pidana dan pembahasan yang berkaitan dengan filsafat pemidanaan yang didasarkan
pada Proklamasi, Pancasila, dan UUD NRI 1945.

17
Bab 2
POLITIK HUKUM PIDANA

A. Pengertian dan Konsep Politik Hukum


Pemahaman terhadap suatu terminologi tidaklah dapat hanya sekedar menghafal dari
pengertian atau definisi yang diberikan oleh para ahli, namun memerlukan pula suatu proses
memahami terhadap pendekatan yang digunakan dalam memberikan pemaknaan terhadap
terminologi tersebut. Oleh karena itulah, guna memahami makna dari 'politik hukum',
menurut Otong Rosadi dan Andi Desmon, terdapat dua model pendekatan, yaitu:43
1. Politik hukum dapat dipahami dengan pendekatan memberikan masing-masing pengertian
kata “politik” dan “hukum" (divergen) lalu menggabungkan kedua istilah itu
(konvergen); dan
2. Pendekatan yang langsung mengartikan dalam satu napas (satu kesatuan) sebagai satu frase
yang mempunyai pengertian yang utuh.
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari
istilah hukum Belanda yaitu rechtspolitiek, namun hendaknya jangan dirancukan dengan
istilah yang muncul terkahir yaitu politiekrecht. Karena keduanya menurut Hence van
Maarseveen memiliki makna yang berbeda.44
Politik hukum adalah bidang kajian yang mendapat perhatian serius dalam beberapa
dekade terakhir. F. Sugeng Istanto berpendapat bahwa sebagai akibat dari kenyataan bahwa
hingga kini belum terdapat kesepakatan tentang sasaran pokok bahasan politik hukum maka
dapatlah dimengerti bahwa hingga kini belum terdapat pula kesamaan pengertian politik
hukum yang dianut dan dikembangkan oleh berbagai program studi setelah sarjana ilmu
hukum.45
Tidak jauh berbeda dengan pengertian hukum, sampai sejauh ini belum ada pula
keseragaman tentang pengertian politik hukum. Dalam pandangan F. Sugeng Istanto, akibat
belum terdapat kesepakatan tentang sasaran pokok bahasan politik hukum, maka hingga kini
belum terdapat pula kesamaan pengertian politik hukum. 46 Terlepas dari masalah kesepakatan

43
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Studi Politik Hukum. Suatu Optik Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Thafa
Media, 2013), hlm. 3.
44
Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 19
45
F. Sugeng Istanto, “Politik Hukum”. Bahan Kuliah, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2004),
hlm. 3
46
Ibid.

18
sasaran dan belum adanya keseragaman pengertian, sejauh yang dapat ditelusuri, tambah F.
Sugeng Istanto, Politik Hukum telah diperkenalkan di Indonesia oleh Lemaire dalam
bukunya Het Recht in Indonesie pada tahun 1952.47 Dengan diperkenalkannya politik hukum
maka muncul beragam pendapat yang mencoba menjelaskan makna politik hukum. Salah satu
literatur klasik dalam perkembangan ilmu hukum Indonesia yang mengemukakan pengertian
politik hukum adalah E. Utrecht dalam bukunya Pengantar dalam Hukum Indonesia. Pada
Bab I Bagian 13 (Par. 13), tentang Ilmu Hukum Positif, Politik Hukum, dan Filsafat Hukum,
E. Utrecht mengemukakan:48
Perlu juga dikemukakan bahwa sering pula pelajaran hukum umum, sebagai ilmu
hukum positif, membuat penilaian (waarde-oordelen) tentang kaidah-kaidah hukum dan
sistem hukum yang telah diselidikinya dan, selanjutnya menentukan hukum yang
seharusnya berlaku (iusconstituendum). Menentukan iusconstituendum ini pada
pokoknya suatu perbuatan politik hukum...
Selanjutnya, tambah E. Utrecht, karena hukum juga menjadi obyek politik, yaitu politik
hukum maka politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan
bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik hukum, tambah Utrecht lagi, menyelidiki
perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya
menjadi sesuai dengan sociale werkelijkheid.49
Teuku Mohammad Radhie mengatakan bahwa politik hukum merupakan pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah
ke mana hukum hendak dikembangkan50. Hampir senada dengan makna yang diungkapkan
oleh Teuku Mohammad Radhie tersebut, makna yang diberikan sangat mendekati dengan
makna dari istilah “politik”, politik pada umumnya merupakan upaya untuk mendamaikan
pandanganpandangan yang bertentangan agar sampai kepada keputusan kolektif tentang apa
yang seharusnya dilakukan.51
Sedangkan makna politik hukum berdasarkan pendapat Padmo Wahyono yakni, “Politik
Hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan
dibentuk."52 Lebih lanjut, Padmo Wahyono menjelaskan bahwa politik hukum itu berkenaan
dengan sesuatu yang akan diwujudkan, akan tetapi berdasarkan sesuatu; dan sesuatu ini

47
Ibid.
48
E. Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, Op.cit, hlm. 124.
49
Ibid., hlm. 124-125.
50
SF. Marbun et.all. Op.cit, hlm. 162.
51
lanAdams, Ideologi Politik Mutakhir. Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, (diterjemahkan
oleh: Ali Noerzaman), (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2004), hlm. 5.
52
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan ..Op.cit., hlm. 160
19
merupakan landasan berpijak hukum yang akan dibuat. Dalam bahasa latin, hukum yang akan
dibentuk/dibuat ini dinamakan ius constituendum.53
Terkait dengan pandangan Teuku Mohamad Radhie tersebut, Moh. Mahfud MD dalam
bukunya Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi mengatakan bahwa definisi
yang dikemukakan Teuku Mohammad Radhie mencakup iusconstitutum atau hukum yang
berlaku di wilayah negara pada saat ini dan iusconstituendum atau hukum yang akan atau
seharusnya diberlakukan di masa mendatang.54
Sementara itu, Sudarto mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan negara melalui
badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.55
Menurut Moh Mahfud MD, Politik Hukum merupakan arah kebijakan hukum yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian
tentang bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan
yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu, 56 dalam rangka mencapai tujuan
negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksud untuk mencapai tujuan negara seperti yang
tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.57
Di dalam buku Ilmu Hukum, sosiolog hukum Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik
hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk menjadi suatu tujuan
sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Terkait dengan studi politik hukum, menurut
Satjipto Rahardjo muncul beberapa pertanyaan mendasar yaitu:58
1. Tujuan apa yang dicapai melalui sistem yang ada,
2. Cara-cara apa dan yang mana yang dirasakan paling baik untuk dipakai dalam mencapai
tujuan tersebut,
3. Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah,
4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa membantu kita
memutuskan.
Perumusan definisi dan makna Politik Hukum oleh Satjipto Rahardjo tersebut rasanya
telah dirangkumkan dan satu kalimat yang cukup abstrak dari Otong Rosadi dan Andi
53
Ibid., hlm. 126.
54
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum ...Op.cit, hlm, 1
55
lbid., hlm. 14
56
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo, 2012), hlm. 9.
57
Ibid, hlm. 1.
58
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 398-399.
20
Desmon yang menegaskan bahwa Politik Hukum adalah proses pembentukan dan
pelaksanaan sistem atau tatanan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dalam negara
secara nasional.59
Sementara itu, Kotan Y. Stefanus mengatakan bahwa politik hukum pada prinsipnya
berarti kebijaksanaan negara mengenai hukum yang ideal (yang dicita-citakan) pada masa
mendatang dan mewujudkan ketentuan hukum yang ada pada saat ini. Kesamaan makna
politik hukum dalam kedua dimensi pandangan tersebut terletak pada penekanan terhadap
hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) dan hukum yang ada pada saat ini (ius
constitutum).60
Pandangan dari Satjipto Rahardjo tersebut searah terbalik dengan ungkapan dari
Abdul Hakim Nusantara yang mendefinisikan politik hukum sebagai legal policy atau
kebijakan hukum yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan negara tertentu yang meliputi: (1). Pelaksanaan secara konsisten ketentuan
hukum yang telah ada, (2). Pembangunan hukum yang berintikan pembaruan atas hukum
yang telah ada dan pembuatan hukum-hukum baru, (3). Penegasan fungsi lembaga penegak
hukum serta pembinaan anggotanya, dan (4). Peningkatan kesadaran hukum masyarakat
menurut persepsi elite pengambil kebijakan.61 Dari pengertian-pengertian di atas, dapat
dikatakan bahwa tidak ada negara tanpa politik hukum. Menurut Bagir Manan, dalam suatu
negara ada politik hukum yang bersifat tetap (permanen) dan ada yang temporer. Politik
hukum yang bersifat tetap, berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar
kebijakan pembentukan dan penegakan hukum. Sementara politik hukum yang bersifat
temporer merupakan kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan
kebutuhan.62
Dari keseluruhan pandangan mengenai makna Politik Hukum, Moh. Mahfud MD
membuat rumusan sederhana bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang
dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka
mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik hukum merupakan
upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapain tujuan negara. Oleh karena itu, pijakan

59
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Op.cit., hlm. 5.
60
18 Kotan Y. Stefanus, Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara (Dimensi Pendekatan Politik
Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945), (Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya, 1998), hlm. 12.
61
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum ...Op.cit, hlm. 15
62
Bagir Manan, Hukum dan politik Indonesia; Tinjauan Analisis Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 144. 20

21
dasar dari politik hukum adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum
nasional yang harus dibangun dengan pilihan, isi, dan cara cara tertentu.63
Berkenaan dengan pandangan terhadap politik hukum yang merupakan kebijaksanaan
pembentukan peraturan perundangundangan (legislation), Hikmahanto Juwana mengatakan
bahwa peraturan perundang-undangan tidak mungkin muncul secara tibatiba. Peraturan
perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Tujuan dan alasan dibentuknya
peraturan perundangundangan dapat beraneka ragam. Berbagai tujuan dan alasan dari
dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan disebut sebagai politik hukum (legal
policy).64
Sebagai bagian dari Politik Hukum, kajian terhadap Peraturan perundang-undangan
merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, pembahasan
antara keduanya, politik peraturan perundang-undangan dan politik hukum, pada
hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Istilah politik hukum atau politik
perundangundangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan
perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan
perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga
politik (politic body).

Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, tambah Hikmahanto Juwana, politik


hukum sangat penting, paling tidak, untuk dua hal, pertama, sebagai alasan mengapa
diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan. Kedua, untuk menentukan apa
yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal
itu penting karena keberadaan peratuan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan
'jembatan' antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan dari politik hukum
tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan. Hal ini mengingat antara
pelaksanaan peraturan perundang-undangan harus terdapat konsistensi dan korelasi yang erat
dengan apa yang ditetapkan sebagai politik hukum.65Berkaitan dengan pernyataan oleh
Hikmahanto Juwana tersebut, Andi Hamzah menyampaikan bahwa Politik Hukum dalam
pengertian formal merupakan kegiatan yang hanya terdiri dari satu tahap saja yaitu penuangan
kebijakan pemerintah dalam bentuk produk hukum atau disebut legislative drafting,
sedangkan dalam pengertian materiil, politik hukum mencakup legislative drafting, legal
executing, dan legal review.66 Demikian pula pandangan dari Sri Soemantri yang

63
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum ........Op.cit, hlm. 15-16.
64
Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia", Jurnal Hukum
Vol. 01, No. 1, 2005, hlm. 1
65
Ibid.

66
Al. Wisnusubroto& G. Widiartana, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2005), hlm. 10.
22
menegaskan bahwa selain politik hukum, dikenal pula politik perundang-undangan. Namun
menurut Beliau, politik perundangundangan merupakan bagian dari politik hukum.67 Istilah
politik hukum perundang-undangan ini dipergunakan karena terkait erat dengan arti luas
konstitusi yang mencakup semua peraturan perundang-undangan dalam organisasi
pemerintahan negara untuk mencapai tujuan negara.68
Berdasarkan penjabaran pengertian dan konsep makna dari Politik Hukum di atas,
Otong Rosadi dan Andi Desmon mencoba merumuskan ruang lingkup dari Politik Hukum
sebagai berikut:69
Sebagai suatu kesatuan frase yang mempunyai pengertian yang utuh, frase politik
hukum mengandung makna yang lebih luas dari kebijaksanaan hukum, pembentukan
hukum, dan penegakan hukum. Artinya, sebagai suatu frase, pengertian politik hukum
merupakan keseluruhan aktivitas sebagaimana dimaksud di atas.

Hal yang sama diungkapkan pula, terlebih dahulu, oleh Bagir Manan. Berdasarkan sifat
dari Politik Hukum, Bagir Manan membagi politik hukum menjadi dua lingkup utama, yaitu
politik pembentukan hukum dan politik penegakan hukum. 70 Dalam hal politik pembentukan
hukum, Bagir Manan mengatakan:71
Politik pembentukan hukum adalah kebijaksanaan yang bersangkutan dengan
penciptaan, pembaharuan, dan pengembangan hukum. Politik pembentukan hukum
mencakup kebijaksanaan (pembentukan) perundang-undangan; kebijaksanaan
(pembentukan) hukum yurisprudensi atau putusan hakim; dan kebijaksanaan terhadap
peraturan tidak tertulis lainnya.

Sedangkan politik penegakan hukum, menurut Bagir Manan, merupakan kebijaksanaan


yang berkaitan dengan kebijaksanaan di bidang peradilan dan kebijaksanaan di bidang
pelayanan hukum.72
Adapun Moh. Mahfud MD, membagi ruang lingkup Politik Hukum menjadi tiga yaitu
(1) Kebijakan negara (garis resmi) mengenai keputusan untuk memberlakukan atau untuk
tidak memberlakukan dalam rangka mencapai tujuan bernegara; (2) Latar belakang politik,

67
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia. Pemikiran dan Pandangan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014), hlm. 130-131.
68
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 58.
69
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Op. cit, hlm. 3.
70
Bagir Manan, Hukum dan politik Indonesia...... Loc.cit.
71
lbid.
72
lbid
23
ekonomi, sosial, dan budaya atas lahirnya suatu produk hukum; dan (3). Penegakan hukum di
dalam kenyataan lapangan.73
Berdasarkan berbagai pendefinisian dari “politik hukum” pada prinsipnya selain
memuat makna, pada asasinya memuat pula tujuan dan ruang lingkup dari Politik Hukum itu
sendiri. Politik hukum telah disepakati sebagai dasar pembentukan sistem hukum nasional
yang dalam perwujudannya merupakan sistem peraturan perundangundangan. Dengan
demikian, dalam membentuk sistem hukum nasional hendaknya diarahkan pula kepada tujuan
dari Politik Hukum itu sendiri. Maka, tak heran ketika Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard
Arief Sidharta mengatakan bahwa antara politik hukum dan sistem hukum memiliki hubungan
yang erat. 74
Dengan demikian, Politik Hukum memiliki beberapa tujuan yang diuraikan oleh para
sarjana, yaitu:75
1. Menjamin keadilan dalam masyarakat
Tugas utama pemerintah suatu negara ialah mewujudkan keadilan sosial (ius titiasocialis)
yang dulu disebut keadilan distributif (ius titiadistributive). Undang-undang yang adil
adalah undang-undang yang mengatur sedemikan rupa kehidupan manusia; yang membagi
untung dan beban secara pantas. Undang-undang yang tidak adil adalah yang melanggar
hak-hak manusia atau mengunggulkan kepentingan salah satu kelompok saja.
2. Menciptakan ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum Kepastian hukum
berarti bahwa dalam negara tersebut undangundang sungguh berlaku sebagai hukum, dan
bahwa putusanputusan hakim bersifat konstan sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
3. Menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan bersama secara konkret
Kepentingan tersebut tampak dalam cita-cita masyarakat secara kolektif. Pemerintah
kemudian menetapkan undang-undang untuk mendukung dan mengembangkan cita-cita
tersebut.
Selain memiliki tujuan yang hendak dicapai, pada hakikatnya, politik hukum juga
memiliki fungsi. MoempoeniMartojo menjelaskan bahwa politik hukum suatu negara
berfungsi mengonseptualisasikan, mengimplementasikan, dan mengawasi hukum negara
secara keseluruhan di segala bidang kehidupan untuk waktu sekarang, waktu yang lalu, dan

73
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum........Op.cit., hlm. 3-4,
74
Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 126.
75
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum. Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
UniversityPress, 2006), hlm. 151-152.

24
waktu yang akan datang selama-lamanya; sebab kelangsungan kehidupan negara
membutuhkan pengaturan hukum, dari waktu ke waktu, selama negara tersebut eksis.76
Tujuan politik hukum memiliki maksud yang sama dengan pengertian politik hukum
secara luas. Soehardjo Sastrosoehardjo menjelaskan bahwa Politik Hukum tidak berhenti
setelah dikeluarkannya undang-undang, tetapi justru di sinilah baru mulai timbul persoalan-
persoalan. Baik yang sudah diperkirakan atau diperhitungkan sejak semula maupun masalah-
masalah lain yang timbul dengan tidak diduga-duga. Tiap undang-undang memerlukan jangka
waktu yang lama untuk dapat memberikan kesimpulan seberapa jauh tujuan politik hukum
undang-undang tersebut telah dicapai. Jika hasilnya diperkirakan sulit untuk dicapai, apakah
perlu diadakan perubahan atau penyesuaian seperlunya?77 Terkait permasalahan tersebut,
patutlah dicermati pandangan dari Moh. Koesnoe yang menyatakan bahwa politik hukum
baru yang berisi upaya pembaruan hukum menjadi keharusan ketika pada 17 Agustus 1945
Indonesia diproklamirkan sebagai negara merdeka dengan Undang-Undang Dasar 1945
sebagai hukum dasarnya. Proklamasi kemerdekaan menuntut pembaruan atau penggantian
atas hukum-hukum peninggalan zaman penjajahan Jepang dan Belanda, sebab jika dilihat dari
sudut tata hukum maka Proklamasi Kemerdekaan telah membawa Indonesia pada idealita dan
realita hukum yang lain dari sebelumnya.78
Adapun tujuan negara yang merupakan tujuan yang akan dicapai oleh kajian dalam
Politik Hukum adalah sebagaimana terkandung dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI
1945, yaitu:
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
2. Memajukan kesejahteraan umum,
3. Mencerdasarkan kehidupan bangsa,
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Hal tersebut di atas merupakan filosofi dari politik hukum nasional, sehingga letak dari
politik hukum nasional pada bagian batang tubuh dari UUD NRI 1945.
Dengan demikian, jika mengacu pada tujuan yang hendak dicapai dari studi Politik
Hukum yaitu tujuan negara maka konsekuensinya tidak ada satu bagian dari penyelenggara
negara mulai dari tingkat pusat sampai daerah dan desa yang melakukan agenda secara parsial
tanpa didasarkan pada koridor hukum yang telah disepakati bersama. 79 Dengan demikian,
76
MoempoeniMulatningsihMartojo, Politik Hukum dalam Sketsa, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP,
2000), hlm. 9.
77
AL Wisnusubroto& G. Widiartana, Loc.cit.
78
36 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum.........Op.cit., hlm. 17
79
Mokhammad Najid, Politik Hukum Pidana. Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Cita Negara
Hukum, (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 15.
25
maka benarlah apa yang diungkapkan oleh SoehardjoSastrosoehardjo di atas, bahwa persoalan
dalam politik hukum baru dimulai manakala dikeluarkannya Undang-undang. Dalam artian,
persoalan yang sangat mendasar terkait dengan persoalan tersebut, menurut pandangan saya,
berkaitan dengan interpretasi terhadap wujud konkret dari studi Politik Hukum.
Jika mengacu pada pandangan-pandangan tersebut di atas, sebenarnya sudah dapat kita
tarik kesimpulan bahwa pemahaman politik hukum yang dijabarkan di dalam pendapat-
pendapat para ahli hukum adalah kurang tepat jika hanya mengarah pada pembentukan
peraturan perundang-undangan, walaupun menggunakan dasar pemikiran bahwa
pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan politik perundang-undangan yang
merupakan bagian dari politik hukum. Politik Hukum merupakan suatu penetapan pola dasar
dalam membentuk nilai-nilai dasar yang merupakan panduan dasar guna menentukan arah
pembangunan hukum nasional berdasarkan falsafah bangsa dan kepentingan nasional. Dengan
demikian, Politik Hukum asli Indonesia adalah tepat jika diletakkan di dalam tiga pilar utama
bangsa yaitu Proklamasi, Pancasila, dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Proklamasi merupakan perjanjian bersama atau konsensus bersama seluruh rakyat Indonesia
untuk terlepas dari intervensi dan sifat kolonialisme sistem hukum asing dan penguatan
kembali sistem hukum asli bangsa Indonesia. Pancasila merupakan falsafah hukum yang
ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berasal dari nilainilai kerakyatan
Bangsa Indonesia sehingga harus bersifat preskriptif terhadap aturan-aturan di bawahnya.
Sedangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan instrumen
yang mengejawantahkan falsafah hukum Bangsa Indonesia ke dalam suatu bentuk normatif
yang bersifat preskriptif in abstracto (hal-hal yang bersifat abstrak dan mengaidahi) terhadap
peraturan perundangundangan yang bersifat preskriptif-deskriptif in concreto (hal-hal yang
bersifat konkret baik yang mengaidahi maupun implementatif).
Politik Hukum memuat kajian-kajian dalam sistem Ilmu Hukum, yaitu Filsafat Hukum,
Teori Ilmu Hukum, dan Ilmu Hukum (Dogmatika Hukum), yang selalu mempersoalkan
aspek-aspek ontologis, epistemologis, aksiologis dari permasalahan dalam pembentukan
hukum nasional. Politik Hukum tidak dalam posisi merumuskan dan membuat perundang-
undangan, karena itu merupakan domain dari kajian Sistem Hukum, namun Politik Hukum
memiliki domain merancang dan merencanakan arah pembentukan hukum, bahkan ruang
lingkup Politik Hukum harus menyentuh ranah penentuan dan pembentukan paradigmanya.
Oleh karena itu, saya memandang ruang lingkup Politik Hukum adalah keseluruhan proses
yang tidak berhenti pada tahapan tertentu dan tidak puas dengan terciptanya undang-undang
yang baik dan tahan lama. Bahkan, saya lebih cenderung mengambil posisi pandang bahwa

26
Politik Hukum tidak dibatasi oleh tahapan apapun, sepanjang kajiannya bersifat
preskriptifinabstracto (hal-hal yang bersifat abstrak dan mengaidahi).
Terkait dengan pandangan saya tersebut, hendaknya ruang lingkup Politik Hukum tidak hanya
menghasilkan suatu bentuk sistem perundang-undangan semata. Jika disepakati bahwa Politik
Perundang-Undangan merupakan bagian dari Politik Hukum maka, hendaknya bagian lain
dari Politik Hukum tersebut dapat diwujudkan dalam suatu bentuk produk hukum yang bukan
merupakan peraturan perundang-undangan, sepanjang memiliki tujuan tercapainya tujuan
bernegara.
Sampai pada titik ini, sebenarnya Saya telah masuk pada pembahasan mengenai letak
kedudukan dari Politik Hukum dalam Ilmu Hukum. Berkaitan mengenai letak kedudukan
Politik Hukum, para ahli hukum di Indonesia tidak menemukan kata sepakat. Setidaknya,
perbedaan tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang
memandang bahwa Politik Hukum merupakan kajian dalam ranah Ilmu Politik yaitu antara
lain E. Utrecht80 dan Kusumadi Pudjosewo81, dan kelompok yang memandang bahwa Politik
Hukum merupakan kajian dalam ranah Ilmu Hukum, yaitu antara lain Moh. Mahfud MD 82,
Otong Rosadi/Andi Desmon83, dan Soedjono Dirdjosisworo84.
Pandangan dari Otong Rosadi dan Andi Desmon, yang bertitik tolak dari pandangan Jan
Gijssels dan MarckHoecke, bahwaʻlapisan ilmu hukum' terdiri dari Filsafat Hukum, Teori
Hukum, dan Ilmu Hukum Dogmatik, menarik untuk diamati lebih lanjut. Kedua penulis
tersebut berpandangan bahwa studi mengenai Politik Hukum muncul dalam tataran aplikatif
sebagai konsekuensi dari ‘lapisan ilmu hukum' tersebut. Sehingga, mereka meletakan studi
Politik hukum di bawah Ilmu Hukum Dogmatik sebagai lapisan terakhir.85 Keduanya
mendeskripsikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

Filsafat Hukum

80
Teori Hukum
E. Utrecht dan Muh. Saleh Djindang, Op.cit., hlm. 45.
81
Kusumadi Pudjosewo, Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), hlm. 15-16.
82
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum.....Op.cit., hlm
83
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Op.cit., hlm. 15.
84
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 48-49.
85
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Op.cit., hlm. 14-16.

27
Hukum Dogmatik

Politik hukum

Saya, secara personal, sepakat terhadap standingpoint kedua penulis tersebut, bahwa
Politik Hukum merupakan kajian dari Ilmu Hukum; namun saya tidak sepakat terhadap
peletakkannya di bawah Ilmu Hukum Dogmatik. Mengapa? karena Ilmu Hukum Dogmatik
memiliki fokus kajian atas norma-norma hukum dan ramifikasi dari ilmu hukum, baik
pembentukkan maupun implementasinya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa fokus Ilmu
Hukum Dogmatik mengkaji sistem hukum. Maka, apabila politik hukum sebagai suatu bidang
studi diletakkan berada di bawah Ilmu Hukum Dogmatik, artinya, Politik Hukum berada di
bawah sistem hukum. Apabila kita mengacu pada uraian-uraian sebelumnya, sebenarnya telah
dideskripsikan dengan jelas bahwa sistem hukum terbentuk berdasarkan penentuan arah
politik hukum terlebih dahulu. Jika landasan filsafat hukum merupakan pintu masuk dalam
mengkaji politik hukum maka bagaimana mungkin dapat diilustrasikan suatu politik hukum
(yang bersifat abstrak) justru berada di bawah dogmatik hukum (yang bersifat konkret)?
Dengan demikian, saya lebih bersepakat dengan pandangan Moh. Mahfud MD, yang
menjelaskan bahwa Filsafat Hukum sebagai akar sehingga Politik Hukum merupakan
batangnya, dan Ilmu Hukum sebagai ramifikasi (percabangan)nya. Pandangan Moh. Mahfud
MD tersebut justru lebih rasional jika dipahami bahwa Politik Hukum sebagai dasar dalam
membentuk Sistem Hukum, maka akar pohon memiliki fungsi pengaturan terhadap
percabangannya.

B. Politik Hukum Pidana/Politik Kriminal/Kebijakan Legislatif Pidana


Terkait dengan berbagai pengertian mengenai Politik Hukum, maka ahli hukum pada
bidangnya masing-masing mencoba mengaitkan antara pengertian politik hukum dengan
keahliannya. Di dalam ranah hukum pidana, politik hukum dikenal dengan berbagai macam
istilah, yaitu antara lain penal policy, politik kriminal, dan kebijakan legislatif pidana, yang
kesemuanya memiliki pengertian yang hampir sama dan saling menuntupi; walaupun pada
akhirnya, terdapat pergeseran kajian sebagai akibat pemilihan bahasa yang dituangkan ke
dalam kalimat-kalimat yang mencerminkan identitas dari ranah hukum yang mengadopsi
ajaran-ajaran hukum tersebut. Upaya mentranslate ajaran umum yang berkaitan dengan
konsep politik hukum, yang pada awalnya merupakan ranah kajian Hukum Tata Negara
(HTN), kerap kali menemui keterbatasan dalam konteks ruang lingkup hukum yang
28
mengadopsinya, sehingga, seringkali proses penuangan berdasarkan identitas tersebut
menggunakan bantuan dari ranah kajian lain. Hal tersebutlah yang melatari munculnya
perdebatan di kalangan ahli hukum saat ini.
Pada akhirnya, masing-masing ramifikasi Ilmu Hukum menggunakan nomenklatur atau
terminologi masing-masing guna memunculkan ciri-ciri khusus bidang hukum tersebut.
Dalam hal ini, bidang hukum pidana secara lebih ekstrem memberikan terminologi yang
'seolah-olah' ingin lepas dari bayang-bayang Hukum Tata Negara dengan memberikan
penekanan yang berbeda, misalnya Politik Kriminal dan Kebijakan Legislatif Pidana.
Akibatnya, politik hukum pidana, yang dalam bidang Hukum Pidana dikenal dengan Politik
Kriminal dan Kebijakan Legislatif Pidana, justru terjebak membicarakan sistem hukum
pidana. Dengan kata lain, politik hukum pidana yang memiliki ciri-ciri abstrak justru menjadi
kajian yang konkret. Akibat yang paling parah adalah diandaikannya, begitu saja, bahwa
politik hukum pidana merupakan kajian yang terpisah dari ajaran umum (genusbegrip) nya
yaitu Politik Hukum yang merupakan ranah kajian Hukum Tata Negara (HTN).
Robert R. Meyer dan Ernest Greenwood menjelaskan bahwa “kebijakan” (policy)
dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yangmenggariskan suatu tujuan yang ditetapkan
secara kolektif.86 Marc Ancel menjelaskan bahwa PenalPolicy adalah suatu ilmu sekaligus
seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat undangundang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undangundang dan
juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.87
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa “kebijakan” diambil dari istilah Inggris yaitu
“policy" atau isilah Belanda yaitu “politiek”. Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka
istilah "kebijakan hukum pidana" dapat pula disebutkan dengan istilah "politik hukum
pidana". Dalam istilah asing, politik hukum pidana dikenal dengan policypenal, criminallaw,
atau strafrechts politiek.88 Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah "kebijakan
hukum pidana" dapat pula disebutkan dengan istilah "politik hukum pidana". Dalam istilah
asing, politik hukum pidana dikenal dengan policy penal, criminal law, atau strafrechts
politiek89.
Menurut A. Mulder, Strafrechtspolitiek adalah garis kebijakan untuk menentukan: 90
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;

86
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara,
(Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1994), hlm. 59.
87
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Op.cit, hlm. 21-22.
88
Ibid., hlm 27
89
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Op.cit, hlm. 28
90
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan .......... Loc.cit.
29
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
3.Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus
dilaksanakan.
Dengan demikian, tahap kebijakan legislatif merupakan langkah awal dan sekaligus
merupakan sumberlandasan dari proses konkretisasi pidana berikutnya, yaitu tahap penerapan
pidana dan tahap pelaksanaan pidana.91 Sudarto menjelaskan bahwa cara kesatuan proses
dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana itu harus merupakan benang sutera yang
menelusuri segala fase mulai dari pemeriksaan perkarapidanasejakawal (pemeriksaan
pendahuluan adalah penyelidikan) sampai akhir proses itu yakni pelaksanaan pemidanaan
bahkan sesudah selesainya perjalanan pidana oleh narapidana.92
Lebih lanjut Sudarto menjelaskan bahwa Politik Hukum Pidana merupakan bagian dari
Politik Kriminal. Politik Kriminal itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yakni:93
1. Dalam pengertian sempit, politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas, politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja di pengadilan dan polisi;
3. Dalam arti paling luas, politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan
melalui peraturan perundang-undangan dan badan resmi, yang bertujuan untuk
menegakkan normanorma sentral dari masyarakat.
Lebih lanjut, Sudarto menjelaskan bahwa Politik Hukum Pidana dapat diartikan sebagai
usaha yang rasional (logis) untuk mencegah dan menghalangi kejahatan dengan sarana hukum
pidana dan sistem peradilan pidana memilih hukum dan undang-undang yang bersesuaian,
paling baik, dan memenuhi syarat keadilan dan fungsinya. Hal ini bermakna pula bahwa
Politik Hukum Pidana mesti mempertimbangkan aspek sosiologi hukum.94
Menurut Barda Nawawi Arief, usaha penanggulangan dengan hukum pidana pada
hakikatnya merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum atau kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).95
Apabila dilihat dari sudut pandang politik kriminal terlihat pula pendapat Van
Bemmelen yang menegaskan bahwa jika hukum pidana tersebut dipandang bukan dari sudut

91
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Op.cit, hlm. 28
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat
92
(Kajian terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana), (Bandung: Sinar Baru, 1994), hlm. 4.
93
Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana .Op.cit., hlm. 152.
94
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 159; Lihat pula: Sudarto, Hukum
Pidana dan........Op.cit., hlm. 93-109.
95
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ........Loc.cit.
30
pidananya, namun dari sudut ketentuan-ketentuan perintah dan larangan serta dari sudut
penegakannya, dan khususnya dari sudut hukum acara pidana, maka kita tidak lagi condong
membuang hukum pidana. Jika kita mendekati hukum pidana dari sudut ketentuan-ketentuan
perintah dan larangan, kita sadar bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang melawan
hukum yang tidak mungkin diterima oleh masyarakat. Suatu alasan sebab apa hukum pidana
tidak dapat dihapuskan ialah bahwa hukum pidana dengan teliti menunjuk dalam hal-hal
mana negara berhak untuk bertindak terhadap seorang penduduk lewat jalur hukum acara
pidana.96
Dalam pengertian praktis, Politik Hukum Pidana (politik kriminal) adalah segala usaha
yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha tersebut meliputi
aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan aparat yang
terkait dengan eksekuesi pemidanaan. Aktivitas badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri
melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing97
Pandangan lain disampaikan oleh Hoefnagels; ia bahkan memberikan lebih dari satu
pengertian daripada politik kriminal. Berbagai pengertian tersebut adalah:98
1. Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime (politik kriminal
adalah organsasi rasional dari reaksi sosial terhadap kejahatan);
2. Criminal policy is the science of crime prevention (politik kriminal adalah ilmu
pengetahuan mengenai pencegahan kejahatan);
3. Criminal policy is a policy of designating behavior as a crime (politik kriminal adalah
kebijakan dalam rangka menandai perilaku sebagai suatu kejahatan);
4. Criminalpolicyis a rational total of response to crime (politik kriminal adalah total rasional
dari respon terhadap kejahatan).
Politik Hukum Pidana (Politik Kriminal) tidak hanya berdiri sendiri tetapi meliputi
kebijakan penegakan hukum yang mencakup, baik oleh hukum pidana, hukum perdata,
maupun hukum administrasi negara. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana
pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan
hukum pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum pidana atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy), hal ini tentunya dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana terpadu

96
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan .. Op.cit., hlm. 20-21.
97
Wahab Ahmad, Politik Hukum Pidana dalam Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, Sumber: http://www.badilag.net, hlm. 5.
98
Widiada Gunakarya dan Petrus Irianto, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 10.

31
(criminal justice system) yang terdiri dari subsistem kepolisian, kejaksaan, komisi
pemberantasan korupsi (KPK), pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Menurut Muladi, pembicaraan tentang Politik Hukum pidana (criminal law politics)
pada dasarnya merupakan aktivitas yang menyangkut proses menentukan tujuan dan cara
melaksanakan tujuan tersebut. Dengan demikian terkait di sini proses pengambilan keputusan
(decision making proses) atau pemilihan melalui seleksi di antara pelbagai alternatif yang ada,
mengenai apa yang menjadi tujuan dari sistem hukum pidana mendatang. Dalam rangka
pengambilan keputusan dan pilihan tersebut, disusun pelbagai kebijakan (policies) yang
berorientasi pada berbagai permasalahan pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat
melawan hukum, kesalahan/ pertanggungjawaban pidana dan pelbagai alternaif sanksi yang
baik yang merupakan pidana (straf) maupun tindakan (maatregel).99 Oleh karena itu, dalam
pandangan Muladi, makna Politik Hukum Pidana harus berasaskan pada tiga inti dan
substansi utama undang-undang pidana; pertama, merumuskan dan menentukan kelakuan atau
perbuatan yang disebut sebagai pidana; kedua, menentukan bentuk unsur tindak pidana dan
pertanggungjawabannya; dan ketiga, menentukan bentuk atau macam hukuman yang dapat
diberikan kepada siapa yang melakukan kesalahan tersebut.100
Secara sistem, kebijakan hukum pidana dari aspek formulasi merupakan tahap yang
strategis. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa proses
legislasi/formulasi/pembuatan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya merupakan
proses penegakan hukum "in abstracto”. Proses legislasi/formulasi ini merupakan tahap awal
yang sangat strategis dari proses penegakan hukum "in concreto”. Oleh karena itu
kesalahan/kelemahan pada tahap kebijakan legislasi/formulasi merupakan kesalahan strategis
yang dapat menjadi penghambat upaya penegakan hukum "in concreto”.101
Menurut Satjipto Rahardjo, pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-
konsep yang dapat digolongkan sebagai suatu yang abstrak, termasuk ide tentang keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan sosial. Berbicara tentang penegakan hukum, pada hakikatnya
berbicara tentang penegakan tentang ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah
abstrak tersebut.102
Penegakan hukum itu sendiri, menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, dapat diartikan
sebagai “perhatian dan penggarapan”, baik perbuatan-perbuatan melawan hukum yang
99
Muladi, “Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi, dan Dekriminalisasi Serta Beberapa
Perkembangan Asas dalam RUU KUHP", Makalah yang dipresentasikan dalam Focus Group Discussion yang
diselenggarakan oleh ELSAM dengan tema: Melihat Kodifikasi dalam Rancangan KUHP, Hotel Ibis Tamrin,
(Jakarta, 28 September 2006), hlm. 1.
100
Mokhammad Najih, Politik Hukum Pidana, (Malang: Setara Press, 2014), hlm. 16.
101
Ibid
102
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing,
2009), hlm. 12.
32
sungguh-sungguh terjadi (onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin
akan terjadi (onrecht in potentie). Dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya diartikan
sebagai penerapan hukum positif, tetapi juga penciptaan hukum positif.103
Penciptaan hukum positif yang merupakan arti dari penegakan hukum, sebagaimana
dikonsepsikan oleh Nyoman Serikat Putra Jaya tersebut, menunjukkan bahwa suatu
pembaharuan hukum berpijak pada ius constitutum menuju ius constituendum. Hal ini berarti
pula bahwa kebijakan hukum pidana atau penal policy merupakan bagian dari kebijakan
penegakan hukum pidana. Dalam melakukan pembaharuan tersebut, tentu harus dilihat
masalah pokok hukum pidana yaitu "tindak pidana" (strafbaarfeit/criminal act/actusreus),
“kesalahan" (schuld/guit/mensrea), dan "pidana" (strafpunishment/poena).104 Usaha
penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum pidana) juga
merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (socialdefence), oleh karena
itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan
atau politik sosial (socialpolicy).105
Kebijakan sosial (socialpolicy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dengan
demikian, secara singkat, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir (tujuan utama) dari politik
kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sehingga,
arah dari kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan
pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandaskan pada tiga prinsip dasar yang wajib
dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:
1. Supremasi hukum;
2. Kesetaraan di hadapan hukum; dan
3. Penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak demi tercapainya cita-cita
terwujudnya Negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan
ketertiban diwujudkan maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan
yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu, politik hukum nasional harus senantiasa diarahan
pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik
hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum,
dan budaya hukum.
103
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2008), hlm. 52.
104
Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman pemidanaan, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2011),
hlm. 5.
105
Muladi, Politik Hukum Pidana, Dasar.........Op.cit., hlm. 6.

33
Secara lebih konkret ditegaskan oleh Nyoman Serikat Putra Jaya bahwa pembaruan
hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi pembaruan hukum pidana materiil
(substantive), hukum pidana formil (hukum acara pidana), dan hukum pelaksanaan pidana.
Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersama-sama diperbarui. Kalau hanya salah satu
bidang yang diperbarui dan yang lain tidak, maka akan timbul kesulitan dalam
pelaksanaannya, dan tujuan dari pembaruan itu tidak akan tercapai sepenuhnya. Adapun
tujuan utama dari pembaruan
itu ialah penanggulangan kejahatan. Ketiga bidang hukum itu erat sekali hubungannya dalam
usaha penanggulangan dan pemberantasan kejahatan.106
Sebagaimana ditegaskan oleh M. Hamdan, Politik Hukum Pidana tidak berdiri sendiri,
meliputi kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup baik Hukum Pidana, Hukum
Perdata, maupun Hukum Administrasi. Semua ini merupakan bagian dari Social Policy
(Kebijakan Sosial), yaitu usaha rasional dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya.107
Sebagai usaha penanggulangan kejahatan, Politik Hukum Pidana dapat mengejawantah
dalam pelbagai bentuk. Bentuk pertama bersifat represif yang menggunakan sarana penal,
yang sering disebut sebagai Sistem Peradilan Pidana (criminal jus ticesystem). Dalam hal ini
secara luas sebenarnya mencakup pula proses kriminalisasi; kedua berupa usaha-usaha
prevention without punishment (tanpa menggunakan sarana penal); ketiga adalah
mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan
sosialisasi hukum melalui media massa secara luas. 108
Lebih lanjut, G.Peter Hoefnagel menjelaskan bahwa usaha untuk menanggulangi
kejahatan dalam politik kriminal dapat dijabarkan melalui:
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan
3. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media
massa (influencingviewofsocietyoncrimeandpunishment).
Bekerjanya politik kriminal dalam menanggulangi suatu kejahatan dapat dilakukan
melalui beberapa strategi atau beberapa pendekatan. Dengan melihat skema yang dirancang

106
Nyoman Serikat Putra Jaya, "Urgensi Pembahasan Buku I tentang Ketentuan Umum Hukum Pidana
dalam RUU KUHP dalam Rangka Pembaruan dan Pembentukan Sistem Hukum Pidana Nasional", makalah
disampaikan dalam Lokakarya Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional, dengan tema: Perkembangan
Hukum Pidana dalam Undang-Undang di Luar KUHP dan Kebijakan Hukum Pidana, yang diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah,
Semarang, 3-5 November 2010, hlm. 1.
107
M. Hamdan, Op.cit., hlm. 23.
108
Muladi& Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 2010), hlm. 9.

34
oleh Barda Nawawi Arief dan G. Peter Hoefnagel dapat disimpulkan bahwa secara garis
besar upaya penanggulangan dapat dilakukan dengan dua cara yakni pendekatan penal dan
pendekatan nonpenal. Kesimpulan tersebut didasarkan pada pandangan bahwa pembagian
Hoefnagels mengenai pencegahan tanpa pidana dan media massa menurut Barda Nawawi
Arief dapat dimasukan dalam kelompok nonpenal.109
Terkait pendapat tersebut, secara garis besar saya sepakat. Namun demikian,
dimasukkannya media massa sebagai salah satu sarana melakukan pemidanaan bukan
merupakan langkah yang bijak. Menurut saya, jika unsur "memengaruhi pandangan
masyarakat disandingkan dengan unsur “pemidanaan lewat media massa”, maka kedua unsur
tersebut justru memiliki tujuan yang saling bertentangan dan berbenturan. Pemidanaan lewat
media massa atau judgingbythepress justru akan menjauhkan tujuan hukum pidana modern
yaitu reintegrasi bagi pelaku tindak pidana.
Pembentukan kebijakan legislatif hukum pidana, jika didasarkan pada kajian jangka
pendek, akan justru menghilangkan esensi dari pembentukan norma itu sendiri; yakni bahwa
di dalam kajian Kriminologi, dengan diberinya kebebasan press (media massa) dalam
melakukan pemidanaan, dalam hal ini dengan meng-eksplore kejahatan yang telah dilakukan,
maka akan terjadi pembentukan opini di dalam pikiran masyarakat sehingga akan menuju
kepada penjelasan sebagaimana ditegaskan melalui labelling theory (Teori Label). Teori ini
menggeser fokus perhatian studi dari pelaku penyimpangan (deviant) dan perilakunya menuju
perilaku dari mereka yang memberikan label dan memberikan reaksi pada pihak lain sebagai
pelaku penyimpangan.
Suatu ungkapan yang patut menjadi bahan perhatian bagi para pembentuk kebijakan,
menurut WalterLippmann, adalah bahwa apabila opini umum sampai mendominasi
pemerintah, maka di sanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan
ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan
untuk memerintah. Karena itu, perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum bahwa
penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat mayoritas yang tidak punya akses
untuk memengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk memengaruhi kebijakan politik. Di
sinilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam
struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan
memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan, dan kebutuhan rakyat agar nilai-
nilai itu menjadi hukum positif.110

109
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ....... Op.cit., hlm. 39-40.

110
Sudirman Simamora, Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia, Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, 2008, hlm. 25-26.
35
Pembentukan Politik Hukum Pidana hendaknya diarahkan pula pada kebijakan
penegakan hukum pidana sehingga, sebagaimana diinginkan oleh Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, hukum merupakan sistem jalinan nilai-nilai. Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto pada intinya menjelaskan bahwa pembangunan hukum hendaknya
dimaknai sebagai usaha penyerasian sistem pasangan-pasangan nilai untuk menanggulangi
apa yang tidak ada, apa yang rusak atau salah, apa yang kurang, apa yang macet, dan apa yang
mundur atau merosot.111Oleh karena itu, negara dalam menentukan kebijakan legislatif (legal
policy/politik hukum) hukum pidana yang diarahkan kepada kebijakan aplikatif penegakan
hukum pidana hendaknya diartikan sebagai usaha membentuk sistem nilai dan sistem norma
guna memelihara dan meningkatkan kedamaian pergaulan hidup manusia.
Kerangka berpikir hukum, pada prinsipnya tidak akan terlepas dari kerangka berpikir
tujuan bernegara. Pembentukan kebijakan legislatif (legal policy/politik hukum) hukum
pidana pun hendaknya sejalan dengan tujuan bernegara. Oleh karena itu, Moh. Mahfud MD
berpendapat bahwa politik hukum adalah arah pembangunan hukum yang berpijak pada
sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara atau masyarakat bangsa. 112
Berkaitan dengan statement dari Moh. Mahfud MD tersebut perlu kiranya pula
memperhatikan pandangan Beliau yang menegaskan bahwa pijakan utama Politik Hukum
Nasional adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan Sistem Hukum Nasional yang
harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu. 113Oleh karena itu, menurut saya. hal
tersebut memiliki makna bahwa suatu sistem hukum merupakan output dari studi Politik
Hukum. Dalam artian, kajian mengenai Sistem Hukum merupakan bagian dari Studi Politik
Hukum, dan bukan sebaliknya.
Hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat, maka hukum harus selalu
diperbaharui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang
dilayani dan dalam pembaharuan hukum yang terus menerus tersebut Pancasila harus tetap
sebagai kerangka berpikir, sumber norma, dan sumber nilai. Pancasila merupakan pangkal
tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termaktub Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis
yang wajib diperjuangkan dalam melakukan pembentukan hukum di Indonesia. Sebagai
akibat dari konsensus nasional, Pancasila merupakan tolak ukur pelepasan diri dari segala
pengaruh yang tidak berasal dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu, tujuan bernegara pun

111
Purnadi Purbacaraka dan SoerjonoSoekanto, Renungan tentang Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali
Pres, 1985), hlm. 21.
112
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum.........Op.cit., hlm. 16
113
Ibid
36
didasari pada kesepakatan-kesepakatan yang termuat di dalam Pancasila sebagai filasafat
Negara Hukum Indonesia.
Walaupun beberapa literatur menjelaskan bahwa tujuan hukum pidana bukan semata-
mata untuk menjatuh sanksi pidana secara ketat, melainkan lebih kepada menciptakan
ketertiban dan mengubah pola perilaku manusia, namun Bernard Arief Sidharta
menjelaskan bahwa ketertiban dan ketenteraman bukanlah tujuan akhir dari hukum,
melainkan tujuan antara. Sebab, di dalam masyarakat dapat saja, dengan menggunakan
kekuatan, dipaksakan suatu ketertiban yang bersifat tiranik, yang menindas nilai nilai
manusiawi. Oleh karena itu, tujuan lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian
sejati di dalam masyarakat. 114
Lebih jauh, Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa perkembangan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) mengalami pasang surut sejak kemerdekaan sampai saat ini yang
tidak lain karena pengaruh perkembangan politik global dan dampaknya terhadap sistem
pemerintahan, disamping konflik-konflik internal yang telah terjadi sejak era tahun 1950-an
sampai saat ini. Politik hukum era pembangunan nasional sejak 1973 dan dalam GBHN Pelita
II Bab 27 telah mengadopsi kebijakan hukum sebagai "sarana pembaharuan masyarakat",
"law as a tool of social engineering", disesuaikan dengan kondisi sosial dan politik yang
berkembang memasuki era pembangunan nasional. Sangat disayangkan bahwa dalam praktik,
kebijakan hukum pemegang kekuasaan telah memahami secara keliru model hukum
pembangunan tersebut; khususnya penggunaan kata “sarana” yang disamakan dengan "alat”
(tools). Sedangkan Mochtar Kusuma-Atmadja, pencetus ide hukum pembangunan, telah
mengingatkan sejak awal bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua pengertian
istilah tersebut. Kekeliruan tersebut telah terjadi ketika negara memaksakan kehendaknya
melalui perundang-undangan kepada rakyatnya tanpa sistem "check and balance sehingga
menimbulkan efek negatif baik secara sosial, ekonomi, budaya, dan politik. 115 Oleh karena itu,
pembentukan kebijakan legislatif pada prinsipnya harus memuat nilai-nilai yang dapat
dituangkan ke dalam norma-norma, dimana norma-norma tersebut secara tersistematis
memberikan arah kepada pembentukan sistem hukum pidana yang bersinergi dengan tujuan
hukum yang telah dikonsepkan.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut di atas, kajian terhadap Politik Hukum
Pidana pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dari kajian terhadap Studi Politik Hukum itu
114
Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila, bahan ajar tidak dipublish, (Bandung: Fak. Hukum
Univ. Parahyangan, tanpa tahun), hlm. 6.
115
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana. Buku 2, (Jakarta:
FikahatiAneska, 2013), hlm. 137-138.

37
sendiri. Studi Politik Hukum sebagai genus dari kajian Politik Hukum Pidana, sehingga
anasir-anasirnya pun seharusnya masuk dalam kajian Politik Hukum Pidana. Namun
demikian, saya sepakat dengan kekhawatiran dari Peter Mahmud Marzuki. Beliau
menjelaskan bahwa terdapat upayaupaya untuk meng-empiris-kan Ilmu Hukum, yang
notabene Hukum Pidana merupakan cabang dari Ilmu Hukum itu sendiri. Hal tersebut
dapatlah kita dapati dari pandangan-pandangan tersebut di atas.
Pandangan Barda Nawawi Arief yang pada intinya menjelaskan bahwa politik hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum, tidak sepenuhnya tepat jika
mengacu pada pandanganpandangan ahli Hukum Tata Negara bahwa Studi Politik Hukum
merupakan bagian dari Hukum Tata Negara, yang menjelaskan bahwa kebijakan penegakan
hukum merupakan bagian dari Studi Politik Hukum itu sendiri. Dengan demikian, jelas bahwa
studi Politik Hukum. merupakan akar ilmu dari Politik Hukum Pidana. Perbedaaan pandangan
tersebut antara lain disebabkan karena adanya pandangan mengenai Sistem Hukum yang
diklasifikasikan sebagai bagian dari Sistem Sosial. Pandangan tersebut beranjak dari
pemaknaan tujuan Politik Hukum yang didasarkan pada tujuan negara dalam memajukan
kesejahteraan umum dari warganegaranya, sebagaimana tertuang dalam Alinea Keempat
Pembukaan UUD 1945. Namun demikian, posisi tersebut tidak secara serta merta merupakan
justifikasi terhadap pengklasifikasian Politik Hukum Pidana sebagai bagian pula dari
Kebijakan Sosial.
Dalam perbedaan-perbedaan tersebut, terdapat pandangan yang justru menyempitkan
makna asli politik hukum. Sebagaimana diutarakan oleh Muladi, kajian Politik Hukum
Pidana didasarkan hanya pada tiga asas dari undang-undang pidana yaitu yang berkaitan
dengan strafsoort (jenis perbuatan yang diklasifikasikan sebagai perbuatan pidana), strafmaat
(bentuk dan jenis pengenaan pidana terhadap perbuatan yang diklasifikasikan sebagai
perbuatan pidana), dan strafmodus implementasi atau pelaksanaan pidana) semata. Menurut
saya, pandangan tersebut mendeskripsikan bahwa Politik Hukum Pidana hanya dikaitkan
dengan Hukum Pidana Materiil saja. selanjutnya yang dikaitkan dengan kajian Negara
Hukum yang demokratis konstitusional. Dengan kata lain, Hukum Pidana Formil juga
merupakan bagian yang sangat penting dalam pengembangan dan pengkajian Politik Hukum
Pidana.

38
Bab 3
SISTEM HUKUM

A. Pengertian Sistem
Kata sistem berasal dari bahasa Yunani, yaitu "systema" yang mempunyai arti sebagai
berikut: pertama, suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian; kedua,
hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur. Dengan
kata lain, "systema" mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling
berhubungan secara teratur dan merupakan keseluruhan (whole).116
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (online), maksud dari sistem adalah sebagai
berikut:117
1. Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas;
2. Susunan yang teratur terdiri dari pandangan, teori, asas, dan lain sebagainya;
Sistem pada umumnya diartikan sebagai suatu kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur
yang satu sama lain berhubungan dan saling memengaruhi sehingga merupakan satu kesatuan
yang utuh dan berarti.118 Sedangkan makna sistem, menurut Satjipto Rahardjo, adalah jenis
satuan, yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu ini menunjukkan kepada suatu
struktur yang tersusun dari bagian bagian Beliau juga memaknai sistem sebagai suatu rencana,
metode, atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.119
Pengertian sistem yang juga diungkapkan oleh Anatol Rapport adalah whole which
function as a whole by vertue of the interdependence of its parts. Menurut R.L. Ackoff,
sistem sebagai entity conceptual or physical which concists of interdependent parts.120
Terkadang suatu sistem diartikan sebagai “stelsel" (Belanda), yaitu suatu keseluruhan yang
terangkai Disamping itu, Thomas Ford Hault menjelaskan bahwa sistem diartikan sebagai:121
"Any set of interrelated elements which, as they work and change together, may be
regarded as a singleentity..."
Suatu sistem dapat pula disebut sebagai “a structured whole”, yang biasanya
mempermasalahkan:
1. the elements of the system (elemen sistem);
116
Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Bandung: Nusamedia, 2014), hlm. 12.
117
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php (30 April 2014).
118
Mochtar Kusuma-Atmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Buku !, (Bandung: Alumni,
2013), hlm. 121
119
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum ..........Op.cit., hlm. 48
120
Phillips DC, Holistic Thought in Social Science, (California: StandfordUniversityPress, 1988), hlm.
60.
121
SoerjonoSoekanto, Penegakan Hukum, (Jakarta: Binacipta, 1983), hlm. 2. 7 Ibid., hlm. 3.

39
2. the division of the system (pembagian sistem);
3. the consistency of the system (konsistensi dari suatu sistem);
4. the completeness of the system (kelengkapan dari suatu sistem);
5. the fundamental concepts of the system (konsep dasar dari sebuah sistem).
Jadi, menurut Soerjono Soekanto, suatu sistem merupakan keseluruhan terangkai, yang
mencakup unsur, bagian, konsistensi, kelengkapan dan konsepsi, atau pengertian dasarnya.
122
Sedangkan menurut Bewa Ragawino, suatu sistem adalah seperangkat komponen, elemen,
unsur, atau subsistem dengan segala atributnya yang satu sama lain salaing berkaitan,
pengaruh memengaruhi dan saling tergantung, sehingga keseluruhannya merupakan suatu
kesatuan yang terintegrasi serta mempunyai peranan atau tujuan tertentu.123
Berikut adalah paparan Bachsan Mustafa terkait pengertian sistem, disusun dengan
merangkum beberapa pendapat ahli:124
1. Ludwig von Bertalanffy
Sistem adalah himpunan unsur (elemen) yang saling memengaruhi, yang menjadi syarat
berlakunya hukum.
2. H. Thierry
Sistem adalah keseluruhan bagian yang saling memengaruhi satu sama lainnya menurut
suatu rencana yang ditentukan, untuk mencapai, suatu tujuan tertentu.
3. William A. Shorden/Dan Voich Jr
Sebuah sistem adalah seperangkat bagian yang saling berhubungan, bekerja sedikit bebas,
dalam mengejar keseluruhan tujuan dengan kesatuan lingkungan.
Menurut M. Solly Lubis, sistem adalah suatu totalitas yang terdiri dari komponen-
komponen atau unsur-unsur yang satu sama lain berbeda, namun saling berkaitan, merupakan
suatu pola atau model yang mantap, sehingga dapat diterapkan secara konsisten.125 Lebih
lanjut Lili Rasjidi memaparkan, berkaitan dengan pendapat dari Ludwig von Bertalanffy,
bahwa metode sains tradisional, sebagai suatu metode sains, tidak lagi mencukupi kebutuhan-
kebutuhan pemecahan masalah sains. Karenanya sangat dibutuhkan pendekatan baru, yaitu
teori sistem.
Menurut Ludwig von Bertalanffy, Teori Sistem Umum (General System Theory) adalah:126

122
Ibid., hlm. 3
123
BewaRagawino, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Bandung: FISIP
UNPAD, 2005), hlm. 2
124
'Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 71-73
125
M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 4. 11
126
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2012), hlm. 60-61
40
...is a general science of, wholeness' which use till now was considered a vague, hazy,
and semi-metaphysical concept. In elaborate from it would be a logico-mathematical
concal dicipline, in itself purely formal butapplicable to the various empirical
sciences. For science sconcerned with, wholes organized would be similar
significance with 'change events'; the later, too, is a formal mathematical dicipline
which can be applied to the most diverse fields, such a thermodynamics, biological
and medical experimentation, genetic, life insurance statistic, etc.
Terjemahan Bebas ... adalah ilmu umum dari suatu keutuhan 'yang digunakan sampai
sekarang dianggap sebagai konsep yang samar-samar, kabur, dan semi-metafisik.
Elaborasi dari hal tersebut akan menjadi suatu disiplin yang menyembunyikan logika-
matematika, dalam dirinya sendiri yang bersifat murni formal tetapi berlaku untuk
berbagai ilmu empiris. Karena ilmu yang bersangkutan dengan, celah kosong yang
terorganisi akan memiliki kemiripan yang signifikan dengan 'perubahan peristiwa';
kemudian, suatu disiplin matematika yang formal dapat diterapkan juga pada bidang
yang paling beragam, termo dinamika seperti, eksperimen biologi dan medis, genetik,
kehidupan statistik asuransi, dan lain-lain.
Sejalan dengan pendapat-pendapat yang telah diuraikan di atas, maka CFG. Sunaryati
Hartono, memberikan masukan yang dapat dijadikan kesimpulan makna dari kata'sistem'
yaitu:127
Sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu
pengaruh memengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.
Pendapat lainnya, yang lebih sederhana untuk dimengerti, adalah bahwa sistem sebagai
jenis satuan yang dibangun dengan komponenkomponen sistemnya yang berhubungan secara
mekanik fungsionil yang satu dengan yang lainnya untuk mencapai tujuan sistemnya. 128
Berdasarkan pendapat tersebut, maka Lili Rasjidi, menyimpulkan ciri-ciri suatu sistem adalah
sebagai berikut:129
1. Suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses);
2. Masing-masing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling
bergantung (interdependence of its parts);
3. Kesatuan elemen yang kompleks itu membentuk satu kesatuan yang lebih besar, yang
meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu (the whole is more than the sum of its
parts);
4. Keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya (the whole determines
the nature of its parts);

127
CFG. Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 56.
128
Bachsan Mustofa, Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001), hlm. 5.
129
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 64-65.
41
5. Bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau tidak dapat
dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu (the parts cannot be understood if considered
in isolation from the whole);
6. Bagian-bagian itu bergerak secara dinamis dan secara mandiri atau secara keseluruhan
dalam keseluruhan (sistem) itu.
Lebih lanjut, Bachsan Mustafa menegaskan bahwa pengertianpengertian mengenai
"sistem" memiliki penekanan-penekanan makna sebagai berikut:130
1. Kelakuan berdasarkan tujuan tertentu, sehingga suatu sistem tersebut berorientasi pada
sasaran tertentu;
2. Keseluruhan, artinya bahwa keseluruhan melebihi jumlah dari pada bagian-bagian;
3.Keterbukaan, mengandung makna bahwa sistem tersebut saling berhubungan dengan sebuah
sistem yang lebih besar, yaitu lingkungannya;
4.Transformasi, yakni bagian-bagian yang bekerja menciptakan sesuatu yang mempunyai
nilai;
5. Antar-hubungan, yaitu berbagai macam bagian harus cocok satu sama lain;
6.Mekanisme kontrol, yaitu terdapat adanya kekuatan yang mempersatukan dan yang
mempertahankan sistem yang bersangkutan.
Dalam Seminar Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asasasas Hukum Nasional
pada tahun 1995, H. Ismail saleh mengemukakan ciri-ciri suatu sistem, yaitu sebagai
berikut:131
1. Saling keterkaitan antara satu komponen dengan komponen yang lain, saling membatasi
tetapi juga saling memperkuat;
2. Dinamis, tetapi tetap terjaga keserasian dan keseimbangannya;
3. Terbuka, tetapi tetap tidak kehilangan eksistensi dan identitasnya; dan
4. Galir dalam arti tidak kaku, sehingga dapat menampung
Sehingga tepatlah apa yang diungkapan oleh Lawrence M. Friedmann bahwa pada
hakikatnya, sebuah sistem adalah sebuah unit yang beroperasi pada batas-batas tertentu.
Sistem bisa bersifat mekanis, organis, atau sosial.132Oleh karena itu, suatu sistem harus
bersifat terbuka, dan bukan tertutup. Karena di dalam sistem terbuka, suatu sistem akan
menerima input dan mengeluarkan feedback (output) yang akan saling memiliki keterkaitan
dalam rangka mewujudkan mekanisme sistem yang lebih baik. Dengan demikian, suatu

130
Bachsan Mustofa, Sistem Hukum Administrasi ......... ..Op.cit., hlm. 11.
131
M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang ......... ..Op.cit., hlm. 4.

132
Lawrence M. Friedmann, The Legal System.......... Op.cit, hlm. 6
42
sistem memiliki rangkaian proses yang berlangsung secara terus menerus tanpa henti dan satu
dengan yang lain memiliki keterkaitan yang utuh dan komprehensif.

B. Pengertian Hukum
Kapan tepatnya hukum mulai ada tidak dapat diketahui. Apabila ungkapan klasik ubi
societas ibi ius diikuti, berarti hukum ada sejak masyarakat ada. Dengan demikian
pertanyaannya dapat digeser menjadi sejak kapan adanya masyarakat. Terhadap pertanyaan
ini pun juga tidak akan ada jawaban yang pasti. Namun, dilihat dari segi historis tidak pernah
dijumpai adanya kehidupan manusia secara soliter di luar bentuk hidup masyarakat. 133
Dahulu, biasanya orang menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan definisi
yang agak indah. Hampir semua ahli hukum memberikan definisi mengenai hukum,
memberikannya berlainan. Ini, setidak-tidaknya untuk sebahagian, dapat diterangkan oleh
banyaknya segi dan bentuk, serta kebesaran hukum. Hukum banyak seginya dan demikian
luasnya, sehingga tidak mungkin orang menyatukannya dalam rumusan secara memuaskan.134
Pertanyaan mengenai "apa itu hukum" tampaknya adalah suatu pertanyaan yang sangat
mendasar dan sangat tergantung pada konsep pemikiran dari hukum itu sendiri, sehingga
jawabannya pun mungkin akan terus berkembang sesuai dengan mazhab dan aliran-aliran
yang dikemukakan dalam melakukan pendekatan secara kualitatif tentang makna hukum.
Yang jelas, perlu dipahami bahwa tujuan hukum adalah terciptanya suatu kedamaian yang
didasarkan pada keserasian antara ketertiban dengan ketentraman. Tujuan hukum ini tentunya
akan tercapai apabila didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian antara kepastian hukum
dengan kesebandingan hukum, sehingga akan menghasilan suatu keadilan.135
Selain memiliki perbedaan definisi, penggunaan istilah 'hukum' pun memiliki beberapa
ragam. Kata 'hukum' diambil dari serapan bahasa Arab yaitu ahkam dalam bentuk jamak136,
kemudian terdapat istilah lex yang diambil dari bahasa Latin, yang diambil dari serapan kata
lesere yaitu mengumpulkan yaitu mengumpulkan orang-orang untuk diperintah. Istilah lain
adalah recht yang diambil dari bahasa Latin yaitu rechtum yaitu bimbingan atau tuntutan atau
pemerintahan. Terdapat pula istilah 'ius' yang diambil dari kata iusitia dalam bahasa Latin
yang artinya mengatur atau memerintah.137

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 61
133

LJ. Van Apel dorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm. 13
134

135
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung: Nusa Media, 2013), hlm. 6.
136
Di dalam buku R. Soeroso tentang Pengantar Ilmu Hukum, menjelaskan bahwa dalam bahasa Arab
kata Hukum diambil dari kata Alkas, dalam bentuk jamak, berdasarkan penelusuran literature Saya, kata 'hukum'
dalam bentuk jamak adalah 'ahkam'.

137
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 24-26.
43
Terkait dengan pendefisinian istilah hukum', CF. Strong misalnya memulai
pendefinisian hukum berangkat dari unsur kekuatan yang dapat memerintah dan memaksa,
yaitu negara. Menurut CF. Strong hakikat suatu negara yang membuat berbeda dengan
semua bentuk perkumpulan adalah kepatuhan anggota-anggotanya terhadap hukum. Negara
sebagai suatu masyarakat teritorial dibagi menjadi pemerintah dan yang diperintah
(rakyat).138Sehingga, baik pemerintah dan yang diperintah, hendaknya memiliki pemahaman
yang sama terkait dengan makna hukum. CF. Strong menjelaskan dalam mendefinisikan
hukum dapat dinyatakan sebagai “sekumpulan aturanaturan umum yang ditetapkan oleh
penguasa masyarakat politik (negara) terhadap anggota-anggota masyarakat tersebut yang
secara umum mematuhinya.” Atau juga, definisi hukum adalah “suatu perintah yang
dikeluarkan orang yang ditunjuk untuk itu atau oleh sekelompok orang yang bertindak
sebagai suatu badan, untuk melakukan itu atau tidak melakukan tindakan-tindakan tertentu,
yang disertai maklumat, secara langsung atau tak langsung, tentang hukuman yang akan
diberikan kepada siapa saja yang tidak mematuhi. "139.
Pandangan di atas berbeda dengan pandangan Sudikno Mertokusumo dalam
memberikan definisi atas istilah hukum, yaitu:
Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedahkaedah dalam suatu kehidupan
bersama: keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan
bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.
Tampak sekali perbedaan yang ditunjukkan oleh kedua ahli hukum tersebut. Lawrence
M. Friedmann lebih menonjolkan sisi penguasa sebagai regulator sedangkan Sudikno
Mertokusumo menampilkan kaidah sosial dalam kehidupan bersama yang dilengkapi dengan
kekuatan memaksa.
Bagi ahli hukum di Indonesia, pendefinisian istilah 'hukum' selalu dikaitkan dengan
kaidah-kaidah sosial yang hidup di dalam masyarakat. Mochtar Kusuma Atmadja, misalnya,
dalam memberikan definisi tentang hukum, turut pula memulai pembahasannya dari pameo
Romawi,"ubis ociates ibi ius"; yakni dimana ada masyarakat, di situ ada hukum. Beliau
menjelaskan bahwa hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antar
manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum semata, namun terdapat pula
kaidahkaidah yang lain. Akan tetapi, dalam satu hal, hukum berbeda dari kaidah sosial
lainnya, yakni bahwa penataan ketentuan-ketentuannya dapat dipaksakan dengan suatu cara
yang teratur. Artinya pemaksaan guna menjamin penataan ketentuan-ketentuan hukum itu

138
CF. Strong, Konstitusi-konstitus Politik Modern. Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk, (Bandung:
Nusamedia, 2014), hlm. 7.
139
Ibid
44
sendiri tunduk pada aturan-aturan tertentu, baik mengenai bentuk, cara, maupun alat
pelaksanaannya.140
Menurut Konnie G. Kustron, hukum adalah:141
A lawis a set of rules that guides the behavior of society. It is something that must be
obeyed. When those rules are broken, rule breakers are punished with penalities.
Terjemahan Bebas: Hukum adalah seperangkat peraturan yang memberikan bimbingan
kepada tingkah laku masyarakat. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajib untuk
dipatuhi. Ketika peraturan-peraturan tersebut dilanggar, pelanggar akan dihukum dengan
hukuman.

Keberagaman pemahaman secara lengkap tentang makna hukum dipaparkan dengan


lugas oleh Roscoe Pound ke dalam dua belas konsepsi besar tentang hukum yang umum
dipahami oleh semua pihak, yaitu:142
1. Hukum merupakan gagasan tentang satu kaidah atau sehimpunan kaidah yang diturunkan
oleh Tuhan untuk mengatur tindakan manusia;
2. Hukum sebagai satu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata diterima oleh dewa-dewa dan
karena itu menunjukan jalan yang boleh ditempuh manusia dengan aman;
3. Hukum sebagai kebijaksanaan yang dicatat dari para budiman masa lalu, yang telah
dipelajari jalan yang selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui Tuhan;
4. Hukum dipahamkan sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filsafat, yang
menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus menyesuaikan kelakuannya
dengan sifat benda-benda itu;
5. Hukum dipandang sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari suatu undang-
undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah;
6. Hukum sebagai satu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di dalam masyarakat yang
diatur secara politik, persetujuan yang mengatur hubungan antara yang seorang dengan
orang lainnya;
7. Hukum sebagai pencerminan dari akal Illahi yang menguasai alam semesta ini;
8. Hukum sebagai satu himpunan perintah dari penguasa yang berdaulat di dalam satu
masyarakat yang disusun menurut satu sistem kenegaraan, tentang bagaimana orang harus
bertindak di dalam masyarakat itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa
saja yang dianggap terdapat di belakang wewenang dari yang berdaulat;

140
Mochtar Kusuma-Atmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2006),
hlm. 4.
141
Konnie G. Kustron, Introductiontothe American Legal System, (USA: Bookboon, 2013), hlm. 11.
142
RoscoePound, Pengantar Filsafat Hukum, [Pent. Mohamad Radjab), (Jakarta: Bhratara Karya Aksara,
1982), hlm. 28-30.

45
9.Hukum sebagai satu sistem pemerintah ditentukan oleh pengalaman manusia yang
menunjukan bahwa kemauan tiap manusia perseorangan akan mencapai kebebasan
sesempurna mungkin yang sejalan dengan kebebasan serupa itu pula, yang diberikan
kepada kemauan orang-orang lain,
10.Hukum dianggap sebagai satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filsafat, dan
dikembangkan sampai pada perinciannya oleh tulisan-tulisan sarjana hukum, dan dengan
putusan itu kemauan tiap orang yang bertindak diselerasakan oleh kehendak oranglain,
11.Hukum sebagai sehimpunan atau sistem kaidah yang dipikulkan atas manusia di dalam
masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara untuk memajukan kelas itu
sendiri, baik dilakukan secara dengan sadar maupun tidak sadar;
12.Hukum dipahamkan sebagai perintah dari undang-undang ekonomi dan sosial yang
berhubungan dengan tindak tanduk manusia di dalam masyarakat, yang ditemukan oleh
pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia
mengenai apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggaraan
peradilan.
Upaya dari Roscoe Pound tersebut, rupanya memancing kegairahan dalam melakukan
penelitian. Achmad Ali143, di dalam bukunya yang terakhir, telah menginventarisasi delapan
puluh pendapat ahli hukum berkaitan dengan makna dari hukum. Pada akhirnya, Beliau
kembali bersandar pada pendapat Lawrence M. Friedmann yang Beliau kutip dalam bukunya,
sebagai berikut:144
There is, of course, no 'true' definition of law. Definitions flow from the aim or function
of the definer. Selznick's definition, for example, is frankly normative. It follows from
his concern with justice in modern society, his wish to redirect legal scholarship.
Definitions that equate law with rules allow legal scholar ship to ignore empirical
questions and justify traditional legal thought.

Terjemahan Bebas → Sudah barang tentu, tidak ada definisi mengenai kata "hukum"
secara pasti. Pendefinisian selalu mengikuti dari tujuan atau kepentingan dari
pendefisini, sebagai contoh, definisi yang diutarakan oleh Selznick, yang sebenarnya
sangat normatif sekali. Definisi tersebut berasal dari perhatiannya terhadap keadilan
dalam masyarakat modern, Selznick berkeinginan untuk mengarahkan ulang
pengetahuan mengenai "hukum”. Definisi yang diajukan oleh Selznick adalah
menyamakan hukum dengan aturan memungkinkan para Ahli Hukum untuk
mengabaikan pertanyaan empiris dan membenarkan pemikiran hukum tradisional.
143
Almarhum adalah Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanudin. 29.
144
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana 2012), hlm. 418-439.

46
Dalam menyikapi keberagaman makna "hukum", dituntut kedewasaan akademis, bahwa
pendapat-pendapat tersebut tidaklah terkait dengan uraian siapa dan apa yang paling benar
namun keberagaman tersebut merupakan unsur-unsur yang memperkarakan wacana mengenai
hukum itu sendiri. Dalam berbagai pendapat yang diutarakan tersebut, terkadang memang
menjadi sangat tergantung dari titik berdirinya seeorang. Titik berdirinya seseorang ini juga
sangat menentukan isi dari pengertian yang dikeluarkan, dalam ranah akademik, biasanya
dibedakan dengan "partisipan" atau "pengamat". Sudah barang tentu, pendapat “partisipan"
akan sangat berbeda dengan pendapat dari “pengamat". Atau, perbedaan tersebut muncul pula
dari penguasaan ilmu pengetahuan tentang hukum yang dimilikinya.

C. Pengertian Sistem Hukum


Setelah Saya menyampaikan uraian-uraian dari pengertian istilah ‘sistem' dan istilah
'hukum', maka untuk melengkapi penulisan ini, saya juga mencoba mencari dan menghimpun
pendapat para ahli terkait penggabung kedua istilah tersebut menjadi Sistem Hukum.
Penggunaan istilah 'sistem hukum' lebih mengarah pada serapan dari bahasa Inggris yaitu
legal system. Dalam penggunaan istilah berdasarkan bahasa Inggris, para ahli hukum asing,
tidak menggunakan istilah “law' dalam istilah Sistem Hukum, melainkan menggunakan istilah
'legal'. Sehingga jika dirunut literatur yang ada, maka yang muncul adalah legal system dan
bukan law system atau the system of law; sehingga penggunaan istilah 'legal system' menjadi
biasa digunakan dan dipersamakan dengan istilah sistem hukum'. Layaknya istilah-istilah
sebelumnya, istilah sistem hukum atau legal system, pun memiliki beragam pemaknaan dari
para ahli hukum.
Menurut Lawrence M. Friedmann, sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan
sebuah organisme kompleks di mana struktur (structure), substansi (substance), dan kultur
(culture) berinteraksi; yang untuk menjelaskan latar belakang dan efek dari setiap bagiannya
diperlukan peranan dari banyak elemen sistem tersebut.145 Dengan kata lain, suatu sistem
hukum diandaikan untuk menjamin distribusi tujuan dari hukum secara benar dan tepat di
antara orang-orang dan kelompok.146 Achmad Ali menambahkan pendapat Lawrence M.
Friedmann dengan memasukkan unsur profesionalisme dan kepemimpinan.147
Struktur (structure) hukum, menurut Lawrence M. Friedmann, merupakan salah satu
dasar dan elemen nyata dari sistem hukum yang berbentuk institusi-institusi. Sedangkan
substansi (substance) hukum merupakan peraturan-peraturan yang dibentuk untuk melengkapi
struktur; sehingga struktur hukum merupakan kerangka badannya dalam bentuk
145
Lawrence M. Friedmann, The Legal System ........ Op.cit, hlm. 16-18.
146
Ibid., hlm. 19.
147
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan ..Op.cit., hlm. 204
47
permanennya, merupakan tubuh institusional dari suatu sistem. Sedangkan, substansi hukum
merupakan peraturanperaturan yang memberikan kerangka terhadap institusi tersebut
berperilaku. Unsur yang ketiga, Kultur (culture) Hukum, adalah elemen sikap dan nilai sosial
yang hidup di dalam struktur hukum berdasarkan substansi hukumnya. Nilai-nilai dan sikap-
sikap yang dipegang oleh para pemimpin dan anggotanya ada di antara faktor-faktor ini,
karena perilaku mereka bergantung pada penilaian mereka mengenai pilihan mana yang
dipandang berguna dan benar. Dengan demikian, kultur hukum mengacu pada bagian-bagian
yang ada pada kultur umum adat kebiasaan, opini, cara bertindak, dan berpikir yang
mengarahkan kekuatan-kekuatan sosial menuju atau menjauh dari hukum dan dengan cara-
cara tertentu.148 Dengan demikian, Saya menyimpulkan pendapat dari Lawrence M.
Friedmann, bahwa sistem hukum terdiri dari institusi-institusi yang memiliki peraturan-
peraturan dan terdeskripsikan dalam bentuk budaya hukum yang hidup, tumbuh, dan
berkembang di dalam institusi tersebut.
Hampir sejalan dengan pendapat Lawrence M. Friedmann, Sudikno Mertokusumo
menjelaskan bahwa hukum merupakan sistem; yang juga berarti bahwa hukum merupakan
tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur
yang saling terkait erat satu sama lain. Dengan perkataan lain, sistem hukum adalah suatu
kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja
sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.149Sehingga, suatu sistem hukum bergerak
seakan melingkar dan saling terkoneksi tanpa adanya jeda-jeda yang dapat menjadikan
hambatan dalam bekerjanya hukum dalam suatu sistem. Demi tercapainya tujuan hukum
dalam bergeraknya suatu sistem hukum, maka CFG. Sunaryati Hartono memberikan
pendapat bahwa dibutuhkan suatu organisasi yang dilandaskan kepada asas-asas tertentu. 150
Sebagaimana diungkapkan oleh Konnie G. Kustron, legal system adalah suatu
organisasi sosial dan kontrol dari pemerintah yang menciptakan dan mengatur ketentuan-
ketentuan dalam masyarakat melalui perundang-undangan. Organisasi tersebut mengatur
sistem peraturan dan membuat rancangan peraturan untuk mendorong terciptanya perilaku
yang baik dan mengurangi perilaku yang negatif. 151 Dengan kata lain, sistem hukum adalah
suatu kumpulan unsurunsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu

148
Lawrence M. Friedmann, The Legal System ......... Op.cit, hlm. 15-17.
149
SudiknoMertokusumo, Mengenal Hukum..........Op.cit., hlm. 115.
150
CFG. Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 56.
151
Konnie G. Kustron, Loc.cit.
48
kesatuan yang terorganisasi dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan.152 Oleh karena itu, pada
dasarnya sistem hukum adalah suatu struktur formal.153
Lebih lanjut, Konnie G. Kustron menjelaskan bahwa yang termasuk dalam suatu legal
system adalah badan pembentuk peraturan (seperti legislatif) yang membentuk undang-
undang dan pengadilan yang me-review dan menyelesaikan permasalahan hukum.154 Inilah
yang membedakan dengan Indonesia, “sistem hukum” Amerika memasukkan pengadilan
sebagai rule making bodies, sedangkan di dalam sistem hukum Indonesia, pengadilan bukan
bagian dari rule makin bodies, tetapi sebagai “defining and implementation of laws";karena
putusan hakim (yurisprudensi) di Indonesia hanya bersifat the persuasive force of precedent,
sehingga tidak mengikat.
R. Subekti berpendapat bahwa sistem adalah suatu susunan atau catatan teratur, suatu
keseluruhan yang terdiri dari bagianbagian yang berkaitan satu sama lain tersusun menurut
suatu rencana atau pola hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Dalam suatu
sistem yang baik, tidak boleh terjadi suatu duplikasi atau tumpang tindih (overlapping) di
antara bagian-bagian itu.155
Maka, Ahmad Muliadi mencoba memberikan definisi terhadap istilah sistem hukum
sebagai berikut:156
Sistem Hukum mengandung makna struktur menyeluruh atas ruang lingkup dari ilmu-
ilmu hukum yang tercakup di dalamnya kaedah-kaedah hukum, keputusan-keputusan
pejabat, (hukum) kebiasaan. Atau jelasnya ilmu-ilmu hukum yang menyajikan suatu
rekonstruksi sistematis dari sebagian fakta yang ditelaah dalam lingkup suatu negara
(Indonesia). Sistem hukum dapat dipelajari dalam hal logis dan sistematis.

Pendapat di atas memiliki kemiripan dengan pendapat yang diungkapkan oleh


Meuwissen, yang menjelaskan bahwa sistem hukum sebagai konstruksi (teoretis) yang di
dalamnya pelbagai norma kaidah hukum dipikirkan dalam suatu hubungan logis-konsisten
menjadi suatu kesatuan tertentu.157
Bernard Arief Sidharta juga menjelaskan mengenai "sistem hukum”
yakni,158“Keseluruhan kaidah-kaidah hukum dan bentuk penampilannya dalam aturan-aturan
152
SudiknoMertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010),
hlm. 24.
153
Mochtar Kusuma-Atmadja & B. Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 121,
154
Konnie G. Kustron, Op.cit., hlm. 12.
155
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang: Akademia Permata, 2013), hlm. 46.
156
Ibid.
157
Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2009), hlm. 11.
158
Bernard Arief Sidharta, Asas, Kaidah, dan Sistem Hukum, (bahan ajar FH-UNPAR), makalah tidak
dipublikasikan, (Bandung, 20 Juli 2004), hlm. 2.
49
hukum tersusun dalam sebuah sistem." Terhadap pengertian tersebut, Beliau memaparkan
bahwa eksistensi kaidah hukum tersebut memang harus dibentuk sedemikian rupa ke dalam
suatu sistem yang saling bersinergis. Sebab, jika tidak, maka tidak mustahil, atau akan mudah,
terjadi pertentangan antarkaidah hukum yang akan menyebabkan keberadaan hukum menjadi
problematis dan tidak fungsional untuk mewujudkan tujuan keberadaannya, yakni
mewujudkan perdamaian sejati dalam masyarakat. Karena itu, aspek hukum kehidupan
bermasyarakat dapat dipandang dan dipelajari sebagai sebuah sistem.
Notonagoro menggunakan istilah yang cukup menarik dalam menguraikan makna
sistem hukum. Beliau menjelaskan sebagai berikut:159
Yang dimaksud dengan tertib hukum adalah keseluruhan daripada peraturan-peraturan
hukum yang memenuhi empat syarat: ada kesatuan subyek yang mengadakan
peraturan-peraturan hukum, ada kesatuan asas kerohanian yang meliputi keseluruhan
peraturan-peraturan itu, ada kesatuan waktu dalam mana peraturan-peraturan hukum
itu berlaku, dan ada kesatuan daerah dimana peraturan-peraturan hukum itu berlaku.
Dari uraian Notonagoro tersebut, jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan 'tertib
hukum' adalah identik dengan sistem hukum yang saat ini saya bahas. Dari berbagai uraian
yang berkaitan dengan pendefinisian sistem hukum, pendapat Lawrence M. Friedmann,
rasanya sangat tepat dalam memberikan kesimpulan dari berbagai pemaknaan tersebut di atas.
Lawrence M. Friedmann menjelaskan bahwa sistem hukum memiliki lebih banyak lagi
kode aturan (codesofruler), aturan (do'sanddon'ts), peraturan (regulations), dan perintah
(orders). Hal tersebut disebabkan karena kata hukum' seringkali mengacu bukan hanya pada
aturan dan peraturan; namun, dapat dibedakan antara aturan dan peraturan itu sendiri serta
struktur, lembaga, dan proses yang mengisinya. Maka, bidang yang luas tersebutlah yang
disebut "Sistem Hukum”.160 Namun, tetap harus diingat bahwa pandangan dari Lawrence M.
Friedmann tersebut mengambil titik berdiri eksternal yaitu dari sisi pandangan Ilmu Sosial
dan bukan dari Ilmu Hukum. .
Demikian pula SoerjonoSoekanto, dalam menjelaskan makna dari sistem hukum,
berpandangan bahwa makna sistem menjadi tergantung dengan bagaimana seseorang
memberikan pengertian dari kata 'hukum' itu sendiri. Kemungkinan arti yang diberikan, dalam
pandangan klasik, pada hukum adalah sebagai berikut:161
1. Hukum dalam arti disiplin, yaitu sistem ajaran; 2. Hukum dalam arti ilmu pengetahuan;

159
HyrominusRhiti, Filsafat Hukum. Edisi Lengkap dari Klasik Sampai Postmodernisme, (Yogyakarta:
Universitas Atma Jaya, 2011), hlm. 387,

160
Lawrence M. Friedmann, American Law. An Introduction, [Pent. Wishnu Basuki), (Jakarta: Tata Nusa,
2001), hlm. 4.
161
SoerjonoSoekanto, Op.cit., hlm. 6
50
3. Hukum dalam arti kaidah;
4. Hukum dalam arti tata hukum;
5. Hukum dalam arti petugas;
6. Hukum dalam arti keputusan pejabat;
7. Hukum dalam arti proses pemerintahan; 8. Hukum dalam arti perilaku yang'ajeg';
9. Hukum dalam arti jalinan nilai-nilai.
Sehingga, pengertian sistem hukum dapat pula dikaitkan dengan beberapa pengertian
'hukum' tersebut. Misalnya, apabila hukum diartikan sebagai tata hukum maka sistem hukum
merupakan sistem tata hukum; apabila hukum diartikan sebagai jalinan nilai-nilai maka sistem
hukumnya merupakan sistem jalinan nilai-nilai.
Berdasarkan uraian-urian dari para ahli hukum tersebut di atas maka hampir bisa ditarik
persamaan bahwa suatu sistem hukum itu merupakan kumpulan dari unsur-unsur atau
komponen atau subsistem yang saling memiliki keterkaitan. Namun demikian, sistem hukum
merupakan dependent variable (variabel yang terpengaruhi), sedangkan politik hukum
merupakan independent variable (variable yang memengaruhi). Sedangkan perbedaannya
terletak kepada jenisjenis dari unsur-unsur atau komponen atau subsistem yang saling terkait
tersebut.
Bernard Arief Sidharta juga menjelaskan bahwa para sosiolog hukum (KeesSchuit,
L.M. Friedman, Soerjono Soekanto) memandang aspek hukum kehidupan masyarakat
sebagai sistem hukum atau tatanan hukum yang tersusun atas tiga subsistem (komponen)
sebagai berikut. Pertama, unsur idiil yang meliputi keseluruhan162 aturan-aturan, kaidah-
kaidah, dan asas-asas hukum yang disebut sistem makna yuridik yang bagi para yuris disebut
tata-hukum. Bagi para sosiolog hukum, sistem makna yuridik itu menunjuk pada sistem
lambang atau sistem referensi (rujukan). Sistem makna yuridik itu menyatakan gagasan
tentang bagaimana orang seyogianya berperilaku atau harus berperilaku. Sistem makna
yuridik sebagai sebuah sistem lambang memberikan kesatuan dan makna pada kenyataan
majemuk dari perilaku manusia. Dengan lambang-lambang itu manusia akan dapat mengerti
dan memahami kemajemukan perilaku manusia itu dan akan dapat memberikan arti pada
perilaku manusia sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antarmanusia yang bermakna
(komunikasi). Kedua, unsur operasional yang mencakup keseluruhan organisasi-organisasi,
lembaga-lembaga, dan pejabat-pejabatnya; unsur ini meliputi badan-badan eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dengan aparat-aparatnya seperti birokrasi pemerintahan, pengadilan,
kejaksaan, kepolisian, dan dunia profesi seperti advokatur dan kenotariatan. Ketiga, unsur

162
Bernard Arief Sidharta, Asas, Kaidah, dan...Op.cit., hlm. 2-3.

51
aktual yang menunjuk pada keseluruhan putusanputusan dan tindakan-tindakan (perilaku),
baik para pejabat maupun para warga masyarakat, sejauh putusan-putusan dan tindakan-
tindakan itu berkaitan atau dapat ditempatkan dalam kerangka sistem makna yuridik yang
dimaksud dalam unsur pertama tadi. Unsur ketiga ini menunjuk pada budaya hukum. Oleh
karena itu, dalam memahami suatu Sistem Hukum atau legal system, terdapat 2 (dua) hal
yang wajib dipahami dengan baik, yaitu:
1. Model-model Sistem Hukum atau legal systems; dan
2. Unsur-unsur atau komponen atau subsistem yang menjadi satu kesatuan.
Hampir senada dengan pandangan Bernard Arief Sidharta -yang dengan
menyimpulkan dari beberapa pendapat dari para sosiolog hukum menyatakan bahwa perlu
adanya komponen dan sub-komponen dalam sistem hukum- Lawrence M. Friedmann,
mengutip pendapat HLA. Hart, bahwa ciri khas suatu Sistem Hukum adalah kumpulan ganda
dari peraturan-peraturan. Suatu sistem hukum adalah kesatuan dari primary rules dan
secondary rules.163
Lebih lanjut, HLA. Hart menjelaskan bahwa pemikirannya mengenai primary rules dan
secondary rules wajib ada di dalam suatu sistem hukum. Primary rules lebih menekankan
pada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam
sebuah bentuk hukum (formof law). Primaryrules yang di dalamnya berisi apa yang disebut
aturan sosial (social rule), agar eksis perlu dipenuhi syarat-syaratnya; yakni adanya suatu
keteraturan perilaku di dalam beberapa kelompok sosial, aturan itu harus dirasakan sebagai
suatu kewajiban oleh suatu dalam anggota kelompok sosial yang relevan. Sedangkan
secondaryrule dapat disebut aturan tentang aturan yakni aturan yang menetapkan aturan mana
yang dianggap sah (rule recognition); bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rule of
change); bagaimana dan oleh siapa dapat dipaksakan atau ditegakkan (rule of adjudication).
Apabila ditelaah lebih jauh maka rule of adjudication lebih efisien, rule of change sedikit
kaku, sedangkan rute of recognition bersifat reduknionis.164 Dengan demikian, sistem hukum
menurut HILA. Hart merupakan suatu sistem aturan-aturan sosial.165 Berikut Saya tampilkan
gambaran umum mengenai sistem sistem hukum yang paling memengaruhi perkembangan
hukum di dunia, yaitu sebagai berikut:
1. Perkembangan Sistem Hukum Secara Umum
Secara garis besar, terdapat dua sistem hukum dari dua keluarga hukum yang sangat
berpengaruh dalam perkembangan hukum di dunia, yaitu commonlaw dari keluarga hukum

163
Lawrence M. Friedmann, The Legal System.......... Op.cit, hlm. 16.
164
Siswanto Sunars, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 3-4,
165
Petrus C.K.L. Bello, Hukum & Moralitas. Tinjauan Filsafat Hukum, (Jakarta: Erlangga, 2012), hlm.
27.
52
anglosaxon dan civil law dari keluarga hukum Eropa Kontinental. Walaupun tidak dipungkiri
bahwa berdasarkan realitas masih terdapat sistem hukum lain, misalnya antara lain islamic
law (sistem Hukum Islam), socialistlaw (sistem Hukum Sosialis), fareastlaw (Sistem Hukum
Timur Jauh), dan sistem hukum Adat.
Sedangkan menurut Shidarta, di dunia ini biasanya ada tiga keluarga sistem hukum,
yaitu (1) civil law system, (2) common law system, dan (3) socialist law system. Kelompok
yang ketiga, socialist law system , sering tidak disinggung secara khusus dalam banyak tulisan
karena dianggap berakar pada civil law system. Di luar tiga kelompok itu, ada kategori lain-
lain, yang biasa disebut keluarga sistem hukum bertradisi campuran. Pembagian di atas
sebenarnya bersifat over simpli fied, mengingat sistem-sistem hukum yang mengisi bagian-
bagiannya juga begitu banyak.166 Peter de Cruz di dalam bukunya membagi menjadi empat
puluh dua sistem hukum, sedangkan Esmein membagi menjadi lima sistem hukum, dan ahli
hukum lainnya adalah Zweigert dan Kotz, yang membagi berdasarkan ideologi dan teknis
hukum, sehingga muncul lah enam jenis sistem hukum. Pada intinya, metode pembagian
keluarga sistem hukum tersebut sangat dipengaruhi oleh indikator yang digunakan sebagai
"pisau analisis." Makin tajam" pisau analisis" tersebut, maka makin banyak bagian-bagian
yang bisa ditampilkan sebagai keluarga sistem hukum tersendiri.167
Kedua sistem hukum yang dominan tersebut (commonlaw dan civillaw), menurut Lili
Rasjidi dapat dibedakan melalui beberapa cara antara lain sejarah dan tekniknya. 168 Lebih
lanjut Peter deCruz menjelaskan sejumlah faktor yang dapat dijadikan indikator untuk
menggolongkan sistem hukum negara-negara tertentu menjadi satu keluarga tersendiri.
Faktor-faktor itu antara lain meliputi:169
1. Latar belakang sejarah dan pembangunan sistem hukumnya (the historical background and
develop ment of the system);
2. Karakteristik khas dari cara berpikirnya (its characteristic (typical] mode ofthought);
3. Pranata-pranatanya yang berbeda (its distinctive institutions);
4. Jenis-jenis sumber hukum yang dikenal dan penggunaannya (the types of legal sources it
acknowledges and its treatment of these);
5. Ideologinya (its ideology).

166
Shidarta, Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penetudi Hukum,
hlm. 7.
167
Ibid., hlm, 8
168
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 44.

169
Peter deCruz, Comparative Law in Changing World, (London: CavendishPublishing Ltd, 1995),
hlm. 34.
53
Koerniatmanto Soetoprawiro menjelaskan bahwa paling tidak ada dua istilah lain
untuk menunjuk rumpun hukum yang satu ini. Selain rumpun Civil Law (civil law system),
orang juga biasa menyebut sebagai rumpun Hukum Romano-Germanik (Romano-Germanic
system) atau rumpun Hukum Eropa Kontinental. Istilah Eropa-Kontinental mengacu pada
kenyataan, bahwa rumpun ini terutama berkembang di kawasan itu. Sementara itu istilah
Civillaw mengacu pada sejarah perkembangan rumpun hukum ini yang pada dasarnya terkait
erat dengan tata-hubungan warga masyarakat Eropa. Akhirnya, istilah Romano-Germanik itu
muncul mengingat bahwa rumpun hukum ini terdiri atas sejumlah pengaruh aliran hukum,
yang terutama didominasi oleh hukum Romawi dan hukum Jerman.170
Sebagaimana dijelaskan oleh Friedman, biasanya para ahli hukum membagi sistem-
sistem hukum ke dalam keluarga, rumpun, kalangan, atau kelompok-kelompok tertentu.
Masing-masing keluarga, rumpun, kalangan atau kelompok meliputi sistem-sistem hukum
yang dipandang saling berkaitan erat. Para ahli perbandingan hukum sepakat bahwa ada
beberapa “keluarga" yang dominan dalam dunia hukum. Satu kelompok besar civil law
banyak dipengaruhi oleh Hukum Romawi Klasik dan memiliki kodifikasi yang sama, disebut
demikian karena pada awal mulanya karena Hukum Romawi bersumber dari karya agung
Kaisar lus tinianus Corpus Iuris Civilis.171 Pandangan lain menjelaskan bahwa perkembangan
Civil Law System dimulai semenjak adanya Code, the XII Tables.172
Namun, di samping hukum Romawi dan adat-kebiasaan Jerman, pada hakekatnya
rumpun hukum ini terbentuk sebagai hasil interaksi kedua hukum tersebut dengan hukum
Kanonik dan hukum dagang pula. Selain itu, upaya untuk menghancurkan feodalisme dan
munculnya negara-kebangsaan (nation-states) di Eropa juga memiliki andil yang besar dalam
pembentukan rumpun civil law ini.173 Tradisi hukum civillaw merupakan sistem hukum yang
paling tua, pembahasannya selalu kembali kepada asa-usulnya pada tahun 450 M, namun
walaupun paling tua, civillaw mengalami perkembangan yang lebih lama dibandingkan
commonlaw, yang notabene memiliki asal usul yang lebih cepat.174
Lili Rasjidi menjelaskan, jauh sebelum teks Hukum Romawi ditemukan di Italia Utara,
hukum romawi adalah hukum yang hidup di masyarakat (living law) dan merupakan sebab
persamaan Hukum Romawi dengan Hukum Kebiasaan, yaitu keduanya dibentuk melalui
prosedur, kemudian dilanjutkan melalui Code Civile 1804 Perancis. Selama perkembangan

170
Koerniatmanto Soetoprawiro, Rumpun Civil Law, Bahan Ajar (tidak dipublikasikan) Program Doktor
Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Jayabaya, 2015), hlm. 1.
171
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 223.
172
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 45
173
Koerniatmanto Soetoprawiro, Rumpun Civil Law Op.cit., hlm. 1.
174
VivienneO'Connor, Common Law and Civil Law Tradition, International Network to Promote the
Rule of Law (INPROL), (Maret 2012), hlm. 8.
54
yang mengawalinya tampak adanya pengaruh dari Hukum Kristen. Pada perkembangan
berikutnya, Civil Law System dipengaruhi pula dengan aliran rasionalisme dan pada abad
XIX, Civil Law System mendapat pengaruh dari kebangkitan nasionalisme.175
Demikianlah, rumpun civil law ini berbasis pada hukum romawi. Tata hukum menurut
rumpun hukum ini merupakan Ghana, dan Nigeria, di bekas-bekas koloni di Afrika, dan di
Liberia. Pengaruh wommonlaw juga terasa kuat di India, Pakistan, dan Malaysia.176
Pada awal abad pertengahan sampai abad XII, hukum Inggris dan Eropa Kontinental
masuk ke dalam keluarga sistem hukum yang sama, yaitu Hukum Jerman (Germanic Law).
177
Hukum tersebut bersifat feodal baik substansinya maupun prosedurnya. Satu abad
kemudian terjadi perubahan situasi. Hukum Romawi yang merupakan hukum materiil dan
hukum Kanonik, yang merupakan hukum acara, telah mengubah kehidupan di Eropa
Kontinental. Adapun di Inggris luput dari pengaruh tersebut sehingga masih menggunakan
hukum asli rakyat Inggris. Saat dikotomi itu terjadi dapat ditentukan secara tepat yaitu pada
masa pemerintahan Raja Henry II178
Common law Inggris muncul dari perubahan dan sentralisasi kekuasaan raja selama
Abad Pertengahan. Pada prinsipnya, commonlaw dibangun oleh suku-suku Anglikan dan
Salsa yang mendiami sebahagian besar Inggris, sehingga disebut Anglo Saxon, jauh sebelum
Penaklukan bangsa Normandia.179Setelah peristiwa Penaklukan Norman tahun 1066, raja-raja
abad pertengahan mulai mengonsolidasikan kekuasaan dan membentuk lembaga baru otoritas
kerajaan dan keadilan.
Cornmon law system secara orisinil berkembang di bawah pengaruh sistem adversarial
dalam sejarah kenegaraan Inggris berdasar pada keputusan pengadilan yang berdasarkan
tradisi, custom, dan preseden. Bentuk reasoning yang digunakan dalam Common Law System
dikenal dengan casuistry atau case base dreasoning 180
Sebagian ahli memandang sistem sosialis Eropa-Uni Sovyet dan demokrasi rakyat Eropa
Timur-sebagai keluarga tersendiri. Sekalipun demikian, kelompok ini memiliki kemiripan
yang kuat dengan dunia civil law. Negara-negara muslim (islamic law -Pen) membentuk
keluarga tersendiri. Timur Jauh (fareast law -Pen) juga berdiri sendiri. Hukum Jepang

175
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 45-46.
176
Koerniatmanto Soetoprawiro, Rumpun Civil Law Op.cit., hlm.2
177
Lawrence M. Friedmann, The Legal System .......... Op.cit, hlm. 261.
178
Peter Mahmud Marzuki, Loc.cit hlm.9
179
Rudianto, Sistem Hukum Common Law, Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas Narotama, (2011),
hlm. 2.
180
Otong Rosadi dan Andi Desmon, Op.cit., hlm. 29.
55
merupakan perpaduan yang unik antara civillaw dan unsur-unsur khas asli Jepang (customary
law -Pen) diimbuhi dengan pengaruh Amerika terkini.181
Perkembangan yang menarik justru terdapat di dalam sistem hukum commonlaw; yang
pada kenyataannya, sistem hukum Amerika Serikat yang notabene merupakan bekas negara
jajahan dari Inggris, menerapkan sistem hukum commonlaw secara berbeda dengan negara
asalnya, kecuali Negara Bagian Louisiana yang masih kuat menganut sistem hukum civillaw
karena pengaruh yang kuat dari Perancis.
Pada abad XX, Common Law System terformulasi ke dalam dua bentuk utama, yaitu
Anglo Saxon Law System dan Anglo American Law System. Sistem hukum ini tidak
terpengaruh dan menolak Sistem Hukum Romawi. Perkembangan Common Law System
berawal dari penolakannya terhadap Hukum Romawi yang berorientasi kepada keadilan
univerisal. Penolakan tersebut berawal dari pandangan terhadap realitas keterbatasan manusia,
bahwa manusia bukan mahluk luar biasa yang dapat mewujudkan keadilan absolut. Keadilan
absolut merupakan urusan Tuhan, dan manusia harus menempatkan tujuantujuan yang lebih
realistis bagi kehidupan.182
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa hukum yang diterapkan oleh orang-orang
Inggris di Amerika berbeda dengan yang diterapkan oleh Pengadilan Kerajaan Inggris. Hal
tersebut dikarenakan hukum lokal lah, berupa kebiasaan-kebiasaan masyarakat, yang diangkat
menjadi hukum, sehingga barang tentu berbeda dengan akar hukumnya. 183 Namun demikian,
menurut saya, dikarenakan begitu kuatnya tekanan untuk menerapkan hukum asal, proses
pembentukan hukum yang dimiliki oleh Amerika memiliki kesamaan dengan common law
dari Inggris. Oleh karena itu menjadi wajar ketika Amerika Serikat, secara umum
diklasifikasikan sebagai penganut sistem hukum common law.
Pembeda utama antara Amerika dan Inggris adalah bahwa Amerika menuangkan hukum
tertingginya dalam bentuk hukum tertulis yaitu konstitusi, sedangkan Inggris tidak memiliki
konstitusi secara tertulis. Hal tersebut dikarenakan praktik ketatanegaraan Inggris didasarkan
atas convention (konvensi).184
Menurut Koerniatmanto Soetoprawiro, pola penyebaran pengaruh rumpun hukum ini
ke seluruh dunia juga kurang lebih sama dengan pola penyebaran rumpun hukum sipil, yaitu
kolonialisasi dan resepsi. Namun demikian pada akhirnya, perlu dibedakan antara Common

181
Lawrence M. Friedmann, The Legal System.......... Op.cit, hlm. 262.
182
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 43-44.
183
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm. 240.

184
Ibid., hlm. 242. ; Dalam sistem ketatanegaraan Inggris dikenal adanya convention, yaitu praktik
penyelenggaraan ketatanegaraan yang dijalankan berdasarkan kebiasaankebiasaan. Hal ini dilakukan karena
Inggris tidak memiliki konstitusi tertulis.
56
Law di Eropa (Inggris dan Irlandia) dengan Common Law di luar Eropa. Di luar Eropa
Common Law diterima sebagai bagian dari keseluruhan hukum setempat. Sistem hukum yang
lain juga merupakan koeksistensi sistem hukum setempat itu. Hal ini tampak jelas pada
sejumlah negara Islam ataupun di India. Demikian pula halnya di Amerika Serikat dan
Kanada, yang karena perbedaan peradaban dengan Inggris, maka Common Law yang berlaku
di kedua negara itu juga bersifat otonom.185
Dalam pengertian yang lebih luas terhadap sistem hukum Amerika, maka patut bahwa
Amerika sebagai jajahan Inggris pada dasarnya mengembangkan sistem yang berbeda dari
yang berlaku di Inggris meskipun pada menganut common-law. Pada sisi lain, perkembangan
ekonomi, politik, dan sosial di Amerika menyebabkan hukum Amerika menjadi acuan atau
landasan dalam aktivitas ekonomi. Karena itu commonlawsystem di Amerika saat ini lazim
disebut sebagai Anglo-American.186

2. Ciri-ciri Umum Sistem Hukum Common Law dan Civil Law


Sistem common law mulai berkembang di Inggris hampir seribu tahun lalu. Pada saat
Parlemen Inggris didirikan, hakim kerajaan sudah mulai mendasarkan keputusan mereka pada
hukum “umum" untuk kerajaan.187 Common law umumnya tidak terkodifikasi. Ini berarti
bahwa tidak ada kompilasi komprehensif aturan hukum dan undang-undang. Negara-negara
common law tidak bergantung pada beberapa undang-undang yang tersebar, yang merupakan
keputusan legislatif, itu sebagian besar didasarkan pada preseden, yang berarti keputusan
pengadilan yang telah dibuat dalam kasus serupa atau didasarkan pada putusan-putusan hakim
terdahulu yang kemudian menjadi dasar bagi hakim-hakim selanjutnya188, tidak seperti pada
civillaw yang selalu dikembangkan melalui metode top-down oleh legislatif.189 Preseden ini
dipelihara dari waktu ke waktu melalui catatan pengadilan serta historis didokumentasikan
dalam koleksi hukum kasus yang dikenal sebagai buku tahunan dan laporan. Preseden untuk
diterapkan dalam keputusan setiap kasus baru ditentukan oleh hakim ketua. Akibatnya, hakim
memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk hukum di Amerika dan Inggris. Fungsi
commonlaw sebagai sistem adversarial, kontes antara dua pihak yang bertentangan sebelum
seorang hakim yang moderat. Seorang juri dari orang-orang biasa tanpa pelatihan hukum

185
Koerniatmanto Soetoprawiro, Rumpun Common Law, Bahan Ajar (tidak dipublikasikan) Program
Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Jayabaya, 2015, hlm. 2.
186
Rudianto, Op.cit, hlm. 5.
187
Peter J. Messite, Common Law vs Civil Law Systems, USIS-IssuesofDemocracy, (September 1999),
hlm. 1.
188
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 65.
189
VivienneO'Connor, Op.cit, hlm. 13.
57
memutuskan fakta-fakta dari kasus tersebut. Hakim kemudian menentukan kalimat yang
sesuai dengan putusan juri.190
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa sistem hukum commonlaw memunyai
tiga karakteristik, yaitu pertama, yurisprudensi dipandang sebagai sumber hukum yang utama;
kedua, dianutnya doktrin stare decisis191, dan ketiga, adanya adversary system dalam proses
peradilan.192 Civil law, justru sebaliknya, identik dengan kodifikasi. Negara-negara dengan
sistem civil law memiliki komprehensivitas, aturan hukum terus diperbarui yang menentukan
semua hal yang mampu dibawa ke pengadilan, prosedur yang berlaku, dan hukuman , yang
sesuai untuk setiap pelanggaran.193 Sedangkan teknik hukum pada Civil Law System selain
bercirikan pada kodifikasi, juga mengedepankan kepastian hukum, yang pada abad XIX
dinyatakan mendominasi seluruh wawasan dunia dalam berbagai variasinya.194 Oleh karena
itu, pada sistem hukum Eropa Kontinental, civil law, merupakan suatu mahzab yang
menganggap undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum. Diasumsikan bahwa
hukum identik dengan undang-undang sehingga tidak ada hukum yang lain di luar undang-
undang.195 Sehingga, titik tekan pada sistem hukum ini adalah penggunaan aturan-aturan
hukum yang sifatnya tertulis. Sistem ini berkembang di daratan Eropa, disebarkan di Eropa
daratan dan daerah-daerah jajahannya.196
Prinsip dasar sistem Common Law baik, hukum material maupun hukum acaranya, yang
berasal dari daerah Inggris selatan itu telah menyebar ke hampir sepertiga kawasan dunia.
Namun sebenarnya hukum Inggris itu hanya berlaku di Inggris dan Wales saja, dan bukan di
seluruh Great Britain, karena hukum Skot landia itu bertumpu pada rumpun Civil Law. A.V.
Dicey lalu menggolongkan negara-negara Common Law ini menjadi tiga kelompok, yaitu
kawasan yang ditempati (seeded), kawasan yang dimukimi (settled), dan kawasan yang
diduduki (conquered).197
Di kawasan seeded seperti halnya India dan Hong Kong, Common Law bertemu dengan
peradaban klasik yang tinggi. Di kawasan ini Common Lavhanya berpengaruh terutama pada
sistem peradilannya saja. Di India misalnya, pada awalnya Inggris berada di sana itu atas ijin

190
"The Common Law And Civil Law Traditions”, http://www.law.berkeley.edu/
library/robbins/pdf/CommonLawCivilLawTraditions.pdf (1 Mei 2014), hlm. 1.
191
Doktrin yang mengajarkan bahwa adanya penghormatan terhadap putusan hakim terdahulu dan
berdasarkan preseden, sehingga dikenal pula dengan nama Asas Preseden
192
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm. 250-251.
193
“The Common Law And Civil Law Traditions", Sumber: http://www.law.berkeley.edu/
library/robbins/pdf/CommonLawCivil Law Traditions.pdf (1 Mei 2014), hlm. 1.
194
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 46.
195
Ahmad Muliadi, Op.cit., hlm. 52.
196
Juhaya S. Praja, Op.cit., hlm. 64.
197
KoerniatmantoSoetoprawiro, Rumpun Common Law, Bahan Ajar Tidak Dipublikasikan, Program
Doktror Ilmu Hukum Pascasarjana, Universitas Jayabaya, Jakarta, (2015), hlm. 14.
58
Kemaharajaan Moghul dan para penguasa setempat lainnya dalam rangka berdagang. Inggris
kemudian mendominasi seluruh India, dengan memanfaatkan pelbagai kelemahan dan konflik
internal India itu sendiri. Dalam kondisi yang sedemikian itu Common Law bertemu dengan
sistem-sistem hukum yang telah secara baku ada di sana. Atas dasar itu, maka Common Law
pada prinsipnya tetap berlaku di India, namun tidak meliputi hukum keluarga dan waris serta
urusan keagamaan. Hanya ada sesuatu yang khas India. Sebagai akibat dari jerih payah
Jeremy Bentham pada awal abad 19, India lalu mengenal sistem kodifikasi model rumpun
Civil Law. Sementara itu di kawasan settled seperti halnya Amerika Serikat, Australia,
Serlandia Baru, dan Kanada, pada prinsipnya Common Law berlaku seutuhnya. Hal ini
mengingat bahwa di kawasan ini Common Law tidak berjumpa dengan sistem hukum
setempat yang cukup berarti. Akhirnya di kawasan conquered seperti halnya Afrika Selatan,
Common Law bertemu dengan rumpun Civil Law yang relatif telah baku. Hukum Afrika
Selatan pada pokoknya berbasis pada rumpun Civil Law, warisan pemerintah kolonial
Belanda. Hukum acara Inggris yang mula-mula masuk ke dalam sistem hukum Belanda-
Romawi itu, lalu diikuti dengan sejumlah peraturan perundang-undangan Inggris, khususnya
yang menyangkut urusan perdagangan. Dengan demikian, sistem hukum Afrika Selatan itu
pada hakikatnya terdiri atas hukum material Belanda-Romawi dan hukum acara Inggris.198
Undang-Undang tersebut membedakan antara berbagai katagori hukum: hukum
substantif menetapkan tindakan yang akan dikena kan pidana atau perdata penuntutan, hukum
acara menetapkan cara menentukan apakah tindakan tertentu merupakan tindak pidana, dan
hukum pidana menetapkan hukuman yang sesuai. Dalam sistem civil law, peran hakim adalah
menetapkan fakta-fakta kasus tersebut dan menerapkan ketentuan undang-undang yang
berlaku. Meskipun hakim sering membawa tuduhan formal, menyelidiki masalah ini, dan
memutuskan kasus ini, ia bekerja dalam kerangka yang ditetapkan oleh seperangkat hukum
yang telah dikodifikasikan (komprehensif). Oleh karena itu, keputusan hakim menjadi kurang
begitu penting dalam membentuk civi llaw daripada keputusan leg. islator (DPR) dan sarjana
hukum yang merancang dan menafsirkan Undang-undang (Doktrin).199
Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa sistem hukum civil law pun
memiliki tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden
sehingga undang-undang menjadi sumber hukum utama, dan sistem peradilan bersifat
inkuisitorial.200

198
Ibid., hlm. 15.
199
"The Common Law AndCivil Law Traditions", http://www.law.berkeley.edu/
library/robbins/pdf/CommonLawCivilLawTraditions.pdf (1 Mei 2014), hlm. 1.
200
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm. 244.

59
Secara umum, maka perbedaan antara commonlaw dan civil law dapat dicermati dalam
tabel berikut:
Fasilitas Sistem Common Law
Civil Law
Keberlanjutan Sistem Evolusioner Revolusioner
Konsep Rule of Law Rechtsstaat
Penyelenggaraan Negara
Sumber Utama Hukum Kebiasaan & Praktik yang Undang-Undang
termuat dalam Putusan
Pengadilan
Ketergantungan Kuat Lemah
pada Preseden
Peran Pengadilan Aktif & Kreatif Pasif & Bersifat Tehnis
Peran Doktrin Sekunder Luas dan Berpengaruh
Judicial Review terhadap UU Ya Tidak
dan Tindakan Eksekutif
Keputusan Utama Pengadilan Investigasi & Pemeriksaan
Format Pengadilan Inquisitorial & collaborative
Accusatorial & Konfrontatitif
Luas & Mendasar Sederhana & Dibatasi
Penggunaan Argumentasi
dan Debat
Bentuk Penalaran Induktif Deduktif
Hukum/Legal Reasoning
Penekanan Pengadilan Kebenaran Prosedural Kepastian Fakta
Aturan Pembuktian Formal dan Ketat Semua bukti
dipertimbangkan
Peran Advokat Primer Sekunder
Fungsi Advokat Berdebat & Bertentangan Memberi Saran & Informasi
Wasit Memimpin & Memeriksa
Peran Hakim Selama
Persidangan
Pemilihan Hakim Janji Politik Status Prestasi dari Keahlian
Khusus
Status Hakim Secara Politis VIP Pelayan Publik Kelas
Menengah
Partisipasi Warga Negara Juri Penonton Dalam Sidang
Dalam Pengadilan
Fokus Upaya Banding Prosedural Prosedural & Substantif
Kesatuan Badan Peradilan Struktur Badan Pembagian Struktur
Peradilan yang Menyatu Badan Peradilan Berdasarkan

60
Kekhususan

Sistem Logika Open Logical System Closed-Logical System

Sistem PerundangUndangan Unifikasi Kodifikasi

Pada masa-masa yang selanjutnya bersamaan (Abad 18) dengan perkembangan suasana
politik dan ekonomi di Amerika, berubah pula pandangan kaum kolonis itu tentang hukum.
Mereka mulai menyadari akan perlunya pembinaan hukum secara sungguh-sungguh. Pada
gilirannya, Common Law mulai dipandang secara lain. Mereka melihat bahwa Common Law
ini dapat mereka pergunakan justru untuk melawan absolutisme pemerintah Inggris itu
sendiri, dalam rangka mempertahankan kebebasan publik mereka. Hal ini diperkuat dengan
suatu kenyataan akan adanya ancaman yang datang dari Prancis yang berada di wilayah
Louisiana dan Nouvelle France (Kanada), yang tentu saja mempergunakan sistem Civil Law.
Dengan demikian Common Law lalu mereka pandang sebagai sistem hukum yang lebih
menguntungkan bagi mereka. Penerapan Common Law pada masa itu diperkuat dengan gejala
penerapan sejumlah peraturan perundangundangan Inggris ke dalam reksa peradilannya.
Gejala ini diikuti dengan penerbitan Commentaries on the Laws of England karya Sir
William Blackstone di Philadelphia pada tahun 1771.201
Namun demikian, Proklamasi Kemerdekaan Amerika kiranya memberikan nuansa
kodifikasi dalam sejarah hukum Amerika. Kemerdekaan Amerika diproklamasikan pada
tahun 1776 dan dikukuhkan sebagai Amerika Serikat pada tahun 1783. Pada saat itu Perancis
telah berubah menjadi sekutu Amerika dalam rangka perlawanan terhadap Inggris. Bersamaan
dengan itu semakin kuat lahhastrat untuk mempunyai hukum nasional yang bersifat mandiri.
Di samping maraknya bentuk republik bagi negara baru ini, hasrat untuk mempunyai hukum
nasional yang mandiri ini telah mendorong gerakan berkodifikasi.
Nuansa kodifikasi inilah yang pada akhirnya menjadi latar belakang
dipermaklumkannya Konstitusi Amerika Serikat oleh Konvensi Federal pada 17 September
1787. Gerakan kodifikasi ini kiranya berawal dari dirumuskannya sejumlah kitab undang-
undang, khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Sipil model Perancis pada tahun 1808 oleh
pihak Teritorial New Orleans (pecahan dari kawasan Louisiana), sesaat setelah bergabung ke
dalam Amerika Serikat. Selain itu, kehadiran Jeremy Bentham sebagai penasehat khusus
Presiden James Madison pada tahun 1811 memperkuat gerakan kodifikasi. ini. Akan tetapi
201
Ahmad Muliadi, Op.cit., hlm. 43
61
sampai pertengahan abad 19 masih terdapat keraguan yang melanda Amerika Serikat sebagai
akibat dari pertentangan pendapat antara para pendukung Common Law dengan kubu
kodifikasi. Gerakan kodifikasi kiranya cukup kuat pengaruhnya, sehingga pada tahun 1856
Sir Henry Maine, seorang sejarawan Inggris meramalkan kesuksesan rumpun Civil Law di
Amerika Serikat. Hal ini terutama didorong oleh rasa anti-Inggris di Amerika Serikat pada
saat itu. Bahkan karya Robert Pothier dan Jean Domat diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris di Amerika Serikat. Di samping itu, David Dudley Field juga rajin sekali
berkampanye tentang kodifikasi ini di New York. 202
Akan tetapi pada akhirnya, Amerika Serikat tetap diklasifikasikan ke dalam rumpun
Common Law, kecuali negara bagian Louisiana (bekas Teritorial New Orleans). Hal ini terjadi
lebih karena alasan tradisi. Suatu regime yang baru seperti biasanya mudah sekali berubah
ubah sikapnya, serta berupaya mencari alternatif pola yang lain daripada pola yang
dipergunakan oleh regime yang lama. Selain itu, penggunaan bahasa Inggris kiranya juga
merupakan wahana jitu bagi terbinanya sistem Common Law ini. Commentaries yang ditulis
oleh James Kent pada tahun 1826-1830 dan karya-karya Hakim Joseph Story juga
memperkuat kubu Common Law. Sekolah-sekolah hukum (law schools) yang banyak
didirikan pada masa pasca Perang Saudara (1861-1865) juga mengajarkan sistem Common
Law ini.203
Demikianlah, sistem Common Law kemudian memperoleh tempat yang terhormat di
Amerika Serikat. Namun hal ini tidaklah berarti bahwa hukum Inggris menjadi begitu saja
berlaku di Amerika Serikat. Pengaruh sistem Civil Law telah pula meninggalkan jejak yang
sangat berarti di Amerika Serikat, sehingga terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara
Common Law Inggris dengan Common Law Amerika Serikat. Terutama sejak Kemerdekaan
Amerika Serikat, masing-masing Common Law tersebut berjalan pada relnya masing-masing.
Pola hidup dan peradaban serta kondisi geografis masing-masing negara pada masa-masa
yang selanjutnya juga semakin memperlebar jarak perbedaan di antara keduanya.
Poin menarik dalam perkembangan Common law adanya pengaruh Civil Law melalui
sistem kodifikasi yang diperkenalkan oleh Jeremy Bentham. Jeremy Bentham sendiri
merupakan filsuf hukum yang memaparkan kajiannya dalam ranah Common Law di Inggris
melalui kritiknya terhadap sistem hukum Common Law yang didasarkan oleh Paradigma
Hukum Kodrat. Menurutnya gagasan yang mendasari Common Law itu keliru dan berbahaya.
Menjadikan hukum kodrat sebagai kriteria keabsahan hukum adalah sama dengan menjadikan
pendapat pribadi sebagai ukuran. Hukum menjadi ranah ketidakpastian karena hanya

202
Ibid., hlm. 18
203
Ibid., hlm. 19.
62
bergantung pada pendapat pribadi atau kecenderungan orang yang memutusnya. Dikarenakan
sifat abstrak dari Paradigma Hukum Kodrat, maka paradigma tersebut tidak menyediakan
standard umum yang dapat menjadi pegangan masyarakat untuk menilai sebuah aturan,
hukum, tindakan, atau putusan tertentu. Sehingga memunculkan dua jenis bahaya yaitu
pertama, pembenaran putusan hakim dijauhkan dari pengawasan publik; dan kedua, sebagai
akibat tidak adanya pengawasan publik akan membuka pintu korupsi dan manipulasi. Dengan
demikian, karena hukum memiliki sifat kepublikan yang merupakan jiwa dari keadilan, maka
hukum harus tertulis dan dibukukan sehingga warga negara dapat mengetahui tindakan mana
yang dilarang hukum dan mana yang diperbolehkan.204
Posisi dominan dari Civil Law System dan Common Law System memengaruhi sebagian
besar dunia; perluasan pengaruh terjadi melalui kolonialisme bangsa-bangsa Eropa terhadap
bangsa-bangsa minor di berbagai kawasan dunia lainnya. Melalui proses itu, bangsa-bangsa
kolonial memaksakan pemberlakukan sistem hukum bawaannya terhadap bangsa jajahannya.
Pasca kolonialisme, proses penyebaran pengaruh budaya hukum tersebut masuk melalui
konsep imperialisme donor, bantuan, pinjaman dan investasi asing yang seringkali
meletakkan perubahan sistem hukum sebagai prasyarat bantuan dan pinjaman.205
Dapatlah disimpulkan kemudian, penyebaran sistem hukum, khususnya common law
dan civil law, memiliki pola klasik yang sama, yaitu melalui penjajahan atau kolonialisme.
Namun dewasa ini, infiltrasi sistem hukum ke dalam sistem hukum lain telah berubah pola,
yaitu melalui berbagai perjanjian internasional, baik yang bersifat bilateral ataupun
multilateral, baik yang diperjanjikan antarnegara sebagai subyek hukum internasional,
maupun konvensi-konvensi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional yang
membutuhkan ratifikasi dari negara yang hendak dan/atau diminta diterapkan berdasarkan
desakan dunia internasional.
Sistem common law di Amerika Serikat misalnya merupakan bawaan dari perilaku
kolonialisme Inggris, melalui upaya penemuan benua baru. Walaupun pada akhirnya melalui
deklarasi kemerdekaan, Amerika menyatakan kemerdekaannya atas spremasi dari Inggris,
namun sistem hukum yang tertanam adalah common law.
Sebagai contoh lain, Pemerintah Amerika Serikat pada 17 Januari 2013 mengeluarkan
Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA), yang pada intinya Pemerintah Amerika
Serikat menginginkan agar warga negaranya yang berinvestasi di luar negeri dapat dikenakan
pajak atas hasil investasinya. Oleh karena itu, negara penerima investasi dari warga negara
Amerika Serikat, wajib membuka data perbankan dari warga negara Amerika Serikat tersebut.

204
Petrus C.K.L. Bello, Op.cit., hlm. 14-15.
205
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 43.
63
Pola yang lain adalah dengan mulai berkembangnya studi perbandingan hukum dewasa ini,
yang melaluinya suatu negara mendapatkan gambaran model sistem hukum lain yang
diperbandingkan dengan sistem hukumnya sendiri dan pada akhimya mulai mempengaruhi
proses legislasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut menunjukan
bahwa perkembangan masyarakat, baik secara nasional maupun internasional, menyebabkan
suatu sistem hukum selalu dalam keadaan tidak sempurna; dan memang akan sangat sulit
untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang bersifat sempurna.
Jika dikaji secara mendalam, maka bersandarkan kepada pandangan Lawrence M.
Friedmann diketahui bahwa fungsi suatu Sistem Hukum adalah menghasilkan output hukum
yang didasarkan kepada respons atas tuntutan sosial dengan menjamin alokasi distribusi yang
benar atau tepat dan paling nyaman berdasarkan implementasi peraturanperaturan. 206 Melalui
sudut pandang yang berbeda, Shidarta dalam hukum tersebut dengan pertumbuhan model-
model penalaran yang penelitiannya mencoba mengaitkan perkembangan keluarga sistem
disajikan dalam kerangka orientasi berpikir yuridis. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa
alasan, yaitu sebagai berikut:207
1) Keluarga sistem hukum merupakan produk historis, yakni wujud pergumulan nilai-nilai
budaya, sosial, politik, ekonomi, dan berbagai aspek nilai lainnya yang diakomodasi ke
dalam sistem hukum suatu negara atau bagian dari suatu negara. Sistem hukum Indonesia,
misalnya, terbentuk dari pergumulan nilainilai yang sebagian besar dipengaruhi oleh corak
keluarga Eropa Kontinental (Romawi-Jerman atau civil law system). Kehadiran corak
keluarga Eropa Kontinental tersebut merupakan produk historis yang dibawa oleh
Belanda, yang kemudian mengejawantah ke dalam aspek substansi, struktur dan budaya
hukum Indonesia sampai saat ini;
2) Keluarga sistem hukum meletakkan dasar bagi pola perkembangan (pembangunan)
selanjutnya dari suatu sistem hukum (the visions of law). Sebagai contoh, ada keluarga
sistem hukum yang lebih memberi tekanan pada pembangunan substansi hukumnya dalam
bentuk peraturan perundang-undangan daripada yurisprudensi, dan hal ini dengan
sendirinya membawa pengaruh pada pola pembangunan hukum (khususnya hukum
positif) suatu negara yang berada dalam keluarga sistem hukum tersebut;
3) Keluarga sistem hukum memeragakan karakteristik tertentu dari pengembanan hukum
(rechtsbeoefening) baik pengembanan hukum praktis maupun teoretis. Dari sudut

206
Lawrence M. Friedmann, The Legal System.............Op.cit., hlm. 19.

207
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Buku 1 Akar Filosofis, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2013), hlm. 127-128.

64
pengembanan hukum teoretis, keluarga sistem hukum memberi pengaruh tidak kecil
terhadap sikap ilmiah para ahli hukum (sebagai bagian dari ethos atau komunitas
ilmuwan), misalnya tatkala mereka dihadapkan pada suatu tata nilai, gagasan, atau
perkembangan baru. Keluarga sistem hukum ikut membentuk sikap ilmiah para ilmuwan
pendukungnya, sehingga ada yang cenderung lebih konservatif atau sebaliknya.
Sementara, aspek pengembanan hukum praktis (pembentukan, penemuan dan bantuan
hukum), terkait persoalan-persoalan teknis yang khas. Sebagai konsekuensinya, jika ada
dua negara yang berasal dari keluarga hukum berlainan, sangat besar kemungkinannya
masing-masing menggunakan metode atau teknik pengembanan hukum yang berbeda
pula.
Secara global, Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra menjelaskan bahwa pada hakikatnya
sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem yang tersusun atas subsistem pendidikan,
subsistem pembentukan hukum, subsistem penerapan hukum dan subsistem lainnya, yang
hakikatnya merupakan sistem tersendiri dengan proses tersendiri pula.208
Berdasarkan uraian-urain di atas, maka saya menggunakan pandangan Sri Soemantri
Martosoewigjno, guna memberikan kesimpulan akhir, bahwa Sistem Hukum suatu bangsa-
negara tidak dapat dipisahkan dari sistem nilai yang terdapat dalam bangsa atau negara
bersangkutan. Lebih-lebih apabila bangsa atau negara itu mempunyai pandangan hidup yang
berbeda dengan bangsa atau negara lain. Oleh karena itu, walaupun antara Indonesia dan
Belanda terdapat hubungan sejarah yang cukup lama namun sistem hukumnya, dalam arti
hukum materiilnya, akan menunjukan perbedaan; lebihlebih yang berkaitan dengan
hubungan-hubungan khas Indonesia yang tidak lepas dari sistem nilai yang berlaku. Dalam
perspektif hukum nasional, Hukum Tata Negara (HTN) lah yang pertama kali merupakan
hukum nasional bangsa Indonesia, sebagai yang pertama kali yang termuat di dalam suatu
konstitusi sebuah negara.209 Oleh karena itu, tidak lah salah jika Mochtar Kusuma-Atmadja
memaparkan fenomena tersebut sebagai pertentangan dua konsepsi pemikiran hukum yakni
antara legisme yang termasuk aliran positivisme dan aliran mahzab sejarah.210

208
”Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 151,
209
Sri Soemantri Martosoewignjo, Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum
Nasional, dalam M. Busyro Muqoddas , et.al., Politik Pembangunan Hukum Nasional,. (Yogyakarta: UII Press,
1992), hlm. 35
210
Mochtar Kusuma-Atmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Suatu Uraian
tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Bandung: Binacipta,
1976), hlm. 3.

65
Bab 4
PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PIDANA DAN SISTEM
HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana Pada Masa Sebelum Kemerdekaan
Sistem tata hukum yang digunakan sebelum 17 Agustus 1945 antara lain sistem
hukum Hindia Belanda berupa sistem hukum Barat (Civil Law) dan sistem hukum asli
(hukum adat). Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, hukum yang digunakan untuk
menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di masyarakat adalah hukum adat. Pada masa itu,
hukum adat diberlakukan oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Setiap daerah
mempunyai pengaturan mengenai hukum adat yang berbeda antara daerah yang satu dengan
yang lain. Hukum adat sangat ditaati masyarakat pada masa itu karena mengandung nilai-nilai
baik nilai keagamaan, nilai-nilai kesusilaan, tradisi, serta nilai kebudayaan yang tinggi.
Salah satu tokoh yang meneliti hukum adat adalah Van Vollenhoven. Penelitiannya
mengenai hukum adat ia mulai sejak tahun 1906 dan selesai pada tahun 1931. Hukum adat di
Indonesia menurut Van Vollenhoven diartikan sebagai:211
Hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaaan dan sebagian
hukum islam. Hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-
keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, di mana ia
memutuskan perkara. Hukum adat berurat-berakar pada kebudayaan tradisional.
Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum
yang nyata dari rakyat. Sesuai fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam
keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.

Hukum adat adalah sistem aturan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal
dari adat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai tradisi
bangsa Indonesia, Pada zaman sebelum VOC datang ke nusantara, kedudukan hukum adat
adalah sebagai hukum positif yang berlaku sebagai hukum yang nyata dan ditaati oleh rakyat
yang pada saat itu Nusantara Indonesia terdiri dari berbagai kerajaan.212

211
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 245-246.
212
Ilham Bisri, Sistem Hukum Indonesia (Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia),
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 114.

66
Naskah hukum adat yang lahir pada waktu itu antara lain Kitab Ciwakasoma yang
dibuat pada masa raja Dharmawangsa pada tahun 1000 Masehi, Kitab hukum Gadjah Mada
pada masa kerajaan Majapahit (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih
Kanaka (1413-1430), dan Kitab Hukum Kutaramanawa di Bali. Selain itu ditemukan juga
bukti peraturan-peraturan asli lainnya seperti Kitab Ruhut Parsaoran di Habatahon, Tapanuli
(berisi kehidupan sosial di tanah Batak), Undang-Undang Jambi di Jambi, UndangUndang
simbur Cahaya di Palembang, Undang-Undang Nan Duapuluh di Minangkabau, Undang-
Undang Perniagaan dan Pelayaran dari Suku Bugis Wajo di Sulawesi Selatan, Awig-Awig
yang berisi peraturan Subak dan Desa di Bali. Ditemukan juga berbagai peraturan kerajaan
atau kesultanan yang pernah bertahta antara lain:Kediri, Singosari, Mataram, Majapahit,
Demak, Pajang, Mataram II, Pakubuwono, Mangkunegoro, Paku Alam, Tarumanagara,
Pajajaran, Jayakarta, Banten, Cirebon, Sriwijaya, Indragiri, Asahan, Serdang, Langkat, Deli,
aceh, Pontianak, Kutai, Bulungan, Goa, Bone, Bolaang Mongondow, Talaud, Ternate, Tidore,
Kupang, Bima, sumbawa, Endeh, Buleleng, Badung, dan Gianyar.213
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini
adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang
telah menggantikan Majapahit. VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan
aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya
berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. Tujuan utama VOC adalah mempertahankan
monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara.214
Memasuki Zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu zaman ketika
orang asing (Barat) mulai masuk ke Nusantara dan memberi perhatian terhadap hukum adat.
Masa ini ditandai dengan kebijakan Kompeni terhadap hukum adat dengan cara saling
menghormati. Hukum Barat (Belanda) pada awalnya hanya digunakan untuk daerah pusat
pemerintahan Kompeni sedangkan untuk daerah yang belum dikuasai dipersilakan bagi
pendudukan untuk menggunakan hukum adat mereka atau bagi yang mau tunduk pada hukum
Belanda diperbolehkan. Namun jika akan melakukan hubungan dengan Kompeni maka harus
menggunakan hukum Belanda. Dengan kata lain politik hukum Kompeni bersifat oportunis.215
Pada masa ini Pemerintah Belanda memberikan hak istimewa kepada VOC berupa hak
octrooi (meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan
perdamaian, dan mencetak uang). Gubernur yang bernama Jenderal Pieter Both diberi

213
Ibid., hlm. 115-116.
214
Wikipedia, "Sejarah Indonesia", Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/ Sejarah_Indonesia, (26 April
2014).
215
Ilham Bisri, Op.cit, hlm. 118.

67
wewenang untuk membuat peraturan guna menyelesaikan masalah dalam lingkungan pegawai
VOC hingga memutuskan perkara perdata dan pidana. Kumpulan peraturan pertama kali
dilakukan pada tahun 1642, Kumpulan ini diberi nama Statuta Batavia. Pada tahun 1766
dihasilkan kumpulan ke-2 diberi nama Statuta Bara. Kekuasaan VOC berakhir pada 31
Desember 1799.216
Memasuki masa pemerintahan Daendels (1808-1811), hukum adat diperbolehkan dianut
oleh penduduk bumiputera dengan syarat:
1. Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan dan kepatutan (dalam
ukuran barat),
3. Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum.
Persyaratan tersebut mencerminkan betapa pemerintahan Deandele menganggap rendah
kedudukan hukum adat dibanding Hukum Belanda.
Memasuki masa pemerintahannya, Raffles (1811-1816) meng gunakan kebijakan atau
politik bermurah hati dan bersabar terhadap golongan pribumi untuk menarik simpati dan
merupakan sikap politik Inggris yang humanistis. Memasuki periode 1816-1848, kedudukan
hukum adat mulai terancam karena penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai
memperkenalkan dan menganut prinsip unitikasi hukum untuk seluruh wilayah jajahannya
dengan pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumiputera. Jadi, secara prinsip hukum
adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia Belanda akan tetapi dalam praktis
pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat dan hukum barat217
Pada tahun 1816 Peraturan-peraturan umum termuat dalam embaran yang diterbitkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan "Staatsblad" beserta "Bijblad"-nya.
Staatsblad dan Bijblad yang pertama kali terbit dalam tahun 1816 sampai dengan 8 Maret
1942. Staatsblad tiap-tiap tahun mulai dengan nomor 1, Biſblad nomornya berturut-turut tidak
memperdulikan tahunnya.218
Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari:
1. Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan,
2. Peraturan-peratauran tertulis yang tidak dikodifikasikan,
3. Peraturan-peraturan tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan Eropa.

216
"Sejarah Tata Hukum Indonesia dan Politik Hukum Indonesia",
http://hukumhukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/s wah-tata-hukum-indonesia-dan.html (26 April 2014).
217
Ilham Bisri, Op.cit, hlm.120.
218
KusumadiPudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hlm. 27.

68
Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah
jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik negara bagian yang lain. Kekuasaan
mutlak raja itu diterapkan pula dalam membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku
umum dengan nama Algemene Verordening (Peraturan pusat). Ada dua macam keputusan
raja:
1. Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut Besluit, seperti ketetapan pengangkatan
gubernur jenderal.
2.Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut Algemene Verodening atau Algemene
Maatregelvan Bestuur (AMVB)
Pada masa ini pula dimulai penerapan politik agraria yang disebut dengan kerja paksa
oleh Gubernur Jenderal Du Bus De Gisignes. Pada tahun 1830 Pemerintah Belanda berhasil
mengodifikasikan hukum perdata yang diundangkan pada tanggal 1 Oktober 1838.219Dengan
demikian, menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar, kedatangan bangsa asing yang
kemudian menjajah Indonesia, pada gilirannya menghentikan peran hukum adat. Pemerintah
Hindia Belanda menempatkan sistem hukumnya, sebagai hukum utama Indonesia yang
mengutamakan hukum tertulis,220 sehingga hukum adat secara berangsur-angsur tergeser
dengan adanya penggagasan diberlakukannya sistem hukum kodifikasi hukum Barat yang
secara efektif berlaku sejak tahun 1848.
Sejak tahun 1848, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata dan
Acara Pidana berdasarkan pada pola Belanda berlaku bagi penduduk Belanda di Indonesia.
Pada perjalanannya kodifikasi semakin kuat dan hukum adat menjadi serba tidak pasti dan
menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum pada hukum adat. Penerapan hukum
adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 75 RR., yakni bahwa jika orang Indonesia yang tidak
menyatakan dengan sukarela, bahwa ia akan dikuasai oleh hukum perdata dan hukum dagang
Eropa, maka untuk golongan bangsa Indonesia, hakim harus melakukan dalam lapangan
hukum perdata adat, sekadar hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan
yang umum diakui.221 Oleh karena itu, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana politik
Hukum Hindia Belanda sehingga dapat memahami bagaimana Politik Hukum Indonesia.
Keberadaan Politik hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan berlakunya tiga pokok

219
"Sejarah Tata Hukum Indonesia dan Politik Hukum Indonesia", http ://hukum hukum
keseluruhan.blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum-indonesia-dan.html (26 Indonesia, Desember 2016),
220
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara (Bandung: Alumni, 1993),
hlm.61. "
221
Ade Maman Suherman, Loc.cit

69
peraturan Belanda yaitu masa berlakunya Algemene Bepalingenvan Wetgevingvoor Indonesia
(AB), Regerings Reglement (RR), dan Indische Staatsregeling (IS).
Pada Masa Regerings Reglement(RR) yaitu pada kurun waktu tahun 1855 sampai
dengan tahun 1926 berhasil diundangkan:222
1. Kitab Hukum pidana untuk golongan Eropa melalui Stbld.1866:55.
2. Algemene Politie Strafreglement sebagai tambahan Kitab Hukum Pidana untuk Golongan
Eropa.
3. Kitab Hukum Pidana orang bukan Eropa melalui Stb.1872:85.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5. Wetboek Van Strafrecht (WsV) yang berlaku bagi semua golongan penduduk melalui
Stb.1915: 732 mulai berlaku 1 Januari 1918.
Semenjak 1 Januari 1920 sudah tidak ada lagi empat golongan; orang Eropa, Mereka
yang dipersamakan dengan orang Eropa, Bumiputera, dan mereka yang dipersamakan dengan
bumi putera. Menurut Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), Rakyat indonesia
dibedakan ke dalam tiga golongan:223
1. Orang Eropa: yang termasuk golongan orang Eropa ialah:
a. Semua orang Belanda
b. Semua orang, tidak termasuk (a), yang asalnya dari Eropa
c. Semua orang Jepang
d. Semua orang yang berasal dari tempat lain, tidak termasuk a dan b, yang di negerinya
akan tunduk kepada hukum kekeluargaan, yang pada pokoknya berdasarkan asas-asas
yang sama dengan hubungan Belanda
e. Anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan keturunan selanjutnya dari
orang yang dimaksudkan dalam b,c, dan d yang lahir di Hindia Belanda.
2. Bumiputera ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli dari Hindia Belanda
dan tidak beralih masuk golongan rakyat lain dan mereka yang mula-mula termasuk
golongan rakyat lain. Kemudian mencampurkan diri dengan rakyat Indonesia asli
3. Orang Timur Asing ialah semua orang yang bukan orang Eropa atau Bumiputera
Pembagian golongan tersebut, yang didasarkan pada Mahzab Sejarah, ternyata
memunculkan segi-segi yang kurang menguntungkan Politik hukum yang bermaksud
melindungi golongan pribumi telah secara efektif mengisolasikan golongan pribumi dari
222
"Sejarah Tata Hukum Indonesia dan Politik Hukum Indonesia",
http://hukumhukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum-indonesia-dan.html (26 Desember
2016).
223
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm.
25-2"

70
hubungan dan perkembangan hukum yang modern, sehingga mengakibatkan keterbelakangan
dari golongan tersebut dalam situasi dimana golongan itu harus bersaing dengan lain
golongan penduduk dalam perdagangan.224
Pembagian golongan pada waktu itu diperlukan dalam hal lapangan hukum perdata
namun dalam hal hukum pidana berlaku hanya satu hukum pidana yaitu KUH Pidana. Dalam
hal hubungan antar-golongan dan hukum yang berlaku akan dijelaskan sebagai berikut:225
1. Bagi warga negara yang berasal dari golongan Eropa, berlaku KUH Perdata dan KUH
Dagang yang diselaraskan (konkordan) dengan KUH Perdata dan KUH Dagang yang
berlaku di negeri Belanda.
2. Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan Eropa berlaku KUH Perdata dan
KUH dagang Barat di Eropa 3. Bagi warga negara Indonesia yang berasal dari golongan
Timur Asing:
a. Golongan Cina, berdasarkan Staatsblad 1924 No. 557 berlaku KUH Perdata dan KUH
Dagang Barat di Indonesia, dengan dikecualikan (pada masa lampau) peraturan-peraturan
tentang
(1). Pencatatan Sipil (kini hanya satu catatan sipil untuk semua warga negara Indonesia),
(2). Cara-cara Perkawinan (kini berlaku Undang-Undang Nomor. 1 tahun 1974 untuk
seluruh warga negara Indonesia) ditambah dengan peraturan-peraturan tentang:
a). Pengangkatan anak (adopsi);
b). Kongsi (kongsi disamakan dengan Firma dalam KUHDagang).
b. Golongan bukan Cina, berdasarkan Stb. 1924 Nomor. 556 berlaku KUH Perdata dan
KUH Dagang Barat di Indonesia dengan dikecualikan :
(1). Hukum kekeluargaan;
(2). Hukum Waris tanpa wasiat atau Hukum Waris menurut undang-undang atau
Hukum Waris abintestaat (abintestato). Hal ini disebabkan karena sebagian besar
golongan ini menganut agama Islam, yang tentu tentu saja tidak dapat berlaku
Hukum Kekeluargaan dalam KUH Perdata Barat yang berasas perkawinan yang
monogami sedang hukum waris bagi golongan ini diatur dalam Hukum Islam
menurut Alquran. Kini berlaku Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 untuk
semua warga negara Indonesia.
4. Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan Timur Asing berlaku Hukum
Perdata dan Hukum Dagang Timur Asing yang berlaku di negaranya masing-masing.

224
Petrus C.K.L. Bello, Op.cit., hlm. 22.
225
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 42.

71
5. Bagi warga negara Indonesia asli berlaku Hukum Perdata adat (Hukum Adat). Hukum adat
ini pada setiap daerah berlainan coraknya dan kadang-kadang saling bertentangan. Apabila
hukum adat bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan maka sebagai pegangan
dipakai Hukum Perdata Barat di Indonesia.
6. Bagi orang asing yang berasal dari golongan Indonesia, berlaku hukum Perdata dari negara
ia mana ia termasuk (Tunduk),
Ada beberapa cara orang-orang yang bukan golongan Eropa dapat tunduk pada Hukum
Perdata Barat di Indonesia yaitu:226
1. Persamaan Hak (gelijkstelling)
Diatur dalam Stb. 1883 Nomor 192, yakni persamaan hak ini mengakibatkan seorang yang
bukan Eropa berubah statusnya menjadi orang Eropa, kedudukannya disamakan dengan
orang Eropa dan Tunduk pada seluruh hukum perdata barat dan hukum publik.
2. Pernyataan Berdasarkan Pasal 75 ayat (3) RR, adanya pernyataan berlakunya Hukum
Perdata Barat atas orang-orang bukan Eropa oleh pihak penguasa. Dalam hal ini pembuat
undang-undang menunjuk kepada orang yang bukan Eropa. Hukum yang tadinya berlaku
untuk orang-orang Eropa kemudian diperluas berlakunya hingga orang-orang bukan Eropa.
Beberapa peraturan yang menyatakan berlakunya hukum Eropa diatur dalam:
a. Stb. 1924/556: KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di Indonesia kecuali Hukum
Kekeluargaan dan Hukum Waris Abintestaat, dinyatakan berlaku untuk golongan
Timur Asing bukan Cina.
b. Stb. 1924/557: Pernyataan berlaku dari seluruh KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di
Indonesia untuk golongan Timur Asing Cina, kecuali peraturan tentang Catatan Sipil,
dan caracara perkawinan, ditambah dengan peraturan-peraturan tentang Kongsi dan
Adopsi.
c. Stb.1933/49: KUH Dagang Barat di Indonesia untuk sebagian dinyatakan berlaku bagi
golongan Indonesia.
d. Stb.1912/600: Peraturan Mengenai Hak Cipta (auteursrecht). e. Stb.1898/158: Peraturan
Perkawinan Campuran berlaku untuk semua golongan.
3. Penundukan Sukarela kepada Hukum Perdata Eropa (Vrijwillige Onderwerping aan het
Europese Privaatrecht).
Berdasarkan pasal 75 ayat (4) Regerings Reglement (RR) yang kemudian diubah menjadi
Pasal 131 ayat (4) Indische Staatsregeling (IS): Bagi orang Indonesia asli dan orang Timur
asing, sepanjang mereka belum diletakkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa
Eropa diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk Eropa. Berdasarkan
226
Ibid, hlm. 38-40
72
ketentuan ini dibuatlah suatu peraturan tentang penundukan sukarela kepada Hukum Perdata
Eropa yang dimuat dalam Stb. 1917/No. 12 yakni ada empat macam penundukan dengan
sukarela kepada hukum perdata barat yaitu:
a. Penundukan untuk seluruhnya kepada Hukum Perdata Barat sehingga mengakibatkan
seluruh hukum perdata dan hukum dagang barat di Indonesia berlaku bagi orang yang
menundukkan diri (dalam hal ini hanya golongan Timur Asing Cina dan golongan
Indonesia beragama nasrani).
b. Penundukan untuk sebagian hukum Perdata barat terhadap hukum kekayaan/harta benda
saja yaitu seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Cina dalam
Stb. 1924/556.
c. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu saja:
(1). Dengan akta disebutkan di dalam perbuatan mana yang nerlakukan hukum perdata
barat di Indonesia bagi pihak;
(2). Dengan perjanjian khusus;
d.Penundukan anggapan yaitu penundukan tidak sengaja pada hukum perdata barat.
Pembagian golongan tersebut merupakan akibat dari perlawanan yang keras pemuka-
pemuka hukum adat atas ide atau gagasan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk
mengundangkan dan memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diberlakukan
secara mutlak pula kepada golongan pribumi (bukan Eropa dan Timur Asing yang tunduk
pada Hukum Perdata Eropa), sehingga tidak terlaksana.227
Dapat dikatakan bahwa keduanya, RR dan IS tersebut, berfungsi menjadi semacam
konstitusi atau Undang-Undang Dasar dalam Negara Hindia Belanda (Indonesia). Meskipun
statusnya bukan konstitusi dalam arti yang sebenarnya dalam sebuah negara berdaulat, tetapi
secara hukum, status RR dan Indische Staatsregeling (IS) yang memang secara khusus
dibentuk untuk dijadikan hukum dasar yang paling tinggi kedudukannya dalam sistem Hindia
Belanda (Indonesia), dapat dikatakan sebagai konstitusi juga. Keduanya atau terutama
Indische Staatsregeling (IS) dapat dikatakan sebagai cikal bakal konstitusi Negara Indonesia
yang merdeka dan berdaulat di kemudian hari.228 Dengan demikian, semenjak abad ke-19 di
Indonesia, Hukum digunakan sebagai sarana transformasi masyarakat.229
227
Mochtar Kusuma-Atmadja, Hukum, Masyarakat dan....Loc.cit.; Pertentangan antara golongan yang
hendak memberlakukan suatu sistem hukum perdata (Barat) dengan jalan undang-undang dan golongan yang
dengan keras menentangnya secara a priori menentang cara pengundangan suatu Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata sebagai juridich confectie werk, mirip dengan tantangan serupa yang terjadi di Jerman oleh Carl
Friedrich von Savigny waktu diusahakan kodifikasi hukum perdata (yang berdasarkan Code Napoleon) di
Jerman Abad XIX.

228
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi, (Jakarta: Penerbit
PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 66.
229
CFG Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 85.
73
Setelah Belanda menguasai Hindia Belanda (Indonesia) selanjutnya penguasa Jepang
menduduki dan merebut Indonesia dari penjajahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir
dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pada masa penjajahan Jepang daerah Hindia dibagi
menjadi Indonesia Timur (di bawah kekuasaan AL Jepang berkedudukan di Makassar) dan
Indonesia Barat (di bawah kekuasaan AD Jepang yang berkedudukan di Jakarta). Peraturan-
peraturan yang digunakan untuk mengatur pemerintahan dibuat dengan dasar "Gun Seirei"
melalui OsamuSeirei. Pasal 3 OsamuSeirei No. 1 Tahun 1942 menentukan, “Semua badan
pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang lalu tetap
diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah
militer."230
Pada Maret 1945, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Pada zaman penjajahan, Jepang tidak sempat mengeluarkan berbagai
peraturan perundang-undangan karena masa menjajah hanya tiga setengah tahun kecuali
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang berisi pemberlakuan berbagai peraturan
perundangan yang ada pada zaman Hindia Belanda.

B. Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana Pada Masa Sesudah Kemerdekaan
Sesudah Perang Dunia II, struktur politik Indonesia telah berubah, dalam arti bahwa
Indonesia telah menjelma dari jajahan menjadi suatu negara yang merdeka dan berdaulat.
Masalah hukum adat timbul, berhubung dengan keadaan yang serba baru itu. Dalam
masyarakat kolonial yang pluralistis, terpecah dalam golongan dan beraneka jenis bangsa dan
diatur oleh berbagai macam sistem hukum yang ditinggalkan pemerintah kolonial.231
Terhadap kondisi tersebut, Sri Soemantri menjelaskan bahwa sebagai negara yang
selama lebih kurang 350 tahun dijajah oleh Belanda, pengaruh Belanda, khususnya dalam
bidang hukumn masih sangat kuat Walaupun sampai saat ini telah berusia 619 tahun, namun
sistem hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia belum juga berubah. Ada
dua hal yang dapat dijadikan bukti masih adanya pengaruh itu; pertama, masih berlakunya
400 buah peraturan perundang-undangan produk Belanda di Indonesia, kedua, berbagai istilah
hukum yang sering kali masih merupakan terjemahan secara harfiah dari istilah Belanda.232
Demikian pula, ditegaskan oleh Romli Atmasasmita bahwa peranan hukum dalam
masa transisi lazimnya hanya ditujukan untuk mengisi kekosongan hukum sesuai dampak
230
“Sejarah Tata Hukum Indonesia dan Politik Hukum Indonesia", http://hukumhukumkeseluruhan
blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum-indonesia-dan.html. (26 Desember 2016),
231
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum. Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia
1945-1990, (Bandung: Genta Publishing, 2010), hlm. 22.

232
Sri Soemantri, Hukum Tata Negara Indonesia........Op.cit., hlm, 121.
74
pemberlakuan hukum baru dalam kontekshukum lama untuk memelihara kelang: sungan
kehidupan masyarakat. Namun hukum tidak ditujukan untuk menghadapi ataupun
memberikan solusi mengatasi dampak masa transisi yang penuh dengan gejolak sosial. Tidak
ada spesialis hukum untuk menghadapi dampak tersebut; tidak ada karakteristik hukum masa
transisi karena memang tidak dipersiapkan untuk keperluan tersebut233. Sehingga, tidaklah
berlebihan ungkapan Daniel S. Lev, berikut:
Negara-negara baru mewarisi banyak hal dari pendahulunya di masa kolonial, karena
berbagai revolusi yang dibarengi dengan penghancuran total sekalipun, yang jarang
terjadi pada negara-negara baru, tidak dapat menyapu bersih bekas-bekas masa silam

Gambaran tersebut sangat tepat ditujukan pada kondisi Republik Indonesia yang sejak
dikumandangkannnya Proklamasi Kemerdekaan 12 Agustus 1945 sampai sekarang secara
tegas maupun diam-diam; disadari atau pun tidak telah mewarisi sisa-sisa tertib hukum
kolonial yang terdiri atas struktur (termasuk segala bentuk proses) serta substansinya.
Proses meneruskan segala bentuk sisa-sisa tertib hukum masa lalu di Indonesia hingga
dewasa ini sangat sulit dihindari karena lebih dari satu abad tatkala Indonesia ini masih
disebut NederlandschIndië (Hindia Belanda) "telah berlangsung proses introduksi dan proses
perkembangan suatu sistem hukum asing ke/di dalam suatu tata kehidupan dan tata hukum
masyarakat pribumi yang otohton (budaya asli/otentik -Pen.)." Sistem hukum asing yang
dimaksud tidak lain adalah sistem hukum Eropa (khususnya Belanda) yang berakar pada
tradisi-tradisi hukum Indo-Jerman dan Romawi Kristiani, dan yang dimutakhirkan lewat
berbagai revolusi, mulai dari "Papal Revolution" hingga Revolusi kaum borjuis-liberal di
Perancis pada akhir abad 19.234 Di dalam sistem hukum nasional, penduduk tidak lagi dikenal
dualisme, baik antara pribumi, Eropa maupun Timur Asing, namun hanya mengenal warga
negara atau bukan warga negara. Dan warga negara tersebut tidak dikelompokkelompokan
seperti halnya pada masa kolonial. Pada dasarnya bagi semua warga negara berlaku hukum
yang sama baik pidana maupun perdata. 235 Demikian pula dalam pembagian golongan
penduduk, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Indonesia hanya mengenal dua jenis
penggolongan, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA).
Setelah Indonesia merdeka, semua lembaga-lembaga di zaman Hindia Belanda tersebut
menjadi sumber inspirasi pembentukan kelembagaan negara dan dalam rangka penyusunan
undang undang dasar. Ide lembaga-lembaga tersebut diadopsi dengan cara diubah namanya ke
233
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia....Op.cit., hlm. 16..
234
Eman Suparman, Asal Usul Serta Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Kekuatan Moral
Hukum Progresif Sebagai Das Sollen), http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/p si_dosen/ic
%20Hukum-Progresif-Jurnal%20Hk-AcaraPasca%20AKREDITASI.pdf (11 Juni 2014), hlm. 2.
235
Mochtar Kusuma-Atmadja & B. Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 129.

75
dalam sistem ketatanegaraan yang hendak dibangun berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945. Undang Undang Dasar (DUD) 1945 ini disahkan sehari setelah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1959. Dengan demikian, kurun waktu yang
berlangsung selama masa empat kali perubahan dalam satu rangkaian kegiatan itu dapat
disebut sebagai satu kesatuan periode tersendiri yaitu periode konstitusi transisional'
(transitional constitutional period),236Hal tersebut dapat dicermati dalam Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, sebelum amandemen, yang menegaskan sebagai, "Segala badan negara
dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”, yang kemudian berdasarkan Amandemen ke-4 tahun 2002,
redaksional pasal tersebut dipisahkan menjadi dua pasal, namun tetap pada Aturan Peralihan,
yaitu sebagai berikut:

Pasal 1
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini."
Pasal II
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan
ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut UndangUndang
Dasar ini.
Dengan adanya Pasal II Aturan Peralihan, kekosongan hukum dapat diatasi; yang berarti
bahwa aturan-aturan hukum yang berlaku pada jaman penjajahan Belanda tetap berlaku
selama belum adanya hukum yang baru. Berlakunya Pasal II aturan peralihan ini disebut
dengan asas konkordansi. Ketentuan Pasal II aturan peralihan ini bukan merupakan politik
Hukum, hanya suatu ketentuan yang memiliki fungsi untuk mengisi kekosongan hukum.
Fungsinya sama dengan pasal 142 UUDS 1950 dan Pasal 192 UUD RIS yang menyatakan
tetap berlakunya peraturan perundangan hukum dan tata usaha yang telah berlaku sebelum
berlakunya UUD saat itu.
Terkait dengan penerapan sistem hukum pidana, sebagaimana diungkapkan oleh JE.
Sahetapy, sebelum Proklamasi Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, berlaku di Hindia
Belanda apa yang dinamakan Wetboekvan Strafrecht (W.v.S.) voor Nederlands Indie (v.N.I.)
yang masih bersifat “dualistis”. Dengan “dualistis” dimaksudkan W.v.S. ini berlaku untuk
golongan orang Eropa (1 Januari 1867) dan kemudian untuk orang Bumiputera dan mereka

236
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara .........Op.cit., hlm. 72-73.

76
yang dipersamakan (1 Januari 1873).237 Berdasarkan asas “konkordansi” berlakulah
W.v.S.v.N.I. berdasarkan K.B. (Putusan Raja) 15 Oktober 1915 dan diumumkan dalam
Staatsblad (Lembaran Negara, 1918 N 732 dari mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Peralihan
dari "dualisema kus unifikasi sebetulnya suatu sifat formal belaka dan bukan sesuatu yang
bersifat materiil. Kalaupun ada perbedaan, itu cuma dalam sistem pemidanaan
Sebetulnya W.v.S.v.N.I. yang kini lebih dikenal dengan nama KUHP adalah Code
Penal dari Perancis yang diambil alih oleh Wlanda, karena Belanda pernah dikuasai (dijajah)
Perancis. Dari empat buku Code Penal kemudian dijadikan tiga buku WvSv.N., yang
diteruskan ke Indonesia berdasarkan asas konkordangi dan kini dikenal sebagai KUHP
dengan tiga buku (algemeene bepalingen, misdrijven en overtredingen) Setelah Indonesia
merdeka, diterbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana. Ini adalah undang, undang pertama yang bertalian dengan perundang-undangan
hukum pidana, yang ditetapkan di Jogjakarta pada 26 Februari 1946. Poin penting dari
undang-undang ini, yaitu memberlakukan kembali W.v.S.v.N.I yang berlaku pada 8 Maret
1942.238Tetapi, walaupun masih ada yang berlaku bahkan setelah Indonesia menjadi negara
merdeka dewasa ini, peraturan hukum Belanda sebenarnya tidak bertujuan seperti penjajah
Belanda pada zamannya, melainkan hanya sebagai alasan "jangan sampai terjadi kekosongan
hukum" saja, sebab kekosongan hukum berarti tidak adanya suatu pegangan dalam tata tertib
hidup. Hal ini akan sangat berbahaya dibanding melanjutkan berlakunya aturan hukum
Belanda walaupun sudah banyak yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dalam pergaulan
hukum di Indonesia. Karena itu pemerintah terus berusaha mewujudkan hukum nasional
sebagai penggantinya yang dinyatakan secara berencana melalui politik hukumnya dalam
haluan negara. Suatu perumusan politik hukum yang dinyatakan secara tegas dan bertahap
dicantumkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Diundangkannya kembali W.V.S.v.NL melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946,
pada hakikatnya merupakan penolakan terhadap Hukum Pidana Belanda untuk diterima
secara utuh. Sehingga, selain merupakan "nasionalisasi" Hukum Pidana "bawaan" Belanda
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 telah diadakan beberapa perubahan yang
disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Namun demikian, walaupun tidak
sepenuhnya sama karena adanya perubahan tersebut, teori-teori dan paradigmanya tetap sama
dengan aslinya.

237
JE. Sahetapy, Hukum Pidana Indonesia. Suatu Perspektif, http://www.mahupiki.com/
assets/news/attachment/08042014110810_08032014105155_1.%20Prof.%20Sahetapy. pdf (26 Desember hlm.1
238
Ibid, hlm2.

77
Namun demikian, pandangan Romli Atmasasmita yang menjelaskan bahwa sejak
diberlakukan hukum pidana Belanda (weboek van strafrecht) menjadi hukum pidana
Indonesia, melalui UndangUndang Nomor 73 Tahun 1948, Politik Hukum Pidana Indonesia
dilandaskan pada filsafat retributif. Hal ini dapat diketahui dari beberapa jenis pidana yang
dicantumkan dalam Pasal 10 KUHP yang menempatkan pidana mati dan pidana penjara
sebagai pidana pokok. Sedangkan di dalam KUHP Belanda, Jerman, dan Prancis, jenis pidana
mati telah dihapus sehingga KUHP dengan filsafat retributif telah ditinggalkan sama sekali di
dalam sistem hukum pidana di negara-negara Eropa penganut sistem hukum “civil law”.239
Masa-masa pemberlakukan W.v.S.v.N.I. melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
rupanya meninggalkan permasalahan tersendiri, pemahaman terhadap Politik Hukum
Nasional masih belum cukup komprehensif. Lemahnya pemahaman terhadap politik hukum,
khususnya politik hukum pidana sehingga membentuk sistem hukum pidana yang
overlapping dan multitafsir tercermin dalam Pasal XVII Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 yang menegaskan, "Undang-undang ini mulai berlaku buat Pulau Jawa dan Madura
saja." Munculnya ketentuan tersebut didasarkan pada kenyataan (de facto) bahwa belum
semua wilayah nusantara berada dalam penguasaan Pemerintah Indonesia dan masih dalam
penguasaan tentara Hindia Belanda. Dengan demikian, pada masa itu terdapat dua Hukum
Pidana Materiil yang berlaku di Indonesia.
Kondisi dualisme Hukum Pidana Materiil tersebut berlangsung hingga dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tanggal 29 September 1958 yang menyatakan
keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia.
Fenomena hukum seperti demikian rupanya menjadi awal dari pembentuk peraturan
perundang-undangan yang bersifat jangka pendek, seperti yang terjadi baik pada Undang-
Undang Pencucuian Uang maupun pada Undang-Undang Terorisme. Menghindari kajian
yang bersifat futuristik menjadikan ketidakjelasan politik hukum nasional yang hendak
dibangun semenjak awal kemerdekaan hingga saat ini.
Menurut Mochtar Kusuma-Atmadja, politik hukum nasional dalam arti yang umum
digunakan meliputi politik hukum dan perundang-undangan, penerapan serta penegakkannya.
Dalam arti yang luas, terutama di negara berkembang, politik hukum nasional mencakup juga
kebijakan atau politik pembangunan atau pembinaan hukum nasional. Politik pembinaan
hukum nasional sebagai suatu subsistem politik hukum nasional, yang pada prinsipnya sudah
ada; yang belum tersedia adalah politik hukum nasional itu sendiri. 240 Sebenarnya sebagaian
unsur politik hukum nasional sudah tercantum dalam GBHN Tahun 1973 melalui TAP
239
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kejahatan Bisnis Op.cit. hlm139

240
Mochtar Kusuma Atmadja & B. Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 126-122
78
MPRXI/73. TAP MPR tersebut merupakan pedoman garis besar bagi kebijakan pemerintah di
bidang pembinaan atau pembaharuan hukum nasional. GBHN tersebut adalah produk politik
secara resmi dan transparan dari pihak MPR, yang dapat dibaca secara terbuka oleh semua
organ, dan dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia, sehingga organorgan
negara-negara lain pun tahu bagaimana kondisi penegakan hukum tanah air kita.
Dalam kurun waktu tiga puluh dua tahun pemerintahan orde baru di bawah
kepemimpinan nasional yang sama (Presiden Soeharto), MPR telah berhasil menetapkan
sebanyak 6 GBHN (GBHN 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998). Artinya, setiap sidang
lima tahunan, MPR menjalankan tugas rutin menetapkan GBHN yang akan diamanatkan
kepada Presiden. Rutinitas yang dilakukan oleh MPR ini seakan tidak melihat faktor riil
kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari format dan
rumusan tujuan pembangunan nasional dari keseluruhan GBHN tersebut satu sama lain
memiliki kesamaan yaitu:
Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bersatu dalam suasana peri
kehidupan Bangsa yang aman, tentram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan
pergaulan dunia yang deka, bersahabat, tertib dan damai.

Berdasarkan redaksional GBHN tersebut, hingga tahun GBHN 1998, era Orde Baru
lebih mengutamakan pembangunan berbasiskan ketahanan perekonomian, dibandingkan
mengedepankan hukum, Hal tersebut ditandai dengan masuknya bidang hukum ke dalam
(satu bidang dengan) bidang politik.
Tujuan Pembangunan Nasional yang dirumuskan dalam GBHN 1998 lebih elaboratif
karena mulai memasukan arah kebijaksanaan pembangunan hukum yaitu:241
Memelihara ketertiban dan kepastian hukum yang mampu mengayomi masyarakat
sebagai salah satu syarat bagi terciptanya stabilitas nasional yang mantap. Untuk itu
perlu dilakukan langkah-langkah pembinaan aparatur penegak hukum, meningkatkan
kemampuan dan kewibawaannya, dan membina kesadaran hukum masyarakat.
Melihat rumusan arah dan program tersebut, tidak ada tindakan evaluatif dari MPR atas
capaian program pembangunan hukum berdasarkan GBHN sebelumnya. Penekanan pada
paradigma pembangunan untuk mewujudkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,
menempatkan pembangunan hukum sebagai penunjang atau pelengkap pembangunan
ekonomi. hal itu ditegaskan dalam arah pembangunan jangka panjang (butir 3):242
241
GBHN 1998. Bab IV. Sektor 3 Bidang Hukum.

242
GBHN 1998 Bab III Arah Pembangunan Jangka Panjang.
79
sasaran utama pembangunan jangka panjang adalah terciptanya landasan yang kuat
bagi Bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas kekuataannya sendiri
menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sedangkan titik
berat dalam Pembangunan jangka panjang adalah pembangunan bidang ekonomi
dengan sasaran utama untuk mencapai keseimbangan antara bidang pertanian dan
bidang industri, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, yang berarti bahwa
sebagian besar dari usaha pembangunan di bidang-bidang lainnya bersifat menunjang
dan melengkapi bidang ekonomi. Pembangunan di luar bidang ekonomi dilaksanakan
seirama dan serasi dengan kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang ekonomi.

Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan GBHN 1999-2004, tepatnya dalam
Maksud dan Tujuan, yang menegaskan sebagai berikut:243
Garis-garis Besar Haluan Negara ditetapkan dengan maksud memberikan arah
penyelenggaraan negara dengan tujuan mewujudkan kehidupan yang demokratis,
berkeadilan sosial, melindungi hak asasi manusia, menegakkan supremasi hukum
dalam tatanan masyarakat dan bangsa yang beradab, berakhlak mulia, mandiri, bebas,
maju, dan sejahtera untuk kurun waktu lima tahun ke depan.

GBHN 1999-2004 telah mengungkapkan suatu pengakuan atas terjadinya dekadensi


moral hukum yang sangat krusial:
Di bidang hukum terjadi perkembangan yang kontroversial, di satu pihak produk
materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan prasarana hukum menunjukkan
peningkatan. Namun, di pihak lain tidak diimbangi dengan peningkatan integritas
moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan serta
tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga mengakibatkan supremasi
hukum belum dapat diwujudkan. Tekad untuk memberantas segala bentuk
penyelewengan sesuai tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, nepotisme, serta
kejahatan ekonomi keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-
langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam
menerapkan dan menegakkan hukum, terjadinya campur tangan dalam proses
peradilan, serta tumpang tindih dan kerancuan hukum mengakibatkan terjadinya krisis
hukum.

Sebagai akibat dari munculnya reformasi total yang dihembuskan tahun 1998-1999,
pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan BJ Habibie, banyak mengeluarkan dan
mensahkan peraturan perundang-undangan, yaitu sebanyak 57 Undang-undang dan 1 Perpu.
Sedangkan, di masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebanyak 27 Undang-
undang. Dobrakan legislator dalam membentuk peraturan perundang-undangan tersebut
belum mencerminkan politik hukum pidana dan sistem hukum pidana yang mengidentikan
peraturan yang bersumber kepada jati diri bangsa. Hampir mayoritas produk hukum yang
243
GBHN 1999-2004 bagian Tujuan dan Maksud.

80
disahkan merupakan jawaban atas desakandesakan terhadap bidang-bidang yang selama masa
orde baru (era Presiden Soeharto), termasuk ke dalam bidang-bidang hukum, mandul
implementasi sehingga produk hukum pada masa itu belum menjawab secara konprehensif
permasalahan politik hukum pidana dan sistem hukum pidana di Indonesia. Legal reform
yang dilakukan masih berkutat pada penciptaan undang-undang baru dengan memunculkan
lembaga-lembaga ekstra pemerintahan, yang dianggap dapat menjawab ketidakpuasan dan
ketidakpercayaan terhadap institusi konvensional.
Dalam keseluruhan elemen, komponen, hierarkhi, dan aspekaspek yang bersifat
sistematik dan saling berkaitan satu sama lain itulah tercakup pengertian sistem hukum yang
harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. Oleh
karena itu, pembangunan sistem hukum nasional diarahkan pada pembangunan produk
hukum, aparatur hukum, sarana prasarana, serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat.244
Cita-cita nasional untuk menyatukan Indonesia untuk menyatukan Indonesia sebagai
satu kesatuan politik dan pemerintahan, telah cenderung mengabaikan hukum rakyat yang
plural untuk digantikan dengan hukum nasional yang diunifikasikan dan dikodifikasikan.
Maka tak heran jika CFG. Sunaryati Hartono, dalam konteks Hukum Ekonomi (Pen.),
menyatakan bahwa Indonesia sangat mengabaikan pembentukan dan pembinaan hukum
nasional dan masih belum tanggap terhadap praktik-praktik bisnis yang semakin kompleks.
Tidak hanya karena bentuk-bentuk bisnis itu merupakan perbuatan baru yang didukung oleh
sarana dan prasarana berteknologi tinggi, tetapi juga karena jangkauan usahanya telah bersifat
transnasional atau melampaui batas-batas wilayah negara.245 Oleh karena itu, dengan jumlah
Sarjana Hukum yang masih sangat sedikit, semenjak awal kemerdekaan hingga dibentuknya
konstitusi Indonesia, telah terjadi tarik menarik pemahaman yang berkaitan dengan konteks
pemikiran teoretisasi hukum berdasarkan kajian kefilsafatan. Pertentangan kuat terjadi antara
pendukung Hukum Adat dengan pendukung paradigma positivisme hukum.
Pendukung Hukum Adat mengalami kesulitan untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi
terhadap nilai-nilai yang termuat di dalam Hukum Adat, dikarenakan begitu pluralistiknya
masyarakat Indonesia. Yang patut dimaklumi adalah model dari nilai-nilai hukum adat selalu
dinuansai oleh berbagai kata-kata kiasan, sehingga sulit rasanya untuk seorang Sarjana
Hukum pada masa setelah kemerdekaan, untuk men-translate-nya ke dalam bahasa hukum.
Maka kondisi tersebut menjadi berbeda ketika Mochtar Kusuma-Atmadja melakukan
manuver sociological jurisprudence hingga masuk kepada penjelasan yang paling rasional,

244
Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta: Penerbit Kaukaba
2013), hlm. 61.
245
Khudzaifah Dimyati, Op.cit., hlm. 6-7
81
pada saat itu; menjadikannya "jawara' dalam menggiring perancangan dan pembentukan
politik hukum dan sistem hukumnya.
Kesulitan-kesulitan tersebut pada prinsipnya, menurut Bernard Arief Sidharta,
disebabkan karena beberapa faktor, selain pendapat saya di atas, yaitu sebagai berikut:246
1. Perang kemerdekaan sebagai akibat usaha Belanda untuk mengembalikan kekuasaan
kolonial di Indonesia;
2. Secara Etnis, bangsa Indonesia sangat heterogen dengan berbagai adat istiadat dan sub-
kulturnya, dan tersebar pada suatu wilayah kepulauan yang sangat luas. Intensitas proses
interaksi antarsuku pada masa kolonial sangat lemah yang menyebabkan proses unifikasi
hukum secara alamiah praktis tidak terjadi;
3. Tata hukum kolonial yang harus diganti dengan tata hukum nasional sudah cukup lama
menguasai kehidupan (hukum) di Indonesia;
4. Politik hukum kolonial, yang berakar dalam politik kolonial pada umumnya yang nya
hanya sebagai penopang kepentingan ekonomi negara induk, telah menyebabkan Bangsa
Indonesia dan Hukum Adanya pada masa kolonial itu relatif terasing dari pergaulan dan
perkembangan pada tingkat mondial (global). Hal ini menyebabkan Bangsa Indonesia dan
Hukum Adatnya secara langsung dihadapkan pada berbagai masalah modern yang sudah
amat jauh perkembangannya dan sangat kompleks;
5. Pada saat kemerdekaan diproklamasikan, jumlah sarjana hukum yang kompeten, yang
memiliki kemampuan legislativedrafting, masih terlalu sedikit untuk mampu dalam waktu
singkat menghasilkan berbagai perangkat kaidah hukum positif nasional yang diperkirakan
jumlahnya, pada saat setelah proklamasi hanya berkisar 200 orang sarjana hukum;
6. Perkembangan ilmu dan teknologi yang terjalin dengan pertambahan penduduk,
perkembangan ekonomi, dan perdagangan merupakan faktor yang paling mendasar dan
memiliki jangkauan luas dalam memberikan pengaruh secara langsung terhadap
perkembangan kehidupan, dan kebutuhan hukum.
Faktor-faktor tersebutlah yang paling berpengaruh dalam membentuk dan menentukan
politik hukum pidana dan sistem hukum pidana yang berlandaskan tuntutan etisjiwa bangsa
menjadi terhambat, hingga saat ini, setidak-tidaknya hingga penulisan buku ini.
Sebagai akibat dari kondisi tersebut di atas, maka tidaklah salah ketika Mochtar
Kusuma-Atmadja menegaskan bahwa Indonesia yang merdeka dalam membangun hukum
nasionalnya belum dapat mengabaikan penggunaan asas asas umum hukum barat.
Dikarenakan Belanda telah menanamkan sistem dualisme hukum, namun di lain pihak tetap
246
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2009),
hlm 4-5.

82
menggunakan asas-asas dan konsep hukum tradisional jika diperlukan dan bermanfaat bagi
kelangsungan hidup bangsa dan kepastian hukum dalam hidup bermasyarakat. 247 Bahkan
dalam perkembangan politik hukum pidana dan sistem hukum pidana, proses legislasi turut
pula dipengaruhi oleh sistem hukum commonlaw dan beberapa traktat/perjanjian/konvensi
internasional.
Hampir dapat dipastikan pada ruang lingkup tindak pidana khusus yang hadir di masa
era reformasi mendapat pengaruh yang sangat kental dari proses globalisasi, misalnya
munculnya suatu proses kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang memanfaatkan hasil
kejahatan sebagai suatu bentuk perbuatan pidana baru, yang dikenal dengan nomenklatur
Tindak Pidana Pencucian Uang atau money laundering. Kajian terhadap moneylaundering ini
selalu diawali dengan perbuatan yang diklasifikasikan sebagai predicate crime248 dan
menempatkan hasil dari predicatecrime sebagai “uang haram” atau "uang kotor".
Masuknya konsep anti-moneylaunderingregime ke dalam sistem hukum pidana di
Indonesia pada kenyataannya tidak terlepas dari desakan dunia internasional baik melalui
Satgas internasional, lembaga-lembaga keuangan internasional maupun konvensi-konvensi
internasional,249 serta hegemoni kekuatan dunia barat dalam mengendalikan arus keuangan
secara internasional.250 Dengan demikian, jelas sekali bagaimana kekuatan dunia barat
melakukan infiltrasi sistem hukumnya dengan berbasis kepentingan perekonomian memaksa
pergeseran politik hukum nasional hingga membentuk sistem hukum pidana dalam wujud
proses legislasi terkait moneylaundering hingga mengalami tiga perubahan dan pencabutan,
247
Mochtar Kusuma-Atmadja & B. Arief Sidharta, Op.cit, hlm. 132-133.
248
Menurut Harkristuti Harkrisnowo, yang dimaksud dengan predicatecrimes adalah kejahatan atau tindak
pidana yang berkenaan dengan perilaku melanggar hukum itu sendiri. Lihat: Harkristuti Harkrisnowo,
"Kriminalisasi Pemutihan Uang: Tinjauan Terhadap UU No. 15 Tahun 2002", dalam Proceeding, Undang-
Undang No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: PPH & MARI, 2002), hlm. 13.
249
Pada tataran internasional, upaya melawan kegiatan pencucian uang ini dilakukan dengan membentuk
satuan tugas yang disebut The Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering oleh Kelompok 7
Negara (G-7) dalam G-7 Summit di Perancis pada bulan Juli 1989. FATF saat ini beranggotakan 29
Negara/teritorial, serta dua organisasi regional yaitu The European Commission dan the Gulf Cooperation
Council yang mewakili pusat-pusat keuangan utama di Amerika Eropa dan Asia. Untuk wilayah Asia Pasifik
terdapat The Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) pada tahun 1997, dan Indonesia telah menjadi
anggota sejak tahun 2000. Lihat: Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor:
2/1/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Bagi Penyedia Jasa Keuangan, Edisi Pertama.
250
Sejak tahun 2001, dalam kajian FATF (Financial Action Task Force) memutuskan Indonesia untuk
dimasukkan ke dalam daftar Non-Cooperative Countries and Teritories (NCCTS) terancam dikenakan counter-
measures/sanksi. Akibat dari counter-measures yang lebih berat, bisa berupa pemutusan hubungan
korespondensi bank-bank internasional dengan bank-bank di Indonesia sehingga bisa mengganggu perdagangan
di Indonesia, Hubungan korespondensi bisa terhenti. Artinya, para pengusaha akan lari ke bank-bank asing
sehingga bank-bank nasional perlahan-lahan akan mati. Akibat yang lebih ekstrem adalah dicabutnya lisensi
bank-bank yang beroperasi di luar negeri. Sanksi lain dari pasar dapat berupa pemutusan investasi di Indonesia
yang kemudian akan berdampak negatif bagi pertumbuhan investasi di Indonesia. Sementara itu, dampak bagi
perdagangan adalah letterofcredit (L/C) yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan Indonesia akan ditolak
sehingga kegiatan ekspor impor akan berhenti. Lihat: Soewarsono& Reda Manthovaní, Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang di Indonesia, (Jakarta: CV. Malibu, 2004), hlm. 39.

83
yaitu UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang
disahkan dan diundangkan pada 17 April 2002, kemudian melalui undang-undang
perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang disahkan dan
diundangkan pada tanggal 13 Oktober 2003. Lebih lanjut, kedua undang-undang tersebut
dinyatakan tidak berlaku melalui UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang disahkan dan diundangkan pada 22
Oktober 2010.
Pada bidang Hukum Pidana Formil, perubahan mendasar dimulai semenjak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
kemudian lebih dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
sebagai suatu bentuk kodifikasi pengaturan-pengaturan hukum acara pidana secara umum.
Eksistensi KUHAP merupakan suatu bentuk penggeseran hegemoni HIR/RBg dalam proses
penegakan hukum di Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Dengan munculnya KUHAP,
secara tidak langsung ada suatu pengakuan terhadap pihak-pihak yang terlibat sebagai suatu
subyek hukum yang diakui hak-hak dasarnya sebagaimana dikenal dengan prinsip
pemeriksaan accusatoir, dan meninggalkan prinsip pemeriksaan inquisatoir yang dianut oleh
HIR/RBg.
Kemuncullan KUHAP pada prinsipnya merupakan suatu pembaharuan sistem hukum
dalam konteks hukum acara. Sehingga tak heran jika KUHAP seringkali disebut sebagai suatu
"karya agung" pada masanya. Karena dalam perjalanan dan perkembangan Ilmu Hukum,
khususnya secara tegas terlihat semenjak adanya Mahkamah Konstitusi, seringkali dijadikan
objek judicial review. Salah satu faktor yang paling penting dalam perkembangan hukum di
Indonesia dari masa ke masa adalah ketidaksinkronan paradigma berpikir antara hukum acara
dengan hukum materiilnya.
Sebagaimana kondisi KUHP, KUHAP pun saat ini dalam tahapan amandemen yakni
draft KUHAP telah berkali-kali berubah dan masuk ke DPR sebagai badan yang berwenang
dalam melakukan perubahan dan pembentuk undang-undang. Namun, hingga saat ini,
minimal hingga buku ini ditulis, Indonesia tak kunjung memiliki KUHAP terbaru. Dalam
proses pembentuk KUHAP baru, tidak sedikit pertarungan paradigma di antara para ahli
hukum yang turut pula memengaruhi proses legislasi tersebut. Hal tersebut diakibatkan
dengan adanya perbedaan kiblat paradigma keilmuan yang berbeda di antara para ahli hukum,
di samping tentunya ada kepentingan kepentingan' yang lain.
Namun, yang perlu dikaji juga dalam penulisan ini adalah berkaitan dengan paradigma
yang dianut oleh KUHAP sebagai sebuah sistem hukum, khususnya hukum acara pidana.
84
Berkaitan dengan hal tersebut, M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa sistem peradilan
pidana yang digariskan oleh KUHAP merupakan sistem sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system) yang diletakkan di atas landasan prinsip diferensiasi
fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang
diberikan undang-undang kepada masing-masing. Berdasarkan kerangka landasan dimaksud,
aktivitas pelaksanaan criminal justice system merupakan fungsi gabungan (collection of
function) dari legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara, serta badan yang berkaitan,
baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.251
Jika kita cermati, pandangan M. Yahya Harahap tentang makna Prinsip Diferensiasi
Fungsional mencerminkan satu kesatuan proses peradilan pidana, selain berkaitan dengan
bagaimana implementasi kewenangan dari masing-masing institusi, ternyata prinsip tersebut
mengandung kelemahan-kelemahan dengan beberapa alasan, yaitu (1). Dikarenakan
ketidaksinkronan antara KUHAP dengan kewenangan institusi yang dimuat dalam undang-
undang terpisah, dan (2). KUHAP sebagai suatu sistem pada kenyataannya dinuansasi oleh
teori analitis-mekanis (analitic method theory) yang merupakan konsep pembentukan sistem
hukum yang tumbuh dalam Paradigma Positivisme Hukum. Terhadap faktor-faktor tersebut
dapatlah saya jelaskan sebagai berikut:

1. Ketidaksinkronan antara KUHAP dengan kewenangan institusi yang dimuat dalam


undang-undang terpisah
Salah satu kelemahan yang paling menonjol dalam implementasi KUHAP yakni
berkaitan dengan sinkronisasi dalam konteks pengawasan kinerja. KUHAP yang secara
limitatif mengatur pengujian terhadap proses bekerjanya institusi penegak hukum hanya
berkaitan dengan terpenuhi atau tidaknya persyaratan formil dalam melakukan upaya paksa
terhadap pihak yang diduga melakukan tindak pidana.
Semangat satu kesatuan yang termuat di dalam Konsideran Menimbang dari KUHAP
tidak terekam dengan baik dalam pasalpasal yang dimuat dalam KUHAP. Konsideran
Menimbang huruf c KUHAP menjelaskan sebagai berikut:
......untuk pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan
wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum derni
terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945;

251
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 90.

85
Perwujudan dari makna aksiologis KUHAP adalah munculnya lembaga Praperadilan
sebagai bentuk pengawasan vertikal dari kekuasaan kehakiman terhadap kinerja aparat
penegak hukum Sedangkan pengawasan secara horizontal diserahkan kepada undangundang
yang menaungi masing-masing institusi.
Permasalahannya adalah konkretisasi dari "pembinaan sikap" tersebut telah dibatasi oleh
validitas persyaratan formil administratif dalam melaksanakan fungsi dan wewenangnya.
Sehingga setiap tindakan aparat hukum khususnya Kepolisian dan Kejaksaan selalu dibatasi
dengan kelengkapan administrasi semata. Pasal 18 ayat (1) KUHAP menegaskan:
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik
Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka
surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta
tempat ia diperiksa.

Kemudian, Pasal 33 ayat (1) KUHAP menegaskan, "Dengan surat izin ketua pengadilan
negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan
yang diperlukan.” Kedua pasal tersebut, sekedar contoh, yang mensyaratkan kelengkapan
administrasi dalam melakukan upaya paksa menurut KUHAP merupakan penafsiran terhadap
terjaminnya Hak Asasi Manusia (HAM) dari seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana. Jikalau memang kelengkapan surat-surat tersebut merupakan suatu bentuk
perwujudan dari perlindungan HAM, maka dapatlah kita persoalkan kembali mengenai
pemaknaan dari kata "sikap” dari Konsideran Menimbang KUHAP tersebut.
Makna"sikap adalah sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Secara lebih
spesifik, Thurstone menjelaskan formulasi sikap sebagai derajat efek positif dan efek negatif
terhadap suatu objek psikologis, Demikian pula Berkowitz menjelaskan makna sikapyakni
sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable)
maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
252
Sedangkan GW. Allport menjelaskan sikap adalah keadaan mental dan taraf dari kesiapan,
yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap
respons individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. 253Secara detail
Saifuddin Azwar menjelaskan tiga komponen sikap, sebagai berikut:254
a. Komponen kognitif, merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik
sikap, komponen kognitif berisi kepercayaan stereotipe yang dimiliki individu mengenai
252
Saifuddin Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995),
hlm. 4-5.
253
GW. Allport, Attitudes. In Handbook of Social Psychology, (Worcester, MA; Clark Univ. Press, 1935),
hlm. 10
254
Saifuddin Azwar, Op.cit., hlm. 23.
86
sesuatu dapat disamakan penanganan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu
atau problem yang kontroversial.
b. Komponen afektif, merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek
emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin
mengubah sikap seseorang. Komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki
seseorang terhadap sesuatu.
c. Komponen perilaku (konatif), merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai
dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang. Dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk
bertindak/ bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Dan berkaitan dengan
objek yang dihadapinya adalah logis untuk mengharapkan bahwa sikap seseorang adalah
dicerminkan dalam bentuk tendensi perilaku.
Jika mengacu pada pendapat-pendapat tersebut maka sikap aparat penegak hukum
hendaknya bukan hanya dibatasi secara limitatif berkaitan dengan kelengkapan surat-surat
yang bersifat administratif. Artinya sikap tersebut, sebagaimana dimaksud dalam KUHAP,
bukanlah merupakan sikap administratif, namun lebih mengarahkan kepada sikap sebagai
perilaku nyata atau reaksi terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.
Mencermati rangkaian pasal demi pasal dalam KUHAP tersebut, maka dapatlah
disimpulkan pembentuk undang-undang dan aparat penegak hukum terjebak oleh pemaknaan
terhadap salah satu unsur dari konsep penyelenggaraan negara yaitu Negara Hukum
khususnya pada unsur "adanya peradilan administrasi", yang jika dikaitkan dengan makna
kodifikasi dalam rangka ketertiban dan kepastian hukum yang dimuat secara bersamaan di
dalam KUHAP menjadi bersifat perilaku administratif. Sehingga pengujian terhadap sikap
aparat penegak hukum selalu dimaknai perilaku administratif semata yang hanya diatur dalam
KUHAP dan diselesaikan melalui peradilan pidana, yang telah diantisipasi oleh pembentuk
undang-undang dikarenakan akan terbentur dengan pengaturan Pasal 2 huruf d Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (pra-amandemen), yang
menegaskan, “Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana."
Banyak kalangan berpandangan bahwa Praperadilan memperoleh inspirasinya dari
Habeas Corpus Act yang dimiliki oleh Sistem Hukum Anglo Saxon pada keluarga hukum
Common Law. Perwujudan dari HabeasCorpusAct merupakan thewrit of habeas corpus yang
dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memanggil pejabat yang berwenang mempertanggung
jawabkan upaya paksa yang dilakukan terhadap seseorang yang disangkakan sebagai pelaku
87
tindak pidana di depan pengadilan, di hadapan seorang Hakim, dengan asumsi dasar adanya
pelanggaran terhadap hak kemerdekaan seseorang,
Berdasar pada sikap skeptis tersebut, saya mempertanyakan ulang apakah benar
Praperadilan merupakan perwujudan dari Habeas Corpus Act; oleh karena, menurut saya
adalah tidak benar. Keyakinan saya tersebut dilandaskan pada pandangan dari Loebby
Loqman yang menjelaskan perbedaan yang sangat mendasar antara Praperadilan dengan
Habeas Corpus, yaitu:255
1) Pada praperadilan, hakim yang mengadili perkara praperadilan memeriksa sebelum sidang
biasa di pengadilan, sedangkan pada habeas corpus, hakim yang memeriksa adalah hakim
di pengadilan dаlаm ѕіdаng biаѕа;
2) Dalam praperadilan, kewenangannya terbatas pada menguji keabsahan suatu penangkapan
dan penahanan yang dilakukan sehubungan dengan upaya paksa dalam hukum acara
pidana, sedangkan habeas corpus, lebih luas dalam arti permohonan dikeluarkannya surat
perintah habeas corpus ditujukan kepada instansi manapun yang melakukan penangkapan
dan penahanan.
Apabila makna "sikap" tersebut diwujudkan dalam derajat efek negatif terhadap
Tersangka/Terdakwa tentunya akan menimbulkan persoalan dengan implementasi dari Pasal
117 ayat (1) KUHAP, yang menegaskan, "Keterangan tersangka dan/atau saksi kepada
penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun." Keterangan
yang diperoleh secara tidak sah tersebut akan dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
yang kemudian dijadikan dasar penelitian oleh Jaksa pada penyerahan berkas Tahap I dan
pada akhirnya merupakan dasar dari terbentuknya Surat Dakwaan; yang pada akhirnya
membentuk pola pikir Hakim dalam membaca berkas-berkas dan Surat Dakwaan tersebut.
Rangkaian-rangkaian tersebut tidak diantisipasi oleh Pembentuk Undang-Undang
(KUHAP) dalam penyusunannya. Sehingga Praperadilan telah kehilangan makna
aksiologisnya dalam ranah praktik hukum dan tidak mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat.
Dalam perkembangan ilmu hukum yang berkaitan dengan praktik hukum, terobosan
hukum memang telah dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana termuat dalam
pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang menegaskan sebagai berikut:
bahwa untuk memenuhi maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi
dalam proses praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi
manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam proses penyidikan dan penuntutan serta
255
Ibid., hlm. 9
88
dengan memperhatikan nilai-nilai hak asasi manusia, maka setiap tindakan penyidik
yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak
asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan.
Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut, seharusnya memunculkan norma
baru dalam KUHAP berkaitan dengan sikap atau perilaku dari Aparat Penegak Hukum
tersebut, namun demikian, hingga saat ini (setidak-tidaknya hingga penulisan buku ini),
pengujian terhadap perilaku atau sikap masih diserahkan kepada institusi masingmasing yang
rawan dengan sikap melindungi "korps” atau terbenturnya keadilan dengan jiwa korsa dari
masing-masing institusi.

2. Pengaruh Teori Analitis-Mekanis (Analitic Method Theory) dan Paradigma Positivisme


Hukum
Semenjak Tahun 1981, KUHAP melalui Praperadilan hanya diperuntukan untuk
menguji keabsahan upaya paksa yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum, sehingga hanya
bersifat pengawasan administrasi belaka. Sedangkan jika dikaitkan dengan perilaku dan/atau
salah penerapan hukum bukanlah ranah dari Praperadilan. Hal tersebut merupakan
konsekuensi dari diterapkannya prinsip diferensiasi fungsional dan fungsi gabungan yang
dianut dalam KUHAP. Oleh karena itu, peletakan pertanggungjawaban dan pengawasan
terhadap pelaksanaan kewenangan dibebankan kepada peraturan perundang-undangan pada
masing-masing institusinya.
Sikap Aparat Penegak Hukum dalam derajat efek negatif, selain berkaitan dengan hal-
hal administratif, diakui bukanlah ruang lingkup dari KUHAP. Hal tersebut dikarenakan
dalam pembentukan Sistem Peradilan Pidana dinuansai atau setidak-tidaknya dipengaruhi
oleh Teori Metode Analitis-Mekanis (mechanism analitic method theory).
Ciri utama dari Teori Metode Analitis-Mekanis (mechanis manalitic method theory)
disamping mempertahankan pola pendekatan analitis, dalam formulasinya yang lebih baru ini
pendekatan analitis juga memandang setiap kesatuan objek analitis sebagai benda dan mesin
belaka. Setiap benda sebagai kesatuan proses yang terpisah (separation), ke arah pandangan
yang menganggap setiap kesatuan bergerak secara mekanis (mesin). 256 Lili Rasjidi
menjelaskan bahwa metode analitis mekanisme merupakan pertentangan dari metode analogi
organis, yang dipertajam oleh filsafat ReneDescartes (Cartesian); berawal dari pandangan
filsafat cartesian yaitu konsepsi tentang hubungan antara badan (body) dan pikiran (mind)

256
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 53-54
89
sebagai dua substansi individual yang berdiri sendiri, saling terpisah, dan tidak saling
berhubungan satu sama lain.257
Metode ini memperoleh kejayaannya bersamaan dengan tumbuhnya Mahzab
Positivisme August Comte yang menginginkan suatu penelitian yang bersifat objektif dan
mengingkari aspek subjektif si peneliti . Positivisme sebagai teori yang bertujuan untuk
penyusunan fakta-fakta yang teramati, karena itu lah August Comte menolak sama sekali
metafisika dan bentuk pengetahuan lain, seperti moral, etika, teologi, seni yang melampaui
fenomena teramati. Sebagai sebuah paradigma, Positivisme pada dasarnya berasal dari aliran
filsafat yang meminjam pandangan, metode, dan teknik Ilmu Alam dalam memahami realitas
(saintisme). Sehingga, akibatnya bagi Ilmu Hukum yaitu dibebaskan dari hermeneutika dan
diharuskan mengikuti cara kerja (metode) kuantitatif ilmu pasti. Oleh karena itu, penganut
aliran ini sangat mengagungkan kepastian hukum.258
Akibat dari Cartesian terhadap epistemologisilmuhukum dengan pendekatan mekanis
analitis tersebut adalah dominasi teori dan pendekatan hukum murni (the Pure Theoryof Law)
dalam analisis hukum, sehingga banyak orang memandang hukum sekedar sistem norma
belaka.259 Dengan demikian, pengajuan gugatan terhadap "sikap" Aparat Penegak Hukum
terkait dalam suatu Sistem Peradilan Pidana menjadi tertolak. Hal tersebut dikarenakan
Paradigma Positivisme Hukum, sebagai akibat pengaruh dari Hans Kelsen dengan the Pure
Theory of Law-nya, karena telah mengistirahatkan filsafat dari kerja spekulasinya dan
mengidentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan. Hanya dengan
mengidentifikasi hukum dengan peraturan perundang-undangan, kepastian hukum akan
diperoleh karena orang tahu dengan pasti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukannya.
Hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, melainkan karena telah ditetapkan oleh
penguasa yang sah.260 Hans Kelsen, melalui pendapat-pendapatnya yang menjadi dasar dari
teorinya, berusaha melakukan purify terhadap tiga hal, yaitu (1) pemurnian terhadap objek
teori hukum, (2) pemurnian tujuan dan ruang lingkup teori hukum, dan (3) pemurnian
terhadap metodologi teori hukum.261
Pengingkaran terhadap kerja filsafat diawali dari pemikiran Rene Descartes yang
menjelaskan bidang filsafat walaupun telah ditekuni oleh pakar-pakar cemerlang sepanjang

257
Ibid., hlm. 31.
258
Widodo Dwi Putro, Op.cit., hlm. 18.
259
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 4.

260
Widodo Dwi Putro, Op.cit., hlm. 27
261
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Paradigma Rasional dalam Ilmu Hukum. Basis
Epistemologis Pure Theoryof Law Hans Kelsen, (Yogyakarta: Genta Pupblishing, 2014), hlm. ix. .
90
berabad-abad yang lalu masih saja tidak terdapat satu hal pun yang tidak mungkin
diperdebatkan dan karenanya tetap diliputi ketidakpastian. Berkaitan dengan pandangan
tersebut, ketika dikaitkan dengan bidang-bidang ilmu lain yang mengambil dasar kajiannya
dari filsafat, Rene Descartes menegaskan kerapuhan dari ilmu-ilmu tersebut dikarenakan
bersumber dari filsafat, yang dalam pandangannya merupakan sumber yang rapuh, sehingga
tidak mungkin dibangun sesuatu yang kokoh.262 Pandangan dari Rene Descartes yang
kemudian dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan memperoleh beberapa penguatan dari
aliran-aliran Empirisme, akar pemikiran Rene Descartes terlacak berasal dari Plato yang
mengembangkan aliran Rasionalisme, khususnya oleh August Comte dalam kajian yang
berkembang pada bidang science (Ilmu Pengetahuan) khususnya Ilmu Alam. Perkembangan
sains tersebut berpengaruh pula pada perkembangan Ilmu Hukum, sebagai ilmu yang
berobjek bukan benda alam atau merupakan kehidupan manusia. Sehingga, metode
kebenarannya pun dipengaruhi oleh metode verifikasi melalui terpenuhinya fakta-fakta
sebagai premis minor terhadap premis mayor dalam rangkaian peraturan perundang-undangan
Dengan demikian, makna “sistem" pada Sistem Peradilan Pidana lebih mengarah pada
pemaknaan bekerjanya sebuah mesin, dan menolak unsur-unsur yang bersifat subjektif dari
manusia dengan menyerahkan mekanisme penyelesaiannya kepada institusi masingmasing.
Sedangkan, makna “sistem" itu sendiri terletak pada konsep keseluruhan (the wholeness) dan
tidak hanya terpaku pada unsurunsur yang menjadi pembentuk dari sistem tersebut, namun
juga pada unsur-unsur yang berada di luar unsur pembentuk.
Berkaitan dengan ciri-ciri dari suatu "sistem" adalah terbuka/ gejala sosial yang
mendapatkan pengaruh sosial, maka seyogyanya Sistem Peradilan Pidana tidak menutup diri
dari kenyataan-kenyataan sosial berupa institusi-institusi Aparat Penegak Hukum seringkali
tidak memberikan kepuasan keadilan bagi Tersangka/Terdakwa dan/ atau keluarga serta ahli
warisnya. Pelanggaran Pasal 117 ayat (1)KUHAP melalui tindakan hukum dan/atau tindakan
administratif yang tidak diakomodasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam
KUHAP seharusnya membuka peluang untuk melakukan konstruksi ulang terhadap essensi
pokok perkara yang sedang disidangkan.
Namun demikian, sebagai akibat dari pengaruh mechanism analytics method dan
Paradigma Positivisme Hukum melalui Pure Theory of Law nya Hans Kelsen, menjadikan
hal-hal yang telah dipisahkan oleh KUHAP dan bukan merupakan norma dalam KUHAP
tidak dapat diverifikasi melalui KUHAP, maka wajar jika Hakim-Hakim lebih mengambil
“posisi aman" untuk menolak atau minimal menyatakan tidak dapat diterima. Sehingga,
262
Rene Descartes, Discourseon Method, [Pent. Ahmad Faridi Ma'ruf), (Yogyakarta: IRCISOD, 2012),
hlm. 35-36.

91
secara teleologis KUHAP yang ditujukan kepada penghormatan terhadap HAM dan perbaikan
sikap bagi para penegak hukumnya telah kehilangan makna aksiologisnya, dan
mentransformasikan KUHAP sebagai mesin dan sekumpulan norma belaka. Aparat penegak
hukum secara tegas menolak adanya pendekatan subjektif terhadap objek penelitian
dikarenakan subjektivitas bersifat metafisika, samar, tidak tegas, dan spekulatif.
Proses memesinkan manusia sangat terlihat pada Pasal 117 ayat (2) KUHAP yang
menegaskan:
Dalam hal tersangka memberi keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan
sehubungan dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam
berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh tersangka sendiri.

Pasal 117 ayat (2) KUHAP jelas menghilangkan sisi subjektivitas dari seorang manusia
yang ditransformasikan ke dalam bentuk tulisan-tulisan tanpa ekspresi sebagai seorang
manusia. Proses peradilan seperti ini menghilangkan esensi suatu peradilan temp bergulatnya
kepentingan manusia dengan manusia. Dengan demikian, setiap fakta dan data yang muncul
selama proses serta tidak dapa) diverifikasi melalui redaksional dalam Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) yang dianggap resmi oleh pejabat yang membuatnya. Maka benarlah
pandangan dari Roeslan Saleh yang menjelaskan bahwa pemikiran hukum pidana tidak
sempurna dan utuh jika dilepaskan dari pandangan falsafah yang seharusnya mendasarinya.
Selain itu, masalah pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari dua aspek
yang dilihat dari segi falsafah, yaitu aspek keadilan dan aspek kelakuan.263 Lebih lanjut,
Roeslan Saleh yang menjelaskan bahwa mengadili bukanlah melakukan sesuatu terhadap hal-
hal yang berada di luar diri terdakwa. Mengadili adalah suatu proses yang dengan susah payah
telah terjadi di antara manusia dan manusia. Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan
untuk mewujudkan hukum. Mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia
pada hakikatnya tidaklah mungkin. Oleh karenanya mengadili tanpa suatu hubungan yang
bersifat sesama manusia antara Hakim dengan Terdakwa kerapkali dirasakan sebagai
memperlakukan suatu ketidakadilan. Dan suatu pidana yang ditimpakan setelah mengadakan
suatu penyelesaian tanpa memperhatikan diri dari orang yang berperkara akan merupakan
suatu penghancuran dari masa depan. Cara-cara mengadili seperti itu tidak hanya merugikan
si pembuatnya, tetapi juga merugikan kesejahteraan umum264
Demikian pula dalam pandangan Sudarto yang melengkapi penjelasan di atas dengan
menerangkan bahwa Jaksa mengadakan reduksi dalam membuat surat tuduhannya. Dalam
satu kalimat, yang kadang-kadang sangat panjang, ia menyebutkan segala fakta yang
263
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. Dua Pengertian Dasar dalam
Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 7-8.
264
Roeslan Saleh, Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 26-27
92
menyangkut perbuatan terdakwa sedemikian rupa, sehingga semua unsur yang dikehendaki
oleh ketentuan hukum pidana yang bersangkutan dapat dipenuhi secara lengkap, di samping
menyebutkan waktu dan tempat dilakukannya perbuatan tersebut. Surat tuduhan mengandung
dua aspek yang kadang-kadang tidak begitu jelas terpisah, dan oleh A.L. Melai kedua aspek
itu disebut sebagai aspek apa yang terjadi secara nyata dan aspek normatif atau yuridis
(ervaringsaspect en enjuridische of normatieve as pecten van het telastegelegde).265
Begitu kuatnya dominasi Pure Theoryof Law-nya Hans Kelsen, yang memurnikan
objek teori hukum terhadap hukum Indonesia, sehingga mampu mengesampingkan teknik
berhukum yang humanis manusiawi, Paradigma Hans Kelsen pada realitannya, melalui
penguatan beberapa metode ilmiah yang berkembang dalam Paradigma Positivisme
Hukum, bukan saja memberikan pengajaran tentang cara berhukum namun juga tentang cara
bersikap Aparat Penegak Hukum terhadap individu (pelaku) dan cara menyikapi fenomena
perilaku manusia. Dalam pandangan saya, hegemoni Paradigma Positivisme Hukum telah
menciptakan sikap komponen-komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia hanya sekedar
alat dari Paradigma Positivisme Hukum itu sendiri. Mereka (komponen-komponen tersebut)
memandang seseorang atau individu sebagai suatu bagian yang terpisah dari masyarakat,
sehingga perilaku seseorang hanya diberikan parameter oleh norma-norma hukum yang telah
dipositiviskan melalui validitas penguasa.
Menurut Hans Kelsen, Pure Theory of Law akan memberikan ciri tersendiri sebagai
sebuah teori hukum "murni" karena kognisi hukum, selain difokuskan pada hukum itu sendiri,
juga dimaksudkan untuk menghilangkan segala kognisi yang bukan termasuk obyek kognisi.
Jadi, dalam kognisi hukum, objek satu-satunya dari kognisi hukum adalah norma hukum. 266
"Lebih lanjut dijelaskan, dalam perspektif Pure Theory of Law, Ilmu Hukum diarahkan pada
upaya untuk memahami norma hukum sebagai makna tindakan (perilaku/perbuatan) yang
terkandung dalam norma hukum, sehingga objeknya semata-mata hanyalah norma. 267
Sehingga, terhadap perilaku atau perbuatan dalam arti sebenarnya, sepanjang tidak direduksi
ke dalam norma hukum, maka bukanlah objek dari Ilmu Hukum.
Terhadap kondisi tersebut, Mochtar Kusuma-Atmadja melalui konsepsi hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat (law as a tool of social engineering) dalam konteks
ke-Indonesia-an telah menjelaskan bahwa sikap yang menunjukan kepekaan terhadap
kenyataan masyarakat menolak aplikasi “mechanistis" dari pada law as a tool of social
engineering. Aplikasi mekanistis demikian yang digambarkan dengan kata "tool" akan

265
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 76
266
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Op.cit., hlm. 3.
267
Ibid., hlm. 10.
93
mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan legisme yang dalam
sejarah hukum Indonesia (Hindia Belanda) telah ditentang dengan keras."268
Ungkapan-ungkapan pembelaan terhadap eksistensi KUHAP secara terstruktur dan
sistematis mulai dari doktrin-doktrin ahli hukum, "karya agung", "prinsip diferensiasi
fungsional" dan "prinsip fungsi gabungan", dan praktik hukum, dalam hal hakim
melaksanakan porsinya, merupakan suatu penggambaran yang hiperbola. Semua ungkapan
tersebut sebagai hasil renungan yang panjang dan ditransfer dari generasi ke generasi,
merupakan upaya reduksi terhadap kemampuan nalar seseorang sebagai manusia yang
memiliki rasio (akal). Terhadap hal tersebut, maka benarlah pandangan H.L.A. Hart yang
menjelaskan sebagai berikut:269
Lebih dari itu, apa yang mereka katakan mengenai hukum pada masa dan tempat
mereka benar-benar meningkatkan pemahaman kita. Dipahami dalam konteks mereka,
statemen-statemen tadi bersifat menerangkan dan sekaligus membingungkan; semua
itu seperti membesar-besarkan kebenaran tertentu mengenai hukum yang selama ini
terabaikan, alih-alih sebagai definisi yang netral. Semua statemen itu menyorotkan
sinar yang memungkinkan kita melihat banyak hal yang tersembunyi dalam hukum;
namun sinar itu demikian terangnya sehingga membuat kita buta terhadap hal-hal
selebihnya dan membuat kita terpana tanpa ada pandangan yang jelas mengenai
keseluruhannya.

Demikian pula kecaman dari ahli fiqh Islam yaitu Empat Imam Mahzab (Imam Syafi'i,
Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Ahmad bin Hambal) telah melarang pengikut mereka
untuk ber-taqlid kepada mereka, dan mereka mengecam orang yang mengambil pendapat
mereka tanpa didasarkan pada hujjah (dalil) yang nyata. Imam Syafi'i berkata:
Perumpamaan orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa didasarkan kepada hujjah
laksana orang yang mencari kayu bakar di malam hari, dimana dia membawa ikatan
kayu bakar yang didalamnya ada ular yang berbisa yang akan mematuknya, dan dia
tidak mengetahuinya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka saya berpendapat dalam mendalami hukum
secara kaffah (menyeluruh dan komprehensif) hendaknya perlu diadakan suatu studi
perbandingan lintas mahzab. Yang perlu digaris bawahi adalah studi perbandingan tersebut
bukanlah mencari mahzab mana yang benar dan shahih, namun yang perlu dicari adalah suatu
norma yang dapat diterapkan dengan kondisi dan situasi ke-Indonesia-an. Hal tersebut
didasari bahwa pendapat mahzab yang satu tidak membatalkan mahzab yang lain, dengan kata

268
Mochtar Kusuma-Atmadja, Hukum, Masyarakat dan……. Op.cit., hlm. 9
269
Ibid., hlm. 14.

94
lain, pada penelitian ataupun kajian mengenai aliranaliran dalam Ilmu Hukum sebagai peneliti
tidak terjebak dalam konsep paradigma Thomas S. Khun.
Hegemoni Paradigma Positivisme Hukum dalam Sistem Hukum Pidana merupakan
gambaran paradigma yang menguasai Politik Hukum Pidana di Indonesia sangat jelas terlihat
dalam output dari Sistem Hukum Pidana. Benturan antara paradigma yang merupakan natural
science dalam ranah Ilmu Hukum di Indonesia mulai mendapatkan tantangan dalam proses
judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Semenjak Mahkamah Konstitusi (MK)
muncul, tidak sedikit pasal-pasal baik dalam Hukum Pidana Materil maupun Hukum Pidana
Formil menuai desakan untuk diamandemen dan disesuaikan dengan jiwa konstitusi yang
termuat dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945).
Desakan atas Paradigma Positivisme dalam Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum
Pidana mulai terlihat pada R-KUHP dan R-KUHAP, dengan dimuatnya pengakuan terhadap
eksistensi the living law, sebagai pengaruh dari Mahzab Sejarah dalam perkembangan Ilmu
Hukum di Indonesia. Pengakuan thelivinglaw dalam R-KUHP dan R-KUHAP seiring dengan
pengakuannya dalam Pasal 18B UUD NRI 1945 menegaskan:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang
Berdasarkan garis Politik Hukum tersebut, dalam R-KUHP draft Tahun 2015 memuat
ketentuan yang sejalan sebagaimana termuat dalam Pasal 2 ayat (1) R-KUHP yang
menegaskan:
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundangundangan.270

Akar yuridis dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) R-KUHP draft 2015 tersebut, dapatlah
segera kita ketahui, mengakomidasi ketentuan dalam Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang
Darurat No. 1 Drt. 1951, yang menegaskan:
.....bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak boleh lebih dari tiga bulan
penjara atau denda lima ratus rupiah.....

270
Redaksional tersebut sebelumnya termuat pula dalam Pasal 1 ayat (3) R-KUHP draft Tahun 2005 dan
R-KUHP draft Tahun 2010.
95
Jika ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Darurat No. 1 Drt. 1951
dikaitkan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Pasal 2 ayat (1)R-KUHP draft Tahun 2015,
maka dapatlah disimpulkan adanya pergeseran paradigma yang oleh pemikir-pemikir hukum
dan pembentuk undang-undang. Pergeseran paradigma berpikir tersebut memberikan peluang
kepada perbuatan-perbuatan yang secara tidak tertulis untuk memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan perbuatan-perbuatan yang telah dinyatakan dalam suatu undangundang.
Pergeseran paradigma dalam konteks pengembangan dan pembentukan Politik Hukum Pidana
yang semula merupakan dominasi Paradigma Positivisme Hukum, mulai mendapat pengaruh
dari Paradigma (Mahzab) Historis/Sejarah dan Paradigma Sociological Jurisprudence.
Paradigma (Mahzab) Historis/Sejarah melalui tokoh utamanya, Friedrich Karl von
Savigny, menjelaskan bahwa sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan
tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk, melainkan tumbuh dan
berkembang bersama kehidupan masyarakat.271 Undang-undang dibentuk hanya untuk
mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara. Begitu pula
dalam pandangan Paradigma Sociological Jurisprudence yang menjelaskan "Hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang berkembang dalam masyarakat, dan
kekuasaan membentuknya berada di tangan rakyat."272
Berdasarkan uraian di atas, perkembangan Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum
Pidana, baik dalam bidang Hukum Pidana Materiil maupun Hukum Pidana Formil, secara
substansi tidak menampilkan perubahan yang signifikan. Secara pribadi, saya justru lebih
berpandangan bahwa ada penurunan kualitas hukum, baik dari sisi proses pembentukan, isi
materi, maupun proses penegakannya. Munculnya undang-undang khusus pada hakikatnya
justru membawa awan hitam dalam nuansa Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana
di Indonesia. Proses legislasi seringkali didasarkan hanya pada realitas sosial dan amarah tak
terarah dalam wujud slogan-slogan "darurat korupsi”, “darurat narkoba”, “darurat
pornografi”, dan darurat-darurat lainya. Sehingga, proses legislasi seringkali merupakan suatu
bentuk reaksi terhadap situasi sosial di masyarakat tanpa adanya kajian-kajian yang bersifat
akademik dari keilmuan hukum dan sosial secara utuh dan komprehensif.
Hal tersebut tercermin dari semakin tidak jelasnya arah pembaharuan Hukum Pidana.
Landasan pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia semakin tidak jelas dan implementasi
peraturan peraturan pun semakin tidak terukur.

271
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 113.
272
Veri Junaidi, Khoirunnisa Agustyati, dan Ibnu Setyo Hastomo, Op.cit., hlm. 24
96
Bab 5
GRAND DESIGN POLITIK HUKUM PIDANA DAN SISTEM HUKUM
PIDANA DI INDONESIA

Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus dan berlakunya UUD 1945, Sistem


Hukum Indonesia yang semula terbentuk dikarenakan pengaturan yang didasarkan kepada
Indische Staatsregeling digantikan oleh Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber segala
sumber hukum. Namun, sebagai akibat Aturan Peralihan Pasal II dalam UUD 1945, maka
masih berlaku juga bagian-bagian dari hukum kolonial, dengan penyesuaian di sana sini
dengan UUD 1945 tersebut.273 Masih diadopsinya beberapa peraturan yang bersifat
kolonialisme tersebut mengakibatkan permasalahan di dalam penegakan hukumnya. Nuansa
filosofis yang mendasari peraturan-peraturan lama tersebut jelas memiliki perbedaan yang
sangat mendasar dengan semangat pembaruan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Sehingga semenjak Indonesia diproklamasikan sebagai negara yang merdeka, keinginan yang
sangat kuat muncul untuk menggantikan sistem hukum pidana yang bernuansa kolonialisme.
Langkah pertama yang diambil adalah dengan menasionalisasi KUHP versi Belanda melalui
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, yang kemudian disusul dengan beberapa perubahan,
yaitu antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengubah
nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) menjadi Wetboek van
Strafrecht (WvS) atau lebih dikenal dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), serta adanya perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang
dan kabar bohong.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Undang-undang ini
menambahkan jenis pidana pokok yaitu berupa pidana tutupan.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada
Dokter dan Dokter Gigi; Undangundang ini menambahkan jenis kejahatan yang berkaitan
dengan praktik dokter.
4. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah
KUH Pidana dengan menambahkan jenis kejahatan terhadap bendera RI.

273
CFG. Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 1

97
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP; Adapun ketentuan yang
diubah adalah dengan memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan
ancaman pidana Pasal 188.
6. Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP
yaitu dengan mengubah vijfentwintig gulden dalam beberapa pasal dengan menambahkan
sejumlah angka, menjadi dua ratus lima puluh rupiah.
7. Undang-Undang Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda
dalam KUHP dan dalam Ketentuanketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum
tanggal 17 Agustus 1945.
8. Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama, yaitu dengan menambahkan Pasal 156a.
9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian, dengan memperberat
ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya
Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa
Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-
undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana
Penerbangan; UU ini memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat
(Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambahkan Bab XXIX A
tentang Kejahatan Penerbangan.
11. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara;
dengan menambahkan jenis tindak pidana terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f.
12. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan Pasal
134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945;
13. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007 menyatakan Pasal 154 dan 155
KUHP bertentangan dengan UUD 1945.
14. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP; yang menaikkan jumlah denda Rp250,-
sebanyak 10.000 kali menjadi Rp2.500.000,
15. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU/-XI/2013 tentang Judicial Review atas
Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP, yang menghapus frase "perbuatan tidak menyenangkan".

Adapun salah satu yang menjadi kebanggaan Bangsa Indonesia pasca kemerdekaan
adalah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
atau dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai
98
pengganti dari HIR/RBg, khusus ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan aturan hukum
acara pidana. KUHAP diyakini sebagai suatu karya agung bangsa Indonesia, karena berhasil
menciptakan Hukum Acara Pidana yang lebih memberikan penghormatan kepada Hak Asasi
Manusia, dan mampu menghilangkan dominasi kolonialisme dalam Hukum Pidana; masih
tersisa kegagalan dalam mengganti KUHP versi Belanda kepada KUHP versi Indonesia.
Sejalan dengan perkembangan zaman, KUHAP yang semula dianggap sebagai karya
agung pada masanya, saat ini sudah tidak mampu mengakomodasi perkembangan zaman.
Pembaharuan terhadap KUHAP diawali dengan dikeluarkannya Draft R-KUHAP 2004,
kemudian diubah menjadi R-KUHAP Draft 3 April 2007, berubah lagi menjadi R-KUHAP
Draft Desember 2007, kembali lagi diubah dalam R-KUHAP Draft Maret 2008, berubah lagi
R-KUHAP Draft Januari 2009, kemudian R-KUHAP Draft 2010, dan terakhir melalui R-
KUHAP Draft 11 Desember 2012.274 Dan terakhir ditandai dengan adanya Draft R-KUHAP
2015 tertanggal 2 Juni 2015.
Selain permasalahan dari segi proses pembentukan RKUHP dan RKUHAP,
permasalahan lain adalah substansi dari materi hukum yang termuat baik di dalam RKUHP
dan RKUHAP. Terjadi prokontra terhadap materi dari kedua rancangan tersebut, baik
disebabkan karena pertentangan isi materi yang lebih memiliki kecenderungan kepada satu
religi saja, dimuatnya pengakuan secara tertulis terhadap pidana adat, hingga masuknya
pemahaman sistem hukum dari berbagai negara, sebagai akibat dari fenomena globalisasi.
Patut kita cermati bersama bahwa perkembangan dalam masyarakat akibat globalisasi
telah memengaruhi tatanan hukum nasional bangsa-bangsa. Globalisasi telah menimbulkan
dampak di berbagai bidang, ada kecenderungan munculnya negara tanpa batas (state with out
border). Pada akhirnya, norma hukum yang ada harus mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi, tetapi kemudian bukan berarti harus menanggalkan nilai-
nilai yang dianut seperti pandangan hidup, ideologi, dan dasar negara Pancasila yang telah
menjadi sumber dari segala sumber hukum.275 Sebagaimana ditegaskan pula oleh CFG.
Sunaryati Hartono bahwa di dalam Sistem Hukum Nasional yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945, setiap bidang hukum yang akan merupakan bagian dari Sistem Hukum Nasional
wajib bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.276
Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya
merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan
reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosio-filosofik,
274
"Perjalanan Rancangan KUHAP", http://kuhap.or.id/perjalanan-rancangan-kuhap/ (23 Mei 2014).
275
Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, (Bandung: Genta Press, 2011), hlm. 90-91.
276
CFG. Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 65.

99
dan nilai-nilai sosiokultural masyarakat Indonesia.277 Patut pula kita apresiasi pendapat dari
Khudzaifah Dimyati bahwa tuntutan reformasi di bidang hukum akan selalu diperdengarkan
dan kendala reformasi hukum yang akan dialami Indonesia, yaitu:278
1. Teknis, yakni dalam bentuk mengenali nilai, norma yang hidup dalam masyarakat
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa;
2. Kelembagaan, yakni sampai saat ini di Indonesia belum disepakati adanya satu lembaga
yang khusus mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan dan sekaligus dikhususkan
untuk menyusun dan mengoordinasikan pembentukan undang-undang;
3. Filosofis, adanya kecenderungan mengabaikan arti penting pertimbangan filosofis terhadap
suatu perundang-undangan yang akan disusun. Hal ini dapat diketahui dari seringnya
ditemukan peraturan perundang-undangan yang dalam waktu singkat harus diubah, karena
adanya perubahan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat;
4. Politik hukum, yang ditetapkan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di
Indonesia tidak dirumuskan secara tegas tentang ke arah mana aturan akan dialirkan,
apakah akan mengutamakan keikutsertaan di dalam percaturan ekonomi dunia atau akan
memperkuat ketahanan di dalam negeri dalam rangka menghadapi percaturan politik
ekonomi dunia;
5. Pengaruh luar, reformasi hukum yang sesuai dengan nilai, norma, dan budaya bangsa
Indonesia akan sulit diwujudkan sepanjang Indonesia masih “didikte” oleh kekuatan-
kekuatan asing seperti IMF di dalam memberikan pinjaman kepada Indonesia atau
badanbadan lainnya.
Kesulitan dan kendala-kendala tersebut, sebenarnya juga telah dialami terlebih dahulu
oleh masyarakat Eropa pada saat mereka masih menggunakan hukum kebiasaan, hukum
gereja. Kondisi tersebut terdesak dengan sistem hukum Romawi.279
Tak kalah pentingnya dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, maka persoalan
paradigma pun merupakan hal yang paling mendasar dalam konteks kehidupan berhukum di
Indonesia. Sebagai negara yang menerima asas konkordansi, maka berpengaruh kepada
paradigma yang telah ditransfer oleh negara induk yaitu Belanda. Sehingga, bukan saja
produk hukum yang dipaksakan masuk, namun paradigma berpikir pun ikut menuansai
paradigma berpikir Aparat Penegak Hukum (APH) saat ini. Sistem Hukum civil law yang
sangat kental dengan Mahzab Positivisme Hukum pun diadopsi oleh Aparat Penegak Hukum
(APH) dalam menafsirkan dan menerapkan hukum.
277
Op.cit., hlm. 9.
278
Op.cit., hlm. v-ví.
279
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit., hlm. 5

100
Lebih lanjut Khudzaifah Dimyati menjelaskan bahwa Paradigma Rasional
(Paradigma Positivisme Hukum -Pen) yang terbangun oleh tradisi Hukum Romawi sejak
abad I sampai dengan abad IV, yang terus dikembangkan hingga abad XIX, selalu tampil
sebagai mainstream dalam pembelajaran dan pembentukan hukum di Indonesia.
Pemberlakukannya dimulai sejak tahun 1847 dan secara perlahan menjadi kekuatan
hegemoniks,280 dan menggeser paradigma hukum adat yang telah merupakan hukum
kebiasaan oleh masyarakat Indonesia melalui instrumen kolonialisme.
Minimal terdapat lima faktor yang menyebabkan Paradigma Positivisme Hukum
masuk, dipergunakan, dan kemudian mendominasi model pembelajaran dan pembentukan
hukum di Indonesia, yaitu:281
1. Adanya politik hukum dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk memberlakukan
sistem hukum di tanah jajahan yang sama dengan sistem hukum yang berlaku di
negaranya;
2. Upaya dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk menjauhkan segala unsur-unsur
ajaran Islam dan keislaman dari kehidupan negara, ketatanegaraan, masyarakat, dan
hukum;
3. Adanya keinginan dari pemerintah kolonial untuk mengubah struktur ekonomi di Hindia
Belanda menjadi sistem ekonomi liberal-kapitalistik dan internasional;
4. Kemenangan dari kelompok-kelompok penstudi hukum yang menyarankan agar tata
hukum Indonesia melanjutkan saja tata hukum yang telah dibangun sejak zaman
Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda dengan kelompok yang menganjurkan agar di
Indonesia dibangun tata hukum yang benar-benar baru, ataupun kelompok yang hendak
memperjuangkan terwujudnya hukum nasional, dengan cara mengangkat hukum rakyat,
yaitu hukum adat sebagai hukum, di masa- masa awal kemerdekaan Indonesia;
5. Kebutuhan untuk menyiapkan rechtsambetenar (hakim atau panitera pada landraad
(Pengadilan Negeri), raad van justitie (Pengadilan Tinggi), dan hooggerechtshof
(Mahkamah Agung)) yang di satu sisi dapat memahami hukum yang berkembang menurut
konsepkonsep dan prosedur yang ditradisikan dalam budaya Eropa, dan di sisi lain
memiliki kemampuan dan kepekaan untuk mengenal dengan penuh penghayatan alam
budaya simbolik bangsa sendiri.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, ketika kita mempermasalahkan tersingkirnya
Pancasila sebagai sumber hukum yang menginspirasi sistem hukum Indonesia, khususnya
hukum pidana, maka permasalahan lain pun muncul, yaitu di manakah letaknya hukum

280
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Op.cit., hlm. 13-14
281
Op.cit., hlm. v-ví.
101
pidana adat dan hukum Islam? Kedua sistem hukum tersebut notabene pernah berlaku dan
masih berlaku pada sebagian masyarakat di Indonesia. Hal tersebut turut pula dipertanyakan
oleh Valerine J.L. Kriekhoff, apakah hukum adat masih diakui eksistensinya?282 Proses
modernisasi telah melenyapkan dasar kemasyarakatan dari hukum kebiasaan tradisional
hukum adat (hampir) sebagian besar tanah air.283
Fenomena lainnya, yakni sejak dasawarsa 1950-an proses internasionalisasi semakin
menembus batas-batas wilayah negara nasional; dipercepat lagi oleh semakin banyaknya
kegiatan kerjasama ekonomi, bantuan ekonomi internasional serta penanaman modal asing.
Keharusan untuk semakin memperbesar produksi dan karena penemuan-penemuan baru di
bidang teknologi, komunikasi, dan telekomunikasi mengakibatkan semakin banyak produk
tidak lagi dihasilkan di satu negara, tetapi diberbagai bagian dan komponennya di sejumlah
negara, yang biaya produksinya paling rendah.284 Dalam kondisi demikian, Paradigma
Positivisme Hukum atau Paradigma Rasional semakin menancapkan kukunya berdampingan
dengan liberalisme-kapitalistik, sebagaimana awal kemunculan konsep tersebut. Sehingga
paradigma hukum mengalami stagnasi yakni Paradigma Positivisme Hukum sebagai suatu
paradigma tidak pernah mengalami apa yang disebut Thomas Khun sebagai "anomali”.
Artinya, Paradigma Positivisme Hukum terus bertahan dalam kemapanan dari generasi ke
generasi dalam praktik hukum. Fokus Ilmu Hukum direduksi menjadi sekedar praktik rutin:
bagaimana menjadi legal craftmanship dan legal mechanic yang ahli menerapkan suatu
peraturan terhadap kasus tertentu, namun tidak dapat mengembangkan dan memperbaiki
sistem hukum.285
Pada akhirnya perkembangan hukum nasional tergantung pada beberapa faktor, yaitu
antara lain:286
1. Ukuran keperluan yang mendesak (urgen need): kadang-kadang tidak dapat dikatakan kita
dihadapkan pada pilihan karena sering terdesak untuk segera melakukannya tanpa
kesempatan memilih dalam arti yang sebenarnya;
2. Feasibility (kelayakan): bidang-bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan
ditangguhkan dan dipilih bidang-bidang yang tidak ada kompilasi-kompilasi kultural,
keamanan, dan sosiologis;

282
Valerine J.L. Kriekhoff , "Arah Pembaharuan Hukum Pidana Nasional - Penggunaan Hukum Adat",
Makalah dipresentasikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 (SPHN 2013) dengan tema
"Arah Pembangunan Hukum Pidana Nasional" yang diselenggarakan oleh Komisi Hu Nasional (KHN) di
Jakarta, (26-27 November 2013).
283
Mochtar Kusuma-Atmadja & B. Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 131
284
CFG. Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 67.
285
Widodo Dwi Putro, Op.cit., hlm. 3.
286
Mochtar Kusuma-Atmadja, Op.cit. , hlm. 32-34.
102
3. Fundamental change (perubahan yang pokok): Di sini perubahan, melalui peraturan
perundang-undangan, diperlukan karena pertimbangan-pertimbangan politis, ekonomis
dan/atau sosial. Perubahan hukum demikian sering diadakan oleh negara-negara bekas
jajahan dengan pemerintah yang memiliki kesadaran politik yang tinggi;

Sebagai akibat dari munculnya faktor-faktor tersebut, maka salah satu pilihan dalam
mengembangkan sistem hukum nasional yakni munculnya pilihan penggunaan model-model
hukum asing. Namun demikian, Mochtar Kusuma-Atmadja menjelaskan bahwa terkadang
ada saja sisi keuntungannya, akan tetapi hendaknya tetap memperhatikan apakah terhadap
hambatan-hambatan atas penggunaan model hukum asing tersebut telah dilakukan adaptasi
atau dalam bentuk yang telah diubah sesuai kondisi.'287 Namun demikian, Mochtar Kusuma-
Atmadja menganjurkan bahwa konsep-konsep dan asasasas hukum tradisional adakalanya
perlu dipertahankan di bidangbidang hukum yang erat hubungannya dengan kehidupan sosial
budaya yang masih kuat dipegang oleh masyarakat tradisional.288
Jika ditilik dari TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garisgaris Besar Haluan
Negara Tahun 1999-2004, maka seharusnya pembentukan sistem hukum pidana dapat
menolak paham-paham asing yang bertentangan dengan Pancasila untuk masuk ke Indonesia,
dengan parameter standard yaitu tidak bertentangan dengan visi misi bangsa untuk
mengamalkan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Telah dikembangkannya Pancasila menjadi empat puluh lima 289 butir kaidah-
kaidah turunan dari kelima sila, seharusnya dapat dijadikan sebagai patokan dasar dalam
membangun sistem hukum pidana nasional.
Sebagaimana ditegaskan oleh Bernard L. Tanya, mengingat misi pengelolaan
keindonesiaan yakni agar Indonesia menjadi sebuah rumah bagi semua orang yang turut
membangunnya dan ingin hidup tentram di dalamnya, maka ia (Pancasila-Pen) harus menjadi
titik awal dalam memproyeksikan arah Politik Hukum. Artinya, kepentingan menjaga rumah
Indonesia sebagai rumah bagi semua, dan jaminan bagi para penghuninya untuk hidup
tentram, harus melandasi politik hukum pada semua faset (bagian). Ia harus menjadi
animalegis (jiwa) dalam seluruh kebijakan hukum. Ia menjadi konsiderans utama, menjadi
obsesi yang memandu seluruh kegiatan berhukum.290 Untuk mencapai derajat animalegis

287
Ibid.
288
Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Buku I, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 133.
289
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, telah mengubah butir-butir Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila dari 36 (tiga puluh enam) butir menjadi 45 (empat puluh lima) butir.
290
Bernard L. Tanya, Theodorus Yosep Parera dan Samuel F. Lena, Pancasila Bingkai Hukum Indonesia,
(Yogyakarta: Genta Publishing, 2015), hlm. v.
103
diperlukan penggalian nilai intrinsik yang terdapat dalam Pancasila itu sendiri. Sehingga,
dapatlah dikatakan bahwa Pancasila merupakan objek dari suatu penelitian hukum dalam
rangka menjadikan Pancasila sebagai natural science bagi setiap perilaku hukum.
permasalahannya adalah penggalian terhadap suatu nilai merupakan kajian dari cabang
filsafat yaitu aksiologis. Demi menjadikannya sebagai natural science, harus berjalan seiring
dengan kajian dari cabang filsafat lainnya yaitu ontologis dan epistemologis.
Sedangkan jika Pancasila diletakkan dalam rangkaian Disiplin Ilmu Hukum maka
Pembukaan UUD NRI 1945 merupakan Pancasila itu sendiri; Pancasila juga merupakan
sumber tertib hukum. Staats fundamentalnorm yang mengandung empat pokok pikiran yakni
Maka, dapat disimpulkan bahwa dalam Pembukaan UUD NRI 1945 terletak Filsafat Hukum
Indonesia. Apabila Pembukaan UUD NRI 1945 merupakan filsafat hukum, maka Batang
Tubuh UUD NRI 1945 merupakan Teori Hukum Indonesia, mengingat Batang Tubuh UUD
NRI 1945 tersebut merupakan landasan hukum positif. 291 Dengan demikian, peraturan
perundang-undangan sebagai aturan konkret dan turunan dari Pembukaan UUD NRI 1945 dan
Batang Tubuh UUD NRI 1945 merupakan Ilmu Hukum/Dogmatika Hukum Indonesia.
Penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan
hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia di masa depan sesuai
dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat
Indonesia.292Demikian pula diungkapkan oleh CFG. Sunaryati Hartono bahwa Politik
Hukum Indonesia di satu pihak tidak terlepas dari realitas sosial dan tradisional yang terdapat
di Indonesia sendiri. Dan di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik
hukum Indonesia tidak terlepas pula dari realita dan politik hukum internasional. Dengan
demikian, faktor-faktor yang akan menentukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan
oleh apa yang dicitacitakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi atau
para teoretisi belaka, akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan
hukum di lain-lain negara serta perkem bangan hukum Internasional.293
Pengalaman “mendamaikan" isi kandungan hukum antara hukum yang diberi sanksi
negara dengan hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah sosial yang tersosialisasi dan
diyakini oleh warga masyarakat-masyarakat lokal) sebagaimana diperoleh pada jaman
kolonial dan sedikit banyak boleh dibilang sukses — itu ternyata justru sulit dilaksanakan
pada zaman kemerdekaan. Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law
291
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 147,
292
Marcus Priyo Gunarto, "Asas Keseimbangan dalam Konsep Rancangan UndangUndang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, Nomor 1, (Februari 2012), hlm. 86.
293
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta:RajaGrafindo, 1997), hlm. 6.

104
berdasarkan paham partikularisme pada zaman kolonial tidaklah mudah diteruskan pada
zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk “menyatukan" Indonesia sebagai satu kesatuan
politik dan pemerintahan telah cenderung mengabaikan hukum rakyat yang plural dan lokal-
lokal itu untuk diganti dengan hukum nasional yang diunifikasikan dan tak pelak juga
dikodifikasikan. Kebijakan hukum nasional ditantang untuk merealisasikan cita-cita
menfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan pembaharu, mendorong terjadinya perubahan
dari wujud masyarakat-masyarakat lokal yang berciri agraris dan berskala lokal ke kehidupan-
kehidupan baru yang lebih berciri urban dan industrial dalam format dan skalanya yang
nasional (dan bahkan kini juga global).294 Oleh karena itu, Bernard Arief Sidharta
berpendapat bahwa dengan diproklamasikan kemerdekaan Negara Republik Indonesia
melalui Proklamasi Kemerdekaan, maka sebenarnya secara implisit sudah terjadi perubahan
dalam isi cita hukum sebagai asas dasar yang memedomani (basic guiding principles) dalam
penyelenggaraan hukum di Indonesia.295Sehingga, menurut saya, dasar pembentukkan politik
hukum pidana dan sistem hukum pidana di Indonesia seyogyanya didasarkan kepada
Proklamasi Kemerdekaan dan Pancasila sebagai cita hukur dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Pembangunan Hukum Pidana di Indonesia tidak dapat disandarkan kepada
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi suatu negara. Karena UUD sebagai konstitusi pada
prinsipnya merupakan pengejawantahan dari Proklamasi Kemerdekaan dan Pancasila.
Pandangan saya tersebut telah terkonfirmasi jika mengacu pada pendapat dari
Sudikno Mertokusumo yang mengatakan sebagai berikut:296
Karena euphoria maka kita ada dalam keadaan senang senangnya (mbungahi)
membuat atau mengubah, merevisi, atau mengamandemen undang-undang dan
mengubah undang undang baru. Undang-Undang Dasar saja diubah.
Demikian pula ditegaskan dalam Seminar Hukum Nasional ke II Tahun 1968, yaitu
sebagai berikut,297 "UUD 1945 hanyalah boleh dilaksanakan atas dasar Pancasila. Pelaksanaan
UUD 1945 yang berlawanan dengan semangat dan jiwa Pancasila berarti manipulasi
konstitusi dan penghianatan terhadap Pancasila." Wacana yang digulirkan dalam Seminar
Hukum Nasional ke II Tahun 1968 tersebut, menurut saya, turut diilhami oleh pendapat dari
Moeljatno yang diutarakan dalam makalahnya sebagai pembahas Konsep Buku IKUHP.
Beliau mempertanyakan konsep pembentukan sistem hukum pidana, melalui makalah yang
294
Soetadyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Masalah, (Jakarta: ELSAM dan HUMA,
2002), hlm. 166-167.
295
Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang
Responsif Terhadap Perubahan Masyarakat, (Bandung: Genta Publishing, 2013), hlm. 95.
296
Sudikno Mertokusumo, Kapita Selekta Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2013), hlm. 83.
297
Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia), (Semarang: Badan Penerbit
UNDIP, 2012), hlm. 13.

105
berjudul “Atas Dasar atau Asas-asas Apakah Hendaknya Hukum Pidana Kita Dibangun?" 298
Oleh karena itu, pembentukan granddesign ini seharusnya dikembalikan kepada jiwa bangsa
Indonesia yang termuat di dalam Pancasila. Bernard Arief Sidharta menjelaskan bahwa
pandangan hidup bangsa Indonesia telah dirumuskan secara padat dalam Pancasila. Dan
dengan termuatnya Pancasila di dalam Pembukaan UUD NRI 1945 menunjukan bahwa
Pancasila menjadi dasar kefilsafatan yang menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian, Pancasila melandasi dan seharusnya
menjiwai kehidupan kenegaraan di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan
melaksanakan politik hukumnya; sebagaimana dijelaskan oleh Mochtar Kusuma-Atmadja
bahwa politik hukum nasional dalam arti yang umum digunakan meliputi politik hukum dan
perundang-undangan, penerapan serta penegakannya. Dalam arti yang luas, terutama di
negara berkembang, politik hukum nasional mencakup juga kebijakan atau politik
pembangunan atau pembinaan hukum nasional.299
Hal tersebut menjadi sejalan, jika setiap legislator memahami bahwa paham negara
hukum dalam budaya hukum Indonesia mendudukkan kepentingan orang perorangan secara
seimbang dengan kepentingan umum. Artinya, menurut Khudzaifah Dimyati, negara
mengakui hak dan kewajiban asasi warga negara serta melindunginya, sementara negara
diberikan kekuasaan untuk melindungi hak dan kewajiban asasi rakyatnya serta membuat
pengaturan-pengaturan yang memungkinkan terjaminnya kehidupan masyarakat aman,
tentram, dan damai. Paham Negara Hukum dalam budaya hukum Indonesia tidak
mendudukkan kepentingan individu di atas segala-galanya, seperti di negara-negara Barat,
dan tidak pula mendudukkan kepentingan negara di atas segala-galanya dengan
mengorbankan kepentingan masyarakat. Dalam perspektif paham negara hukum dan falsafah
hidup bangsa Indonesia, kepentingan individu dan kepentingan masyarakat diletakkan dalam
posisi seimbang.300
Dalam konteks Negara Hukum, melalui UUD NRI 1945, politik hukum nasional telah
menetapkan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Sebelumnya, di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen),
ditegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan hukum (rechsstaat), yang menyiratkan
bahwa pembentuk konstitusi hendak menjelaskan bahwa politik hukum Indonesia tidak lagi
menyandarkan kepada bentuk Negara Hukum rechtsstaat. Sehingga, konsep Negara Hukum

298
Barda Nawawi Arief, RUU KUHP Baru. Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2012), hlm. 8.
299
Mochtar Kusumaatmadja& B. Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 126.
300
Khudzaifah Dimyati, Op.cit., hlm. 206.

106
bangsa Indonesia hendaknya mengacu padajiwa bangsa sebagaimana termuat di dalam
Pancasila dan Proklamasi.
Namun demikian, perwujudan Pancasila dan Proklamasi sebagai dasar Politik Hukum
Pidana dan Sistem Hukum Pidana, merupakan suatu proses yang melalui tahapan-tahapan
yang hingga saat ini belum mampu diwujudkan dengan baik. Turunan dari nilai-nilai yang
terkandung di dalam Pancasila dan Proklamasi masih terlihat dengan jelas dalam Pasal 18B
ayat (2) UUD NRI 1945.301 Namun layaknya konstitusi lainnya, ketentuan tersebut masih
bersifat abstrak dan hingga saat ini pun, turunan dari Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945
belum meresap ke dalam hukum pidana materiil. Maka hendaknya, untuk menutupi loopholes
tersebut, pembentukan Politik Hukum Pidana dan perancangan Sistem Hukum Pidana secara
nasional mengadopsi unsur-unsur asing yang dibatasi keberlakuannya berdasarkan konsep
harmonisasi dan sinkronisasi dengan jiwa bangsa (volkgeist) Indonesia yang termuat di dalam
Pancasila dan Proklamasi. Sehingga dengan pendekatan demikian, Indonesia dapat
mempertahankan identitas hukum nasional. Namun, sebenarnya sebagian unsur politik hukum
nasional sudah tercantum dalam GBHN Tahun 1973 (TAP MPR/XI/73), TAP MPR tersebut
terutama merupakan pedoman garis besar bagi kebijakan pemerintah di bidang pembinaan
atau pembaharuan hukum nasional.302
Diserapnya Pancasila dan Proklamasi ke dalam peraturan perundang-undangan selalu
diawali dengan permasalahan dalam mengatasi kekosongan hukum (rechtsvacuum), semenjak
memperoleh kemerdekaan dari pihak kolonial. Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945 303
dijadikan satu landasan politik hukum nasional untuk melegalisasi penggunaan peraturan
perundang-undangan produk kolonial untuk mengisi kekosongan hukum. Walaupun pada
akhirnya terjadi nasionalisasi peraturan perundang-undangan, misalnya wetboek van
strafrecht yang dinasionalisasi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan-Peraturan Pidana atau lebih dikenal dengan nama Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), atau dengan hanya mengubah nama Burgerlijk Weboek menjadi Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), atau Wetboek van Koophandelme jadi Kitab
Undang-undang Hukum Dagang (KUHD). Sehingga menurut saya, penerapan asas
konkordansi tersebutlah yang menjadikan terpinggirkannya jiwa bangsa (volkgeist) yang
termuat di dalam Pancasila dan Proklamasi; dengan mengadopsi hukum kolonial yang sarat
nuansa mahzab positivisme dan ajaran legisme secara paksa, dengan memarginalkan hukum

301
Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945: "Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.".
302
Mochtar Kusumaatmadja dan Bernard Arief Sidharta, Op.cit., hlm. 127
303
Sebelum Amandemen ke-4, diatur dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
107
adat dan hukum Islam, yang merupakan the living law. Walaupun, menurut Mr. Modderman
dan Van Bemmelen, ancaman pidana harus tetap merupakan suatu ultimum
remedium,304namun dikarenakan dalam penerapannya di negara jajahan, maka ancaman
pidana adalah premium remedium.
Konsep ultimum remedium tersebut, saat ini diperkuat dengan munculnya wacana
konsep restorative justice dan penal mediation, serta bergesernya retri butivet heory menuju
just desert theory yang kemudian membentuk Sistem Peradilan Pidana Just Desert Model,
yang diadopsi oleh Amerika Serikat. Hukum adat dan hukum islam Justru sebenarnya telah
dimiliki oleh Bangsa Indonesia, melalui sila-sila dalam Pancasila, yang merupakan ekstraks
dari the living law.305 Sebagaimana telah diungkapkan pada bab sebelumnya, dalam
membentuk Sistem Hukum dibutuhkan pengetahuan yang cukup mengenai Politik Hukum,
sedangkan untuk menentukan suatu Politik Hukum maka Filsafat Hukum menjadi peran yang
sangat penting dalam membentuk Ilmu Hukum yang sesuai berdasarkan jiwa bangsa.
Pertanyaan paling mendasar selanjutnya diajukan oleh Harkristuti Harkrisnowo, yakni
benarkah para legislator telah melakukan tugasnya merumuskan ketentuan pidana sesuai
dengan hati nurani masyarakat? apakah proses pembentukan hukum atau legislasi yang kita
anut telah benar-benar memastikan partisipasi masyarakat untuk menjamin persamaan
pandang antara legislator dan rakyat? Apakah mereka telah pula merumuskan sanksi pidana
terhadap perilaku-perilaku tersebut sesuai dengan tingkat celaan (verwijtbaarheid) yang
dirasakan oleh masyarakat Indonesia sebagai suatu kolektivitas? Apakah pula lembaga
eksekutif telah melakukan tugasnya sebagai law enfor cementagency (diwakili oleh
Kepolisian dan Kejaksaan) sesuai dengan hukum yang berkeadilan? Apakah lembaga
pengadilan telah menerapkan ketentuan hukum pidana dan menjalankan proses pemidanaan
sesuai hati nurani masyarakat?306
Pancasila adalah pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa Indonesia, dapat
dibuktikan dengan menunjukkan bahwa keseluruhan kaidah-kaidah Hukum Adat dijiwai atau
dilandasi oleh nilai-nilai yang berintikan sila-sila dari Pancasila. Pada analisis terakhir
(dengan mengabstraksi tiap sila dari Pancasila) akan tampak bahwa sila-sila dari Pancasila itu
berintikan asas Bhinneka Tunggal Ika (Kesatuan dalam perbedaan, perbedaan dalam
304
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia & Perkembangannya, (Jakarta: Softmedia,
2012), hlm. 13. Mr. Modderman mengutarakan pendapatnya tersebut dalam Sidang DPR pada saat
membicarakan Nederland Wetboek van Strafrechts (Ned WvS) atau KUHP Belanda.
305
Lihat pembahasan ini dalam Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana. Suatu Pengantar, (Malang:
Setara Press, 2015).
306
Harkristuti Harkrisnowo, "Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses
Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia", Orasi pada Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok, (8 Maret 2003), hlm, 3.
.

108
kesatuan). Konsep hak ulayat dan kaidah-kaidah Hukum Adat di bidang pewarisan sangat
tajam mencerminkan hal itu,307 sehingga langkah pertama dalam membentuk Politik Hukum
Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia, yakni perlu kajian teoritis terkait kemuncullan
filsafat yang keindonesiaan atau saya lebih berpihak kepada dilestarikannya Filsafat Hukum
Pancasila.
Terbentuknya Pancasila bukannya tanpa alasan. Didasarkan pada asumsi bahwa segala
sesuatu yang dibuat manusia tentu ada tujuannya. Pancasila "dibuat" --dalam arti digali - oleh
Bangsa Indonesia juga ada tujuannya. Tujuannya adalah untuk dipergunakan sebagai dasar
negara. Sehingga, jika dilihat dari fungsinya, Pancasila memiliki fungsi utama sebagai dasar
Negara Republik Indonesia. Jika dilihat dari materinya, Pancasila digali dari pandangan hidup
bangsa yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Dasar negara
Pancasila terbuat dari materi atau bahan "dalam negeri" yang merupakan asli murni dan
menjadi kebanggaan bangsa. Dasar negara kita tidak diimpor dari luar, meskipun mungkin
saja mendapat pengaruh dari luar negeri. Sedangkan jika dilihat dari kedudukannya, Pancasila
menempati kedudukan yang paling tinggi, yakni cita-cita serta pandangan hidup bangsa dan
Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, Pancasila sebagai ukuran dalam menilai
hukum Indonesia.308
Pendapat saya tersebut disandarkan pada pendapat Paul Scholten, bahwa sebagai upaya
untuk memositifkan nilai-nilai yang terkandung di dalam masyarakat, tentu saja tidak bisa
hanya berpijak pada pandangan dogmatis yuridis, akan tetapi juga mencakup pandangan
fungsional. Hal tersebutlah yang membuat Paul Scolten menolak pandangan dari Hans
Kelsen.309 Menurut Paul Scholten, bahan-bahan positif itu ditentukan secara historis dan
kemasyarakatan, sehingga kemurnian ilmu hukum selalu mengandung sesuatu yang tidak
murni dari bahannya.310Oleh karena itu Teguh Prasetyo, mengutip pendapat Sudarto,
menyatakan bahwa Politik Hukum Pidana (dalam tatanan mikro) merupakan bagian dari
Politik Hukum (dalam tatanan makro). Dengan demikian, proses pembentukan undang-
undang harus diiringi dengan pengetahuan seputar sistem nilai yang berlaku dalam
masyarakat, yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan
dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai; agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan
agar dapat dihormati.311 Menurut saya, selain didasarkan pada Paul Scholten, amanah yang
307
Bernard Arief Sidharta, “Pancasila sebagai Staat fundamen talnorm (Dalam Kerangka Stufen the orie-
nya Hans Kelsen)", Bahan Ajar tidak dipublikasikan, (Bandung: Fak. Hukum Univ. Parahyangan, tanpa tahun),
hlm. 2.
308
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit., hlm. 146.
309
Hans Kelsen berpandangan bahwa putusan-putusan ilmu hukum tidak lain daripada pengolahan logika
bahan-bahan positif yaitu undang-undang, vonis dan sebagainya Teguh Prasetyo, Op.cit, hlm. 2.
310
CFG. Sunaryati Hartono, Op.cit., hlm. 60.
311
Ibid., hlm. 3.
109
dicetuskan dalam Konvensi Hukum Nasional Tahun 2008 juga perlu menjadi
pegangan,312"Perlu disusun Grand Design Sistem dan Politik Hukum Nasional dengan
landasan UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional dan Pancasila sebagai landasan
filosofi."
Kebijakan legislatif dan kebijakan aplikatif yang bertujuan membangun Sistem Hukum
Pidana, khususnya hukum pidana materiil, hendaknya memuat nilai-nilai sosial yang hidup di
dalam masyarakat yang mencerminkan falsafah ke-Pancasilaan. Sehingga tujuan dari
pembentukan hukum itu sendiri dapat tercapai, yang notabene merupakan tujuan dari sebuah
Negara. Adapun tujuan Negara, sebagaimana yang telah dicanangkan dalam Pembukaan
UUD NRI 1945 yakni:
...untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial, ....
Tujuan negara sebagaimana diuraikan di muka harus diwujudkan melalui pembangunan
berbagai bidang, diantaranya bidang hukum, ekonomi, politik, pertahanan keamanan, sosial,
dan budaya. Pendek kata, usaha untuk mencapainya harus dilakukan melalui semua aspek
kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Pembangunan bidang hukum, memiliki
peran yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan negara tersebut, oleh karenanya dalam
Bab IV sub A GBHN 1999-2004 telah disusun 10 Arah Kebijakan di Bidang Hukum, di
antaranya sebagai berikut:313
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran
dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
2. Menata Sistem Hukum Nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan
warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender
dan ketidaksesuaian dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
3. Penegakan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan
kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang berkaitan dengan hak asasi
manusia sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk undang-undang.
312
Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum .........Op.cit., hlm. 18.; Konvensi Hukum Nasional
Tahun 2008 tersebut merupakan langkah konkret dari permasalahan yang diutarakan dalam Laporan Hasil
Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Kuta, Bali, (14-18 Juli 2003).
313
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999-2004.
110
5. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk
Kepolisian Negara Republik Indonesia, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat
dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan,
serta pengawasan yang efektif.
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak
manapun.
7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian
dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah, dan terbuka, serta bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan
kebenaran.
9. Meningkatkan pemahaman dan penyadaran, serta meningkatkan pelindungan,
penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan hak asasi
manusia yang belum ditangani secara tuntas.
Arah kebijakan negara dalam GBHN tersebut, sekaligus merupakan pengakuan bahwa
sistem hukum di negara ini di sana-sini masih banyak kelemahan, baik dari sisi kebijakan
legislatifnya, implementasi dalam masyarakat, maupun budaya atau kultur hukum masyarakat
yang masih rendah. Hal terakhir ini ditandai dengan rendahnya dukungan, partisipasi, atau
peran serta masyarakat dalam penegakan hukum pidana.314 Oleh karena itu, berlandaskan
kepada tujuan bernegara tersebut maka organisasi negara disusun dengan memperhatikan hak-
hak asasi warga negara dan pembagian serta batasan tugas-tugas ketatanegaraan yang
tercantum di dalam UUD NRI 1945.315
Pembahasan seputar pembangunan bidang hukum sebagaimana di atas, tidak dapat
dilepaskan dari pembahasan tentang kebijakan hukum atau politik hukum. Menurut G.P.
Hoefnagels, kebijakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan
sosial (social policy); atau dengan kata lain, kebijakan sosial mencakup di dalamnya
kebijakan hukum, yang selengkapnya disebut kebijakan penegakan hukum (lawen forcement
policy). Jadi, kebijakan perundangundangan (legislative policy) dan kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy)316 merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy).

314
Mudzakkir, “Kebijakan Hukum Pidana tentang Perlindungan Saksi", Makalah Semiloka Perlindungan
Hukum Terhadap Saksi yang diselenggarakan Kerja Sama ICWSCW, Surakarta, (2002).
315
Sri Soemantri Martosoewignjo, Asas Negara Hukum dan .Op.cit., hlm. 25.

316
Muchamad Iksan, Dasar-dasar Kebijakan Hukum Pidana Berperspektif Pancasila, Sumber:
http://hukum ums.ac.id/ index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=45#_ftn1, (20 Agustus 2014), hlm. 4.
111
Menurut Sudarto, politik hukum atau kebijakan hukum adalah usaha untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 317 Sehingga
kebijakan hukum merupakan kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan
untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang
dicitacitakan.318 Hal demikian sejalan pula sebagaimana diungkapkan oleh Barda Nawawi
Arief bahwa kebijakan adalah upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial. 319 Dalam konteks
keindonesiaan, tujuan tersebut telah dirumuskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945.
Pada umumnya dikatakan bahwa tujuan (yang sering disamakan dengan cita-cita)
bangsa Indonesia adalah membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Tetapi, di luar rumusan yang populer dan biasanya disebut sebagai tujuan bangsa itu, tujuan
negara secara definitif tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945, yang
meliputi:320
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial;
Menurut Bagir Manan, apabila pemahaman terhadap sistem hukum merupakan
refleksi sistematik dari asas-asas hukum yang ada di dalam masyarakat, pembentukan,
penerapan, dan penegakannya, maka dengan sendirinya masyarakat Indonesia sebagai sebuah
komunitas telah memiliki sistem hukum tertentu. Secara formal di Indonesia diberlakukan
beberapa sistem hukum, yaitu:321
1. Sistem Hukum Kontinental yang berkaitan dengan hukum yang diterapkan pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda;
2. Sistem Hukum Adatyang merupakan refleksi hukum asli Indonesia yang beraneka ragam
dari daerah ke daerah;
3. Sistem Hukum keagamaan sebagai kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bagian-bagian tertentu dari sistem hukum keagamaan telah diakui sebagai bagian dari
sistem hukum nasional; dan

317
Sudarto, Hukum dan Hukum........Op.cit., hlm. 159.
318
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan.......,Op.cit., hlm. 20.
319
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana…..Op.cit, hlm. 3.
320
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum .........Op.cit., hlm. 17.
321
Muntoha, Op.cit., hlm. 61-62.
112
4. Sistem Hukum Nasional sebagai refleksi dari asas dan kaidah hukum yang dibentuk dan
berkembang sejak kemerdekaan.
Sebagaimana dijelaskan pula oleh Erman Rajagukguk bahwa ciri-ciri khusus dari
sistem hukum Indonesia adalah pluralisme, sehingga tidak dapat dilakukan unifikasi atau
penyatuan hukum yang sama untuk nasional, yang disebabkan karena keanekaragaman sistem
hukum. Namun unifikasi hukum tersebut dapat dikembangkan, di dalam bidang-bidang
hukum yang bersifat netral, misalnya dalam bidang ekonomi, ketenagakerjaan, atau
perdagangan.322
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya bahwa Politik Hukum
merupakan pijakan dasar bagi terbentuknya suatu Sistem Hukum, maka dalam pandangan
Moerdiono dalam hal pemahaman terhadap Politik Hukum, dalam konteks Pembangunan
Hukum Nasional, diperlukan kajian yang sinergis dengan Strategi Pembangunan Hukum
Nasional. Hal tersebut menjadi komponen penting dikarenakan pembahasan mengenai Politik
Pembangunan Hukum Nasional tidak semata-mata hanya membahas permasalahan yuridis
saja. Lebih lanjut Moerdiono menjelaskan bahwa Politik Pembangunan Hukum Nasional
membahas kebijaksanaan yang akan dianut dalam membangun hukum nasional, sedangkan
Strategi Pembangunan Hukum Nasional memberikan perhatian kepada penataan sumber daya
yang dimiliki untuk melaksanakan serta menjabarkan kebijaksanaan tersebut. Dengan
demikian, akan terwujudlah suatu Sistem Hukum Nasional yang diinginkan, yang tidak
memisahkan antara pembahasan Politik dan Strategi Pembangunan Hukum Nasional.323
Dengan adanya suatu sistem Hukum yang bersifat nasional yang lahir dari cita hukum
dan norma dasar Negara Indonesia, maka pembangunan nasional, termasuk pembangunan
hukum dapat lebih terarah, terpadu, dan berkeseimbangan antara kepentingan orang
perorangan, masyarakat, dan negara yang terpancar melalui sila-sila Pancasila yang dalam
pelaksanaannya memerlukan sikap pengendalian secara utuh. Sehingga, perlu adanya
komponen-komponen yang dimasukkan ke dalam sistem hukum Pancasila. Ismail Saleh
menyampaikan pandangannya mengenai komponen yang dapat diletakan dalam Sistem
Hukum Pancasila. Komponen-komponen tersebut terdiri dari antara lain sebagai berikut:324
1. Perangkat Hukum yang tertuang dalam berbagai bentuk perundang-undangan menurut tata
urutan yang telah ditetapkan dan memuat materi hukum yang diperlukan untuk
menyelenggarakan pemerintahan;
322
Erman Rajagukguk, "Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme", Makalah yang disampaikan dalam rangka
Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati ke XXXVII, Bandung, (2 April 2005) (disarikan).
323
Moerdiono, Sekitar Politik dan Strategi Pembangunan Hukum Nasional, dalam M. BusyroMuqoddas,
et.al., Politik Pembangunan Hukum .....Op.cit., hlm. 3-4.

324
M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang ..Op.cit., hlm. 5.
113
2. Kelembagaan Hukum sebagai wadah sekaligus wahana untuk melaksanakan berbagai
perangkat hukum yang telah ditetapkan.
Di dalamnya diatur pula proses dan prosedur dalam suatu jalinan dan jaringan koordinasi
kelembagaan hukumnya, serta kerja sama yang serasi dalam pemerintahan;
3. Aparatur Hukum sebagai pelaksana, penegak, dan pengendali berbagai perangkat hukum
yang telah ditetapkan;
4. Budaya Hukum sebagai suatu etos kerja dan sikap moral yang harus diperagakan oleh
apartur hukum.
Pembentukan sistem hukum demikian, menjadi sangat tergantung pada Politik Hukum
yang dinyatakan oleh negara dalam bentuk kebijaksanaan umum (legal policy) yang
mewarnai mekanisme bekerjanya suatu sistem. Sedangkan Politik Hukum itu sendiri
merupakan perwujudan dari Filsafat Hukum yang dianut oleh pemangku kekuasaan.
Sebagaimana dideskripsikan oleh Moh. Mahfud MD, jika Ilmu Hukum diibaratkan sebagai
pohon maka filsafat (hukum -Pen) merupakan akarnya, sedangkan politik (hukum -Pen)
merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang
hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi negara
dan sebagainya. Dengan demikian, kesepakatan umum bangsa Indonesia sebagaimana termuat
di dalam Proklamasi Kemerdekaan dan Pancasila, selain merupakan staatsidee, juga
merupakan rechtsidee sehingga nilai-nilai (values) yang terkandung di dalam Pancasila
seharusnya mencurah ke pengaturan lebih lanjut di bawahnya (trickle downeffect); lebih jelas,
lihat diagram alur di bawah ini.

DIAGRAM ALUR
TRICKLE DOWN EFFECT PANCASILA

Proklamasi dan Pancasila

UUD NRI 1945

TAP MPR

114
UNDANG-UNDANG

Peraturan Pemerintah

Peraturan Presiden

Peraturan Daerah Prov

Peraturan Daerah Kab/kot

A. Kekuasaan Legislatif: Peranan Alat Kelengkapan Negara dalam Membentuk Politik


Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana
Montesquieu, dalam pengembaraannya selama dua tahun di Inggris, pada akhirnya,
setelah melalui pengamatan dan pengalaman, memberikan pendapat bahwa kekuasaan di
Negara Inggris yang secara bijaksana telah dibagi-bagi itu menyebabkan kerajaan di Inggris
tidak membawa akibat-akibat keburukan dari tindakan seseorang yang sewenang-wenang.
Sebaliknya, hal tersebut menyebabkan Prancis menderita.325 Apabila perundang-undangan,
peradilan, dan pelaksanaan pemerintahan terpisah-pisah dengan tegas -dalam arti tidak
mungkin seseorang dapat menjadi pembuat undang-undang pidana, hakim, dan juga
pelaksana sekaligus- maka tidak akan mungkin di Inggris terjadi seperti di Prancis. Raja
Prancis bisa dengan tiba-tiba menyuruh memasukkkan seseorang ke dalam penjara Negara
Bastille untuk waktu yang tidak tertentu, tanpa memberi alasan, hanya berdasarkan suatu surat
bermaterai yang dinamakan “letter de cachet” 326
Ide Montesquieu tersebut terinspirasi oleh pandangan John Locke yang berkaitan
dengan pemisahan kekuasaan, yang kemudian oleh Immanuel Kant disebut sebagai trias
politica. Meskipun beberapa literatur yang dikemukakan oleh Bachsan Mustafa

325
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum.........Op.cit., hlm. 15.
326
J.J. VonSchmid, Ahli-Ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum, (Terjemahan oleh Wiratno dan
Djamaluddin Dt. Singomangkuto), (Jakarta: PT Pembangunan, 1988), hlm. 170.
115
menyampaikan bahwa pertama John Locke bukanlah orang yang pertama kali mencetuskan
ide tersebut, melainkan Aristoteles. 327
Konsep pemisahaan kekuasaan (machten scheiding) menurut Aristoteles muncul
bersamaan dengan dikembangkannya ide negara hukum yang berbasis ajaran organik, yang
berbeda dengan pendapat gurunya, Plato, yang menginginkan konsep negara hukum berbasis
ajaran fungsional. Artistoteles menggambarkan bahwa kehidupan bernegara, yang
pembentukannya dilakukan melalui tahap pertahap mulai dari pembentukan keluarga, desa,
hingga tahap tertinggi adalah polis (negara kota), didasarkan pada dua alas hak, yaitu hukum
dan konstitusi. Namun, ide negara hukum oleh Aristoteles tersebut hilang dari perbincangan
hingga ditemukan kembali pada abad ke-17 dan 18.328
Sejarah menunjukkan, tidak sedikit peristiwa atau keadaan dalam mana kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif , dan kekuasaan yudikatif ada pada satu tangan atau dipegang
oleh penguasa tunggal. Montesquieu mengatakan bahwa penyalahgunaan ini dipandang
sebagai kodrat dari kekuasaan. Dikatakan bahwa kekuasaan membawa sifat tamak. Setiap
orang yang berkuasa mempunyai kecenderungan untuk senantiasa berusaha memperbesar
kekuasaannya.329 Oleh karena itu, dalam konteks Negara Hukum, baik dalam bentuk
rechsstaat maupun rule of law, pemisahan kekuasaan menjadi sangat penting untuk menjaga
supremasi hukum dalam setiap proses bernegara. Pembatasan kekuasaan dalam konsep
Negara Hukum, tidaklah berdiri sendiri secara mandiri. Pembatasan kekuasaan tersebut
diperlukan untuk menjamin usaha-usaha agar menjamin munculnya konsep persamaan di
depan hukum, khususnya pada ranah kekuasaan legislatif.
Sebelum masa Montesquieu, yang membagi kekuasaan menjadi kekuasaan eksekutif,
kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif, John Locke mengatakan bahwa fungsi
peradilan tercakup dalam fungsi eksekutif atau pemerintahan, sehingga konsep pemisahan
kekuasaan menurut John Locke adalah kekuasaan eksekutif, kekuasaan federatif, dan
kekuasaan legislatif.330 Pendapat John Locke tersebut kemudian diidealkan oleh
Montesquieu dengan teori trias politica-nya, dalam bukunya L'Espirit des Lois tahun 1748.
Ketika memperbincangkan konsep pemisahan kekuasaan, secara umum diketahui bahwa
konsep yang cukup dikenal adalah “trias politica" yang dicetuskan oleh Montesquieu pada
tahun 1748, selanjutnya dipopulerkan oleh Immanuel Kant. Namun demikian,
327
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Op.cit., hlm. 2.
328
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan & Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 15-19. ........
329
Bagir Manan & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung:
Alumni, 1997), hlm. 38-39.

330
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,(Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 29.
116
pengembangan yang dilakukan oleh Montesquieu pada dasarnya merupakan pengembangan
dari John Locke. Sehingga pembahasan mengenai konsep pemisahan kekuasaan, akan saya
akan ungkapkan sebagaimana telah diungkapkan oleh John Locke.
John Locke melalui bukunya, Two Treaties of Governement, membicarakan hal yang
sangat essensi, yaitu konstitusi. Konstitusi mempunyai fungsi yang sangat penting yakni
sebagai pembatasan prinsipil terhadap kekuasaan negara. Selain itu, konstitusi juga berfungsi
sebagai kerangka dan prosedur pemakaian kekuasaan negara. Dasar pemikiran Locke
terhadap konstitusi ini berpijak pada kenyataan bahwa apabila suatu badan bergerak ke salah
satu arah, maka badan itu harus bergerak ke arah yang didukung oleh kekuatan yang lebih
besar, dan itulah kesepakatan oleh mayoritas. Kekuasaan yang terdapat di dalam konstitusi
tersebut kemudian dibagi oleh Locke menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut:331
1. Kekuasaan politik tertinggi dan satu-satunya yang berdaulat adalah kekuasaan legislatif,
kekuasaan untuk membuat undangundang. Kekuasaan ini dijalankan oleh parlemen yang
merupakan perwakilan golongan kaya dan para bangsawan. Legislatif sendiri hanya
dibatasi oleh hukum kodrat. Tidak boleh ada peraturan yang sewenang-wenang. Tidak
boleh ada peraturan yang sewenang-wenang. Undang-undang harus dibuat demi
kepentingan kesejahteraan umum. Kekuasaan untuk membuat undang-undang tidak dapat
diserahkan kepada pihak lain, seperti Raja.
2. Suatu undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif mengikat kekuasaan eksekutif
(pemerintah). Semua warga masyarakat harus tunduk kepadanya. Walaupun pembentukan
undangundang tidak diserahkan kepada raja, namun menurut Locke, tidak mungkin dibuat
undang-undang yang tidak disetujuinya. Artinya, raja sendiri mempunyai bagian dalam
kekuasaan legislatif. Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan yang melebih raja, namun
kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang yang harus dipatuhinya;
3. Kekuasaan yang ketiga adalah kekuasaan federatif. Kekuasaan ini mempunyai tugas
mengadakan perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan
badan-badan di luar negeri serta berwenang mengadakan hubungan luar negeri. Selain itu,
kekuasaan federatif juga mempunyai tugas menjaga keamanan negara. Karena alasan
praktis, Locke memasukkan kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif, namun
kedua jenis kekuasaan itu harus dipegang oleh orang-orang yang berbeda dan tidak boleh
dipegang oleh satu orang atau satu lembaga saja.
Sebelum Montesquieu, di Prancis pada abad ke-XVI, pada umumnya diakui lima fungsi
kekuasaan negara. Kelimanya adalah (i) fungsi diplomacie; (ii) fungsi defencie; (iii) fungsi

331
M. Ilham Hermawan, Relasi Pemikiran John Locke-J.J. Rousseau, (Bekasi: Perkumpulan Daya Saing
Indonesia, 2012), hlm. 13-17.
117
financie; (iv) fungsi justicie; dan (v) fungsi policie.332 Sedangkan teori pemisahan kekuasaan
dari John Locke, baru setengah abad kemudian mengilhami Montesquieu yang merestruktur
dengan teori trias politica (separationde spouvoir), yang menjelaskan bahwa dalam sistem
suatu pemerintahan negara ketiga jenis kekuasaan harus terpisah, baik mengenai pelaksanaan
fungsi maupun mengenai alat perlengkapan yang melaksanakan, yang terdiri dari:333
1. Kekuasaan Legislatif (lapuissance legislative) dilaksanakan oleh satu badan perwakilan
rakyat;
2. Kekuasaan Eksekutif (lapuissance executive) dilaksanakan oleh Raja/Pemerintah;
3. Kekuasaan Yudisial (lapuissance dejuger) dilaksanakan oleh badan peradilan.
Jadi, pada asasnya ketiga badan kenegaraan itu berdiri sendiri-sendiri, terpisah satu
dengan yang lainnya, atau dengan perkataan lain ada pemisahan mutlak antara ketiga badan
kenegaraan tersebut. Dalam hal ini, maksud Montesquiue terkait pemisahaan kekuasaan
(separationde spouvoir) adalah pemisahan dalam kapasitas fungsinya. Pemisahan tersebut
akan menimbulkan ketidakmungkinan munculnya perilaku kesewenang-wenangan terhadap
warga negaranya.334Hasil kajian dan telaah dari Montesquiue tidaklah berjalan mulus,
beberapa ahli hukum melontarkan kritik terhadap teori pemisahan kekuasaan tersebut.
Pataniari Siahaan menjelaskan bahwa konsep Montesquiue tersebut merupakan hal yang
tidak realistis dan dianggap sebagai kekeliruan dalam memahami sistem ketatanegaraan
Inggris.335 Namun demikian, tidaklah dapat dipungkiri bahwa konsep trias politica yang
dikembangkan oleh Montesquiue dan dilanjutkan oleh Immanuel Kant merupakan pijakan
dasar dari perkembangan konsep-konsep kenegaraan yang hingga saat ini masih terus dikaji
dan ditelaah oleh para peminat hukum..
Pada perkembangan selanjutnya pandangan trias politica tersebut diadopsi oleh Van
Vollenhoven, dengan melekatnya pengertian Pemerintahan dalam arti luas, yaitu sebagai
berikut:336
1. Tindakan/kegiatan pemerintahan dalam arti sempit (bestuur).
2. Tindakan/kegiatan polisi (politie).
3. Tindakan/kegiatan peradilan (rechtspraak).
4. Tindakan membuat peraturan (regeling, wetgeving).

332
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi ..Op.cit., hlm. 33.
333
M. Ilham Hermawan, Loc.cit.
334
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia ....... Op.cit., hlm. 3.
335
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen UUD 1945,
(Jakarta: KONPress, 2012), hlm. 29

336
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005),
hlm. 14.
118
Sedangkan, Goodnow mengembangkan ajaran policy making function (fungsi pembuatan
kebijakan); dan (ii) policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijakan). Namun,
pandangan yang paling berpengaruh di dunia mengenai soal ini adalah pandangan yang
dikembangkan oleh Montesquieu, yakni adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi
fungsi legislatif, eksekutif, dan yudisial.337 Namun yang pasti, konsep trias politica merupakan
ciri-ciri dari terwujudnya Konsep Negara Hukum secara umum; yang perwujudannya sangat
dipengaruhi dengan sistem hukum apa yang dominan di dalam suatu negara. Di dalam
konteks sistem common law, maka pembentukan sistem hukumnya diwarnai dengan konsep
staredecisis atau asas precedent dan judiciary (putusan hakim), sedangkan pada negara-
negara yang diwarnai oleh sistem civil law, maka sistem hukumnya memiliki ketergantungan
kepada produk legislasi yaitu undang-undang.
Sebagaimana dijelaskan pula oleh Koerniatmanto Soetoprawiro, sistem civil law pula
dipengaruhi oleh unsur non-Romawi yaitu:338
1. Hukum Kanonik: Meskipun hukum Kanonik ini berkembang secara mandiri, akan tetapi
pengaruh moralitasnya cukup dominan dalam perkembangan substansi civil law itu
sendiri;
2. Unsur hukum kebiasaan setempat: Banyak orang secara naif mengidentikkan unsur hukum
non-Romawi ini sebagai hukum kebiasaan Jerman. Akan tetapi sebenarnya, ada banyak
variasi hukum setempat ini. Artinya, selain hukum kebiasaan Jerman itu sendiri, masih
dapat diidentifikasikan hukum kebiasaan yang lain, seperti halnya hukum kebiasaan
bangsa-bangsa hukum kebiasaan Hongaria, serta hukum kebiasaan Slavia; dan
Skandinavia,
3. Unsur legislasi ataupun perundang-undangan yang secara sederhana dihasilkan oleh para
penguasa setempat.
Sesuai semangat teori pemisahan kekuasaan, orang membayangkan bahwa fungsi
legislatif dari kekuasaan suatu negara dapat dikaitkan dengan lembaga parlemen. Padahal
sebenarnya, yang dimaksud fungsi legislatif hanyalah menyangkut kegiatan pembuatan
hukum dalam salah satu bentuknya saja, yaitu misalnya yang berbentuk UUD dan UU.
Sedangkan untuk tingkat yang lebih rendah, tidak dibuat oleh lembaga parlemen. Selebihnya
parlemen hanya berfungsi sebagai pengawas saja bukan sebagai produsen. 339 Berkaitan

337
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi ........ Op.cit., hlm. 34.
338
Koerniatmanto Soetoprawiro, Rumpun Civil Law ..........Op.cit., hlm. 12-13. 65

339
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Serpihak Pemikiran Hukum,
Media dan HAM, (Jakarta: KONpress, 2005), hlm. 6
119
dengan uraian tersebut, Ivor Jennings menjelaskan bahwa pengertian pemisahan kekuasaan
terbagi menjadi dua pengertian, yaitu:340
1. Pemisahan kekuasaan dalam arti materil, yaitu pemisahan dalam arti pembagian kekuasaan
itu dipertahankan secara tegas dalam tugas-tugas (fungsi-fungsi) kenegaraan yang secara
karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu kepada tiga bagian, yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
2. Pemisahaan kekuasaan dalam arti formal, yaitu apabila pembagian kekuasaan tersebut tidak
dipertahankan secara tegas. Jadi secara formal ada tiga lembaga yang menangani
kekuasaan tersebut, tetapi fungsinya tidak terpisah-pisah secara ketat/tegas dan mutlak
seperti yang dikemukakan oleh Montesquiue.
Eksistensi peraturan perundang-undangan sebagai produk kekuasaan legislatif memiliki
arti yang sangat penting. Sebagaimana ditegaskan oleh Sudargo Gautama, tiap tindakan
negara harus berdasarkan hukum. Peraturan-peraturan perundang-undangan yang telah
diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan bertindak negara. Undang-Undang Dasar
yang memuat asas-asas hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh
pemerintah atau badan-badanya sendiri.341
Menurut Philipus M. Hadjon, dalam suatu Negara Hukum mengharuskan adanya
pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua
masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dengan demikian dalam
suatu negara hukum segala kehidupan, baik kehidupan bernegara, kehidupan berbangsa,
maupun kehidupan bermasyarakat harus didasarkan kepada hukum. Artinya, segala tindakan
harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan
perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dahulu atau mendahului
perbuatan yang dilakukan.342
Di dalam konteks kekuasaan legislatif, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20A ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNR) 1945 menegaskan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR)-lah yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Dengan demikian, pasca amandemen UUD 1945 terjadi pergeseran kekuasaan dalam
membuat perundang-undangan, yang semula berada di tangan eksekutif. Namun, jika
mengacu kepada Pasal 5 UUD NRI 1945, maka Presiden sebagai pemegang kekuasan
eksekutif, pun memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.

340
Pataniari Siahaan, Op.cit., hlm. 29-30.
341
Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 3. 69

342
Rachmat Trijono, Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti,
2014), hlm. 45.
120
Bahkan, UUD NRI 1945 memberikan hak secara limitatif kepada Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) untuk mengajukan rancangan undang-undang tertentu kepada DPR untuk dibahas dan
ditetapkan sebagai undangundang. Oleh karena itu, jika mengacu pada amanah konstitusi,
walaupun Presiden dan DPD diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang-undang,
kewenangan untuk melakukan pembahasan tetaplah berada di tangan DPR. Dengan demikian,
DPR-lah yang memiliki otorisasi untuk menentukan arah politik hukum pidana dan sistem
hukum pidana. Sehingga perubahan kekuasaan membentuk Undang-undang dari Presiden ke
DPR menimbulkan konsekuensi bahwa DPR harus berperan aktif dalam pengajuan RUU
sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UUD NRI 1945 yang merupakan hak dan sekaligus
kewajiban.343 Adapun penempatan "fungsi legislasi” di awal penjabaran fungsi-fungsi DPR
dalam Pasal 20A UUD NRI 1945 memiliki makna yang luas dan fundamental yang menurut
Pataniari Siahaan-mengkaji dari perspektif struktur dan gramatikal- dapat dimaknai sebagai
suatu inti atau pokok dari dua fungsi yang lain. Bahkan dapat bersifat agregasi, yakni fungsi
anggaran dan pengawasan secara fungsional dapat dilakukan melalui pembentukan undang-
undang (fungsi legislasi).344
Jika kita kembali pada pemaknaan umum terhadap istilah "politik hukum", dengan
politik hukum yang merupakan kebijaksanaan pembentukan peraturan perundang-undangan
(legislation), Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa peraturan perundang-undangan tidak
mungkin muncul secara tiba-tiba. Peraturan perundang-undangan dibuat dengan tujuan dan
alasan tertentu. Tujuan dan alasan dibentuknya peraturan perundang-undangan dapat beraneka
ragam. Berbagai tujuan dan alasan dari dibentuknya suatu peraturan perundangundangan
disebut sebagai politik hukum (legal policy).345
Secara filosofis, fungsi legislasi ini memberikan makna mengenai pentingnya parlemen
dalam memberikan jaminan hukum bagi warga masyarakat yang diwakilinya. Asumsinya,
berbagai permasalahan yang dihadapi warga masyarakat diberikan penyelesaiannya melalui
peraturan perundang-undangan yang dibahas bersama antara pemerintah dan parlemen
(DPR).346
Menurut Hood Philips, fungsi legislasi adalah membuat undangundang yang baru, atau
mengamandemen, atau mencabut undangundang yang ada.347Dalam bahasa yang berbeda,
memiliki makna yang sama diutarakan oleh Jimly Asshiddiqie yakni kewenangan untuk
343
Pataniari Siahaan, Op.cit., hlm. 7
344
Ibid., hlm. 6.

345
Hikmahanto Juwana, Op.cit., hlm. 1.
346
R. Muhammad Mihradi, et.al., Menimbang Kapasitas Legislasi. Studi Penguatan Kapasitas Legislasi
yang Partisipatif, Bogor: Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas Pakuan bekerja Sama dengan Pusat
Telaah dan Informasi Regional dan Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, (2006), hlm. 2
347
Pataniari Siahaan, Op.cit., hlm. 182.
121
mengatur atau membuat aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain kewenangan
lembaga legislatif yang berdasarkan prinsip kedaulatan merupakan kewenangan eksklusif para
wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu peraturan yang mengikat dan
membatasi kebebasan setiap individu warga negara (presumption of liberty of the souvereign
people).348
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa, dalam proses pembentukan
"legislative act" atau undang-undang peranan lembaga legislatif sangat menentukan
keabsahan materiel peraturan yang dimaksud. Dengan peranan lembaga legislatif yang sangat
menentukan itu berarti peranan para wakil rakyat yang dipilih dan mewakili kepentingan
rakyat yang berdaulat, sebagai asal mula kedaulatan negara, sangat menentukan keabsahan
dan daya ikat undang-undang itu untuk umum.349 Dengan demikian, penetapan politik hukum
pidana yang kemudian melahirkan sistem hukum pidana menuntut kemampuan para legislator
dalam menuangkan dan merumuskan ke dalam bentuk redaksional yang memancarkan
pandangan hidup (philosofi schegrondslag) bangsa Indonesia, baik dalam pergaulan
bernegara dalam konteks nasional maupun internasional. Oleh karena itu, dalam
mengonkretisasi philosofi schegrondslag tersebut, sebagaimana amanah dari Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (untuk
selanjutnya disebut “UU No. 12/2011") haruslah menggunakan Pancasila sebagai konsep
dasar dalam pembentukan perundangundangan pidana.
Berdasarkan hal tersebut, penyusunan politik hukum Indonesia dapat dicermati di dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 16 UU No.
12/2011. Adapun Prolegnas tersebut merupakan perwujudan dari Pasal I Aturan Peralihan
UUD 1945 (Pra-Amandemen), yang menegaskan, “Segala badan negara dan peraturan yang
ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini.” Pasca-Amandemen UUD 1945, ketentuan Pasal II Aturan Peralihan tersebut
menjadi dua pasal yaitu Pasal I Aturan Peralihan UUD NRI 1945 yang menegaskan "Segala
peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Dan Pasal II Aturan Peralihan UUD NRI 1945
yang menegaskan, “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.”
Dalam mencermati uraian tersebut di atas, menjadi menarik dan dilematis manakala
saya mengangkat pandangan dari Moh Mahfud MD berkaitan dengan kekuasaan legislatif

348
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 11.
349
Ibid., hlm. 33.
122
sebagaimana Beliau uraikan di dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia bahwa, dengan
mengutip pandangan dari vonKirchman, karena hukum merupakan produk politik maka
kepustakaan hukum yang ribuan jumlahnya bisa menjadi sampah yang tak berguna jika
lembaga legislatif mengetokkan palu pencabutan atau pembatalannya. 350Lebih lanjut, Moh
Mahfud MD menjelaskan bahwa pada faktanya jika hukum dikonsepkan sebagai undang-
undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa
hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun
melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. 351
Pandangan tersebut hampir tidak bisa terbantahkan di dalam realita kehidupan
berbangsa dan bernegara. Walaupun memang “seharusnya”, dalam konteks keilmuan, ada
upaya meminimalisasi intervensi khususnya intervensi politik. Dikarenakan berawal dari
intervensi kekuatan politik pada kenyataannya ikut masuk ke dalam pembahasan setiap
rancangan undang-undang kepentingan-kepentingan lain yang tidak berbasis keilmuan
hukum. Walaupun, hingga saat ini masih terjadi tarik menarik (perdebatan) antara ilmu
hukum dogmatis-normatif dengan ilmu hukum empiris-yuridis. Fenomena lembaga legislatif
sebagaimana diutarakan oleh Moh. Mahfud MD ternyata ditegaskan pula oleh Satjipto
Rahardjo yang mengatakan bahwa proses-proses pembuatan hukum lebih memperlihatkan
dominasi pengambilan keputusan secara politik.352
Sebagai suatu lembaga yang memperoleh kekuasaan berdasarkan sistem ketatanegaraan,
di dalam lembaga legislatifinilah proses tercipta dan pembuatan hukum berlangsung; dalam
proses pembentukan, proses penegakannya seringkali dilupakan. Jika dikaitkan dengan
pemaknaan Politik Hukum sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu, maka proses
penormativan suatu nilai-nilai (values) yang didasarkan pada falsafah bangsa bukan hanya
sekedar merancang atau membuat semata namun hingga kepada proses implementasi sebagai
input pada evaluasi dari berjalannya hukum yang telah ditetapkannya tersebut,
Dalam negara demokratis, masukan (input) yang menjadi bahan pertimbangan untuk
penentuan hukum, bersumber dari dan merupakan aspirasi masyarakat yang meliputi berbagai
353
kepentingan hidup mereka. Hal inilah yang menurut Lawrence M. Friedmann jarang
sekali diperhatikan oleh para ahli hukum (dan legislator, Pen). Input hukum tersebut

350
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum ......... hlm. 5.
351
Ibid.

352
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum......Op.cit., hlm. 352.
353
M. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 23.
123
merupakan gelombang kejut berupa tuntutan yang memancar bersumber dari masyarakat, dan
pada akhirnya menggerakan proses hukum.354
Berdasarkan hal tersebut, setiap anggota legislatif hendaknya memiliki beberapa
kemampuan, yaitu sebagai berikut:355
1.Kemampuan dalam arti penguasaan pengetahuan dasar (teoretis) dan pengalaman (praktis),
2. Kemampuan untuk membuat rumusan atau artikulasi atas aspirasiaspirasi yang disepakati
untuk dituangkan dalam bentuk aturan hukum,
3. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang diwakilinya,
4. Kemampuan untuk memiliki sikap keterbukaan, dikarenakan terkadang penyampaian
aspirasi tidak hanya sekedar berupa usulan, namun terkadang dalam bentuk kritik;
5. Kemampuan vokal untuk dapat menyampaikan butir-butir usulan mengenai kepentingan-
kepentingan konstituennya.
Pada prinsipnya, lembaga legislatif memiliki beban yuridis dalam mewujudkan Sistem
Hukum Pidana yang bersifat nasional sebagaimana diamanahkan oleh Proklamasi
Kemerdekaan, Pancasila, dan UUD NRI 1945. Namun kondisi riil bahwa lembaga legislatif
merupakan ajang perdebatan politis para elit politik berkontribusi pada tersendatnya
penuyusunan Sistem Hukum Pidana Nasional. RKUHP dan R-KUHAP merupakan peristiwa
nyata dari pertarungan tersebut. Semenjak diwacanakannya pada tahun 1963, hingga saat ini
KUHP nasional belum juga mampu diselesaikan.
Undang-undang, dalam sistem civil law yang dianut oleh Indonesia, diposisikan sebagai
sumber utama hukum, sehingga dengan sendirinya pembentuk undang-undang mempunyai
peranan penting untuk menerapkan corak sistem hukum positif negara. Pada forum legislatif
inilah semua konsep hukum itu dibicarakan, untuk kemudian digunakan sebagai panduan bagi
para hakim dalam memecahkan kasus-kasus konkret di pengadilan. Dalam konteks ini, para
pembentuk undang-undang dituntut berpikir sekomprehensif mungkin agar semua kasus yang
dipersepsikan akan muncul di kemudian hari dapat tercakup dalam pengaturan undang-
undang itu. Makin detail dan eksplisit suatu peraturan diformulasikan, makin ringan pekerjaan
hakim di lapangan. Dimensi nilai keadilan dan kemanfaatan dipersepsikan sudah diletakkan
jauh-jauh hari tatkala undang-undang dirumuskan oleh wakil-wakil rakyat di lembaga
legislatif. Oleh karena itu, tugas hakim seharusnya lebih diarahkan pada penerapan aturannya,
sehingga tercapailah kepastian hukum bagi semua pihak. 356

354
Lawrence M. Friedmann, The Legal System...............Op.cit., hlm. 13.
355
M. Solly Lubis, Politik dan Hukum .......... .....Op.cit., hlm. 24.

356
Shidarta, Op.cit., hlm. 130-131.
124
Dengan demikian, kegunaan dari penentuan Politik Hukum Pidana bertujuan
membentuk Sistem Hukum Pidana dengan beberapa sub-sistemnya, yaitu antara lain:
1. Sistem penentuan perbuatan yang diklasifikasikan sebagai perbuatan pidana;
2. Sistem penentuan falsafah pemidanaan dan peletakan norma sanksi pidana;
3. Sistem perundang-undangan pidana baik secara vertikal maupun horizontal;
4. Mekanisme berjalannya organisasi institusi penegak hukum berdasarkan perundang-
undangan pidana baik secara vertikal maupun horizontal;
5. Sistem pengawasan dan kontrol dengan melibatkan mekanisme pertanggungjawaban dari
institusi penegak hukum;
6. Sistem keterbukaan informasi, guna menumbuhkan kesadaran hukum dan ketaatan hukum
masyarakat.
Berdasarkan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh lembaga legislatif tersebut,
maka penetapan politik hukum pidana dan pembentukan sistem hukum pidana hendaknya
merupakan cerminan dari strategi pembangunan hukum nasional. Dengan demikian, menurut
M. Busyro Muqoddas, et.al., strategi pembangunan hukum nasional harus mampu
merumuskan kebutuhan hukum masyarakat, menyusun rencana legislasi nasional, mengatur
penyiapan rancangan undang-undang, dan menyiapkan sistem dan perangkat penegak
hukum.357 Namun jika pembahasan Politik dan Strategi Pembangunan Hukum Nasional
merupakan satu kesatuan yang sangat penting maka komponen yang selama ini selalu
diabaikan adalah penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Berdasarkan konsep tersebut,
maka pembangunan hukum nasional merupakan suatu proses yang dilaksanakan baik secara
akademis maupun politis, sehingga fiction theory hendaknya sudah harus dikesampingkan,
karena tidak semua komponen masyarakat mampu menerima pemahaman hukum yang sudah
dibentuk tersebut.
Negara Hukum yang demokratis konstitusional mewajibkan peran serta masyarakat
dalam setiap proses penyelenggaraan negara, yang kemudian dibatasi dengan sistem
keterwakilan melalui lembaga legislatif. Oleh karena itu, peranan lembaga legislatif bukan
hanya sekedar merancang dan membuat semata namun juga menyosialisasikan kepada
konstituennya. Jika politik hukum dan sistem hukum merupakan ruh dari suatu Sistem
Peradilan Pidana, maka menjadi suatu kewajiban bagi lembaga legislatif, sebagai komponen
(unsur) primer, untuk melakukannya dikarenakan masyarakat, dalam pandangan saya,
merupakan komponen sekunder dalam Sistem Peradilan Pidana.358

357
M. BusyroMuqoddas, et.al., Politik Pembangunan Hukum........Op.cit., hlm. ix.

358
Rocky Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Suatu Pengantar, (Malang: Setara Press, 2015),
hlm. 33.
125
B. Hakikat Sanksi Pidana dalam Berhukum dan Bermasyarakat
Upaya mengkaji “hakikat sanksi”, dapatlah terlebih dahulu dimulai dengan refleksi
kefilsafatan atas lima pertanyaan:? 1) Apakah tujuan hukum? 2) Apakah tujuan sanksi? 3)
Mengapa masyarakat membutuhkan hukum? 4) Mengapa negara berhak menjatuhkan sanksi?
5) Mengapa suatu perbuatan dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan tercela? Pertanyaan-
pertanyaan itu tidak akan pernah selesai hingga saat ini. Pemaknaan atau pendefinisian
mengenai makna “hukum”serta "tujuan hukum” selalu mengalami kebaruan berdasarkan
kondisi zaman ketika si penafsir hidup. Selain kondisi saat itu, latar belakang pendidikan dan
pengalaman si penafsir pun ikut memengaruhi.
Terdapat tiga output yang diingini oleh manusia atas eksistensi hukum itu sendiri, atau
dengan kata lain, manusia mengharapkan setidaknya ada dua tujuan dari hukum itu, yaitu: 359
1. Tujuan Hukum adalah Ketertiban
Dengan terwujudnya ketertiban,360 maka berbagai keperluan sosial manusia dalam
bermasyarakat akan terpenuhi. Untuk mewujudkan ketertiban itu manusia memunculkan
keharusan-keharusan berperilaku dengan cara tertentu yang dirumuskan dalam bentuk
kaidah. Ketertiban dan kaidah yang diperlukan manusia adalah ketertiban dan kaidah yang
secara otentik menciptakan kondisi yang memungkinkan manusia secara wajar
mewujudkan kepribadiannya secara utuh, dengan harapkan seseorang dapat
mengembangkan kepribadiannya secara bebas (kehendak bebas atau free will).
2. Tujuan Hukum adalah Keadilan
Ilmuwan hukum dari Kekaisaran Romawi, Ulpanius (200SM), menjelaskan bahwa makna
keadilan adalah kehendak yang bersifat tetap dan yang tak ada akhirnya untuk
memberikan kepadatiap-tiap orang, apa yang menjadi haknya. Paradigma yang dibangun
oleh Ulpanius tersebut kemudian diserap dan dikembangkan serta dimuat (atau
menjadikannya tertulis) oleh Justinianus (527-565SM) dalam CorpusIuris Civilis, dasar
Hukum Sipil Romawi yang di dalamnya terkenal dengan ujaran (peraturan dasar) “Hidup
dengan patut, tidak merugikan orang lain, dan memberi pada orang lain apa yang menjadi
bagiannya"; selanjutnya dielaborasi oleh Immanuel Kant dengan prinsip umumnya,
“Bertindaklah dengan sebuah maksim yang dalam waktu yang sama Anda dapat
menghendaki maksim tersebut menjadi hukum umum”. Jika ditanya manakah yang lebih
penting ketertiban atau keadilan maka jawabannya, menurut

359
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: BayumediaPublishing,
2007), hlm. 2-7
360
Dalam konteks common law disebut lawand order, dalam konteks civil law disebut rusten orde
126
Denis Lloyd, keadilan memang bukan saja belum tercapai dengan adanya ketertiban,
karena keadilan itu memang lebih dari sekedar ketertiban, dan juga karena keadilan itu
bekerja lebih sebagai prinsip prosedur daripada substansi. Lebih jauh lagi, dapat
disimpulkan melalui pengalaman sejarah Bangsa Indonesia, ketertiban yang berusaha
ditegakkan dalam pemerintahan Orde Baru, ternyata telah mengabaikan tujuan hukum
untuk menciptakan keadilan.
3. Tujuan Hukum adalah Kepastian Hukum
Terciptanya kepastian akan memungkinkan manusia untuk mengembangkan segala bakat
dan kemampuannya. Dengan kehendak bebas yang melekat padanya, ia berusaha menjadi
manusia yang paripurna. Sehingga, dapat dikatakan bahwa keseluruhan kaidah atau norma
dan ketentuan hukum yang dibuat manusia akhirnya bermuara pada satu asas utama yang
diarahkan untuk penghormatan dan pengakuan terhadap harkat martabat manusia. Tanpa
kepastian hukum akan muncul kekacauan dalam masyarakat. Oleh karena itu, jelas bahwa
fungsi hukum adalah untuk menciptakan ketertiban, keadilan, dan kepastian dalam
masyarakat.
Pandangan tersebut di atas tentunya mengingatkan kita terhadap perilaku berhukum
pada masa-masa lalu baik dalam era Orde Lama maupun dalam era Orde Baru. Penguasa pada
masa itu sangat meyakini bahwa suatu kepastian hukum akan memunculkan suatu ketertiban
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga cenderung mengabaikan
nilai-nilai keadilan yang diyakini oleh masyarakat luas. Oleh karena pada masa lalu perilaku
berhukum memfokuskan diri pada pembacaan dan pemahaman hukum secara gramatikal-
leksikal semata.
Pemahaman tersebut tentunya tidak lepas dari pola pengajaran hukum masa kolonial
Belanda yang telah mapan di kalangan Pemerintahan pada masa era Orde Lama dan era Orde
Baru, bahkan hingga saat ini. Paradigma (Filsafat) Positivisme Hukum demikian kental dalam
proses penegakan hukum. Praktisi Hukum Pidana di Indonesia sangat mengagungkan Asas
Legalitas yang diusung dalam sistem hukum Civil Law atau Eropa Kontinental. Hal inilah
yang kemudian menjadi permasalahan di Indonesia, bahwa pemahaman yang baik terhadap
sejarah kemunculan Asas Legalitas pada masa ancient regime, menjadikan biang keladi dari
keterpurukan hukum pidana.
Menurut J.J. Rousseau, seluruh hukum itu bersumber pada suatu contract social yang
kemudian diserahkan kepada suatu volonte generale untuk mengaturnya lebih lanjut. Akan
tetapi jenis-jenis tindakan yang oleh volonte generale telah dikaitkan dengan akibat berupa
361
hukuman bagi para pelanggarnya itu, wajib dicantumkan di dalam undang-undang. Cesare
361
Widodo Dwi Putro, Op.cit., hlm. 9.
127
Beccaria juga merupakan tokoh yang menyambung ide Montesquiue, yang menjelaskan
bahwa manusia perlu dipaksa untuk memberikan kebebasan mereka. Kemudian, tentunya,
setiap individu akan memilih untuk memberikan sekecil mungkin kebebasannya bagi
kemuliaan publik, secukupnya untuk melawan orang lain guna mempertahankannya. Sekecil
mungkin kebebasan yang diberikan itu membentuk hak untuk menghukum; segala yang
melampaui batas ini adalah penyalahgunaan, adalah pengadilan. Perkembangan hukum pada
saat itu, pada dasarnya, tidaklah terlepas dari berkembangnya konsep Negara Hukum, yang
juga berawal dari prinsip pembatasan kekuasaan dari John Locke dan Montesquiue, dan
menciptakan konsep Negara Hukum rechs staat pada sistem civil law, yang dipelopori oleh
JF. Stahl, dan konsep Negara Hukum ruleof law pada sistem common law, yang dipelopori
oleh AV. Dicey Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Montesquieu dan J.J. Rousseau
tersebut diatas dikembangkan lebih lanjut oleh Anselm von Feuerbach, seorang ahli juris
dari Jerman, pada Abad XIX, yang masih dalam nuansa Aliran Klasik dari filasafat
pemidanaan. Namun, berdasarkan literatur yang ada, pada kenyataannya, jauh sebelum
Montesquieu dan J.J. Rousseau serta Anselm von Feuerbach, masih terdapat filsuf Inggris,
Francis Bacon (1561-1626), yang telah mengemukakan suatu adagium moneat lex,
priusquam feriat yang artinya: undang-undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu
sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya." 362
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Anselm von
Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang
Theorie). Feuerbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif
terjadinya tindak pidana.363 Pemahaman awal seseorang bahwa ia diancam pidana karena
melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan perbuatan
tersebut; oleh karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.364 Demikian pula
sebagaimana ditegaskan oleh Moeljatno bahwa asas legalitas dari von Feurbachitu, melalui
teorinya Psychologische zwang Theorie, menganjurkan supaya peraturan tidak hanya
memuat tentang macam-macam perbuatan-perbuatan yang dilarang namun juga tentang
macamnya pidana yang diancamkan. Dengan demikian, orang yang akan melakukan
perbuatan terlarang terlebih dahulu mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya
jika nanti perbuatan itu dilakukannya. Dengan demikian dalam batinnya, lalu diadakan
tekanan untuk tidak berbuat. Dan jikalau seseorang tetap melakukan perbuatan yang telah
dilarang, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sudah disetujuinya sendiri. 365
362
Mochtar Kusuma-Atmadja, Op.cit. , hlm. 33-35.
363
Ibid.
364
Ibid.
365
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 25.
128
Demikian pula Plato menjelaskan bahwa ada baiknya untuk menghimpun aturan-aturan
hukum yang berlaku dalam negara, supaya kebebasan dan keteraturan terjamin. 366
Apa yang Saya uraikan di atas hanya merupakan pelacakan literatur kesejarahan semata
terhadap asal muasal dari asas legalitas. Saat ini, persoalaan apakah asas legalitas memiliki
kaitan secara filosofis dengan mahzab-mahzab klasik khususnya kepada filsuffilsuf klasik
sebelum John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rousseau bukanlah hal yang krusial lagi di
dalam, baik kurikulum dan bukubuku teks Hukum Pidana di Indonesia maupun sistem
pengajaran di Fakultas Hukum. Hal tersebut dikarenakan telah menjadi suatu untaian sejarah
yang disepakati bersama bahwa Anselm von Feuerbach-lah yang memopulerkan asas
legalitas dengan istilah nullum delictum, nul lapoena sine praevia lege poenali.
Sejarah kemunculan Asas legalitas yang dikemukakan oleh para filsuf sebelumnya telah
mengalami reduksi makna oleh Anselm von Feuerbach dengan menegaskan bahwa Asas
Legalistas mengandung tiga pengertian:367
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undang-undang;
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi;
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non-retroaktif).
Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut merupakan pengakuan terhadap Asas Legalitas atau
nullum delictum, nulla poenasine praevia lege poenali; padahal jika kita kembali pada
pandangan Frank von Lizt maka jelas bahwa hukum pidana merupakan “SUBSTITUSI”
dari ranah hukum lainnya. G.E. Mulder menjelaskan bahwa Hukum Pidana merupakan
lingkaran terluar dari hukum yang harus diberlakukan. Demikian pula, Merkel menegaskan
bahwa tempat Hukum Pidana adalah selalu "SUBSIDER" terhadap obyek hukum lainnya.
Mr. Modderman juga memberikan penjelasan bahwa negara wajib menindak suatu
pelanggaran hukum atau ketidakadilan yang tidak dapat ditanggulangi secara memadai oleh
sarana hukum lainnya. Dengan gaya bahasa yang berbeda, Muladi dan Barda Nawawi Arief
menegaskan bahwa Hukum Pidana dapat pula disebut dengan MERCENARY (tentara
sewaan), yang hanya akan digunakan.368 apabila sangat dibutuhkan dan hukum lain tidak
dapat digunakan.” Dalam konteks kebijakan pidana, Muladi dan Barda Nawawi Arief
menjelaskan bahwa pembentukan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan
pengendalian perbuatan yang antisosial termasuk di dalamnya kebijakan penegakan
hukumnya. Oleh karena itu, dalam pengertian pidana sebagai suatu kebijakan, maka tidak ada
sifat absolutisme dalam menerapkan pidana. Artinya, penjatuhan pidana bukanlah suatu

366
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 24.
367
Molejatno, Asas-asas Hukum ........Loc.cit.
368
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014), hlm.
hlm. 27.
129
keharusan.369 Demikian pula dalam pandangan Mr. Modderman dan Van Bemmelen, bahwa
ancaman pidana harus tetap merupakan suatu ultimum remedium,370 namun dikarenakan
dalam penerapannya di negara jajahan, maka ancaman pidana adalah premium remedium.
Van deBunt mengemukakan bahwa hukum pidana sebagai ultimum remedium memiliki
tiga pengertian. Pertama, penerapan hukum pidana itu hanya berlaku terhadap pelanggaran
hukum yang secara etis sangat berat. Kedua, hukum pidana sebagai ultimumremedium karena
sanksi hukum pidana lebih berat dan lebih keras daripada sanksi bidang hukum yang lain, lagi
pula sering membawa dampak sampingan, maka hendaknya diterapkan jika sanksi bidang
hukum lain tidak mampu menyelesaikan masalah pelanggaran hukum. Jadi, di sini hukum
pidana benar-benar diterapkan sebagai obat terakhir, artinya apabila bidang hukum lain sudah
tidak mampu mengatasi pelanggaran hukum itu, barulah hukum pidana diterapkan. Ketiga,
hukum pidana sebagai ultimum remedium karena pejabat administrasilah yang lebih dahulu
mengetahui terjadinya pelanggaran, jika mereka mendapat prioritas untuk mengambil
langkah-langkah dan tindakan daripada penegak hukum pidana. Terhadap pendapat tersebut,
Andi Hamzah memberikan kesimpulan sekaligus merupakan sanggahan terhadap Van
deBunt tersebut, sebagai berikut:371
Kesimpulan yang dapat ditarik, ialah hukum pidana menjadi ultimum remedium, jika
kita pandang sanksi hukum itu hanyalah penjara. Menurut pendapat saya, yang ditempatkan
sebagai ultimumremedium ialah pidana penjara bukan hukum pidana. Sanksi hukum pidana
bukan pidana penjara saja, tetapi juga denda yang kadangkadang lebih ringan dari sanksi
bidang hukum yang lain. Apalagi jika penyelesaian di luar acara dikembangkan (diskresi dan
asas oportunitas).
Dalam pandangan tersebut, saya mencurigai masih tertanam kuatnya suatu pandangan
terhadap superioritas Hukum Pidana, sehingga mengesampingkan aspek-aspek lain dari
Terdakwa sebagai seorang manusia. Terlebih lagi, pandangan tersebut di atas akan menjadi
tepat manakala pembentuk undang-undang atau legislator memahami asas hukum yang sama.
Permasalahan kedua, pandangan tersebut menjadi tepat manakala penegak hukum pidana pula
memahami asas-asas hukum yang ada dalam sistem hukum nasional dan tidak hanya sekedar
memahami asas legalitas semata.
Keberadaan Asas Legalitas ini memang terkadang atau sesekali bertentangan dengan
rasa keadilan masyarakat, yakni terdapat perbuatan-perbuatan yang melukai rasa keadilan

369
Muladi& Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,2005), hlm. 149.
370
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum.........Op.cit., hlm. 13.
371
Andi Hamzah, "Hukum Pidana Merupakan Salah Satu Cermin Paling Terpercaya Mengenai Peradaban
Suatu Bangsa”, dalam I Made Widnyana, et.al., (Ed), Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia,
(Bandung: Eresco, 1995), hlm. 38-40.
130
baik perorangan maupun sekolompak golongan di dalam masyarakat. Sehingga terkadang,
seorang Hakim melakukan terobosan hukum dengan melakukan rechtsvinding (penemuan
hukum) dan penciptaan hukum (rechtsschepping), guna menutupi kekosongan hukum yang
terjadi. Dengan demikian pembahasan mengenai asas legalitas, sebagai bentuk kajian dalam
Ilmu Hukum Pidana, hendaknya perlu disandingkan dengan pembahasan mengenai asas
keadilan, yang merupakan kajian falsafah. Oleh karena itu, pengetahuan Ilmu Hukum Pidana
tidak akan mendapatkan pembahasan yang tuntas tanpa turut pula mengkaji asas keadilan.
Tujuan yang ingin dicapai Asas Legalitas adalah memperkuat kepastian hukum,
menciptakan keadilan dan kejujuran bagi terdakwa, mengefektifkan fungsi penjeraan dalam
sanksi pidana, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memperkokoh ruleo flaw. Namun
berdasarkan fungsi yang bersifat luas, menurut Komariah Emong Sapardjaja, asas legalitas
merupakan asas perlindungan yang secara historis merupakan reaksi terhadap kesewenang-
wenangan penguasa di zaman ancientregime serta jawaban atas kebutuhan fungsional
terhadap kepastian hukum yang menjadi keharusan di dalam suatu Negara Hukum Liberal
pada masa itu.372Terkait tujuan hukum pidana tersebut, seiring bergesernya waktu dan zaman,
pola pemikiran para ahli hukum pun berubah dalam memaknai tujuan hukum khususnya
tujuan hukum pidana.
Walaupun dalam beberapa literatur menjelaskan bahwa tujuan hukum pidana bukan
semata-mata untuk menjatuhkan sanksi pidana secara ketat, namun lebih kepada menciptakan
ketertiban dan mengubah pola perilaku manusia. Namun menurut Bernard Arief Sidharta,
ketertiban dan ketenteraman itu bukanlah tujuan akhir dari hukum, melainkan tujuan antara.
Sebab, di dalam masyarakat dapat saja, dengan menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu
ketertiban yang bersifat tiranik, yang menindas nilai-nilai manusiawi. Oleh karena itu, tujuan
lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam masyarakat. 373Demikian
pula dijelaskan oleh Subekti bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam
pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Keadilan dan
ketertiban itu sendiri merupakan syarat pokok guna mendatangkan kemakmuran dan
kebahagiaan. Keadilan, merupakan suatu keadaan seimbang yang membawa ketentraman di
dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan
kegoncangan. 374
Pandangan tersebut memiliki keterkaitan dengan tujuan hukum dari pidana adat yang
lebih mengedepankan pengembalian keseimbangan kosmis dalam masyarakat. Pelanggaran

372
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum Pidana Indonesia,
(Bandung: Alumni, 2002), hlm. 6.
373
Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum ........ Loc.cit.
374
Muderis Zaini, Ikhtisar Tata Hukum Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), hlm. 18-19.
131
terhadap norma hukum, pada hakikatnya, merupakan perilaku yang memunculkan
keguncangan dalam masyarakat. Oleh karena itu, adalah menjadi tugas negara, dalam hal ini
adalah peradilan pidana, untuk mengembalikan kedamaian dan ketentraman yang tadinya ada
di masyarakat. Sehingga, penjatuhan suatu sanksi pidana bukan hanya didasarkan pada'nafsu'
menghukum terhadap diri pelaku tindak pidana melainkan bagaimana mengembalikan
kerugian yang bukan hanya diderita oleh korban, juga yang diderita oleh masyarakat secara
umum. Dengan demikian, hakikat suatu sanksi pidana tidak terletak kepada upaya penjeraan
semata namun merupakan suatu upaya merehabilitasi pelaku, korban, dan masyarakat.
Permisalan yang dapat dijadikan kajian adalah berkaitan dengan fenomena peredaran
dan produksi obat atau vaksin palsu beberapa waktu lalu. Sejak kasus vaksin palsu merebak
Juni 2016 lalu, catatan Polri menunjukkan sedikitnya 197 bayi teridentifikasi mendapat
suntikan vaksin palsu yang diduga dibuat dan diedarkan 20 orang.375 Beberapa sedang
menjalani proses peradilan pidana di Pengadilan Negeri Bekasi, dengan ancaman sanksi
pidana berdasarkan Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (untuk
selanjutnya disebut “UU No. 36/2009”). Permasalahannya adalah apakah dengan dipidananya
pelaku-pelaku tersebut telah memenuhi tuntutan masyarakat. Terindentifikasinya bayi yang
mendapat suntikan vaksin palsu tersebut, meskipun dinyatakan tidak memiliki dampak
kesehatan, memunculkan kerugian berupa pengharapan yang hilang. Orang tua bayi tentunya
mengharapkan agar bayi mereka kebal (imune) terhadap penyakit tertentu; misalnya, si bayi
diharapkan kebal terhadap penyakit TBC. Namun karena diinjeksi dengan vaksin Hepatitis B,
maka si bayi tidak imune terhadap TBC dan justru imune terhadap Hepatitis B tersebut. Itulah
pengharapan yang hilang, itulah kerugian dari masyarakat. Sehingga, apakah dengan
dipidananya si pelaku tersebut dapat mengembalikan pengharapan yang hilang tersebut?
Apabila, peradilan pidana di Indonesia masih dikuasai oleh paradigma positivisme,
tentunya memidana si pelaku adalah satusatunya opsi yang tersedia. Namun, di sinilah letak
peranan hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman dalam menerapkan UU No. 36/2009
secara jeli. Hakim pidana harus dapat melakukan proses menimbang-nimbang antara
penjeraan terhadap pelaku dengan kebutuhan masyarakat yang hilang atas jaminan kesehatan.
Oleh karena itulah, saya berpendapat bahwa pidana penjara bukanlah satu-satunya opsi dalam
hukum pidana yang seharusnya mulai dikembangkan dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia.

375
“Apa Dampak Vaksin Palsu Bagi Kesehatan", Sumber: http://www.bbc.com/
indonesia/berita_indonesia/2016/07/160714_indonesia_explainer_vaksinasi (10 Januari 2017).

132
C. Memperkuat Pengaruh Paradigma (Filsafat) Hukum Pancasila Terhadap Politik
Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana di Indonesia: Menarik Benang Merah
Asas Musyawarah sebagai Filsafat Pemidanaan
Akseptasi terhadap pengaruh budaya asing, bangsa Indonesia selama berabad-abad
berhasil melakukan proses akulturasi, yakni terhadap budaya Hindu dan Islam khususnya.
Adapun terhadap budaya barat, yakni budaya modern dan globalisasi, proses serupa masih
berlangsung. Khusus dalam menghadapi dan menyikapi budaya modern dan globalisasi
inilah, yang menerpa ke seluruh bangsa di muka bumi, maka bangsa kita harus ekstra cermat.
Alasannya, modernitas dan globalitas itu bersumber pada filsafat dan ideologinya sendiri.
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa dalam interaksi kultural itu tidak mustahil akan
berlangsung suatu pergelutan dan pergulatan ideologis, bahkan filosofis. Filasafat Pancasila
sendiri mempunyai cara-cara spesifik dalam menerima dan mengolah pengaruh ideologi dan
filsafat asing, yakni metode ekletis-inkorporasi. Artinya, yakni pengolahan nilai-nilai dari luar
menjadi milik bangsa Indonesia dengan tetap berdasarkan pada asas Pancasila. Sesungguhnya
proses seperti ini sudah berlangsung sejak awal Abad XIX dengan dikenalinya konsep-konsep
modern seperti humanisme, demokrasi, nasionalisme, dan sosialisme. Pancasila itu sendiri
yang dirumuskan definitif sejak 1 Juni, 22 Juni, dan 18 Agustus 1945 tidak nihil dari
pengaruh ideologi luar, terbukti dari sila-silanya yang mengadopsi konsep-konsep modern.376
Pancasila disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum -tentunya akan
menciptakan sebuah asumsi bahwa pancasila merupakan sumber hukum yang sempurna yang
mampu menjangkau berbagai aspek. Hal tersebut mengartikan bahwa kualitas akan produk
hukum kita ditentukan oleh seberapa jauh bangsa Indonesia mampu memaknai atau
memahami sumber dasarnya itu sendiri. Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-
norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.377 Lebih lanjut dijelaskan oleh Notonagoro
bahwa Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm telah memenuhi tiga syarat mutlak yaitu
ditentukan oleh pembentuk negara, memuat ketentuanketentuan mengenai dasar negara, dan
bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai soal organisasi negara.378
Namun, sebagai suatu Staatsfundamental-norm jelas Pancasila masih berbentuk
abstrak yang mengaidahi cara berhukum. Diperlukan usaha untuk mengekstrasikan sifat
abstrak yang dikandung dalam Pancasila ke dalam Ilmu Hukum Pidana di Indonesia. Saya
mengacu pada pendapat dari Bernard Arief Sidharta bahwa untuk dapat memerankan Ilmu
Hukum secara lebih efektif-positif pada pengembanan hukum praktis, maka dari waktu ke

376
Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006), hlm. 5.
377
Dani Pinangsang, “Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dalam Rangka Pengembanan
Sistem Hukum Nasional”, Jurnal UNSRAT, Vol. XX, No. 3, AprilJuni 2012, hlm. 1
378
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit., hlm. 114.
133
waktu perlu dilakukan refleksi kefilsafatan terhadap Ilmu Hukum itu sendiri. Refleksi
kefilsafatan tentang Ilmu Hukum yang lengkap akan mempersoalkan aspek ontologi
(hakikatnya), epistemologi (pengertian/teori) dan aspek aksiologi (manfaat) dari Ilmu Hukum.
Penelaahan terhadap tiga aspek tersebut akan menentukan keberadaan dan karakter keilmuan
dari Ilmu Hukum yang akan berimplikasi pada cara pengembanan Ilmu Hukum dan praktis
Ilmu Hukum (pengembanan hukum praktis) dalam kenyataan kehidupan kemasyarakatan.
Sebab, pandangan tentang Ilmu Hukum akan memengaruhi bentuk dan cara pendidikan
(tinggi) hukum, dan cara berpikir serta cara berkarya para ahli hukum yang dihasilkannya.379
Hegemoni Paradigma Positivisme Hukum yang diajarkan dalam sistem pendidikan
tinggi hukum secara turun temurun dalam tradisi akademisi sebagai konsekuensi transfer ilmu
dari zaman kolonial hingga masa kemerdekaan pada akhirnya turut pula memberikan warna
dalam membentuk Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum Pidana. Akibatnya, dalam
membentuk Sistem Peradilan Pidana pun menggunakan konsep mechanism-analiticmethod
dan berujung kepada proses reduksi Ilmu Hukum menjadi praktik hukum yang menciptakan
sistem sebagai mesin yang bergerak secara mekanik dan pengingkaran sifat subjektivitas
dalam kehidupan manusia menjadi norma belaka. Sehingga pembahasan norma-norma hanya
sebatas kepada penafsiran gramatikal saja, berhenti hanya pada tataran redaksional semata.
Sedangkan di balik norma tersebut terkandung nilai-nilai (values).
Berkaitan dengan hal tersebut Darji Darmodiharjo menjelaskan bahwa norma adalah
penjabaran dari nilai atau sistem nilai. Karena nilai ini terkandung pula dalam moral dan
pandangan hidup, maka norma pun juga menjabarkan lebih lanjut nilai-nilai yang ada dalam
moral dan pandangan hidup itu. Norma adalah konkretisasi nilai, dengan demikian, setiap
norma pasti mengandung nilai.380 Namun, biasanya nilai-nilai dalam hukum itu dapat
digambarkan berpasangpasangan, tetapi selalu bertegangan. 381 Kajian-kajian tersebut
merupakan metafisika dan masuk dalam ranah kajian kefilsafatan, yang oleh penganut
Paradigma Positivisme Hukum disingkirkan karena memunculkan ketidakpastian dan
ketidakteraturan. Paradigma tersebut tidak akan pernah mempermasalahkan nilai-nilai yang
terkandung dalam suatu norma atau hukum, oleh karena, Paradigma Positivisme Hukum
hanya mempersoalkan validitas norma dan bukan isi norma. Sehingga dalam membentuk
suatu sistem hukum, pendekatan mechanism-analiticmethod adalah yang paling tepat dan
cocok diterapkan bagi negara yang menganut sistem civil law yang lebih mengejar kepastian
hukum dibandingkan keadilan. Sehingga pada tataran pra-adjudikasi, sebagai bagian dari
proses berjalannya Sistem Peradilan Pidana akibat diterapkannya mechanism-analiticmethod,
379
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur ......... ...Op.cit., hlm. 9-10.
380
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit., hlm. 39.
381
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Op.cit., hlm. 14.
134
suatu sistem dianggap sebagai mekanisme mesin dan karenanya pendidikan hukum bagi
Penyelidik dan Penyidik menjadi tidak begitu penting. Hal tersebut dikarenakan dalam
membaca KUHP, calon Penyelidik, calon Penyidik, maupun calon Jaksa tidak diajarkan
mengenai cara memahami nilai di balik norma; hanya beranjak dari suatu kebiasaan yang
dibangun berdasarkan kebiasaan dan modulmodul baku dalam pendidikan internal dari
masing-masing institusi. Dengan demikian, dalam memahami hukum, Aparat Penegak
Hukum (APH) menggunakan closed-logicalsystem; tercermin dalam implementasi
penegakannya melalui penyusunan hukum formilnya, yaitu KUHAP.
Asumsi Saya tersebut semakin nyata dan jelas melalui penolakanpenolakan yang
diajukan oleh Polri terkait dimunculkannya lembaga Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dengan alasan geografis Indonesia. Dengan demikian, Aparat Penegak Hukum
(APH), khususnya Polri dan Jaksa, hanya mengenal Undang-undang sebagai sumber hukum.
Hal tersebut dikarenakan Aparat Penegak Hukum (APH) hanya bersandarkan pada Paradigma
Positivisme Hukum dengan melakukan pendekatan berdasarkan mechanism-analitic system
sehingga menghasilkan closed-logical system.
Terhadap fenomena tersebut, Darji Darmodiharjo menjelaskan bahwa paradigma
Positivisme Hukum menganggap undang-undang adalah satu-satunya hukum, karena
hukum disamakan dengan undang-undang jadi, hanya ada sumber hukum formil saja.
Pendapat ini tidak seluruhnya tepat. Apa yang dirasakan adil dan sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakat, tidak atau belum semuanya terserap dalam undang-undang yang telah
ada. Bahkan, sering dijumpai undang-undang yang tidak mencerminkan rasa keadilan
menurut masyarakat.382 Pemahaman Aparat Penegak Hukum (APH) dalam kerangka
Paradigma Positivisme Hukum hanya memandang hukum adalah sekumpulan norma yang
telah direduksi melalui proses verifikasi fakta dan data ke dalam pemenuhan unsur-unsur
berdasarkan redaksional pasal-pasal. Merebaknya hegemoni Paradigma Positivisme ke
dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan manusia, baik ilmu sosial maupun
ilmu hukum, pada akhirnya bertemu dengan persoalan "bahasa". Oleh karena itu, metode
verifikasi kemudian diterapkan pula dalam ruang lingkup bahasa hukum.
Satjipto Rahardjo, terkait dengan hal tersebut, menegaskan bahwa tatkala hukum
dalam pengejawatahannya dianggap sebagai teks maka bahasalah yang mengambil peranan
dalam menentukan makna. Sehingga yang terjadi adalah permainan bahasa (language game)
yang berakibat pada hilangnya esensi dari gagasan utuh mengenai hukum itu sendiri.

382
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit., hlm. 39..
135
Penggunaan metode penafsiran gramatikal secara kaku akan menimbulkan persoalan yang
sangat mendasar, yaitu hilangnya tujuan hukum -keadilan.383
Tidak diakomodasinya filsafat Pancasila dalam ilmu hukum pidana saat ini di Indonesia,
merupakan suatu kewajaran. Menurut Slamet Sutrisno, hal tersebut dikarenakan sampai hari
ini perbincangan tentang Pancasila masih lebih diwarnai oleh versi ideologis daripada
akademik. Kewajaran itu berkenaan dengan modalitas Pancasila sebagai cita-cita, sebagai
ideologi, yang hanya bisa terwujud dengan dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Tekanan
aspek pelaksanaan ini, meminta adanya kebijakan yang relevan dan bersifat ideologis-
keilmuan.384
Dalam konteks hukum di Indonesia, sejak masa kekuasaan hukum kolonial sampai
masa-masa sesudahnya, perkembangan bergerak ke arah pola-pola hukum Eropa, 385dalam hal
ini hukum Belanda. Memutus alur perkembangan ini, berarti memutus hubungan tradisional
sebagaimana pernah berkembang dalam sejarah antara Indonesia dan Belanda, yang
sebenarnya juga ikut meliput berbagai aspek yang sifatnya institusional, misalnya peradilan
dan pendidikannya, akan berarti memaksa Indonesia mengembangkan hukum nasionalnya
dengan beranjak dari awal lagi, dan menyia-nyiakan apa yang hingga kini telah tercapai.
Pasca proklamasi kemerdekaan, Indonesia memiliki dua tradisi hukum yang masing-
masing terbuka untuk dipilih, yaitu sistem hukum kolonial dengan segala seluk beluknya serta
sistem hukum rakyat dengan segala keragamannya. Pada dasarnya dan pada awalnya,
pemuka-pemuka nasional mencoba membangun hukum Indonesia dengan mencoba sedapat-
dapatnya melepaskan diri dari ide-ide hukum kolonial yang tidaklah mudah. Inilah periode
awal, dengan keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan dapat
diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum nasional. Tetapi
kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa proses realisasinya ternyata tidak
sesederhana model-model idealnya dalam doktrin. Hal itu terjadi karena berbagai kesulitan
yang diduga timbul bukan hanya karena keragaman hukum rakyat yang umumnya tidak
secara ekplisit itu, tapi juga karena sistem pengelolaannya sebagai suatu tata hukum yang
modern (melihat tata organisasi, prosedur, asas-asas doktrinal penegakannya serta
profesionalisme penyelenggaraannya) telah tercipta sepenuhnya sebagai warisan kolonial
yang tidak akan mudah dirombak atau digantikan begitu saja dalam waktu singkat.
Telanjur memilih dan meyakini bahwa akan lebih praktis jika melanjutkan tradisi sistem
hukum kolonial yang dianggap telah lebih dipahami serta memiliki struktur yang lebih pasti,
383
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2010), hlm. 10.
384
Slamet Sutrisno, Op.cit., hlm. 101.
385
Khudzaifah Dimyati, Op.cit., hlm. 20.

136
ternyata bukan tanpa masalah dalam perjalanannya. Pilihan ini, yang merupakan perwujudan
dari politik hukum negara kita, memunculkan masalah baru yaitu masalah fleksibilitas norma
tertulis dengan implementasinya pada lembaga peradilan. Rumusan norma hukum yang
eksplisit dalam wujud perundang-undangan tidak jarang malah terkesan kaku dan limitatif,
meski dalam pengimplementasiannya masih terbuka peluang bagi hakim untuk melakukan
interpretasi, mengingat kodifikasi norma hukum apapun memang tercipta dengan kondisi
yang selalu tidak lengkap. Oleh karena itu, dalam penerapannya untuk kasuskasuskonkrit di
pengadilan, norma atau kaidah hukum itu tidak jarang memunculkan berbagai persoalan yang
bermuara pada sulitnya mewujudkan keadilan substansial (substansial justice) bagi para
pencarinya. Betapa tidak, cara pandang hakim terhadap hukum seringkali amat kaku dan
normatif prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa
yang disebut keadilan hukum (legal justice) tapi gagal menangkap keadilan masyarakat
(social justice).Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam
putusan-putusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering disoroti karena sebagian besar
putusannya masih menunjukkan lebih kentalnya bau "formalisme prosedural" ketimbang
"kedekatan pada rasa keadilan masyarakat”.386
Salah satu keputusan dari Seminar Hukum Nasional III tahun 1974 menyarankan agar
setiap peraturan yang diadakan hendaknya didukung oleh penelitian. Maka menurut Sudarto,
jika hal tersebut termasuk pada pembentukan hukum pada umumnya, lebih perlu lagi
mendapat perhatian ialah pembentukan hukum pidana, karena hukum pidana menyangkut
nilai-nilai kehidupan manusia, tidak hanya mengenai hal-hal kebendaan belaka tetapi juga
mengenai diri pribadi, rasa dan kejiwaan seseorang, serta nilai-nilai kemasyarakatan pada
umumnya.387Hal senada diungkapkan oleh Padmo Wahjono, bahwa dalam membangun
hukum di Indonesia akan sangat tergantung pada pandangan hidup bangsa Indonesia yang
selanjutnya akan menentukan rambu-rambu filsafati di dalam pembentukan hukum tersebut. 388
Eksistensi Pancasila sebagai filsafat pemidanaan pada sistem hukum pidana di Indonesia,
menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan guna menciptakan keselarasan antara nilai-
nilai yang hidup di masyarakat dengan pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan. Bahwa
dianutnya filsafat pemidanaan yang ada saat ini, sebagaimana tertuang ke dalam berbagai
teori pemidanaan, pada realitanya tidak mampu menunjukkan kewibawaan hukum terhadap
calon pelaku tindak pidana.

386
Eko Wahyudi, “Peranan Politik Hukum dalam Pembangunan Hukum Progresif Sebagai Hukum yang
Pancasilais", Callfor Paper dan Seminar Nasional Fakultas Hukum UPNV, Jawa Timur, (28 Juni 2011), hlm.
299-300.
387
Sudarto, Hukum dan Hukum........ Op.cit., hlm. 35.
388
Muntoha, Op.cit., hlm. 82.
137
Dengan demikian, terkait dengan karakteristik konsep Negara Hukum Pancasila,
bahwa Pancasila sebagai ideologi, hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dicoba untuk
dipadukan dengan hukum sebagai cermin budaya masyarakat; upaya tersebut dilakukan untuk
memelihara dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law);
sekaligus melakukan positivisasi terhadap living law tersebut untuk mendorong dan
mengarahkan masyarakat pada perkembangan dan kemajuan yang sesuai dengan prinsip-
prinsip Pancasila389
Dengan bahasa yang sedikit berbeda, namun memiliki makna atau esensi yang sama,
sebagaimana ditegaskan oleh Moh. Mahfud MD, Indonesia tidak menganut konsep
rechsstaat atau ruleof law, melainkan membentuk suatu konsep negara hukum baru yaitu
negara hukum Pancasila yang merupakan kristalisasi pandangan dan falsafah hidup yang sarat
dengan nilai etika dan moral luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam
pembukaan UUD NRI 945 dan tersirat di dalam pasal-pasal UUD NRI 1945.390
Demikian pula dalam merumuskan politik hukum, setiap negara arus berpijak pada
sistem hukum yang dianut, yang bagi bangsa Indonesia adalah sistem hukum Pancasila.
Istilah sistem hukum Pancasila akhir-akhir ini memang tidak banyak dibahas dan dibicarakan,
padahal sistem hukum Pancasila adalah sistem yang berakar dari budaya bangsa sebagai
kaidah penuntun arah pembangunan hukum untuk mencapai tujuan nasional. Pancasila adalah
nilai-nilai dasar sebagai rambu-rambu pembangunan hukum nasional. Nilai-nilai dasar
tersebut melahirkan empat kaidah penuntun Politik Hukum yang harus dipedomani dalam
membentuk Sistem Hukum Nasional, yaitu sebagai berikut.391 Pertama, hukum nasional harus
dapat menjaga integrasi (keutuhan kesatuan) baik ideologi maupun teritori sesuai tujuan
"melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia". Harus dicegah munculnya
produk hukum yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa dan negara Indonsia. Kedua,
hukum nasional harus dibangun secara demokrasi dan nomokrasi dalam arti harus
mengundang partisipasi dan menyerap aspirasi masyarakat luas melalui prosedur-prosedur
dan mekanisme yang fair, transparan, dan akuntabel. Harus dicegah munculnya produk

389
Arief Hidayat dan Airlangga Surya Nagara, "Negara Hukum Pancasila (Suatu Model Ideal
Penyelenggaraan Negara Hukum)", Makalah disampaikan pada Semiloka Pendidikan Pancasila dan Konstitusi
2011 diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi Tahun 2011, hlm. 7.
390
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum ..... Op.cit., hlm. 23
391
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara .Op.cit., hlm. 50-51.; Penj: Di dalam bukunya,
Moh. Mahfud MD menjelaskan bahwa kaidah penuntun tersebut merupakan pijakan dasar yang dibentuk
berdasarkan Sistem Hukum Pancasila guna membentuk Politik Hukum atau pembangunan nasional. Dalam hal
ini, Saya berbeda pandangan dengan Beliau mengenai hal tersebut. Bagi Saya, Politik Hukumlah yang
memberikan landasan bagi terbentuknya suatu sistem Hukum Nasional. Namun demikian, Saya sepakat
mengenai isi dari materi kaidah penuntun tersebut hanya saja peruntukkannya untuk membentuk Sistem Hukum
Nasional, dan bukan membentuk Politik Hukum.

138
hukum yang diproses secara licik, kucing-kucingan, dan transaksi di tempat gelap. Ketiga,
hukum nasional harus mampu menciptakan keadilan sosial dalam arti harus mampu
memperpendek jurang antara yang kuat dan yang lemah serta memberi proteksi khusus
terhadap golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar
maupun dari dalam negeri sendiri. Tanpa proteksi khusus dari hukum, golongan yang lemah
pasti akan selalu kalah jika dilepaskan bersaing atau bertarung secara bebas dengan golongan
kuat. Keempat, hukum harus menjamin toleransi beragama yang berkeadaban antara
pemeluknya. Tidak boleh ada pengistimewaan perlakuan terhadap agama hanya karena
didasarkan pada besar dan kecilnya jumlah pemeluknya. Negara boleh mengatur kehidupan
beragama sebatas pada menjaga ketertiban agar tidak terjadi konflik serta memfasilitasi agar
setiap orang dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan bebas tanpa mengganggu atau
diganggu oleh oang lain. Hukum agama tidak perlu diberlakukan oleh negara sebab
pelaksanaan ajaran agama diserahkan kepada masing-masing pemeluknya. Tetapi, dalam hal
ini negara dapat memfasilitasi dan mengatur pelaksanaannya bagi pemeluk masingmasing
yang mau melaksanakan dengan kesadaran diri guna menjamin kebebasan dan menjaga
ketertiban dalam pelaksanaan tersebut.
Guna mengkaji permasalahan mendasar tersebut, selain berpijak pada Pancasila untuk
mencapai tujuan negara, juga harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat prinsip
rechtsidee (cita hukum), yakni:392
1. melindungi unsur-unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integration),
2. mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan,
3. mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi),
4. menciptakan toleransi atas dasar kemanusian dan berkeadaban dalam hidup beragama.
Adapun Bernard L. Tanya dalam membangun Politik Hukum berdasarkan Pancasila,
mengajukan postulat dalam bentuk delapan bingkai Pancasila, yang saya sarikan sebagai
berikut:393
1. semangat merawat Keindonesiaan;
2. semangat gentleman agreement;
3. lebens-philosophie (kehidupan bersama dalam bingkai keindonesiaan);
4. semangat penyelenggaraan segala yang benar, adil dan baik; 5. semangat merawat nilai-
nilai kemanusiaan;
6. semangat merawat persatuan Indonesia;

392
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum .........Op.cit, hlm. 18.
393
Bernard L. Tanya, Theodorus Yosep Parera dan Samuel F. Lena, Op.cit., hlm. 1-8.
139
7. semangat merawat kerakyatan atau kehidupan bernegara; dan 8. semangat merawat
kehidupan bermasyarakat.
Berkaitan dengan perdebatan mengenai pemidanaan dan tujuan yang hendak dicapai,
hukum pidana secara ideal terus menerus mengalami penjelajahan untuk terus mencari
ketajaman, baik secara sosiologis, politis, maupun filosofis untuk mencapai landasan bagi
penerapan sanksi, dari berbagai alternatif pemidanaan yang lebih adil, untuk tercapainya
keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia, dalam perspektif Pancasila. Patut dicermati
pandangan Syaiful Bakhri dalam hal mengekstraksi Pancasila ke dalam sistem hukum pidana
di Indonesia, yang menjelaskan sebagai berikut:394
Sila Pertama, sebagai kerangka ontologis yaitu manusia yang mengimani kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa, sehingga mempunyai pegangan untuk menentukan kebaikan
dan keburukan. Sila Kedua, memberikan kerangka normatif, karena berisi keharusan
untuk bertindak adil dan beradab. Sila Ketiga sebagai kerangka operasional, yakni
menggariskan batas-batas kepentingan individu, kepentingan negara dan bangsa. Sila
Keempat, tentang kehidupan bernegara, yakni pengendalian diri terhadap hukum,
konstitusi dan demokrasi. Sila Kelima, memberikan arah setiap individu untuk
menjunjung tinggi keadilan, bersama orang lain dan seluruh warga masyarakat.
Dalam konteks membentuk Politik Hukum dan Sistem Hukum bedasarkan Pancasila,
perlu pula disusun suatu konsep “perlindungan hukum". Konsep perlindungan hukum bagi
warga negara dalam suatu negara, berdasarkan pandangan Philipus M. Hadjon yang
menegaskan konsep perlindungan hukum dalam konteks Negara Hukum Pancasila-
hendaknya memiliki unsur-unsur yang sangat penting, yaitu antara lain:395
1. Terdapat keserasian hubungan antara rakyat berdasarkan kerukunan;
2. Adanya hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan negara;
3. Prinsip penyelesaian sengketa yang dilakukan secara musyawarah dan peradilan merupakan
sarana terakhir jika musyawarah gagal;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Mengacu dari pendapat Philipus M. Hadjon tersebut, maka pada prinsipnya, dalam
membangun dan membentuk filsafat pemidanaan yang akan diejawantahkan ke dalam sistem
pemidanaan, filsafat Pancasila hendaknya merupakan dasar dalam membentuk peraturan
perundang-undangan yang akan diberlakukan (ius contituendum) terkait dengan pemidanaan
sebagai bagian dari suatu sistem hukum pidana yang hendak diterapkan ke dalam masyarakat.

394
Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
(Yogyakarta: Total Media dan P3IH UMJ, 2010), hlm. 60.

395
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987),
hlm. 90.
140
Namun demikian, perwujudan nilai-nilai Pancasila ke dalam suatu peraturan perundang-
undangan, hendaknya pula tidak dianggap sebagai teks, kalimat, ataupun bahasa.
Pembentukan filsafat pemidanaan, yang berangkat dari pemahaman terhadap tujuan
pemidanaan, telah dimulai sejak masa ancien tregime, kemudian berkembang teori retributive
theory atau Teori Absolut (vergel dingstheorien), doeltheorien (Teori Tujuan/Relatif) atau
utility theory, vereningings theorien (Teori Gabungan) dan just desert theory; hingga dewasa
ini telah dikembangkan pula konsep restorative justice (Keadilan Restorasi). Sedangkan di
Indonesia sendiri, menjadi satu kajian yang menarik ketika Sahardjo, mantan Menteri
Kehakiman tahun 1963 mengemukakan ide mengenai Sistem Pemasyarakatan yang
merupakan pembaharuan hukum terhadap pidana penjara. Sahardjo menegaskan bahwa
terpidana adalah orang-orang tersesat serta perlu dilindungi, dibina dan dijadikan orang
berguna bahkan menjadi aktif dan produktif di masyarakat. Falsafah pemasyarakatan dari
Sahardjo menghendaki agar negara benar-benar melindungi orang hukuman selama
menjalani pidana. 396
Dalam hal ini, Sahardjo melakukan modifikasi dari Teori Retributif Teleologis (Teori
Gabungan/verenigings theorien) bahwa fungsi pemidanaan tidak lagi menekankan kepada
unsur balas dendam semata, melainkan penjeraan dengan cara rehabilitasi dan reintegrasi
sosial; dalam hal ini narapidana bukanlah objek melainkan merupakan397 Amanah Kongres
PBB I di Tokyo pada Tahun 1955 tentang The Prevention of Crime and The Treatment of
Offender yang menghasilkan Standar Minimum Rules for The Treatment of Offenders 398,
menurut Mardjono Reksodiputro, telah dibawa oleh Sahardjo ke Indonesia.
Menyambut ide Sistem Pemasyarakatan Sahardjo399, Pemerintah menuangkan ke dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, namun sebelumnya ide
sistem pemasyarakatan telah diadopsi melalui Keputusan Menteri Kehakiman Nomor
M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan.
Namun di dalam pelaksanaannya, jika berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan dari 33
Kanwil Provinsi, 28 di antaranya mengalami over capacity tahanan atau narapidana. Tempat
penahanan yang secara khusus dinyatakan sebagai rumah tahanan negara masih tetap

396
Petrus Irawan Panjaitan & Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo Mengenai
Pemasyarakatan Narapidana, (Jakarta: IND HILL CO, 2008), hlm. 1.
397
Petrus Irawan Panjaitan & Chairijah, Pidana Penjara dalam Perspektif Penegak Hukum, Masyarakat
dan Narapidana, (Jakarta: ÍND HILL CO, 2008), hlm. 2.
398
Petrus Irawan Panjaitan & Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, (Jakarta: IND HILL CO,
2007), hlm. 94
399
DR. Sahardjo mengutarakan ide Sistem Pemasyarakatan pada Pidato penganugrahan gelar Doctor
Honoris Causa Ilmu Hukum pada 5 Juli 1963, dengan judul: "Pohon Beringin Pengayom Hukum
Pancasila/Manipol Usdek", di Fakultas Hukum & Ilmu Kemasyarakatan Universitas Indonesia. Lihat: Petrus
Irawan Panjaitan & Samuel Kikilaitety, Loc.cit.

141
jumlahnya yaitu sebanyak 264; jumlah tersebut mengalami penurunan dari sebelumnya
sebanyak 291 rumah tahanan. Rumah tahanan tidak bertambah, justru narapidana yang
bertambah. Sejak tahun 2007 ada 86.550 narapidana, pada tahun 2013 meningkat menjadi
108.143 narapidana. Lapas Bengkulu dihuni 138.000 warga binaan, Lapas Teluk Dalam
dihuni 2.195 warga binaan dengan kapasitas 366 orang, Lapas Gorontalo dihuni 643 Warga
Binaan dengan kapasitas 330 orang, Lapas Medan dihuni sebanyak 3.000 Warga Binaan
dengan kapasitas 1.000 orang, Lapas Gayo Lues dihuni 93 Warga Binaan dengan kapasitas 65
orang, Lapas Blangkejeren dihuni 130 Warga Binaan dengan kapasitas 65 orang, Lapas
Pangkalan Bun dihuni 550 Warga Binaan dengan kapasitas 280 orang, Lapas dan Rutan di
Provinsi Lampung dihuni sebanyak 5.700 Warga Binaan dengan kapasitas 3.100 orang, Lapas
Paledang Bogor dihuni sebanyak 1.039 Warga Binaan dengan kapasitas 634 orang,
LapasCipinang dihuni sebanyak 3213 Warga Binaan dengan kapasitas 1300 orang,
LapasMedaeng Jawa Timur dihuni sebanyak 1.542 Warga Binaan dengan kapasitas 504
orang, Lapas Kelas IIB Banyuwangi dihuni 842 Warga Binaan dengan kapasitas 260 orang,
Lapas Kelas IIB Nyomplong Kota Sukabumi dihuni sebanyak 403 Warga Binaan dengan
kapasitas sebanyak 200 orang, kapasitas hunian Lapas dan Rutan di Jawa Barat 15.217 orang,
sehingga terjadi over kapasitas sebesar 2.957 orang atau 19,43%, antara lain di Lapas Bekasi,
Karawang, Cibinong, Bogor, Subang, Bandung, Cirebon, Tasikmalaya dengan tingkat
kepadatan 75% sampai 250%, Lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di seluruh Riau
mengalami over kapasitas mencapai 5.836 orang atau sebayak 288 persen yang terdiri dari 14
rutan dan lapas serta rutan cabang di seluruh Riau. Kapasitas tahanan 3101 orang, sedangkan
tahanan mencapai 8937 orang400. Data tersebut baru sebahagian yang saya tampilkan pada
penulisan ini.
Dampak dari fenomena overcapacity tersebut adalah penambahan biaya makan para
Warga Binaan. Biaya makan yang dikeluarkan negara bagi para narapidana mencapai Rp2,4
triliun dalam setahun. Hitungannya, uang makan Rp15.500 ribu orang per hari, serta
penambahan bangunan Lapas dan Rutan baru guna mengatasi overcapacity tersebut.
Walaupun merupakan solusi, namun bagi saya wacana penambahan LAPAS dan Rutan baru
bukanlah solusi yang tepat dan tidak menyentuh akar permasalahan dalam Hukum Pidana dan
sosial di Indonesia.401
Fenomena tersebut berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Belanda, yang
notabene adalah negara yang “memaksakan" paradigma Hukum Pidananya di Indonesia

400
Rocky Marbun, “Konsep Diyat Sebagai Alternatif Pemidanaan dalam Sistem Peradilan Pidana untuk
Mengatasi Fenomena Overcapacity Lembaga Pemasyarakatan", Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol.6, No.2,Juli
2017, hlm. 191-192.
401
Ibid., hlm. 193.
142
melalui kolonialisme. Di Belanda dalam setiap tahun terjadi penurunan angka kejahatan
sebanyak 0,9% sehingga pada tahun 2016 Belanda terpaksa menutup lima Lapasnya, yang
berakibat kepada pemecatan terhadap 1.900 karyawan Lapas. Bagaikan "lelucon", terdapat
dua fenomena. Pertama,
Belanda mencoba mencari solusi terhadap PHK tersebut dengan cara menyewakan
LapasLapas yang kosong kepada Belgia dan Norwegia. Kedua, salah satu penjara paling keras
di Belanda, HetArresthuis, di Roermond, dekat perbatasan dengan Jerman, kini malah sudah
berubah, bentuk. Bangunan yang dulu sangat ditakuti itu kini sudah diubah menjadi hotel
mewah. Kementerian Hukum Belanda menjelaskan bahwa sistem hukum Belanda lebih fokus
untuk tidak mendakwa kejahatan yang tak menyebabkan korban, rehabilitasi, vonis pendek,
program keterampilan, dan pembauran kembali dengan masyarakat.402
Dua fenomena dari dua negara yang memiliki akar sistem hukum, yang sama, namun
memiliki budaya berhukum yang berbeda, nampak jelas perbedaannya. Indonesia, sebagai
negara yang menolak disebut sebagai negara sekuler walaupun tidak dapat dikatakan negara
agama, oleh karena mencantumkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, justru menampilkan
budaya berhukum yang jauh dari sila-sila Pancasila tersebut. Sehingga, masuknya konsep
restorativejustice ke dalam sistem hukum pidana di Indonesia, yang dinormatifkan melalui
UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (untuk selanjutnya
disebut "UU No. 11/2012”), cukup menimbulkan pertanyaan yang mendasar. Apakah
restorativejustice merupakan filsafat dan teori pemidanaan masa depan bagi Indonesia?
Apakah sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sebagaimana termuat di dalam sila-sila pada
Pancasila?
Konsep Restorative Justice, secara normatif diatur dalam UU No. 11/2012, menjelaskan
bahwa restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.403Jika kita sandingkan dengan pendapat Dominikus Rato
terkait dengan pidana adat, Beliau menjelaskan sebagai berikut:404

402
lbid.
403
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332,
Pasal 1 angka 6.
404
Dominikus Rato, “Hermeneutika Hukum Adat: Memahami Istilah Keseimbangan Kosmis dalam
Hukum Adat Delik”, Makalah Panel yang dipresentasikan pada Konferensi Nasional Ke-3 Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia (AFHI) dengan tema: "Melampaui Perdebatan Positivisme Dan Teori Hukum Kodrat" yang
diselenggarakan oleh AFHI, EpistemaInstitue, dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, (27-28
Agustus 2013), hlm. 1.
143
Jika kita membaca buku-buku hukum pidana adat atau hukum adat delik di sana
dikatakan bahwa tujuan pemberian sanksi dalam hukum pidana adat adalah
mengembalikan keseimbangan kosmis. Pelajaran ini membawa kita pada suatu
pertanyaan yang membutuhkan kajian mendalam secara filosofis yaitu pengertian
“mengembalikan keseimbangan kosmis." Di mana upaya 'mengembalikan
keseimbangan kosmis' atau 'mengembalikan ketentraman magis' yaitu: penggantian
kerugian-kerugian immaterial dalam berbagai bentuk seperti paksaan kepada seorang
laki-laki untuk menikahi gadis yang telah dicemari/ dihamili ; membayar uang adat
kepada yang terkena berupa benda sakti (keris, tombak pusaka, pedang pusaka, dan
sebagainya) sebagai pengganti kerugian rohani; selamatan (ritual) bersih desa;
membayar denda penutup malu; hukuman badan mulai dari pecut hingga hukuman
mati; dan pengasingan.
Kritikan tajam diutarakan pula oleh Romli Atmasasmita terkait kajian terhadap fungsi
dan peranan hukum pidana Indonesia. Beliau berpendapat bahwa telah terjadi kekeliruan pola
pikir mengenai fungsi dan peranan hukum di kalangan ahli hukum pidana. Pertama,
penerapan hukum pidana harus selalu berakhir dengan penghukuman dan pemenjaraan.
Kedua, dalam kejahatan serius, fungsi dan tujuan retributif harus dilipatgandakan daripada
kejahatan ringan; dan bahkan prinsip ultimum remedium harus dikesampingkan. Pola pikir
tersebut terbukti dalam praktik tidak memberikan kontribusi maksimal terhadap perbaikan
iklim penyelenggaraan negara sampai saat ini.405
Sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa perumusan sanksi pidana pada prinsipnya
sangat berkaitan erat dengan tujuan dari pemidanaan yang didasarkan pada filsafat Pancasila.
Dalam hal ini, patut dicermati pendapat dari JE. Sahetapy yang menyatakan bahwa tujuan
pemidanaan yang berorientasi kepada pandangan filosofis Pancasila sebaiknya bertujuan
pembebasan. Dijelaskan selanjutnya bahwa makna pembebasan menghendaki agar si pelaku
bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus
pula dibebaskan dari kenyataan sosial tempat dia terbelenggu. Dalam pengertian pembebasan
seperti diutarakan oleh JE. Sahetapy tersebut, menurut Djoko Prakoso, juga tersimpulkan
makna filsafat pembinaan menurut Pancasila, yaitu dibina sedemikian rupa sehingga si
pembuat terbebas dari alam pikiran jahat dan terbebas dari kenyataan sosial yang
membelenggunya. 406
Berdasarkan hal tersebut, maka penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana
merupakan upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk ke dalam kebijakan penegakan
hukum. Di samping itu, karena tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum ini pun termasuk dalam bidang kebijakan

405
Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Kejahatan Bisnis...Op.cit., hlm. 154.
406
Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktik Peradilan, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984), hlm. 34.
144
sosial, yaitu segala usaha yang regional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai
suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan (hukum) pidana
sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Artinya, tidak ada absolutisme dalam bidang
kebijakan karena pada hakikatnya, dalam masalah kebijakan, orang dihadapkan pada masalah
penilaian dan pemilihan berbagai macam alternatif.407
Apabila dikaitkan dengan karakteristik Negara Hukum Pancasila, sebagaimana
diungkapkan oleh Philipus M. Hadjon, maka penyelesaian sengketa dilakukan secara
musyawarah, peradilan merupakan sarana terakhir jika musyawarah gagal. 408 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pemidanaan berdasarkan filsafat Pancasila adalah penerapan asas
ultimumremedium ke dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Oleh karena itu, setiap
hukum yang tidak mencerminkan aspek-aspek falsafah Pancasila, adalah bukan Hukum yang
baik karena tidak mencerminkan nilai-nilai kehidupan yang berkembang dalam
masyarakatnya.409
Pencarian nilai dasar tersebut adalah dalam rangka menemukan makna aksiologis
(hakikat nilai) dari Pancasila. Notonagoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong
dalam nilai-nilai kerohanian, yakni nilai-nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai
material dan nilai vital. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila yang tergolong nilai
kerohanian itu juga mengandung nilai keindahan nilai atau nilai estetis, nilai kebaikan atau
nilai moral, maupun kekudusan atau nilai religius. Hal ini dapat terlihat pada susunan sila-sila
Pancasila yang sistematik-hirarkhis, yang dimulai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai "dasar" sampai sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai "tujuan".410
Pancasila sebagai philosophie grondlags dari Bangsa Indonesia tentunya memiliki view
yang berbeda dalam memandang seorang manusia Indonesia, bahkan manusia pada
umumnya. Perlu diakui bahwa kemuncullan Pancasila tidak dalam kenihilan, melainkan
mendapat pengaruh dari berbagai macam pemikiran. Namun demikian, sebagai bagian dari
filsafat timur, posisi intuisi dalam metode pemahaman terhadap sifat kemanusiaan menjadikan
Pancasila sebagai suatu model falsafah yang bersifat filosofis-dogmatis-teologis.
Sebagai suatu filsafat, Pancasila memiliki objek kajiannya yakni Manusia Indonesia.
Ketika berbicara mengenai pandangan Pancasila terhadap Manusia Indonesia, maka

407
lbid., hlm. 31.
408
Kresna Menon, "Ketentuan Pidana Minimum Khusus Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan dengan
Kemandirian Hakim dalam Penegakan Hukum dan Keadilan", Ringkasan Disertasi, Program Doktor Ilmu
Hukum Program Pascasarjana, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, (2014), hlm. 5.

409
Romli Atmasasmita, "Beberapa Catatan Atas RUU KUHP Tahun 2012", Makalah dipresentasikan
dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 (SPHN 2013) dengan tema: "Arah Pembangunan
Hukum Pidana Nasional", diadakan di Hotel Bidakara, (26-27 November 2013), hlm. 5.
410
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit., hlm. 107.
145
hakikatnya tidak akan terlepas dari pendapat Notonagoro yang menjelaskan bahwa Manusia
Indonesia adalah makhluk monopluralis: pertama, berdasarkan kedudukan kodrat, Manusia
Indonesia terdiri dari makhluk pribadi yang berdiri sendiri sekaligus sebagai makhluk Tuhan;
kedua, berdasarkan susunan kodrat, Manusia Indonesia terdiri dari unsur raga dan unsur
jiwa; ketiga, berdasarkan sifat kodratnya, Manusia Indonesia terdiri dari unsur individual dan
unsur sosial.411
Pandangan Hidup Pancasila sebagai paradigma berpangkal pada keyakinan bahwa alam
semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya merupakan suatu keseluruhan yang terjalin
secara harmonis, diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Begitu pun manusia, diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Manusia berasal dari Tuhan dan tujuan akhir dari kehidupannya
adalah untuk kembali kepada sumber asalnya. Karena itu, bertaqwa dan mengabdi kepada
Tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar, yang sudah dengan sendirinya harus begitu.
Manusia diciptakan Tuhan dengan kodrat sebagai mahluk bermasyarakat. Artinya, kehadiran
manusia di dunia dikodratkan dalam kebersamaan dengan sesamanya. Dalam
kebersamaannya itu, tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang membedakan yang
satu dari yang lain. Keseluruhan pribadi-pribadi dengan keunikannya masing-masing
mewujudkan satu kesatuan, yakni kemanusiaan. Dalam masing-masing pribadi yang unik itu
terdapat atau terjelma kemanusiaan. Karena itu, kehadiran manusia dalam kebersamaannya
memperlihatkan kodrat adanya kesatuan atau kesamaan, yakni kemanusiaan dalam pribadi-
pribadi yang unik, yang berbeda; kesatuan dalam perbedaan. Sebaliknya, kebersamaan itu
memperlihatkan kodrat kepribadian yang unik, yakni perbedaan-perbedaan, di dalam kesatuan
kemanusiaan; perbedaan dalam kesatuan. Dalam Lambang Negara Republik Indonesia, kodrat
itu dirumuskan dalam seloka Bhinneka Tunggal Ika.412
Notonagoro, menggunakan teori causalis, menyatakan bahwa keberadaan Pancasila
bagi bangsa Indonesia dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Causa materialis
Pancasila adalah adat kebiasaan, kebudayaan, dan agama bangsa Indonesia. Causa formalis-
nya adalah formulasi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Causa finalis
adalah dasar negara. Adapun causa efficien Pancasila adalah dasar filsafat negara.
Berdasarkan teori causalis itu pula, dalam analisis ilmiah tentang hakikat dan hubungan antara
Tuhan Yang Maha Esa dengan manusia, Notonagoro berkesimpulan bahwa Tuhan Yang
Maha Esa merupakan causa prima, motor immobilis, sangkan paraningdumadi; sementara itu
hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa tersusun monopluralis, sarwa
tunggal (jiwa tubuh, individu-sosial, laki-perempuan, dan sebagainya) yang dalam

411
Notonagoro, Pancasila Ilmiah Populer, (Jakarta: CV. PantjuranTudjuh, 1971), hlm. 94-105.
412
Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum........Op.cit, hlm. 2.
146
keseluruhan dan keutuhannya beraktivitas dalam rangka pemenuhan kebutuhan
kemanusiaannya yang mengarah pada kesempurnaan (absolut, mutlak).413 Sehingga, menurut
Roeslan Abdoelgani, dalam Pancasila tercapailah keseimbangan nilai rohaniah dan
jasmaniah dari manusia Indonesia.414
Cara berpikir seperti demikian, tentunya akan merupakan hal asing bagi ilmuwan hukum
saat ini. Terhadap hal tersebut, Bernard Arief Sidharta menegaskan bahwa titik tolak
pandangan hidup bangsa Indonesia adalah keyakinan bahwa manusia itu diciptakan dalam
kebersamaan dengan sesamanya; individu dan kesatuan pergaulan hidupnya (masyarakat)
merupakan suatu kedwitunggalan. Jadi kebersamaan dengan sesamanya atau pergaulan hidup
itu adalah unsur hakiki dalam eksistensi manusia. Unsur raga, rasa, dan rasio bersama-sama
mewujudkan aspek individualisme dari manusia, dan unsur rukun mewujudkan aspek
sosialitas dari manusia; aspek individualisme dan aspek sosialitas tersebut merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya.415
Asas kerukunan atau "rukun”, menurut Soediman Kartodiprodjo, merupakan alat
pelengkap bagi manusia, selain Raga, Rasa, dan Rasio, dalam kehidupan berkelompok, dan
tidak sebagai makhluk yang terpisah satu sama lain, dan kemudian, karena sesuatu hal ingin
hidup bersama, berdasarkan Asas Kekeluargaan yang merupakan inti jiwa dari Pancasila.
Dalam konteks Asas Kerukunan tersebut maka, dikarenakan hidup berkelompok itu baru ada
manfaatnya kalau hidup dengan Rukun, alat perlengkapan manusia ini hendak dinamakan
Unsur Rukun dalam kehidupan manusia. Dengan demikian maka manusia itu terdiri dari
empat unsur, yakni: Raga, Rasa, Rasio, dan Rukun. Dengan Asas Kerukunan inilah manusia
akan mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya. Kalau manusia Indonesia melihat tujuan
hidup manusia adalah hidup bahagia seperti dibentangkan tadi, maka dibutuhkan cara atau
jalan untuk sampai pada hidup bahagia itu, jalan untuk mempergunakan alat-alat
perlengkapan hidupnya sebaik-baiknya, ialah cara musyawarah, cara mufakat. Cara
musyawarah atau mufakat ini merupakan cara memperoleh kebahagiaan mengandung arti
diakui adanya atau mungkin adanya perbedaan antara manusia yang hidup berkelompok itu
dalam mencari jalan yang menuju ke hidup bahagia tadi. Mengakui adanya perbedaan berarti
mengakui adanya perbedaan dalam kepribadian masing-masing manusia yang berkelompok
itu. Dan dengan tidak menyatakan salah seorang jadi pendapat salah seorang itu akan
menguasai (pendapat) orangorang lainnya, melainkan harus diadakan muyawarah, mufakat.

413
Sudjito, Op.cit., hlm. 5.
414
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila. Pendekatan melalui Metafisika, Logika dan Etika, (Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya, 1995), hlm. hlm. 51.
415
Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur..........Op.cit., hlm. 173-174.
147
Dengan demikian, menurut pemikiran Bangsa Indonesia, kepribadian individu tidak saja
diakui tetapi juga dilindungi.416
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia telah dirumuskan secara padat dalam bentuk
kesatuan rangkaian lima sila yang dinamakan Pancasila. Dengan sadar dan sengaja Pancasila
itu ditempatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan kefilsafatan
yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuanketentuan yang tercantum dalam undang-
undang dasar itu. Dengan demikian, maka Pancasila melandasi dan (seharusnya) menjiwai
kehidupan kenegaraan di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan melaksanakan politik
hukumnya. Karena itu, penyusunan dan penerapan Tata Hukum di Indonesia sejak berlakunya
undangundang dasar itu tadi harus dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila. 417Lebih lanjut
dijelaskan bahwa nilai-nilai (values) yang bersumber pada pandangan hidup Pancasila yang
memuat utuh kelima sila-nya, lebih penting, bermakna dan seharusnya diutamakan/
didahulukan baik dalam proses pembentukan perundang-undangan maupun dalam penegakan
hukum. Oleh karena itu, menurut saya, setiap pengaruh yang memengaruhi sistem
pemidanaan di Indonesia hendaknya melalui proses filterisasi dalam bangunan nilai, asas, dan
norma yang terkandung di dalam Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Penyaringan tersebut termasuk kepada infiltrasi prinsip-prinsip hukum yang bersifat
universal. Bahwa prinsip-prinsip hukum yang bersifat universal tidak dapat secara serta merta
berlaku kepada suatu negara. Dengan demikian, jelas bahwa pemberlakuan suatu hukum,
sangat bergantung pada suasana kebatinan (filosofi) yang menaungi suatu bangsa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, falsafah pemidanaan dalam kerangka Sistem
Hukum Pidana di Indonesia, perancangannya berpedoman pada Politik Hukum Pidana yang
dinuansai oleh Paradigma Hukum Pancasila. Pandangan-pandangan para ahli filsuf dan ahli
hukum di Indonesia, sebagimana kita tahu, memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan
pandangan yang selama ini ditumbuhkembangkan. Dalam hal pemidanaan, Paradigma Hukum
Pancasila melakukan elaborasi antara kepentingan korban, masyarakat, dan pelaku.
Pemidanaan terhadap pelaku, dalam konteks Paradigma Hukum Pancasila, bukanlah
merupakan hal yang bersifat primer (utama) namun yang harus diutamakan adalah
menciptakan kedamaian dalam masyarakat
Terpenuhinya kepentingan-kepentingan tersebut tidaklah mungkin diakomodasi oleh
suatu peraturan perundang-undangan, mengingat sifatnya yang kaku, terbatas, dan abstrak.
416
Achmad Suhardi Kartodiprodjo, et.al, Prof Mr. SoedirmanKartodiprodjo tentang Pancasila Sebagai
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (unpublished), (Bandung/Jakarta: tanpa penerbit, 2009), hlm. 57-60.
417
Bernard Arief Sidharta, Revitasi Pemikiran Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo tentang Pancasila
Berkaitan dengan Pengembangan Tatanan Hukum Nasional Indonesia, Oratio Dies Fakultas Hukum
Universitas Parahyangan, Bandung, (17 Oktober 2009), hlm. 13.

148
Walaupun tidak mungkin ditinggalkan, oleh karena Ilmu Hukum memiliki sifat normatif-
preskriptif, namun dapatlah berfungsi sebagai pijakan awal dalam melakukan proses penilaian
terhadap perbuatan serta proses menimbang-nimbang atau penyelarasan kepentingan.
Sehingga, pencapaian suatu kebenaran dalam Ilmu Hukum berbasis Paradigma Hukum
Pancasila mensyaratkan suatu tindakan dialogis dengan memfokuskan kepada pencapaian
kepentingan bersama. Oleh karena itu, tujuan utama dari Paradigma Hukum Pancasila bukan
hanya sekedar mencapai keadilan semata, namun juga mencapai kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pengembalian kondisi masyarakat kepada keadaan
semula (restitutio in integrum) merupakan tujuan yang utama dalam Paradigma Hukum
Pancasila.
Dengan demikian, pengakuan dan penghormatan terhadap Pancasila sebagai suatu
landasan kefilsafatan dalam Ilmu Hukum merupakan suatu proses penyadaran kepada setiap
orang bahwa rasionalitas bukanlah segala-galanya. Saya sependapat dengan Shidarta yang
menjelaskan adanya bagian-bagian dari hukum yang tidak sepenuhnya terungkap oleh rasio
manusia (eternal law), jelas bahwa rasio bukan andalan dalam memahami standard regulatif
yang diletakan oleh Aliran Hukum Kodrat. Oleh karena itu dapat disimpulkan, ada instrumen
lain yang cara kerjanya lebih 'tinggi' daripada rasio.418

418
Khudzaifah Dimyati, Pemikiran Hukum. Konstruksi Eppistemologis Berbasis Budaya Hukum
Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2014), hlm. 26-27.

149
Bab 6
SIMPULAN

Jika kita perhatikan sebaran sistem hukum di negara mana pun, maka hampir bisa
dipastikan merupakan "oleh-oleh” dari masa kolonialisme. Demi kepentingan kolonial, maka
sistem hukum negara asal akan sudah bisa dipastikan diterapkan pada negara jajahannya.
Selain karena imperialisme tersebut, globalisasi perekonomian juga membawa pengaruh pada
terjadinya globalisasi hukum, baik berupa konvensi internasional maupun perjanjian-
perjanjian yang bersifat bilateral ataupun multilateral.
Kondisi tersebut juga melanda Indonesia, sebagai negara bekas jajahan Belanda,
berdasarkan Asas Konkordansi, sistem hukum kolonial dipaksakan untuk diterapkan ke dalam
kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Walaupun tidak dapat dipungkiri asas tersebut
merupakan suatu asas yang sangat membantu the founding father dalam membentuk sistem
hukum yang ada saat ini. Suatu kajian kekinian bahkan mengidentifikasi beberapa kelemahan
yang menjadi dasar ataupun alasan mengapa the founding father mengacu pada asas
konkordansi tersebut, yakni sumber daya manusia yang paham dengan baik terhadap ilmu
hukum masihlah sangat sedikit. Lagi pula, tidak semua Sarjana Hukum, masa itu, mampu
melakukan ekstraksi nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi norma-norma
yang dibakukan.
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi bangsa, selama ini selalu disebarluaskan
berdasarkan konsep doktrinisasi yang dikehendaki oleh penguasa. Sehingga, sebagai sesuatu
yang dipaksakan sudah tentu akan memunculkan resistensi. Pancasila tidak pernah
disebarluaskan dan dikaji sebagai suatu ilmu pengetahuan, oleh sebab itu, tidak pernah
dimunculkan nilai-nilai yang bersifat ilmiah. Hal ini tentunya tidak menjadi hal yang menarik
untuk dikaji dalam lingkungan akademik, misalnya di fakultas-fakultas hukum.
Pembangunan hukum nasional pada masa reformasi, menurut saya telah kehilangan
arahnya, visi dan misinya tidak jelas, sangat didominasi oleh berbagai kepentingan ekonomi
dan peningkatan finansial oknum-oknum tertentu. Tidak selamanya reformasi menghasilkan
buah yang baik, sebagai contoh, suatu produk politik yang dapat dianggap sebagai "payung"
bagi arah pembangunan hukum nasional adalah adanya Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Secara ideal, arah tujuan bernegara telah dipaparkan di dalam setiap GBHN;
walaupun kita ketahui bersama zero implementation, namun tetap memiliki guidance.
Berbeda halnya dengan dewasa ini, yang sama sekali tidak memiliki guidance hendak dibawa
ke mana pembangunan hukum nasional kita. Oleh karena itu, menjadi wajar, jika politik

150
hukum pidana dan sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia saat ini bukanlah
merupakan cerminan konkrit dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Karena nilai-nilai yang
terkandung dalam politik hukum pidana dan sistem hukum pidana saat ini adalah nilai-nilai
yang dipaksakan untuk dipelajari dan diterapkan ke dalam masyarakat. Sistem nilai-nilai
kekeluargaan yang dianut dan hidup selama bertahun-tahun menjadi tergerus dengan sistem
nilai individualistik dari sistem nilai kolonial yang dipaksakan berlaku bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Penyusunan RUU KUHAP dan RUU KUHP, yang hingga saat ini masih terus berada
dalam level perumusan dan perancangan di DPR bersama Pemerintah, memberikan kesan
main-main dan tidak serius. Penolakan-penolakan terhadap masuknya nilai-nilai yang hidup
dan berkembang di dalam masyarakat yang kemudian dicoba untuk diakomodasi ke dalam
RUU KUHAP dan RUU KUHP selalu mendapat pertentangan, bahkan selalu dikaitkan
dengan isu-isu
SARA, khususnya pada delik-delik kesusilaan, dan letak geografis Indonesia, khususnya
pada kemunculan Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau Hakim Komisaris. Resistensi tersebut
tak jarang pula dikaitkan dengan adanya keinginan upaya menerapkan nilai-nilai Indonesia
secara murni, sehingga menolak adanya irisan dengan sistem hukum asing.
Para pengkritisi lupa bahwa makna suatu sistem sebagai sesuatu yang bersifat terbuka
menjadi sejalan dengan Pancasila sebagai suatu falsafah bangsa yang bersifat open system
dengan menggunakan pendekatan prismatik dan eklektis-inkorporasi terhadap Negara Hukum
Indonesia.

151
Index

A
AB 1, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 21, 22, 24, 27, 29, 30, 31, 33, 34, 37, 38, 39,
40, 41, 42, 44, 45, 46, 47, 49, 50, 51, 52, 53, 55, 57, 60, 61, 62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70,
72, 73, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 84, 85, 86, 87, 88, 90, 91, 93, 95, 97, 98, 99, 100,
101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 116, 117, 118, 119, 121,
122, 123, 124, 125, 126, 129, 130, 132, 133, 134, 136, 139, 140, 141, 143, 144, 145, 146,
147, 148, 150 151, 152, 153, 154, 155, 157, 158, 160, 161, 163, 164, 165, 166, 167, 172,
173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 184, 185, 186
Abad 67, 68, 69, 72, 73, 76, 91, 93, 112, 125, 144, 146, 164
Absolutisme 3, 75, 161, 179
Adigama 82
Adil 1, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 28, 30, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 53, 56, 57, 59, 60,
63, 64, 67, 68, 69, 71, 72, 74, 75, 77, 84, 85, 88, 97,98, 99, 105, 106, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 126, 134, 136, 137, 139, 143, 144, 146, 147, 154, 155, 156, 157, 158,
160, 162, 163, 164, 166, 167, 168, 169, 170, 172, 173, 174, 176, 177, 178, 179, 180, 184
Ajaran legisme 14, 133
Aliran 12, 13, 15, 17, 53, 66, 67, 80, 111, 112, 117
Ancientregime 158, 162, 174
Andi Hamzah 27, 133, 160, 161
Anselm von Feuerbach 158, 159, 160
Anthropological Jurisprudence 13
Aparat Penegak Hukum (APH) 125, 167, 168
Aparatur Hukum 100, 141
Aristoteles 13, 143, 144
Asas 4,5,8, 18, 38, 51, 60, 62, 71, 80, 92, 106, 122, 129, 131, 133, 136, 138, 143, 158, 159,
160, 162, 164, 182, 185
asas 7, 8, 13, 18, 28, 36, 38, 44, 45, 46, 47,50,51, 55, 56, 59, 61, 63, 67, 82, 86, 88, 92, 94, 95,
96, 99, 102, 109, 110, 125, 128, 130, 131, 132, 133, 134, 137, 138, 139, 143, 146, 147,
149, 157, 159, 160, 161, 162, 165, 169, 178, 179, 183, 185
Asas Legalitas 18, 158, 160, 162
Asas oportunitas 161
Aturan Peralihan 94, 120, 133, 151

152
B
Bachsan Mustafa 49, 51, 143, 146
Bagir Manan 1, 25, 27, 28, 85, 139, 144
Barda Nawawi Arief 4, 7, 10, 17, 35, 36, 37, 39, 41, 42, 45, 123, 124, 131, 136, 138, 160
Belanda 14, 21, 30, 35, 48, 73, 79, 80, 81, 83, 84, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 101,
102, 116, 120, 122, 125, 133, 139, 157, 168, 169, 176, 177, 185
Bernard Arief Sidharta 28, 44, 60, 62, 63, 101, 128, 130, 131, 133, 134, 163, 165, 166, 181,
182, 183, 184
Bernard L. Tanya 128, 172, 173
Bestuur 85, 147
Bhinneka Tunggal Ika 134, 181
Brian Z. Tamanaha 13
Budaya hukum 9, 10, 40, 59, 63, 77, 79, 131, 132, 136

C
Carlvon Savigny 13
Causaefficien 181
Causafinalis 181
Causa materialis 181
CesareBeccaria 158
CFG. Sunaryati Hartono 12, 50, 59, 87, 91, 100, 120, 123, 126, 129
Civillaw 14, 19, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74, 78, 79, 96, 125, 147, 154, 156, 158, 167
Commonlaw 19, 64, 65, 68, 69, 70, 71, 74, 78, 102, 156
CorpusIuris Civilis 66, 156

D
Demokrasi 4, 5, 14, 43, 69, 171
Denis Lloyd 157
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 149
Diskresi 161 Djoko Prakoso 179 Doel theorien 174
Darji Darmodiharjo 129, 135, 165, 166, 167, 181
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 7, 20, 149
Dominikus Rato 177, 178

153
E
Ekletis-inkorporasi 165
Eksekutif 19, 85, 134, 144, 145
Epistemologi 166
Etika 4, 7, 9, 15, 28, 29, 45, 55, 70, 83, 101, 102, 111, 112, 126, 144, 156, 171, 174, 180
EugenEhrlich 13
Euphoria 131

F
Filsafat 12, 14, 22, 28, 31, 32, 33, 43, 44, 55, 61, 64, 129, 134, 135, 141, 158, 159, 163, 164,
165, 177, 181, 183
Filsafat Hukum 12, 14, 22, 28, 31, 32, 33, 43, 44, 55, 61, 64, 129, 134, 135, 141, 159, 163,
177, 181
Francis Bacon 159

G
G.E. Mulder 160
GBHN 44, 95, 97, 98, 99, 133, 136, 137, 186
Goodnow 147
Grotius 13

H
Habeas CorpusAct 108
Hak ulayat 134
Hans Kelsen 13, 111, 112, 113, 115, 134, 135
Harkristuti Harkrisnowo 102, 134
Hegemoni 19, 103, 104, 115, 125, 168
Hikmahanto Juwana 26, 150
Historical jurisprudence 13
Hood Philips 150
Hooggerechtshof 126
Hukum 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49, 50, 51, 52,
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 75, 77, 78,
79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 98, 100, 101, 104, 105,
154
108, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127,
128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 143, 144, 146, 147,
148, 149, 150, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166,
167, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 183, 184, 185, 187
Hukum adat 14, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 90, 91, 101, 117, 125, 126, 132, 133, 137, 178
Hukum Alam 12

I
Immanuel Kant 143, 144, 146, 157
Ismail Saleh 140
Iuscontituendum 174
Ivor Jennings 148
Ideologi 65, 165, 171, 186

J
J.J. Rousseau 145, 158, 159
JE. Sahetapy 94, 178, 179
Jeremy Bentham 13, 73, 76, 77
Jerman 66, 67, 68, 79, 90, 93, 96, 148, 158, 177
Jimly Asshiddiqie 91, 93, 144, 146, 147, 148, 150, 151
John Locke 143, 144, 145, 146, 158, 159
Justdesert theory 134, 174

K
Kaidah 10, 11, 22, 23, 54, 55, 56, 60, 61, 67, 102, 128, 130, 134,
135, 139, 156, 157, 169, 171, 172
Kedudukan kodrat 180
Kejaksaan 37, 38, 63
Kepolisian 106, 134, 137
Kesadaran hukum 25, 98, 99, 155, 168
Khudzaifah Dimyati 14, 92, 100, 112, 115, 124, 125, 132, 168, 184
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) 85, 133
Kekuasaan legislatif 10, 18, 144, 145, 148, 149, 152
Kelembagaan Hukum 141
Kepatuhan hukum 137
155
Koerniatmanto Soetoprawiro 65, 66, 68, 70, 72, 75, 147
Kolonial 14, 17, 73, 77, 83, 91, 92, 101, 125, 130, 133, 137, 157, 166, 168, 169, 185, 186
Komariah Emong Sapardjaja 162
KUHP 10, 17, 18, 35, 38, 41, 85, 95, 96, 104, 117, 118, 120, 121, 122, 123, 131, 133, 154,
158, 160, 167, 179, 186

L
Lapas 175, 176, 177
Lawrence M. Friedmann 6, 9, 11, 52, 54, 56, 58, 59, 61, 63, 68, 69, 78, 153
Legal policy 8, 9, 25, 26, 43, 141, 150
Legislatif 7, 10, 19, 34, 35, 42, 43, 45, 85, 136, 145, 148, 150, 151, 152, 153, 154, 155
Liberalisme-kapitalistik 127

M
M. BusyroMuqoddas 80, 140, 155
M. Solly Lubis 5, 49, 51, 140, 153
Mahzab 13, 14, 87, 111, 116, 117, 118, 125
MardjonoReksodiputro 175
MarxisYurisprudence 13
Mochtar Kusumaatmadja 28, 128, 131, 133
Modderman 133, 160, 161
Moerdiono 140
Moeljatno 131, 159
Moh. Mahfud MD 11, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 32, 33, 43, 139, 141, 152, 171, 172
Monopluralis 180, 181
Montesquieu 143, 144, 146, 147, 158, 159

N
Negara 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 16, 17, 18, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 32, 37, 38,
40, 43, 44, 45, 46, 53, 54, 56, 60, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 84,
87, 88, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 99, 100, 101, 106, 108, 118, 120, 122, 123, 125, 126,
127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 143, 144, 145, 146,
147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 163, 165, 167, 169,
171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 181, 183, 184, 185, 186 /
156
Negara Hukum 3, 19, 30, 44, 46, 80, 100, 108, 132, 138, 143, 144, 147, 148, 149, 155, 158,
162, 170, 171, 174, 179, 187
Negara Hukum Pancasila 170, 171, 174, 179
Nilai 8, 13, 15, 18, 31, 43, 44, 45, 58, 62, 77, 79, 80, 81, 100, 101, 109, 111, 123, 124, 128,
129, 132, 134, 135, 136, 141, 153, 154, 157, 163, 165, 166, 167, 170, 171, 173, 174, 179,
180, 182, 183, 185, 186, 187
Norma hukum 6, 33, 115, 123, 163, 169
Notonagoro 61, 165, 180, 181
Nullumdelictum, nullapoenasinepraevia lege poe 160

O
Ontologi 31, 129, 166, 173
Open system 187 Orde Baru 98, 157, 158
Orde Lama 157, 158

P
PadmoWahjono 170
Pancasila 3, 12, 18, 20, 31, 44, 97, 98, 120, 123, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135,
136, 1 38, 139, 140, 141, 151, 153, 164, 165, 168, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 177, 178,
179, 180, 181, 182, 183, 184, 186, 187
Paradigma 2, 12, 14, 15, 77, 105, 110, 111, 112, 113, 115, 117, 118, 125, 126, 127, 130, 156,
158, 164, 166, 167, 168, 184
Parlemen 71, 83
Parlemen 145, 148, 150
Pasal 2, 3, 7, 8, 13, 14, 85, 86, 89, 91, 93, 94, 96, 106, 108, 109, 113, 117, 118, 120, 121, 122,
132, 133, 149, 150, 151, 160, 177
Pataniari Siahaan 146, 148, 149, 150
Paul Scholten 135, 136
Pemerintah 25, 29, 47, 78, 83, 84, 85, 90, 96, 99, 125, 139, 143, 146, 147, 157, 175, 186
Penegakan hukum 18, 24, 25, 27, 28, 36, 38, 39, 41, 43, 45, 97, 104, 120, 138, 158, 160, 179,
183
Peradilan 1, 4, 8, 18, 19, 20, 41, 56, 64, 108, 110, 111, 112, 113, 115, 134, 155, 164, 166, 167,
173, 176, 177, 179

157
Perangkat hukum 10, 73, 141
Philipus M. Hadjon 149, 174, 179
Philosofischegrondslag 19, 151
Plato 13, 112, 143, 159
Pluralitas hukum 130
Politik 8, 11, 12, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 40,
41, 43, 44, 45, 46, 53, 60, 80, 81, 83, 85, 86, 87, 91, 96, 97, 101, 117, 118, 119, 124, 128,
129,
132, 134, 135, 136, 139, 140, 141, 143, 146, 152, 153, 154, 155, 164, 166, 170, 171, 172,
173, 174, 184
Politik Hukum 8, 11, 12, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37,
38, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 60, 81, 83, 85, 86, 91, 96, 117, 118, 119, 128, 129, 132, 134,
135, 136, 139, 140, 141, 143, 146, 152, 153, 154, 164, 166, 170, 171, 172, 173, 174, 184
Politik hukum 11, 21, 22, 23, 25, 28, 32, 44, 86, 87, 101, 124 Politik Hukum Pidana 20, 30,
34, 36, 37, 38, 40, 41, 43, 45, 46,
81, 91, 96, 117, 118, 119, 129, 132, 135, 143, 154, 164, 166, 184 Positivisme 12, 13, 14,
15, 105, 110, 111, 113, 115, 117, 118, 125, 126, 127, 158, 166, 167, 168, 177
Pragmatic Legal Realism 13
Praktisi Hukum 158
Prismatik 187
PsychologischeZwangTheorie 159

R
R-KUHAP 117, 123, 154
R-KUHP 117, 118, 153
Raga 11, 22, 26, 50, 53, 55, 57, 58, 79, 90, 139, 141, 150, 169, 172, 173, 180, 182
Rasa 7, 8, 14, 15, 17, 24, 31, 38, 40, 44, 47, 56, 57, 61, 64, 68, 72, 76, 80, 82, 86, 87, 88, 99,
100, 101, 106, 107, 111, 112, 114, 122, 134, 137, 162, 167, 168, 170, 180, 182, 184 Rasio
116, 182, 184 1
Rechtsschepping 162
Rechtsvacuum 19
Rechtsvinding 162
Refleksi 101, 166, 183
Reformasi 3, 5, 19, 99, 102, 123, 124, 137, 186
Regeling 86, 89, 90, 91, 120
158
RestorativeJustice 177
Restitutio in integrum 184
Restorative justice 133, 174, 177
Roeslan Saleh 114
Romli Atmasasmita 8, 44, 45, 92, 96, 178, 179
RoscoePound 1, 13, 55, 56
Rukun 40, 174, 182
Ruleoflaw 144, 158, 162, 171
Rutan 140, 176

S
Sanksi pidana 20, 44, 134, 154, 162, 163, 164, 178
Sarwa tunggal 181
Seminar Hukum Nasional 131, 170
Sengketa 81, 174, 179
Sistem 3,4,5, 8, 12, 18, 19, 20, 31, 33, 41, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50,51, 52, 57, 60, 61, 63, 64,
65, 68, 69, 70, 72, 78, 79, 80, 81, 82, 86, 91, 93, 108, 110, 111, 112, 113, 115, 117, 119,
120, 123, 124, 125, 129, 130, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 139, 140, 143, 146, 153, 154,
155, 164, 165, 166, 167, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 179, 184, 186
Sistem Hukum 3, 12, 20, 31, 33, 41, 43, 44, 46, 49, 50, 51, 57, 60, 61, 63, 64, 65, 68, 69, 70,
78, 80, 81, 82, 86, 91, 108, 117, 119, 120, 123, 124, 125, 129, 131, 132, 134, 135, 136,
137,139, 140, 143, 146, 153, 154, 164, 165, 166, 171, 172, 174, 179, 184
Sistem hukum 1 Pancasila 140, 171
Sistem hukum pidana 10, 18, 19, 20, 34, 38, 45, 94, 96, 99, 100, 102, 103, 120, 128, 130, 131,
149, 151, 155, 170, 173, 174, 177, 186
Sistem pemasyarakatan 175
Sistem Peradilan Pidana 4, 18, 19, 20, 41, 64, 110, 111, 112, 113, 115, 134, 155, 164, 166,
167, 173, 176
Sociological Jurisprudence 12, 13, 14, 118
Sosialisme 165
Staatsfundamental-norm 165
Strategi Pembangunan Hukum Nasional 140, 155
Sudargo Gautama 148
Sudarto 10, 11, 23, 35, 36, 114, 135, 138, 170
SudiknoMertokusumo 5, 6, 54, 59, 130
159
Syaiful Bakhri 173

T
TAP MPR 97, 128, 133
Teori Gabungan 174, 175
Teori pemisahan kekuasaan 4, 146, 148
Thomas Khun 127
Trias politica 143, 144, 146, 147 U
Teguh Prasetyo 53, 135
Teori causalis 181
Teori Retributif-Teleologis 175
The foundingfather 185
Thomas Aquinas 13

U
Ultimumremedium 133, 161, 178, 179
Undang-Undang 2, 3, 8, 12, 14, 16, 25, 26, 29, 31, 41, 44, 56, 73, 75, 82, 85, 88, 90, 91, 93,
94, 95, 96, 97, 102, 103, 104, 106, 108, 109, 117, 118, 120, 121, 122, 129, 130, 131, 133,
138, 146, 149, 150, 151, 152, 164, 175, 177, 183
Utilitarianism 13
UUD NRI 1945 3, 13, 14, 20, 30, 117, 129, 131, 132, 133, 136, 138, 139, 149, 150, 151, 153,
171

V
Van Bemmelen 37, 133, 161
Van Vollenhoven 13, 81, 147
Vereningingstheorien 174
Vergeldingstheorien 174
VonKirchman 152

W
Weltanschauung 134
Wetboek van Koophandel 133
Wetgeving 86 Y

160
Y
Yudisial 5, 146

161
Daftar Pustaka

BUKU-BUKU
Abdullah, Abdul Gani, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2012.
……..Keterpurukan Hukum di Indonesia Penyebab dan Solusinya, Bogor: Ghalia Indonesia,
2005.
Abdul Ghofur, Anshori, Filsafat Hukum. Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta:
Gadjah Mada UniversityPress, 2006.
Apeldorn, LJ. Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1985.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002.
……..Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1998.
……..Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara,
Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2011.
……..Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 2011.
……..Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru, Jakarta: Kencana, 2008.
……..Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008,
……..Pembangunan Sistem Hukum Nasional (Indonesia), Semarang: Badan Penerbit UNDIP,
2012
……..RUU KUHP Baru. Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana
Indonesia, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2012
Arzona, Yance, Antara Teks dan Konteks, Dinamika Pengakuan Hukum Terhadap Hak
Masyarakat Adat Atas Sumber Daya Alam di Indonesia, Jakarta: HUMA, 2010
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia: Pasca Reformasi, Jakarta:
PT Bhuana Ilmu Populer, 2007.
……..Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar
Grafika, 2012.

162
……..Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
……..Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Serpihak Pemikiran Hukum, Media
dan HAM, Jakarta: KONpress, 2005.
Bakhri, Syaiful, Kebijakan Kriminal dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Yogyakarta: Total Media dan P3IH UMJ, 2010.
Bisri, Ilham, Sistem Hukum Indonesia (Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum di Indonesia),
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum. Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di
Indonesia 1945-1990, Bandung: Genta Publishing, 2010
……..dan Kelik Wardiono, Paradigma Rasional dalam Ilmu Hukum. Basis Epistemologis
Pure Theoryof Law Hans Kelsen, Yogyakarta: Genta Pupblishing, 2014.
Friedmann, Lawrence M., The Legal System. A Social Science Perspective, [Pent. M.
Khozim), Bandung: Nusamedia, 2011.
Gautama, Sudargo, Pengertian tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni, 1983.
Goesniadhie, Kusnu, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-Undangan (Lex
Spesialis Suatu Masalah), Surabaya: JP Books, 2006.
Gunakarya, Widiada, dan Petrus Irianto, Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2012.
Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia & Perkembangannya, Jakarta:
Softmedia, 2012.
Hartono, CFG. Sunaryati, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung:
Alumni, 1991.
Hermawan, M. Ilham, Relasi Pemikiran John Locke-J.J. Rousseau, Bekasi: Perkumpulan
Daya Saing Indonesia, 2012.
Jaya, Nyoman Serikat Putra, Beberapa Pemikiran ke Arah Pengembangan Hukum Pidana,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
Junaidi, Veri, Khoirunnisa Agustyati, dan Ibnu Setyo Hastomo, Politik Hukum Sistem
Pemilu: Potret Keterbukaan dan Partisipasi Publik dalam Penyusunan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD dan DPD, Jakarta:
Yayasan Perludem, 2013.
Istanto, F. Sugeng, Politik Hukum, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2004.
Kansil, C.S.T., & Christine S.T. Kansil, Mata Kuliah Dasar Hukum (MKDH) Latihan Ujian
Pengantar Hukum Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Kustron, Konnie G., Introductionto the American Legal System, USA: Bookboon, 2013.

163
Kusuma-Atmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung: Alumni,
2006.
……..& B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum. Buku I, Bandung: Alumni, 2013.
Lubis, M. Solly, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Bandung: Mandar Maju, 2000.
……..Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Mahfud, Moh., MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta, LP3ES,
2006.
……..Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.
……..Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013,
Marbun, Rocky, Sistem Peradilan Pidana. Suatu Pengantar (Buku I), Jakarta: LKIH, 2014.
Marbun, SF., et.all. Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001. 1
Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bandung: Nusamedia, 2014.
Manan, Bagir, Hukum dan politik Indonesia; Tinjauan Analisis Dekrit Presiden dan Otonomi
Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Manan, Bagir, & Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni, 1997.
Marzuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2013.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum. Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002.
…….Penemuan Hukum, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2010.
…….Kapita Selekta Ilmu Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2013.
Mihradi, R. Muhammad, et.al., Menimbang Kapasitas Legislasi. Studi Penguatan Kapasitas
Legislasi yang Partisipatif, Bogor: Forum Kajian Hukum Fakultas Hukum Universitas
Pakuan bekerja sama dengan Pusat Telaah dan Informasi Regional dan Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional, 2006.
Muliadi, Ahmad, Politik Hukum, Padang: Akademia Permata, 2013.
Muntoha, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: Penerbit
Kaukaba 2013.
Mustafa, Bachsan, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
……..Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Najih, Mokhammad, Politik Hukum Pidana. Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam
Cita Negara Hukum, Malang: Setara Press, 2014.
Panjaitan, Petrus Irawan,& Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo
Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta: IND HILL CO, 2008.

164
……..&Chairijah, Pidana Penjara Dalam Perspektif Penegak Hukum, Masyarakat dan
Narapidana, Jakarta: IND HILL CO, 2008.
……..& Samuel Kikilaitety, Pidana Penjara Mau Kemana, Jakarta: IND HILL CO, 2007.
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, [Pent. Mohamad Radjab), Jakarta: Bhratara
Karya Aksara, 1982.
Phillips DC, Holistic Thought in SocialScience, California: Standford University Press, 1988.
Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
Praja, Juhaya S., Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Prakoso, Djoko, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktik Peradilan, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984.
Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung: Nusa Media, 2013.
Ragawino, Bewa, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia,
Bandung: FISIP UNPAD, 2005.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
……..Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
……..Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Kompas, 2010.
Rasjidi, Lili, dan Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012.
Rhiti, Hyrominus, Filsafat Hukum. Edisi Lengkap dari Klasik sampai Postmodernisme,
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2011.
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen UUD
1945, Jakarta: Konstitusi Press, 2012.
Sibuea, Hotma P., Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan &Asasasas Umum
Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Erlangga, 2010.
Sidharta, Bernard Arief, Ilmu Hukum Indonesia. Upaya Pengembangan Ilmu Hukum
Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, Bandung: Genta Publishing,
2013.
……..Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2009.
Shidarta., et.al., Mochtar Kusuma-Atmadja dan Teori Hukum Pembangunan. Eksistensi dan
Implikasi, Jakarta: EpistemaInstitute& HUMA, 2012.
Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Buku 1 Akar Filosofis, Yogyakarta:
Genta Publishing, 2013.
Soekanto, Soerjono, Penegakan Hukum, Jakarta: Binacipta, 1983.

165
Soemantri, Sri, Hukum Tata Negara Indonesia. Pemikiran dan Pandangan, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2014.
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta: Pradnya Paramita,
1997.
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Stefanus, Kotan Y., Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara (DimensiPendekatan
Politik Hukum terhadap Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945),
Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 1998.
Strong, CF., Konstitusi-konstitus Politik Modern. Studi Perbandingan tentang Sejarah dan
Bentuk, Bandung: Nusamedia, 2014.
Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012.
Sunarso, Siswanto, Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakart: Sinar Grafika, 2012.
Sutrisno, Endang, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Bandung: Genta Press, 2011.
Sutrisno, Slamet, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006.
Sudarto, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Bina Cipta,1986.
……..Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana),, Bandung: Sinar Baru, 1994.
…….Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.
Trijono, Rachmat, Dasar-dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Jakarta: Papas
Sinar Sinanti, 2014.
Utrecht, E., dan Muh. Saleh Djindang, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar,
1961.
VonSchmid, J.J., Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum, [Terjemahan oleh
Wiratno dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto), Jakarta: PT Pembangunan, 1988.

INTERNET DAN ARTIKEL


Kemendiknas. “Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kemendiknas, 30 April 2014.
<http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php>.
NN. "Sejarah Tata Hukum Indonesia Dan Politik Hukum Indonesia". Hukum, 26 April 2014.
<Sumber:http://hukum-hukumkeseluruhan.blogspot.com/2009/04/sejarah-tata-hukum
indonesia-dan.html>.
Wikipedia. "Sejarah Indonesia". Wikipedia, 26 April 2014. <http://
id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia,

166
MAKALAH DAN JOURNAL
Ahmad, Wahab, “Politik Hukum Pidana dalam Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia", Badilag, <http://www..badilag.net>, hlm. 5.
Arief, Barda Nawawi, “Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong
Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia)", Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada Peresmian
Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 25 Juni 1994.
Atmasasmita, Romli, “Beberapa Catatan Atas RUU KUHP Tahun 2012", Makalah
dipresentasikan dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013 (SPHN 2013)
dengan tema: “Arah Pembangunan Hukum Pidana Nasional”, diadakan di Hotel Bidakara,
tanggal 26-27 November 2013.
Bahiej , Ahmad, “Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. (Telaah atas Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia)", Makalah ini disampaikan pada kajian rutin
Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tanggal 29 Desember 2003.
Bapennas, “Pembenahan Sistem dan Politik Hukum”, Bapennas, 12 Juli 2012,
<www.bappenas.go.id/get-file-server/node/152/>.
Dimyati, Khudzaifah, “Dominasi Pemikiran Hukum Positivistik: Otokritik dan Otensitas dan
Kemiskinan Ke-Indonesia-an", Makalah dipresentasikan pada Konferensi Nasional ke-3
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), dengan tema: Melampaui Perdebatan
Positivisme Hukum dan Teori Hukum Kodrat, yang diselenggarakan oleh AFHI dan
EpistemaInstitutebekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 27-28
Agustus 2013.
Falakh, Mohammad Fajrul, “Transparansi dan Akuntabilitas Yudikatif di Indonesia”, Materi
Pelatihan HAM bagi Jejaring Komisi Yudisial, diselenggarakan oleh PUSHAM UII
bekerja sama dengan Komisi Yudisial RI dengan Norwegian Centre for Human Rights
(NCHR), Denpasar, 22-26 Juni 2010 dan Bandung, 29 Juni-3 Juli 2010.
Gunarto, Marcus Priyo, “Asas Keseimbangan dalam Konsep Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, Nomor 1,
Februari 2012.
Harkrisnowo, Harkristuti, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap
Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia", Orasi pada Pengukuhan Guru Besar Tetap
dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang
Universitas Indonesia, Depok, 8 Maret 2003.

167
Jaya, Nyoman Serikat Putra, "Urgensi Pembahasan Buku I tentang Ketentuan Umum Hukum
Pidana dalam RUU KUHP dalam Rangka Pembaruan dan Pembentukan Sistem Hukum
Pidana Nasional", makalah disampaikan dalam Lokakarya Perencanaan Pembangunan
Hukum Nasional dengan tema: Perkembangan Hukum Pidana dalam Undang-Undang di
Luar KUHP dan Kebijakan Hukum Pidana, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional bekerjasama dengan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Jawa
Tengah, Semarang, 3-5 November 2010.
Juwana, Hikmahanto, “Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia”,
Jurnal Hukum Vol. 01, No. 1, 2005.
Kriekhoff, Valerine J.L., “Arah Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Penggunaan Hukum
Adat”, Makalah dipresentasikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional Tahun 2013
(SPHN 2013) dengan tema “Arah Pembangunan Hukum Pidana Nasional" yang
diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Jakarta, 26-27 November 2013.
Lubis, Solly, “Pembangunan Hukum Nasional”, Makalah disampaikan dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VII, dengan tema:Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 1418 Juli 2003.
Manan, Bagir, Peranan Hukum dalam Mewujudkan Cita-cita Keadilan Sosial Menurut UUD
1945, dalam Varia Peradilan Tahun XXIX No. 340 Maret 2014.
Marbun, Rocky, "Mengusung Penerapan Lembaga Diyat Dalam Sistem Peradilan Pidana",
Makalah Panel yang dipresentasikan pada Konferensi Nasional Ke-3 Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia (AFHI) dengan tema: “Melampaui Perdebatan Positivisme dan Teori
Hukum Kodrat” yang diselenggarakan oleh AFHI, EpistemaInstitue, dan Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 27-28 Agustus 2013.
Mudzakkir, “Kebijakan Hukum Pidana tentang Perlindungan Saksi”. Makalah Semiloka
Perlindungan Hukum terhadap Saksi yang diselenggarakan Kerjasama ICW - SCW.
Surakarta, 2002.
Muladi, “Politik Hukum Pidana, Dasar Kriminalisasi dan Dekriminalisasi Serta Beberapa
Perkembangan Asas Dalam RUU KUHP", Makalah yang dipresentasikan dalam Focus
Group Discussion yang diselenggarakan oleh ELSAM dengan tema: Melihat Kodifikasi
dalam Rancangan KUHP, Hotel Ibis Tamrin, Jakarta, 28 September 2006
NN, "The Common Law AndCivil Law Traditions", 1 Mei 2014,
<http://www.law.berkeley.edu/library/robbins/pdf/ Common Law Civil Law
Traditions.pdf>.

168
NN, Laporan Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia RI, Kuta, Bali, 14 - 18 Juli 2003.
O'Connor, Vivienne, “Common Law andCivil Law Tradition”, International
NetworkstoPromotetheRuleof Law (INPROL), Maret 2012
Ohoitimur, Yong “Tujuh Teori Etika tentang Tujuan Hukum”, Jurnal Universitas De La
Salle, Manado, Vol. 1, No. 2, Oktober 2011.
Pinangsang Dani, “Falsafah Pancasila Sebagai Norma Dasar (Grundnorm) Dalam Rangka
Pengembanan Sistem Hukum Nasional”, Jurnal UNSRAT, Vol. XX, No. 3, April-Juni
2012.
Rajagukguk, Erman, “Ilmu Hukum Indonesia: Pluralisme”, Makalah yang disampaikan dalam
rangka Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati ke XXXVII, Bandung, tanggal 2 April
2005.
Sahetapy, JE., “Hukum Pidana Indonesia: Suatu Perspektif”, Mahupiki, 29 April 2014,
<http://www.mahupiki.com/assets/news/attachment/08042014110810_08032014105155_
1.%20Prof.% 20Sahetapy.pdf>
Sibuea, Hotma P., “Kedudukan, Fungsi, Wewenang dan Tugas Dewan Perwakilan Daerah
Dalam Struktur Ketatatnegaraan Republik Indonesia", Disertasi Program Pascasarjana
Fakultas Universitas Pelita Harapan, Karawaci Tangerang, 2008.
Sidharta, Bernard Arief, “Asas, Kaidah, dan Sistem Hukum", makalah tidak dipublikasikan,
Bandung, 20 Juli 2004.
……..“Filsafat Hukum Pancasila", Makalah Bahan Ajar Program Pascasarjana Universitas
Islam Indonesia (UII), tidak diterbitkan, Tahun 2012.
…….“Revitasi Pemikiran Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo Tentang Pancasila Berkaitan
Dengan Pengembangan Tatanan Hukum Nasional Indonesia”, Oratio Dies Fakultas
Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2009.
……..“Pancasila Sebagai Staatfundamentalnorm (Dalam Kerangka Stufentheorie-nya Hans
Kelsen)", Bahan Ajar tidak dipublikasikan, Pascasarjana Universitas Islam Indonesia,
Tahun 2012.
Sudjito, “Pancasila Sebagai Dasar Filsafat dan Paradigma Ilmu Hukum", Makalah
dipresentasikan pada Konferensi Nasional ke-3 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia
(AFHI), dengan tema: Melampaui Perdebatan Positivisme Hukum dan Teori Hukum
Kodrat, yang diselenggarakan oleh AFHI dan EpistemaInstitute bekerja sama dengan
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 27-28 Agustus 2013.
Varia Peradilan No. 122 Tahun 1999.
169
Wignjosoebroto, Soetandyo, “Hubungan Negara dan Masyarakat dalam konteks Hak-hak
Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Historik dari Perspektif Relativisme Budaya Politik”,
Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII, dengan tema:
Penegakan Hukum Dalam Era PembangunanBerkelanjutan yang diselenggarakan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
Denpasar, 14-18 Juli 2003.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
……..Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1998
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1998.
……..Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999
tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004.

170
Tentang Penulis

Dr. Rocky Marbun, S.H., M.H. adalah lulusan Sarjana


Hukum Universitas Jayabaya pada Tahun 2005, dan
menyelesaikan pendidikan Strata-2 Master Hukum di
Pascasarjana Universitas Jayabaya pada Tahun 2007.
Saat ini telah menyelesaikan Studi Doktor Ilmu Hukum
(53) di Universitas Jayabaya, Jakarta. Saat ini penulis
bekerja sebagai Dosen/Staff Pengajar Ilmu Hukum di
Fakultas Hukum Universitas Pancasila (UP) Jakarta.
Adapun karya ilmiah yang pernah diterbitkan antara lain adalah: Cerdas & Taktis dalam
Menghadapi Kasus Hukum (2010); Jangan Mau di-PHK Begitu Saja (2010); Tanya Jawab
Pengadaan Barang dan Jasa (2010); Persekongkolan dalam Tender/Pengadaan Barang/Jasa
di Pemerintah & BUMN (2010); Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum (2012); Kamus
Hukum (2012); Hukum Hak Asasi Manusia. KUHAP dalam Kajian HAM (2013); Sistem
Peradilan Anak. Buku I (2014); Sistem Peradilan Anak. Buku II (2014); dan Sistem Peradilan
Pidana. Suatu Pengantar (2015).
Penulis juga aktif dalam menulis artikel-artikel di beberapa jurnal-jurnal nasional, serta
beberapa kali pernah dimintakan keahlian Hukum Pidananya dalam beberapa persidangan
perkara pidana, sebagai Saksi Ahli Hukum Pidana. Dan, Insya Allah akan segera meluncurkan
karya-karya ilmiah yang lain untuk mewujudkan Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum
(APH) yang sadar hukum.
Kritik-Filosofis Praktik Peradilan Pidana: Membangun Landasan Kefilsafatan dan
Teoretis. Buku I (2018), Kritik-Filosofis Praktik Peradilan Pidana: Membongkar Oposisi
Biner Antara Kekuasaan dan Kewenangan. Buku II (2019), Kriminalisasi, Dekriminalisasi,
dan Overcriminalization Dalam Sistem Perundang-Undangan Pidana (2019).

171

Anda mungkin juga menyukai