Anda di halaman 1dari 7

LEMBAR JAWABAN

UJIAN AKHIR SEMESTER

Nama : ANGEL
NIM : 2202190001
Mata Kuliah : Pancasila dalam Sistem Hukum Nasional

NILAI – NILAI PANCASILA DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG


(SUMBER BUKU: Pancasila & Undang-Undang; Relasi dan Transformasi Keduanya Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia)

A. LATAR BELAKANG
Sistem norma hukum Indonesia berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan
berjenjang-jenjang sekaligus berkelompok-kelompok, dimana norma tersebut berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi pula, demikian
seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (staatfundamental norm) Republik
Indonesia, yaitu: Pancasila.1 Sistem norma hukum yang bersifat heirarkis tersebut bertujuan
menentukan derajatnya masing-masing, dengan konsekuensi jika ada norma hukum (peraturan)
yang bertentangan maka yang dinyatakan berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi, dalam
hal ini berlaku asas lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi
mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).2
Mahkamah Konstitusi hadir sebagai salah satu mekanisme untuk mengawal nilai-nilai
Pancasila dari berbagai kemungkinan terdistorsi oleh berbagai kepentingan dalam proses
legislasi. Peranan Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal nilai-nilai Pancasila belum
dilakukan secara maksimal, misalnya dalam upaya konkrit yang menjadikan Pancasila sebagai
pilihan utama untuk tolak ukur dalam menilai konstitusionalitas Undang-Undang. Hal ini
disebabkan berbagai problem yang masih menyelimuti pemahaman pengujian Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diamanatkan oleh Konstitusi, yaitu tidak dijelaskan

1
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta:
Kanisius, 1998, hlm.39
2
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm.206.
apakah pengujian ini dilakukan berdasarkan Pembukaan (Pancasila) atau pasal-pasal Undang-
Undang Dasar, sebab dalam Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945 disebutkan bahwa UUD
1945 terdiri atas Pembukaan dan Pasal-pasal.
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menjelaskan bahwa:3
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Menurut Patrialis Akbar, dengan adanya pasal ini telah jelas sosok Mahkamah Konstitusi
sebagai Lembaga peradilan yang menjadi pelaku cabang kekuasaan yudikatif di samping
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan lain di bawah Mahkamah Konstitusi. Dari
rincian wewenang yang dimilikinya, tampak bahwa ruang lingkup Mahkamah Konstitusi
sangat terkait erat dengan kehidupan ketatanegaraan, penyelenggaraan negara, dan kehidupan
politik.4
Berdasarkan uraian di atas, kajian ini hadir untuk melihat tolak ukur Pancasila dalam
pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.

B. PEMBAHASAN
Meminjam bahasa Soekarno bahwa Pancasila sebagai philosofische grondslag yaitu
sebagai fundamen, filsafat, pikiran, jiwa hasrat yang menyatu dalam jiwa bangsa Indonesia,
yang kesemuanya tidak bersifat tertulis. Philosofische grondslag mengandung nilai-nilai
Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan/Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial yang
diyakini kebenarannya, dan kegunaannya oleh bangsa Indonesia sebagai sumber nilai dan
norma moral bagi penegakan dan pengelolaan kehidupan bersama baik dalam berbangsa
maupun bernegara.5 Misalnya keadilan sosial juga dapat didefenisikan sebagai perilaku, yakni
perilaku untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya demi terwujudnya
masyarakat yang sejahtera. Kesejahteraan adalah tujuan utama dari adanya keadilan sosial.6

3
Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Perubahan III.
4
Patrialis Akbar, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 181.
5
Mahfud MD, “Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi Pada Kongres Pancasila Pada Tanggal 30 Mei
2009”, dalam Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding
Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi, 2009, hlm.12-13
6
Suteki, Rekonstruksi Politik Hukum Hak Atas Air Pro Rakyat, Jawa Timur: Surya Pena Gemilang, 2010, hlm.19
Untuk itu, Pancasila sebagai philosofische grondslag harus dioperasionalisasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Operasionalisasi nilai-nilai Pancasila secara
konstitusional mensyaratkan, yaitu:7 Pertama, kesesuaian dengan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan nilai-nilai Pancasila; Kedua, syarat filosofis terkait dengan
konsistensi antar setiap undang-undang dengan kaidah penuntun hukum yang ada pada
Pancasila; Ketiga, syarat yuridis yang mengharuskan setiap undang-undang singkron dengan
peraturan lainnya, baik vertikal maupun horizontal. Keempat, syarat sosiologis yang
mewajibkan setiap undang-undang harus sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat
demi terselenggaranya negara hukum yang sejahtera, adil dan demokratis yang mampu
mengayomi segenap masyarakat Indonesia.
Dalam kehidupan berhukum di Indonesia, muncul pandangan mengenai nilai sebagai
tujuan hukum, yaitu: nilai kepastian hukum, nilai keadilan dan nilai kemanfaatan hukum.
Pandangan teori hukum klasik yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum
setidaknya harus mencerminkan tiga nilai dasar, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit),
kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).8 Ketiga unsur ini harus
dipertimbangkan dalam penegakan hukum dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada
gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari
keadilan.9 Tiga nilai dasar tersebut jika dilihat secara teoritis merupakan sebagian nilai-nilai
dalam Pancasila. Selain nilai tersebut, Pancasila juga mengandung nilai dasar hukum bahwa
hukum tidak boleh bertentangan dengan nilai Ketuhanan, dalam bahasa empiris diterjemahkan
kedalam dalam dunia peradilan “Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” artinya
bahwa keadilan tersebut harus bersumber pada nilai-nilai agama dan keyakinan yang dianut
oleh bangsa Indonesia.
Terkait dengan kajian ini, penulis menganalisis beberapa putusan yang secara jelas
(tersurat) dan tersirat menjadikan Pancasila sebagai tolak ukur pengujian undang-undang,
Putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 mengenai pengujian Undang-Undang No.
45 Tahun 1999, pengujian undang-undang a quo didasarkan pada pertimbangan pemberlakuan
materi atau substansi Undang-Undang a quo yang secara keseluruhan menimbulkan
ketidakpastian hukum dan secara sosial politis dapat menciptakan konflik sosial antar

7
Hasil Rekomendasi Sarasehan Nasional 2011
8
Helmi, dalam “Kajian Terhadap Putusan Perkara No: 827/Pid.B/2005/PN.Bjm Tentang Tindak Pidana
Penipuan Jual Beli Batubara, Jurnal Yudisial Vol-I/No-03/Desember/2007, hlm.217
9
M. Hatta Ali, dalam “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum
(Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Transformasi”, Bunga Rampai Komisi Yudisal dan Reformasi
Peradilan, Komisi Yudisial, Jakarta, hlm.90
masyarakat Papua. Pada intinya pengujian ini adalah bahwa undang-undang yang berorientasi
pada tata nilai yang berlaku (kosmologi Indonesia) dan berkeadilan, bermanfaat, dan
berkepastian hukum dalam masyarakat. Pengujian keberlakuan ini di dasari pemahaman bahwa
terdapat syarat sosiologis yang mewajibkan setiap undang-undang harus sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasi masyarakat demi terselenggaranya Negara Hukum Pancasila yang
sejahtera, adil dan demokratis yang mampu mengayomi segenap masyarakat Indonesia. 10 Jika
ada undang-undang yang dapat menciptakan konflik sosial di masyarakat, maka undang-
undang tersebut harus dibatalkan.
Dalam putusan tersebut konflik sosial disebabkan adanya benturan hukum antara Undang-
Undang No. 45 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Papua. Pandangan M. Fajrul Falaakh bahwa fungsi hak menguji berlaku terhadap produk
hukum non peradilan, hak menguji ini untuk menilai kesesuaian suatu peraturan perundang-
undangan dengan peraturan lain, baik yang kedudukannya lebih tinggi (sinkronisasi vertikal)
maupun sederajat (sinkronisasi horisontal).11 Merujuk pada pendapat tersebut, Penulis
berkesimpulan bahwa Mahkamah Konstitusi berhak menguji beberapa undang-undang yang
saling bertentangan (pertentangan antara norma dalam undang-undang yang satu dengan yang
lainnya) terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sebab benturan antar undang-
undang tersebut akan menyebabkan tersumbatnya tujuan dalam berbangsa dan bernegara, dan
tentunya akan merusak bangunan persatuan dan kesatuan Indonesia. Rusaknya bangunan
hukum yang sederajat tersebut lebih lanjut dapat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,
baik nilai keadilan, kemanfaatan, maupun kepastian hukum yang adil.
Dalam pengujian undang-undang ini, Hakim Mahkamah Konstitusi adalah penjaga nilai-
nilai Pancasila yang hidup di dalam masyarakat atau dapat menjadi perumus dari nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat (living of constitution)12 ini merupakan terobosan hukum
berkeadilan substantif, bahwa dalam pengujian undang-undang tidak hanya menggunakan
pendekatan tekstual saja tetapi kontekstual kemasyarakatan yang sangat berkaitan dengan
dimensi keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Penggunaan pendekatan sosiologis ini ada
benarnya, merujuk pada pandangan Satjipto Rahardjo yang meyakini bahwa tidak ada rumusan
satu undang-undang pun yang absolut benar, lengkap, dan komprehensif. Oleh karena itu,
menurut Satjipto penafsiran hukum merupakan sebuah ”sarana” yang dapat menjembatani

10
Surono dan Miftakhul Huda (ed), Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalisme
Indonesia (Prosiding Sarasehan Nasional 2011), Jakarta dan Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi dan Universitas
Gadjah Mada, 2011, hlm.218
11
M. Fajrul Falaakh, dalam “Terobosan MA Dalam Judicial Review”, Kompas 24 Juni 1993, hlm.4
12
Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda., Op.Cit., hlm.132
kekurangan aturan objek yang dirumuskan dengan perumusannya, untuk itu menurut Satjipto
penafsiran hukum progresif dibutuhkan untuk kembali memanusiakan aturan hukum yang
sangat kaku (formal).
Cara itu berguna agar hukum mampu mencapai kehendak tertinggi dari keinginan manusia
di dunia yaitu kebahagian. Hukum berfungsi mencapai harapan-harapan tersebut, menurut
Satjipto hendaknya hukum bisa memberikan kebahagian kepada rakyat dan bangsanya. Untuk
mencapai kebahagian itu, hukum sebagai alat harus mampu dipraktikkan secara luar biasa dan
progresif. Masyarakat memang membutuhkan ketertiban serta keteraturan, sebab itu
masyarakat membutuhkan hukum. Namun ketertiban hukum tidak harus menghalangi manusia
untuk bertindak progresif agar hukum menjadi hidup dan menyentuh aspek-aspek keadilan di
masyarakat.13
Berdasarkan uraian putusan di atas, dapat disederhanakan bahwa makna bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945 yaitu adanya norma hukum baik materi (materiil) maupun
proses pembentukannya (formil) yang tidak sesuai/ berbeda dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945, ketidaksesuaian atau perbedaan tersebut yang menyebabkan
peraturan di bawahnya tidak memiliki landasan keberlakuan, sehingga harus dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini tentunya
berlandaskan pemikiran bahwa Pancasila sebagai dasar, ideologi dan filsafat bangsa dan
negara, serta merupakan sumber dari segala sumber hukum negara, sehingga setiap materi
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila,14 dan Pasal-pasal dalam UUD 1945 merupakan kritalisasi nilai-nilai
Pancasila yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Pancasila merupakan tolak ukur constitutional review, Pancasila yang dimaksud adalah
Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945.15 Nilai-nilai Pancasila dalam
pengujian undang-undang bersifat fleksibel sehingga lebih mudah mencapai keadilan
substantif, lebih mudah mewujudkan tujuan hukum yang berkeadilan, berkemanfaatan, dan
berkepastian hukum. Pancasila dapat dijadikan tolok ukur dalam menilai dan menguji
keberlakuan sebuah undang-undang dalam masyarakat, menilai benturan hukum antar undang-

13
Feri Amsari, dalam “Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif”, Jurnal Konstitusi, Volume
6, Nomor 2, Juli 2009, hlm.181
14
Ibid., hlm.22
15
Mahfud MD, Pancasila Sebagai Tonggak Konvergensi Pluralitas Bangsa, Sarasehan Nasional 2011
“Impelementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia, Yogyakarta dan
Jakarta: UGM dan MKRI, 2011, hlm.17
undang yang dapat menyebabkan tidak berjalannya negara hukum Pancasila, dan hal-hal lain
yang tidak terkungkung oleh teks.
Menggunakan Pancasila sebagai tolak ukur pengujian undang-undang memiliki kelebihan:
(1) lebih mengutamakan penegakan keadilan, kemanfataan, dan kepastian hukum sesuai
jiwa konstitusi, dengan alasan bahwa Pancasila menekankan pentingnya adil dan keadilan;
(2) bahwa pengujian oleh lembaga yudisial merupakan suatu instrumen pengawasan
terhadap penuangan Pancasila di dalam peraturan perundang-undangan, agar undang-
undang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan falsafah bangsa (Pancasila),16 baik
substansi maupun prosedur pembuatannya;
(3) Tolak ukur Pancasila akan mewujudkan makna sesungguhnya tentang pengujian norma
hukum yang melindungi sistem nilai fundamental bangsa Indonesia, dalam hal ini tidak
terbatas pada teks belaka tetapi lebih mengacu pada kontekstualisasi nilai-nilai Pancasila;
(4) lebih mudah dalam mewujudkan negara hukum Pancasila, dan implementasi elemen-
elemen dalam negara hukum Pancasila.

C. KESIMPULAN DAN SARAN


Pancasila merupakan dasar filsafat negara, dan core values dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila menjadi konsensus nasional karena di
dalamnya terkandung nilai-nilai kebenaran etis yang berakar dari nilai-nilai kebudayaan dan
nilai-nilai religius yang dimiliki dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Pancasila
merupakan general acceptance of the same philosophy of government, yang ditempatkan
sebagai tujuan hukum dalam negara hukum Pancasila. Dengan merujuk pada pemahaman
tersebut, tepat jelas bahwa Pancasila merupakan tolak ukur dalam pengujian Undang-undang,
dan dengan tolak ukur Pancasila maka terbuka peluang menguji keberlakuan Undang-Undang
dalam masyarakat dan menguji benturan substansi antar Undang-undang (pengujian
horizontal), dan kesemuanya itu mengarah pada perwujudkan keadilan substantif sebagai inti
dan tujuan akhir dari penegakan hukum.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konsitusi kedepan, perlu penegasan
bahwa Pancasila sebagai salah satu tolok ukur dalam pengujian Undang-undang dalam rangka
mewujudkan keadilan substantif melalui pengaturan dalam Undang-Undang Mahkamah

16
Saldi Isra, Yuliandri, Feri Amsari, Charles Simabura, Dayu Medina, dan Edita Elda, Perkembangan Pengujian
Perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi (Dari Berfikir Hukum Tekstual ke Hukum Progresif), Padang dan
Jakarta: Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010, hlm.100
Konstitusi maupun Peraturan Mahkamah Konstitusi. Selain itu, perlu upaya konkrit dalam
menjadikan Pancasila sebagai tolak ukur putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang
berkeadilan substantif.

Anda mungkin juga menyukai