PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa
hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. [1] Penyelesaian
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum
waris.
Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan pluralistik (beragam). Di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni
hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW). Keanekaragaman hukum ini semakin menjadi-jadi karena hukum waris adat
yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti
bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia berpokok pangkal pada sistem menarik
garis keturunan. Pada umumnya dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni (1) sistem
patrilineal (terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan
Bali), (2) sistem matrilineal (terdapat di daerah Minangkabau), dan (3) sistem bilateral atau
parental (terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera
Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok).[2]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas ,penulis dapat merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana eksistensi pluralisme hukum waris di Indonesia?
2. Bagaimana solusi untuk mengatasi pluralisme hukum waris di Indonesia?
Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat
waris, terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan,
hukum adat waris mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu:
a. Sistem Kewarisan Individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris
mewarisi secara perorangan, misalnya di Jawa, Batak, Sulawesi, dll.
b. Sistem Kewarisan Kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewaris harta
peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-
bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris, contohnya harta pusaka di Minangkabau
dan tanah dati di semenanjung Hitu Ambon.
c. Sistem Kewarisan Mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan
pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:
1) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan laki-laki yang
merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung.
2) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari
pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan pluralistik (beragam). Di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum
waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW). Hukum kewarisan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
sekarang ini cenderung pada pada hukum mana yang menguntungkan dari ketiga jenis hukum
kewarisan tersebut.
2. Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami perkembangan dan proses
pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni
bersumber pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum waris
adat berkembang melalui berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Hukum waris Islam
berkembang melalui Pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam dalam legislasi
nasional. Hal ini dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
3. Pluralisme hukum waris mengalami banyak kendala dalam realitanya antara lain : seseorang
cenderung menggunakan hukum waris yang menguntungkan bagi dirinya, ketidaksamaan
persepsi dalam kedudukan seseorang dan keambiguan dalam menentukan hukum waris yang
akan digunakan pada daerah-daerah yang masih kental hukum adatnya.
4. Dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah satunya hanya dapat dicapai melalui
unifikasi hukum. Unifikasi hukum bertujuan untuk :
i. Untuk mencapai kesatuan dan keseragaman hukum (Rechseenheid)
ii. Untuk mencapai kepastian hukum (Rechszekerheid)
iii. Untuk penyederhanaan hukum (Rechsvereenvoudiging)
5. Hukum waris nasional hendaknya menganut azas kodifikasi terbuka yang memuat asas-asas
(general principles) seperti asas kemanfaatan, asas keadilan dan asas kepastian hukum. Berbagai
nilai dan asas dari berbagai bidang hukum dicari kesamaannya, dan setelahnya akan dirumuskan
norma-normanya dalam rumusan yang lebih implementatif sehingga dapat mengakomodir
kepentingan rakyat
6. Adanya pemahaman pembentukan kodifikasi hukum hanya ditujukan pada bidang-bidang
hukum yang sifatnya netral saja seperti perikatan, hukum jaminan, dan pada bidang hukum
benda. Pada bidang hukum tidak netral seperti Hukum Kewarisan tidak perlu diadakan
Kodifikasi dikarenakan bidang hukum ini adalah bidang hukum sensitive dan peka karena
berkaitan dengan agama, tradisi dan kepercayaan yang dianut. Pandangan ini tidak sepenuhnya
benar. Upaya pakar hukum untuk melakukan pembinaan tata hukum nasional yang uniform terus
digalakkan termasuk hukum kewarisan. Kenyataannya Hukum Perkawinan sebagai hukum yang
tidak netral telah dikodifikasikan dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 sehingga hal ini
mempermudah penggarapan Hukum Kewarisan contoh dalam hal Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami
dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan
(2) UU No. 1 Tahun 1974). Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tetap menghormati secara
penuh adanya perbedaan berdasarkan agama,adat dan kepercayaan masing-masing masyarakat
dibawah kerangka Hukum Kewarisan Nasional.
B. Saran
Diperlukan hukum waris nasional untuk mengatasi permasalahan waris yang ada di
Indonesia.Unifikasi hukum waris nasional diharapkan dapat mewujudkan tipologi dasar dari
keadaan hukum yang responsif, yakni hukum yang demokratis dan responsif terhadap kebutuhan
tuntutan-tuntutan yang berkembang di masyarakat. Demokratisasi dan responsivitas dari hukum
waris nasional yang akan datang sangat tergantung kepada dua persyaratan, yakni: (1)
adanya political will dan (2) political action yang berjalan seiring berkelindan dari para legislator
dalam memformulasikan kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat yang rindu akan kepastian,
kemanfaatan dan keadilan.
DAFTAR PUSTAKA
A.Gani Abdullah. Badan Hukum Syara Kesultanan Bima. 1947-1957. Disertasi IAIN
Syarief Hidayatullah. Jakarta.1987.
Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas
Kerja Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini. Program Pendidikan
Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan.
Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan BW Pewarisan Menurut
Undang-Undang.(Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2005.
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,
Bandung : PT.Refika Aditama.
Hamka. Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara di dalam Kebudayaan
Minangkabau. Panji Masyarakat. Nomor 61/IV/1970.
Hilman Hadikusuma.1993. Hukum waris Adat. Bnadung : PT Citra Aditnya Bakti.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985.
M.Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafii dan Wasiat Wajib di
Mesir, tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam,
Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982, Jakarta:FHUI.
MB. Hoeker. Adat Law in Modern Indonesia. Oxford University Press. Kuala Lumpur.
1978.
Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for
Minangkabau Studies, Padang, 1968.
Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum pada Program
Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam
di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam di Peradilan Agama.(kumpulan Tulisan). Jakarta
: Raja Grafindo Persada.2002.
Nasution, H. Ny. Rumonda, 1992. Harta kekayaan Suami Isteri dan Kewarisannya;
Jakarta; BPHN.
R. Van Dijk.Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A.Soehardi. Vorkink
van Hoeve Bandung.
Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma. Formaoiasi Syariat Islam Dalam Perspektif
Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.2006.
Sayuti Thalib. Receptie a Contrario. Hubungan hukum adat dengan Hukum
Islam. Jakarta: Bina Aksara.1980.
Soepomo.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta : Penerbitan Universitas.1996.
Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.
Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. hlm 6.
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van
Hoeve,s-Gravenhage.
Wirjono Prodjodikoro.Hukum Warisan Di Indonesia.Vorkink van Hoeve. Bandung.
R.van Dijk. Pengantar Hukum Adata Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi.
Vorkink van Hoeve. Bandung.
[1] M.Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafii dan Wasiat
Wajib di Mesir, tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut
Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982,
Jakarta:FHUI, 1982, hlm.154
[2] Wirjono Prodjodikoro.Hukum Warisan Di Indonesia.Vorkink van Hoeve.
Bandung.hal 8-10, R.van Dijk. Pengantar Hukum Adata Indonesia.
Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve. Bandung. Hal 43-45
[3] Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh),
Kertas Kerja Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini, Program
Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara,Medan.
[4] Soepomo.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta : Penerbitan
Universitas.1996.hlm 72.
[5] Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van
Hoeve,s-Gravenhage, hlm.8
[6] Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991.
hlm 6.
[7] Datuk Usman. Ibid.Hal 192
[8] Hilman Hadikusuma.1993. Hukum waris Adat. Bnadung : PT Citra Aditnya
Bakti.
[9] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat
dan BW, Bandung : PT.Refika Aditama, hlm.6-7.
[10] Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan BW Pewarisan
Menurut Undang-Undang.(Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2005) hal 13.
[11]Ahlan Sjarif. Ibid.
[12] R. Subekti, Op.cit., hlm 78
[13] R. Van Dijk.Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh
A.Soehardi. Vorkink van Hoeve Bandung. hlm 78.
[14] Hamka. Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara di dalam
Kebudayaan Minangkabau. Panji Masyarakat. Nomor 61/IV/1970. Hlm10
[15] A.Gani Abdullah. Badan Hukum Syara Kesultanan Bima. 1947-1957.
Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah. Jakarta.1987. hal 89.
[16] MB. Hoeker. Adat Law in Modern Indonesia. Oxford University Press.
Kuala Lumpur. 1978 hal 97.
[17] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata
Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 13.
[18] Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau.
Centre for Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal. 241.
[19] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 10-14.
[20]Strategi hukum di sini sama dengan politik hukum yaitu legal policy yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh penguasa negara
sebagaimana yang diintrodusir Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia.
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 9.
[21] Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip
Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
[22]Mohammad Daud Ali. Hukum Islam di Peradilan Agama.(kumpulan
Tulisan). Jakarta : Raja Grafindo Persada.2002. hlm 225
[23] A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma. Formaoiasi Syariat Islam Dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.2006. hlm 76.
[24] Teori receptie oleh Prof. Snouck Hurgronje bahwa hukum Islam baru
Dapat Diterima Setelah diakui oleh hukum adat. Dibuktikan dengan pasal
134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyi : Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak
ditentukan lain oleh ordonansi.
[25] Sayuti Thalib. Receptie a Contrario. Hubungan hukum adat dengan
Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara.1980. hlm 15.
[26] Secara yuridis konstitusional tidak ada istilah WNI keturunan tersebut. Tetapi secara sosiologis istilah
demikian ini masih sering dijumpai. Bahkan tidak jarang terdengar pemakaian istilah WNI pribumi dan non-
pribumi.
[27] Menurut A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Suatu
Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia. Dalam Amrullah Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH.Gema Insani Press, Jakarta, 1996,
hal. 147-155, KHI adalah hukum tidak tertulis, meski formatnya ditulis. KHI merupakan himpunan ketentuan
hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. KHI menunjuk adanya hukum tidak tertulis yang hidup
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menulusuri
norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukan, baik di dalam mau pun di luar pengadilan.
[28] Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta. Hlm 14.
[29] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema
Insani Press, Jakarta, 1996.
[30] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985, hal. 47.
[31] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 83.
[32] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra .Ibid. hlm 84
[33] Nasution, H. Ny. Rumonda, 1992. Harta kekayaan Suami Isteri dan Kewarisannya; Jakarta; BPHN.
KEDUDUKAN HUKUM WARIS ADAT TERHADAP
PLURALISME HUKUM WARIS DI INDONESIA
01APR
1. A. Pluralisme Hukum Waris di Indonesia
Hukum warisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-
masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan
ketentuan Pasal 163 IS Jo. Pasal 131 IS. Golongan penduduk tersebut terdiri dari :
Berdasarkan peraturan Perundang-undangan R. I. UU No. 62 / 1958 & Keppres No. 240 / 1957
pembagian golongan penduduk seperti diatas telah dihapuskan tentang hukum waris ini dapat dilihat di
dalam Hukum Kewarisam Islam, Hukum Adat & Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( BW ).
Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik & ciri khas masing-masing mengakibatkan terjadinya
perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Seperti yang telah terurai diatas, bahwa hukum waris di
Indonesia masih beraneka warna coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk termasuk kepada
hukumnya masing-masing, antara lain hal ini dapat dilihat pada golongan masyarakat yang beragama
islam kepadanya diberlakukan hukum kewarisan islam, baik mengenai tatacara pembagian harta pusaka,
besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, anak angkat, lembaga peradilan yang
berhak memeriksa & memutuskan sengketa warisan apabila terjadi perselisihan diantara para ahli waris
dan lain sebagainya. Untuk golongan masyarakat non muslim, mereka tunduk kepada hukum adatnya
masing-masing disana sisi dipengaruhi oleh unsur-unsur agama & kepercayaan. Begitu juga terhadap
golongan eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, aturan tentang hukum waris ini aspirasinya
separuhnya diserahkan kepada hukum perdata eropa ( kitab undang-undang hukum perdata ).
Dari penjelasan tersebut diatas, mengakibatkan pula terjadinya perbedaan tentang arti & makna hukum
waris itu sendiri bagi masing-masing golongan penduduk. Artinya belum terdapat suatu keseragaman
tentang pengertian & makna hukum waris sebagai suatu standard hukum ( pedoman ) serta pegangan
yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia .
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas
hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan
adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam
keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta pusaka, harta perkawinan,
harta bawaan dan harta depetan. Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang
yang mempunyai harta warisan. Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta
warisan atau orang yang berhak atas harta warisan. Cara pengalihan adalah proses penerusan harta
warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah wafat. Hukum waris adat sebenarnya
adalah hukum penerus harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang
dikemukakan oleh Ter Haar:
Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad
penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada
generasi berikut.[1]
Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang
tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunnya.[2]
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan
dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih
hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dari dua pendapat di atas juga terdapat
suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari
suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan
haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum
waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :
(1) Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya,
tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya
dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan
dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.
(2) Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana
diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.
(3) Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar
harta warisan segera dibagikan.
Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip (azas umum) , diantaranya adalah
sebagai berikut :
(1) Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas
atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan
keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada
ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara
sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan
pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.
(2) Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para
ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya
ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merukan satu kesatuan yang
tidak dapat dibagi untuk selamanya.
(3) Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai
ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia
tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh
ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.
(4) Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana hak dan kedudukan juga bisa
seperti anak sendiri (Kandung ).
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya
tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian
begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu
pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang
disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada
waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi, maka yang
menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :
(1) Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau
(3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana
(4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang minta, ditunjuk
dan dipilih oleh para ahli waris.
Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap
dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan bahwa:
hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan
bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.[3]
Untuk bidang hukum waris adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada umumnya disebabkan oleh
adanya pengaruh dari susunan / kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut
antara lain :
(3) Pertalian keturunan menurut garis Ibu & bapak ( Parental / Bilateral )
Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun bermacam-bermacam pula , yakni terbagi atas 3 ( tiga )
bagian yaitu :
Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh.
Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan dan pada syara adalah bagian yang
diqadarkan / ditentukan bagi waris dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli warsi
yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Dengan demikian faraidh antara lain mengatur tentang
tata cara pembagian Harta Warisan, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan,
pengadilan nama yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa warisan, sahabah-sahabah,
dan lain sebagainya.
Selanjutnya didalam hukum kewarisan islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan
kolektif maupun mayorat. Maka dengan demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak
Bapak atuapun pihak Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak
laki-laki ataupun pihak perempuan saja.
Ahli waris dalam Hukum Islam telah ditetapkan / ditentukan yakni terdiri dari :
I. PEREMPUAN
a. Anak perempuan
b. Cucu perempuan
c. Ibu
i. Isteri
1. Perempuan yang memerdekakan ( tidak ada lagi )
jika dikumpulkan maka laki-laki yang mendapat harta pusaka terdiri dari 15 ( lima belas ) orang yaitu :
a. Anak laki-laki
c. Bapa
n. Suami
Yaitu kaum keluarga yang lain yang tidak memperoleh pembagian pusaka, akan tetapi hanya
berdasarkan hubungan kasih sayang, ataupun disebut anak kerabat yang tidak termasuk zawil furud dan
juga tidak termasuk didalamnya golongan ashabah.
IV. ASHABAH
Ashabah menurut ilmu bahasa artinya penolong pelindung . Ashabah terdiri dari 3 ( tiga ) bagian :
Contoh : Semua daftar laki-laki dikurangi saudara laki-laki se Ibu dan suami
Contoh : Anak perempuan disebabkan karena adanya anak laki-laki dan anak perempuan.
1. Yang menjadi ashabah bersama orang lain (Ashabah Maalhair).
V. BAITU AL MAAL.
Jikalau didalam pembagian pusaka terdapat sisa, maka sisa itu menurut paham yang dianut dan
berkembang di Indonesia diberikan ke Baitalmal. Tujuanya adalah dipergunakan untuk Mesjid dan
kemaslahatan Kaum Muslimin. Kemudian secara singkat atau diuraikan mengenai ketentuan bagian-
bagian yang diperoleh ahli waris atas harta peninggalan sipewaris berdasarkan Hukum Islam yaitu :
1. 1/3 ( seperdua )
2. 1/4 ( seperempat )
3. 1/8 ( seperlapan )
4. 2/3 ( dua pertiga )
5. 1/3 ( sepertiga )
6. 1/6 ( seperenam )
Demikianlah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam menyangkut masalah ahli
waris dan bagian-bagian yang diperoleh terhadap harta peninggalan pewaris yang kelak akan dibagi-bagi
sesama ahli waris dengan sistem kewarisan Islam yang dianut yaitu sistem kewarisan Individual /
Bilateral.
Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
( BW ) yang menganut sistem individual, dimana peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan
pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti
eropah, cina, bahkan keturunan arab & lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sampai saat ini, aturan tentang hukum waris barat tetap dipertahankan, walaupun beberapa peraturan
yang terdapat di dalam KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi, seperti hukum perkawainan menurut
BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974, tentang perkawinan yang secara unifikasi berlaku
bagi semua warga negara. Hal ini dapat dilihat pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 /
1974 yang menyatakan : Untuk perkawinan & segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab
undang-undang hukum perdata ( BW), ordomensi perkawinan indonesia kristen ( Hoci S. 1993 No. 74 ) ,
peraturan perkawinan campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158 ) &
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pokok hukum waris barat dapat dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :
(1) Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seorang itu tidak
dipaksa mambiarkan harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama
berhak atasnya
(2) Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan
itu
(3) Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.
(4) Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi , kalau
tenggang lima tahun itu telah lampau.
Jadi hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat , harta warisan langsung dibagi-bagi kan
kepada para ahli waris. Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan ( pusaka ) yang belum
dibagi segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentang dengan itu, kemungkinan untuk
menahan atau menangguhkan pembagian harta warisan itu disebabkan satu dan lain hal dapat berlaku
atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun kecuali dalam keadaan luar
biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang dengan suatu perpanjangan baru . Sedangkan ahli waris
hanya terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Ahli waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab Intestato
a. Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (si almarhum)
Yang termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan
surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya.
Pada dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris BW ini, cukup banyak bidang-bidang
yang harus dibahas diantaranya pengertian keluarga sedarah dan semenda, status hukum anak-anak
tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah, dan lain sebagainya.
Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini , yang masing-masing mempunyai warna dan
karakteristik tersendiri, memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan alam pikiran serta jiwa
pembentukannya, yang masing-masing hukum waris mempunyai latar belakang sejarah serta pendangan
hidup dan keyakinan yang berbeda-beda pula yang mengakibatkan terdajinya pluralisme hukum waris di
Indonesia.
1. E. Kesimpulan
Pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman sebagai suatu pedoman atau standar hukum,
dimana tiap-tiap golongan penduduk memberi arti & definisi sendiri-sendiri, seperti terlihat pada sistem
hukum kewarisan Islam, hukum waris barat dan hukum waris adat. Namun demikian berbicara mengenai
hukum waris, ketiga sistem hukum waris itu sepakat bahwa didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni,
adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris dan
adanya ahli waris.
Tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum
waris, mengingat kebutuhan hukum anggota masyarakat tentang lapangan hukum bersangkutan adalah
beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut
tidak mungkin disamakan. Disamping itu terkait pula dengan hubungan dan didomonasi oleh perasaan,
kesadaran, kepercayaan dan agama, dengan kata lain bertalian erat dengan pandangan hidup
seseorang.
Dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada susunan kekeluargaan parental dan sistem
pewarisan individual , walaupun disana sini masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua
lelaki sebagai pengganti kedudukan ayah, keluarga-keluarga indonesia cendrung untuk tidak lagi
mempertahankan sistem kekerabatan patritineal atau matrilineal dengan sistem pewarisan kolektif atau
mayorat. Artinya didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan hukum adatnya yang
lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
1. Ter Haar, 1990, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto,
Let. N. Voricin Vahveve, Bandung.
2. Soepomo,1993, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Hazairin, 1975, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
4. Hilman Hadikusuma , 1993 , Hukum Waris Adat , PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung.
5. R. Subekti & R. Tjitrosedibio , 1980 , Kitab Undang Undang Hukum Perdata , Pradnya Paramita
, jakarta.
6. Jurnal Syaiful Azam, Pluralisme Hukum Waris Indonesia , Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara
7. Modul Hukum Waris, Heru Kuswanto, Sistem Hukum waris, Fakultas Hukum Universitas
Narotama Surabaya
Sumber Internet
1. http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat/
2. http://jawaposting.blogspot.com/2011/02/pengertian-dan-istilah-hukum-waris-adat.html
3. http://kayosakti.blogdetik.com/index.php/2011/05/09/tinggalkan-hukum-waris-adat-guna-hukum-
waris-islam/
Dosen
Oleh :
NIM 0910110162
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2012
PENDAHULUAN
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan
dalam pembangunan hukum nasional yang enuju kearah unifikasi hukum yang terutama akan
dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.
Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat untuk pembinaan hukum waris nasional adalah
hukum waris adat. Oleh karena itu hukum waris adat perlu diketengahkan dengan jalan
melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan untuk dapat
mengetahui apakah dari sistem dan azas hukum waris adat yang terdapat di seluruh wawasan
nusantara ini dapat dicari titik temu dan kesesuaiannya dengan kesadaran hukum nasional.
Apakah azas kesamaan hak yang akan dijadikan landasan ataukah azas kerukunan yang akan
digunakan sebagai landasan dalam menentukan hukum waris adat di Indonesia.
Hukum waris bagi bangsa Indonesia tidak berarti waris setelah seseorang pewaris meninggal
dunia, melainkan dapat terjadi pewarisan dalam arti penunjukan atau penerusan harta
kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup. Demikian corak hukum waris adat bangsa
Indonesia yang selama ini berlaku, berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris barat.
Penguraian hukum waris adat ini dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran bagaimana
hukum waris adat di Indonesia yang tidak terlepas hubungannya dengan susunan
masyarakatnya diberbagai daerah yang berbeda-beda.terutama memberikan uraian mengenai
hukum adat yang menyangkut hukum waris itu sendiri serta tentang azas-azas dan sistem
hukum waris adat pada umumnya di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Hukum Waris Adat
Secara umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-Undang
hukum perdata dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan
meninggalnya seseorang, akhibat-akhibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akhibat
dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam
hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris
adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada
keturunannya.
Adapun pendapat para ahli hukum adat tentang hukum waris adat adalah sebagai berikut:
Ter Haar menyatakan: Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan
tidak berwujud dari generasi ke generasi.
Menurut Wirjono, pengertian warisan ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan
bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga
waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
Pernyataan ini bertentangan dengan pendapat Soepomo yang menyatakan: Hukum adat waris
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-
barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari
suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu
orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal
dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses
itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan
pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut
Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan
dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan
peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris
maninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan
atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.
2. Sifat Hukum waris adat
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai
harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis
macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai
kesatuan dari uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan
yang berlaku sebagaimana di dalam hukum waris islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan
pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah
milik beberapa para waris, ia tidak boleh memiliki secara perorangan, tetapi ia dapat dipakai
dan dinikmati.
KESIMPULAN
Dalam hukum waris adat di Indonesia itu mempunyai corak sendiri berbeda dengan hukum
waris islam atau hukum waris barat. Peralihan harta kekayaan pada hukum waris adat tidak
memandang pewaris sudah meninggal dunia atau masih hidup. Sehingga hukum waris adat
dipandang sebagai peralihan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya tanpa
memperhitungkan sudah meninggal atau masih hidupnya pewaris.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI
Press), 1990
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1990
Soekanto, Soejono, et.al., Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986
Sudarsono, Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, Jakarta: PT. Melton Putra, 1991
PERANAN HUKUM ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL
1. LATAR BELAKANG
Hukum adat menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto adalah keseluruhan adat ( yang tidak tertulis
dan hidup di dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman ) yang
merupakan akibat hukum. Hukum adat pada saat kini selalu dipertanyakan kekuatan
mengikatnya kedalam hukum positif Indonesia, karena bentuk dari hukum adat adalah
merupakan suatu hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Dari pengertian tersebut seolah olah hukum adat bertentangan dengan asas
legalitas dalam hukum positif Indonesia. Hukum adat seolah olah hanya mengikat untuk
masyarakat pedesaan dan pedalaman. Padahal hukum adat adalah hukum murni bangsa
Indonesia yang eksistensinya tidak bisa dilupakan begitu saja. Hukum adat adalah hukum
yang hidup dan tumbuh dalam sendi sendi kehidupan masyarakat. Hukum adat tidak bisa
mati karena akan selalu bergerak dinamis menyesuaikan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Dalam sistem hukum agraria nasional atau hukum tanah nasional hukum adat dijadikan
sebagai sumber utam dalam penyusunanya. Hal tersebut terdapat dalam pasal 5 Undang
Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yang berbunyi hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air, dan angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dlam peraturan peraturan yang tercantum dalam Undang
Undang ini sertaperaturan peraturan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur
unsur pada hukum agama. Serta tercantum dalam pasal 3 UUPA No. 5 tahun 1960
dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak serupa
itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang
undang dan peraturan peraturan yang lebih tinggi . Dari kedua pasal tersebut terlihat
bahwa dalam hukum agraria nasioanl bersumber dari sistem hukum adat dan masih
menggap eksistensi hukum adat dalam hukum agararia nasional.
Memang hukum agraria nasional bersumber dari hukum adat dan hukum adat dalam sistem
hukum agraria nasional dijadikan sebagai pelengkap dari sumber hukum yang tertulis
karena sistem dalam hukum adat yang kita kenal adalah sistem komunal atau lebih
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Sistem tersebut
dipercaya bisa memberikan dampak hukum yang positif bagi hukum agraria nasional. Hal
lain sistem hukum adat dirasakan sebagai suatu tatanan hukum yang cocok bagi
kepribadian hukum nasional.
Hukum positif yang berlaku saat ini khususnya hukum agraria nasional banyak sekali
bersumber dan menjadikan hukum adat sebagai pedoman penyusunan hukum positif
tersebut. Apabila suatu hukum positif pada umumnya atau hukum agraria pada khususnya
bertentangan dengan sistem hukum adat maka hal tersebut bertentangan dengan hukum
yang berlaku dalam masyarakat. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif tidak akan
pernah mati, karena sistem hukum adat bersifat elastik dan dinamik. Bagaimana kekuatan
mengikat hukum adat bila kita bandingkan dalam sistem hukum positif Indonesia menjadi
suatu hal yang menarik untuk dibahas dalam makalah ini.
2. RUMUSAN MASALAH
3. TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini yang pertama untuk memenuhi tugas kompentensi dasar ke
III mata kuliah hukum adat oleh Ibu. Andri Astuti, S.H. yang kedua penulisan makalah ini
betujuan agar para pembaca dapat mengetahui apa itu yang dimaksud dengan sistem
hukum adat, eksistensi hukum adat pada saat ini, dan implikasi hukum adat dalam sistem
hukum pertanahan nasional atau sistem hukum agraria nasional. Karena saat ini banyak
yang menyatakan sistem hukum adat tidak memiliki kekuatan hukum karena bentuknya
yang sebagian besar tidak tertulis.
Dalam penulisan makalah ini saya menyadari masih jauh dari kata sempurna, sehingga
saran dan kritik yang membangun dalam penulisan makalah ini sangat sasya harapkan. Ada
pepatah Tiada gading yang tak retak sehingga saya masih menyadari banyak kekurangan
dalam penulisan makalah saya. Makalah ini saya beri judul peranan hukum adat dalam
hukum agraria nasional karena dalam sistem agraria nasional bersumber dari sistem
hukum adat nasional.
4. KAJIAN TEORITIS
Hukum adat adalah keseluruhan adat ( yang tidak tertulis dan hidup dalam mayarakat
berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman ) yang merupakan akibat hukum ( soejono
soekanto ).
Pasal 5 Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yang berbunyi hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air, dan angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dlam peraturan peraturan yang tercantum dalam
Undang Undang ini sertaperaturan peraturan lainya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur unsur pada hukum agama .
pasal 3 UUPA No. 5 tahun 1960 dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak hak serupa itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang undang dan peraturan peraturan yang lebih tinggi .
Peraturan menteri dalam negeri Ka BPN No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi esistensi
hukum adat diakui bila ada masyarakat hukum adat, tanah ulayat dan hukum tanah yang
berlaku ditaati oleh masyarakat adat.
5. PEMBAHASAN
Hukum adat untuk mencapai tujuanya menurut djoyodiguno dalam bukunya yang berjuduk
reorientasi hukum adat , hukum adat agar mencapai tujuanya harus berubah sesuai
zaman atau bersifat dinamik dan elastik. Hukum adat adalah living law atau suatu hukum
yang hidup yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Hukum adat tidak akan pernah mati
karena sesuai dengan perkembangan zaman dan keinginan masyarakat itu sendiri, sehingga
apabila suatu hukum adat sudah dirasa tidak sesuai keinginan masyarakat maka hukum
adat itu akan mati dan berganti dengan hukum baru secara sendiri.
Hukum adat juga memiliki kekuatan meteriil yang mengikat bagi masyarakat adat, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kekuatan meteriil hukum adat antara
lain; seberapa jauh hukum adat selaras dengan nilai kemasyarakatan, seberapa jauh
peraturan yang diterapkan selaras dengan sestem hukum yang berlaku, sebarapa jauh
hukum adat tersebut sapat membawa perubahan keadaan sosial dari masyarakat. Hal hal
tersebut merupakan suatu yang menjadi faktor faktor tinggi rendahnya kekuatan
mengikat hukum adat.
Menurut Berrand ter Haar, yang menjadi sumber pengenal hukum adat adalah keputusan
penguasa adat. Sedangkan menurut Koesnoe yang menjadi sumber pengenal hukum adat
ialah apa yang benar benar terlaksana di dalam pergaulan hukum di dalam masyarakat
yang bersangkutan, yang dimaksud pergaulan hukum adalah gejala sosial yang secara
dikehedaki atau tidak oleh para pihak yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan yang
terkandung gejala gejala sosial
Hukum adat merupakan suatu hukum yang memiliki sifat sifat yang memiliki ciri khas
tersendiri. Sifat sifat hukum adat adalah religius magis atau hukum adat memiliki
hubungan batin yang melekat dari diri individu, sikap komunal yang lebih mengutamakan
kepentigan umum daripada kepentigan individual, yang ketiga memiliki sifat kontak dan
yang terakhir memiliki sifat konkret. Sifat sifat tersebut merupakan suatu sifat yang
membedakan hukum adat dengan hukum yang lainya. Dari sifat diatas bisa disimpulkan
hukum adat lebih mengutamakan kepentingan umum daripada individual ( komunal ).
Hukum adat adalah suatu hukum asli dari bangsa kita. Hukum adat tidak akan bisa mati
terhapus oleh waktu. Sedangkan hukum positif adalah hukum yang saat ini berlaku atau
hukum yang sekarang. Dalam penerapanya hukum adat, hukum adat selalu menjadi
sumber hukum bagi hukum positif Indonesia. Pada dasarnya sistem hukum positif tidakakan
pernah melenceng dari sistem hukum adat, karena hukum positif itu sendiri tidak mungki
bertentangan dengan hukum masyrakat yang ada. Apabila hukum positif bertentangan pasti
akan ditolak dalam masyarakat.
Hukum adat pada masa kini dianggap sudah tidak punya kekuatan mengikat dan hanya ada
dalam masyarakat masyarakat tertentu saja, padahal pada dasarnya hukum adat selalu
ada dalan kehidupan kita baik dalam kehidupan bemasyarakat maupun bernegara. Hukum
adat tetap akan selalu ada dan memiliki kekuatan mengikat dalam diri sendiri yang
mengandung kekuatan moril dari setiap individu. Hukum adat akan selalu mengikuti
perkembangan masyarakat yang dinamis dalam mencapai tujuanya, sehingga huku adat
akan tidak lekang dimakan waktu.
Dalam hukum positif atau hukum yang berlaku saat ini banyak sekali bersumber dalam
hukum adat dan menjadikan hukum adat sebagai patokan dalam penyusunan hukum,
seperti dalam sistem hukum agraria yang berpedoman dalam sistem sistema adat
terutama dalam hukum adat atas tanah atau hak hak ulayat dan sebagainya. Pada
dasranya hukum positif adalah hukum yang mengikat secara umum atau mengikat
masyarakat pada keseluruhanya. Sehingga dalam pelaksanaan harus tidak boleh
bertentangan dengan norma norma yang hidup dalam masyarakat. Norma norma yang
hidup dalam masyrakat secara umum dapat disimpulkan sebagai suatu hukum yang hidup
dalam masyarkat atau hukum adat. Dalam pelaksanaanya hukum positif dan hukum adat
memiliki interpedensi atau hubungan yang sangat erat dan tidak boleh bertolak belakang
antara satu dengan lainya, sehingga akan menjadi penyenpurna antara satu dengan lainya.
Hukum adat harus bersifat dinamis sehingga dapat menyesuaikan antara kebutuhan hidup
dalam masyarakat dan hukum positif, sebaliknya setiap hukum positif tidak boleh
betentangan dengan hukum adat yang hidup dalam masyarakat.
Dari hal hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi hukum adat dalam hukum
positif indonesia akan selalu ada dan tidak akan pernah mati. Hukum adat dan hukum
positif menjadi suatu yang saling melengkapi antara satu dengan lainya. Hukum adat selalu
akan bergerak elastik dan dinamis menyesuaikan kehidupan dalam masyarakat dan hukum
positif akan selalu tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau
hukum adat. Apabila hukum adat bertentangan dengan masyarakat maka hukum adat
tersebut tidak akan bisa eksistensi, sehingga apabila dirasa sudah tidak memberikan atau
tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat maka hukum adat tersebut akan bergantu
dengan sendirinya sesuai dengan kehidupan masyarakat yang kompleks. Selain itu
eksistensi hukum adat dalam hukum positif juga tidak akan pernah mati.
Dalam pasal 3 UUPA no. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa dalam hukum agraria nasional
bersumber dan mengakui adanya hukum adat atau hak hak ulayat. Hak ulayat adalah hak
dari masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberikan
kewenangan tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan
tanah. Dalam UUPA dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Agraria Ka. BPN No. 5 tahun 1999
hak hak ulayat diakui dengan syarat eksistensinya masih ada dan pelaksanaanya sesuai
dengan negara serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Selanjutnya
kriteria eksistensinya hukum adat adalah adanya hak ulayat, tanah ulayat, dan berlaku
serta ditaati warga masyarakat. Dalam hal tersebut jelas UUPA masih mengakui adanya hak
hak ulayat dan hhukum adat.dalam UUPA juga dijelaskan peranan hukum adat dalam
pembangunan hukum atanh nasional adalah sebagai sumber utama dalam pembangunan
hukum tanah nasional dan sebagai pelengkap hukum tanah nasional tertulis. Hukum adat
adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang berbentuk tidak tertulis dan mengandung
unsur nasional yang asli dan sifat kemasyarakatan dan keluargaan yang berasaskan
keseimbangan dan meliputi oleh suasana keagamaan.
Dalam UUPA pengertian hukuma dat meliputi lima aspek yaitu, konsepsi, asas, lembaga
hukum, sistem, dan norma yang tertulis. Konsepsi hukum adat meliputi sistem
komunalisitik, religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak
atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan, karena pada
hakekatnya sistem adat mengunakan asas komunal atau lebih mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadi. Konsepsi hukum adat diakomodasikan dalam pasal 1
ayat ( 2 ), pasal 6, pasal 3, dan pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960. sedangkan asas asas
hukum tanah adat meliputi asas religiusitas ( pasal 1 UUPA ), asa kebangsaan ( Pasal 1, 2,
5 ayat ( 1 ) UUPA ), asas demokrasi ( Pasal 9 ayat ( 2 ) UUPA ), asas kemasyarakatan
pemerataan dan keadilan sosial ( pasal 6, 7, 10, 11, 13 UUPA ), asas pengunaan dan
pemeliharaan secara berencana ( pasal 14, 15 UUPA ), asas pemisahan horisontal tanah
dengan bangunan dan tanah diatasnya. Sedangkan lembaga hukum adat dalam hukum
tanah nasional disempurnakan dan disesuaikan seperti HGU, HGB, pendaftaran tanah, dll.
6. PENUTUP
Hukum adat adalah hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat serta hukum asli
masyarakat Indonesia yang berbentuk tidak tertulis dan mengandung unsur nasional yang
asli dan bersifat kemasyarakatan dan keluargaan yang berdasarkan keseimbangan dan
diliputi oleh suasana keagamaan. Hukum adat bersifat elastis dan dinamis atau bergerak
berdasarkan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuanya, karena apabila hukum adat
tidak bergerak secara elastik dan dinamis maka hukum itu tidak akan bisa diterima dalam
kehidupan bermasyarakat. Hukum adat tidak akan penah mati karena terus bergerak
mengikuti kehidupan masyarakat yang kompleks.
Hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini atau masa sekarang. Eksistensi hukum
adat dalam hukum positif Indonesia tetapHukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini
atau masa sekarang. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif Indonesia tetap ada.
Hukum adat dan hukum positif saling melengkapi antara satu dengan lainya. Hukum positif
tidak akan pernah bertentangan dengan hukum adat, begitupun hukum adat juga tidak
akan bertentangan dengan hukum positif. Hukum adat dan hukum positif harus bergerak
mengikuti perubahan masyarakat secara elastik dan dinamis.
Dalam UUPA masih mengunakan sumber hukum adat sebagai pedoman penyusunanya.
Hukum adat menjadikan sumber utama serta pelengkap dari hukum tertulis atas tanah.
Penyusunan hukum tanah nasional tidak boleh bertentangan dengan sistem tanah adat
serta harus berdasarkan hak hak ulayat yang msih berlaku. Syarat diakuinya hak ulayat
dalam UUPA adalah eksistensinya masih ada dan pelaksanaanya sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih
tinggi. Berdasarkan pasal 1, 2, 4, 9, 16 UUPA dapat disimpulkan dan diketahui bahwa
hukum tanah adat mengenai sistematika hubungan manusia dengan tanah.
7. DAFTAR PUSTAKA
1) Wiyarti, Sri. 2005. hukum adat suatu pengantar. Surakarta. UNS press.
2) Astuti,Andri.S.H.1996.hukum adat.Surakarta.UNS press.
3) Ali, Muhammad Daud, 2000, hukum islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
4) Ujan,Andreas Ata, 2009, filsafat hukum , membangun hukum, membela
keadilan.Jakarta: Kanisius
5) Karjoko,Lego, S. H. 2008. hukum agaraia nasional. Surakata. UNS press.
D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada di
dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang
ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut.
Unsur-unsur yang penting dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan dengan uraian
ini lebih lanjut adalah:
1. Bahwa tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh
kesempatan untuk mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
2. Bahwa UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah (pasal 19)
3. Bahwa UUPA No.5 1960 membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
4. Perintah penegasan hak-hak atas tanah adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960 diundangkan
(pasal-pasal ketentuan Konversi).
Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya, akan tetapi pengakuan
itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
1. Eksistensinya masih ada
2. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
3. Tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru
(UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta
diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi
di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak
ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di
dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada
dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih
ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah
(umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar
pendapatnya dan akan diberi recognitie, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak
ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut
menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu
sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu
masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara
besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan
rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula,
bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran
mengenai hak ulayat, inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di
atas. Kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang
lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan
mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau
melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses
alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk
manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan
kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat,
sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk
itulah diperlukan kaedah-kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan
antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah
sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai
tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka
dimakamkan, tanah dimana meresap daya-daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan
karenanya tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak
dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa
pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi.
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah-kaedah hukum. Keseluruhan kaedah
hukum yang timbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah
sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan antar sesame manusia adalah sangat
berhubungan erat tentang pemamfaatan sekaligus menghindarkan perselisihan dan
pemamfaatan tanah sebaik-baiknya. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat. Dari
ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat
dengan hak-hak yang ada di atas tanah.
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat dualisme, yang dapat
diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa di satu pihak,
dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.[1] diseluruh Indonesia kita melihat adanya
hubungan-hubungan antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, atau dengan
kata lain, persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah-tanah itu, yang
dinamakanBeschikkingsrecht.
Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara hokum tanah adapt dengan
hukum tanah nasional.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka kita dapat melihat adanya
dualisme hukum adat di Indonesia. Di Indonesia belakangan dibuatlah suatu peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960). Undang Undang diciptakan untuk
mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional. Sehingga, muncul beberapa pertanyaan,
antara lain adalah :
1. Bagaimana pengaturan hukum tanah adat yang ada di Indonesia sebelum dan sesudah adanya
UUPA?
2. Bagaimana kedudukan hukum tanah adat (atau tanah adapt) dalam hokum nasional?
Penulisan makalah ini dilakukuan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat
bermanfat.
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan
studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku
sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan dan dengan pencarian
data melalui internet.
Manfaat yang penulis harapkan atas tersusunnya makalah ini mudah-mudahan dapat
bermanfaat dalam memberikan informasi dan penjelasan mengenai bagaimana pengaturan
hukum adat di Indonesia, dan bagaimana juga kedudukan hukum adat dalam hukum nasional.
Penulis juga berharap agar makalah ini dapat memenuhi tuntutan perkuliahan yang sedang
dijalani.
BAB II
TINJAUAN UMUM
Ilmu agraria adalah ilmu yang mempelajari semua hal yang berhubungan dengan
masalah tanah pada umumnya, misalnya masalah erosi, masalah kesuburan tanah, masalah
jenis dan karakteristik tanah, dan masalah yang berkaitan dengan pengaturan masalah tanah.
Hukum agraria adalah bagian dari ilmu agraria. Dalam arti sempit, hukum agraria berarti
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tanah pada umumnya. Hukum agraria lama,
yaitu hukum agraria sebelum Undang-undang No. 5 tahun 1960 diberlakukan, sebagian
merupakan hukum yang tertulis, dan sebagian lagi merupakan hukum yang tidak tertulis.
Bagian hukum agraria tertulis, kaidah-kaidahnya bersumber pada hukum agraria barat,
yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan pemerintah kolonial Belanda. Perundang-
undangan itu ada yang berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda, ada juga yang hanya
berlaku untuk daerah tertentu, misalnya hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura saja.
Hukum agraria tertulis antara lain seperti yang terdapat dalam Agrarische Wet, stbl. tahun 1870
no. 55,Agrarisch Besluit, stbl. tahun 1870 no. 118 dan perundang-undangan pelaksanaannya,
atau yang terdapat dalam kitab undang-undang yang sudah tersusun secara sistematis,
terkodifikasi, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek (BW)).
Sedang bagian hukum agraria tidak tertulis, kaidah-kaidahnya bersumber pada hukum
adat bangsa Indonesia. Yaitu hukum yang sudah ada, ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh
bangsa Indonesia, jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia (Hindia Belanda).
Dengan demikian hukum agraria lama, yang berlaku di Indonesia sebelum berlakunya
UUPA, mempunyai sifat dualistis. Artinya hukum agraria tersebut ada yang bersumber
pada hukum barat(tertulis), selain yang bersumber pada hukum adat (tidak tertulis) bangsa
Indonesia.
Apabila kita berbicara hukum adat bangsa Indonesia, maka kita harus mengarahkan
pandangan kepada seluruh wilayah Indonesia, wilayah Negara Republik Indonesia (Hindia
Belanda) terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil. Bangsa Indonesia yang menghuni
negara ini terdiri dariberbagai macam suku bangsa, berbagai macam bahasa daerah, berbagai
macam agama, mempunyai berbagai macam corak adat istiadat yang berbeda-beda. Hukum
adat di suatu daerah tertentu berbeda dengan hukum adat yang berlaku di daerah lain.
Dengan demikian walaupun hukum adat itu mempunyai sistem dan asas yang sama,
yaitu sebagai hukum yang tidak tertulis bagi segenap bangsa Indonesia di seluruh wilayah
Indonesia, namun dalam hukum adat itu terdapat pula perbedaan-perbedaan ketentuan hukum
menurut daerah atau lingkungan hukum adat masing-masing. Berhubungan dengan itu, maka
hukum agraria adat tersebut isinya tidak sama, beraneka ragam untuk tiap daerah.
Oleh karena itulah maka hukum agraria berlaku sebelum keluarnya Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), tidak hanya bersifatdualistis tetapi juga bersifat pluralistis atu beraneka
ragam (Boedi Harsono, 1970: 37).
2.3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Untuk menciptakan hukum agraria nasional guna menjamin kepastian hukum bidang
pertahanan, maka dilakukanlah unifikasi hukumpertahanan dengan membentuk UU no. 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA
pada tanggal 24 September 1960. Alasan-alasan lahirnya UU No.5 Th 1960 (UUPA), yaitu:
a. karena hukum agraria yang berlaku sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
dari pemerintah jajahan (Belanda), hingga bertentangan dengan kpentingan negara;
b. karena akibat politik-hukum penjajahan, sehingga hukum agraria tersebut mempunyai sifat
dualisme, yaitu berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan-
peraturan hukum barat, shg menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit,
juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa;
c. hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli.
Hukum agraria sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUPA, adalah suatu kelompok
berbagai hukum, yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumbe-sumber alam. Dalam
pengertian yang luas, ruang lingkup hukum agraria meliputi: hukum tanah, hukum air, hukum
kehutanan, hukum pertambangan/bahan galian, hukum perikanan dan hukum ruang angkasa
(hukum yang mengatur penguasaan unsur-unsur tertentu ruang angkasa).
Adapun Tujuan dari dibentuknya UUPA terdapat pada Penjelasan Umum UUPA, yaitu:
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama
rakyat tani, dlm rangka masyarakat yg adil dan makmur;
b. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan;
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat seluruhnya.
Hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah, yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan
hukum konkrit dengan tanah. Pembatasan serupa dapat kita adakan juga dengan bidang
hukum lain yang merupakan unsur-unsur dari kelompok hukum agraria di atas, seperti hukum
air, hukum kehutanan, hukum pertambangan/bahan galian, hukum perikanan dan hukum ruang
angkasa.
BAB III
PEMBAHASAN
Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka
tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah republik Indonesia, adalah karunia Tuhan
Yang Maha Esa pada bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara
bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
Dalam Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang
ini dengan peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat
tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan
tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur
Asing. Hukum adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja akan tetapi
juga berlaku untuk tanah- tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat.
Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan
tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari
kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat tu segala kewenangan mengenai
persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara.
Setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan.
Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual
beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak
ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari
nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui,
karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti
dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan negara perbatasan dengan
bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
Peraturan-peraturan lainya.
Selain itu ada juga perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum dan
sesudah berlakunya UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah. Sebelum
berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni penjualnya. Itu
sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan
surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah
hak oleh penjual kepada pembeli. Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal daluarsa.
Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dulu, sesuatu bidang
tanah yang sudah dibuka atas izin pemangku adat atua kepala adat yang berwenang, maka
setelah beberapa tahun tidak dikerjakan/ditanami kembali ditutul belukar dapat diberi
peruntukan lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan
tanah itu telah kembali kepada hak ulayat desa.
Dalam perjalan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud digunakan
terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan izin lagi untuk menggunakan tanah secara
terus menerus makin lama seorang memanfaatkan hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat di
atasnya, sampai pada akhirnya menjadi hak milik.
Hak milik juga mengalami perubahan, sebelum berlakunya UUPA, lazimnya didaftarkan
dan dikenakan pajak hasil bumi. Walaupun peraturan perpajakan ini tidak menentukan hak atas
suatu bidang tanah, tetapi sejarah penggunaan dan pemilikan penguasa tanah secara tidak
langsung dipotong dokumentasi/administrasi perpajakan serta pembayaran pajak tersebut.
Sejak berlakunya UUPA, keadaannya menjadi lain, akibat adanya ketentuan konversi dan politik
hukum agraria yang merubah stelsel lama.
4.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya
suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih agi dalam pembagian tanah
persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Juga dapat dilihat bagaimana pembagian
hak-hak atau pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk
menertibkan pemakaian tanah adat sehingga benar-benar menjamin keadilan. Namun,
kepastian hukum tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka. Di
sinilah kedudukan peran pemerintah selaku penguasa untuk menetapkan suatu teknis
pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam bidang agraria.
Hukum tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal,
karena ini disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat
keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga kiranya dengan
tanah adat yang sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan
kelestariannya jika ada pihak-pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan
zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
Penjelasan UUPA Paragraf III, menegaskan bahwa hukum adat yang dimaksud dalam
UUPA adalha hukum adat yang disempurnakandan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional,
serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia Sehingga hukum adat yang menjadi sumber
utama hukum agraria nasional adalah Prinsip-prinsip dan konstruksi-konstruksi hukum adat
yang ada di Indonesia yg dipergunakan.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum
tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya
tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.
Bab VII
Pasal 35
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Penjelasannya; Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut
hukumnya masing-masing
Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan dikenal dua
macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ; pemberian, warisan. Dan
harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa
masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta
bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.
Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan
Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama
dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat
meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam
perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta
bersama itu.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing.
Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-
masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut
bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula dengan
kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri. Dengan
kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada