Anda di halaman 1dari 60

UNIFIKASI HUKUM SEBAGAI SOLUSI PLURALISME

HUKUM WARIS DI INDONESIA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum
yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya peristiwa
hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut. [1] Penyelesaian
hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum
waris.
Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan pluralistik (beragam). Di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni
hukum waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW). Keanekaragaman hukum ini semakin menjadi-jadi karena hukum waris adat
yang berlaku pada kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam mengikuti
bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat Indonesia.
Sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia berpokok pangkal pada sistem menarik
garis keturunan. Pada umumnya dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni (1) sistem
patrilineal (terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan
Bali), (2) sistem matrilineal (terdapat di daerah Minangkabau), dan (3) sistem bilateral atau
parental (terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera
Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan Lombok).[2]

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas ,penulis dapat merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana eksistensi pluralisme hukum waris di Indonesia?
2. Bagaimana solusi untuk mengatasi pluralisme hukum waris di Indonesia?

C. Maksud dan Tujuan Penulisan


Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui pluralisme hukum waris yang berlaku di Indonesia.
2. Mengetahui permasalahan yang diakibatkan oleh pluralisme hukum waris di Indonesia.
3. Mengetahui pentingnya unifikasi hukum waris di Indonesia.
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai bahan diskusi mengenai pluralisme hukum waris di Indonesia dan pentingnya unifikasi
hukum waris nasional.
2. Sebagai prasyarat dari mata kuliah Hukum Waris
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris


Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, hukum waris di Indonesia masih beraneka warna
coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk tunduk kepada hukumnya masing-masing. Hal
ini mengakibatkan terjadinya perbedaan tentang arti dan makna hukum waris. Namun demikian,
apabila berbicara mengenai hukum waris, maka pusat perhatian tidak terlepas dari 3 ( tiga ) unsur
pokok yakni :
adanya harta peninggalan ( kekayaan ) pewaris yang disebut warisan,
adanya pewaris yaitu orang menguasai atau memiliki harta warisan dan mengalihkan atau
meneruskannya,
adanya ahli waris, orang yang menerima pengalihan ( penerusan ) atau pembagian harta warisan
itu .
Berikut beberapa pengertian hukum waris :
1. Menurut H. Abdullah Syah dalam hukum kewarisan Islam (hukum faraidh ), pengertian hukum
waris menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan, dan pada syara adalah bagian-
bagian yang diqadarkan / ditentukan bagi waris. Dengan demikian faraidh adalah khusus
mengenai bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. [3]
2. Menurut pasal 171 huruf A Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakanHukum Kewarisan
adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak milik harta peninggalan (tirkah)
pewaris, menetukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-
masing.
3. Menurut Soepomo ditinjau dari hukum adat, pengertian hukum waris adalah peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoper barang-barang yang tidak
berwujud benda Immateriele Goederen dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada
keturunannya . [4]
4. Menurut Kitab Undang-undang hukum perdata ( BW ), pengertian hukum waris terdapat pada
pasal 171 ayat (a) KHI yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing."

B. Pluralitas Hukum Waris di Indonesia


Hukum waris tunduk kepada hukum yang di anut oleh pewaris. Sistem hukum waris yang
dianut di Indonesia meliputi : Hukum Waris Islam, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris
menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW).
Berikut akan dibahas mengenai pengaturan waris menurut ketiga hukum tersebut.
1. Hukum Waris Islam
Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh.
Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir / qadar / ketentuan dan pada syara adalah bagian yang
diqadarkan / ditentukan bagi ahli waris.
Harta warisan menurut Hukum Islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang
meninggal dunia dalam keadaan bersih. Artinya, harta peninggalan yang diwarisi oleh para ahli
waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak, setelah dikurangi dengan pembayaran
hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si
peninggal waris[5]
Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapatkan bagian harta
peninggalan menurut Al-Quran, yaitu:
a. Karena hubungan darah;
b. Hubungan semenda atau pernikahan;
c. Hubungan persaudaraan, karena agama yang ditentukan oleh Al-Quran bagiannya tidak lebih
dari sepertiga harta pewaris;
d. Hubungan kerabat karena sesame hijrah pada permulaan pengembangan Islam, meskipun tidak
ada hubungan darah.
Ahli waris dalam hukum Islam secara garis besar dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:
a. Ahli waris menurut Al-Quran atau yang sudah ditentukan di dalam Al-Quran disebut dzul
faraaidh sehingga bagian mereka selamanya tetap tertentu dan tidak berubah-ubah.
b. Ahli waris yang ditarik dari garis ayah, disebut ashabah yaitu golongan ahli waris yang
mendapat bagian terbuka atau sisa. Jadi, bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluakan
adalah dzul faraaidh, setelah itu sisanya diberikan kepadaashabah.
c. Ahli waris menurut garis ibu, disebut dzul arhaam. Golongan ini baru akan mewaris jika sudah
tidak ada dzul faraaidhdan tidak ada pula ashabah.
Di samping itu semua, dikenal pula kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu ahli waris yang
didahulukan untuk mewaris dari kelompok ahli waris lainnya, yang terdiri dari:
a. Keutamaan Pertama, yaitu:
- anak laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan anak yang meninggal
dunia
- ayah, ibu dan duda/janda, bila tidak terdapat anak
b. Keutamaan Kedua, yaitu:
- saudara, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti kedudukan saudara;
- ayah, ibu dan janda atau duda, bila tidak ada saudara
c. Keutamaan Ketiga, yaitu:
- Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salah satu, bila tidak ada anak dan tidak ada
saudara;
- Janda atau duda.
d. Keutamaan Keempat
- Janda atau duda;
- Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti kedudukan ayah.
Di antara ahli waris, ada yang tidak patut dan tidak berhak mendapat bagian waris dari
pewarisnya karena beberapa penyebab, yaitu:
a. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapat warisan dari keluarga yang
dibunuhnya;
b. Orang yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam,
demikian pula sebaliknya;
c. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama Islam.
Orang-orang yang tergolong dalam kriteria ahli waris seperti yang disebutkan di atas, apabila
ternyata telah berpura-pura dan menguasai sebagian atau seluruh harta peninggalan pewaris,
maka dia berkewajiban mengembalikan seluruh harta yang dikuasainya. Tidak patut dan tidak
berhak mendapat warisan berbeda dengan penghapusan hak waris atau hijab karena yang
menyebabkan timbulnya persoalan itu pun berbeda. Penghapusan hak waris dapat terjadi jika:
a. Karena ahli waris yang mewaris bersama-sama dia, sehingga bagian warisnya dikurangi.
Misalnya: ibu memperoleh 1/6 bagian jika mewaris bersama anak atau cucu atau beberapa
saudara.
b. Karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan pewaris. Misalnya: cucu laki-laki
tidak mendapat bagian selama ada anak laki-laki.

2. Hukum Waris Adat


Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum
adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis
(berdasarkan keturunan) dan persekutuan territorial (berdasarkan kependudukan yakni
persekutuan hukum teritorial).
Dalam persekutuan yang geneologis, anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain,
karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat
hubungan keluarga. Sementara persatuan hukum territorial anggota-anggotanya merasa terikat
satu sama lain karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama.
Persekutuan genelogis disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu
Sumatera. Sedangkan persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial dan geneologis terdapat di
beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nisas disebut Euri di Mingkabau
disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria atau Huta.
Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal
(kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu).
Menurut sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran dari
bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini perempuan tidak
menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki ikut
dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di
Nias, Gayo, Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum
waris, persekutuan ini lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan.
Sementara matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang menjadi ukuran
hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan merupakan suatu persekutuan
hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri,
sedangkan anak-anak mereka masuk dalam keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di
Minangkabau, Kerinci, Semendo dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan
persekutuannya, matrilineal lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli
waris dari pihak laki-laki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan
tirkah.
Sedangkan yang terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu serta nenek
moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini (bilateral).
Golongan masyarakat inilah yang meletakkan dasar-dasar persamaan kedudukan antar suami dan
isteri di dalam keluarga masing-masing.[6]
Di dalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip yaitu :
I. Prinsip azas umum yang menyatakan Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara
menurun , maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli
waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka.Kalau tidak ada anak
atau keturunan secara menurun , maka warisan itu jatuh pada ayah , nenek dan seterusnya
keatas . Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan
keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping , dengan pengertian bahwa
keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh .
II. Prinsip penggantian tempat ( Plaats Vervulling ) yang menyatakan bahwa jika seorang anak
sebagai ahli waris dari ayahnya, dan anak tersebut meninggal dunia maka tempat dari anak itu
digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi ( cucu dari sipeninggal harta ) Dan
warisan dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan
yang diterimanya. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak ( adopsi ), dimana hak dan
kedudukan juga bisa seperti anak sendiri ( Kandung ) .[7]
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada
umumnya tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya
diadakan pembagian begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya . Menurut
adat kebiasaan waktu pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara
sedekeh atau selamatan yang disebut tujuh hari , empat puluh hari , seratus hari , atau seribu hari
setelah pewaris wafat. Sebab pada waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul.
Kalau harta warisan akan dibagi , maka yang menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :
1) Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris )
2) Anak laki-laki tertua atau perempuan
3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur , adil dan bijaksana
4) Anggota kerabat tetangga , pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang minta , ditunjuk
dan dipilih oleh para ahli waris .[8]
Apabila terjadi konflik ( perselisihan ) , setelah orang tua yang masih hidup , anak lelaki atau
perempuan tertua , serta anggota keluarga tidak dapat menyelesaikannya walaupun telah
dilakukan secara musyawarah / mufakat maka masalah ini baru diminta bantuan dan campur
tangan pengetua adat atau pemuka agama. Hukum waris adat tidak mengenal azas Legitieme
Portie atau bagian mutlak.
Setiap sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki kekhususan
yang terdapat dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda, yaitu:
a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek moyang
laki-laki, contohnya pada masyarakat Batak. Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum
adat waris di tanah patrilineal, terdiri atas:
1) Anak laki-laki;
2) Anak angkat;
3) Ayah dan ibu serta saudara-saudara sekandung si pewaris;
4) Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu;
5) Persekutuan adat.
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan pihak nenek
moyang perempuan, contohnya pada masyarakat Minangkabau. Harta warisan dalam hukum adat
waris Minangkabau terdiri atas:
1) Harta Pusaka Tinggi, yaitu harta yang turun dari beberapa generasi.
2) Harta Pusaka Rendah, yaitu harta yang turun dari satu generasi.
3) Harta Pencaharian, yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko.
4) Harta Suarang, yaitu harta yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami istri selama masa
perkawinan.
Menurut hukum adat Minangkabau, ahli waris dapat dibedakan antara:
1) Waris bertali darah, yaitu ahli waris kandung atau ahli waris sedarah yang terdiri atas
waris satampok (setampuk), waris sejangka (sejengkal) dan waris saheto (sehasta). Masing-
masing ahli waris tersebut mewaris secara bergiliran, artinya selama waris satampok masih ada
maka waris sejangka belum berhak mewaris, demikian seterusnya.
2) Waris bertali adat, yaitu waris yang sesama ibu asalnya yang berhak memperoleh hak warisnya
bila tidak ada sama sekali waris bertali darah.
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari
pihak ayah maupun dari pihak ibu sehingga kedudukan anak laki-laki dan perempuan sama atau
sejajar, contohnya di Jawa, Madura, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh
Sulawesi, Ternate, dan Lombok. Harta warisan menurut hukum adat waris parental terdiri atas:
1) Harta Asal, yaitu kekayaan yang dimiliki oleh seseorang yang diperoleh sebelum maupun
selama perkawinan dengan cara pewarisan, hibah, hadiah, turun-temurun.
2) Harta Bersama (harta gono-gini)
Ahli waris di dalam hukum adat waris parental yaitu:
1) Sedarah dan Tidak Sedarah
Ahli waris sedarah terdiri dari anak kandung, orang tua, saudara dan cucu, sedangkan ahli waris
tidak sedarah terdiri dari anak angkat , janda/duda.
2) Kepunahan atau Nunggul Pinang, yaitu pewaris tidak memiliki ahli waris sehingga harta
warisannya diserahkan kepada desa dan selanjutnya desa lah yang akan menentukan
pemanfaatan atau pembagian harta kekayaan tersebut.[9]

Di samping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan hukum adat
waris, terutama terhadap penetapan ahli waris dan bagian harta peninggalan yang diwariskan,
hukum adat waris mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu:
a. Sistem Kewarisan Individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa para ahli waris
mewarisi secara perorangan, misalnya di Jawa, Batak, Sulawesi, dll.
b. Sistem Kewarisan Kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para ahli waris mewaris harta
peninggalan secara bersama-sama (kolektif) sebab harta peninggalan tersebut tidak dapat dibagi-
bagi pemilikannya kepada masing-masing ahli waris, contohnya harta pusaka di Minangkabau
dan tanah dati di semenanjung Hitu Ambon.
c. Sistem Kewarisan Mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan
pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ini ada dua macam, yaitu:
1) Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua/sulung atau keturunan laki-laki yang
merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya di Lampung.
2) Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari
pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di Sumatera Selatan.

3. Hukum Waris Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW)


Dalam hukum waris barat terdapat dua unsur penting yaitu :
a. Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang)
Pada prinsipnya seseorang pemilik atas suatu benda mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya
sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang dimilikinya termasuk harta kekayaannya
menurut kehendaknya.[10]
b. Unsur sosial (menyangkut kepentingan bersama)
Perbuatan yang dilakukan pemilik harta kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam unsur
individual dapat mengakibatkan kerugian pada ahli waris sehingga Undang-undang memberikan
pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pewaris demi kepentingan ahli waris.[11]
Pembatasan tersebut dalam kewarisan perdata disebut dengan istilah Legitieme Portie yang
artinya bagian tertentu/ mutlak dari ahli waris tertentu. Oleh karena bagian mutlak tersebut erat
kaitannya dengan pemberian/ hibah yang diberikan pewaris, yaitu pembatasan atas kebebasan
pewaris dalam membuat wasiat, maka Legitieme Portie diatur di dalam bagian yang mengatur
mengenani wasiat atau testament.
Sistem waris BW tidak mengenal istilah harta asal maupun harta gono-gini atau harta
yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam BW dari siapapun juga
merupakan kesatuan yang secara bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan
peninggal warisan/pewaris ke ahli warisnya. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 849 BW, yaitu
Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang dalam suatu
peninggalan untuk mengatur pewarisan.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut sistem
hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
a. Menurut ketentuan undang-undang (ab intestato)
Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta
kekayaannya setelah ia meninggal dunia, namun bila ternyata orang tersebut tidak menentukan
sendiri ketika masih hidup maka undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan
harta yang ditinggalkan seseorang tersebut. Ahli waris menurut undang-undang berdasarkan
hubungan darah, terdapat empat golongan, yaitu:
1 Golongan I : keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi
) anak-anak dan keturunan mereka beserta
suami atau isteri yang hidup paling lama.
2 Golongan II : keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi
) orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun
perempuan serta keturunan mereka.
3 Golongan III : kakek, nenek dan leluhur selanjutnya ke atas
) dari pewaris.
4 Golongan IV : anggota keluarga dalam garis ke samping dan
) sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan
urutan kelahiran. Hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka
akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping.
Demikian pula, golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya.
b. Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen)
Surat wasiat (testamen) merupakan suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia
meninggal dunia.[12] Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah
pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali. Ahli waris menurut surat
wasiat jumlahnya tidak tentu sebab bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Dari kedua macam ahli waris tersebut, ahli waris yang diutamakan adalah ahli waris menurut
undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan seseorang untuk
membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya, yaitu dala Pasal 881 ayat (2), yaitu
Dengan sesuatu pengangkatan waris atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau
pewaris tidak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak.
Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi
tidak patut mewaris karena kematian, yaitu:
a. Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan membunuh
atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris;
b. seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah
dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana
empat tahun atau lebih;
c. ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencagah pewaris untuk
membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d. seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.
Seseorang yang akan menerima sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harus ada orang yang meninggal dunian (Pasal 830 BW);
b. Harus ada ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia;
c. Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris.
Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka para ahli waris diberi kelonggaran oleh undang-
undang untuk menentukan sikap terhadap suatu harta warisan selama empat bulan. Seorang ahli
waris dapat memilih antara tiga kemungkinan, yaitu:
a. Menerima warisan dengan penuh;
b. Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-
hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu (menerima warisan
secara beneficiaire);
c. Menolak warisan.
Baik menerima maupun menolak warisan, masing-masing memiliki konsekuensi sendiri-sendiri
terhadap ahli waris.
Apabila harta warisan telah dibuka namun tidak seorang pun ahli waris yang tampil ke muka
sebagai ahli waris, maka warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus.
Dalam keadaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan wajib
mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan tersebut harus dilaporkan kepada
kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah suatu harta peninggalan tidak
terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus oleh hakim. Apabila dalam jangka waktu tiga
tahun terhitung sejak terbukanya warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai
Harta Peninggalan akan memberikan pertanggungjawaban atas pengurusan itu kepada negara.
Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi milik negara.
(Perbedaan tata cara pengaturan ketiga macam hukum waris ini dapat dilihat pada lampiran
1.1)

C. Kondisi Obyektif Kompleksitas dan Potensi Konflik Pluralisme Hukum Waris


Kesejarahan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa eksistensi ketiga sistem hukum waris
berlaku secara bersama-sama meski titik mula munculnya tidak bersamaan namun telah lama
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Dalam sejarah perkembangannya, dapat diketahui bahwa sistem hukum waris adat lebih dahulu
ada dibandingkan dengan sistem hukum waris yang lain. Hal ini dikarenakan hukum adat,
termasuk hukum warisnya, merupakan hukum asli bangsa Indonesia, berasal dari nenek
moyangnya dan telah melembaga serta terinternalisasi secara turun-menurun dari satu generasi
ke generasi berikutnya.[13]
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi kontak yang akrab antara ajaran
mau pun hukum Islam (yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah) dengan hukum adat.
Hal itu tercermin dalam berbagai pepatah di beberapa daerah. Di Aceh terdapat pepatah: hukum
ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat
dicerai-pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat suatu benda.
Di Minangkabau ada pepatah: adat dan syara sanda menyanda, syara mengati adat
memakai [artinya, adat dan hukum Islam (syara) saling topang menopang, adat yang benar-
benar adat adalah syara itu sendiri.[14] Di Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat hula-
hulaa to syaraa, syaraa hula-hulaa to adat (adat bersendi syara dan syara bersendi adat). [15]
Hubungan antara adat dengan Islam yang erat juga ada di Jawa. Ini mungkin disebabkan
oleh prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa,
terutama di daerah pedesaan.[16] Pengaruh hukum waris Islam pada masyarakat Jawa dapat
dilihat misalnya pada sistem pembagian warisan yang disebut dengan sapikul-sagendong.
Titik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan adanya
keistimewaan antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam hukum adat dengan sistem
matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan, sementara hukum waris dalam madzhab
sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan Hambali) cenderung bersifat patrilineal.
Perbedaan yang cukup tajam antara hukum Islam dan KUHPerdata anak laki-laki
berbanding sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam
KUHPerdata, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari
pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan
darah terdapat empat golongan, yaitu:
a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak
beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau
yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling
lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan
sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-
laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang
menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari (seperempat) bagian dari harta
peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris;
c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga
lainnya sampai derajat keenam.
Dalam masyarakat Islam di Indonesia hukum Islam itu tidak berlaku sebab yang berlaku
adalah hukum adat. Hukum Islam baru berlaku jika dinyatakan berlaku oleh hukum
adat. [17] Akan tetapi kenyataan menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara
ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam perang Paderi di abad 19 melahirkan
rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum adat dan hukum Islam.
Sementara itu dalam Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang bulan
Juli 1968 diperoleh kesimpulan bahwa (1) harta pusaka tinggi yang diperoleh turun-temurun dari
nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang
disebut pusaka rendah, diwariskan menurut hukum Islam.[18]
Melalui justifikasi formal tersebut dapat diketengahkan bahwa telah terjadi harmonisasi
antara hukum Islam dengan hukum adat dalam proses pelembagaan hukum waris di masyarakat,
terutama di masyarakat Minangkabau.
Di samping kedua hukum waris yang sudah akrab tersebut, masyarakat Indonesia juga telah
lama mengakrabi hukum waris Barat yang bersumber pada BW. Pada masa penjajahan bangsa
Belanda dulu, dengan asas konkordansi BW dinyatakan berlaku untuk golongan Eropa yang ada
di Indonesia. BW ini juga dinyatakan berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa.
Sementara bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hanya bagian-bagian mengenai
hukum kekayaan harta benda dari BW. Selebihnya, yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan
berlaku hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.[19]
Pembedaan pemakaian hukum tersebut tidak lepas dari strategi hukum. pemerintah kolonial
Belanda untuk memecah belah penduduk yang ada di tanah jajahannya. [20] Strategi dengan
menggunakan hukum untuk memecah belah penduduk di Indonesia dibingkai melalui pasal 131
Indische Staatsregeling. Strategi tersebut cukup jitu sehingga penduduk di Indonesia terbelah-
belah secara yuridis dalam apa yang disebut dengan (1) golongan Eropa, (2) golongan Timur
Asing (Tionghoa dan non-Tionghoa), dan (3) golongan pribumi.
Pasca Kemerdekaan, kondisi yang pluralistik dari hukum waris di Indonesia tersebut masih
terus berlangsung. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: Segala
badan negara dan peraturan yang ada masing langsung berlaku, selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-undang Dasar ini, maka ketiga sistem hukum waris tersebut kemudian
menjadi bagian hukum nasional. Keberadaan pasal II Aturan Peralihan tersebut merupakan
keharusan konstitusional, menginat (1) ahli hukum pada saat itu masih sangat sedikit, dan (2)
kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengisi kevakuman hukum (rechtsvacuum) dari bangsa
yang baru merdeka dan sedang berjuang untuk meneguhkan eksistensi kemerdekaannya.[21]

D. Pentingnya Unifikasi Hukum Waris di Indonesia


Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak selamanya berjalan beriringan.
Para ahli hukum seringkali memandangnya sebagai sebuah konflik baik sebagai hasil penelitian
murni maupun untuk kepentingan tertentu.
Cristian van den Berg pernah mengeluarkan teorinya dengan reception in complex yang
menyatakan bahwa hukum agama adalah hukum adat di mana hukum adat telah meresepsi
hukum Islam. [22] Teori ini kemudian dibantah dengan teori dari Christian Snouck Hurgronye
dengan teori receptie. [23] Teori ini menganggap bahwa hukum Islam baru diterima setelah
diterima oleh hukum Adat.[24]
Dalam memahami keyakinan tersebut menurut Sayuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam
berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita
moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan
hukum Islam.[25]
Terakhir teori berkenaan dengan hukum dikembangkan oleh Jaenal Arifin yakni cultural
existence theory, di mana hukum yang hidup (dalam penelitiannya yang dimaksud adalah
Pengadilan Agama) berkembang karena adanya kebutuhan social dan budaya.
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami perkembangan dan
proses pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan,
yakni bersumber pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum
waris adat berkembang melalui berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Yang agaknya
berbeda adalah proses pelembagaan hukum waris Islam. Pelembagaan dan pengembangan
hukum waris Islam ditempuh melalui legislasi nasional. Hal ini dapat disimak dengan
diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1
Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hanya saja masih ada yang terasa aneh dalam praktik pelaksanaan hukum waris di Indonesia
ini. Meski secara yuridis UUD 1945 dan amandemennya sudah tidak mengenal lagi penggolong-
golongan penduduk, namun secara faktual empiris, bahkan secara yuridis, masalah golongan
penduduk ini masih sangat terasa kuat. Hal ini berakibat pada subyek hukum pengguna hukum
waris yang berbeda-beda pula. Lazimnya, hukum waris Barat ini dipakai oleh Warga Negara
Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa.[26]
Sementara itu, secara hipotetis dapat diketengahkan bahwa masyarakat adat hampir pasti
menggunakan hukum waris adat. Tetapi persoalan bisa muncul, yakni apakah masyarakat adat
yang beragama Islam mesti menggunakan hukum waris adat. Agaknya jawaban atas persoalan
ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Diperlukan pengkajian dan penelitian yang
cukup menantang untuk memetakan dan menjawab persoalan tersebut. Apakah lingkaran-
lingkaran hukum adat (rechtskringen) dari van Vollenhoven memang masih hidup secara faktual?
Perlu penelitian lebih lanjut.
Bagi orang Islam, masalah penggunaan hukum waris tersebut lebih kompleks lagi.
Mengapa? Karena hukum yang ditujukan kepada mereka yang diciptakan melalui legislasi
nasional ternyata tidak memberi kejelasan aturan hukum yang seharusnya untuk menyelesaikan
masalah kewarisan. Hal ini dapat disimak pada pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang
berbunyi bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidang (b) kewarisan, , yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, .
Berdasarkan ketentuan yang mengatur masalah kewarisan tersebut dapat diketengahkan
bahwa hukum waris Islam bukan merupakan ketentuan hukum yang bersifat imperatif bagi orang
Islam. Ini berbeda dengan ketentuan perkawinan yang bersifat imperatif bagi orang Islam yang
akan melangsungkan perkawinan. Dengan demikian hukum waris Islam bagi orang Islam di
Indonesia adalah bersifat fakultatif (choice of law) yang barang tentu di aras faktual tidak sedikit
yang berpaling darinya.
Sebagaimana halnya dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bidang
kewarisan dalam KHI tersebut juga bukan merupakan ketentuan yang sifatnya wajib
dilaksanakan oleh orang Islam dalam masalah pembagian warisan. KHI hanya merupakan
pedoman saja yang berarti dapat disimpangi bagi orang atau instansi yang memerlukan. Hal
ini dapat disimak pada bagian Menimbang huruf b Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berbunyi:
bahwa Kompilasi Humum Islam tersebut dalam huruf a oleh Instansi Pemerintah dan oleh
masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dan menyelesaikan
masalah-masalah di bidang tersebut.[27] Jadi, hukum waris Islam digunakan atau tidak itu
masalah pilihan yang mandiri bagi orang Islam.
Barangkali kondisi demikian ini dapat dilihat sebagai suatu berkah keadilan, tetapi bisa juga
merupakan kerumitan tersendiri dalam lapangan hukum waris di Indonesia. Dikatakan
merupakan kerumitan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum di bidang kewarisan. Secara
hipotetis dapat dikatakan bahwa orang Indonesia dipersilakan memillih hukum waris mana yang
akan digunakan. Asal ada kesepakatan, orang bisa saja memilih hukum waris BW, hukum waris
Islam atau hukum waris adat.
Tapi masalahnya menjadi kompleks jika tidak ada kesepakatan antar pihak yang
bersengketa. Jika demikian, maka masalahnya bisa menjadi panjang dan berlarut-larut yang tak
berujung. Dalam situasi demikian itu barang tentu tidak dapat dihindari terjadi konflik
kepentingan dari masing-masing pihak. Persoalan semakin melebar yang kemudian mengarah
kepada konflik pemakaian hukum waris, yakni apakah hukum waris Islam yang akan dipakai,
atau hukum waris adat, ataukah hukum waris BW?
Barang tentu konflik hukum sudah seharusnya diakhir. Demikian pula persoalan sosiologis
menyangkut penggolongan penduduk di era sekarang ini kurang kondusif bagi negara kesatuan
Indonesia yang secara konstitusional hanya mengenal WNI dan WNA. Pengakhiran dari situasi
yang serba kompleks tersebut diperlukan dalam rangka mencapai kepastian, kemanfaatan dan
keadilan di bidang hukum waris di Indonesia. Bagi Subekti, melihat bahwa kondisi demikian ini
rasanya sangat janggal bagi bangsa yang ingin membangun suatu kodefikasi hukum nasional.
[28]
Kerumitan yang berpangkal tolak dari konflik hukum demikian itu sudah pada masanya
untuk dicarikan jalan keluar. Ada dua kemungkinan cara penyelesaian masalah konflik hukum
waris tersebut, yakni: (1) tetap membiarkan hukum waris dalam keberagaman dan manakala
timbul konflik hukum kemudian diserahkan kepada pengadilan; atau (2) melakukan unifikasi
dengan membuat suatu undang-undang baru di bidang kewarisan yang bersifat nasional.
Dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah satunya hanya dapat dicapai melalui
unifikasi hukum. Ide untuk mempertahankan pluralitas hukum tentu saja tidak sejalan dengan
cita-cita hukum yang sama untuk semua orang. Jika pluralitas hukum dipertahankan, tentu saja
akan terjadi distorsi terhadap cita-cita persamaan hukum tersebut. Pada aras yang lebih
mendasar, tidak ada landasan konstitusionalnya untuk membuat hukum yang berbeda-beda yang
diterapkan bagi golongan-golongan penduduk yang berbeda pula. Jika ditengok lebih dalam,
maka Konstitusi Indonesia tidak mengenal penggolong-golongan penduduk.
Argumentasi untuk tetap mempertahankan hukum waris di Indonesia dalam keadaan
beranekaragam ternyata lebih banyak mengandung konsekuensi negatif, sebab dengan tetap
membiarkan keadaan itu terus berlangsung jelas bertentangan dengan cita-cita bangsa yang
berkeinginan untuk memiliki hukum nasional (yang terunifikasi dan terkodifikasi) yang
merupakan produk bangsa sendiri. Dengan pembiaran tersebut, hal ini juga berarti melestarikan
terjadi konflik hukum antara ketiga sistem hukum waris tersebut yang sudah terjadi sejak masa
penjajahan Belanda dan yang hingga kini terus berlangsung.[29]
Usaha ke arah unifikasi dan kondifikasi hukum waris yang berlaku secara nasional sudah
pernah dilakukan. Contohnya, pada Simposium Hukum Waris Nasional di Jakarta tahun 1983
berhasil disepakati untuk menentukan asas-asas kewarisan yang diambil dari ketiga sistem
hukum waris tersebut sebagai dasar penyusunan hukum waris nasional yang akan datang.
Meski masih ada perbedaan dalam beberapa hal, misalnya dalam hal ahli waris yang
berbeda agama dan beberapa lainnya, tetapi kesepakatan Simposium tersebut cukup maju ketika
mencapai kesepakatan tentang asas-asas (general principles) hukum nasional di bidang
kewarisan, seperti asas kemanfaatan, asas keadilan dan asas kepastian hukum. Dengan
keberhasilan mengambil asas-asas dari ketiga sistem hukum waris tersebut, ini berarti kodifikasi
yang direncanakan menganut model kodifikasi terbuka. Berbagai nilai dan asas dari berbagai
bidang hukum dicari kesamaannya, dan setelahnya akan dirumuskan norma-normanya dalam
rumusan yang lebih implementatif.
Penyusunan hukum waris nasional ini, di samping untuk memberikan kepastian hukum,
juga sekaligus merupakan pembaruan terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil dalam sistem
hukum waris yang ada.

E. Dimensi Hukum Waris Nasional


Pola penyusunan hukum waris nasional yang akan datang dapat menggunakan
pandangan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound. Menurut Pound, hukum (tertulis)
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
[30] Rumusan yang demikian ini menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis
(dari proses legislasi nasional) sebagai kebutuhan hukum masyarakat hukum demi adanya
kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan
masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.[31] Selaras dengan pandangan
Pound, Eugen Ehrlich menekankan prinsip tentang pentingnya keseimbangan antara hukum
formal dengan hukum yang hidup dalam mayarakat (the living law). Keseimbangan antara
kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.[32]
Dalam upaya pembentukan Hukum Kewarisan Nasional perlu kandungan tiga dimensi
yaitu:
1. Dimensi pemeliharaan yang berarti tatanan hukum kewarisan mempunyai sifat prinsipil
berdasarkan agama dan kepercayaan masyarakat yang tidak dapat disatukan dan harus tetap
dipelihara, dihargai dan dihormati agar tidak timbul kekosongan hukum, seperti keberadaan harta
pusaka, kedudukan anak angkat pada masyarakat dan lain sebagainya
2. Dimensi pembaharuan yang berarti dalam usaha peningkatan dan menyempurnakan sistem
hukum kewarisan yang pluralistis itu, karena berasal dari 3 sistem hukum kewarisan menjadi
hukum kewarisan nasional harus dilakukan terutama pada bagian yang kemungkinan dapat
disatukan seperti; pengertian hukum kewarisan, unsur dan syarat terjadinya pewarisan, harta
warisan, seperti asas individual; asas penderajatan; asas keadilan berimbang; asa bilateral; asas
hubungan darah dan perkawinan; maupun asas yang kelihatan berbeda namun saling melengkapi
seperti asas plaatvervuling/mawaly (KUH Perdata dan Hukum Kewarisan Islam) dengan asas
musyawarah dalam hukum kewarisan adat; asas individual dalam hukum kewarisan adat dan
sebagainya sehingga akan membuat kuat substansi dan sistem hukum kewarisan Nasional secara
bilateral nantinya
3. Dimensi penciptaan, pada dimensi ini diciptakan peraturan perundang-undangan yang baru di
bidang Hukum Kewarisan Nasional yang sebelumnya belum pernah ada guna menghadapi
tuntutan kemajuan zaman dan pengaruh dari masyarakat dunia yang lebih bersifat terbuka atas
nilai-nilai baru di dalam masyarakat modern, seperti tuntutan di dalam kesetaraan pria dan
wanita dan sebaliknya menolak ketidak adilan jender, penegakan Hak Asasi Manusia dan
sebaliknya menolak sifat diskriminasi
Sebagaimana disampaikan dalam TAP MPR No. IV/MPR/1973 bahwa Pembinaan Bidang
Hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan kebutuhan hukum sesuai dengan
kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah modernisasi menurut tingkat-tingkat
kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum
sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa
sekaligus berfungsi sebagai sarana penunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan
yang menyeluruh dengan dilakukan:
1. Peningkatan dan penyempurnaan Pembinaan Hukum Nasional antara lain dengan mengadakan
pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan
memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat
2. Menertibkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum
Selanjutnya dalam TAP MPRS No. II/MPRS/1960 pada Lampiran A angka 402 huruf C2
dan 4 dalam nomor 38 disebutkan bahwa; mengenai penyempurnaan Undang-undang Hukum
Perkawinan dan Hukum Kewarisan supaya memperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan
lain-lainnya.
Dari kedua TAP MPR diatas dapat disimpulkan bahwa dengan keluarnya TAP MPR No.
II/MPRS/1960 ini merupakan dasar hukum didalam pembentukan Hukum Kewarisan Nasional
meskipun TAP MPR ini sudah dicabut berdasarkan TAP MPRS No. XXXVIII/1968 namun
secara substansi hukum dalam pembentukan Hukum Kewarisan Nasional berdasarkan sistim
Bilateral semangat TAP MPRS No. II/MPRS/1960 akan tetap relevan.
Semangat Unifikasi Hukum ini juga terlihat pada telah diaturnya Undang-undang yang
mengatur khusus kependudukan yaitu UU No. 62 Tahun 1958 jo UU No. 3 Tahun 1976 jo UU
No. 12 Tahun 2006 yang pada intinya hanya membagi penduduk Indonesia menjadi 2 golongan
saja yaitu Warga Negara Indonesia dan dan Warga Negara Asing. Sehingga dengan terbitnya UU
diatas maka Indonesia tidak mengenal penggolongan Warga Negara seperti pada zaman Hindia
Belanda. Ketentuan ini didukung oleh Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966
menyangkut hal untuk tidak menggunakan penggolongan warga negara Indonesia dan Surat
Edaran bersama departemen Kehakiman RI dan Departemen Dalam Negeri No.
Pemdes/51/1/3/J.A.2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 perihal pelaksanaan Keputusan Instruksi
Presidium Kabinet No. No. 31/U/IN/12/1966. Adanya Unifikasi Hukum Kependudukan
Indonesia seharusnya diikuti dengan Kodifikasi hukum kewarisan Indonesia karena tidak
berlakunya lagi penggolongan Warga Negara namun sampai saat ini cita-cita tersebut sulit
terwujud
Di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN 1978,1983,1988 dan 1999)
menyebutkan bahwa dalam rangka pembinaan hukum perlu penignkatan pembaharuan hukum
secara terarah dan terpadu dengan membentuk sedapat mungkin kodifikasi hukum dan unifikasi
hukum dalam bidang tertentu, serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat
dubutuhkan untuk mendukung pembangunan, menata sistim hukum nasional yang menyeluruh
dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbaiki hukum warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk
ketidakadilan gender, memperhatikan tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang
dalam masyarakat.
Dalam ketentuan wawasan nusantara disebutkan bahwa seluruh Kepulauan Nusantara
merupakan satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang
mengabdi kepada kepentingan nasional. TAP MPRS No. II/MPRS/1960 telah menghendaki
produk hukum kewarisan yang bersifat nasional dan bercorak bilateral serta komitmen untuk
membangun masyarakat Indonesia diatas pondasi Hukum Kekeluargaan yang berwawasan
Nusantara.
Menurut Rumonda Nasution hendaknya Hukum Kewarisan Nasional berdasarkan kepada:[33]
1. Wawasan Nusantara yang melihat tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan bukan hanya
sekedar gabungan dari bagian-bagian untuk diperlukan adanya hukum nasional yang
berlakuuntuk seluruh Indonesia
2. Wawasan Kabangsaan yang melihat penduduk Indonesia tidak lagi terpecah-pecah dalam
kelompok-kelompok etnis akan tetapi sebagai bangsa sebagaimana telah dinyatakan dalam
Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, kemudian sejak proklamasi kemerdekaan kita sudah
menjadi anggota bangsa dan warga negara Indonesia
3. Wawasan Bhineka Tunggal Ika yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan sepanjang tidak
melemahkan wawasan kebangsaan dan wawasan Nusantara
4. Kodifikasi Hukum Kewarisan Nasional hendaknya dipahami sebagai seruan untuk melakukan
pembaharuan dan pembentukan hukum secara bertahap dan hati-hatim karena dalam
kenyataannya memang tidak mungkin dilakukan serentak untuk seluruh bidang hukum yang ada.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan pluralistik (beragam). Di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia berlaku bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum
waris adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum dalam Burgerlijk
Wetboek (BW). Hukum kewarisan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia
sekarang ini cenderung pada pada hukum mana yang menguntungkan dari ketiga jenis hukum
kewarisan tersebut.
2. Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut mengalami perkembangan dan proses
pelembagaan yang berlain-lainan. Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan, yakni
bersumber pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada masa penjajahan dulu. Hukum waris
adat berkembang melalui berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Hukum waris Islam
berkembang melalui Pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam dalam legislasi
nasional. Hal ini dapat disimak dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan Kompilasi Hukum
Islam (KHI).
3. Pluralisme hukum waris mengalami banyak kendala dalam realitanya antara lain : seseorang
cenderung menggunakan hukum waris yang menguntungkan bagi dirinya, ketidaksamaan
persepsi dalam kedudukan seseorang dan keambiguan dalam menentukan hukum waris yang
akan digunakan pada daerah-daerah yang masih kental hukum adatnya.
4. Dalam rangka mewujudkan kebersatuan bangsa salah satunya hanya dapat dicapai melalui
unifikasi hukum. Unifikasi hukum bertujuan untuk :
i. Untuk mencapai kesatuan dan keseragaman hukum (Rechseenheid)
ii. Untuk mencapai kepastian hukum (Rechszekerheid)
iii. Untuk penyederhanaan hukum (Rechsvereenvoudiging)
5. Hukum waris nasional hendaknya menganut azas kodifikasi terbuka yang memuat asas-asas
(general principles) seperti asas kemanfaatan, asas keadilan dan asas kepastian hukum. Berbagai
nilai dan asas dari berbagai bidang hukum dicari kesamaannya, dan setelahnya akan dirumuskan
norma-normanya dalam rumusan yang lebih implementatif sehingga dapat mengakomodir
kepentingan rakyat
6. Adanya pemahaman pembentukan kodifikasi hukum hanya ditujukan pada bidang-bidang
hukum yang sifatnya netral saja seperti perikatan, hukum jaminan, dan pada bidang hukum
benda. Pada bidang hukum tidak netral seperti Hukum Kewarisan tidak perlu diadakan
Kodifikasi dikarenakan bidang hukum ini adalah bidang hukum sensitive dan peka karena
berkaitan dengan agama, tradisi dan kepercayaan yang dianut. Pandangan ini tidak sepenuhnya
benar. Upaya pakar hukum untuk melakukan pembinaan tata hukum nasional yang uniform terus
digalakkan termasuk hukum kewarisan. Kenyataannya Hukum Perkawinan sebagai hukum yang
tidak netral telah dikodifikasikan dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 sehingga hal ini
mempermudah penggarapan Hukum Kewarisan contoh dalam hal Harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami
dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (1) dan
(2) UU No. 1 Tahun 1974). Ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tetap menghormati secara
penuh adanya perbedaan berdasarkan agama,adat dan kepercayaan masing-masing masyarakat
dibawah kerangka Hukum Kewarisan Nasional.

B. Saran
Diperlukan hukum waris nasional untuk mengatasi permasalahan waris yang ada di
Indonesia.Unifikasi hukum waris nasional diharapkan dapat mewujudkan tipologi dasar dari
keadaan hukum yang responsif, yakni hukum yang demokratis dan responsif terhadap kebutuhan
tuntutan-tuntutan yang berkembang di masyarakat. Demokratisasi dan responsivitas dari hukum
waris nasional yang akan datang sangat tergantung kepada dua persyaratan, yakni: (1)
adanya political will dan (2) political action yang berjalan seiring berkelindan dari para legislator
dalam memformulasikan kebutuhan-kebutuhan hukum masyarakat yang rindu akan kepastian,
kemanfaatan dan keadilan.

DAFTAR PUSTAKA

A.Gani Abdullah. Badan Hukum Syara Kesultanan Bima. 1947-1957. Disertasi IAIN
Syarief Hidayatullah. Jakarta.1987.
Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh), Kertas
Kerja Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini. Program Pendidikan
Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan.
Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan BW Pewarisan Menurut
Undang-Undang.(Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. 2005.
Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan
dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,
Bandung : PT.Refika Aditama.
Hamka. Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara di dalam Kebudayaan
Minangkabau. Panji Masyarakat. Nomor 61/IV/1970.
Hilman Hadikusuma.1993. Hukum waris Adat. Bnadung : PT Citra Aditnya Bakti.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1993.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985.
M.Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafii dan Wasiat Wajib di
Mesir, tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam,
Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982, Jakarta:FHUI.
MB. Hoeker. Adat Law in Modern Indonesia. Oxford University Press. Kuala Lumpur.
1978.
Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau. Centre for
Minangkabau Studies, Padang, 1968.
Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum pada Program
Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam
di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam di Peradilan Agama.(kumpulan Tulisan). Jakarta
: Raja Grafindo Persada.2002.
Nasution, H. Ny. Rumonda, 1992. Harta kekayaan Suami Isteri dan Kewarisannya;
Jakarta; BPHN.
R. Van Dijk.Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh A.Soehardi. Vorkink
van Hoeve Bandung.
Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma. Formaoiasi Syariat Islam Dalam Perspektif
Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.2006.
Sayuti Thalib. Receptie a Contrario. Hubungan hukum adat dengan Hukum
Islam. Jakarta: Bina Aksara.1980.
Soepomo.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta : Penerbitan Universitas.1996.
Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.
Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991. hlm 6.
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van
Hoeve,s-Gravenhage.
Wirjono Prodjodikoro.Hukum Warisan Di Indonesia.Vorkink van Hoeve. Bandung.
R.van Dijk. Pengantar Hukum Adata Indonesia. Terjemahan oleh A. Soehardi.
Vorkink van Hoeve. Bandung.

[1] M.Idris Ramulyo, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafii dan Wasiat
Wajib di Mesir, tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut
Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan No.2 Tahun XII Maret 1982,
Jakarta:FHUI, 1982, hlm.154
[2] Wirjono Prodjodikoro.Hukum Warisan Di Indonesia.Vorkink van Hoeve.
Bandung.hal 8-10, R.van Dijk. Pengantar Hukum Adata Indonesia.
Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve. Bandung. Hal 43-45
[3] Abdullah Syah.1994.Hukum Waris Ditinjau Dari Segi Hukum Islam (Fiqh),
Kertas Kerja Simposium Hukum Waris Indonesia Dewasa Ini, Program
Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara,Medan.
[4] Soepomo.Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta : Penerbitan
Universitas.1996.hlm 72.
[5] Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Vorkink van
Hoeve,s-Gravenhage, hlm.8
[6] Sudarsono.Hukum Waris dan Sistem Bilateral.Jakarta : Rineka Cipta.1991.
hlm 6.
[7] Datuk Usman. Ibid.Hal 192
[8] Hilman Hadikusuma.1993. Hukum waris Adat. Bnadung : PT Citra Aditnya
Bakti.
[9] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat
dan BW, Bandung : PT.Refika Aditama, hlm.6-7.

[10] Ahlan Sjarif, Surini dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan BW Pewarisan
Menurut Undang-Undang.(Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2005) hal 13.
[11]Ahlan Sjarif. Ibid.
[12] R. Subekti, Op.cit., hlm 78
[13] R. Van Dijk.Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh
A.Soehardi. Vorkink van Hoeve Bandung. hlm 78.
[14] Hamka. Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara di dalam
Kebudayaan Minangkabau. Panji Masyarakat. Nomor 61/IV/1970. Hlm10
[15] A.Gani Abdullah. Badan Hukum Syara Kesultanan Bima. 1947-1957.
Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah. Jakarta.1987. hal 89.
[16] MB. Hoeker. Adat Law in Modern Indonesia. Oxford University Press.
Kuala Lumpur. 1978 hal 97.
[17] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata
Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 13.
[18] Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau.
Centre for Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal. 241.
[19] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 10-14.
[20]Strategi hukum di sini sama dengan politik hukum yaitu legal policy yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh penguasa negara
sebagaimana yang diintrodusir Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia.
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 9.
[21] Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip
Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
[22]Mohammad Daud Ali. Hukum Islam di Peradilan Agama.(kumpulan
Tulisan). Jakarta : Raja Grafindo Persada.2002. hlm 225
[23] A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma. Formaoiasi Syariat Islam Dalam
Perspektif Tata Hukum Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.2006. hlm 76.
[24] Teori receptie oleh Prof. Snouck Hurgronje bahwa hukum Islam baru
Dapat Diterima Setelah diakui oleh hukum adat. Dibuktikan dengan pasal
134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyi : Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam
apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak
ditentukan lain oleh ordonansi.
[25] Sayuti Thalib. Receptie a Contrario. Hubungan hukum adat dengan
Hukum Islam. Jakarta: Bina Aksara.1980. hlm 15.
[26] Secara yuridis konstitusional tidak ada istilah WNI keturunan tersebut. Tetapi secara sosiologis istilah
demikian ini masih sering dijumpai. Bahkan tidak jarang terdengar pemakaian istilah WNI pribumi dan non-
pribumi.

[27] Menurut A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Suatu
Tinjauan dari Sudut Teori Perundang-undangan Indonesia. Dalam Amrullah Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH.Gema Insani Press, Jakarta, 1996,
hal. 147-155, KHI adalah hukum tidak tertulis, meski formatnya ditulis. KHI merupakan himpunan ketentuan
hukum Islam yang dituliskan dan disusun secara teratur. KHI menunjuk adanya hukum tidak tertulis yang hidup
secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menulusuri
norma-norma hukum bersangkutan apabila diperlukan, baik di dalam mau pun di luar pengadilan.

[28] Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta. Hlm 14.

[29] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema
Insani Press, Jakarta, 1996.
[30] Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985, hal. 47.
[31] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 83.
[32] Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra .Ibid. hlm 84
[33] Nasution, H. Ny. Rumonda, 1992. Harta kekayaan Suami Isteri dan Kewarisannya; Jakarta; BPHN.
KEDUDUKAN HUKUM WARIS ADAT TERHADAP
PLURALISME HUKUM WARIS DI INDONESIA
01APR
1. A. Pluralisme Hukum Waris di Indonesia

Hukum warisan di Indonesia sejak dahulu sampai saat ini masih beraneka ragam bentuknya, masing-
masing golongan penduduk tunduk kepada aturan-aturan hukum yang berlaku kepadanya sesuai dengan
ketentuan Pasal 163 IS Jo. Pasal 131 IS. Golongan penduduk tersebut terdiri dari :

Golongan Eropa & yang dipersamakan dengan mereka

Golongan Timur Asing Tionghoa & Non Tionghoa

Golongan Bumi Putera.

Berdasarkan peraturan Perundang-undangan R. I. UU No. 62 / 1958 & Keppres No. 240 / 1957
pembagian golongan penduduk seperti diatas telah dihapuskan tentang hukum waris ini dapat dilihat di
dalam Hukum Kewarisam Islam, Hukum Adat & Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( BW ).

Ketiga sistem hukum ini memiliki karakteristik & ciri khas masing-masing mengakibatkan terjadinya
perbedaan antara yang satu dengan lainnya. Seperti yang telah terurai diatas, bahwa hukum waris di
Indonesia masih beraneka warna coraknya, dimana tiap-tiap golongan penduduk termasuk kepada
hukumnya masing-masing, antara lain hal ini dapat dilihat pada golongan masyarakat yang beragama
islam kepadanya diberlakukan hukum kewarisan islam, baik mengenai tatacara pembagian harta pusaka,
besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan, anak angkat, lembaga peradilan yang
berhak memeriksa & memutuskan sengketa warisan apabila terjadi perselisihan diantara para ahli waris
dan lain sebagainya. Untuk golongan masyarakat non muslim, mereka tunduk kepada hukum adatnya
masing-masing disana sisi dipengaruhi oleh unsur-unsur agama & kepercayaan. Begitu juga terhadap
golongan eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, aturan tentang hukum waris ini aspirasinya
separuhnya diserahkan kepada hukum perdata eropa ( kitab undang-undang hukum perdata ).

Dari penjelasan tersebut diatas, mengakibatkan pula terjadinya perbedaan tentang arti & makna hukum
waris itu sendiri bagi masing-masing golongan penduduk. Artinya belum terdapat suatu keseragaman
tentang pengertian & makna hukum waris sebagai suatu standard hukum ( pedoman ) serta pegangan
yang berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia .

1. B. Hukum Waris Adat

Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas
hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan
adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam
keadaan tidak terbagi-bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta pusaka, harta perkawinan,
harta bawaan dan harta depetan. Pewaris adalah orang yang meneruskan harta peninggalan atau orang
yang mempunyai harta warisan. Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta
warisan atau orang yang berhak atas harta warisan. Cara pengalihan adalah proses penerusan harta
warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah wafat. Hukum waris adat sebenarnya
adalah hukum penerus harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya, seperti yang
dikemukakan oleh Ter Haar:

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana dari abad ke abad
penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada
generasi berikut.[1]

Selain itu, pendapat Soepomo ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang
tidak berwujud (immateriele goederen), dari suatu angkatan generasi manusia kepada keturunnya.[2]

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan
dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih
hidup dan atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dari dua pendapat di atas juga terdapat
suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari
suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan
haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :

(1) Adanya Pewaris;


(2) Adanya Harta Waris;

(3) Adanya ahli Waris; dan

(4) Penerusan dan Pengoperan harta waris.

Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum
waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah :

(1) Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya,
tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya
dan kepentingan para ahli waris; sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan
dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

(2) Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak, sebagaimana
diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.

(3) Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar
harta warisan segera dibagikan.

Kemudian didalam hukum waris adat dikenal beberapa prinsip (azas umum) , diantaranya adalah
sebagai berikut :

(1) Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas
atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan
keturunan mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu jatuh pada
ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara
sipeninggal harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan
pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang jauh.

(2) Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu langsung dibagi diantara para
ahli waris adalah sipewaris meninggal dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya
ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merukan satu kesatuan yang
tidak dapat dibagi untuk selamanya.

(3) Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (Plaats Vervulling). Artinya seorang anak sebagai
ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia
tadi (cucu dari sipeninggal harta). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang akan diperoleh
ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.

(4) Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana hak dan kedudukan juga bisa
seperti anak sendiri (Kandung ).
Selanjutnya akan dibicarakan pembagian harta warisan menurut hukum adat, dimana pada umumnya
tidak menentukan kapan waktu harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian
begitu pula siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuannya. Menurut adat kebiasaan waktu
pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekeh atau selamatan yang
disebut tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, atau seribu hari setelah pewaris wafat. Sebab pada
waktu-waktu tersebut para anggota waris berkumpul. Kalau harta warisan akan dibagi, maka yang
menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain :

(1) Orang lain yang masih hidup ( janda atau duda dari pewaris ) atau

(2) Anak laki-laki tertua atau perempuan

(3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil dan bijaksana

(4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang minta, ditunjuk
dan dipilih oleh para ahli waris.

Dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan sistem keturunan dan kekerabatan adat masih tetap
dipertahankan dengan kuat. Hazairin mengatakan bahwa:

hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan
bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral.[3]

Untuk bidang hukum waris adat misalnya, pluralisme itu terjadi pada umumnya disebabkan oleh
adanya pengaruh dari susunan / kekerabatan yang dianut di Indonesia. Adapun susunan tersebut
antara lain :

(1) Pertalian keteurunan menurut garis laki-laki ( Patrilineal )

Contoh : Umpamanya : Batak , Bali , Ambon

(2) Pertalian keturuman menrut garis perempuan ( matrilineal )

Contoh : Minangkabau, Kerinci ( Jambi ), Semendo- ( Sumetera Selatan )

(3) Pertalian keturunan menurut garis Ibu & bapak ( Parental / Bilateral )

Misalnya : Melayu, Bugis, Jawa, Kalimantan ( Dayak ) , dll.

Disamping itu, dalam hal sistem pewarisanyapun bermacam-bermacam pula , yakni terbagi atas 3 ( tiga )
bagian yaitu :

(1) Sistem Pewarisan Individual


Misalnya : Pada susunan kekeluargaan bilateral ( jawa ) & kekeluargaan patrilineal ( Batak )

(2) Sistem Pewarisan Kolektif

Misalnya : Harta pusaka tinggi di Minangkabau, Tanah dati di Ambon.

(3) Sistem Pewarisan Mayorat

Misalnya : di Bali , Lampung, dan lain-lain.

1. C. Sekilas tentang Hukum Waris Islam

Sebagaimana diketahui bersama bahwa hukum kewarisan yang berlaku adalah Hukum Faraidh.
Faraidh menurut istilah bahasa ialah takdir ( qadar / ketentuan dan pada syara adalah bagian yang
diqadarkan / ditentukan bagi waris dengan demikian faraidh adalah khusus mengenai bagian ahli warsi
yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Dengan demikian faraidh antara lain mengatur tentang
tata cara pembagian Harta Warisan, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan anak perempuan,
pengadilan nama yang berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa warisan, sahabah-sahabah,
dan lain sebagainya.

Selanjutnya didalam hukum kewarisan islam menganut prinsip kewarisan individual bilateral, bukan
kolektif maupun mayorat. Maka dengan demikian Hukum Islam tidak membatasi pewaris itu dari pihak
Bapak atuapun pihak Ibu saja dan para ahli warispun dengan demikian tidak pula terbatas pada pihak
laki-laki ataupun pihak perempuan saja.

Ahli waris dalam Hukum Islam telah ditetapkan / ditentukan yakni terdiri dari :

I. PEREMPUAN

Wanita yang menerima pusaka adalah sebagai berikut :

a. Anak perempuan

b. Cucu perempuan

c. Ibu

1. Nenek, Ibu dari Ibu


2. Nenek, Ibu dari Bapa
3. Saudara perempuan se Ibu dan Bapa
4. Saudara perempuan se Bapa
5. Saudara perempuan se Ibu

i. Isteri
1. Perempuan yang memerdekakan ( tidak ada lagi )

II. LAKI LAKI

jika dikumpulkan maka laki-laki yang mendapat harta pusaka terdiri dari 15 ( lima belas ) orang yaitu :

a. Anak laki-laki

1. Cucu laki-laki dari anak laki-laki

c. Bapa

1. Datuk, Bapa dan Bapa


2. Saudara laki-laki se Ibu se Bapa
3. Saudara laki-laki se Ibu
4. Saudara laki-laki se Bapa
5. Anak laki-laki saudara laki-laki se Ibu dan se bapa
6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki se Bapa
7. Mamak se Ibu se Bapa, saudara bapak laki-laki se Ibu se Bapa
8. Mamak se Bapa, saudara laki-laki Bapa laki-laki se Bapa
9. Anak laki-laki dari Mamak se Ibu se Bapa

m. Anak laki-laki dari Mamak se Bapa

n. Suami

1. Laki-laki yang memerdekakan sahaja ( tidak berlaku lagi )

III. ZUL ARHAM

Yaitu kaum keluarga yang lain yang tidak memperoleh pembagian pusaka, akan tetapi hanya
berdasarkan hubungan kasih sayang, ataupun disebut anak kerabat yang tidak termasuk zawil furud dan
juga tidak termasuk didalamnya golongan ashabah.

IV. ASHABAH

Ashabah menurut ilmu bahasa artinya penolong pelindung . Ashabah terdiri dari 3 ( tiga ) bagian :

1. Yang menjadi ashabah dengan sendirinya ( Ashabah Binafsi )

Contoh : Semua daftar laki-laki dikurangi saudara laki-laki se Ibu dan suami

1. Yang menjadi ashabah dengan sebab orang lain ( Ashabah Bilghair )

Contoh : Anak perempuan disebabkan karena adanya anak laki-laki dan anak perempuan.
1. Yang menjadi ashabah bersama orang lain (Ashabah Maalhair).

V. BAITU AL MAAL.

Jikalau didalam pembagian pusaka terdapat sisa, maka sisa itu menurut paham yang dianut dan
berkembang di Indonesia diberikan ke Baitalmal. Tujuanya adalah dipergunakan untuk Mesjid dan
kemaslahatan Kaum Muslimin. Kemudian secara singkat atau diuraikan mengenai ketentuan bagian-
bagian yang diperoleh ahli waris atas harta peninggalan sipewaris berdasarkan Hukum Islam yaitu :

1. 1/3 ( seperdua )
2. 1/4 ( seperempat )
3. 1/8 ( seperlapan )
4. 2/3 ( dua pertiga )
5. 1/3 ( sepertiga )
6. 1/6 ( seperenam )

Demikianlah ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam menyangkut masalah ahli
waris dan bagian-bagian yang diperoleh terhadap harta peninggalan pewaris yang kelak akan dibagi-bagi
sesama ahli waris dengan sistem kewarisan Islam yang dianut yaitu sistem kewarisan Individual /
Bilateral.

1. D. Sekilas mengenai Hukum Waris Burgerkijk Wetboek (BW)

Berbicara mengenai hukum waris barat yang dimaksud adalah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata
( BW ) yang menganut sistem individual, dimana peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan
pembagian. Ketentuan aturan ini berlaku kepada warga negara Indonesia keturunan asing seperti
eropah, cina, bahkan keturunan arab & lainnya yang tidak lagi berpegang teguh pada ajaran agamanya.
Sampai saat ini, aturan tentang hukum waris barat tetap dipertahankan, walaupun beberapa peraturan
yang terdapat di dalam KUH Perdata dinyatakan tidak berlaku lagi, seperti hukum perkawainan menurut
BW telah dicabut dengan berlakunya UU No. 1 / 1974, tentang perkawinan yang secara unifikasi berlaku
bagi semua warga negara. Hal ini dapat dilihat pada bab XIV ketentuan penutup pasal 66 UU No. 1 /
1974 yang menyatakan : Untuk perkawinan & segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas UU ini, maka dengan berlakunya UU ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab
undang-undang hukum perdata ( BW), ordomensi perkawinan indonesia kristen ( Hoci S. 1993 No. 74 ) ,
peraturan perkawinan campuran ( Regeling op de gemengde Huwelijken, S . 1898 No. 158 ) &
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.

Pokok hukum waris barat dapat dilihat pada pasal 1066 KUH Perdata yang menyatakan :

(1) Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seorang itu tidak
dipaksa mambiarkan harta bendanya itu tetap di bagi-bagi diantara orang-orang yang bersama-sama
berhak atasnya
(2) Pembagian harta benda ini selalu dituntut meskipun ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan
itu

(3) Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan selama waktu tertentu.

(4) Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku selama lima tahun tetapi dapat diadakan lagi , kalau
tenggang lima tahun itu telah lampau.

Jadi hukum waris barat menganut sistem begitu pewaris wafat , harta warisan langsung dibagi-bagi kan
kepada para ahli waris. Setiap ahli waris dapat menuntut agar harta peninggalan ( pusaka ) yang belum
dibagi segera dibagikan, walaupun ada perjanjian yang bertentang dengan itu, kemungkinan untuk
menahan atau menangguhkan pembagian harta warisan itu disebabkan satu dan lain hal dapat berlaku
atas kesepakatan para ahli waris, tetapi tidak boleh lewat waktu lima tahun kecuali dalam keadaan luar
biasa waktu lima tahun dapat diperpanjang dengan suatu perpanjangan baru . Sedangkan ahli waris
hanya terdiri dari dua jenis yaitu:

1. Ahli waris menurut UU disebut juga ahli waris tanpa wasiat atau ahli waris ab Intestato

Yang termasuk dalam golongan ini ialah

a. Suami atau isteri (duda atau janda) dari sipewaris (si almarhum)

b. Keluarga sedarah yang sah dari sipewaris

c. Keluarga sedarah alami dari sipewaris

II. Ahli waris menurut surat wasiat ( ahli waris testamentair )

Yang termasuk kedalam keadaan golongan ini adalah semua orang yang oleh pewaris diangkat dengan
surat wasiat untuk menjadi ahliwarisnya.

Pada dasarnya untuk dapat mengerti & memahami hukum waris BW ini, cukup banyak bidang-bidang
yang harus dibahas diantaranya pengertian keluarga sedarah dan semenda, status hukum anak-anak
tentang hak warisan ab intestato keluarga sedarah, dan lain sebagainya.

Demikianlah corak hukum waris di Indonesia saat ini , yang masing-masing mempunyai warna dan
karakteristik tersendiri, memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan alam pikiran serta jiwa
pembentukannya, yang masing-masing hukum waris mempunyai latar belakang sejarah serta pendangan
hidup dan keyakinan yang berbeda-beda pula yang mengakibatkan terdajinya pluralisme hukum waris di
Indonesia.

1. E. Kesimpulan
Pengertian hukum waris belum terdapat keseragaman sebagai suatu pedoman atau standar hukum,
dimana tiap-tiap golongan penduduk memberi arti & definisi sendiri-sendiri, seperti terlihat pada sistem
hukum kewarisan Islam, hukum waris barat dan hukum waris adat. Namun demikian berbicara mengenai
hukum waris, ketiga sistem hukum waris itu sepakat bahwa didalamnya terdapat tiga unsur penting yakni,
adanya harta peninggalan atau harta kekayaan pewaris yang disebut warisan, adanya pewaris dan
adanya ahli waris.

Tipis sekali kemungkinan ataupun mustahil untuk dapat menciptakan unifikasi dan kodifikasi hukum
waris, mengingat kebutuhan hukum anggota masyarakat tentang lapangan hukum bersangkutan adalah
beraneka ragam dan sering berbeda satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga perbedaan tersebut
tidak mungkin disamakan. Disamping itu terkait pula dengan hubungan dan didomonasi oleh perasaan,
kesadaran, kepercayaan dan agama, dengan kata lain bertalian erat dengan pandangan hidup
seseorang.

Dibeberapa daerah sistem pewarisan telah mengarah kepada susunan kekeluargaan parental dan sistem
pewarisan individual , walaupun disana sini masih nampak adanya pengaruh kedudukan anak tertua
lelaki sebagai pengganti kedudukan ayah, keluarga-keluarga indonesia cendrung untuk tidak lagi
mempertahankan sistem kekerabatan patritineal atau matrilineal dengan sistem pewarisan kolektif atau
mayorat. Artinya didalam kehidupan masyarakat luas, tidak lagi mempertahankan hukum adatnya yang
lama, akan tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

1. Ter Haar, 1990, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto,
Let. N. Voricin Vahveve, Bandung.
2. Soepomo,1993, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
3. Hazairin, 1975, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta.
4. Hilman Hadikusuma , 1993 , Hukum Waris Adat , PT. Citra Aditnya Bakti, Bandung.
5. R. Subekti & R. Tjitrosedibio , 1980 , Kitab Undang Undang Hukum Perdata , Pradnya Paramita
, jakarta.
6. Jurnal Syaiful Azam, Pluralisme Hukum Waris Indonesia , Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara
7. Modul Hukum Waris, Heru Kuswanto, Sistem Hukum waris, Fakultas Hukum Universitas
Narotama Surabaya

Sumber Internet

1. http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat/
2. http://jawaposting.blogspot.com/2011/02/pengertian-dan-istilah-hukum-waris-adat.html
3. http://kayosakti.blogdetik.com/index.php/2011/05/09/tinggalkan-hukum-waris-adat-guna-hukum-
waris-islam/

KEDUDUKAN HUKUM WARIS ADAT


TERHADAP PLURALISME HUKUM WARIS DI INDONESIA

Untuk memenuhi nilai Tugas T1

Mata Kuliah Hukum Waris Adat

Dosen

Adum Dasuki, S.H.,M.S.

Oleh :

Galih Satya Pambudi

NIM 0910110162

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2012

PENDAHULUAN
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan
dalam pembangunan hukum nasional yang enuju kearah unifikasi hukum yang terutama akan
dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-undangan.
Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat untuk pembinaan hukum waris nasional adalah
hukum waris adat. Oleh karena itu hukum waris adat perlu diketengahkan dengan jalan
melakukan penelitian kepustakaan yang ada maupun penelitian di lapangan untuk dapat
mengetahui apakah dari sistem dan azas hukum waris adat yang terdapat di seluruh wawasan
nusantara ini dapat dicari titik temu dan kesesuaiannya dengan kesadaran hukum nasional.
Apakah azas kesamaan hak yang akan dijadikan landasan ataukah azas kerukunan yang akan
digunakan sebagai landasan dalam menentukan hukum waris adat di Indonesia.
Hukum waris bagi bangsa Indonesia tidak berarti waris setelah seseorang pewaris meninggal
dunia, melainkan dapat terjadi pewarisan dalam arti penunjukan atau penerusan harta
kekayaan pewaris sejak pewaris masih hidup. Demikian corak hukum waris adat bangsa
Indonesia yang selama ini berlaku, berbeda dengan hukum waris islam atau hukum waris barat.
Penguraian hukum waris adat ini dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran bagaimana
hukum waris adat di Indonesia yang tidak terlepas hubungannya dengan susunan
masyarakatnya diberbagai daerah yang berbeda-beda.terutama memberikan uraian mengenai
hukum adat yang menyangkut hukum waris itu sendiri serta tentang azas-azas dan sistem
hukum waris adat pada umumnya di Indonesia.

PEMBAHASAN
A. Pengertian
1. Hukum Waris Adat
Secara umum, pengertian hukum waris yang didasarkan pada pasal 830 Kitab Undang-Undang
hukum perdata dapat dirumuskan sebagai berikut:
Hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan, dimana, berhubung dengan
meninggalnya seseorang, akhibat-akhibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu: akhibat
dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris baik di dalam
hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga.
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan
azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Hukum waris
adat sebenarnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada
keturunannya.
Adapun pendapat para ahli hukum adat tentang hukum waris adat adalah sebagai berikut:
Ter Haar menyatakan: Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan
tidak berwujud dari generasi ke generasi.
Menurut Wirjono, pengertian warisan ialah bahwa warisan itu adalah soal apakah dan
bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Jadi menurut wirjono, istilah kewarisan diartikan sebagai cara penyelesaian bukan diartikan
bendanya. Kemudian cara penyelesaian itu sebagai akhibat dari kematian seseorang. Sehingga
waris dapat dilakukan setelah ada orang (pewaris) yang meninggal.
Pernyataan ini bertentangan dengan pendapat Soepomo yang menyatakan: Hukum adat waris
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-
barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari
suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam waktu
orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi akuut oleh sebab orang tua meninggal
dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses
itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan
pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut
Dengan demikian hukum waris itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan
dan peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan
peralihan harta tersebut dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris
maninggal dunia. Bentuk peralihannya dapat dengan cara penunjukan, penyerahan kekuasaan
atau penyerahan pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris.
2. Sifat Hukum waris adat
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai
harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis
macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai
kesatuan dari uang penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan
yang berlaku sebagaimana di dalam hukum waris islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan
pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan. Harta yang tidak terbagi adalah
milik beberapa para waris, ia tidak boleh memiliki secara perorangan, tetapi ia dapat dipakai
dan dinikmati.

B. Azas Pewarisan Menurut Hukum Adat


Dalam hukum waris adat bangsa Indonesia bukan semata-mata terdapat azas kerukunan dan
azas kesamaan hak dalam pewarisan, karena berpangkal tolak pada sila-sila pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa Indonesia. maka terdapat juga azas-azas hukum yang terdiri dari:
a. Azas Ketuhanan dan pengendalian diri
Dengan dasar hukum orang berpegang pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, karena iman
dan taqwanya ia mengendalikan diri menahan nafsu kebendaan dan untuk dapat
mengendalikan diri dalam masalah kewarisan, sehingga akan selalu menjaga kerukunan hidup
antara para waris dan anggota keluarga dari pertentangan.
b. Azas Kesamaan Hak dan kebersamaan hak
Adanya sikap dalam hukum waris adat sesungguhnya bukan menentukan banyaknya bagian
warisan yang harus diutamakan, tetapi kepentingan dan kebutuhan para waris yang dapat
dibantu oleh adanya warisan itu. Sehingga pembagian tidak selalu sama hak dan sama banyak
bagian pria dan wanita
c. Azas kerukunan dan kekeluargaan
Suatu azas yang dipertahankan untuk tetap memelihara hubungan kekeluargaan yang tentram
dan damai dalam mengurus menikmati dan memanfaatkan warisan yang tidak terbagi-bagi
ataupun dalam menyelesaikan masalah pembagian pemilikan harta warisan yang dibagi
d. Azas Musyawarah dan mufakat
Dalam mengatur atau menyelesaikan harta warisan setiap anggota waris mempunyai rasa
tanggung jawab yang sama dan atau hak dan kewajiban yang sama berdasarkan musyawarah
dan mufakat bersama
e. Azas Keadilan dan parimirma
Azas welas kasih terhadap para anggota keluarga pewaris, dikarenakan keadaan, kedudukan,
jasa, karya dan sejarahnya. Sehingga walaupun bukan ahli waris namun wajar untuk juga
diperhitungkan mendapat bagian harta warisan.

C. Sistem Pewarisan menurut Hukum Adat


Sistem yang digunakan untuk menentukan pewarisan adat di Indonesia bermacam-macam.
Penerapan sistem tersebut berhubungan erat dengan adat yang ada di masing-masing daerah
adat setempat, sehingga sistem adat masing-masing daerah tidak dapat disamakan antara satu
daerah dengan daerah yang lain. Adapun beberapa sistem pewarisan adat yang terdapat di
Indonesia antara lain adalah:
1. Sistem Keturunan
Dilhat dari segi garis keturunan maka perbedaan lingkungan hukum adat itu dapat dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Sistem Patrilinial (kelompok garis kebapakan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol
pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan
kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa tenggara,
Irian
b. Sistem Matrilinial (kelompok garis keibuan)
Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol
pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan ini
adalah minangkabau, enggano.
c. Sistem Parental atau Bilateral (kelompok garis ibu-bapak)
Sistem yang ditarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana
kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris
keturunan ini adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu

2. Sistem Pewarisan Individual


Sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan
atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu
diadakan pembagian maka masing-masing waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta
warisannya untuk diusahakan dan dinikmati.

3. Sistem Pewarisan Kolektif


Pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang
tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk
mengusahakan menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara
pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota
kerabat yang berhak atas harta peninggalan dibawah bimbingan kepala kerabat.

4. Sistem Pewarisan Mayorat


Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem kewarisan kolektif,
hanya saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua yang
bertugas sebagai pemimpin keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala
keluarga.
Sistem mayorat ini ada dua macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut.
Pertama mayoret lelaki yaitu kepemimpinan yang dipegang oleh anak laki-laki tertua seperti
berlaku dilingkungan masyarakat adat Lampung. Sedangkan mayorat perempuan yaitu anak
tertua perempuan sebagai penunggu harta orang tua seperti berlaku dilingkungan masyarakat
adat Semendo Sumatra Selatan.

5. Sistem Pewarisan Islam


Sistem hukum waris yang pelaksanaan dan penyelesaian harta warisan itu apabila pewaris
wafat. Sistem ini tidak membedakan kedudukan pria ataupun wanita dalam mendapatkan
warisan seperti halnya pada sistem parental dan juga menerapkan sistem individual dalam
pembagian harta peninggalan.

6. Sistem Pewarisan Barat


Sistem pewarisan menurut hukum barat yang dimaksud disini adalah sebagaimana diatur
dalam KUH Perdata (BW) yang menganut sistem individual, dimana harta warisan jika pewaris
wafat harus selekas mungkin diadakan pembagian.
Sistem pewarisan islam dan pewarisan barat dicantumkan dalam makalah ini hanya sebagai
tambahan atau pembanding dalam pembahasan sistem pewarisan adat yang ada di Indonesia.
Karena sistem pewarisan islam dan barat juga berhubungan erat dengan sistem pewarisan adat
di indonesia

KESIMPULAN
Dalam hukum waris adat di Indonesia itu mempunyai corak sendiri berbeda dengan hukum
waris islam atau hukum waris barat. Peralihan harta kekayaan pada hukum waris adat tidak
memandang pewaris sudah meninggal dunia atau masih hidup. Sehingga hukum waris adat
dipandang sebagai peralihan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya tanpa
memperhitungkan sudah meninggal atau masih hidupnya pewaris.

Azas-azas dalam hukum waris adat di Indonesia terdiri dari:


1. Azas Ketuhanan dan Pengendalian diri
2. Azas Kesamaan Hak dan kebersamaan Hak
3. Azas Kerukunan dan kekeluargaan
4. Azas Musyawarah dan mufakat
5. Azas Keadilan dan Parimirma

Sistem pewarisan dalam hukum waris adat di Indonesia antara lain:


1. Sistem Keturunan
2. Sistem Pewarisan Individual
3. Sistem Pewarisan Kolektif
4. Sistem Pewarisan Mayorat
5. Sistem Pewarisan Islam
6. Sistem Pewarisan Barat

DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI
Press), 1990
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra aditya Bakti, 1990
Soekanto, Soejono, et.al., Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1986
Sudarsono, Hukum Waris Dan Sistem Bilateral, Jakarta: PT. Melton Putra, 1991
PERANAN HUKUM ADAT DALAM HUKUM TANAH NASIONAL

1. LATAR BELAKANG

Hukum adat menurut Prof. Mr. Dr. Soekanto adalah keseluruhan adat ( yang tidak tertulis
dan hidup di dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman ) yang
merupakan akibat hukum. Hukum adat pada saat kini selalu dipertanyakan kekuatan
mengikatnya kedalam hukum positif Indonesia, karena bentuk dari hukum adat adalah
merupakan suatu hukum yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat. Dari pengertian tersebut seolah olah hukum adat bertentangan dengan asas
legalitas dalam hukum positif Indonesia. Hukum adat seolah olah hanya mengikat untuk
masyarakat pedesaan dan pedalaman. Padahal hukum adat adalah hukum murni bangsa
Indonesia yang eksistensinya tidak bisa dilupakan begitu saja. Hukum adat adalah hukum
yang hidup dan tumbuh dalam sendi sendi kehidupan masyarakat. Hukum adat tidak bisa
mati karena akan selalu bergerak dinamis menyesuaikan kehidupan masyarakat itu sendiri.

Dalam sistem hukum agraria nasional atau hukum tanah nasional hukum adat dijadikan
sebagai sumber utam dalam penyusunanya. Hal tersebut terdapat dalam pasal 5 Undang
Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yang berbunyi hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air, dan angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan
sosialisme Indonesia serta dlam peraturan peraturan yang tercantum dalam Undang
Undang ini sertaperaturan peraturan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur
unsur pada hukum agama. Serta tercantum dalam pasal 3 UUPA No. 5 tahun 1960
dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak hak serupa
itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada,
harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang
undang dan peraturan peraturan yang lebih tinggi . Dari kedua pasal tersebut terlihat
bahwa dalam hukum agraria nasioanl bersumber dari sistem hukum adat dan masih
menggap eksistensi hukum adat dalam hukum agararia nasional.

Memang hukum agraria nasional bersumber dari hukum adat dan hukum adat dalam sistem
hukum agraria nasional dijadikan sebagai pelengkap dari sumber hukum yang tertulis
karena sistem dalam hukum adat yang kita kenal adalah sistem komunal atau lebih
mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu. Sistem tersebut
dipercaya bisa memberikan dampak hukum yang positif bagi hukum agraria nasional. Hal
lain sistem hukum adat dirasakan sebagai suatu tatanan hukum yang cocok bagi
kepribadian hukum nasional.

Hukum positif yang berlaku saat ini khususnya hukum agraria nasional banyak sekali
bersumber dan menjadikan hukum adat sebagai pedoman penyusunan hukum positif
tersebut. Apabila suatu hukum positif pada umumnya atau hukum agraria pada khususnya
bertentangan dengan sistem hukum adat maka hal tersebut bertentangan dengan hukum
yang berlaku dalam masyarakat. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif tidak akan
pernah mati, karena sistem hukum adat bersifat elastik dan dinamik. Bagaimana kekuatan
mengikat hukum adat bila kita bandingkan dalam sistem hukum positif Indonesia menjadi
suatu hal yang menarik untuk dibahas dalam makalah ini.

2. RUMUSAN MASALAH

I. Apakah itu yang dimaksud sistem hukum adat?


II. Bagaimana eksistensi hukum adat dalam dalam hukum positif nasional?
III. Bagaimanakah implikasi hukum adat dalam sistem tanah nasional?

3. TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini yang pertama untuk memenuhi tugas kompentensi dasar ke
III mata kuliah hukum adat oleh Ibu. Andri Astuti, S.H. yang kedua penulisan makalah ini
betujuan agar para pembaca dapat mengetahui apa itu yang dimaksud dengan sistem
hukum adat, eksistensi hukum adat pada saat ini, dan implikasi hukum adat dalam sistem
hukum pertanahan nasional atau sistem hukum agraria nasional. Karena saat ini banyak
yang menyatakan sistem hukum adat tidak memiliki kekuatan hukum karena bentuknya
yang sebagian besar tidak tertulis.

Dalam penulisan makalah ini saya menyadari masih jauh dari kata sempurna, sehingga
saran dan kritik yang membangun dalam penulisan makalah ini sangat sasya harapkan. Ada
pepatah Tiada gading yang tak retak sehingga saya masih menyadari banyak kekurangan
dalam penulisan makalah saya. Makalah ini saya beri judul peranan hukum adat dalam
hukum agraria nasional karena dalam sistem agraria nasional bersumber dari sistem
hukum adat nasional.

4. KAJIAN TEORITIS

Hukum adat adalah keseluruhan adat ( yang tidak tertulis dan hidup dalam mayarakat
berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman ) yang merupakan akibat hukum ( soejono
soekanto ).
Pasal 5 Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 yang berbunyi hukum agraria
yang berlaku atas bumi, air, dan angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta dlam peraturan peraturan yang tercantum dalam
Undang Undang ini sertaperaturan peraturan lainya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur unsur pada hukum agama .
pasal 3 UUPA No. 5 tahun 1960 dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak hak serupa itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang undang dan peraturan peraturan yang lebih tinggi .
Peraturan menteri dalam negeri Ka BPN No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi esistensi
hukum adat diakui bila ada masyarakat hukum adat, tanah ulayat dan hukum tanah yang
berlaku ditaati oleh masyarakat adat.

5. PEMBAHASAN

I. Apakah itu sistem hukum adat?


Sulit untuk menentukan definisi hukum adat yang benar, karena setiap pakar memiliki
definisi sendiri sendiri mengartikan sistem hukum adat. Hukum adat adalah suatu hukum
yang menjadi budaya asli bangsa indonesia. Hukum adat menurut saya adalah hukum yang
berkembang dalam masyarakat yang memiliki kekuatan mengikat dan ditaati dalam diri
masyarakat adat yang secara umum berbentuk tidak tertulis. Hukum adat merupakan suatu
hukum yang berkembang dan hidup dalam masyarakat adat yang memiliki kekuatan
mengikat bagi masyarakat adatnya. Hukum adat masyarakat satu dengan lainya berbeda
beda tergantung dengan sistem masyarakat itu sendiri. Karena pada dasarnya hukum adat
itu tumbuh dan hidup dalam masyarakat menyesuaikan sistem dari masyarakat itu sendiri.

Hukum adat untuk mencapai tujuanya menurut djoyodiguno dalam bukunya yang berjuduk
reorientasi hukum adat , hukum adat agar mencapai tujuanya harus berubah sesuai
zaman atau bersifat dinamik dan elastik. Hukum adat adalah living law atau suatu hukum
yang hidup yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Hukum adat tidak akan pernah mati
karena sesuai dengan perkembangan zaman dan keinginan masyarakat itu sendiri, sehingga
apabila suatu hukum adat sudah dirasa tidak sesuai keinginan masyarakat maka hukum
adat itu akan mati dan berganti dengan hukum baru secara sendiri.

Hukum adat juga memiliki kekuatan meteriil yang mengikat bagi masyarakat adat, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kekuatan meteriil hukum adat antara
lain; seberapa jauh hukum adat selaras dengan nilai kemasyarakatan, seberapa jauh
peraturan yang diterapkan selaras dengan sestem hukum yang berlaku, sebarapa jauh
hukum adat tersebut sapat membawa perubahan keadaan sosial dari masyarakat. Hal hal
tersebut merupakan suatu yang menjadi faktor faktor tinggi rendahnya kekuatan
mengikat hukum adat.

Menurut Berrand ter Haar, yang menjadi sumber pengenal hukum adat adalah keputusan
penguasa adat. Sedangkan menurut Koesnoe yang menjadi sumber pengenal hukum adat
ialah apa yang benar benar terlaksana di dalam pergaulan hukum di dalam masyarakat
yang bersangkutan, yang dimaksud pergaulan hukum adalah gejala sosial yang secara
dikehedaki atau tidak oleh para pihak yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan yang
terkandung gejala gejala sosial

Hukum adat merupakan suatu hukum yang memiliki sifat sifat yang memiliki ciri khas
tersendiri. Sifat sifat hukum adat adalah religius magis atau hukum adat memiliki
hubungan batin yang melekat dari diri individu, sikap komunal yang lebih mengutamakan
kepentigan umum daripada kepentigan individual, yang ketiga memiliki sifat kontak dan
yang terakhir memiliki sifat konkret. Sifat sifat tersebut merupakan suatu sifat yang
membedakan hukum adat dengan hukum yang lainya. Dari sifat diatas bisa disimpulkan
hukum adat lebih mengutamakan kepentingan umum daripada individual ( komunal ).

II. Bagaimana eksistensi hukum adat dalam hukum positif nasional?


Pada hakekatnya tertib sosial hanya dapat tercipta apabila hukum itu dibangun dengan
kesadaran dan tanggung jawab moral untuk membela keadilan. Tanpa keadilan sebagai
tujuan utama, maka hukum ( positif dan adat ) hanya akan terperosok menjadi alat
pembenaran kesewenag wenagan mayoritas atau pihak penguasa terhadap minoritas atau
yang dikuasai. Tidak salah bila Aristoteles melihat keadilan merupakan keutamaan yang
lengkap dibandingkan dengan keutamaan yang lain.

Hukum adat adalah suatu hukum asli dari bangsa kita. Hukum adat tidak akan bisa mati
terhapus oleh waktu. Sedangkan hukum positif adalah hukum yang saat ini berlaku atau
hukum yang sekarang. Dalam penerapanya hukum adat, hukum adat selalu menjadi
sumber hukum bagi hukum positif Indonesia. Pada dasarnya sistem hukum positif tidakakan
pernah melenceng dari sistem hukum adat, karena hukum positif itu sendiri tidak mungki
bertentangan dengan hukum masyrakat yang ada. Apabila hukum positif bertentangan pasti
akan ditolak dalam masyarakat.

Hukum adat pada masa kini dianggap sudah tidak punya kekuatan mengikat dan hanya ada
dalam masyarakat masyarakat tertentu saja, padahal pada dasarnya hukum adat selalu
ada dalan kehidupan kita baik dalam kehidupan bemasyarakat maupun bernegara. Hukum
adat tetap akan selalu ada dan memiliki kekuatan mengikat dalam diri sendiri yang
mengandung kekuatan moril dari setiap individu. Hukum adat akan selalu mengikuti
perkembangan masyarakat yang dinamis dalam mencapai tujuanya, sehingga huku adat
akan tidak lekang dimakan waktu.

Dalam hukum positif atau hukum yang berlaku saat ini banyak sekali bersumber dalam
hukum adat dan menjadikan hukum adat sebagai patokan dalam penyusunan hukum,
seperti dalam sistem hukum agraria yang berpedoman dalam sistem sistema adat
terutama dalam hukum adat atas tanah atau hak hak ulayat dan sebagainya. Pada
dasranya hukum positif adalah hukum yang mengikat secara umum atau mengikat
masyarakat pada keseluruhanya. Sehingga dalam pelaksanaan harus tidak boleh
bertentangan dengan norma norma yang hidup dalam masyarakat. Norma norma yang
hidup dalam masyrakat secara umum dapat disimpulkan sebagai suatu hukum yang hidup
dalam masyarkat atau hukum adat. Dalam pelaksanaanya hukum positif dan hukum adat
memiliki interpedensi atau hubungan yang sangat erat dan tidak boleh bertolak belakang
antara satu dengan lainya, sehingga akan menjadi penyenpurna antara satu dengan lainya.
Hukum adat harus bersifat dinamis sehingga dapat menyesuaikan antara kebutuhan hidup
dalam masyarakat dan hukum positif, sebaliknya setiap hukum positif tidak boleh
betentangan dengan hukum adat yang hidup dalam masyarakat.

Dari hal hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa eksistensi hukum adat dalam hukum
positif indonesia akan selalu ada dan tidak akan pernah mati. Hukum adat dan hukum
positif menjadi suatu yang saling melengkapi antara satu dengan lainya. Hukum adat selalu
akan bergerak elastik dan dinamis menyesuaikan kehidupan dalam masyarakat dan hukum
positif akan selalu tidak bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau
hukum adat. Apabila hukum adat bertentangan dengan masyarakat maka hukum adat
tersebut tidak akan bisa eksistensi, sehingga apabila dirasa sudah tidak memberikan atau
tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat maka hukum adat tersebut akan bergantu
dengan sendirinya sesuai dengan kehidupan masyarakat yang kompleks. Selain itu
eksistensi hukum adat dalam hukum positif juga tidak akan pernah mati.

III. Bagaimana implikasi hukum adat dalam hukum tanah nasional?


Hukum agraria nasional menurut UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah suatu kelompok berbagai
bidang hukum yang masing masing mengatur hak hak penguasaan atas sumber daya
alam yang meliputi hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan, dan
hukum penguasaan atas tenaga dan unsur unsur dalam ruang angkasa, tapi dalam
makalah ini saya batasi hanya dalam sistem hukum tanah. Pengetian hukum tanah adalah
keseluruhan ketentuan hukum yang tertulis dan tidak tertulis yang semuanya mempunyai
obyek pengaturan yang sama, yaitu hak hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga
hukum dan sebagi hubungan hukum konkrit, beraspek perdata yang dapat disusun dan
dipelajari secara sistematis hingga keseluruhanya menjadi suatu kesatuan yang merupakan
suatu sistem.

Dalam pasal 3 UUPA no. 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa dalam hukum agraria nasional
bersumber dan mengakui adanya hukum adat atau hak hak ulayat. Hak ulayat adalah hak
dari masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberikan
kewenangan tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan
tanah. Dalam UUPA dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Agraria Ka. BPN No. 5 tahun 1999
hak hak ulayat diakui dengan syarat eksistensinya masih ada dan pelaksanaanya sesuai
dengan negara serta tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Selanjutnya
kriteria eksistensinya hukum adat adalah adanya hak ulayat, tanah ulayat, dan berlaku
serta ditaati warga masyarakat. Dalam hal tersebut jelas UUPA masih mengakui adanya hak
hak ulayat dan hhukum adat.dalam UUPA juga dijelaskan peranan hukum adat dalam
pembangunan hukum atanh nasional adalah sebagai sumber utama dalam pembangunan
hukum tanah nasional dan sebagai pelengkap hukum tanah nasional tertulis. Hukum adat
adalah hukum asli golongan rakyat pribumi yang berbentuk tidak tertulis dan mengandung
unsur nasional yang asli dan sifat kemasyarakatan dan keluargaan yang berasaskan
keseimbangan dan meliputi oleh suasana keagamaan.

Dalam UUPA pengertian hukuma dat meliputi lima aspek yaitu, konsepsi, asas, lembaga
hukum, sistem, dan norma yang tertulis. Konsepsi hukum adat meliputi sistem
komunalisitik, religius yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak
atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan, karena pada
hakekatnya sistem adat mengunakan asas komunal atau lebih mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan pribadi. Konsepsi hukum adat diakomodasikan dalam pasal 1
ayat ( 2 ), pasal 6, pasal 3, dan pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960. sedangkan asas asas
hukum tanah adat meliputi asas religiusitas ( pasal 1 UUPA ), asa kebangsaan ( Pasal 1, 2,
5 ayat ( 1 ) UUPA ), asas demokrasi ( Pasal 9 ayat ( 2 ) UUPA ), asas kemasyarakatan
pemerataan dan keadilan sosial ( pasal 6, 7, 10, 11, 13 UUPA ), asas pengunaan dan
pemeliharaan secara berencana ( pasal 14, 15 UUPA ), asas pemisahan horisontal tanah
dengan bangunan dan tanah diatasnya. Sedangkan lembaga hukum adat dalam hukum
tanah nasional disempurnakan dan disesuaikan seperti HGU, HGB, pendaftaran tanah, dll.

6. PENUTUP

Hukum adat adalah hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat serta hukum asli
masyarakat Indonesia yang berbentuk tidak tertulis dan mengandung unsur nasional yang
asli dan bersifat kemasyarakatan dan keluargaan yang berdasarkan keseimbangan dan
diliputi oleh suasana keagamaan. Hukum adat bersifat elastis dan dinamis atau bergerak
berdasarkan kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuanya, karena apabila hukum adat
tidak bergerak secara elastik dan dinamis maka hukum itu tidak akan bisa diterima dalam
kehidupan bermasyarakat. Hukum adat tidak akan penah mati karena terus bergerak
mengikuti kehidupan masyarakat yang kompleks.

Hukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini atau masa sekarang. Eksistensi hukum
adat dalam hukum positif Indonesia tetapHukum positif adalah hukum yang berlaku saat ini
atau masa sekarang. Eksistensi hukum adat dalam hukum positif Indonesia tetap ada.
Hukum adat dan hukum positif saling melengkapi antara satu dengan lainya. Hukum positif
tidak akan pernah bertentangan dengan hukum adat, begitupun hukum adat juga tidak
akan bertentangan dengan hukum positif. Hukum adat dan hukum positif harus bergerak
mengikuti perubahan masyarakat secara elastik dan dinamis.

Dalam UUPA masih mengunakan sumber hukum adat sebagai pedoman penyusunanya.
Hukum adat menjadikan sumber utama serta pelengkap dari hukum tertulis atas tanah.
Penyusunan hukum tanah nasional tidak boleh bertentangan dengan sistem tanah adat
serta harus berdasarkan hak hak ulayat yang msih berlaku. Syarat diakuinya hak ulayat
dalam UUPA adalah eksistensinya masih ada dan pelaksanaanya sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih
tinggi. Berdasarkan pasal 1, 2, 4, 9, 16 UUPA dapat disimpulkan dan diketahui bahwa
hukum tanah adat mengenai sistematika hubungan manusia dengan tanah.

7. DAFTAR PUSTAKA

1) Wiyarti, Sri. 2005. hukum adat suatu pengantar. Surakarta. UNS press.
2) Astuti,Andri.S.H.1996.hukum adat.Surakarta.UNS press.
3) Ali, Muhammad Daud, 2000, hukum islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
4) Ujan,Andreas Ata, 2009, filsafat hukum , membangun hukum, membela
keadilan.Jakarta: Kanisius
5) Karjoko,Lego, S. H. 2008. hukum agaraia nasional. Surakata. UNS press.
D. Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)

Dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Ketentuan ini mengandung makna, bahwa unsur-unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada di
dalam suatu masyarakat hukum adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang
ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut.

Unsur-unsur yang penting dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan dengan uraian
ini lebih lanjut adalah:
1. Bahwa tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh
kesempatan untuk mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
2. Bahwa UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah (pasal 19)
3. Bahwa UUPA No.5 1960 membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
4. Perintah penegasan hak-hak atas tanah adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960 diundangkan
(pasal-pasal ketentuan Konversi).

Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: Dengan
mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu
dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian
rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya, akan tetapi pengakuan
itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
1. Eksistensinya masih ada
2. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
3. Tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru
(UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta
diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi
di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak
ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di
dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada
dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih
ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah
(umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar
pendapatnya dan akan diberi recognitie, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak
ulayat itu.

Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut
menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu
sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu
masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara
besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan
rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula,
bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran
mengenai hak ulayat, inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di
atas. Kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang
lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu.
Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan
mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau
melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses
alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang
bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).

Sumber: MENGENAL PENGERTIAN HUKUM TANAH DALAM


ADAT http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-
adat.html#ixzz3cO2FfIir
Follow us: @fajar_berkata on Twitter

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk
manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan
kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat,
sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk
itulah diperlukan kaedah-kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan
antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah
sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah sebagai
tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka
dimakamkan, tanah dimana meresap daya-daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan
karenanya tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak
dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa
pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi.
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah-kaedah hukum. Keseluruhan kaedah
hukum yang timbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah
sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan antar sesame manusia adalah sangat
berhubungan erat tentang pemamfaatan sekaligus menghindarkan perselisihan dan
pemamfaatan tanah sebaik-baiknya. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat. Dari
ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat
dengan hak-hak yang ada di atas tanah.
Hukum tanah di Indonesia dari zaman penjajahan terkenal bersifat dualisme, yang dapat
diartikan bahwa status hukum atas tanah ada yang dikuasai oleh hukum Eropa di satu pihak,
dan yang dikuasai oleh hukum adat, di pihak lain.[1] diseluruh Indonesia kita melihat adanya
hubungan-hubungan antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, atau dengan
kata lain, persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah-tanah itu, yang
dinamakanBeschikkingsrecht.
Dari sini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara hokum tanah adapt dengan
hukum tanah nasional.

1.2 Identifikasi Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah diatas, maka kita dapat melihat adanya
dualisme hukum adat di Indonesia. Di Indonesia belakangan dibuatlah suatu peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pertanahan, yaitu Undang-Undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Pokok Pertanahan (UUPA 1960). Undang Undang diciptakan untuk
mengadakan unifikasi hukum pertanahan nasional. Sehingga, muncul beberapa pertanyaan,
antara lain adalah :
1. Bagaimana pengaturan hukum tanah adat yang ada di Indonesia sebelum dan sesudah adanya
UUPA?
2. Bagaimana kedudukan hukum tanah adat (atau tanah adapt) dalam hokum nasional?

1.2 Tujuan Pembuatan Makalah

Penulisan makalah ini dilakukuan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat
bermanfat.

1.3.1 Tujuan umum


Tujuan umum dibuatnya makalah ini adalah agar para pembaca pada umumnya dan kami
khususnya dapat mengetahui bagaimana pengaturan hukum tanah adat di Indonesia sebelum
dan sesudah berlakunya UUPA, serta bagaimana juga kedudukan hukum adat dalam hokum
nasional.
1.3.2 Tujuan khusus
Tujuan khusus dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi tuntutan perkuliahan mata kuliah
Hukum Adat dalam Perkembangan yang sedang kami jalani dalam semester ini.

1.4 Metode Penyusunan

Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan
studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan referensi dan buku-buku
sebagai landasan teoritis mengenai masalah yang akan diselesaikan dan dengan pencarian
data melalui internet.

1.5 Manfaat Pembuatan Makalah

Manfaat yang penulis harapkan atas tersusunnya makalah ini mudah-mudahan dapat
bermanfaat dalam memberikan informasi dan penjelasan mengenai bagaimana pengaturan
hukum adat di Indonesia, dan bagaimana juga kedudukan hukum adat dalam hukum nasional.
Penulis juga berharap agar makalah ini dapat memenuhi tuntutan perkuliahan yang sedang
dijalani.
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Hukum Adat Tanah

Semula hukum adat di Indonesia hanay ditemukan berdasarkan simbol-simbol. Hukm


adat mencerminkan kultur tradisional dan aspirasi mayoritas rakyatnya. Hukum ini berakar
dalam perekonomian subsitensi serta kebijakan paternalistik, kebijakan yang diarahkan pada
pertalian kekeluargaan. Penilaian yang serupa dibuat dari hukum yang diterima di banyak
negara terbelakang. Hampir di manapun, hukum ini gagal dalam melangkah dengan cita-cita
modernisasi. Sistem tradisional dari kepemilikan tanah mungkin tidak cocok dengan
penggunaan tanah yang efisien, karena karakternya yang sudah kuno dari hukum komersial
yang memungkinkan menghalangi investasi asing. Bahkan, secara lebih mendasar hukum yang
diterima tidak dipersiapkan untuk menyeimbangkan hak-hak pribadi dengan hak masyarakat
dalam kasus intervensi ekonomi yang terencana.[2]
Sementara itu di Indonesia, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang
angkasa ialah hukum adat dimana sendi-sendi dari hukum tersebut berasal dari masyarakat
hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, dan negara
yang berdasarkan persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia. Dengan demikian menurut B.F
Sihombing, hukum tanah adat adalah hak pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang
hidup dalam masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak
mempunyai bukti-bukti kepemilikan secara autentik atau tertulis, kemudian pula ada yang
didasarkan atas pengakuan dan tidak tertulis.[3]
Bagi masyarakat hukum adat, maka tanah mempunyai fungsi yang sangat penting.
Tanah merupakan tempat di mana warga masyarakat hukum adat bertempat tinggal, dan tanah
juga memberikan penghidupan baginya. Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan
tanah, Ter Haar menyatakan sebagai berikut (B Ter Haar Bzn 1950:56).
Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik ke luar maupun
ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan
mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam
masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat melaksanakan haknya,
sesuai dengan bagiannya, dengan cara membatasi peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-
hak pribadi serta menarik bagian tanah tertentu dari hak menikmatinyasecara pribadi, untuk
kepentingan masyarakat.
Masyarakat hukum adat tersebut, sebenarnya dapat ditinjau sebagai suatu totalitas, kesatuan
publik maupun badan hukum. Sebagai totalitas, maka masyarakat hokum adapt merupakan
penjumlahan dari warga-warganya termasuk pula pemimpinnya atau kepala adatnya.
Sebagai suatu kesatuan publik, maka masyarakat hukum adat sebenarnya merupakan
suatu badan penguasa yang mempunyai hak untuk menertibkan masyarakat serta mengambil
tindakan-tindakan tertentu terhadap warga masyarakat. Sebagai badan hukum, maka
masyarakat hukum adat diwakili oleh kepala adatnya, dan lebih banyak bergerak di bidang
hukum perdata. Dengan demikian, maka sebenarnya hubungan antara masyarakat hukum adat
dengan tanahnya, merupakan suatu hubungan publik maupun hubungan perdata, oleh
masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah tersebut. Penguasaan dan pemilikan
atas tanah oleh masyarakat hukum adat oleh Van Vollen Hoven disebut
sebagai beschikkingrecht.
Menurut Ter Haar, bahwa sebagai suatu totalitas, maka masyarakat hukum adat
menerapkan hak ulayat dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan ataupun
tumbuh-tumbuhan. Sebagai badan penguasa, maka masyarakat hukum adat membatasi
kebebasan warga masyarakat untuk memungut hasil-hasil tersebut. Hak ulayat dan hak-hak
warga masyarakat secara pribadi, mempunyai hubungan timbale balik yang bertujuan untuk
mempertahankan keserasian sesuai dengan kepentingan masyarakat dan warga-warganya (B
Ter Haar Bzn 1950: 57).
Masyarakat hukum adat sebagai suatu totalitas, memiliki tanah dan hak tersebut
dinamakan hak ulayat yang oleh Hazairin disebut sebagai hak bersama. Oleh karena itu, maka
masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah terbatas yang dinamakan lingkungan
tanah (wilayah beschikkingskring). Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah kosong
murni, tanah larangan dan lingkungan perusahaan yang terdiri dari tanah di atasnya terdapat
pelbagai bentuk usaha sebagai perwujudan hak pribadi atau hak peserta atas tanah.
Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah
mungkin dikuasai dan dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu atau beberapa
masyarakat hukum adat. Oleh karena itu biasanya dibedakan antara:
a. Lingkungan tanah sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh satu
masyarakat hukum adat, misalnya, masyarakat hukum adat tunggal (desa di Jawa), atau
masyarakat hukum adat atasan (Kuria di Angkola), atau masyarakat hukum adat bawahan
(Huta di Penyabungan).
b. Lingkungan tanah bersama, yaitu suatu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh
beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat, dengan alternatif-alternatif, sebagai berikut:
1. Beberapa masyarakat hukum adat tunggal, misalnya beberapa belah di Gayo.
2. Beberapa masyarakat hukum adat atasan, misalnya luhat di Padanglawas.
3. Beberapa masyarakat hukum adat bawahan, misalnya huta-huta di Angkola.
Dengan demikian, maka struktur lingkungan tanah pada masyarakat hukum adat tersebut
mempunyai variasi, sebagai berikut:
a. Lingkungan tanah selapis, di mana lingkungan tanah tertentu tidak terbagi lagi ke dalam
lingkungan-lingkungan tanah lain. Kemungkinan-kemungkinannya adalah:
1. Lingkungan tanah tunggal selapis, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan dipunyai oleh
suatu masyarakat hukum adat tunggal, sebagaimana dijumpai pada desa-desa di Jawa.
2. Lingkungan tanah bertingkat selapis, yaitu keadaan di mana masyarakat hukum adat atasan
mempunyai lingkungan tanah sendiri, sedangkan masyarakat hukum adat bawahannya juga
mempunyai lingkungan tanah sendiri dari masyarakat hukum adat atasannya.
3. Lingkungan tanah setingkat berlapis, di mana beberapa masyarakat hukum adat yang
setingkat, bersama-sama menguasai dan memiliki lingkungan tanah yang sama.
b. Lingkungan tanah berlapis, yakni lingkungan tanah yang terbagi ke dalam lingkungan-
lingkungan tanah lainnya, dengan variasi sebagai berikut:
1. Lingkungan tanah selapis sempurna, di mana baik masyarakat hukum adat atasan maupun
bawahan, masing-masing menguasai dan memiliki lingkunga tanah sendiri (misalnya, di
Penyabungan).
2. Lingkungan tanah berlapis tidak sempurna, di mana masyarakat hukum adat atasannya
mempunyai lingkungan tanah sendiri, sedangkan masyarakat hukum adat bawahannya ada
yang mempunyai tanah sendiri dan ada juga yang tidak (misalnya di Mandailing).
2.2 Hukum Agraria Sebelum Adanya UUPA

Ilmu agraria adalah ilmu yang mempelajari semua hal yang berhubungan dengan
masalah tanah pada umumnya, misalnya masalah erosi, masalah kesuburan tanah, masalah
jenis dan karakteristik tanah, dan masalah yang berkaitan dengan pengaturan masalah tanah.
Hukum agraria adalah bagian dari ilmu agraria. Dalam arti sempit, hukum agraria berarti
hukum yang mengatur hubungan manusia dengan tanah pada umumnya. Hukum agraria lama,
yaitu hukum agraria sebelum Undang-undang No. 5 tahun 1960 diberlakukan, sebagian
merupakan hukum yang tertulis, dan sebagian lagi merupakan hukum yang tidak tertulis.
Bagian hukum agraria tertulis, kaidah-kaidahnya bersumber pada hukum agraria barat,
yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan pemerintah kolonial Belanda. Perundang-
undangan itu ada yang berlaku untuk seluruh wilayah Hindia Belanda, ada juga yang hanya
berlaku untuk daerah tertentu, misalnya hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura saja.
Hukum agraria tertulis antara lain seperti yang terdapat dalam Agrarische Wet, stbl. tahun 1870
no. 55,Agrarisch Besluit, stbl. tahun 1870 no. 118 dan perundang-undangan pelaksanaannya,
atau yang terdapat dalam kitab undang-undang yang sudah tersusun secara sistematis,
terkodifikasi, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek (BW)).
Sedang bagian hukum agraria tidak tertulis, kaidah-kaidahnya bersumber pada hukum
adat bangsa Indonesia. Yaitu hukum yang sudah ada, ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh
bangsa Indonesia, jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia (Hindia Belanda).
Dengan demikian hukum agraria lama, yang berlaku di Indonesia sebelum berlakunya
UUPA, mempunyai sifat dualistis. Artinya hukum agraria tersebut ada yang bersumber
pada hukum barat(tertulis), selain yang bersumber pada hukum adat (tidak tertulis) bangsa
Indonesia.
Apabila kita berbicara hukum adat bangsa Indonesia, maka kita harus mengarahkan
pandangan kepada seluruh wilayah Indonesia, wilayah Negara Republik Indonesia (Hindia
Belanda) terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil. Bangsa Indonesia yang menghuni
negara ini terdiri dariberbagai macam suku bangsa, berbagai macam bahasa daerah, berbagai
macam agama, mempunyai berbagai macam corak adat istiadat yang berbeda-beda. Hukum
adat di suatu daerah tertentu berbeda dengan hukum adat yang berlaku di daerah lain.
Dengan demikian walaupun hukum adat itu mempunyai sistem dan asas yang sama,
yaitu sebagai hukum yang tidak tertulis bagi segenap bangsa Indonesia di seluruh wilayah
Indonesia, namun dalam hukum adat itu terdapat pula perbedaan-perbedaan ketentuan hukum
menurut daerah atau lingkungan hukum adat masing-masing. Berhubungan dengan itu, maka
hukum agraria adat tersebut isinya tidak sama, beraneka ragam untuk tiap daerah.
Oleh karena itulah maka hukum agraria berlaku sebelum keluarnya Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA), tidak hanya bersifatdualistis tetapi juga bersifat pluralistis atu beraneka
ragam (Boedi Harsono, 1970: 37).
2.3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Untuk menciptakan hukum agraria nasional guna menjamin kepastian hukum bidang
pertahanan, maka dilakukanlah unifikasi hukumpertahanan dengan membentuk UU no. 5 tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA
pada tanggal 24 September 1960. Alasan-alasan lahirnya UU No.5 Th 1960 (UUPA), yaitu:
a. karena hukum agraria yang berlaku sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
dari pemerintah jajahan (Belanda), hingga bertentangan dengan kpentingan negara;
b. karena akibat politik-hukum penjajahan, sehingga hukum agraria tersebut mempunyai sifat
dualisme, yaitu berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan-
peraturan hukum barat, shg menimbulkan pelbagai masalah antar golongan yang serba sulit,
juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa;
c. hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum bagi rakyat asli.
Hukum agraria sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUPA, adalah suatu kelompok
berbagai hukum, yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumbe-sumber alam. Dalam
pengertian yang luas, ruang lingkup hukum agraria meliputi: hukum tanah, hukum air, hukum
kehutanan, hukum pertambangan/bahan galian, hukum perikanan dan hukum ruang angkasa
(hukum yang mengatur penguasaan unsur-unsur tertentu ruang angkasa).
Adapun Tujuan dari dibentuknya UUPA terdapat pada Penjelasan Umum UUPA, yaitu:
a. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat
untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama
rakyat tani, dlm rangka masyarakat yg adil dan makmur;
b. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan;
c. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
bagi rakyat seluruhnya.
Hukum tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah, yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan
hukum konkrit dengan tanah. Pembatasan serupa dapat kita adakan juga dengan bidang
hukum lain yang merupakan unsur-unsur dari kelompok hukum agraria di atas, seperti hukum
air, hukum kehutanan, hukum pertambangan/bahan galian, hukum perikanan dan hukum ruang
angkasa.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengaturan Hukum Tanah Adat Sebelum Berlakunya UUPA


Sebelum berlakunya UUPA, tanah adat masih merupakan milik dari suatu persekutuan
dan perseorangan. Tanah adat tersebut mereka pergunakan sesuat dengan kebutuhan mereka
dalam memanfaatkan dan mengolah tanah itu, para anggota persekutuan berlangsung secara
tertulis. Selain itu dalam melakukan tindakan untuk menggunakan tanah adat, harus terlebih
dahulu diketahui atau meminta izin dari kepala adat.
Dengan demikian sebelum berlakunya UUPA ini tanah adat masih tetap milik anggota
persekutuan hukum, yang mempunyai hak untuk mengolahnya tanpa adanya pihak yang
melarang.

3.2 Hukum Tanah Adat Setelah Berlakunya UUPA

Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka
tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam
yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah republik Indonesia, adalah karunia Tuhan
Yang Maha Esa pada bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara
bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
Dalam Pasal 5 UUPA ada disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa,
dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang
ini dengan peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat
tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan
tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur
Asing. Hukum adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja akan tetapi
juga berlaku untuk tanah- tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat.
Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan
tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari
kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat tu segala kewenangan mengenai
persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara.
Setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan.
Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual
beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan. Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak
ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari
nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui,
karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti
dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan negara perbatasan dengan
bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
Peraturan-peraturan lainya.
Selain itu ada juga perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum dan
sesudah berlakunya UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah. Sebelum
berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni penjualnya. Itu
sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan
surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah
hak oleh penjual kepada pembeli. Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal daluarsa.
Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dulu, sesuatu bidang
tanah yang sudah dibuka atas izin pemangku adat atua kepala adat yang berwenang, maka
setelah beberapa tahun tidak dikerjakan/ditanami kembali ditutul belukar dapat diberi
peruntukan lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan
tanah itu telah kembali kepada hak ulayat desa.
Dalam perjalan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud digunakan
terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan izin lagi untuk menggunakan tanah secara
terus menerus makin lama seorang memanfaatkan hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat di
atasnya, sampai pada akhirnya menjadi hak milik.
Hak milik juga mengalami perubahan, sebelum berlakunya UUPA, lazimnya didaftarkan
dan dikenakan pajak hasil bumi. Walaupun peraturan perpajakan ini tidak menentukan hak atas
suatu bidang tanah, tetapi sejarah penggunaan dan pemilikan penguasa tanah secara tidak
langsung dipotong dokumentasi/administrasi perpajakan serta pembayaran pajak tersebut.
Sejak berlakunya UUPA, keadaannya menjadi lain, akibat adanya ketentuan konversi dan politik
hukum agraria yang merubah stelsel lama.

3.3 Kedudukan Hukum Tanah Adat dalam Hukum Agraria Nasional

Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini,


hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya
sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat
sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian
hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan
keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif
dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini. Sehingga
dalam hukum agraria nasional hukum adat dijadikan juga sebagai landasannya.
Hukum agraria pada masa penjajahan Hindia Belanda bersifatdualistis, yaitu hukum
agraria barat, dan hukum adat bangsa Indonesia. Hukum agraria barat berlaku bagi orang-
orang Belanda, orang eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, sedang hukum agraria
adat berlaku bagi golongan bumi putera (penduduk asli).
Undang-undang no. 5 tahun 1960 adalah undang-undang yang dibuat bangsa Indonesia
an dikeluarkan setelah Indonesia merdeka. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa hukum
agraria nasional didasarkan kepada hukum adat. Penegasan itu dapat dijumpai dalam:
1. Konsideran berpendapat, huruf a;
2. Penjelasan umum angka III (1);
3. Penjelasan pasal 16;
4. Pasal 56.
Asas-asas hukum adat yang digunakan dalam hukum agraria nasional, adalah: asas
religuisitas (pasal 1), asas kebangsaan (pasal 1, 2, dan 9),asas demokrasi (pasal 9), asas
kemasyarakatan, pemerataan dankeadilan sosial (pasal 6, 7, 10, 11, dan 13), asas
penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (pasal 14 dan 15), serta asas
pemisahan horizontal tanah dengan bangunan yang ada di atasnya(Boedi Harsono, 1999: 203)
Ketentuan hukum adat itu tidak tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.
Contoh ini disebutkan dalam penjelasan umum angka II. 3 dalam hubungan dengan
pelaksanaan hak ulayat. Sekalipun penguasa-penguasa adat mempunyai kewenangan untuk
mengatur dan memimpin penggunaan tanah hak ulayat dalam wilayahnya, namun kewenangan
itu tidak boleh menghalangi program pemerintah untuk mencapai kemakmuran rakyat, umpama
pembukaan tanah secara besar-besaran untuk areal perkebunan atau untuk pemindahan
penduduk.
Hukum agraria nasional itu, berdasarkan atas hukum adat tanah, yang bersifat nasional,
bukan hukum adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Artinya, untuk menciptakan hukum
agraria nasional, maka hukum adat yang ada di seluruh penjuru nusantara, dicarikan format
atau bentuk yang umum dan berlaku bagi seluruh persekutuan adat. Tentu saja, tujuannya
adalah untuk meminimalisir konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.
Berpatokan pada hukum adat sebagai sumber utama dalam mengambil bahan-bahan
yang dibutuhkan untuk pembangunan hukum tanah nasional, maka tetap dimungkinkan untuk
mengadopsi lembaga-lembaga baru yang belum dikenal dalam hukum adat. Di samping itu,
dapat pula mengambil lembaga-lembaga hukum asing guna memperkaya dan
memperkembangkan hukum tanah nasional. Namun demikian, dalam mengadopsi lembaga-
lembaga baru tersebut syaratnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. adapun
lembaga-lembaga baru tersebut adalah:
1. Pendaftaran Tanah;
2. Hak Tanggungan;
3. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pengelolaan.[4]
Hukum agraria nasional tidak hanya tercantum dalam UUPA 1960 saja, tetapi juga
terdapat dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang
perjanjianperjanjian ataupun transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah. Misalnya,
Undang-undang no. 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Pertanian , Undang-undang no.
2 tahun 1960 tentang Penetapan Ceiling Tanah dan Gadai tanah pertanian. Di sini dapat dilihat
bahwa semua masalah hukum tanah adat secara praktis di akomodasi oleh peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah (penguasa).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang berlaku di Indonesia menunjukkan adanya
suatu nuansa kehidupan atau fungsi sosial dari tanah, terlebih agi dalam pembagian tanah
persekutuan dan tanah perseorangan atau individu. Juga dapat dilihat bagaimana pembagian
hak-hak atau pengaturan hak-hak atas tanah adat menunjukkan adanya upaya untuk
menertibkan pemakaian tanah adat sehingga benar-benar menjamin keadilan. Namun,
kepastian hukum tidak terjamin dengan hanya mengandalkan hukum tanah adat belaka. Di
sinilah kedudukan peran pemerintah selaku penguasa untuk menetapkan suatu teknis
pendaftaran tanah adat untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam bidang agraria.
Hukum tanah adat di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam berbagai hal,
karena ini disesuaikan dengan adanya perkembangan zaman tidak tertulis, tepat
keberadaannya masih tetap dipandang kuat oleh para masyarakat. Begitu juga kiranya dengan
tanah adat yang sudah merupakan bagian dari diri mereka dan tetap dipertahankan
kelestariannya jika ada pihak-pihak yang ingin merusaknya. Memang, setelah perkembangan
zaman ditambah lagi setelah berlakunya UUPA, hukum tanah adat masih tetap diakui
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
Penjelasan UUPA Paragraf III, menegaskan bahwa hukum adat yang dimaksud dalam
UUPA adalha hukum adat yang disempurnakandan disesuaikan dengan kepentingan
masyarakat dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional,
serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia Sehingga hukum adat yang menjadi sumber
utama hukum agraria nasional adalah Prinsip-prinsip dan konstruksi-konstruksi hukum adat
yang ada di Indonesia yg dipergunakan.
Oleh karena itu peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Hukum
tanah adat yang dibahas dalam pembahasan sebelumnya menunjukkan bahwa dengan adanya
tanah persekutuan dan tanah perseorangan menunjukkan bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial, yang serupa diatur dalam UUPA. 1960.
Bab VII

Harta Benda dalam Perkawinan

Pasal 35

1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.

Penjelasannya; Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut
hukumnya masing-masing

Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan dikenal dua
macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ; pemberian, warisan. Dan
harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung.
Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 mengatakan bahwa
masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya sendiri-sendiri. Karena itu harta
bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama dalam perkawinan.

Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama, undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam ketentuan

Pasal 36

1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta bersama
dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu pihak tidak dapat
meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bersama dalam
perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik bersama atas harta
bersama itu.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing.

Penjelasannya; yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama,


hukum adat dan hukum lainnya.

Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian, masing-
masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi ketentuan tersebut
bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-masing pihak dapat pula dengan
kesepakatan membagi harta bersama tersebut menurut kehendaknya sendiri. Dengan
kesepakatan itulah mereka terikat dan boleh mengesampingkan peraturan yang ada

Anda mungkin juga menyukai