Anda di halaman 1dari 3

NAMA : WULAN PURNAMASARI

NIM : J1A118147
KELAS : EPIDEMIOLOGI 018

Sistem pelayanan kesehatan di Indonesia masih menjadi PR yang perlu dibenahi pemerintah.
Baik dari segi pemerataan, regulasi, maupun integrasi antara sistem offline dengan online.
Founder dan Chairman Center for Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Indonesia
Luthfi Mardiansyah menuturkan, setidaknya terdapat 6 kendala yang perlu dibenahi dan disikapi
secepatnya. Adapun kendala tersebut antara lain:
1. Konektivitas
Kendala konektifitas menjadi penyebab utama sistem kesehatan digital (E-Health) di
Indonesia tidak berkembang, terutama di daerah-daerah terpencil yang seharusnya butuh
akses kesehatan yang sama dengan masyarakat kota. "Konektifitas masih kendala. Satelit
Palapa nantinya harus bisa menjangkau pulau di Timur. Tadi saya sampaikan, di Jakarta saja
masih ada area-area blackspot di beberapa tempat," kata Founder dan Chairman Center for
Healthcare Policy and Reform Studies (Chapters) Indonesia Luthfi Mardiansyah di Jakarta,
Senin (19/8/2019). Bila konektifitas sudah merata di seluruh Indonesia, maka bisa dipastikan
masyarakat bisa mendapat akses kesehatan yang baik karena bisa berkonsultasi dengan
dokter meski berjauhan. Pun biayanya jauh lebih murah.
2. Kejelasan Regulasi
Menurut sebuah survei dari Deloitte Indonesia, Bahar, dan Chapter, sebesar 15,6 persen
pengguna masih merasa tidak puas dengan adanya layanan kesehatan digital. Ketidakpuasaan
ini terjadi karena pengguna mengkhawatirkan keamanan data yang diinput ke dalam layanan
kesehatan digital tersebut. Pun belum adanya aturan tentang tata cara pengantaran obat agar
tidak terkontaminasi benda lain hingga sampai kepada pasien. "15,6 persen pengguna
layanan tidak puas. Ini sesuatu yang harus kita sikapi, tidak puasnya karena apa? Pertama,
data privacy-nya bagaimana? Siapa yang simpan riwayat kesehatan kita saat berobat melalui
aplikasi, pemilik aplikasi atau rumah sakitnya?," ungkap Luthfi. Selain keamanan data, yang
masih menjadi masalah utama dalam perkembangan layanan digital ini antara lain, terjadinya
komunikasi yang kurang baik antara dokter dengan penderita penyakit karena tidak
memeriksa penyakit secara langsung. Apalagi secara pengalaman, banyak dokter yang tidak
terbiasa memeriksa penyakit hanya melalui telepon. "Dokter tidak bisa melihat ekspresi
pasien tentang apa yang dirasakan hanya melalui ponsel. Dokter juga tak berpengalaman
memeriksa pasien melalui aplikasi, meski saat ini pelan-pelan banyak yang sudah terbiasa.
Ditambah banyak juga dokter senior yang tidak cakap menggunakan teknologi," ucap dia.
Kendala-kendala soal regulasi di atas, tentu menjadi kendala pada perkembangan e-health.
Pemerintah hendaknya mengatur regulasi tersebut secara cepat mengingat pengguna layanan
kesehatan digital semakin bertumbuh.
3. Bonus Demografi
Populasi Indonesia merupakan populasi ke-4 terbesar di dunia, yang banyak didominasi
oleh usia muda dan masyarakat ekonomi kelas menengah. Bonus demografi ini menjadi
kekuatan untuk Indonesia untuk bersaing di kancah global. Sayangnya, bonus demografi ini
tak dibarengi dengan pelayanan kesehatan yang baik. Anak muda dan masyarakat yang
dianggap mampu memajukan Indonesia justru jadi tak terlindungi karena tidak ada pelayanan
kesehatan yang baik. "Itu (bonus demografi) bisa menjadi pemasalahan. Kalau hanya besar,
tapi sistem kesehatan enggak mumpuni, bagaimana? Apalagi sekarang usia muda sudah
banyak yang kena penyakit berat, ini akan jadi beban biaya kalau sistem kesehatannya
enggak baik," pungkas dia.
4. Negara Kepulauan
Menjadi negara kepulauan, memang sangat berpengaruh besar terhadap potensi ekspor
Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia. Indonesia terkenal dengan beragam SDA dan
keindahan alam yang mampu menarik wisatawan berkunjung. Di sisi lain, distribusi pangan
dan distribusi kesehatan banyak terkendala karena tidak bisa ditempuh hanya dengan jalur
darat. "Apalagi secara bisnis, rumah sakit swasta tidak serta merta ingin membangun
cabangnya di tempat terpencil. Akhirnya investor maunya investasi di daerah-daerah yang
punya impact banyak sehingga ada disparitas di sini. Ini memang susah karena luas sekali,
pemerintah pun saat ini sulit menemukan cara yang bagus bagaimana," ungkap Luthfi.
5. Pelayanan Rendah
Luthfi menilai, tingkat pelayanan rumah sakit di Indonesia relatif rendah. Ini tercermin
dari kendala masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan di beberapa rumah sakit.
Pasien yang menderita penyakit berat diminta menanti pelayanan hingga 1 bulan lamanya di
rumah. "Prosesnya itu sendiri masih belum membantu. Sampai hari ini masih kita lihat
antrian panjang di beberapa rumah sakit. Mereka, pasien yang menderita penyakit berat,
harus menunggu 1 bulan di rumah, hal-hal tersebut yang mesti kita sikapi dengan baik," ucap
Luthfi. Akibatnya, banyak masyarakat di daerah Medan yang akhirnya memilih Penang,
Malaysia, untuk berobat ketimbang di Indonesia. "Pasien kita yang lokasinya di Medan,
mereka memilih nyebrang ke Penang. RS di Medan memberikan rekomendasinya ke Penang.
Sebetulnya bukan karena promosi mereka lebih bagus, tapi memang pelayanan kita yang
kurang," ungkap Luthfi.
6. Teknologi Tak Dimanfaatkan dengan Baik
Teknologi yang ada tak dimanfaatkan dengan baik untuk pelayanan kesehatan. Padahal,
penggima internet di Indonesia paling tinggi ketimbang negara lain. "Saya ambil contoh
tentang iWatch. iWatch kita pasang di tangan kita, itu bisa mendeteksi kondisi jantung dan
kondisi sistem tubuh lainnya. Tapi saat berobat, kita tidak memberitahukan kepada dokter
kalau kita punya rekam manual melalui iWatch itu. Padahal kalau diberitahu, dokter bisa
langsung merekomendasikan pengobatan yang lebih tepat," pungkas Luthfi. Luthfi meyakini,
bila kendala di atas bisa diatasi dengan baik, sistem pelayanan di Indonesia akan lebih merata
dan terintegrasi baik offline maupun online.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "6 Kendala Ini Membuat Pelayanan
Kesehatan di Indonesia Tak Maksimal", Klik untuk baca:
https://money.kompas.com/read/2019/08/19/171503026/6-kendala-ini-membuat-pelayanan-
kesehatan-di-indonesia-tak-maksimal?page=all.
Penulis : Fika Nurul Ulya
Editor : Bambang Priyo Jatmiko

Anda mungkin juga menyukai