Anda di halaman 1dari 21

SKRIPSI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FEBRUARI, 2014

Iin Alfriani Amran1, St. Nurul Reski Wahyuni2


1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar Angkatan 2010
2
Pembimbing

“ANALISIS FAKTOR PENYEBAB TERPUTUSNYA PENGOBATAN


TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN
KABUPATEN SIDRAP”

ABSTRAK

LATAR BELAKANG : TB merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi
permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Pengobatan TB yang tidak tuntas, dapat
menyebabkan penyakit tidak sembuh dan kemungkinan kuman menjadi kebal sehingga perlu
waktu lama untuk sembuh dan berisiko tinggi menularkan kuman yang sudah kebal obat pada
orang lain.
TUJUAN : Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor dengan kejadian putus berobat pasien
tuberkulosis di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap
METODE Analitik observasional dengan rancangan case control. Populasi penelitian ini adalah
semua pasien TB yang mulai berobat pada tahun 2010 sampai September 2013. Kasus adalah
semua pasien TB yang putus berobat tercatat pada register kartu pengobatan TB Kabupaten
Sidrap tahun 2010- 2013. Kontrol adalah semua pasien TB yang tercatat pada register kartu
pengobatan TB Kabupaten Sidrap tahun 2010- 2013. pengambilan sampel dilakukan dengan
Teknik Purpossive Sampling Pengolahan data menggunakan program SPSS dengan uji statistik
chi square.
HASIL : Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, responden yang berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 76 orang dan 48 orang mengalami putus berobat, sedangkan 84 responden berjenis
kelamin perempuan hanya 32 yang mengalami putus berobat. Hasil uji statistik dengan chi
square diperoleh nilai p=0,002 (p<0,05) dan nilai X 2 hitung = 10,02 > X2 tabel =3,814 berarti
Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
putus berobat. Distribusi responden berdasarkan ketersediaan transportasi, lebih banyak
menyatakan alat transpostasi dari rumah ke puskesmas tidak tersedia yaitu 44 orang, sedangkan
yang menyatakan ketersediaan alat transportasi sebanyak 36 orang. Penderita TB paru yang
tidak mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak menyatakan ketersediaan alat transpostasi
yaitu 66 orang, sedangkan yang menyatakan ketidak tersediaan alat transpostasi yaitu 14 orang.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=<0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
24,34 > X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
transpostasi dengan kejadian putus berobat. Distribusi responden berdasarkan jarak yang
ditempuh ke unit pelayanan kesehatan, lebih banyak menyatakan jarak dari rumah ke puskesmas
jauh yaitu 48 orang sedangkan yang menyatakan jaraknya dekat sebanyak 32 orang. Penderita
TB paru yang tidak mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak menyatakan jarak rumah ke
puskesmas dekat yaitu 63 orang sedangkan yang menyatakan jaraknya jauh sebanyak 17
orang .Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) dan nilai
X2hitung = 24,9 > X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
antara jarak dengan kejadian putus berobat. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan,
lebih banyak responden mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu 75 orang dibandingkan
yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi yaitu 5 orang. Penderita TB paru yang tidak
mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu
42 orang dibandingkan responden yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi yaitu 38 orang.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
34,63> X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pendidikan dengan kejadian putus berobat.Distribusi responden berdasarkan tingkat
pengetahuan, lebih banyak responden mempunyai pengetahuan kurang tentang TB Paru yaitu
61 orang dibandingkan pengetahuan cukup yaitu 19 orang . Penderita TB paru yang tidak
mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak mempunyai pengetahuan tentang Tb paru
cukup yaitu 54 orang dibandingkan yang mempunyai pengetahuan kurang yaitu 26 orang.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
30,12> X2 tabel=3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pengetahuan dengan kejadian putus berobat. Distribusi responden berdasarkan peran keluarga,
lebih banyak menyatakan keluarga mereka tidak mendukung kelancaran pengobatan mereka
yaitu 52 orang sedangkan yang menyatakan mendukung sebanyak 28 orang. Penderita TB
paru yang tidak mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak menyatakan keluarga mereka
mendukung kelancaran pengobatan TB paru yaitu sebanyak 71 orang dibandingkan yang
menyatakan tidak mendukung pengobatan yaitu 9 orang. Hasil uji statistik dengan chi square
diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung = 48,99 > X2 tabel =3,814 berarti Ho
ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran keluarga dengan kejadian putus
berobat. Distribusi responden berdasarkan peran tenaga kesehatan lebih banyak menyatakan
tenaga kesehatan mendukung kelancaran pengobatan yaitu 48 orang sedangkan yang tidak
mendukung yaitu 32 orang (40,0%). Penderita TB paru yang tidak mengalami putus berobat
(kontrol), lebih banyak menyatakan tenaga kesehatan mendukung kelancaran pengobatan yaitu
68 orang dibandingkan yang yang tidak mendukung kelancaran pengobatan yaitu 12 orang.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
12,54 > X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
peran tenaga kesehatan dengan kejadian putus berobat
KESIMPULAN : Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan antara jenis kelamin,
transpostasi, jarak, pendidikan, pengetahuan, peran dukungan keluarga dan peran petugas
kesehatan (p<0,05) dengan kejadian putus berobat TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Sidrap.

Kata Kunci : Putus Berobat TB, hubungan faktor yang menyebabkan putus berobat TB
Daftar Pustaka : 65 (1994 - 2012)
Pendahuluan menjadi berat. Selain kemungkinan
dapat menularkan penyakit pada orang
TB merupakan salah satu lain, penyakit semakin sukar diobati.
penyakit menular yang masih menjadi Kemungkinan kuman menjadi kebal
permasalahan di dunia kesehatan hingga sehingga diperlukan obat yang lebih
saat ini. Hal ini dibuktikan dengan kuat dan mahal. Jika sudah terjadi
masih banyaknya ditemukan penderita kekebalan obat, perlu waktu lama untuk
TB di masyarakat. Situasi TB di dunia sembuh dan berisiko tinggi menularkan
semakin memburuk dengan kuman yang sudah kebal obat pada
meningkatnya jumlah kasus TB dan orang lain (WHO,2006). Resistensi obat
banyaknya pasien TB yang tidak anti tuberkulosis terjadi akibat
berhasil disembuhkan terutama di pengobatan tidak sempurna, putus
negara yang dikelompokan dalam 22 berobat atau karena kombinasi obat anti
negara dengan high burned. tuberkulosis tidak adekut
Pada tahun 2012, dilaporkan (Mukhsin,2006).
terdapat 9.951 kasus baru tuberkulosis Strategi DOTS pengobatan
di United States, dengan insiden 3.2 jangka pendek dengan pengawasan langsung
kasus per 100,000 populasi. Ini pertama minum obat belum banyak diterapkan
kali dalam sejarah United State terjadi Rumah Sakit yang ada di Indonesia. Hasil
penurunan kasus TB di bawah 10.000 monitoring dan evaluasi yang dilakukan
sejak dilaporkan pada tahun 1953 oleh tim TB External Monitoring Mission
(CDC-US, 2013) pada tahun 2005 dan evaluasi yang
Saat ini Indonesia merupakan dilakukan oleh WHO serta program nasional
negara kelima dengan beban terbesar TB menunjukkan bahwa meskipun angka
TB dunia setelah India, Cina, Afrika penemuan kasus TB di rumah sakit cukup
Selatan dan Nigeria. Menurut WHO tinggi,angka keberhasilan pengobatan masih
(2009), estimasi prevalensi TB semua rendah yaitu 50% dengan angka putus
kasus adalah 566.000 atau 244 per berobat yang mencapai 50% sampai 80%
100.000 population dan estimasi angka (Depkes RI,2007) . Padahal pengobatan TB
insiden berjumlah 528.000 kasus baru yang tidak tuntas, meningkatkan resiko
per tahun (228 per 100.000 population). resistensi kuman (Kompas,2008).
Insiden kasus TB BTA+ diperkirakan
sebesar 102 per 100.000 population,
sekitar 236.000 pasien TB dengan Metode Penelitian
BTA+ per tahun (Kemenkes RI, 2011)
Beberapa provinsi yang Desain penelitian ini adalah
diantaranya mempunyai angka penelitian analitik observasional dengan
prevalensi di atas angka nasional, yaitu rancangan case control yaitu
provinsi NAD, Sumatra Barat, Riau, membandingkan antara kelompok kasus
DKI Jakarta, Jawa Tengan, DI dengan kelompok kontrol, dimana populasi
Yogyakarta, Banten, NTB, NTT, penelitian ini adalah semua pasien TB paru
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, BTA positif yang putus berobat tercatat
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, pada register Dinas kesehatan kabupaten
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Sidrap sejak awal 2010- september 2013
Barat, dan Papua.Pengobatan TB yang yang diambil secara purposive
tidak tuntas, dapat menyebabkan sampling.Penelitian ini menggunakan data
penyakit tidak sembuh, atau bahkan primer yaitu wawancara menggunakan
kuisioner dan juga data sekunder yaitu data a. Jenis Kelamin
penderita TB paru yang putus
berobat ,diambil pada register kabupaten Tabel 5.2 Distribusi Responden
dinas kesehatan kabupaten sidrap. Alasan Berdasarkan Jenis kelamin di Wilayah
digunakan penelitian case control karena Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
dari penelitian ini peneliti ingin Sidrap tahun 2013
membandingkan antara kelompok kasus
dan kelompok kontrol berdasarkan kejadian Jenis kelamin n Persentase
putus berobat yang dihubungkan dengan Laki-Laki 76 47,5
faktor-faktor variabel yang ingin diteliti. Perempuan 84 52,5
Dari segi waktu penelitian yang diberikan Total 160 100,0
cukup singkat sehingga dengan Sumber : Data Primer 2013
menggunakan purposive sampling sangat Tabel 5.2 menunjukkan bahwa responden
membantu dimana peneliti hanya yang berjenis kelamin perempuan yaitu
mengambil atau memilih sampel sesuai sebanyak 84 orang (52,5%) dibandingkan
dengan kreteria inklusi. Dari segi biaya yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 76
juga harus diperhatikan, dimana penelitian orang (47,5%).
case control ini membutuhkan biaya yang
relative sedikit karena hanya menggunakan b. Transportasi
kartu register TB paru dan lembar
Tabel 5.3 Distribusi Responden
kuisioner. Pada penelitian ini digunakan
Berdasarkan Ketersediaan Transportasi
data primer yaitu wawancara langsung
di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
menggunakan kuisioner dan data sekunder
Kabupaten Sidrap tahun 2013
dalam hal ini regiter kartu pengonbatan TB
paru dari Dinas kesehatn Kabupaten Sidrap
tahun 2010-September 2013. Kemudian Transportasi N Persentase
dilakukan pengukuran terhadap variabel Tidak Tersedia 58 36,3
yang dinilai. pengolahan data dengan cara Tersedia 102 63,8
data dimasukkan kedalam program SPSS Total 160 100,0
versi 16.00. Selepas pengolahan data, Sumber : Data Primer
dilakukan analisis data. Analisis univariat Tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden
dilakukan untuk menggambarkan distribusi lebih banyak menyatakan adanya
frekuensi, baik variabel bebas, variabel ketersediaan alat transport ke Puskesmas
terikat dan karakteristik responden. ada yaitu sebanyak 102 orang (63,8%)
Analisis bivariat dilakukan sedangkan yang menyatakan
denganuji chi square untuk mengetahui ketidaktersediaan alat transpostasi yaitu 58
hubungan yang signifikan antara masing- orang (36,3%)
masing variable bebas dengan variable
terikat.Dasar pengambilan hipotesis c.Jarak
penelitian berdasarkan pada tingkat Tabel 5.4 Distribusi Responden Kejadian
signifikan (nilai p),yaitu :Jika nilai p > 0,05 Putus Berobat Berdasarkan Jarak di
maka hipotesis penelitian ditolak.Jika nilai Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian diterima. Kabupaten Sidrap tahun 2013
Hasil dan Pembahasan
Analisi Univarat
1. Karakteristik Responden
Jarak N Persentase Pengetahuan n Persentase
Kurang 87 54,4
Jauh 65 40,6
Cukup 73 45,6
Total 160 100,0
Dekat 95 59,4
Sumber : Data Primer
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa responden
Total 160 100,0
lebih banyak mempunyai pengetahuan
kurang tentang TB paru sebanyak 87 orang
Sumber : Data Primer
(54,4%) sedangkan yang mempunyai
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa umumnya
pengetahuan cukup sebanyak 73 orang
responden menyatakan bahwa jarak rumah
(45,6%).
ke tempat pelayanan kesehatan (puskesmas)
adalah dekat yaitu sebanyak 95 orang
f. Peran Keluarga
(59,4%) sedangkan yang menyatakan
Tabel 5.7 Distribusi Responden Keadian
berjarak jauh dari pelayanan kesehatan
Putus Berobat Berdasarkan Peran
(puskesmas) sebanyak 65 orang (40,6%).
Keluarga di Wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Sidrap tahun
d.Tingkat pendidikan
2013
Tabel 5.5 Distribusi Responden
Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Peran
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Keluarga n Persentase
Kabupaten Sidrap tahun 2013 Tidak
61 38,1
mendukung
Tingkat Mendukung 99 61,9
Total 160 100,0
Pendidikan n Persentase Sumber : Data Primer
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa responden
Rendah 117 73,1 lebih banyak menyatakan bahwa keluarga
mereka cukup mendukung dalam
Tinggi 43 26,9 pengobatan mereka sebanyak 99 orang
(61,9%) sedangkan yang menyatakan
Total 160 100,0 keluarga yang tidak mendukung kelancaran
pengobatan TB paru mereka sebanyak 61
SumberData Primer orang (38,1%).
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa umumnya g. Peran Tenaga Kesehatan
responden mempunyai tingkat pendidikan Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan
rendah sebanyak 117 orang (73,1%) Peran Tenaga Kesehatan di Wilayah Kerja
sedangkan yang mempunyai tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap tahun
pendidikan tinggi sebanyak 43 orang 2013
(26,9%)

e. Pengetahuan
Tabel 5.6 Distribusi Responden Peran Tenaga
Berdasarkan Pengetahuan di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kesehatan n Persentase
Sidrap tahun 2013
Tidak mendukung 44 27,5

Mendukung 116 72,5

Total 160 100,0


Sumber : Data Primer laki-laki lebih berisiko 2,7 kali untuk
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa responden mengalami putus berobat TB paru dibandingkan
lebih banyak menyatakan tenaga kesehatan perempuan.
cukup mendukung kelancaran pengobatan
mereka sebanyak 116 orang (72,5%)
b. Transportasi
sedangkan yang menyatakan tenaga
kesehatan tidak mendukung sebanyak 44 Tabel 5.10 Hubungan antara
orang (27,5%). KetersediaanTranspostasi Dengan Kejadian
Putus Berobat TB Paru di Wilayah Kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap tahun
Analisis Bivariat
a.Jenis Kelamin 2013

Tabel 5.9 Hubungan Jenis Kelamin Dengan


Kejadian Putus Berobat TB Paru di
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Sidrap tahun 2013

Kejadian Putus

Berobat TB Paru Total


95% CI
Jenis kelamin p-value X2 OR
Kasus Kontrol (LL-UL)

n % n % n % X2 = 24,43 ; OR = 5,78 ; 95% CI = 2,79-11,91


Laki-Laki 48 60,0 28 35,0 76 47,5
Tabel 5.10 menunjukkan Hasil uji statistik
Perempuan 32 40,0 52 65,0 84 52,5 0,002 10,025 2,79 1,47-5,29
dengan chi square diperoleh nilai
Jumlah 80 100,0 80 100,0 160 100,0 p=<0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
Sumber : Data Primer
24,34 > X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
X2 = 10,025 ; OR = 2,79 ; 95% CI = 1,47-5,29 antara transpostasi dengan kejadian putus
berobat TB paru di wilayah kerja Dinas
Tabel 5.9 menunjukkan bahwa Hasil uji statistik Kesehatan Kabupaten Sidrap.
Besar risiko ketersediaan transpostasi
dengan chi square diperoleh nilai p=0,002
terhadap kejadian putus berobat TB
(p<0,05) dan nilai X2 hitung = 10,02 > X2 tabel diperoleh nilai OR=5,78 (95% CI :2.79-
=3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan 11.9). Karena nilai odds ratio > 1 yang
bahwa ada hubungan antara jenis kelamin berarti transportasi ke puskesmas
dengan kejadian putus berobat TB paru di merupakan faktor risiko terjadinya putus
wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten berobat TB paru yang berarti penderita yang
tidak mempunyai ketersediaan alat
Sidrap. Untuk mengetahui besarnya risiko jenis
transportasi lebih berisiko 5,78 kali
kelamin mengalami kejadian putus berobat TB mengalami putus berobat TB paru
diperoleh nilai OR=2,79 (95% CI: 1.47-5.29). dibandingkan responden yang tersedia atau
Karena nilai odds ratio > 1 yang berarti jenis mudah mendapatkan alat transportasi.
kelamin merupakan faktor risiko terjadinya
putus berobat TB paru yang berarti penderita
c.Jarak
Tabel 5.11 Hubungan Jarak ke Pelayanan
Kesehatan Dengan Kejadian Putus Berobat
TB Paru di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Sidrap tahun 2013

X2= 34,63 ; OR= 13,57 ; 95%CI = 4,96-37,11

Tabel 5.12 menunjukkan Hasil uji statistik


dengan chi square diperoleh nilai p=
<0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
34,63> X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak.
X2= 24,90 ; OR= 5,78 ; 95% CI = 2,77-11,17 Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
antara pendidikan dengan kejadian putus
Tabel 5.11 menunjukkan Hasil uji statistik berobat TB paru di wilayah kerja Dinas
dengan chi square diperoleh nilai p= Kesehatan Kabupaten Sidrap.
<0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung = 24,9 Besar risiko tingkat pendidikan
> X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal mengalami kejadian putus berobat TB
ini menunjukkan bahwa ada hubungan diperoleh nilai OR=13,57 (95%CI: 4.96 -
antara jarak dengan kejadian putus berobat 37.11). Nilai odds ratio > 1 yang berarti
TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan tingkat pendidikan merupakan faktor
Kabupaten Sidrap. Besar risiko jarak risiko terjadinya putus berobat TB paru,
rumah ke puskesmas mengalami kejadian dimana responden yang mempunyai
putus berobat TB diperoleh nilai OR=5,56 pendidikan rendah lebih berisiko 13,57
( 95% CI: 2.77-11.17) . Karena nilai odds kali untuk mengalami putus berobat TB
ratio > 1 yang berarti jarak rumah ke paru dibandingkan yang mempunyai
puskesmas merupakan faktor risiko pendidikan tinggi.
terjadinya putus berobat TB paru, yang
berarti penderita yang mempunyai rumah e. Pengetahuan
jauh dari puskesmas lebih berisiko 5,56 Tabel 5.13 Hubungan Tingkat
kali untuk mengalami putus berobat TB Pengetahuan Dengan Kejadian Putus
paru dibandingkan penderita yang
Berobat TB Paru di Wilayah Kerja Dinas
mempunyai rumah dekat dengan
puskesmas. Kesehatan Kabupaten Sidrap tahun 2013

d. Tingkat Pendidikan
Tabel 5.12 Hubungan Tingkat Pendidikan
Dengan Kejadian Putus Berobat TB Paru
di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Sidrap tahun 2013

X2=30,12 ; OR= 6,67; 95%CI = 3,32-13,37


Tabel 5.13 menunjukkan Hasil uji statistik Besar risiko peran keluarga mengalami
dengan chi square diperoleh nilai p=0,000 kejadian putus berobat TB diperoleh nilai
(p<0,05) dan nilai X2hitung = 30,12> X2 OR=14,65 (95% CI : 1,77-8,07). Nilai odds
tabel=3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini ratio menunjukkan > 1 yang berarti peran
menunjukkan bahwa ada hubungan antara keluarga merupakan faktor risiko
pengetahuan dengan kejadian putus berobat terjadinya putus berobat TB paru. Hal ini
TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan berarti penderita yang tidak mendapat
Kabupaten Sidrap. dukungan keluarga dalam berobat lebih
Besar risiko pengetahuan mengalami berisiko 14,65 kali untuk mengalami putus
kejadian putus berobat TB diperoleh nilai berobat TB paru dibandingkan penderita
OR=6,67 (95%CI: 3,32-13,37). Hasil odds yang mendpat dukungan keluarga dalam
ratio > 1 yang berarti pengetahuan berobat.
merupakan faktor risiko terjadinya putus
berobat TB paru. Hal ini berarti penderita g. Peran Tenaga Kesehatan
yang mempunyai pengetahuan kurang Tabel 5.15 Hubungan Peran Tenaga
tentang TB paru lebih berisiko 6,67 kali Kesehatan Dengan Kejadian Putus Berobat
untuk mengalami putus berobat TB paru TB Paru di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
dibandingkan penderita yang mempunyai Kabupaten Sidrap tahun 2013
pengetahuan cukup tentang TB paru .

f. Peran keluarga
Tabel 5.14 Hubungan Peran Keluarga
Dengan Kejadian Putus Berobat TB Paru di
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Sidrap tahun 2013

X2= 12,54 ; OR = 3,77 ; 95%CI = 1,77-8,07

Tabel 5.15 menunjukkan Hasil uji statistik


dengan chi square diperoleh nilai p=
<0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung = 12,54
> X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini
menunjukkan bahwa ada hubungan antara
X2=48,99 ; OR = 14,65 ; 95% CI =6,38-33,67
peran tenaga kesehatan dengan kejadian
putus berobat TB paru di wilayah kerja
Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap.
Tabel 5.14 Hasil uji statistik dengan chi Besar risiko peran tenaga kesehatan
square diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) mengalami kejadian putus berobat TB
dan nilai X2hitung = 48,99 > X2 tabel diperoleh nilai OR=3,77 (95% CI:1,77-8,07)
=3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini Hasil ini menujukkan nilai odds ratio > 1
menunjukkan bahwa ada hubungan antara yang berarti peran tenaga kesehatan
peran keluarga dengan kejadian putus merupakan faktor risiko terjadinya putus
berobat TB paru di wilayah kerja Dinas berobat TB paru, yang berarti penderita
Kesehatan Kabupaten Sidrap. yang tidak mendapat dukungan keluarga
lebih berisiko 3,77 kali untuk mengalami perempuan. Hal tersebut dapat dipahami
putus berobat TB paru dibandingkan karena secara sosial perempuan lebih
penderita yang mendapat dukungan tenaga banyak berinteraksi dengan
kesehatan. lingkungannya dibanding dengan laki-
laki (Nasry, 2008).
PEMBAHASAN Mycobacterium tuberkulosis adalah
sejenis mikroorganisme yang mudah
A. Hubungan antara Jenis Kelamin ditularkan secara droplet jika penderita
dengan Kejadian Putus Obat berinteraksi secara langsung, bila dilihat
dari keteraturan berobat biasanya
Jenis kelamin merupakan faktor yang perempuan tingkat ketelitiannya lebih
turut berpengaruh terhadap kesadaran tinggi dibanding laki-laki dan punya
berobat bagi setiap penderita, demikian lebih banyak waktu untuk
pula tingkat serangan lebih banyak memperhaikan kesehatannya.
mengenai perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. Hubungan antara Transportasi
responden lebih banyak perempuan dengan Kejadian Putus Obat
dibandingkan laki-laki Penderita TB
paru yang mengalami putus berobat, Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa
lebih banyak laki-laki dibandingkan responden lebih banyak menyatakan
perempuan. Hasil uji statistik diperoleh alat transportasi ke puskesmas tersedia
ada hubungan antara jenis kelamin dibandingkan yang menyatakan tidak
dengan kejadian putus berobat TB paru ada alat transportasi. Hasil uji statistik
di wilayah kerja Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa ada hubungan
Kabupaten Sidrap (p=0,002). antara transpostasi dengan kejadian
Penyakit TB cenderung lebih tinggi pada putus berobat TB paru di wilayah kerja
jenis kelamin laki-laki dibandingkan Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap
perempuan. Menurut penelitian Chee (p=<0,001). Penderita yang tidak
dalam Sujana (2009), menyatakan mendapat transportasi lebih berisiko
bahwa default banyak terjadi pada jenis 5,78 kali mengalami putus berobat TB
kelamin laki-laki 36 (81,8%) daripada paru dibandingkan responden yang
jenis kelamin perempuan 8 (18,2%), mudah mendapat transportasi.
sedangkan hasil studi vree dkk (2007) Meski obat-obatan TB maupun MDR-
menemukan bahwa karakteristik default TB bisa diperoleh secara gratis,
penderita tuberkulosis banyak terjadi kenyataannya pasien masih harus
pada jenis kelamin laki-laki 6 (27%) menanggung biaya lain seperti
dibanding jenis kelamin perempuan 3 transportasi menuju rumah sakit untuk
(15%). kontrol maupun sekedar menebus obat-
Infektivitas suatu agen untuk masuk dan obatan. Obat TB boleh dibawa pulang,
berkembang biak dalam tubuh hostnya tetapi obat untuk MDR-TB tidak boleh
berhubungan dengan berbagai faktor dibawa pulang, jadi tiap hari harus ke
termasuk dengan jenis kelamin. rumah sakit. Nantinya memang harus
Penjelasan ini ditunjang dengan hasil- ada obatnya di puskesmas, tetapi kadang
hasil penelitian bahwa penyakit TBC puskesmasnya juga jauh. Padahal tiap
paru dapat mengenai semua jenis hari harus ke puskesmas.
kelamin, namun lebih banyak
C. Hubungan antara Jarak dengan rumah dengan kepatuhan berobat
Kejadian Putus Obat penderita TB paru di RSUD DR.
Moewardi, menurut hasil analisa regresi,
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jarak rumah merupakan prediktor terkuat
umumnya responden menyatakan (p=0,492), Dari penelitian ini dapat
bahwa jarak rumah ke tempat pelayanan disimpulkan bahwa terdapat signifikan
kesehatan (puskesmas) berjarak sedang, antara jarak rumah dengan kepatuhan
dibandingkan yang menyatakan berjarak berobat.
jauh. Penderita TB paru yang mengalami Jarak rumah yang jauh akan beresiko
putus berobat, lebih banyak menyatakan mengalami putus pengobatan dibanding
jarak dari rumah ke puskesmas jauh dengan jarak rumah yang dekat dengan
dibandingkan yang menyatakan pelayanan kesehatan. Oleh karena itu
jaraknya sedang. Hasil uji statistik perlu dioptimalkan PMO yang telah
menunjukkan bahwa ada hubungan ditentukan, utamanya bagi penderita
antara jarak dengan kejadian putus yang jarak rumahnya jauh dari
berobat TB paru di wilayah kerja Dinas pelayanan kesehatan sehingga penderita
Kesehatan Kabupaten Sidrap tidak lalai berobat, baik dalam minum
(p=<0,001). obat dan saat mengambil obat dan juga
Penderita yang bertempat tinggal jauh kerja sama antara PMO, penderita dan
dari pelayanan kesehatan cenderung juru TB puskesmas untuk membantu
untuk tidak teratur berobat, hal tersebut penderita dalam menyelesaikan
disebabkan oleh karena tidak lancarnya pengobatannya.
transportasi ke tempat pelayanan. Penelitian ini sesuai dengan penelitian
Kurangnya pengetahuan penderita Perdana (2008) bahwa responden
tentang manfaat pengobatan yang teratur terbanyak dengan jarak ke puskesmas
juga karena sebagai penderita TB tidak dekat, lebih patuh dari responden yang
memanfaatkan saran pelayanan mengatakan jarak rumah ke puskesmas
kesehatan terdekat dalam hal ini jauh. Untuk yang jarak jauh kebanyakan
puskesmas atau rumah sakit. Ada berada di dataran bukit sehingga biaya
sebagian penderita TB yang bertempat untuk transportasi mahal dan
tinggal di daerah yang mempunyai memerlukan waktu yang lama untuk
puskesmas di sekitar rumahnya tetapi mencapai ke Rumah Sakit. Hal ini yang
malah mereka berobat di menyebabkan penderita TB Paru di luar
puskesmas/rumah sakit yang jauh dari kecamatan Batang banyak yang tidak
rumahnya alasannya jika berobat di kontrol untuk meneruskan
wilayah kerja puskesmas dimana pengobatannya.
penderita tinggal maka masyarakat akan
tahu kalau ia menderita penyakit TB. D. Hubungan antara Tingkat Pendidikan
Sehingga cenderung berobat di luar dengan Kejadian Putus Obat
wilayah puskesmas yang relatif jauh dari
tempat tinggalnya karena masih ada Pendididkan berkaitan dengan
anggapan di masyarakat bahwa penyakit pengetahuan penderita, hal ini
TB adalah penyakit yang memalukan menunjukkan bahwa pendidikan
dan tidak dapat disembuhkan. mempengaruhi ketuntasan atau
Berdasarkan penelitian yang dilakukan kesuksesan pengobatan penderita.
Kharisma (2009) tentang hubungan jarak Semakin tinggi tingkat pendidikan
penderita, maka akan semakin baik dasar pengembangan daya nalar
penerimaan informasi tentang seseorang dan jalan untuk memudahkan
pengobatan dan penyakitnya sehingga seseorang menerima motivasi dan
akan semakin tuntas proses pengobatan selanjutnya berimplikasi pada sikap dan
dan penyembuhannya (Mukhsim dkk, perilaku orang tersebut dalam
2006) menanggapi masalah kesehatan yang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa disekitarnya. Sehingga diasumsikan bila
umumnya responden mempunyai tingkat pendidikan responden tinggi
pendidikan SD (28,1%) dan paling maka keteraturan berobatnya pun akan
sedikit responden yang berpendidikan baik.
Diploma/Sarjana (0,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan
Penderita TB paru yang mengalami penelitian dari Erawatyningsih,
putus berobat, lebih banyak mempunyai Purwanta, dan Subekti (2009) tentang
tingkat pendidikan rendah dibandingkan Faktor- faktor yang mempengaruhi
yang mempunyai tingkat pendidikan ketidakpatuhan berobat pada penderita
tinggi. Hasil uji statistik menunjukkan TB paru, didapatkan hasil bahwa
bahwa ada hubungan antara pendidikan pendidikan mempunyai pengaruh yang
dengan kejadian putus berobat TB paru signifikan terhadap ketidakpatuhan
di wilayah kerja Dinas Kesehatan berobat pada penderita TB paru.
Kabupaten Sidrap (p=<0,001). Rendahnya pendidikan seseorang sangat
Penderita yang mempunyai pendidikan mempengaruhi daya serap seseorang
rendah lebih berisiko 13,57 kali untuk dalam menerima informasi sehingga
mengalami putus berobat TB paru dapat mempengaruhi tingkat
dibandingkan yang mempunyai pemahaman tentang penyakit TB Paru,
pendidikan tinggi. cara pengobatan, dan bahaya akibat
Hal ini sesuai dengan teori Notoatmodjo minum obat tidak teratur
(2003) yang menyebutkan pendidikan
berarti bimbingan yang diberikan oleh E. Hubungan antara Tingkat
seseorang terhadap perkembangan orang Pengetahuan dengan Kejadian Putus
lain menuju kearah cita-cita tertentu. Obat
Pendidikan berpengaruh pada cara
berfikir, tindakan, dan pengambilan Pengetahuan seseorang akan sesuatu
keputusan seseorang dalam melakukan adalah sangat penting dan merupakan
perbuatan. Pendidikan dapat menambah dasar dari sikap serta tindakannya dalam
wawasan atau pengetahuan seseorang. menolak atau menerima sesuatu hal yang
Seseorang yang berpendidikan tinggi baru. Demikian juga halnya dengan
akan mempunyai pengetahuan luas pengetahuan penderita tentang penyakit
dibandingkan tingkat pendidikan lebih TB paru yang diterima dan dimengerti
rendah. oleh penderita.
Pendidikan dapat disimpulkan Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagai proses pengembangan umumnya responden mempunyai
kepribadian dan intelektual seseorang pengetahuan yang kurang tentang TB
yang dilaksanakan secara sadar dan paru dibandingkan yang mempunyai
penuh tanggung jawab serta tergantung pengetahuan cukup dan paling sedikit
pada sasaran pendidikan. Dengan tingkat responden yang mempunyai
pendidikan yang memadai merupakan pengetahuan baik tentang TB Paru .
Penderita TB paru yang mengalami penderita yang merasa bosan minum
putus berobat, lebih banyak mempunyai obat setiap harinya dalam jangka waktu
pengetahuan kurang tentang TB Paru yang panjang (Gitawati, 2002)
dibandingkan pengetahuan cukup y. Sesuai dengan penelitian Vijay, S, et al
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa (2003) tentang default pasien TB yang
ada hubungan antara pengetahuan diobati dalam program DOTS di kota
dengan kejadian putus berobat TB paru Bangalore dihasilkan bahwa pasien
di wilayah kerja Dinas Kesehatan yang memiliki pengetahuan kurang
Kabupaten Sidrap (p= <0,001). tentang TB berisiko untuk default.
Penderita yang mempunyai Hasil penelitian ini juga sesuai dengan
pengetahuan kurang tentang TB paru penelitian Erawatyningsih (2005) bahwa
lebih berisiko 6,67 kali untuk semakin rendah pengetahuan maka
mengalami putus berobat TB paru semakin tidak patuh penderita TB Paru
dibandingkan penderita yang untuk datang berobat, hubungan ini
mempunyai pengetahuan cukup tentang memiliki nilai koefisien korelasi positif.
TB Pengetahuan penderita yang sangat
Tingkat pengetahuan mempengaruhi rendah dapat menentukan
sikap dan tindakan seseorang untuk ketidakpatuhan penderita minum obat.
patuh berobat yang berakhir dengan
kesembuhan. Semakin tinggi tingkat F. Hubungan antara Peran Keluarga
pengetahuan seseorang tentang gejala dengan Kejadian Putus Obat
atau tanda penyakit TB, penyebab
penyakit TB, akibat bila tidak patuh Peran keluarga dalam keberhasilan
minum obat, maka akan memungkinkan pengobatan TB paru sangat dibutuhkan
mereka melaksanakan pengobatan sesuai oleh pasien, dimana keluarga dapat
dengan petunjuk dokter. Pengetahuan berperan sebagai pengatur obat yang
bisa diperoleh responden bukan hanya harus diminum oleh pasien, motivator
dari bangku sekolah namun dapat juga terbesar untuk menanamkan dalam diri
dari pendidikan informal seperti : penderita untuk sembuh dan
penyuluhan ,brosur di puskesmas ,media memberikan bantuan baik mengantar
massa, dan informasi lain yang diperolah penderita berobat maupun membiayai
dari berbagai sumber mereka. Perilaku kesehatan individu
Rendahnya pengetahuan penderita dipengaruhi oleh keprcayaan orang yang
terhadap masalah kesehatan khususnya bersangkutan terhadap kondisi kesehatan
penderita tuberkulosis dapat dipahami yang di inginkan. Pada umumnya
mengingat sebagian besar penderita tindakan yang diambil berdasarkan
(60%), berpendidikan relatif rendah penilaian individu atau bantuan orang
yakni tidak sekolah sampai tingkat lain terhadap gangguan tersebut
SLTP. Dengan relatif rendahnya tingkat (Notoatmodjo, 2009).
pendidikan kesadaran untuk menjalani Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengobatan tuberkulosis secara lengkap umumnya responden menyatakan
relatif rendah tercermin dari cukup keluarga cukup mendukung dalam
banyak penderita (37 kasus- 14,2%) pengobatan mereka dibandingkan yang
yang tidak menuntaskan pengobatan menyatakan keluarga yang kurang
karena tidak kembali untuk kunjungan mendukung kelancaran pengobatan TB
ulang (follow up) dan beberapa paru mereka dan tidak mendukung.
Penderita TB paru yang mengalami maka pihak puskesmas seharusnya
putus berobat (kasus), lebih banyak memberikan penyuluhan kepada
menyatakan keluarga mereka tidak keluarga pasien akan pengobatan TB
mendukung kelancaran pengobatan Paru yang dijalani oleh penderita,
mereka dibandingkan yang mendukung. sehingga mereka dapat menjadi perawat
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa yang baik, pemberi semangat pada
ada hubungan antara peran keluarga penderita. Disamping itu perlunya
dengan kejadian putus berobat TB paru memberikan mereka pelatihan akan cara
di wilayah kerja Dinas Kesehatan dan aturan meminum obat OAT,
Kabupaten Sidrap (p=<0,001). sehingga ketekunan penderita menelan
Penderita yang tidak mendapat obat akan berhasil.
dukungan keluarganya dalam berobat Keluarga memainkan suatu peranan
lebih berisiko 14,65 kali untuk bersifat mendukung selama
mengalami putus berobat TB paru penyembuhan dan pemulihan anggota
dibandingkan penderita yang mendpat keluarga sehingga mereka dapat
dukungan keluarganya dalam berobat mencapai tingkat kesejahteraan optimal.
Perlu disadari oleh keluarga penderita Dukungan keluarga yang natural
bahwa pengobatan TB Paru diterima seseorang melalui interaksi
membutuhkan waktu yang lama sosial dalam kehidupan secara spontan
disamping ketekunan minum obat yaitu dengan orang-orang yang berada
selama enam bulan. Dengan adanya disekitarnya dalam hal ini anggota
orang yang terdekat dengan penderita keluarganya.
yang bertindak selaku pendorong, Dukungan keluarga adalah dukungan
pemberi semangat dan perhatian maka yang diberikan oleh anggota keluarga
pengobatan yang dilakukan dengan (suami, istri, anak, saudara kandung dan
jangka panjang tersebut dapat berhasil. orang tua dari pasien) sehingga individu
Keluarga sebagai bagian yang terdekat yang diberikan dukungan merasakan
dari penderita dapat menjadi motivator, bahwa dirinya diperhatikan, dihargai,
dan penderita lebih senang mendapatkan bantuan dari orang-orang
mengemukakan keluhannya kepada yang berarti serta memiliki ikatan
keluarga sendiri sebab keyakinan dan keluarga yang kuat dengan anggota
kepercayaan terbesar seseorang adalah keluarga yang lain. Individu yang
terhadap keluarganya sendiri. Sehingga memperoleh dukungan keluarga yang
secara langsung keluarga harus menjadi tinggi akan menjadi individu yang lebih
orang pertama yang mau mengerti dan optimis dalam menghadapi masalah
memberi bantuan kepada penderita baik kesehatan dan kehidupan dan lebih
bantuan berupa dukungan moril maupun terampil dalam memenuhi kebutuhan
biaya yang sangat dibutuhkan penderita psikologi Suhita (2005dalam Setiadi,
dalam masa penyembuhan TB Paru 2008).
selama enam bulan tersebut. Seorang Dukungan keluarga adalah sikap,
kurang memanfaatkan pelayanan tindakan dan penerimaan keluarga
kesehatan yang ada mungkin oleh karena terhadap penderita yang sakit. Anggota
tidak mempunyai cukup uang untuk keluarga memandang bahwa orang yang
membayar transpor dan sebagainya bersifat mendukung selalu siap
Dengan melihat pentingnya peran memberikan pertolongan dan bantuan
keluarga dalam keberhasilan pengobatan jika diperlukan.
Pengobatan yang relatif lama dan penularan TB serta gejala-gejala yang
hilangnya gejala setelah beberapa bulan mencurigakan dan pencegahan TB
berobat, sebagian besar pasien (Depkes, 2008).
memutuskan untuk berhenti berobat.
Untuk menghindari hal ini, diperlukan G. Hubungan antara Peran Tenaga
seorang pengawas menelan obat. Orang Kesehatan dengan Kejadian Putus
yang ditunjuk sebagai PMO sebaiknya Obat
adalah orang yang dikenal, disegani,
dipercaya, dan tinggal dekat dengan Peran petugas kesehatan terhadap
penderita. Seseorang juga bisa menjadi pengobatan penderita TB paru sangat
PMO asalkan bersedia membantu pasien penting artinya dengan tujuan untuk
tanpa pamrih dan bersedia dilatih atau meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
Guna lebih menjamin keteraturan dalam peran serta penderita dalam
pengobatan maka perlu adanya pengobatannya sehingga diharapkan
Pengawas Minum Obat (PMO) secara dengan peran petugas kesehatan yang
melekat, baik oleh petugas kesehatan baik dapat membangkitkan semangat
ataupun melibatkan pihak keluarga atau penderita untuk tetap patuh berobat yang
yang lain sesuai dengan kondisi nantinya berakhir dengan kesembuhan.
setempat (Depkes RI, 2007). Penderita TB paru yang mengalami
Tugas seorang PMO tidaklah untuk putus berobat (kasus), lebih banyak
mengganti kewajiban pasien mengambil menyatakan tenaga kesehatan
obat dari unit pelayanan kesehatan mendukung kelancaran pengobatan
melainkan untuk mengawasi pasien TB dibandingkan sedangkan yang tidak
agar menelan obat secara teratur sampai mendukung. Hasil uji statistik
selesai pengobatan. Selain itu, PMO juga menunjukkan bahwa ada hubungan
sebaiknya kerap memberikan dorongan antara peran tenaga kesehatan dengan
kepada pasien agar mau berobat teratur, kejadian putus berobat TB paru di
mengingatkan pasien untuk periksa wilayah kerja Dinas Kesehatan
ulang dahak secara teratur pada waktu Kabupaten Sidrap (p-=<0,001).
yang telah ditentukan. Tidak hanya itu, Penderita yang tidak mendapat
ada baiknya jika seorang PMO dukungan keluarga lebih berisiko 3,77
memberikan penyuluhan pada anggota kali untuk mengalami putus berobat TB
keluarga penderita TB yang mempunyai paru dibandingkan penderita yang
gejala-gejala TB untuk segera mendapat dukungan tenaga kesehatan
memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Pengaruh pelayan kesehatan terhadap
Kesehatan. kepatuhan penderita tuberkulosis minum
Terkait tugasnya untuk memberikan obat adalah hal penting yang harus
penyuluhan seputar TB, PMO sebaiknya diperhatikan. Pada kontak pertama
tahu informasi apa yang seharusnya dengan penderita yang harus
diberikan kepada penderita dan diperhatikan adalah membina hubungan
keluarganya. Informasi-informasi yang yang baik antara petugas kesehatan baik
penting dipahami PMO untuk dokter, perawat, dan lainnya yang
disampaikan kepada pasien dan bersentuhan langsung dengan penderita.
keluarganya meliputi penyembuhan TB Supaya komunikasi kepada pasien
dengan berobat teratur, penyebab berhasil, petugas harus menggunakan
kejadian TB yang sesungguhnya, cara bahasa sederhana, istilah setempat yang
sering digunakan masyarakat untuk dengan baik maka responden berisiko
penyakit TB. Petugas kesehatan harus untuk mengalami putus berobat.
melayani dengan ramah, bersahabat,
penuh hormat, mendengar keluhan-
keluhan pasien, dan menunjukkan Kesimpulan dan Saran
perhatian terhadap kesembuhan mereka
agar penderita mau bertanya tentang hal- Berdasarkan hasil penelitian dan
hal yang belum dimengerti .Jika hal ini pembahasan tentang factor penyebab
tidak diperhatikan maka akan putusnya pengobatan TB paru di wilayah
menimbulkan ketidakpatuhan penderita ( kerja dinas Kesehatan Kabupaten SIdrap,
Kemenkes RI, 2011). maka dapat diambil kesimpulan bahwa :
Hubungan yang saling mendukung 1. Jenis kelamin berhubungan dengan
antara pelayanan kesehatan dan kejadian putus berobat TB paru.
penderita, serta keyakinan penderita Responden laki-laki lebih banyak yang
terhadap pelayanan kesehatan yang mengalamli kejadian putus berobat TB
signifikan merupakan faktor-faktor yang paru dibandingkan perempuan.
penting bagi penderita untuk 2. Jarak berhubungan dengan kejadian
menyelesaikan pengobatannya. putus berobat TB paru. Jarak yang jauh
Pelayanan kesehatan mempunyai menyebabkan penderita TB paru jarang
hubungan yang bermakna dengan berkunjung ke puskesmas sehingga
keberhasilan pengobatan pada penderita mengalami putus berobat TB paru.
TB. Pelayanan kesehatan mengandung 3. Transpostasi berhubungan dengan
dua dimensi, yakni (1) Menekankan kejadian putus berobat TB paru.
aspek pemenuhan spesifikasi produk Ketidaktersedian transpostasi ke
kesehatan atau standar teknis pelayanan puskesmas menyebabkan penderita TB
kesehatan. (2) Memperhatikan paru tidak rajin mengambil obat
perspektif pengguna pelayanan yaitu sehingga terjadi putus berobat
sejauh mana pelayanan yang diberikan 4. Pendidikan berhubungan dengan
mampu memenuhi harapan dan kejadian putus berobat TB paru.
kepuasan pasien (Mukhsin dkk,2006) Pendidikan yang rendah menyebabkan
Kegagalan dalam pengobatan TB penderita mengalami putus berobat.
disebabkan oleh kurangnya motivasi 5. Pengetahuan berhubungan dengan
dokter dan petugas kesehatan lainnya kejadian putus berobat TB paru.
dalam memberikan pelayanan kepada Pengetahuan yang rendah
penderita. Tidak semua penderita TB menyebabkan penderita mengalami
mengetahui tentang penyakit ini secara putus berobat.
benar serta pengobatan secara benar, 6. Peran keluarga berhubungan dengan
untuk itulah peran petugas kesehatan kejadian putus berobat TB paru.
sangat dibutuhkan agar penderita dapat Dukungan keluarga yang kurang atau
mengerti dan sekaligus dapat menjalani tidak ada sama sekali menyebabkan
proses penyembuhan penyakitnya. penderita mengalami putus berobat.
Penelitian ini sejalan dengan 7. Peran tenaga kesehatan berhubungan
penelitian yang dilakukan oleh Buton dengan kejadian putus berobat TB paru.
(2004) yang menyatakan bahwa jika Dukungan tenaga kesehatan yang
peran petugas kesehatan tidak berjalan kurang atau tidak ada sama sekali
menyebabkan penderita mengalami
putus berobat
SARAN 4. Petugas kesehatan sering memberikan
penyuluhan pentingnya berobat secara
teratur dan tuntas kepada penderita yang
Berdasarkan kesimpulan penelitian maka mempunyai pendidikan rendah atau
disarankan : pengetahuan kurang.
1. Agar penderita tabah menjalani proses 5. Agar keluarga mengawasi penderita
pengobatan dan tidak berhenti minum untuk mengingatkan dan mengawasi
obat hingga proses pengobatan dianggap penderita minum obat.
selesai. 6. Agar petugas kesehatan rajin melakukan
2. Agar penderita yang jauh rumahnya dari kunjungan rumah untuk memantau
puskesmas atau tiada kendaraan pengobatan penderita TB atau
sehingga sulit mengambil obat TB, memberikan konsultasi seputar TB
sebaiknya mengambil paket obat secara kepada penderita atau keluarganya.
lenkap atau dibawakan oleh petugas TB.
3. Agar penderita tabah menjalani proses
pengobatan dan tidak berhenti minum DAFTAR PUSTAKA
obat hingga proses pengobatan dianggap
selesai.

Aditama, Tjakra Yoga. 2005. Pola Gejala dan Kecenderungan Berobat Penderita TB Paru.
Cermin Dunia Kedokteran. No.63 Hal 17-18

Aditama, Penyebab kematian penderita paru, CDK

Amiruddin.2007. Faktor resiko kegagalan konversi pada penderita Tuberkulosis paru BTA
positif baru di Kota Ambon Propinsi Maluku

Aditama.2000. Sepuluh masalah tuberkulosis & penanggulangannya. Jurnal Respiratory


Indonesia, No.1. Januari

Anonim.2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan Ke-6. Departemen


Kesehatan Replubik Indonesia.Jakarta. 1-45

Angger U, Nugrahaeni. 28 desember 2007. Pengobatan Tuberkulosis. Farmakoterapi-info.html


( diakses 29 september 2013)

Ali, Anwar S. Senin 24 Maret .2006. Otda dan Kemitraan Berantas Tuberkulosis. Harian Umum
Suara Merdeka.

Amelda Lisu Pare.2012. Hubungan Antara Pekerjaan,PMO, Pelayanan Kesehatan,


Dukungan Keluarga dan Diskriminasi dengan Perilaku Berobat Pasien TB Paru
(Sripsi). Makassar: FKM Universitas Hasanuddin;2012

Buton ,L., 2004 ,Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegagalan Konversi (BTA
Positif) pada Akhir Pengobatan Fase Intensif Penderita TB Paru BTA Positif Baru
di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara , Tesis ,Surabaya, Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga.
CDC. Trends in tuberculosis – United States, 2012. MMWR 2013. Vol 62

Departemen Kesehatan RI. 2003. Pedoman Epidemiologi Tuberkulosis. Cetakan 3 Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Epidemiologi Tuberkulosis. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman penyakit tuberkulosis, Dit.Jen PP & PL Depkes RI,
Jakarta.

Dirjen PPM PLP. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes RI. Jakarta.

Dahlan M. Sopiyuddin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam penelitian
kedokteran dan kesehatan edisi 3. Salemba Medika. Jakarta

Erawatyningsih, E. Purwanta & Subekti, H. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhu


ketidakpatuhan berobat pada penderita tuberkulosis paru, diakses 5 Januari 2014 ,
Isjd.dii.lipi.go.id

Fahmi, Ahmadi, MPH, Ph. D, Dr.Umar, dkk. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Cetakan ke 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Gan G, Sulistia. (2007). Farmakologi dan Farmakoterapi edisi 5. FKUI. Jakarta. 624

Gitawati, et al. 2002. Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI
1996-1999, Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Green. 2005. Perencanaan Pendidikan Kesehatan, Sebuah Pendekatan Diagnostik. Proyek


Pengembangan FKM Depdikbud RI, Jakarta Pusat

Green, L.W & Kar, SB. 2005. Health Program Planning and Education and Ecological
Approach Four Edition, New York. McGraw-Hill Publishing Company.

Isa, Mohammad & Rafika, Windu. 2003. Efektifitas Pengawasan Melalui Program Pengobatan
Perseorangan TB dengan Kartu Berobat terhadap Keteraturan Berobat Penderita di
Wilayah Banjarmasin. Jurnal Kedokteran. YARSI Volume II No. 1 Hal 39-42.

Kusnanto, Hari. 2002. Planet Kesehatan Kita, Laporan Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan
Lingkungan, Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Kharisma, Es. Hubungan Jarak Rumah,tingkt pendididksn dan lama pengobatan dengan
kepatuhan berobat penderita TB Paru di RSUD dr.Moeweardi, n.d. Diakses 5 januari
2014.digilib.uns.ac.id

Kementrian Kesehatan RI. 2006. Pedoman Penerapan DOTS di Rumah Sakit, Jakarta

Kementrian Kesehatan RI. 2009 SK Menkes No. 364/Menkes/SK/V/2009 Tentang Pedoman


Penanggulangan Tuberkulosis (TB), Jakarta
Kementrian Kesehatan RI .2011. Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta

Kementrian Kesehatan RI .2011. Kumpulan Hasil Riset Oprasional Tuberkulosis Indonesia.


Jakarta

Kementrian Kesehatan RI .2011. Advokasi Komunikasi dan Mobilisasi Sosial Pengendalian


Tuberkulosis. Jakarta

Kementrian Kesehatan RI .2011. Informasi Strategis Pengendalian Tuberkulosis, Jakarta

Kementrian Kesehatan RI .2011. Logistik Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta

Kementrian Kesehatan RI .2011. Programmatic Management of Drug Resistance Pengendalian


Tuberculosis. Jakarta

Kementrian Kesehatan RI .2011. Penguat Laboratorium Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta

Kementrian Kesehatan RI .2011. Public Private Mix Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta

Kementrian Kesehatan RI .2011. TB-HIV Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta

Laban, Yohannes Y. 2008. TBC (penyakit dan pencegahannya). Kanisius. Yogyakarta. 8-9,12-
13,22-23

Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L. 2006 . Drug Information
Handbook, 14th Ed.,593, 868, 1353, 1394-1397, 1484 , Lexicomp, Inc., USA

Marlinggom. 2002. Hubungan Faktor-faktor Komponen Penyuluhan dengan Resiko Putus


Berobat Penderita Tuberkulosis tahun 2000, Tesis, Program Pascasarjana FKM UI,
Depok

Maulana. 2007. Promosi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran

Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid 1. FKUI. Jakarta. 473

Murwani, Arita. 2008. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Mitra Cendikia. Yogyakarta. 11-14

Mukshin, dkk . 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keteraturan Menelan Obat pada
Penderita TB Paru yang Mengalami Konversi di Kota Jambi, Program Magister
Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM. Yogyakarta.

Notoatmodjo,Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta

Notoatmodjo. 2009. Ilmu Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta

Notoatmodjo,Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta

Notoatmodjo,Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta


Nasry,Noor. 2008. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular.Rineka Cipta. Jakarta

Pedoman teknis penulisan skripsi mahasiswa Universitas Muhammadiyah Makassar. 2013.


Makassar

Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap.2012

Perdana, P. 2008. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru
di Puskesmas Kecamatan Ciracas. Skripsi.FIIK Universitas Pembangunan Nasional.
Jakarta Timur€€€

Ratnawati, Priyanti. 2002 . TB Paru Pada Orang Tua. Jurnal Respin Indonesia. Volume 20, No.1

Rosdiana S. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Putus Berobat Pasien TB Paru di
Puskesmas Pangkajene Kabupaten Sidrap Kecamatan Maritengngae. Skripsi. Program
Studi Ilmu Keperawatan Gema Insan. Makassar

Rakernas Gerdunas. 2005. Menkes Minta Program Gerdunas TB diperkuat. www.Merdeka.com .


Diakses 3 Januari 2014

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keprawatan Edisi Pertama. Yogyakarta. Graha Ilmu

Setiadi. 2008. Konsep & Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Suhita. 2005. Psikologi Wanita. Jakarta. Pustaka Hidayah

Sanjaya, Muhammad 2007. Tingkat Keberhasilan Strategi DOTS Pada Penderita TB dengan
Pengobatan Lengkap dan Putus berobat di Balai Pengobatan Penyakit Paru. Tesis.
Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM. Yogyakarta.

Soenarto, Sri Puryati, dkk. 2004. Pengobatan Penderita Paru dengan Memberdayakan Anggota
Keluarga di Kabupaten Tangerang. Majalah Kesehatan Volume 9. Ni.1. Hal 13-18.

Sudirman. 2003. Analisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan Program


Pengobatan TBC Paru Melalui Strategi DOTS di Kabupaten Jeneponto Tahun 2003.
Tesis Tidak diterbitkan Fakultas Kesehatan Masyarakat Pasca Sarjana UNHAS.
Makassar.

Suhaymi,Eri.2008.Mengenal penyakit Tuberkulosis. www.MedanBisnisonline.com. Diakses 22


September 2013

Sukamto. (2002). Hubungan kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan hasil pengobatan
penderita TB Paru tahap intensif dengan strategi DOTS di Kalimantan Selatan (on line).
www.cko@lib.unair.ac.id. Diakses 14 oktober 2013

Sarafino. 1990. Health Psychology : Biopsyshososial Interaction, John Wiley & Son, New Yor

Sujana.Chee 2008. Survival Kelanjutan Berobat Pasien Tuberkulosis di Wilayah Suku Dinas
Jakarta Selatan, Tesis Sekolah Pascasarjana FKM UGM. Yogyakarta
Sangadah, Umi. 2012. Analisis Penyebeb Terputusnya Pengobatan Tuberkulosisi Paru di
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen.Skripsi Program Studi Sarjana
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta

Vijay, S, Balasangameswara, VH, Jagannatha, PS, Saroja, VN & Kumar, P. 2003. Default
Among tuberculosis patient treated under Dots in, Bangalore City, A Search for solution.
Ind. J TUB, 2003,50 dilihat 21 Desember 2013, www.openmed.nic.in

Anda mungkin juga menyukai