FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FEBRUARI, 2014
ABSTRAK
LATAR BELAKANG : TB merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi
permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Pengobatan TB yang tidak tuntas, dapat
menyebabkan penyakit tidak sembuh dan kemungkinan kuman menjadi kebal sehingga perlu
waktu lama untuk sembuh dan berisiko tinggi menularkan kuman yang sudah kebal obat pada
orang lain.
TUJUAN : Untuk mengetahui hubungan faktor-faktor dengan kejadian putus berobat pasien
tuberkulosis di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap
METODE Analitik observasional dengan rancangan case control. Populasi penelitian ini adalah
semua pasien TB yang mulai berobat pada tahun 2010 sampai September 2013. Kasus adalah
semua pasien TB yang putus berobat tercatat pada register kartu pengobatan TB Kabupaten
Sidrap tahun 2010- 2013. Kontrol adalah semua pasien TB yang tercatat pada register kartu
pengobatan TB Kabupaten Sidrap tahun 2010- 2013. pengambilan sampel dilakukan dengan
Teknik Purpossive Sampling Pengolahan data menggunakan program SPSS dengan uji statistik
chi square.
HASIL : Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, responden yang berjenis kelamin laki-
laki sebanyak 76 orang dan 48 orang mengalami putus berobat, sedangkan 84 responden berjenis
kelamin perempuan hanya 32 yang mengalami putus berobat. Hasil uji statistik dengan chi
square diperoleh nilai p=0,002 (p<0,05) dan nilai X 2 hitung = 10,02 > X2 tabel =3,814 berarti
Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
putus berobat. Distribusi responden berdasarkan ketersediaan transportasi, lebih banyak
menyatakan alat transpostasi dari rumah ke puskesmas tidak tersedia yaitu 44 orang, sedangkan
yang menyatakan ketersediaan alat transportasi sebanyak 36 orang. Penderita TB paru yang
tidak mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak menyatakan ketersediaan alat transpostasi
yaitu 66 orang, sedangkan yang menyatakan ketidak tersediaan alat transpostasi yaitu 14 orang.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=<0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
24,34 > X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
transpostasi dengan kejadian putus berobat. Distribusi responden berdasarkan jarak yang
ditempuh ke unit pelayanan kesehatan, lebih banyak menyatakan jarak dari rumah ke puskesmas
jauh yaitu 48 orang sedangkan yang menyatakan jaraknya dekat sebanyak 32 orang. Penderita
TB paru yang tidak mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak menyatakan jarak rumah ke
puskesmas dekat yaitu 63 orang sedangkan yang menyatakan jaraknya jauh sebanyak 17
orang .Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) dan nilai
X2hitung = 24,9 > X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan
antara jarak dengan kejadian putus berobat. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan,
lebih banyak responden mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu 75 orang dibandingkan
yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi yaitu 5 orang. Penderita TB paru yang tidak
mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak mempunyai tingkat pendidikan rendah yaitu
42 orang dibandingkan responden yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi yaitu 38 orang.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
34,63> X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pendidikan dengan kejadian putus berobat.Distribusi responden berdasarkan tingkat
pengetahuan, lebih banyak responden mempunyai pengetahuan kurang tentang TB Paru yaitu
61 orang dibandingkan pengetahuan cukup yaitu 19 orang . Penderita TB paru yang tidak
mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak mempunyai pengetahuan tentang Tb paru
cukup yaitu 54 orang dibandingkan yang mempunyai pengetahuan kurang yaitu 26 orang.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
30,12> X2 tabel=3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
pengetahuan dengan kejadian putus berobat. Distribusi responden berdasarkan peran keluarga,
lebih banyak menyatakan keluarga mereka tidak mendukung kelancaran pengobatan mereka
yaitu 52 orang sedangkan yang menyatakan mendukung sebanyak 28 orang. Penderita TB
paru yang tidak mengalami putus berobat (kontrol), lebih banyak menyatakan keluarga mereka
mendukung kelancaran pengobatan TB paru yaitu sebanyak 71 orang dibandingkan yang
menyatakan tidak mendukung pengobatan yaitu 9 orang. Hasil uji statistik dengan chi square
diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung = 48,99 > X2 tabel =3,814 berarti Ho
ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara peran keluarga dengan kejadian putus
berobat. Distribusi responden berdasarkan peran tenaga kesehatan lebih banyak menyatakan
tenaga kesehatan mendukung kelancaran pengobatan yaitu 48 orang sedangkan yang tidak
mendukung yaitu 32 orang (40,0%). Penderita TB paru yang tidak mengalami putus berobat
(kontrol), lebih banyak menyatakan tenaga kesehatan mendukung kelancaran pengobatan yaitu
68 orang dibandingkan yang yang tidak mendukung kelancaran pengobatan yaitu 12 orang.
Hasil uji statistik dengan chi square diperoleh nilai p= <0,001 (p<0,05) dan nilai X2hitung =
12,54 > X2 tabel =3,814 berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara
peran tenaga kesehatan dengan kejadian putus berobat
KESIMPULAN : Penelitian ini menyimpulkan ada hubungan antara jenis kelamin,
transpostasi, jarak, pendidikan, pengetahuan, peran dukungan keluarga dan peran petugas
kesehatan (p<0,05) dengan kejadian putus berobat TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Sidrap.
Kata Kunci : Putus Berobat TB, hubungan faktor yang menyebabkan putus berobat TB
Daftar Pustaka : 65 (1994 - 2012)
Pendahuluan menjadi berat. Selain kemungkinan
dapat menularkan penyakit pada orang
TB merupakan salah satu lain, penyakit semakin sukar diobati.
penyakit menular yang masih menjadi Kemungkinan kuman menjadi kebal
permasalahan di dunia kesehatan hingga sehingga diperlukan obat yang lebih
saat ini. Hal ini dibuktikan dengan kuat dan mahal. Jika sudah terjadi
masih banyaknya ditemukan penderita kekebalan obat, perlu waktu lama untuk
TB di masyarakat. Situasi TB di dunia sembuh dan berisiko tinggi menularkan
semakin memburuk dengan kuman yang sudah kebal obat pada
meningkatnya jumlah kasus TB dan orang lain (WHO,2006). Resistensi obat
banyaknya pasien TB yang tidak anti tuberkulosis terjadi akibat
berhasil disembuhkan terutama di pengobatan tidak sempurna, putus
negara yang dikelompokan dalam 22 berobat atau karena kombinasi obat anti
negara dengan high burned. tuberkulosis tidak adekut
Pada tahun 2012, dilaporkan (Mukhsin,2006).
terdapat 9.951 kasus baru tuberkulosis Strategi DOTS pengobatan
di United States, dengan insiden 3.2 jangka pendek dengan pengawasan langsung
kasus per 100,000 populasi. Ini pertama minum obat belum banyak diterapkan
kali dalam sejarah United State terjadi Rumah Sakit yang ada di Indonesia. Hasil
penurunan kasus TB di bawah 10.000 monitoring dan evaluasi yang dilakukan
sejak dilaporkan pada tahun 1953 oleh tim TB External Monitoring Mission
(CDC-US, 2013) pada tahun 2005 dan evaluasi yang
Saat ini Indonesia merupakan dilakukan oleh WHO serta program nasional
negara kelima dengan beban terbesar TB menunjukkan bahwa meskipun angka
TB dunia setelah India, Cina, Afrika penemuan kasus TB di rumah sakit cukup
Selatan dan Nigeria. Menurut WHO tinggi,angka keberhasilan pengobatan masih
(2009), estimasi prevalensi TB semua rendah yaitu 50% dengan angka putus
kasus adalah 566.000 atau 244 per berobat yang mencapai 50% sampai 80%
100.000 population dan estimasi angka (Depkes RI,2007) . Padahal pengobatan TB
insiden berjumlah 528.000 kasus baru yang tidak tuntas, meningkatkan resiko
per tahun (228 per 100.000 population). resistensi kuman (Kompas,2008).
Insiden kasus TB BTA+ diperkirakan
sebesar 102 per 100.000 population,
sekitar 236.000 pasien TB dengan Metode Penelitian
BTA+ per tahun (Kemenkes RI, 2011)
Beberapa provinsi yang Desain penelitian ini adalah
diantaranya mempunyai angka penelitian analitik observasional dengan
prevalensi di atas angka nasional, yaitu rancangan case control yaitu
provinsi NAD, Sumatra Barat, Riau, membandingkan antara kelompok kasus
DKI Jakarta, Jawa Tengan, DI dengan kelompok kontrol, dimana populasi
Yogyakarta, Banten, NTB, NTT, penelitian ini adalah semua pasien TB paru
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, BTA positif yang putus berobat tercatat
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, pada register Dinas kesehatan kabupaten
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Sidrap sejak awal 2010- september 2013
Barat, dan Papua.Pengobatan TB yang yang diambil secara purposive
tidak tuntas, dapat menyebabkan sampling.Penelitian ini menggunakan data
penyakit tidak sembuh, atau bahkan primer yaitu wawancara menggunakan
kuisioner dan juga data sekunder yaitu data a. Jenis Kelamin
penderita TB paru yang putus
berobat ,diambil pada register kabupaten Tabel 5.2 Distribusi Responden
dinas kesehatan kabupaten sidrap. Alasan Berdasarkan Jenis kelamin di Wilayah
digunakan penelitian case control karena Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
dari penelitian ini peneliti ingin Sidrap tahun 2013
membandingkan antara kelompok kasus
dan kelompok kontrol berdasarkan kejadian Jenis kelamin n Persentase
putus berobat yang dihubungkan dengan Laki-Laki 76 47,5
faktor-faktor variabel yang ingin diteliti. Perempuan 84 52,5
Dari segi waktu penelitian yang diberikan Total 160 100,0
cukup singkat sehingga dengan Sumber : Data Primer 2013
menggunakan purposive sampling sangat Tabel 5.2 menunjukkan bahwa responden
membantu dimana peneliti hanya yang berjenis kelamin perempuan yaitu
mengambil atau memilih sampel sesuai sebanyak 84 orang (52,5%) dibandingkan
dengan kreteria inklusi. Dari segi biaya yang berjenis kelamin laki-laki yaitu 76
juga harus diperhatikan, dimana penelitian orang (47,5%).
case control ini membutuhkan biaya yang
relative sedikit karena hanya menggunakan b. Transportasi
kartu register TB paru dan lembar
Tabel 5.3 Distribusi Responden
kuisioner. Pada penelitian ini digunakan
Berdasarkan Ketersediaan Transportasi
data primer yaitu wawancara langsung
di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
menggunakan kuisioner dan data sekunder
Kabupaten Sidrap tahun 2013
dalam hal ini regiter kartu pengonbatan TB
paru dari Dinas kesehatn Kabupaten Sidrap
tahun 2010-September 2013. Kemudian Transportasi N Persentase
dilakukan pengukuran terhadap variabel Tidak Tersedia 58 36,3
yang dinilai. pengolahan data dengan cara Tersedia 102 63,8
data dimasukkan kedalam program SPSS Total 160 100,0
versi 16.00. Selepas pengolahan data, Sumber : Data Primer
dilakukan analisis data. Analisis univariat Tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden
dilakukan untuk menggambarkan distribusi lebih banyak menyatakan adanya
frekuensi, baik variabel bebas, variabel ketersediaan alat transport ke Puskesmas
terikat dan karakteristik responden. ada yaitu sebanyak 102 orang (63,8%)
Analisis bivariat dilakukan sedangkan yang menyatakan
denganuji chi square untuk mengetahui ketidaktersediaan alat transpostasi yaitu 58
hubungan yang signifikan antara masing- orang (36,3%)
masing variable bebas dengan variable
terikat.Dasar pengambilan hipotesis c.Jarak
penelitian berdasarkan pada tingkat Tabel 5.4 Distribusi Responden Kejadian
signifikan (nilai p),yaitu :Jika nilai p > 0,05 Putus Berobat Berdasarkan Jarak di
maka hipotesis penelitian ditolak.Jika nilai Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
p ≤ 0,05 maka hipotesis penelitian diterima. Kabupaten Sidrap tahun 2013
Hasil dan Pembahasan
Analisi Univarat
1. Karakteristik Responden
Jarak N Persentase Pengetahuan n Persentase
Kurang 87 54,4
Jauh 65 40,6
Cukup 73 45,6
Total 160 100,0
Dekat 95 59,4
Sumber : Data Primer
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa responden
Total 160 100,0
lebih banyak mempunyai pengetahuan
kurang tentang TB paru sebanyak 87 orang
Sumber : Data Primer
(54,4%) sedangkan yang mempunyai
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa umumnya
pengetahuan cukup sebanyak 73 orang
responden menyatakan bahwa jarak rumah
(45,6%).
ke tempat pelayanan kesehatan (puskesmas)
adalah dekat yaitu sebanyak 95 orang
f. Peran Keluarga
(59,4%) sedangkan yang menyatakan
Tabel 5.7 Distribusi Responden Keadian
berjarak jauh dari pelayanan kesehatan
Putus Berobat Berdasarkan Peran
(puskesmas) sebanyak 65 orang (40,6%).
Keluarga di Wilayah Kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Sidrap tahun
d.Tingkat pendidikan
2013
Tabel 5.5 Distribusi Responden
Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Peran
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Keluarga n Persentase
Kabupaten Sidrap tahun 2013 Tidak
61 38,1
mendukung
Tingkat Mendukung 99 61,9
Total 160 100,0
Pendidikan n Persentase Sumber : Data Primer
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa responden
Rendah 117 73,1 lebih banyak menyatakan bahwa keluarga
mereka cukup mendukung dalam
Tinggi 43 26,9 pengobatan mereka sebanyak 99 orang
(61,9%) sedangkan yang menyatakan
Total 160 100,0 keluarga yang tidak mendukung kelancaran
pengobatan TB paru mereka sebanyak 61
SumberData Primer orang (38,1%).
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa umumnya g. Peran Tenaga Kesehatan
responden mempunyai tingkat pendidikan Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan
rendah sebanyak 117 orang (73,1%) Peran Tenaga Kesehatan di Wilayah Kerja
sedangkan yang mempunyai tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten Sidrap tahun
pendidikan tinggi sebanyak 43 orang 2013
(26,9%)
e. Pengetahuan
Tabel 5.6 Distribusi Responden Peran Tenaga
Berdasarkan Pengetahuan di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kesehatan n Persentase
Sidrap tahun 2013
Tidak mendukung 44 27,5
Kejadian Putus
d. Tingkat Pendidikan
Tabel 5.12 Hubungan Tingkat Pendidikan
Dengan Kejadian Putus Berobat TB Paru
di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Sidrap tahun 2013
f. Peran keluarga
Tabel 5.14 Hubungan Peran Keluarga
Dengan Kejadian Putus Berobat TB Paru di
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Sidrap tahun 2013
Aditama, Tjakra Yoga. 2005. Pola Gejala dan Kecenderungan Berobat Penderita TB Paru.
Cermin Dunia Kedokteran. No.63 Hal 17-18
Amiruddin.2007. Faktor resiko kegagalan konversi pada penderita Tuberkulosis paru BTA
positif baru di Kota Ambon Propinsi Maluku
Ali, Anwar S. Senin 24 Maret .2006. Otda dan Kemitraan Berantas Tuberkulosis. Harian Umum
Suara Merdeka.
Buton ,L., 2004 ,Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kegagalan Konversi (BTA
Positif) pada Akhir Pengobatan Fase Intensif Penderita TB Paru BTA Positif Baru
di Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara , Tesis ,Surabaya, Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga.
CDC. Trends in tuberculosis – United States, 2012. MMWR 2013. Vol 62
Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman penyakit tuberkulosis, Dit.Jen PP & PL Depkes RI,
Jakarta.
Dirjen PPM PLP. (2002). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes RI. Jakarta.
Dahlan M. Sopiyuddin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam penelitian
kedokteran dan kesehatan edisi 3. Salemba Medika. Jakarta
Fahmi, Ahmadi, MPH, Ph. D, Dr.Umar, dkk. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Cetakan ke 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Gan G, Sulistia. (2007). Farmakologi dan Farmakoterapi edisi 5. FKUI. Jakarta. 624
Gitawati, et al. 2002. Studi Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru di 10 Puskesmas di DKI
1996-1999, Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Green, L.W & Kar, SB. 2005. Health Program Planning and Education and Ecological
Approach Four Edition, New York. McGraw-Hill Publishing Company.
Isa, Mohammad & Rafika, Windu. 2003. Efektifitas Pengawasan Melalui Program Pengobatan
Perseorangan TB dengan Kartu Berobat terhadap Keteraturan Berobat Penderita di
Wilayah Banjarmasin. Jurnal Kedokteran. YARSI Volume II No. 1 Hal 39-42.
Kusnanto, Hari. 2002. Planet Kesehatan Kita, Laporan Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan
Lingkungan, Gajah Mada University Press. Yogyakarta
Kharisma, Es. Hubungan Jarak Rumah,tingkt pendididksn dan lama pengobatan dengan
kepatuhan berobat penderita TB Paru di RSUD dr.Moeweardi, n.d. Diakses 5 januari
2014.digilib.uns.ac.id
Kementrian Kesehatan RI. 2006. Pedoman Penerapan DOTS di Rumah Sakit, Jakarta
Laban, Yohannes Y. 2008. TBC (penyakit dan pencegahannya). Kanisius. Yogyakarta. 8-9,12-
13,22-23
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., and Lance, L.L. 2006 . Drug Information
Handbook, 14th Ed.,593, 868, 1353, 1394-1397, 1484 , Lexicomp, Inc., USA
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran edisi III jilid 1. FKUI. Jakarta. 473
Murwani, Arita. 2008. Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Mitra Cendikia. Yogyakarta. 11-14
Mukshin, dkk . 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keteraturan Menelan Obat pada
Penderita TB Paru yang Mengalami Konversi di Kota Jambi, Program Magister
Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM. Yogyakarta.
Notoatmodjo,Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta
Perdana, P. 2008. Faktor- faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru
di Puskesmas Kecamatan Ciracas. Skripsi.FIIK Universitas Pembangunan Nasional.
Jakarta Timur€€€
Ratnawati, Priyanti. 2002 . TB Paru Pada Orang Tua. Jurnal Respin Indonesia. Volume 20, No.1
Rosdiana S. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Putus Berobat Pasien TB Paru di
Puskesmas Pangkajene Kabupaten Sidrap Kecamatan Maritengngae. Skripsi. Program
Studi Ilmu Keperawatan Gema Insan. Makassar
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keprawatan Edisi Pertama. Yogyakarta. Graha Ilmu
Setiadi. 2008. Konsep & Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sanjaya, Muhammad 2007. Tingkat Keberhasilan Strategi DOTS Pada Penderita TB dengan
Pengobatan Lengkap dan Putus berobat di Balai Pengobatan Penyakit Paru. Tesis.
Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM. Yogyakarta.
Soenarto, Sri Puryati, dkk. 2004. Pengobatan Penderita Paru dengan Memberdayakan Anggota
Keluarga di Kabupaten Tangerang. Majalah Kesehatan Volume 9. Ni.1. Hal 13-18.
Sukamto. (2002). Hubungan kinerja Pengawas Menelan Obat (PMO) dengan hasil pengobatan
penderita TB Paru tahap intensif dengan strategi DOTS di Kalimantan Selatan (on line).
www.cko@lib.unair.ac.id. Diakses 14 oktober 2013
Sarafino. 1990. Health Psychology : Biopsyshososial Interaction, John Wiley & Son, New Yor
Sujana.Chee 2008. Survival Kelanjutan Berobat Pasien Tuberkulosis di Wilayah Suku Dinas
Jakarta Selatan, Tesis Sekolah Pascasarjana FKM UGM. Yogyakarta
Sangadah, Umi. 2012. Analisis Penyebeb Terputusnya Pengobatan Tuberkulosisi Paru di
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen.Skripsi Program Studi Sarjana
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta
Vijay, S, Balasangameswara, VH, Jagannatha, PS, Saroja, VN & Kumar, P. 2003. Default
Among tuberculosis patient treated under Dots in, Bangalore City, A Search for solution.
Ind. J TUB, 2003,50 dilihat 21 Desember 2013, www.openmed.nic.in