Anda di halaman 1dari 78

ABSTRAK

HUBUNGAN PERAN PERAWAT DENGAN MOTIVASI SEMBUH PADA PASIEN


TUBERCULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT
MAKASSAR

SALAHUDDIN SALEH, Pembimbing I Harniati , pembimbing II Nursyahfitri

Latar Belakang : Motivasi sembuh pasien TBC adalah suatu daya dalam diri seseorang penderita
sebagai pendorong maupun penggerak yang melatarbelakangi seseorang untuk berperilaku pada
tindakan penyembuhan. Dampak yang terjadi jika pasien tidak memiliki motivasi sembuh yaitu
pasien mengalami drop out pengobatan yang pada akhirnya mengarah pada kasus terjadinya MDR
(Multi Drug Resistance). Peran perawat dapat membantu pasien untuk meningkatkan
kesehatannya dan harapannya informasi yang diterima pasien melalui pengajaran dapat menambah
pengetahuan pasien sehingga dapat memberikan motivasi sembuh bagi pasien Tuberculosis paru.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian
observasional analitik dan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel yang
digunakan ialah teknik Total sampling dan didapatkan jumlah sampel penelitian sebanyak 35
responden Tuberculosis paru diruang rawat jalan. Alat pengumpul data terdiri dari kuesioner untuk
peran perawat dan kuesioner motivasi sembuh pasien Tuberculosis paru. Analisis data yang
digunakan yaitu Chi Square.

Hasil Penelitian : Yang didapatkan dari uji Chi Square dengan tingkat signifikan α = 0,05. Hasil
uji statistik di peroleh nilai p value: 0,002, maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Kesimpulan : Ada hubungan yang signifikan antara peran perawat dengan motivasi sembuh pada
pasien Tuberculosis Paru.

Kata-Kata Kunci : Tuberculosis, Motivasi dan Peran Perawat


Kepustakaan : 2011-2017, 9 Referensi

1
2

ABSTRACT

"The Relationship between the Role of Nurses and the Motivation to Heal in Pulmonary
Tuberculosis Patients at the Makassar Center for Lung Health"

SALAHUDDIN SALEH, Advisor 1 Harniati, advisor II Nursyahfitri.

Background: Motivation to recover TB patients is a power in a person as a driver or driver behind


a person to behave in a healing action. The impact that occurs if the patient does not have the
motivation to recover is the patient has a treatment drop out which ultimately leads to the case of
MDR (Multi Drug Resistance). MDR cases can be prevented through the efforts of nurses to
motivate recovery of pulmonary tuberculosis patients. The role of nurses can help patients to
improve their health and hope that information received by patients through teaching can increase
patient knowledge so that it can provide healing motivation for pulmonary tuberculosis patients.

Research Method: This research is a quantitative research with observational analytic research
and cross sectional approach. The sampling technique used is total sampling technique and
obtained the number of research samples as many as 35 respondents pulmonary tuberculosis in the
inpatient room. The data collection tool consisted of a questionnaire for the role of nurses and a
recovered motivation questionnaire for pulmonary tuberculosis patients. Analysis of the data used
is Chi Square.

Research Results: Which was obtained from the Chi Square test with a significant level of α =
0.05. Statistical test results obtained p value: 0.002, then Ho is rejected and Ha is accepted.

Conclusion: There is a significant relationship between the role of nurses and recovery motivation
in patients with pulmonary tuberculosis.

Keywords : Tuberculosis, Motivation and Role of Nurses


Literature : 2011-2017, 9 References
3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis paru (TB paru) adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman

ini menyerang paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya

(Muttaqin 2014).

Menurut World Health Organization (WHO), sejak tahun 1993 TB

parumerupakan kedaruratan global. TB paru merupakan masalah bagi dunia

karena TB paru menjadi penyakit kedua setelah HIV dan AIDS sebagai

pembunuh terbesar di seluruh dunia karena agen menular. Pada tahun 2017

jumlah kasus TB paru terdapat 9,6 juta orang yang terjatuh sakit karena TB

paru dengan kematian mencapai 2,4 juta orang diseluruh dunia. Meningkat

dibandingkan pada tahun 2016 terdapat 8,7 juta orang yang terjatuh sakit

karena TB paru dengan kematian mencapai 1,5 juta orang diseluruh dunia.

Dari jumlah kasus pada 2017 terdapat sekitar 65,23% penderita laki-laki dan

sekitar 34,77% penderita perempuan (WHO 2017).

Indonesia tercatat pada pada tahun 2017 ditemukan jumlah kasus

tuberkulosis sebanyak 420.000 kasus, meningkat bila dibandingkan pada

tahun 2016 sebesar 351.893 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan

terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar seperti Jawa Barat,

Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut
4

sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus baru di indonesia (KemenKes RI

2017). Dari kasus tersebut, 60% penderita TB banyak dialami oleh laki-laki

dibandingkan dengan wanita. Hal ini disebabkan mobilitas dan aktivitas pria

lebih tinggi daripada perempuan. Dari 420.000 kasus tersebut, terdapat sekitar

382.680 kasus BTA+ dengan tingkat kesembuhan sebesar 80% dan sekitar

20% yang harus menjalani pengobatan lebih lanjut. Data kesembuhan pada

tahun 2017 masih rendah dibandingkan tingkat kesembuhan 85% pada tahun

2016 dan kurang dari target kesembuhan yang ditetapkan oleh pemerintah

yaitu sebesar 90% tingkat keseluruhan kesembuhan (Kemenkes RI, 2017).

Angka kejadian TB paru di Sulawesi Selatan pada tahun 2017

ditemukan sebanyak 13.031 kasus, meningkat dibandingkan pada tahun 2016

sebanyak 12.625 kasus yang tersebar dalam 23 kabupaten/kota dalam Propinsi

Sulawesi Selatan termasuk Kota Makassar. Sebesar 55,30% penderita

merupakan laki-laki dan 44,70% penderita perempuan. Sebanyak 9.122 orang

dengan BTA+ dari kasus tersebut yang menjalani pengobatan ada sekitar 46%

mengalami kesembuhan, sekitar 4% angka kematian dan sekitar 50% yang

masih memerlukan pengobatan lebih lanjut. Masih rendahnya tingkat

kesembuhan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain tidak meratanya

fasilitas pelayanan pengobatan, kurang efektifnya peran perawat dalam

memberikan pelayanan kesehatan, serta rendahnya motivasi sembuh dan

kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (Dinkes Prov Sulawesi Selatan 2017).

Berdasarkan data Dinas kesehatan Kota Makassar tahun 2017

diketahui jumlah penderita TB paru di Makassar sebanyak 3.916 kasus atau


5

meningkat dingkan pada tahun 2016 dengan 3.639 kasus. Berdasarkan kasus

tersebut, sebanyak 2.880 kasus dengan BTA+ yang didominasi oleh laki-laki

sebanyak 63,45% sementara perempuan sebanyak 36,55%. Dari 1.989 yang

menjalani pengobatan, tingkat keberhasilan pengobatan sebanyak 40% orang,

angka kematian sebesar 5% orang dan selebihnya perlu penanganan lanjut

untuk mencapai target keberhasilan pemberantasan TB paru (Dinkes

Makassar, 2017)

Hal ini terjadi karena kurangnya peran perawat dalam pengawasan dan

memastikan pasien minum obat sesuai aturan sejak awal pengobatan sampai

sembuh, kurang mendampingi pasien pada saat kunjungan konsultasi ke

rumah sakit atau puskesmas dan kurang memberikan dukungan moral kepada

pasien agar dapat menjalani pengobatan secara lengkap, kurang mengingtkan

pasien TB datang ke rumah sakit atau puskesmas untuk mendapatkan obat dan

periksa ulang dahak sesuai jadwal, dan kuranngnya memberikan penyuluhan

tentang TB kepada keluarga pasien atau orang yang tinggal serumah, sehingga

hal dapat mengakibatkan rendah motivasi atau kepatuhan pasien untuk

berobat.

Berdasarkan data rekam medis di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar diketahui pasien TB paru tahun 2016 sampai dengan

2018 bulan Juni yang menjalani rawat jalan sebanyak 613 pasien. Pasien pada

tahun 2016 sebanyak 174. Pada tahun 2017 sebanyak 270, dan pada tahun

2018 sampai bulan Juni sebanyak 169 orang, yang mana pada bulan Januari

2018 sebanyak 26 orang, pada bulan Februari sebanyak 24 orang, pada bulan
6

Maret sebanyak 32 orang , pada bulan April sebanyak 28 orang, pada bulan

Mei sebanyak 24 orang dan meningkat pada bulan Juni sebanyak 35 orang .

dengan rincian pasien sembuh sebanyak 50 orang, pasien putus obat sebanyak

35 orang, gagal pengobatan sebanyak 4 orang, pasien kambuh 24 orang, dan

pasien pengobatan ulang 41 orang, hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 100

lebih pasien belum berhasil dalam pengobatan (Rekam Medik BBKPM

Makassar 2018). Tingginya tingkat ketidakberhasilan pengobatan disebabkan

oleh beberapa faktor antara lain tidak meratanya fasilitas pelayanan

pengobatan, kurang efektifnya peran perawat selama perawatan, serta

rendahnya motivasi sembuh dan keteraturan minum obat anti tuberkulosis.

Dari hasil observasi didapatkan bahwa penderita TB paru kurang

memenuhi aturan minum obat karena kurangnya informasi, support dari

keluarga dan kurang efektifnya pemberian pelayanan kesehatan dalam hal ini

peran perawat sangat dibutuhkan. Melihat dari permasalahan tersebut diatas

peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan peran perawat dengan motivasi

sembuh pada pasien Tuberculosis Paru di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar”

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu apakah ada Hubungan peran

perawat dengan motivasi sembuh pada pasien Tuberculosis paru di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
7

Diketahui hubungan peran perawat dengan motivasi sembuh pada pasien

Tuberculosis paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar.


2. Tujuan Khusus
a. Diketahui pelaksanaan peran perawat di BBKPM Makassar.
b. Diketahui motivasi sembuh pada pasien Tuberculosis paru di BBKPM

Makassar.
c. Diketahui hubungan peran perawat dengan motivasi sembuh pada

pasien Tuberculosis paru di BBKPM Makassar.


D. Manfaat Peneliti
1. Manfaat Praktisi
Sebagai tambahan informasi mengenai peran perawat sehingga

dapat dilakukan evaluasi mengenai motivasi sembuh pada Pasien

Tuberculosis Paru.
2. Manfaat Teoritis
Sebagai sumber informasi yang baru dan bahan acuan untuk

penelitian yang lebih lanjut mengenai Hubungan peran perawat dengan

motivasi sembuh pada pasien Tuberculosis paru di BBKPM Makassar.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian terdahulu yang mendasari penelitian yang akan dilakukan

oleh peneliti adalah penelitian yang dilakukan oleh Suryadi dengan judul

hubungan peran educator perawat dalam discharge planning dengan tingkat

kepatuhan pasien rawat inap untuk kontrol di Rumah Sakit Paru Kabupaten

Jember. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menganalisis hubungan

peran educator perawat dalam discharge planning dengan tingkat kepatuhan

pasien rawat inap untuk kontrol di Rumah Sakit Paru Kabupaten Jember. Jenis

penelitian ini adalah kuanlitatif. Teknik pengambilan sampel yang digunakan


8

purposive sampling, sebanyak 40 informan dan dalam pengumpulan data

menggunakan koesioner.
Kesamaan yang dilakukan Suryadi dengan yang dilakukan peneliti

adalah sama-sama menjelaskan peran perawat sebagai variabel independen,

sedangkan perbedaannya yaitu terdapat pada variabel dependennya, Suryadi

menggunakan variabel dependennya tingkat kepatuahan pasien untuk kontrol.

Sedangakan peneliti menjadi Motivasi Sembuh pada Pasien Tuberculosis Paru

sebagai variabel dependennya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Motivasi

a. Pengertian

Motivasi berasal dari kata “motive” yang berasal dari kata

“motion”artinya gerakan atau sesuatu yang bergerak. Motif dalam arti

yang lebih luas berarti rangsangan, dorongan atau penggerak terjadinya

suatu tingkah laku (Saam dan Wahyuni 2013). Menurut Sunaryo


9

(2004) motivasi adalah daya pendorong pada seseorang yang

mengakibatkan seseorang mengarahkan perilakunya untuk memenuhi

kebutuhannya.

Pendapat lain dari Hardhiyani (2013), motivasi adalah keadaan

pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk

melakukan kegiatan tertentu guna mencapai tujuan yang diinginkan.

Motivasi merupakan konstruksi dengan 3 (tiga) karakteristik yaitu,

intensitas, arah dan persistem (Rachmawati dan Turniani, 2014).

Motivasi adalah suatu dorongan yang terdapat dalam diri seseorang

untuk berusaha memenuhi tujuan, kebutuhan, dalam upaya untuk

menciptakan keseimbangan kehidupan seseorang yang diwujudkan

dalam bentuk perilaku. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan

bahwa motivasi adalah daya dalam diri seseorang sebagai pendorong

maupun penggerak yang melatar belakangi seseorang untuk

berperilaku dalam mencapai tujuan guna memenuhi kebutuhan psikis

maupun fisiknya (Syasra, 2011)

b. Motivasi Sembuh

Menurut Syasra (2011) sembuh adalah suatu keadaan status

menjadi sehat kembali. Sedangkan kesembuhan adalah suatu keadaan

yang bersifat untuk mencapai kondisi sembuh atau suatu keadaan

perilaku sembuh. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang

kesehatan menyatakan sehat adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa,

dan ekonomi. Sehat dalam pengertian yang luas adalah suatu keadaan
10

dinamis pada individu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan

lingkungan internal (seperti psikologis, intelektual, spiritual dan

penyakit) dan lingkungan eksternal (seperti lingkungan fisik, sosial dan

ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya (Saam dan Wahyuni,

2013). Penderita TBC dinyatakan sembuh bila penderita telah

menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang

dahak (follow-up) paling sedikit dua kali berturut-turut dengan hasil

negatif (pada akhir pengobatan atau sebelum akhir pengobatan, dan

pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya). Berdasarkan pengertian

diatas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi sembuh pasien TBC

adalah suatu daya dalam diri seseorang penderita sebagai pendorong

maupun penggerak yang melatarbelakangi seseorang untuk berperilaku

yang mengarahkan pada tindakan penyembuhan atau pulih kembali

serta bebas dari penyakit yang dideritanya sehingga pasien mencapai

keadaan sejahtera baik psikis maupun fisiknya.

c. Aspek-aspek Motivasi Sembuh

Menurut Conger (1997 dalam Syasra, 2011) Indikator aspek

motivasi sembuh pasien meliputi:

1) Memiliki Sikap Positif

Hal ini ditunjukkan dengan adanya kepercayaan diri yang kuat,

perencanaan.
11

2) Berorientasi pada pencapaian suatu tujuan

Hal ini menunjukkan bahwa motivasi menyediakan suatu orientasi

tujuan tingkah laku yang diarahkan pada sesuatu.

3) Kekuatan yang mendorong individu

Hal ini menunjukkan bahwa timbulnya kekuatan akan mendorong

seseorang untuk melakukan sesuatu. Kekuatan ini berasal dari

dalam diri individu, lingkungan sekitar, serta keyakinan individu

akan kekuatan kodrati.

d. Jenis – jenis Motivasi

Jenis-jenis motivasi ditinjau dari pihak yang menggerakkan

digolongkan menjadi dua golongan, yaitu motivasi intrinsik dan

motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang telah

berfungsi dengan sendirinya yang berasal dari dalam diri orang

tersebut tanpa adanya dorongan atau rangsangan dari pihak luar (Saam

dan Wahyuni, 2013).

Berdasarkan sumber dorongan terhadap perilaku, (Saam dan

Wahyuni 2004) membedakan motivasi ada dua macam yaitu:

1) Motivasi primer adalah motivasi yang tidak dapat dipelajari karena

berbentuk insting dan untuk mempertahankan hidup serta

mengembangkan keturunan.
12

2) Motivasi sekunder adalah motivasi yang dapat dimodifikasi,

dikembangkan dan dipelajari seiring dengan pengalaman yang

diperoleh individu.
e. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Motivasi untuk Sembuh
Menurut Febrian, M.A (2015) menjelaskan beberapa faktor

yang mempengaruhi motivasi untuk sembuh, antara lain yaitu:

1) Memiliki keinginan untuk lepas dari rasa sakit yang mengganggu

kehidupan sehari-hari.

2) Merasa belum sepenuhnya mengembangkan potensi-potensi yang

dimiliki.

3) Adanya keinginan untuk menikmati prestasi yang diraih.

4) Masih merasa memiliki beberapa tanggungan yang harus

diselesaikan.

5) Masih merasa belum banyak berbuat hal yang bermanfaat bagi

orang lain disekitarnya.

6) Mendapat banyak dukungan support dari keluarga dan teman-

teman sehingga masih merasa diperhatikan, dihargai dan

dibutuhkan dalam mencapai kesemangatan hidup selanjutnya.

Pendapat Yaffri (2009 dalam Syasra, 2011) menyebutkan

faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan pasien antara lain:


13

1) Faktor sarana antara lain seperti logistik obat dan mutu pelayanan

kesehatan yang mencakup sikap petugas kesehatan terhadap

penyakit pasien.

2) Pengetahuan penderita tentang penyakit yang diderita, cara

pengobatan dan bahaya yang ditimbulkan akibat berobat yang tidak

teratur.

3) Mengenai hal menjaga kondisi tubuh dengan makan-makanan

bergizi, istirahat yang cukup, dan tidak mengkonsumsi alkohol

maupun merokok.

4) Faktor dukungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal.

Berdasarkan pendapat Yaffri (2009 dalam Syasra, 2011)

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesembuhan pasien

maka diperlukan peran perawat untuk memotivasi pasien mencapai

kesembuhan.
2. Tinjuaun Umum tentang Peran Perawat

a. Pengertian Peran

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh

orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu

sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun

dari luar dan bersifat stabil (Kusnanto, 2009 dalam Rohmawati 2015).

Jadi peran perawat adalah suatu cara untuk menyatakan aktivitas

perawat dalam praktik, yang telah menyelesaikan pendidikan


14

formalnya, diakui dan diberikan kewenangan oleh pemerintah untuk

menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan secara profesional

sesuai dengan kode etik profesinya. Peran yang dimiliki oleh seorang

perawat antara lain peran sebagai pelaksana, peran sebagai pendidik,

peran sebagai pengelola, dan peran sebagai peneliti (Asmadi, 2008

dalam Rohmawati 2015). Dalam melaksanakan asuhan keperawatan,

perawat mempunyai peran dan fungsi sebagai perawat diantaranya

pemberi perawatan, sebagai advokat keluarga, pencegahan penyakit,

pendidikan, konseling, kolaborasi, pengambil keputusan etik dan

peneliti.

b. Peran Perawat

Peran perawat profesional meliputi:

1) Peran Pelaksana atau Care Giver

Perawat memberikan asuhan keperawatan secara langsung

maupun tidak langsung kepada klien sebagai individu, keluarga

maupun masyarakat yang meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi,

implementasi hingga evaluasi. Perawat dalam melaksanakan peran

ini, bertindak sebagai comforter, protector dan advocat,

communicator serta rehabilitator. Sebagai comforter, tugas perawat

memberi kenyamanan dan rasa aman pada klien. Peran sebagai

protector dan advocat lebih berfokus pada kemampuan seorang

perawat melindungi dan menjamin hak klien agar terlaksana

dengan seimbang dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Peran


15

sebagai communicator pada perawat nampak bila perawat

bertindak sebagai mediator antara klien dengan tim anggota

kesehatan lainnya, serta peran ini berkaitan erat dengan keberadaan

perawat saat mendampingi klien sebagai pemberi asuhan

keperawatan selama 24 jam. Peran rehabilitator berhubungan erat

dengan tujuan pemberian asuhan keperawatan yaitu

mengembalikan fungsi organ atau bagian tubuh yang sakit agar

sembuh dan berfungsi normal (Gaffar 1999 dalam Rohmawati

2015).

2) Peran Sebagai Pendidik atau Health Educator


Perawat memiliki peranan mendidik individu, keluarga,

kelompok dan masyarakat serta tenaga kesehatan yang berada

dibawah tanggung jawabnya. Dalam memberikan asuhan

keperawatan pada pasien, perawat harus mampu berperan sebagai

pendidik, sebab beberapa pesan dan cara mengubah perilaku pada

pasien atau keluarga harus selalu dilakukan dengan pendidikan

kesehatan khususnya dalam keperawatan. Melalui pendidikan ini

diupayakan pasien tidak lagi mengalami gangguan yang sama dan

dapat mengubah perilaku yang tidak sehat. Contoh dari peran

perawat sebagai pendidik yaitu keseluruhan tujuan penyuluhan

pasien dan keluarga adalah untuk meminimalkan stres pasien dan

keluarga, mengajarkan mereka tentang terapi dan asuhan

keperawatan di rumah sakit, dan memastikan keluarga dapat


16

memberikan asuhan yang sesuai di rumah saat pulang (Kyle &

Carman, 2015).
3) Peran Sebagai Pengelola atau Manager
Perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam

mengelola pelayanan kesehatan maupun pendidikan kesehatan

yang berada dibawah tanggung jawabnya. Perawat sebagai

pengelola memiliki peranan dalam memantau dan menjamin

kualitas pelayanan atau asuhan keperawatan yang diberikan kepada

klien serta mengorganisasi dan mengendalikan sistem pelayanan

kesehatan. Peranan perawat dalam mengelola pendidikan yaitu

memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan

dengan menjaga kualitas pendidikan (Gaffar 1999 dalam

Rohmawati 2015).
4) Peran Sebagai Peneliti
Perawat sebagai peneliti dibidang keperawatan diharapkan

mampu mengidentifikasi masalah penelitian, menerapkan prinsip

dan metode penelitian serta memanfaatkan hasil penelitian guna

untuk meningkatkan mutuasuhan keperawatan, pelayanan

kesehatan serta pendidikan keperawatan (Gaffar 1999 dalam

Rohmawati 2015).

5) Peran Sebagai Counsellor


Perawat bertindak sebagai pemberi bimbingan atau

konseling kepada klien. Tugas utama perawat dalam memberikan

konseling adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi klien

terhadap keadaan sehat sakitnya. Konseling kesehatan yang


17

diberikan kepada individu atau keluarga disesuaikan dengan

prioritas. Konseling diberikan kepada individu atau keluarga dalam

mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan pengalaman masa

lalu, pemecahan masalah difokuskan pada masalah keperawatan

dan merubah perilaku hidup kearah perilaku hidup sehat (Kusnanto

2009 dalam Rohmawati 2015).

6) Peran Sebagai Collabolator

Perawat sebagai anggota tim kesehatan dituntut untuk

bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain maupun keluarga klien

untuk menentukan rencana pelaksanaan asuhan keperawatan guna

memenuhi kebutuhan kesehatan klien (Kusnanto, 2009 dalam

Rohmawati 2015).

Kolaborasi merupakan tindakan kerja sama dalam

menentukan tindakan yang akan dilaksanakan oleh perawat dengan

tim kesehatan lain. Pelayanan keperawatan pasientidak

dilaksanakan secara mandiri oleh tim perawat tetapi harus

melibatkan tim kesehatan lain seperti dokter, ahli gizi, psikolog dan

lain-lain.

Menurut Puspita (2014) peran perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan secara komprehensif sebagai upaya

memberikan kenyamanan dan kepuasan pada pasien, meliputi:

a) Caring merupakan suatu sikap rasa peduli, hormat, menghargai

orang lain, artinya memberi perhatian dan mempelajari


18

kesukaan-kesukaan seseorang dan bagaimana seseorang

berpikir dan bertindak.

b) Sharing artinya perawat senantiasa berbagi pengalaman dan

ilmu atau berdiskusi dengan pasiennya.

c) Laughing artinya senyum menjadi modal utama bagi seorang

perawat untuk meningkatkan rasa nyaman pasien.

d) Crying artinya perawat dapat menerima respon emosional baik

dari pasien maupun perawat lain sebagai suatu hal yang biasa

disaat senang ataupun duka.

e) Touching artinya sentuhan yang bersifat fisik maupun

psikologis merupakan komunikasi simpatis yang memiliki

makna.

f) Helping artinya perawat siap membantu dengan asuhan

keperawatannya.

g) Believing in others artinya perawat meyakini bahwa orang lain

memiliki hasrat dan kemampuan untuk selalu meningkatkan

derajat kesehatannya.

h) Learning artinya perawat selalu belajar dan mengembangkan

diri dan keterampilannya.

i) Respecting artinya memperlihatkan rasa hormat dan

penghargaan terhadap orang lain dengan menjaga kerahasiaan

pasien kepada yang tidak berhak mengetahuinya.

j) Listening artinya mau mendengar keluhan pasiennya.


19

k) Feeling artinya perawat dapat menerima, merasakan, dan

memahami perasaan duka, senang, frustasi dan rasa puas

pasien.

c. Fungsi Perawat

Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu

sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang dilakukan berguna

untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki,

aktifitas ini dilakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan

kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses keperawatan

yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (diagnosa

keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi (Aisiah, 2012).

Fungsi perawat dapat dijelaskan sebagai berikut ini:

1) Fungsi independen, merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung

pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya

dilaksanakan sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan

tindakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.

2) Fungsi dependen, merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan

kegiatan atas pesan atau instruksi dari perawat lain. Fungsi

interdependen, fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang

bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan lainnya.

3. Tinjaun Umum tentang Tuberculosis

a. Pengertian Tuberculosis
20

Tuberculosis (TBC) adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis kompleks yang

yang secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan

menimbulkan nekrosis jaringan (Muttaqin, 2014). Tuberculosis Paru

merupakan penyakit infeksius yang menular yang disebabkan oleh

basil Mycobacterium tuberculosis yang merupakan salah satu penyakit

saluran pernafasan bagian bawah yang sebagian besar basil

Tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection

dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer

dan ghon (Hood Alsagaff, 1995, hal 301 dalam Buku Keperawatan

Medikal Bedah Jilid 1, 2013). Sebagian besar kuman ini menyerang

paru, tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya seperti

meningen, ginjal, tulang dan nodus limfe (Somantri, 2007 dalam

Handuto 2016).

b. Etiologi

Penyebab penyakit Tuberculosis paru adalah mycobacterium

tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau

agak bengkok dengan ukuran 0,2-0,4 x 1-4 mm. Bakteri tersebut

mempunyai sifat istimewa, yaitu tahan terhadap pencucian warna

dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan asam

(BTA). Kuman tuberculosis juga bersifat dorman dan aerob.

Mycobacterium tuberculosis akan mati pada pemanasan 100°C selama

5-10 menit sedangkan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik.


21

Bakteri tersebut tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang

lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap

sinar atau aliran udara (Masriadi, 2014).

c. Patofisiologi Tuberculosis

Penularan terjadi karenaa kuman dibatuk atau dibersinkan

keluar menjadi droflet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat

menetap dalam udara bebes selama 1-2 jam, tergantung ada atau

tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan kelembapan. Dalam

suasana yang gelap dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari-

hari bahkan berbulan, bila partikel infeksi ini terhirup oleh orang yang

sehat pad alveoli kemudian partikel ini berkembang bisa sampai

puncak apeks paru sebelah kanan atau kiri dan dapat pula kedua

dengan melewati pembuluh ime, basil berpindah ke bagian paru-paru

yang lain atau jaringan tubuh yang lain (Taqiyyah dan Jauhar, 2013).

Setelah itu akan menyebar melalui sirkulasi, yang pertama

terangsang adalah limfokirase, yaitu akan dibetuk lebih banyak untuk

merangsang macrophage, berkurang tidaknya jumlah kuman

tergantung pada jumlah macrophage. Karena fungsinya adalah

membunuh kuman/basil apabila proses ini berhasil dan macrophage

lebih banyak maka klien akan sembuh daya tahan tubuhnya akan

meningkat. Tapi apabila tubuhnya menurun maka kuman akan

bersarang didalam jaringan paru-paru dan dengan membentuk tuberkel

(biji-biji kecil sebesar kepala jarum) tuberkel lama-kelamaan akan


22

bertambah besar dan bergabung menjadi satu dan lama-lama timbul

perkejuan ditempat tersebut. Apabila jaringan yang nekrosis

dikeluarkan saat penderita batuk yang menyebabkan pembuluh darah

pecah maka klien akan batuk darah/hemaptoe (Taqiyyah dan Jauhar,

2013).

Yang mana batuk darah itu adalah darah atau dahak berdarah

yang dibatukkan berasal dari saluran pernafasan bawah yaitu mulai

dari glottis kearah distal, akan berhenti sendiri jika asal robekan

pembuluh darah tidak luas, sehingga penutupan luka dengan cepat

terjadi (Hood Alsagaff, 1995, hal 301 dalam Buku Keperawatan

Medikal Bedah Jilid 1, 2013).

d. Gejala-gejala Tuberculosis
Gejala utama penyakit Tuberculosis yaitu batuk berdahak

selama 2 sampai 3 minggu lebih. Batuk dapat diikuti gejala tambahan

yaitu dahak bercampur darah, batuk berdarah, sesak nafas, badan

lemas, nafsu makan turun, berat badan menurun, malaise, berkeringat

malam tanpa melakukan aktivitas fisik, demam meriang lebih dari satu

bulan. Gejala tambahan yang lain yaitu sesak nafas disertai nyeri dada

(Asih dan Effendy, 2013).

e. Penularan dan Faktor-Faktor Risiko

Tuberculosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi

melalui udara. Individu terinfeksi melalui berbicara, batuk, bersin dan

tertawa, melepaskan droplet. Droplet yang besar menetap, sementara


23

droplet yang kecil akan tertahan di udara dan terhirup oleh individu

yang rentan. Individu yang berisiko tinggi untuk tertular Tuberculosis

yaitu :

1) Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang menderita

Tuberculosis paru yang aktif.

2) Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien kanker, mereka

yang dalam terapi kortikostiroid atau mereka yang terinfeksi

dengan HIV).

3) Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat seperti,

tunawisma dan tahanan.

4) Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada

sebelumnya seperti, diabetes, gagal ginjal kronik dan kekurangan

gizi.

5) Setiap individu yang tinggal di institusi seperti, fasilitas perawatan

jangka panjang dan penjara.

6) Individu yang tinggal di daerah perumahan yang kumuh.

7) Petugas kesehatan.

f. Diagnosis Tuberculosis

Diagnosis Tuberculosis ditegakkan dengan pemeriksaan

spesimen dahakpada penderita yang diduga suspek TBC, pemeriksaan

spesimen ini dilakukanpada 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,

yaitu sewaktu - pagi- sewaktu (SPS) dengan rincian sewaktu/spot

(dahak sewaktu saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), sewaktu /


24

spot (pada saat mengantarkan dahak pagi). Diagnosis TB Paru pada

orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TBC (BTA).

Pada program TBC nasional, penemuan BTA dilakukan melalui

pemeriksaan dahak mikroskopis yang merupakan diagnosis utama.

Pemeriksaan lain yang menunjang penegakan diagnosis yaitu

dilakukan foto toraks, biakan kuman dan uji kepekaan yang

disesuaikan dengan indikasi. Mendiagnosis TBC hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja tidak dibenarkan karena foto toraks tidak

selalum memberikan gambaran yang khas pada TBC sehingga kadang

kala sering terjadi overdiagnosis. Pendiagnosisan untuk TBC ekstra

paru yaitu didasarkan pada gejala dan keluhan yang tergantung pada

organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada TBC Meningitis, nyeri

dada pada TBC pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe

superfisialis pada TBC limfadenitis dan deformitas tulang belakang

(gibbus) pada TBC spondilitis (Depkes RI, 2013).

g. Pengobatan Tuberculosis

Pengobatan TBC bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah terjadinya kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan

rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap

Obat Anti Tuberculosis (OAT). Pengobatan TBC penderita dewasa

dibagi menjadi beberapa kategori antara lain:


25

1) Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Pada tahap intensif pengobatan TBC terdiri dari Isoniazid (H),

Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E). Obat-obat

(2HRZE) tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan yaitu selama

56 hari. Kemudian diteruskan dengan pengobatan tahap lanjutan

yang terdiri dari Isoniazid (H) dan Rifampisin (R), obat-obat

(4H3R3) tersebut diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4

bulan yaitu selama 16 minggu. Pada OAT ini diberikan pada paien

baru yaitu:

a) Pasien baru TB paru BTA positif

b) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.

c) Pasien TB ekstra paru.

2) Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Pada tahap intensif ini diberikan obat Isoniazid (H), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E) selama 3 bulan. Dua bulan

pertama selama 56 hari diberikan obat-obat (2HRZES) yaitu

Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E)

yang diberikan setiap hari ditambah suntikan streptomisin setiap

harinya di Unit Pelayanan Kesehatan. Kemudian diteruskan dengan

konsumsi obat (HRZE) yaitu Isoniazid (H), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E) yang diberikan setiap hari

selama 1 bulan yaitu 28 hari. Selanjutnya dilakukan pengobatan

lanjutan (5H3R3E3) yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R)


26

dan Ethambutol (E) yang diberikan tiga kali dalam seminggu, obat-

obat ini diberikan selama 5 bulan yaitu selama 20 minggu. Paduan

OAT kategori- 2 ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah

diobati sebelumnya yaitu:

a) Penderita kambuh (relaps)

b) Penderita gagal (failure)

c) Penderita dengan pengobatan setelah putus obat ( default).

3) OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT sama dengan paduan paket tahap intensif

kategori-1 yang diberikan selama 28 hari. Pengobatan ini terdiri

dari obat (HRZE) yaitu Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid

(Z) dan Ethambutol (E) yang diberikan setiap hari selama 1 bulan

yaitu 28 hari.

h. Evaluasi Pengobatan

Evaluasi pengobatan pada pasien Tuberulosis paru terdiri dari

enam evaluasi, antara lain:

1) Evaluasi klinis terdiri dari:

a) Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama, pada

pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan.

b) Evaluasi yang dilakukan meliputi respon pengobatan dan ada

tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi

penyakit.
27

c) Evaluasi klinis yang dilakukan meliputi keluhan, berat badan,

pemeriksaan fisik.

2) Evaluasi bakteriologis dilakukan selama 0-2-6/9 bulan pengobatan.

Tujuan evaluasi ini untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.

Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis ini dilakukan

saat sebelum pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan

(setelah fase intensif) dan pada akhir pengobatan. Pada evaluasi

bakteriologis, bila ada fasilitas biakan maka dilakukan pemeriksaan

biakan dan uji resistensi.

3) Evaluasi radiologi dilakukan selama 0-2-6/9 bulan pengobatan.

Evaluasi radiologi meliputi pemeriksaan dan evaluasi foto toraks

yang dilakukan saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan

pengobatan (kecuali pada kasus yangkemungkinan diduga adanya

keganasan dapat dilakukan pada 1 bulan pengobatan) dan

dilakukan pada akhir pengobatan.

4) Evaluasi efek samping secara klinis dilakukan bila pada evaluasi

klinis dicurigai terdapat efek samping. Pada kasus yang demikian

maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya

dan dilakukan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.

5) Evaluasi keteraturan berobat dilakukan untuk memastikan

keteraturan berobat mengenai diminum/tidaknya obat tersebut,

dikarenakan ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya

masalah resistensi bakteri TBC terhadap obat.


28

i. Hasil Pengobatan Pasien TBC BTA Positif

Hasil pengobatan pasien TBC BTA positif (Depkes RI, 2013),

antara lain:

1) Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan

pemeriksaanapusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada

akhir pengobatan (AP) dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

2) Pengobatan Lengkap

Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi

tidak adahasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada akhir

pengobatan (AP) dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

3) Meninggal

Pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab

apapun.

4) Putus Berobat (Default)

Pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum

masapengobatannya selesai.

5) Gagal

Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

6) Pindah (Transfer Out)

Pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan ( register)

lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.


29

j. Pelaksanaan dan Kendala Program Pengendalian TBC (DOTS) di

Indonesia

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah

strategi untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TBC yang

dilaksanakan pada pelayanan kesehatan dasar di dunia. Strategi DOTS

terdiri beberapa komponen antara lain:

1) Komitmen politis.

2) Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TBC

dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan

langsung pengobatan.

4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

5) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan

penilaian terhadap hasil pengobatan pasien TBC dan kinerja

program secara keseluruhan.

Fokus utama strategi DOTS adalah penemuan dan

penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TBC tipe

menular. Strategi ini diharapkan akan memutuskan rantai penularan

TBC dan dengan demikian akan menurunkan angka insidens TBC di

masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara

terbaik dalam upaya pencegahan penularan TBC keseluruhan (Depkes

RI, 2013).
30

Target utama stop TBC yang dicanangkan Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia (2011) yaitu Indonesia di tahun 2015

diharapkan prevalensi dan mortalitas akibat TBC berkurang sebesar

50% dibandingkan tahun 1990, dan setidaknya 70% orang yang

terinfeksi TBC dapat dideteksi dengan strategi DOTS serta 85%

penderita dinyatakan sembuh. Selain itu, di tahun 2050 diharapkan

bahwa TBC bukan lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat global.

Pelaksanaan program pengendalian TBC di Indonesia,

dilakukan sejak tahun 1994. Hal ini diawali dengan kerjasama antara

pemerintah Indonesia dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang

melaksanakan evaluasi bersama dan menghasilkan rekomendasi

DOTS. Sejak DOTS diterapkan secara intensif maka didapat hasil

tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus TBC telah ditemukan dan

diobati (data awal Mei 2010), serta lebih dari 169.213 diantaranya

terdeteksi BTA positif. Kasus TBC dengan BTA negatif sedikit

meningkat dari 56% pada tahun 2008 menjadi 59% pada tahun 2009.

Case Notification Rateuntuk TBC BTA positif adalah 73 per 100.000

penduduk (Case Detection Rate73%). Rerata pencapaian angka

keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90%

ditahun 2009 dan pada tahun 2008 mencapai 91%. Berdasarkan hasil

tersebut maka disimpulkan bahwa program DOTS mengalami

penurunan angka keberhasilan yang semula 91% ditahun 2008 menjadi

90% ditahun 2009. Penurunan pencapaian angka keberhasilan ini,


31

dimungkinkan karena adanya kendala dalam pelaksanaan strategi

DOTS. Berikut ini beberapa kendala dalam pelaksanaan DOTS antara

lan:

1) Adanya peningkatan resistensi OAT pada penderita TBC.

2) Jenis penyedia pelayanan TBC yang sangat beragam dan

penatalaksanaan TB yang bervariasi.

3) Kurangnya pengendalian infeksi TBC di fasilitas kesehatan.

4) Kurangnya pendanaan stategi regulasi pengendalian TBC.

5) Kurangnya pelatihan strategi DOTS bagi para staf kesehatan.

6) Keterbatasan jumlah staf kesehatan.

B. Kerangka Teori
Konsep Peran Perawat:
Konsep motivasi sembuh
1. Peran Perawat
a. care giver
1. Pengertian Motivasi
b. Educator/pendidik 2. Motivasi Sembuh
c. Manager 3. Aspek-Aspek Motivasi
d. Konselor
e. Kolaborasi
f. Peneliti
(Asmadi, 2006; Kusnanto, a. Memiliki sikap positif;
b. Berorientasi pada
2004; Gaffar, L. O. J., 1999).
pencapaian tujuan;
c. Kekuatan yang
mendorong individu.
4. Jenis – jenis Motivasi
(Saam dan Wahyuni, 2013.
32

Pelaksanaan dan Pengendalian TB Paru

C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari masalah yang diteliti

dan kebenarannya akan dibuktikan melalui penelitian (Notoatmodjo, 2012).

1. Hipotesis nol (Ho) : tidak ada hubungan peran perawat dengan motivasi

sembuh pada pasien Tuberculosis Paru di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar.

2. Hipotesis alternatif (Ha) : ada hubungan peran perawat dengan motivasi

sembuh pada pasien Tuberculosis Paru di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar.

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep
Peran Perawat meliputi :

1. Pelaksana/Care giver
2. Pendidik /Educator
3. Pengelola/Manager
4. Consellor
5. Kolaborasi
33

Motivasi Sembuh pada


Pasien Tuberculosis

Keterangan :

: Variabel independen

: Variabel dependen

: Garis hubungan

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
34

Pada penelitian ini menggunakan jenis penelitian Observasional

Analitik dengan menggunakan pendekatan waktu secara Cross Sectional.

Penelitian dengan pendekatan cross sectional dilakukan pengukuran dan

pengumpulan data pada variabel sebab dan akibat yang dilakukan sesaat

dalam satu kali waktu (Notoatmodjo, 2012). Pada penelitian ini, peneliti

melakukan pengukuran variabel independen dan dependen yang kemudian

dilakukan analisis terhadap data yang terkumpul untuk mencari hubungan

antar variabel. Variabel dalam penelitian ini antara lain variabel independen

yaitu peran perawat dan variabel dependen yaitu motivasi sembuh pasien

Tuberculosis paru.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi
Populasi adalah seluruh subyek atau data dengan karakteristik

tertentu yang akan diteliti, yang digunakan dalam penelitian ini adalah

semua pasien Tuberculosis paru yang dirawat jalan di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat Makassar pada bulan Juni tahun 2018

sebanyak 35 orang pasien.

2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien Tuberculosis

Paru yang di Rawat Jalan pada bulan Juni di Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar sebanyak 35 orang.


3. Sampling
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah Total

sampling, dimana suatu teknik penarikan sampel yang jumlah sampelnya

sama dengan jumlah populasi sebanyak 35. Alasan mengambil Total


35

sampling karena menurut (Sugiono, 2016), jumlah populasi yang kurang

dari 100 seluruh populasi dijadikan sampel penelitian semuanya.

C. Variabel Penelitian

Adapun pada penelitian ini yaitu :

1. Variabel Bebas di sebut juga dengan variabel Independen yaitu variabel

yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya

variabel Dependen (terikat). Adapun dalam penelitian yang mejadi

variabel Indenpenden (bebas) yaitu Peran Perawat.

2. Variabel terikat disebut juga dengan variabel dependen yang merupakan

sebuah aspek yang telah diberstimulus. Variabel dependen merupakan

faktor yang diamati dan di ukur untuk menentukan efek variabel

independen. Adapun dalam penelitian ini yang menjadi variabel Dependen

(terikat) yaitu Motivasi Sembuh pada Pasien Tuberculosis Paru.

D. Definisi Operasional

No Konsep Indikator Cara Hasil Skala


Mengukur Ukur Ukur
dan Alat
Ukur
36

1 Independen Peran Perawat Menggunaka Baik : Likert


n lembar nila nilai
koesioner > 50 - 75
dengan cara
mengisi Cukup:
koesioner bila nilai
peran 25 – 50
perawat yang
terdiri dari 15 Kurang:
item bila nilai
Pertanyaan < 25
Yang terdiri
dari 5 pilihan
:
5. Selalu
4. Sering
3.Kadang-
kadang
2. Jarang
1.Tidak
pernah
2. Dependen Motivasi Menggunakan Tinggi: Likert
Sembuh pada koesioner bila nilai
Pasien dengan cara ≥ 37
Tuberculosis mengisi
koesioner
Paru Rendah:
motivasi
bila nilai
sembuh pada
pasien < 37
tuberculosis
paru yang
terdiri dari 15
item
pertanyaan.
Yang terdiri
dari 5
pilihan :
5.Sangat
setuju
4. Setuju
3.Kurang
setuju
2.Tidak
37

setuju
1.Sangat
tidak setuju

E. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

Makassar.
2. Waktu penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Juli – 27 Agustus Tahun

2018.

F. Etika Penelitian

1. Informed Consent (Persetujuan)


Memberikan penjelasan mengenai penjelasan mengenai penelitian

yang akan dilakukan meliputi tujuan dan mafaat penelitian, bagaimana

cara pelaksanaan dalam mengisi kuisioner (menjawab pertanyaan dalam

kuisioner). Setelah di beri penjelasan oleh peneliti, calon responden akan

memberikan surat persetujuan “Informed Consent” untuk di tanda tangani

sebagai persetujuan menjadi responden.


2. Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data tetapi

hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data tersebut.


3. Confidentiality (Kerahasiaan)
38

Kerahasiaan informasi responden di jamin oleh peneliti. Hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.

G. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

koesioner yang diisi oleh responden (Penderita) yang berada di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat Makassar. Setelah lembar persetujuan

ditandatangani oleh responden, peneliti menjelaskan kepada responden

tentang tujuan, manfaat dan prosedur penelitian serta cara mengisi lembar

koesioner dan setelah itu responden diminta untuk mengisi lembar koesioner

yang telah dibagikan oleh peneliti kepada responden. Pengumpulan data

dilakukan sekali dan dikumpul waktu itu juga. Peneliti memberi kesempatan

responden saat mengisi kuesioner untuk bertanya jika ada yang tidak

dimengerti, setelah seluruh kuesioner diisi maka langkah selanjutnya adalah

pengolahan data.

H. Teknik Pengumpulan Data

1. Data Primer
Data primer ialah data yang diperoleh peneliti secara langsung dari

individu ataupun perorangan melalui hasil pengisian koesioner dengan

menggunakan Skala Likert. Data primer dari penelitian ini diperoleh dari
39

data penyebaran kuesioner yang diisi langsung oleh pasien tarkait dengan

peran perawat dan motivasi sembuh pada pasien Tuberculosis Paru.


2. Data Sekunder
Data sekunder ialah data yang diperoleh peneliti dari pihak lain

seperti lembaga atau instansi yang secara rutin mengumpulkan data. Data

sekunder dalam penelitian ini ialah data jumlah pasien rawat jalan yang

diperoleh dari pihak Tim Balai Besar Kesehatan Paru Mayarakat

Makassar.
I. Pengolahan Data
1. Editing
Proses editing (penyuntingan data) dilakukan dengan memeriksa

setiap lembar kuesioner yang telah diisi mengenai kelengkapan data,

kesinambungan data dan keseragaman data.


2. Koding
Pada tahap ini yang dilakukan adalah pemberian nilai pada opsion

dari jawaban yang telah diisi dilapangan. Selanjutnya dibuat daftar

variabel yang ada dalam kuesioner. Apabila ada variabel yang tidak

diperlukan dalam kuesioner maka tidak lagi dimasukkan di dalam daftar

variabel. Selanjutnya untuk mempermudah pemasukan data maka dibuat

format koding, kemudian hasil koding kuesioner dipindahkan kedalam

tabel koding, dan pada saat itu data siap untuk dimasukkan kedalam

komputer.
3. Tabulasi
Setelah selesai pemberian nilai dilanjutkan dengan

mengelompokkan data ke dalam suatu tabel menurut sifat-sifat yang

dimiliki yang mana sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini dipakai

tabel distribusi frekuensi untuk memudahkan penganalisaan data yang

mana dapat berupa tabel sederhana atau tabel silang.


40

J. Analisa Data
1. Analisis Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil

penelitian. Analisis ini menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap

variabel yang diteliti.


2. Analisis Bivariat
Dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen

secara sendiri-sendiri dengan variabel dependen digunakan uji

komputerisasi (chi-square test).

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Lokasi Penelitian
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar

dahulunya bernama Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Makassar

yang didirikan pertama kali pada tanggal 27 Juni 1959 yang beralamat di

Jl. HOS. Cokroaminoto. Diresmikan pada tanggal 30 April 1960 oleh

Gubernur Sulawesi Selatan, A. Pangerang Dg. Rani sekaligus melantik

Dr. Med. RN. Tyagi yang berkebangsaan India sebagai Kepala Balai
41

Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4), beliau dibantu secara sukarela oleh

Dr. Med. WJ. Meyer yang berkebangsaan Jerman (1965-1995).


Adanya pengembangan kota, maka gedung BP4 dipindahkan ke

daerah pengembangan yaitu di Jl. A.P. Pettarani No.43 dan diresmikan

oleh Menteri Kesehatan pada tanggal 13 November 1993. Setelah

mengalami beberapa kali pergantian pimpinan, maka sejak tahun 2011

sampai pertengahan tahun 2015 dipimpin oleh dr. Sriwati Palaguna, Sp.A.,

MARS. Pada akhir tahun 2015 sampai sekarang dipimpin oleh

Syamsuridzal Bali, MBA. Perubahan nama BP4 menjadi Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar Provinsi Sulawesi

Selatan dimulai sejak tanggal 14 September 2005 berdasarkan Permenkes

RI No.1352/Menkes/PER/IX/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelaksana Teknis di Bidang Kesehatan Paru Masyarakat


2. Visi dan Misi
Visi
Menjadi Rumah Sakit Khusus Paru Kelas A Unggulan pada Tahun 2019.
Misi
a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan paru rujukan spesialistik dan

atau subspesialistik.
b. Menyelenggarakan promosi kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan

kemitraan.
c. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta penelitian di bidang

kesehatan paru.
d. Mewujudkan prinsip tata kelola yang baik dalam penatausahaan sumber

daya rumah sakit


Motto

“Melayani Dengan Ikhlas”


3. Fasilitas
42

Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar memiliki

fasilitas yang cukup memadai, terutama bangunan dan Fasilitas Pelayanan

BBKPM diantaranya :
a. IGD
b. Radiologi
c. Laboratorium
d. Ruang Rawat Inap
e. Apotek
f. Poliklinik TB
g. Poliklinik Non TB
h. Poliklinik Umum
i. Poliklinik Khusus
j. Ruang Fisioterapi
k. Ruang Sentra DOTS
l. Ruang Penyuluhan Kesehatan Masyarakat

B. Hasil Penelitian

1. Analisa Univariat

Setelah dilakukan pengumpulan data maka didapatkan data

karaktersitik responden berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur dan

tingkat pendidikan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :

a. Umur

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur

Umur Frekuensi Persentase (%)


15 - 24 Tahun 4 11,4
25 - 34 Tahun 7 20,0
35 – 44 Tahun 7 20,0
45 – 54 Tahun 9 25,7
55 – 64 Tahun 3 8,6
65 – 74 Tahun 5 14,3
Jumlah 35 100,0
Sumber : Data Primer 2018
43

Tabel tersebut menunjukkan bahwa pasien terbanyak yang

menderita TB Paru terdapat pada kelompok umur 45 – 54 tahun

dengan jumlah 9 orang (25,7 %) dan terendah pada kelompok umur

55- 64 tahun dengan jumlah 3 orang (8,6 %).

b. Jenis Kelamin
Tabel 5.2

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)


Laki-Laki 18 51,4
Perempuan 17 48,6
Jumlah 35 100,0
Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan Tabel 5.2 dapat diketahui, bahwa jenis kelamin

penderita TB paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat

Makassar dengan frekuensi responden yang masuk kategori Laki-laki

sebanyak 18 orang (51,4%) sedangkan untuk kategori Perempuan

sebanyak 17 orang (48,6%).


c. Pendidikan
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Frekuensi Persentase (%)


Tidak Tamat 3 8,6
SD 4 11,4
SMP 4 11,4
SMA 18 51,4
Sarjana 5 14,3
Pascasarjana 1 2,9
Jumlah 35 100,0
Sumber : Data Primer 2018
44

Berdasarkan Tabel 5.3 dapat diketahui, bahwa tingkat

pendidikan pasien menunjukkan bahwa presentase tertinggi ialah

berpendidikan SMA sebanyak 18 orang (51,4%) dan dibawahnya

yaitu Sarjana dengan total 5 orang (14,3%) dan yang paling sedikit

ialah berpendidikan pascasarjana sebanyak 1 orang (2,9%).

d. Peran Perawat

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Peran Perawat di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar
Peran Perawat Frekuensi Persentase (%)
Baik 13 37,1
Cukup 13 37,1
Kurang 9 25,7
Jumlah 35 100,0
Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa, distribusi data

tentang pelaksanaan peran perawat. Jumlah responden dengan

kategori pelaksanaan peran perawat yang tergolong baik sebanyak 13

orang (37,1%), jumlah responden dengan kategori pelaksanaan peran

perawat yang tergolong cukup sebanyak 13 orang (37,1%), dan

jumlah responden dengan kategori pelaksanaan peran perawat yang

tergolong kurang sebanyak 9 rorang (25,7%). Hasil penelitian pada

35 pasien menggambarkan bahwa sebagian besar responden sudah

mendapatkan peran perawat dengan baik dari perawat.

e. Motivasi Sembuh Pasien Tuberculosis paru

Tabel 5.5
45

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi Sembuh


pada Pasien Tuberculosis Paru di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Makassar
Motivasi Sembuh Frekuensi Persentase (%)
Tinggi 21 60,0
Rendah 14 40,0
Jumlah 35 100,0
Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa, data tentang

motivasi sembuh pasien Tuberculosis Paru di Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat Makassar. Jumlah responden dengan kategori tinggi

sebanyak 21 orang (60,0%) dan jumlah responden dengan kategori

rendah sebanyak 14 orang (40,0%). Hasil penelitian pada 35 pasien

menggambarkan sebagian besar responden memiliki motivasi tinggi

untuk sembuh.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel

independen (peran perawat) dengan variabel dependen (motivasi sembuh)

dengan menggunakan analisis Chi-Square yang di olah dengan sistem

komputerisasi. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.6
Hubungan Peran Perawat dengan Motivasi pada Sembuh Pasien
Tuberculosis Paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
Makassar

Motivasi Sembuh Total Nilai


Peran
Tinggi Rendah
Perawat
n % N % N % P
46

11 84,6 2 15,4 13 100


Baik

Cukup 9 69,2 4 30,8 13 100


0,002
Kurang 1 11,1 8 88,8 9 100
Total 21 60,0 14 40,0 35 100

Sumber : Data Primer 2018


Berdasarkan tabel 5.6 diperoleh data bahwa responden yang

mendapat pelaksanaan peran perawat kategori baik memiliki motivasi

sembuh yang tinggi sebesar 84,6% dan selebihnya memiliki motivasi

sembuh yang rendah sebesar 15,4%, sedangkan responden yang

mendapat pelaksanaan peran perawat kategori cukup memiliki motivasi

sembuh sebesar 69,2% selebihnya memiliki motivasi rendah sebesar

30,8% dan responden yang mendapat pelaksanaan peran perawat dengan

kategori kurang memiliki motivasi sembuh yang tinggi sebesar 11,1%

selebihnya memiliki motivasi rendah sebesar 88,8%.

C. Pembahasan

Pembahasan pada penelitian ini disajikan dalam bentuk narasi

berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh. Penjabaran dari pembahasan

penelitian yaitu karakteristik responden serta sesuai dengan tujuan penelitian

terdiri dari pelaksanaan peran perawat, motivasi sembuh pasien Tuberculosis

paru, dan hubungan peran perawat dengan motivasi sembuh pada pasien

Tuberculosis paru di ruang rawat jalan Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar
1. Analisa Univariat
a. Karakteristik Responden
47

Hasil penyajian data pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa usia

responden rata-rata berusia 45-54 tahun. Faktor karakteristik

responden yang dapat mempengaruhi seseorang terkena penyakit

Tuberculosis paru adalah usia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

rata-rata pasien yang terkena Tuberculosis paru ialah pada usia

produktif. Usia produktif merupakan rentang usia dimana seseorang

dapat berpenghasilan atau memenuhi kebutuhannya yaitu antara usia

15-64 tahun. Keadaan seseorang usia produktif berpeluang untuk

mudah tertular penyakit Tuberculosis paru, karena diduga ada

hubungannya dengan tingkat aktivitas dan pekerjaan. Pernyataan

tersebut didukung dengan hasil penelitian Panjaitan (2014), bahwa

seorang tenaga kerja produktif memungkinkan mudah tertular penyakit

Tuberculosis paru pada saat bekerja yang ditularkan dari penderita lain.
Salah satu indikator motivasi sembuh ialah berorientasi pada

tujuan, hal ini ditunjukkan dengan adanya tingkah laku yang diarahkan

pada kesembuhan. Tingkah laku yang mengarah pada kesembuhan dari

penderita Tuberculosis paru, salah satunya ditunjukkan dengan

perilaku patuh berobat. Perilaku patuh berobat tidak dipengaruhi oleh

faktor usia, pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan

Ariani, et al. (2015), menunjukkan hasil nilai p value= 0,066 lebih dari

α= 0,05 yang artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna bahwa

faktor umur bukan merupakan faktor penentu seorang untuk tidak

memiliki motivasi berobat karena penderita yang berusia muda

maupun usia lanjut memiliki motivasi untuk hidup sehat dan selalu
48

memperhatikan kesehatannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa usia tidak

mempengaruhi motivasi sembuh penderita Tuberculosis paru untuk

sembuh.
Penyajian data pada tabel 5.2 menggambarkan jenis kelamin

responden. Hasil penelitian didapat lebih dari 50% responden yang

terkena Tuberculosis paru ialah laki-laki sebesar 61,5% dan sisanya

sebesar 48,6% berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin merupakan

faktor yang mempengaruhi seseorang terkena Tuberculosis paru dan

hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian Tuberculosis paru

banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan, hal ini

dimungkinkan karena kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol

pada laki-laki. Laki-laki lebih beresiko terkena Tuberculosis paru

karena adanya perbedaan status (interaksi) sosial dan ekonomi antara

laki-laki dan perempuan, serta adanya perbedaan aktivitas sehari-hari

menyebabkan kemungkinan pajanan infeksi Tuberculosis paru lebih

banyak terhadap laki-laki (Panjaitan, 2015).


Penyajian tabel 5.3 menggambarkan bahwa latar belakang

pendidikan responden dalam penelitian ini, di dapat presentase

tertinggi ialah berpendidikan SMA dengan total 51,4% dan yang paling

sedikit ialah berpendidikan Pascasarjana dengan total 2,9%. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa dari tingkat pendidikan rendah ke

tinggi, didapat responden yang paling banyak terkena Tuberculosis

paru ialah berlatar pendidikan minim SMA. Hal ini dikarenakan faktor

rendahnya tingkat pendidikan responden, akan berpengaruh pada


49

pemahaman tentang penyakit Tuberculosis paru. Pernyataan ini

diperkuat dengan hasil penelitian Erawatyningsih, et al. (2011), bahwa

semakin rendah tingkat pendidikan maka semakin tidak patuh

penderita untuk berobat karena pendidikan seseorang yang rendah

akan mempengaruhi daya serap seseorang dalam menerima informasi

sehingga dapat mempengaruhi tingkat pemahaman tentang penyakit

Tuberculosis paru, cara pengobatan, dan bahaya akibat minum obat

tidak teratur.
Pradita (2013), menyatakan bahwa tingkat pendidikan

seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang khususnya

dalam pembentukan perilaku yang mengarah pada motivasi sembuh.

Pernyataan tersebut juga sejalan dengan yang dikemukakan Panjaitan

(2014), bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan

seseorang diantaranya seseorang mengetahui tentang rumah dan

lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan, sehingga dengan

pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk

mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat.

b. Pelaksanaan Peran Perawat di Balai Besar Kesehatan Masyarakat

Makassar

Penelitian menunjukkan jumlah responden yang mendapatkan

pelaksanaan peran perawat dengan baik sebesar 37,1% dan selebihnya

mendapatkan pelaksanaan peran perawat dengan kategori kurang

sebesar 26,7%. Hasil penelitian pada 35 pasien menggambarkan bahwa


50

lebih dari 50 persen responden sudah mendapatkan peran perawat

dengan baik. Peran perawat berupa memberikan kesehatan kepada

klien (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) sebagai upaya

untuk menciptakan perilaku klien yang kondusif bagi kesehatan

(Pradita, 2013). Menyebutkan tiga area tanggung jawab perawat dalam

memberikan peran perawat kepada klien antara lain saat persiapan

klien dalam menerima perawatan, saat persiapan klien pulang dan

pencatatan aktivitas pada klien misalnya menuliskan catatan kesehatan

tertentu pada catatan kesehatan klien atau ringkasan pulang.

Faktor yang menghambat terlaksananya peran perawat dalam

memotivasi pasien untuk sembuh yaitu karakter pribadi perawat,

kurangnya ketersedian waktu pengajaran, jenis sistem dokumentasi

pendidikan pasien yang belum memadahi (Pradita, 2013). Karakter

pribadi perawat sangat penting dalam memainkan perannya dalam

menentukan hasil interaksi belajar-mengajar dalam proses kesehatan

kepada pasien. Motivasi perawat untuk mengajar merupakan faktor

utama penentu keberhasilan dalam kesembuhan pasien. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden menilai

pelaksanaan peran perawat dalam memotivasi sembuh pasien sudah

dalam kategori baik. Kurangnya ketersediaan waktu mengajar bagi

perawat merupakan halangan utama yang menghambat proses

pendidikan kepada pasien. Perawat memerlukan cara penggunaan

pendekatan yang singkat, efisien, tepat guna dalam memberikan


51

pendidikan kesehatan kepada pasien di lingkungan gawat darurat,

rawat jalan maupun rawat inap (Pradita,2013). Adanya kendala terkait

kurangnya ketersediaan waktu mengajar bagi perawat maka

dibutuhkan pemberian atau penyediaan leaflet bagi pasien di rawat

jalan maupun penyediaan poster yang ditempel di ruang rawat inap

dengan harapan dapat dibaca pasien sehingga pasien tetap

mendapatkan pemahaman informasi tentang Tuberculosis paru dan

pengobatannya. Jenis sistem dokumentasi pendidikan pasien yang

belum memadahi dan seringkali tanpa dilakukan dokumentasi saat

memberikan pendidikan kesehatan, dapat menghalangi komunikasi

antar pemberi perawatan kesehatan mengenai hal yang sudah diajarkan

maupun belum diajarkan). Jenis sistem pendokumentasian pendidikan

yang belum memadahi untuk memotivasi sembuh pasien maka sangat

penting dilakukan pencatatan khusus dokumentasi pendidikan

kesehatan, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya tumpang tindih

pemberian informasi sehingga harapannya pasien menerima penjelasan

pendidikan kesehatan secara lengkap.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi proses pengajaran yaitu

kondisi sakit pasien (Susilo, 2011), karakter peserta didik terkait

kesiapan belajar, tingkat pendidikan dan bahasa yang dimengerti.

Kondisi sakit pasien merupakan alasan yang menurunkan motivasi

pasien untuk menerima pengajaran sehingga perawat perlu

menyesuaikan dan mencari waktu yang tepat untuk memberikan


52

pendidikan kesehatan kepada pasien misalnya disaat pasien sudah

terlihat tenang dan nyaman dengan kondisinya. Bahasa juga menjadi

halangan untuk perawat dalam menyampaikan pendidikan kesehatan,

dikarenakan tidak semua pasien mengerti penggunaan bahasa

Indonesia. Karakteristik pasien yang dirawat, sebagian ada yang

menggunakan bahasa madura maupun jawa sehingga penting bagi

perawat melakukan pendekatan kepada keluarga sebagai mediator

penerjemah bahasa dalam penjelasan pendidikan kesehatan yang

dilakukan perawat.

c. Motivasi Sembuh Pada Pasien Tuberculosis di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat Makassar

Hasil penelitian menunjukkan 21 responden dengan kategori

memiliki motivasi sembuh yang tinggi dengan presentase sebesar

60,0% dan 14 responden dengan kategori memiliki motivasi sembuh

yang rendah dengan presentase sebesar 40,0%. Hasil penelitian pada

35 pasien menggambarkan hampir setengah responden memiliki

motivasi sembuh yang tinggi dari Tuberculosis Paru. Motivasi sembuh

pasien TB paru adalah kekuatan diri seseorang penderita sebagai

penggerak yang melatarbelakangi seseorang untuk berperilaku yang

mengarahkan pada tindakan penyembuhan atau pulih kembali serta

bebas dari penyakit yang dideritanya. Kekuatan ini berasal dari

keyakinan dalam diri individu maupun dari pihak luar lingkungan

sekitar yang dimaknai untuk kemudian dijadikan motif atau penggerak


53

bagi individu (Saam dan Wahyuni, 2012). Munculnya motif dari

lingkungan luar yang dapat dipelajari khususnya diperoleh dari peran

perawat sebagai educator tampak dalam indikator-indikator seseorang

yang termotivasi yaitu memiliki sikap positif, pencapaian tujuan yang

tinggi, serta timbulnya kekuatan yang mendorong seseorang untuk

melakukan sesuatu (Conger 1997 dalam Syasra, 2011).

Faktor lain yang dapat mempengaruhi motivasi seseorang

untuk mengarah pada kondisi sembuh yaitu keinginan lepas dari rasa

sakit yang mengganggu, merasa belum mengembangkan potensi yang

dimiliki, masih ingin menikmati prestasi yang diraih, masih memiliki

beberapa tanggungan yang harus diselesaikan dan merasa belum

banyak berbuat hal yang bermanfaat bagi orang lain. Yaffri (dalam

Syasra, 2011), menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

kesembuhan pasien ialah faktor mutu pelayanan kesehatan yang

mencakup sikap petugas kesehatan, pengetahuan penderita, dukungan

keluarga dan lingkungan. Mutu Pelayanan kesehatan dapat

mempengaruhi motivasi sembuh pasien Tuberculosis paru. Mutu

pelayanan kesehatan adalah kesesuaian antara pelayanan kesehatan

yang diberikan dengan hal yang dibutuhkan pasien atau kesesuaian

dengan ketentuan standar pelayanan (Sholihah, 2012). Hal ini

dibuktikan bahwa semakin bagus mutu pelayanan kesehatan maka

semakin tinggi kepuasan seseorang dalam menerima pelayanan

kesehatan, sehingga menjadikan seseorang patuh untuk berobat.


54

Dukungan keluarga dan lingkungan serta pengetahuan penderita dapat

mempengaruhi motivasi sembuh pasien Tuberculosis Paru. Dukungan

keluarga dan lingkungan merupakan suatu dukungan sosial yang

memegang peranan penting dalam kehidupan penderita Tuberculosis

paru agar berjuang untuk sembuh (Sedjati, 2013). Hal ini

membuktikan bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka semakin

tinggi pula motivasi pasien untuk sembuh.

2. Analisa Bivariat

a. Hubungan Peran Perawat dengan Motivasi Sembuh Pasien

Tuberculosis Paru di Balai Besar Kesehatan Paru masyarakat

Makassar

Hubungan peran perawat dengan motivasi sembuh pasien

Tuberculosis paru di ruang rawat jalan Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar dianalisis dengan uji Chi-Square. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa peran perawat yang terlaksana dengan

baik akan memberikan motivasi sembuh yang tinggi sebanyak 11

responden dengen presentase sebesar 84,6%, akan tetapi sebanyak 2

responden dengan presentase sebesar 15,4% responden memiliki

motivasi sembuh yang rendah meskipun sudah menerima peran

perawat dengan baik. Menurut analisa peneliti, responden memiliki

motivasi sembuh yang tinggi karena perawat sudah melaksanakan

peran perawat dengan baik, namun sebaliknya responden memiliki

motivasi sembuh yang rendah meskipun perawat sudah melaksanakan


55

perannya dengan baik karena respoden tidak memahami penjelasan

yang telah disampaikan perawat. Faktor lain yang membuat pasien

memiliki motivasi yang rendah untuk sembuh yaitu kurangnya

dukungan keluarga, kurangnya dorongan dari dalam dirinya untuk

sembuh. Responden yang menerima peran perawat dengan kategori

cukup dan memiliki motivasi sembuh yang tinggi sebanyak 9

responden dengan presentase sebesar 69,2%, sedangkan responden

yang menerima peran perawat dengan kategori cukup dan memiliki

motivasi sembuh rendah sebanyak 4 responden dengan presentase

sebesar 30,8%. Berdasarkan analisa peneliti, responden memiliki

motivasi sembuh yang tinggi meskipun menerima pelaksanaan peran

perawat secara cukup karena responden merasa perawat sudah

memberikan pelayanan perawatan secara baik, dan responden juga

mempunyai dorongan dari dalam diri yang tinggi untuk sembuh serta

mendapat dukungan sembuh dari keluarga sehingga responden

memiliki motivasi yang tinggi untuk sembuh dari Tuberculosis paru,

sebaliknya responden yang memiliki motivasi sembuh yang rendah

dengan peran perawat yang cukup karena responden merasa kurang

jelas dengan hal yang disampaikan perawat. Responden yang

menerima peran perawat dengan kategori kurang dan memiliki

motivasi sembuh yang tinggi sebanyak 1 responden dengan presentase

sebesar 11,1%, sedangkan responden yang menerima peran perawat

dengan kategori cukup dan memiliki motivasi sembuh rendah


56

sebanyak 8 responden dengan presentase sebesar 88,8%. Berdasarkan

analisa peneliti, responden memiliki motivasi sembuh yang tinggi

meskipun menerima pelaksanaan peran perawat yang kurang karena

responden mempunyai kepercayaan diri yang tingi untuk sembuh serta

adanya dukungan dari keluarga sehingga responden termotivasi untuk

sembuh dari Tuberculosis paru, sebaliknya responden yang memiliki

motivasi sembuh yang rendah dengan peran perawat yang kurang

karena responden kurang mampu memahami infomasi yang diberikan

serta rendahnya kepercayaan diri dari responden untuk sembuh yang

diakibatkan dari kurangnya dukungan keluarga.

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value= 0,002 yang

artinya nilai p(value) lebih kecil dari α=0,05, maka hasil analisis

statistik dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara peran

perawat dengan motivasi sembuh pasien Tuberculosis paru di ruang

rawat jalan Balai Besar Kesehatan paru Masyarakat makassar.

Hubungan interpersonal antara perawat dan pasien dapat dilakukan

melalui komunikasi saat memberikan edukasi kesehatan. Jalinan

komunikasi yang dilakukan perawat, saat memberikan edukasi

kesehatan kepada pasien secara sadar akan memberikan dukungan

motivasi kesembuhan bagi pasien (Hardhiyani, 2013). Hal ini

didukung oleh hasil penelitian Sholihah (2012), menyatakan bahwa

peran perawat akan memberikan kenyamanan dan meningkatkan

motivasi kesembuhan pasien.


57

Motivasi sembuh ialah suatu daya dalam diri seseorang

sebagai pendorong maupun penggerak yang melatarbelakangi

seseorang untuk berperilaku yang mengarahkan pada tindakan

penyembuhan. Daya pendorong bagi seseorang untuk mencapai

kondisi kesembuhan salah satunya didapat dari dukungan perawat

melalui pemberian edukasi kesehatan. Dampak yang terjadi pada

seseorang penderita Tuberculosis Paru yang kurang termotivasi untuk

sembuh yaitu terjadinya kasus drop out pengobatan yang pada

akhirnya mengarah pada kejadian MDR (Multi Drug Resistance)

Kejadian ini disebabkan karena pasien tidak memiliki pengetahuan

tentang penyakit Tuberculosis Paru dan pengobatannya, sehingga

melalui edukasi harapannya dapat memberikan pengetahuan kepada

pasien. Pemberian pengetahuan kepada pasien bertujuan untuk

memotivasi sembuh pasien sehingga dapat mencegah terjadinya

kejadian MDR (Multi Drug Resistance).

Hasil penelitian Sholihah (2013), menyatakan bahwa motivasi

perawat menjalankan perannya kepada pasien ialah dipengaruhi oleh

faktor pemahaman dari seorang perawat mengenai pendidikan

kesehatan yang direncanakan untuk diberikan kepada pasien,

pemahaman perawat tentang manfaat memberikan kesehatan kepada

pasien. Hasil penelitiann tersebut juga menjelaskan mengenai manfaat

memberikan pendidikan kesehatan bagi perawat itu sendiri yaitu

sebagai upaya untuk meningkatkan kepuasan kerja, sehingga mutu


58

pelayanan yang diberikan akan memberikan kepuasan bagi pasien,

serta pengajaran yang diberikan perawat berpotensi untuk

meningkatkan terbinanya hubungan terapeutik dengan pasien.

Harapannya semakin tinggi motivasi kerja seorang perawat dalam

memberikan pelayanan maka semakin tinggi pula kinerja perawat

dalam melaksanakan perannya sebagai educator untuk memotivasi

pasien untuk sembuh.

D. Keterbatasan Peneliti

Hasil penelitian ini memiliki keterbatasan penelitian yaitu terkait

teknik pengumpulan data. Teknik pengumpulan data menggunakan instrumen

penelitian berupa kuesioner yang mengukur variabel peran perawat dan

motivasi sembuh pasien Tuberculosis paru. Kuesioner variabel peran perawat

diberikan kepada pasien untuk mengukur pelaksanaan peran perawat dengan

alasan pasien berhak menilai pelaksaan peran perawat yang diterima pasien.

Pengumpulan data menggunakan kuesioner cenderung bersifat subyektif

sehingga kejujuran responden menentukan kebenaran data yang diberikan.

Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya bisa digunakan teknik

observasi sebagai validasi untuk mengetahui pelaksanaan peran perawat

terkait memotivasi pasien Tuberculosis Paru untuk sembuh dengan tujuan

untuk memaksimalkan pengambilan data. Pengukuran dilakukan satu kali

pengamatan. Peneliti tidak melakukan pengukuran ulang terhadap motivasi

sembuh pasien Tuberculosis Paru, hal ini disebabkan karena desain penelitian

yang digunakan oleh peneliti adalah cross sectional, sehingga peneliti


59

memiliki keterbatasan untuk melakukan pengukuran ulang. Penelitian

selanjutnya lebih baik tidak hanya melakukan pengumpulan datakepada

pasien namun sebaiknya juga dilakukan secara wawancara kepada keluarga

yang mendampingi pasien untuk mengetahui motivasi pasien untuk sembuh.


60

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan penelitian yang dilakukan di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut.
1. Pelaksanaan peran perawat lebih dari setengahnya dinilai baik oleh

responden.
2. Motivasi sembuh pasien Tuberculosis paru menunjukkan lebih dari

setengahnya responden memiliki motivasi sembuh yang tinggi.


3. Ada hubungan yang signifikan antara peran perawat dengan motivasi

sembuh pada pasien Tuberculosis Paru di Ruang Balai Besar Kesehatan

Paru Masyarakat Makassar dengan menunjukkan nilai p value = 0,002

dimana nilai p value ini < dari nilai α = 0,05 yang berarti hipotesis Ha

diterima.
B. Saran
Penelitian ini, selain memberikan kesimpulan hasil penelitian juga

memberikan saran pada berbagai pihak untuk dapat memotivasi sembuh

pasien Tuberculosis Paru, saran–saran tersebut antara lain sebagai berikut.


1. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi bagi perawat

yang bergerak di bidang pendidikan untuk menjadi bahan ajar pada

penyampaian materi perkuliahan keperawatan dasar dengan topik peran

perawat, sehingga harapannya dapat menghasilkan generasi-generasi

perawat dengan wawasan yang luas dan dapat dijadikan bekal bagi

mahasiswa kesehatan yang sedang menempuh jenjang perguruan tinggi.


61

Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi penelitian

selanjutnya dalam keperawatan dasar.


2. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bahan pertimbangan

rumah sakit untuk digunakan dalam merancang kebijakan pelayanan

keperawatan dengan menentukan standar operasional peran perawat

melalui inovasi teknik pembelajaran yang mengaktifkan pasien serta

melakukan pelatihan berkelanjutan, mengadakan seminar di lingkungan

internal rumah sakit dengan mendatangkan ahli-ahli keperawatan bagi

perawat khususnya untuk meningkatkan perannya. Tim komite

keperawatan diharapkan dapat lebih aktif melakukan evaluasi secara

berkala mengenai pelaksanaan peran perawat, tidak hanya melakukan skill

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan melainkan evaluasi

terhadap peran perawat dalam memberikan pendidikan sebagai upaya

dalam mencegah terjadinya kasus MDR (Multi Drug Resistance) pada

pasien Tuberculosis paru.


3. Bagi Keperawatan
Perawat diharapkan meningkatkan pengetahuannya dalam

memberikan motivasi sembuh bagi pasien Tuberculosis paru melalui

perannya dalam memberikan informasi kepada pasien tentang

Tuberculosis paru, pengobatan dan pencegahannya serta cara mengatasi

efek samping pengobatanagar dapat meningkatkan kualitas pelayanan

keperawatan kepada pasien, sehinggaharapannya peran perawat dapat

mencegah terjadinya kasus MDR (Multi Drug Resistance) pada pasien

Tuberculosis paru. Perawat juga perlu meletakkan media pembelajaran


62

seperti poster yang ditempel di dinding ruang rawat jalan serta meletakkan

leaflet di ruang rawat jalan sebagai media pembelajaran untuk

menyampaikan informasi tentang Tuberculosis paru kepada pasien.


4. Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat peduli dan berperan aktif dalam

memotivasi sembuh pasien Tuberculosis Paru. Peran aktif masyarakat

harapannya tidak mendeskriminasikan keberadaan pasien, utamanya

keluarga sebagai pendamping pasien diharapkan dapat memberikan

perhatian motivasi sembuh bagi pasien. Peran keluarga dalam memotivasi

pasien untuk sembuh dapat ditunjukkan melalui sikap peduli keluarga

dalam memantau pasien untuk minum obat secara teratur, memenuhi

asupan gizi pasien, menyediakan pembuangan dahak dan menyarankan

pasien untuk memakai masker.


5. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini menambah pengetahuan dan wawasan mengenai

teori dan konsep tentang motivasi sembuh pasien, penelitian lanjutan perlu

dilakukan untuk lebih menyempurnakan pembahasan dengan melakukan

penelitian lain terkait faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi sembuh

pasien Tuberculosis paru. Saran lain bagi peneliti selanjutnya adalah perlu

dilakukan penelitian secara observasi dalam kegiatan pelaksanaan peran

perawat, serta perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan peran perawat.


63

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Siti, dkk.2012. Perkembangan dan Konsep Dasar Keperawatan.


Tanggerang Selatan: Universitas Terbuka

Ariani, N, W, 2015. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Keteraturan


Minum Obat Penderita Tuberculosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas
Modayang, Kabupaten Bolang Mongondow Timur. JIKMU, 5 (2).
Asih N.Y. dan Effendy, C. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: EGC.
Asmadi. 2012. Konsep dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.

Bastable, S. B. 2002. Perawat Sebagai Pendidik. Jakarta: EGC.


64

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan pertama edisi II . Jakarta: Depkes
RI

Dinas Kesehatan Kota Makassar. 2017. Jumlah Penderita Penyakit TBC dan
Pneumonia Kota Makassar. Dinkeskotamakassar.com/._Tabel_
Lampiran.ProfilDinkes2017.pdf [Diakses tanggal 26 Juni 2018]

Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan. 2017. Data dan Informasi Kesehatan Provinsi
Sulawesi Selatan. Serial online. www.depkes.go.id/resources/.../15_
Profil_Kes.Prov.SulawesiSelatan_2017.pdf [Diakses tanggal 26 Juni
2018].

Efendi, F. dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan


Praktek dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Erawatyningsih, P, 2011, Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan


Berobat Pada Penderita Tuberkulosisi Paru. Jurnal Berita Kedokteran
Masyarakat (BKM), 25(3),p.117.

Febrian, M.A 2015. Jurnal Ilmu Keperawatan Volume III, No.2. Faktor-Faktor
yang berhubungan dengan Kejadian TB Paru Anak di Wilayah Puskesmas
Garuda Kota Bandung. 64-79

Friskarini, K. dan Manalu. H. S. P. 2015. Peran dan Perilaku Tenaga Kesehatan


Terhadap Program TB Paru. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol 9. No. 4.
Banten: Tangerang.

Gaffar, L. J. 1999. Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta: EGC.

Handuto, AF. (2016) jurnal Kebermaknaan Hidup Pada Penderita


Tuberkulosis Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru. Bendosari.
Universitas Muhammadiyah Surakarta: 2016 Serial Online
http://eprints.undip.ac.id/48247/ . Diakses 26 Juni 2018

Hardhiyani, R. 2013. Hubungan Komunikasi Therapeutic Perawat Dengan


Motivasi Sembuh pada Pasien Rawat Inap di Ruang Melati Rumah Sakit
Umum Daerah Kalisari Batang. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri
Semarang. SerialOnline http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/23338 Diakses
26 Juni 2018

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil Kesehatan Indonesia.


Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. http://www.depkes.
go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-
Kesehatan-Indonesia-2016.pdf Diakses 28 Juni 2018
65

Kyle,T & Carman, S. 2015. Buku Ajar Keperawatan edisi 2. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

Lasmito, W & Rachma. 2014 Motivasi Perawat Melakukan Pendidikan


Kesehatan Di Ruang Anggrek RS Tugurejo Semarang. Semarang:
Universitas Diponegoro.
Masriadi 2014. Epidemiologi Penyakit Menular. Cetakan 1. Jakarta: Rajawali
Pers.

Muttaqin, Arif. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo. S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Panjaitan N. 2014. Karakteristik penderita Tuberculosis Paru Dewasa rawat inap


di RS Umum Dr. Soedarso periode September-November 2010. Program
Studi Pendidikan Dokter Universitas Tanjung Pura Pontianak. Naskah
publikasi Universitas Tanjung Pura Pontianak.

Potter, P.A. dan Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:Konsep,
Proses, dan Praktik. Edisi 4. Volume 1. Alih bahasa: Yasmin Asih,dkk.
Jakarta: EGC

Pradita. B. 2013. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Dengan Kepatuhan


Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis Oleh Pasien Tuberkulosis Paru Di
Instalasi Rawat Jalan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta
Tahun 2012. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah.
http://eprints.ums.ac.id/24192/11/NASKAH_PUBLIKASI.pdf

Puspita, R. A. 2014. Gambaran peran perawat dalam perawatan pasien TBC


Selama dirawat di RS. Paru dr. Ario Wirawan Salatiga. Diakses dari:
http:// repository.uksw.edu/handle/123456789/5314.Diakses 26 Juni 2018

Rachmawati, T. dan Turniani. 2014. Pengaruh Dukungan Sosial dan Pengetahuan


Penyakit TBC Terhadap Motivasi Untuk Sembuh Penderita Tubercolosis
Paru yang Berobat di Puskesmas. Jurnal Penelitian Sistem Kesehatan.
Surabaya: Puslitbang Sistem dan Kebijakan Kesehatan. Serial Online
http://ejournal.litbang.kemkes.go.id/index.php/hsr/article/view/1887
Diakses 29 Juni 2018

Rekam Medis Balai Besar Kesehtan Paru Masyarkat Makassar. 2018. Jumlah
Pasien TBC Rawat Inap. Makassar : SIMRS Paru Makassar.

Rohmawati R (2015) Hubungan Antara peran perawat Sebagai Educator


dengan Motivasi Kesembuhan Pasien Tuberculosis Di Kabupaten
Jember (Skripsi), Jember, Fakultas Keperawatan, Universitas Jember.
66

Saam, Zulfan dan Wahyuni,Sri. (2012). Psikologi Keperawatan. Jakarta: Rajawali


Pers

Sedjati , A. 2015. Faktor – Faktor Terjadinya Tuberkulosis . Jurnal Kesehatan


Masyarakat. Kemas 10 (2) (2013) 122 – 128. http://Journal.unnes.ac.id/
nju/index.php/kemas.

Somantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada


Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantatif Kualitatif dan R&D, Bandung:
Alfabeta

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Susilo, R. 2011. Pendidikan Kesehatan Dalam Keperawatan. Muha Medika.


YOgyakarta

Syasra, P. A. 2011. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga dengan


Motivasi Kesembuhan Pasien Tuberculosis di Kota Pekanbaru. Skripsi.
Pekanbaru: Universitas Islam Riau. [serial online] http://journal.uir.ac.id/
index.php/pdf/view/2365. Diakses 26 Juni 2018

Taqiyyah Bararah dan Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional Jilid 1. Jakarta : Pustakarya

Tim Penyusun, 2017. Panduan Skripsi Fakultas Keperawatan, Universitas


Indonesia Timur Makassar

Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992. [serial online]


www.tatanusa.co.id/nonkuhp/1992UU23.pdf. Diakses 20 Juni 2018

Widowati, H. 2013. Buku Saku Harrison Pulmonologi. Tangerang : Karisma


Pulisging Group

Wijaya , W. A danYessie , M . P. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Yogjakarta:


Nuha Medika

World Health Organization. 2017. World Health Statistics 2016.


Serialonline.www.who.int/gho/publications/world_health.../EN_WHS2016
_Full.pdf [Diakses tanggal 23 Juni 2018].
67

Frequencies

Statistics

umur jenis kelamin pendidikan

N Valid 35 35 35

Missing 0 0 0

Frequency Table
68

umur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 15-24 4 11,4 11,4 11,4

25-34 7 20,0 20,0 31,4

35-44 7 20,0 20,0 51,4

45-54 9 25,7 25,7 77,1

55-64 3 8,6 8,6 85,7

65-74 5 14,3 14,3 100,0

Total 35 100,0 100,0

jenis kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid laki-laki 18 51,4 51,4 51,4

perempuan 17 48,6 48,6 100,0

Total 35 100,0 100,0

pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid tidak tamat 3 8,6 8,6 8,6

SD 4 11,4 11,4 20,0

SMP 4 11,4 11,4 31,4

SMA 18 51,4 51,4 82,9

SARJANA 5 14,3 14,3 97,1

PASCA SARJANA 1 2,9 2,9 100,0

Total 35 100,0 100,0

Frequencies

Statistics
peran perawat motivasi sembuh

N Valid 35 35

Missing 0 0
69

Frequency Table

peran perawat
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Baik 13 37,1 37,1 37,1

Cukup 13 37,1 37,1 74,3

Kurang 9 25,7 25,7 100,0

Total 35 100,0 100,0

motivasi sembuh
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Tinggi 21 60,0 60,0 60,0

Rendah 14 40,0 40,0 100,0

Total 35 100,0 100,0

Crosstabs

CaseProcessing Summary
Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

peran perawat * motivasi 35 100,0% 0 ,0% 35 100,0%


sembuh
70

peran perawat * motivasi sembuh Crosstabulation


motivasi sembuh

tinggi rendah Total

peran perawat baik Count 11 2 13

Expected Count 7,8 5,2 13,0

% within peran perawat 84,6% 15,4% 100,0%

cukup Count 9 4 13

Expected Count 7,8 5,2 13,0

% within peran perawat 69,2% 30,8% 100,0%

kurang Count 1 8 9

Expected Count 5,4 3,6 9,0

% within peran perawat 11,1% 88,9% 100,0%


Total Count 21 14 35

Expected Count 21,0 14,0 35,0

% within peran perawat 60,0% 40,0% 100,0%

Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 12,707a 2 ,002


Likelihood Ratio 13,621 2 ,001
Linear-by-Linear Association 10,852 1 ,001
N of Valid Cases 35

a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,60.

Lampiran 1
71

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada:

Calon responden

Dengan hormat,

yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Salahuddin Saleh

NIM : 14.1101.054

Bermaksud akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan

peran perawat dengan motivasi sembuh pada pasien Tuberculosis Paru di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar”. Penelitian ini tidak akan

menimbulkan akibat yang merugikan bagi anda sebagai responden. Kerahasiaan

semua informasi akan dijaga dan dipergunakan untuk kepentingan penelitian. Jika

anda tidak bersedia menjadi responden, maka tidak ada ancaman bagi anda

maupun keluarga. Jika anda bersedia menjadi responden, maka saya mohon

kesediaan untuk menandatangani lembar persetujuan yang saya lampirkan dan

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya sertakan. Atas perhatian dan

kesediaannya menjadi responden saya ucapkan terima kasih.

Hormat saya,

Salahuddin Saleh
NIM. 14.1101.054

Lampiran 2
Kode Responden :
72

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :..................................................................................
Alamat :..................................................................................
Menyatakan bersedia menjadi responden dalam penelitian dari :
Nama : Salahuddin Saleh
NIM : 14.1101.054
Judul : Hubungan Peran Perawat Dengan
Motivasi Sembuh Pasien Tuberculosis Paru di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar
Prosedur penelitian ini tidak akan memberikan dampak dan resiko
apapun pada responden. Peneliti sudah memberikan penjelasan mengenai tujuan
penelitian yaitu untuk mengidentifikasi pelaksanaan peran perawat, serta
mengidentifikasi motivasi sembuh pasien Tuberculosis Paru dan manfaat
penelitian yaitu memberikan pengetahuan bagi responden sehingga harapannya
responden dapat memberikan masukan bagi perawat untuk meningkatkan
perannya yang baik terkait memotivasi pasien Tuberculosis Paru untuk mencapai
kesembuhan. Saya telah diberi kesempatan untuk bertanya mengenai hal yang
belum dimengerti dan saya telah mendapatkan jawaban dengan jelas. Peneliti
akan menjaga kerahasiaan jawaban dan pertanyaan yang sudah saya berikan. Saya
menyatakan secara sukarela untuk ikut sebagai responden dalam penelitian ini
serta bersedia menjawab semua pertanyaan dengan sadar dan sebenar-benarnya.

Makassar,........................2018

(……………………………)
Nama Terang dan Tanda Tangan
Lampiran 3
Kode Responden :
73

Lama Pengobatan :

KARAKTERISTIK UMUM PASIEN

Berilah tanda silang (x) pada nomor yang menunjukkan pernyataan yang

sesuai dengan anda.

1. Umur : .............(tahun)

2. Jenis Kelamin :

1. Laki-Laki

2. Perempuan

3. Pendidikan :

1. Tidak Tamat Sekolah

2. SD

3. SMP

4. SMA

5. Sarjana

6. Pascasarjana

Lampiran 4
74

KUISIONER PERAN PERAWAT

Informasi ini akan dirahasiakan, oleh karena itu mohon diisi sesuai

dengan keadaan sebenarnya. Terima kasih.

Petunjuk pengisian kuisioner

1. Bacalah dengan teliti setiap pertanyaan. Kemudian jawablah pertanyaan

sesuai dengan keadaan anda yang sesungguhnya. Apabila terdapat

pernyataan yang tidak dimengerti dapat menanyakannya kepada pihak

kami.

2. Berilah tanda centang (√) pada kolom Sangat Sesuai, Sesuai, Ragu-ragu,

Tidak Sesuai, Sangat Tidak Sesuai yang menunjukkan seberapa besar

pernyataan tersebut sesua dengan keadaan anda selama beberapa hari

terakhir.

Pengisian Kuisioner : Kode Responden :

No. Selama saya menjadi Sangat Setuj Kurang Tidak Sangat


pasien disini, setuju u Setuju Setuju Tidak
perawat: Setuju

5 3 2 1
4
Peran Perawat sebagai care giver/Pelaksana
1. Perawat melakukan
pemeriksaan fisik dan
riwayat kesehatan
kepada saya.
2. Memberikan penjelasan
perencanaan kepada
saya tentang pentingnya
pengobatan TBC.
3. Melaksanakan
75

tindakan keperawatan
yang tidak terpaku
pada rencana yang telah
ditentukan kepada saya
tentang pengobatan
TBC.
Peran Perawat Sebagai Pendidik Educator
4. Memberikan program
penyuluhan/ pendidik
kesehatan baik yang
sehat maupun yang
sakit.
5. Memberikan informasi
yang tepat tentang
penyakit dan
pengobatan tentang
TBC.
6. Memberi contoh
kepada saya untuk
menutup mulut
menggunakan tissue,
sapu tangan atau tangan
saat batuk.
Peran perawat sebagai pengelolah/manajer
7. Perawat selalu
mengingatkan maupun
menasehati saya untuk
pakai masker.
8.. Tidak mengingatkan
saya untuk menutup
mulut dengan sapu
tangan atau lainnya
disaat batuk.
9. Mengingatkan saya
untuk selalu membuka
jendela saat pulang ke
rumah.
Peran perawat sebagai Consellor
10. Perawat mendengar
semua keluhan tentang
saya secara obyektif.
76

11. Perawat membantu


saya menemukan
pemecahan masalah
yang saya alami.
12. Perawat menjaga semua
rahasia dan
kepercayaan yang saya
berikan.
Peran perawat sebagai kolaborasi
13. Perawat melakukan
perencanaan
pengobatan TBC yang
bekerjasama dengan
keluarga klien.
14. Perawat mengkoordinir
seluruh kegiatan upaya
pelayanan kesehatan
pasien yang menderita
TBC.
15. Perawat bekerjasama
dengan tim kesehatan
lain dalam melakukan
tindakan penyembuhan
TBC.

Lampiran 5

KUISIONER MOTIVASI SEMBUH PASIEN TUBERCULOSIS PARU

Pengisian Kuisioner : Kode Responden :


77

Sangat Kurang Tidak Sangat


Selama saya menjadi
No Setuju Setuju Setuju Setuju Tidak
.
pasien disini, saya
setuju
merasa:
5 4 3 2 1
1. Saya percaya bahwa
anjuran perawat terkait
minum obat teratur dapat
mempercepat
penyembuhan penyakit
saya.
2. Saya dapat mengandalkan
perawat ketika saya
membutuhkan bantuan
perawat untuk memberikan
informasi tentang penyakit
yang saya derita.
3. Saya terus berusaha untuk
melakukan anjuran perawat
dan berdo’a kepada Tuhan
demi kesembuhan penyakit
yang saya derita.
4. Saya pasrah dengan
tindakan maupun anjuran
yang dilakukan perawat
karena demi kesembuhan
saya.
5. Saya menghabiskan jatah
makan saya supaya saya
cepat sembuh dari penyakit
yang saya derita.
6. Saya minum obat teratur
supaya saya cepat sembuh
dari penyakit yang saya
derita.
7. Saya melaksanakan saran
perawat untuk membuang
dahak pada muk tertutup
berisi sabun supaya
penyakit saya tidak
menular dan saya cepat
sembuh.
78

8. Saran perawat tidak


memiliki arti untuk saya
cepat sembuh.
9. Saya memakai masker
supaya penyakit saya tidak
menular dan saya cepat
sembuh.
10. Perawat menyemangati
saya untuk sembuh dari
penyakit yang saya derita
11. Keberadaan perawat yang
ramah membuat saya
semangat untuk sembuh.
12. Saya tidak pernah memiliki
pemikiran untuk sembuh.
13. Saya tidak percaya bahwa
penjelasan perawat tentang
pengobatan TBC yang
diprogramkan selama 6
bulan dapat
menyembuhkan penyakit
saya.
14. Perawat tidak menyediakan
waktu untuk saya berbagi
ketakutan dan kecemasan
tentang kondisi penyakit
saya.
15. Saya merencanakan hidup
yang lebih sehat sesuai
anjuran perawat saat nanti
saya pulang dari rumah
sakit supaya saya cepat
sembuh dari penyakit ini.

Anda mungkin juga menyukai