Sukses bisnis memang tidak selalu ekuivalen dengan sukses pendidikan. Banyak
orang yang terbatas pendidikannya, namun sukses berbisnis. Lantas bukan berarti
kalau ingin sukses berbisnis harus berhenti kuliah. Pernyataan Larry Ellison
memang terlalu provokatif. Benar dia dan kawan-kawannya tidak lulus kuliah.
Namun harus pula diingat, hampir seluruh program dan teknologi yang dipakai
perusahaan mereka hasil riset universitas terkemuka di Amerika, terutama MIT
University.
Di sisi lain banyak kepongahan dilakukan lembaga pendidikan tinggi dalam
menyikapi perkembangan bisnis mutakhir. Salah satu kepongahan itu ditunjukkan
dengan ketertinggalannya kurikulum pendidikan tinggi beserta buku-buku literatur
yang nyaris masih terpukau pada kondisi bisnis tahun 80-an. Demikian pula
dengan para pengajarnya yang lebih suka konsep-konsep lama bisnis ketimbang
mempelajari apalagi mencipta konsep-konsep bisnis baru. Akibat kepongahan
lembaga pendidikan tinggi, hasil akhir bernama manusia sarjana ikut-ikutan
pongah.
Gelar akademis yang disandangnya seakan-akan menjadi jaminan utama untuk
sukses mengelola bisnis. Padahal, berapa banyak manusia bergelar sarjana
ekonomi manajemen yang mampu menjadi manajer andal?
Kritikan Larry Ellison terhadap kualitas pendidikan tinggi memang pantas
dicermati. Namun anjuran Larry agar meninggalkan bangku kuliah, patut
ditanggalkan. Bangku kuliah, walaupun kedodoran mengejar kemajuan peradaban,
masih memberikan kepada peserta didiknya untuk berpikir metodis, rasional, dan
terstruktur. Berpikir metodis, rasional, dan terstruktur, hal demikian yang kini
dijalankan oleh pelaku-pelaku bisnis sukses. Apalagi dengan ikut `campur
tangannya` teknologi informasi di dalam bisnis yang menuntut berpikir rasional.
Larry Ellison yang tinggal di Amerika mengkritik sistem pendidikan bisnis di
Amerika, walaupun pendidikan bisnis terbaik di bumi ini tetap Amerika. Kita tidak
bisa membayangkan bagaimana kritikan Larry Ellison bila melihat sistem
pendidikan bisnis di negeri kita. Dengan uang Rp 5 juta, kita dapat menyandang
gelar MBA. Ditambah uang Rp 10 juta lagi, di depan nama kita tertempel gelar Dr.
Sebuah jual-beli gelar yang kita yakini tidak ada dalam ilmu marketing mana pun.
Proses jual-beli memang lazim dalam kehidupan ini. Namun menjadi tidak lazim
manakala produk dalam jual-beli ini berupa gelar. Terlebih lagi gelar-gelar tersebut
berada dalam wilayah bisnis. Master of Business Administration (MBA) dan
Magister Management (MM) merupakan gelar prestisius yang diharapkan
penyandangnya mampu mengelola organisasi bisnis. Dalam kurikulum MBA dan
MM tidak saja diajarkan strategi bisnis, tapi juga etika bisnis sehingga kelak bisnis
yang ditangani etis dan profesional.
Logika bengkok sekarang banyak dipakai oleh manajer bisnis. Mereka ingin
disebut profesional, sementara gelar-gelar yang disandangnya tidak profesional.
Mereka ingin dipandang sebagai manusia terhormat, sementara tempelan gelarnya
diperoleh tidak dengan cara terhormat. Mereka ingin disanjung sebagai manajer
beretika, sementara gelar-gelarnya jauh dari prinsip-prinsip etika akademik.
Gelar yang merupakan buah dari proses pendidikan, sekali lagi, tidak ekuivalen
dengan kesuksesan bisnis. Alangkah malangnya manajer-manajer yang sekarang
berburu gelar, sementara cara berburunya tidak lazim. Lebih malang lagi bila
gelarnya dengan bangga ditempel di kartu namanya, sementara cara kerjanya jauh
dari sikap-sikap profesional.
Profesionalisme bisnis tidak diukur dengan berderet-deret gelar yang tertempel di
namanya. Profesionalisme bisnis ukurannya sederhana; mampu membuat untung
perusahaan, meningkatkan kesejahteraan karyawan, bertanggung jawab sosial, ikut
memajukan negara yang semua itu dibingkai melalui cara kerja etis. Titik!
*)Penulis adalah praktisi bisnis, mitra Institut Darma Mahardika