Anda di halaman 1dari 18

PROFIL PASIEN TUBERKULOSIS PUSKESMAS KASSI KASSI

TAHUN 2019

A. Anggara Kardian Nugraha1*, Nurul Fuadi Yusuf1*, Anisar Apriliani1*, Yuniarni


Sulistiawati1*, Ria Ristiana1*, Andi Alfian Zainuddin1*
1) Bagian Kedokteran Komunitas dan Kedokteran Pencegahan
*Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

ABSTRAK

Latar Belakang: Indonesia merupakan negara ke-3 dengan beban tinggi berdasarkan
indikator mortalitas dan disabilitas penyakit tuberkulosis (TB). Dalam upaya
mengendalikan TB, penelitian ini bertujuan untuk menentukan pola profil Kasus TB.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang. Laporan
data Puskesmas Kassi Kassi dari Januari 2019 sampai Desember 2019 dikelola
menggunakan Excel. Penyebaran kasus TB dianalisa berdasarkan karakteristik klinis.

Hasil: Dari 178 kasus TB di tahun 2019 didapatkan laki-laki 114 kasus (64.05%) dan
perempuan 64 kasus (35.95%). Mayoritas berumur 15-65 tahun sebanyak 153 kasus
(85.9%). Paduan OAT kategori 1 pada kasus baru sebanyak 159 kasus (89.32%).
Penderita TB dengan BTA positif sebanyak 83 kasus (62.88%). Jumlah Kasus TB yang
diberikan VCT sebanyak 109 kasus (61.24%). Dilakukan pemeriksaan tes HIV dan
terdapat 3 Kasus (2.14%) dengan HIV positif. Jumlah penderita TB dengan riwayat
DM sebanyak 31 kasus (17.42%). Pemberhentian obat kebanyakan dkarenakan
pengobatan lengakap sebanyak 88 kasus (62.86%) Namun masih terdapat kasus
defaulter sebanyak 3 kasus (2.14%).

Kesimpulan: Profil pasien TB yang terdapat di Puskesmas Kassi Kassi lebih banyak
ditemukan pada laki-laki dewasa (15-65 tahun) dengan mayoritas merupakan TB paru
kasus baru, diberikan OAT kategori 1 dan berakhir dengan pengobatan lengkap. Masih
terdata adanya koinfeksi TB-HIV dan kasus TB dengan komorbid DM sehingga perlu
deteksi lebih dini. Pencegahan dan pengendalian angka kejadian TB perlu ditingkatkan
melalui strategi “TOSS-TB”.

Kata Kunci : Tuberkulosis, Profil TB, Puskesmas Kassi Kassi, Makassar


PROFILE OF TUBERCULOSIS PATIENTS IN KASSI KASSI PRIMARY
HEALTH CENTER ON 2019

A. Anggara Kardian Nugraha1*, Nurul Fuadi Yusuf1*, Anisar Apriliani1*, Yuniarni


Sulistiawati1*, Ria Ristiana1*, Andi Alfian Zainuddin1*
1) Department of Community and Preventive Medicine
*Faculty of Medicine Hasanuddin Univerity, Makassar, Indonesia

ABSTRACT

Background: Indonesia is placed third amongst the high-burden countries due to


tuberculosis (TB) according to mortality and morbidity. This study aims to determine
the trends in the profile of TB patients in hope of controlling TB infection.

Method: A descriptive cross-sectional study was conducted in Kassi Kassi Primary


Health Center from January 2019 to December 2019. Data was analyzed in Excel. TB
case were distributed according to clinical characteristics

Result: Out of 155 case in 2019, more male than female patients were recorded : 114
(64.05%) and 64 (35.95%) cases. The majority was from 15 to 65 year-old : 153
(85.9%) cases. Group 1 Anti-TB drugs were given to new TB patients upon 159 cases
(89.32%). Positive AFB cases were found upon 83 cases (62.88%). VCT were given
to TB patients upon 109 cases (61.24%). They were running on a HIV test and there
are 3 cases (2.14%) found. Patient with history of DM were found upon 31 cases
(17.42%). ATD termination was found mostly due to complete regimen of ATD upon
88 cases (62.86%). But still found defaulter patient upon 3 cases (2.14%).

Conclusion: TB patients profile with in Kassi Kassi Primary Health Center mostly
consisted of adult men (15-65 year-old). The majority was new lung TB case. Hence
Group 1 ATD was mostly given and resulted in completed ATD regimen. TB/HIV co-
infection and also history of DM still existed so early detection is necessary. Control
progam such as “TOSS-TB” needed to be aggressively implemented to prevent and
controlling TB cases in Kassi Kassi Primary Health Center.

Keywords : Tuberculosis, TB Profile, Kassi Kassi Primary Health Center, Makassar


PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular terbanyak dari 10


penyebab kematian tertinggi di dunia. Menurut data WHO tahun 2018, diperkirakan
terdapat 10 juta kasus yang menderita TB di dunia dan menyebabkan kematian
sekitar 1,5 juta kasus, diantaranya terdapat 251.000 kasus yang meninggal akibat
ko-infeksi HIV. Dari kasus TB didapatkan 5.7 juta laki-laki, 3,2 juta perempuan, dan
1,1 juta kasus anak-anak. Selain mortalitas yang tinggi, TB juga menyebabkan
masalah perekonomian, dimana penderita kehilangan pendapatan tahunan rumah
tangga sekitar 20-30%. Hal ini berdampak khususnya pada negara berkembang
seperti Indonesia, dimana dua per tiga kasus baru TB ditemukan, dan diantaranya
Indonesia menduduki peringkat tertinggi setelah India dan China. Data WHO
menunjukan dari total populasi Indonesia sebanyak 267 juta terdapat 845.000 kasus
TB, diantaranya 98.000 kasus yang meninggal, dan 5.300 kasus terakait dengan ko-
infeksi HIV. (WHO, 2019)

Penyakit tuberkulosis ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis


yang menular melalui droplet udara dan berkembang pesat di negara berkembang
terutama pada daerah sanitasi yang kurang. Menurut data Ditjen P2P, di Indonesia
tahun 2018, terdapat 511.873 kasus TB, dan yang terkonfirmasi secara bakteriologis
sebanyak 203.348 kasus. Jumlah laki-laki sebanyak 294.757 kasus (57,58%) dan
perempuan 217. 116 kasus (42,42%), dan terbanyak pada usia 45-54 tahun sebesar
16,69% (Ditjen P2P, 2019). Daerah yang memiliki kasus TB terbanyak di Indonesia
tahun 2018 yaitu Jawa barat 99.398 kasus, Jawa tengah 67.063 kasus, dan Jawa
timur 56.445 kasus. Sulawesi selatan merupakan daerah terbanyak ke-7 yaitu
23.427 kasus setelah Banten 28.797 kasus. Akibat adanya perubahan demografik,
lingkungan sanitasi yang kurang, faktor usia, kegagalan pengobatan, pandemik HIV,
percepatan penyebaran airborne serta peningkatan mortalitas tiap tahunnya maka
penyakit TB menjadi prioritas utama di dunia dan menjadi salah satu indikator dari
SDGs (Sustainability Developmental Goals). (Ditjen, 2019).

Menurut data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2015,


terdapat 12.625 kasus TB paru, dan kota Makassar merupakan kasus terbanyak di
Sulawesi Selatan, didapatkan 3.639 kasus TB, dengan 1.928 kasus baru TB BTA+,
lalu diikuti Gowa sebanyak 1.126 kasus TB, Luwu 488 kasus, dan Bulukumba 485
kasus. Dalam upaya untuk mengendalikan menyebaran infeksi TB, pengetahuan
akan pola penyebaran dan pemberantasan penyakit penting untuk diterapkan.
Analisa pada laporan ini bertujuan untuk mengevaluasi prevalensi, pola penyebaran,
serta faktor-faktor yang berperan dalam peningkatan kasus TB di wilayah
Puskesmas Kassi-Kassi untuk menentukan strategi mantap pemberantasan TB
kedepannya sehingga rantai infeksi TB di lingkunga Kassi-kassi bisa terkendali.

METODE

Pada penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan


potong lintang atau cross sectional. Data diperoleh dari database laporan
Puskesmas Kassi-Kassi dari bulan Januari 2019 sampai Desember 2019, dan
dikelola dengan menggunakan program excel 2016. Penjaringan kasus penderita TB
mengikuti pedoman penanggulangan TB.(Kemenkes, 2011). Data yang dipilih adalah
data prevalensi TB yang dikelompokkan per tahun berdasarkan jenis kelamin, usia,
periode, panduan obat, klasifikasi TB, tipe pasien, hasil BTA, alasan berhenti obat
anti tuberkulosis (OAT), pemberian voluntary counseling and testing (VCT), tes HIV,
riwayat DM dan kelurahan tempat tinggal pasien.

Kriteria inklusi untuk TB paru adalah gejala utama batuk berdahak selama
minimal 2 minggu, dengan atau tidaknya gejala tambahan (batuk darah, sesak
napas, badan lemas, nafsu makan atau berat badan menurun, malaise, keringat
malam, demam meriang lebih dari satu bulan). Semua suspek TB diperiksa
spesimen dahak sewaktu – pagi – sewaktu (SPS). Kriteria inklusi untuk penderita TB
ekstra paru adalah gejala dan keluhan tergantung dari organ yang terkena dengan
beberapa gejala dari TB paru, lalu menyingkirkan kemungkinan penyakit lain dengan
pemeriksaan penunjang.

Tipe pasien meliputi pasien TB “baru” yang belum pernah berobat atau pernah
minum OAT kurang dari 4 minggu, dan pasien “kambuh” yang pernah mengonsumsi
OAT, telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan didiagnosis kembali
dengan BTA positif. Alasan pemberhentian pengobatan terdiri dari sembuh,
pengobatan lengkap, meninggal, gagal, defaulter dan pindah. Pasien di nyatakan
sembuh jika sudah mengonsumsi OAT secara lengkap dan hasil BTA negatif pada
akhir pengobatan. Pengobatan lengkap yaitu pasien yang telah menyelesaikan
pengobatan secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Pasien dikatakan gagal pengobatan bila hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir pengobatan. Defaulter adalah pasien yang
telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Pasien
pindah adalah pasien yang pindah ke sarana pelayanan kesehatan lain untuk
melanjutkan pengobatan.

Paduan OAT tersedia di Puskesmas Kassi-Kassi dalam bentuk kombinasi


dosis tetap (OAT-KDT), yang terdiri dari 3 jenis yaitu, kategori 1: 2HRZE/4(HR)3,
kategori 2: 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3 dan OAT anak Kombipak 2HRZ/4HR.
Selama pengobatan, pasien TB di cek ulangan BTA pada bulan ke 2, 5, dan 7. OAT
juga diberikan pada kasus koinfeksi TB-HIV dengan pemberian ART (anti retroviral)
setelah pengobatan OAT selesai, semua pasien TB juga dianjurkan untuk VCT.
Selain itu, pasien TB juga diidentifikasi riwayat DM yang dapat mempengaruhi
perjalanan penyakit pasien.

Kelurahan tempat tinggal pasien mencakup kelurahan yang termasuk dalam


wilayah kerja Puskesmas Kassi Kassi, antara lain Kelurahan Tidung, Kelurahan
Bonto Makkio, Kelurahan Kassi-Kassi, Kelurahan Mappala, Kelurahan Mappala, dan
Kelurahan Banta-Bantaeng. Adapun kelurahan lain meliputi kelurahan yang tidak
termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Kassi Kassi.
HASIL

Tabel 1. Prevalensi kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi tahun 2019

N %
Laki-Laki 114 64,05
Jenis Kelamin
Perempuan 64 35,95
0-4 3 1,68
5-14 3 1,68
15-24 29 16,29
25-34 28 15,73
Usia
35-44 27 15,17
45-54 33 18,54
55-65 36 20,22
>65 19 10,67
Triwulan 1 44 24,72
Triwulan 2 40 22,47
Periode
Triwulan 3 58 32,58
Triwulan 4 36 20,22
OAT Kategori 1 159 89,32
Paduan Obat OAT Kategori 2 14 7,86
OAT Anak 5 2.81
Paru 164 92,13
Klasifikasi TB
Ekstra Paru 14 7,87
Baru 164 92,13
Jenis Kasus
Kambuh 14 7,87
Positif 83 62,88
Hasil BTA
Negatif 49 37,12
Lengkap 88 62,86
Alasan Pemberhentian Sembuh 48 34,28
Obat Meninggal 1 0,71
Defaulter 3 2,14
Pemberian VCT Dilakukan 109 61,24
Tidak Dilakukan 69 38,76
Tes HIV Positif 3 2,97
Negatif 98 97,03
Riwayat DM Positif 31 17,42
Negatif 147 82,58
70 64.05
60

Persentase (%)
50
40 35.95

30
20
10
0

Laki-Laki Perempuan

Gambar 1. Sebaran kasus TB berdasarkan jenis kelamin

Tabel 1 menunjukkan prevalensi kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi pada


tahun 2019. Berdasarkan jenis kelamin (Gambar 1), kasus TB di Puskesmas Kassi
Kassi tahun 2019 lebih banyak ditemukan pada laki-laki yaitu sebanyak 114 kasus
(64.05%) sedangkan perempuan sebanyak 64 kasus (35.95%).

Berdasarkan usia (Gambar 2), kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi pada tahun
2019 lebih banyak ditemukan pada kelompok usia 55-65 tahun (n=36, 20.22%)
kemudian usia 45-54 tahun (n=33, 18,54%), usia 15-24 tahun (n=29, 16.29%), usia
25-34 tahun (n=28, 16.29%), usia 35-44 tahun (n=27, 15.17%), usia >65 tahun (n=19,
10.67%), dan usia 0-14 tahun (n=6, 3.36%)

25
20.22
20 18.54
Persentase (%)

16.29 15.73 15.17


15
10.67
10

5 1.68 1.68
0

0-4 5-14 15-24 25-34 35-44 45-54 55-65 >65

Gambar 2. Sebaran kasus TB berdasarkan usia

Jumlah kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi sepanjang tahun dibagi menjadi 4


triwulan (Gambar 3). Pada tahun 2019, terdapat 44 kasus (24.72%) pada triwulan
pertama, 40 kasus (22.47%) pada triwulan kedua, 58 kasus (32.58%) pada triwulan
ketiga dan 36 kasus pada triwulan keempat (20.22%).
35 32.58
30
24.72

Persentase (%)
25
20 22.47
20.22
15
10
5
0
Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4

Gambar 3. Jumlah kasus TB sepanjang tahun 2019

Pada tahun 2019 (Gambar 4), jumlah kasus TB baru tercatat sebanyak 164
kasus (92.13%) sedangkan kasus kambuh tercatat sebanyak 14 kasus (7.87%).
Berdasarkan paduan obat yang diberikan dari kasus TB yang ditemukan di Puskesmas
Kassi Kassi (Gambar 5), penderita TB yang diberikan OAT kategori 1 sebanyak 159
kasus (89.32%), OAT kategori 2 sebanyak 14 kasus (7.86%), dan OAT kategori anak
sebanyak 5 kasus (2.81%).

100 92.13

80
Persentase (%)

60

40

20 7.87

Kasus Baru Kasus Kambuh

Gambar 4. Sebaran kasus TB berdasarkan jenis kasus

100 89.32

80
Persentase (%)

60

40

20 7.86
2.81
0

OAT Kategori 1 OAT Kategori 2 OAT Anak

Gambar 5. Persentase regimen OAT yang diberikan pada kasus TB


Berdasarkan data klasifikasi pasien TB di Puskesmas Kassi Kassi (Gambar 6),
kasus TB paru yang didapatkan pada tahun 2019 yaitu sebanyak 164 kasus (92.13%)
sedangkan untuk kasus TB ekstra paru yang didapatkan yaitu sebanyak 14 kasus
(7.87%). Dari hasil pemeriksaan BTA yang dilakukan pada pasien TB di puskesmas
Kassi Kassi tahun 2019 (Gambar 7) menunjukkan jumlah kasus dengan hasil BTA
positif sebanyak 83 kasus (62.88%) sedangkan kasus dengan hasil BTA negatif
sebanyak 49 kasus (37,12%).

100 92.13

80
Persentase (%)

60

40

20 7.87

TB Paru TB Ekstra Paru

Gambar 6. Sebaran kasus TB berdasarkan klasifikasi TB

100
82.88
80
Persentase (%)

60
37.12
40

20

BTA (+) BTA (-)

Gambar 7. Sebaran kasus TB berdasarkan hasil BTA

Karena adanya koinfeksi HIV pada kasus TB, maka pihak Puskesmas
melakukan VCT untuk mendeteksi adanya infeksi HIV pada penderita TB, menurut
data (Gambar 8) jumlah pasien TB yang dilakukan VCT yaitu sebanyak 109 kasus
(61.24%) sedangkan 69 kasus (38.76%) yang tidak dilakukan VCT. Berdasarkan hasil
tes HIV (Gambar 7) menunjukkan bahwa sebanyak 3 kasus TB (2.97%) dengan tes
HIV positif sedangkan 98 kasus (97.03)memiliki hasil tes negatif.
70
61.24
60

Persentase (%)
50
38.76
40
30
20
10
0

Dilakukan VCT Tidak Dilakukan VCT

Gambar 8. Persentase pemberian VCT pada kasus TB

120
97.03
100
Persentase (%)

80

60

40

20
2.93
0

Tes HIV (+) Tes HIV (-)

Gambar 9. Persentase hasil tes HIV pada kasus TB

Berdasarkan riwayat diabetes mellitus (DM) pada pasien TB di Puskemas Kassi


Kassi (Gambar 10), terdapat 31 kasus TB (17.42%) dengan riwayat DM sedangkan
147 kasus TB (82.58%) tidak memiliki riwayat DM.

100
82.58
80
Persentase (%)

60

40
17.42
20

DM (+) DM (-)

Gambar 10. Persentase riwayat DM pada kasus TB


70 62.86
60

Persentase (%)
50
40 34.28
30
20
10 2.14
0.71
0

Lengkap Sembuh Meninggal Defaulter

Gambar 11. Persentase pemberhentian OAT pada kasus TB

Menurut alasan pemberhentian pengobatan pada tahun 2019, terdapat 88


kasus (62.86%) yang lengkap pengobatan, 48 kasus (34.28%) yang sembuh, 1 kasus
(0.71%) meninggal, dan 3 kasus (2.14%) yang berobat setelah putus pengobatan
(Defaulter).

Tabel 2. Prevalensi kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi berdasarkan kelurahan tahun 2019

n %
Kelurahan Tidung 41 23.03
Kelurahan Bonto Makkio 9 5.06
Kelurahan Kassi=Kassi 29 16.29
Kelurahan Mappala 16 8.98
Kelurahan Karunrung 20 11.24
Kelurahan Banta-Bantaeng 33 18.54
Lain-Lain 30 16.85

25 23.03

20 18.54
16.29 16.85
Persentase (%)

15
11.24
8.98
10
5.06
5

Kel. Tidung Kel. Bonto Makkio Kel. Kassi-Kassi Kel. Mappala


Kel. Karunrung Kel. Banta-Bantaeng Lain-Lain

Gambar 11. Sebaran kelurahan kasus TB Puskesmas Kassi


Tabel 2 menunjukkan prevalensi kasus TB berdasarkan kelurahan di
Puskesmas Kassi Kassi pada tahun 2019. Berdasarkan kelurahan, kasus TB di
Puskesmas Kassi Kassi lebih banyak ditemukan di Kelurahan Tidung sebanyak 41
kasus (23.03%) kemudian diikuti Kelurahan Banta-Bantaeng sebanyak 33 kasus
(18.54%), Kelurahan Kassi-Kassi sebanyak 29 kasus (16.29%), Kelurahan Karunrung
sebanyak 20 kasus (11.24%), Kelurahan Mappala sebanyak 16 kasus (8.98%) dan
Kelurahan Bonto Makkio sebanyak 9 kasus (5.06%). Namun, terdapat 30 kasus
(16.85%) TB yang ditemukan di kelurahan yang tidak termasuk dalam wilayah kerja
Puskesmas Kassi Kassi.

Gambar 12. Denah sebaran kasus TB berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Kassi Kassi
PEMBAHASAN

Hasil penelitian di Puskesmas Kassi Kassi menunjukkan penyakit TB lebih


banyak ditemukan pada laki-laki. Menurut Infodatin (2018), penyakit TB terjadi 1,4 kali
lebih banyak pada pria dibanding perempuan. Susilayanti (2012) menjelaskan bahwa
penyakit TB lebih rentan ditemukan pada laki-laki. Hal ini dapat berkaitan dengan
kebiasaan merokok yang lebih besar pada laki-laki, yang menyebabkan gangguan
pada sistem imunitas saluran pernafasan sehingga lebih rentan untuk terinfeksi.
Gangguan pada sistem imunitas dapat memicu kerusakan mukosiliar akibat racun
asap rokok serta menurunkan respon terhadap antigen sehingga meningkatkan
kerentanan terjadinya tuberkulosis.

Penderita TB di Puskesmas Kassi Kassi lebih banyak menyerang pada


kelompok usia produktif. Hal ini sesuai dengan laporan WHO (2019) sebelumnya
bahwa dua per tiga kasus TB terjadi pada kelompok usia produktif secara ekonomi,
yaitu 15-59 tahun. Data dari Riskesdas (2013) menyatakan bahwa faktor risiko infeksi
TB akan bertambah seiring dengan bertambahnya usia, yang memungkinkan terjadi
karena re-aktivasi TB dan durasi paparan TB lebih lama dibandingkan golongan umur
yang lebih muda.

Berdasarkan jenis kasus, mayoritas kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi


merupakan kasus baru sebanyak 92.13%. Hanya sekitar 7.87% kasus merupakan
kasus kambuh. Pasien suspek TB perlu didiagnosa secara dini sebab diagnosis TB
yang didapatkan pada pasien akan mempengaruhi pada regimen terapi yang akan
diberikan. Pengobatan OAT kategori 1 diberikan pada pasien TB baru, sedangkan
OAT kategori 2 diberikan untuk pasien kambuh (relapse) atau pasien yang gagal
dengan pengobatan kategori 1 atau pasien yang putus berobat. Maka, sesuai dengan
hasil analisa, Pasien TB yang menerima OAT kategori 1 di Puskesmas Kassi Kassi
lebih banyak diberikan dibandingkan OAT kategori 2 (WHO, 2010).

Berdasarkan hasil BTA pasien TB di Puskesmas Kassi Kassi, pasien TB


dengan hasil BTA positif lebih banyak ditemukan dibandingkan pasien TB dengan hasil
BTA negatif. Jameson (2018) menjelaskan bahwa penderita TB sangat berisiko
menularkan penyakitnya, terutama pada penderita TB paru. Penderita TB paru dengan
BTA positif dapat menularkan ke 10-15 orang di sekitarnya. Tingginya hasil BTA positif
di Puskesmas Kassi Kassi menandakan bahwa modalitas yang digunakan untuk
mendiagnosis TB sudah meningkat, namun tingginya angka pasien dengan BTA positif
sangat berpotensi untuk penularan. Sehingga perlunya edukasi yang diberikan kepada
penderita untuk membuang dahak di wadah atau tempat tertentu, menggunakan
masker, dan mengajarkan etika batuk dengan benar.

Wijaya (2013) dan beberapa penelitian lain telah menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara TB dan HIV dimana jumlah kasus TB meningkat akibat infeksi HIV
dan sebaliknya juga TB meningkatkan progresivitas HIV. Sehingga pihak kesehatan
perlu melakukan skrining HIV pada semua pasien TB berupa kegiatan Voluntary
Counselling and Testing (VCT). Berdasarkan data di Puskesmas Kassi Kassi, jumlah
pasien TB yang dilakukan yaitu sebanyak 109 kasus (61.24%) dan yang tidak
dilakukan VCT yaitu sebanyak 69 kasus (38.76%). VCT merupakan salah satu strategi
kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan
HIV/AIDS berkelanjutan. Layanan ini termasuk konseling dan dukungan akan
informasi HIV/AIDS serta resiko infeksi HIV sehingga dapat menurunkan perilaku
beresiko dan mencegah penularan HIV (Depkes, 2006). Salah satu program dari VCT
sendiri yaitu dengan melakukan screening test untuk antibodi HIV. Menurut data dari
Puskesmas Kassi Kassi, pasien TB yang ditemukan HIV positif yaitu sebanyak 3 kasus
dan 98 kasus TB yang ditemukan HIV negatif.

Selain infeksi HIV, kondisi Diabetes Mellitus (DM) juga memiliki kaitan erat
dengan kejadian DM. Berdasarkan data di Puskesmas Kassi Kassi, jumlah pasien
yang memiliki riwayat DM yaitu sebanyak 31 kasus (17.42%). Muchtar (2015)
menjelaskan bahwa diabetes merupakan salah satu faktor yang meningkatkan risiko
timbulnya infeksi tuberkulosis, diperkirakan sepertiga kasus DM yang terinfeksi TB.
Pasien diabetes memiliki resiko 2-3 kali terinfeksi TB dibandingkan pasien non
diabetes. Penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada pasien diabtes
disebabkan karena adanya gangguan respon selular akibat kondisi hiperglikemia pada
pasien DM yang mengakibatkan melemahnya sistem imunitas tubuh sehingga
meningkatkan risiko infeksi TB ataupun aktivasi TB laten.

Angka kesembuhan pasien TB digunakan sebagai indikator keberhasilan


program dalam mengatasi dan menurunkan angka kejadian TB di suatu tingkat
layanan kesehatan (Depkes, 2016). Menurut data dari Puskesmas Kassi Kassi, jumlah
pasien TB yang dinyatakan sembuh pada tahun 2019 yaitu sebanyak 48 kasus
(34.28%) dan pasien TB yang dinyatakan lengkap pengobatan yaitu sebanyak 88
kasus (62.86%). Hal ini mungkin disebabkan karena persepsi pasien yang berstatus
pengobatan lengkap bahwa pasien sudah dinyatakan “sembuh” tanpa dilakukan
pemeriksaan BTA kembali. Hal ini juga mengakibatkan masih kurangnya pasien TB
yang dinyatakan sembuh dibandingkan pasien TB yang dinyatakan pengobatan
lengkap. Selain itu, terdapat 3 kasus defaulter pada tahun 2019. Menurut Kemenkes
(2011), pasien default atau putus berobat biasanya disebabkan karena kekurangan
biaya, ketidaknyamanan untuk datang berulang kali mengambil obat, dan kurangnya
pemahaman tentang penyakit TB. Selain itu, masih banyak pasien TB yang bosan dan
tidak sabar dengan lamanya pengobatan dan menganggap bahwa obat yang diberikan
dari puskesmas kurang efektif sehingga pasien memutuskan untuk menghentikan
obatnya.

Menurut data yang diteliti, kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi lebih banyak
berdomisili di Kelurahan Tidung, Kelurahan Mappala & Kelurahan Kassi-Kassi.
Wilayah atau lingkungan tempat tinggal dapat memberikan pengaruh terhadap
penularan TB. Menurut teori Blum, faktor yang mempengaruhi kesehatan baik individu,
kelompok dan masyarakat dikelompokkan menjadi 4, yaitu lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan dan keturunan. Keempat faktor tersebut saling mempengaruhi
satu sama lain. Faktor llingkungan selain langsung mempengaruhi kesehatan juga
mepengaruhi perilaku dan sebaliknya. Selain itu, kebersihan lingkungan juga dapat
mempengaruhi penyebaran TB seperti kondisi ventilasi yang kurang baik. Kondisi
lembab akibat kurang lancarnya pergantian udara dan sinar matahari dapat membantu
perkembangbiakan bakteri TB (Suharyo, 2013).

Oleh karena masih tingginya jumlah penderita TB di Indonesia, maka perlunya


perhatian dari pemerintah untuk mengendalikan angkat kejadian TB di Indonesia.
Pada tanggal 24 april 2016, kementerian kesehatan RI telah mencanangkan strategi
program pengendalian TB yang disebut dengan “TOSS-TBC” atau “Temukan TBC
Obati Sampai Sembuh” (Sub-Direktorat TB, 2016). Program ini merupakan
pendekatan kepada masyarakat untuk menemukan, mendiagnosis, mengobati, dan
menyembuhkan pasien TB untuk menghentikan penularan TB di masyarakat. Langkah
pertama dari program “TOSS-TB” yaitu dengan menemukan gejala di masyarakat dan
deteksi dini TB melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga atau
PIS-PK. Melalui program ini, diharapkan ada meningkatnya penjaringan kasus
tersangka TB oleh Tim Puskesmas, rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan
menemukan gejala di masyarakat dan menemukan faktor resiko penularan yang tinggi
di rumah penduduk. Selain itu, perlu ditingkatkan kualitas dokter dalam mendiagnosa
kasus TB dan mutu laboratorium dalam analisa mikroskopis TB untuk mengurangi
kesalahan pada kualitas diagnosis dini (Kemenkes, 2016).

Setelah diagnosis TB, langkah berikutnya yaitu mengobati TB dengan cepat


dan tepat dan monitor pengobatan TB sampai sembuh. Pengobatan dengan OAT
secara efektif dapat menekan dan memutus rantai penularan penyakit TB. Pada tahap
intensif, pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi untuk mencegah
terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif dapat komversi menjadi BTA negatif dalam 2 bulan.
Pemantauan pengobatan ini dapat dilakukan dengan strategi pengawasan langsung
oleh pengawas minum obat (PMO) atau Directly Observed Treatment Shorcourse
ChemotherapyI (DOTS). Penderita TB dapat menerima OAT secara gratis di
Fasyankes, sehingga sangat penting untuk menjamin kuantitas obat yang tersedia
serta pelatihan petugas implementasi DOTS untuk menjamin bahwa penderita TB
menelan obat secarac teratur sampai selesai pengobatan. Kemudian, penting juga
untuk dilakukan monitoring, pencatatan dan pelaporan yang standar dengan sistem
informasi yang tertata dan dapat dioperasionalkan dengan baik (Kemenkes, 2016).

Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya penyakit


seperti daya tahan tubuh rendah (Infeksi HIV/AIDS, DM, dan malnutrisi) serta faktor
lingkungan seperti ventilasi rumah yang buruk dan kurang pencahayaan. Puskesmas
sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan kepada masyarakat perlu lebih
meningkatkan lagi kegiatan promosi kesehatannya serta turut berperan aktif dalam
upaya pencegahan penyebaran penyakit TB. Dalam rangka peningkatan
pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat mengenai penyakit TB, perlu
dilakukan pendekatan sosial dengan penyuluhan aktif di masyarakat tentang asupan
gizi yang baik dan hidup sehat. Tenaga kesehatan juga sebaiknya memberitahukan
informasi yang sebenarnya kepada pasien tentang penyakit TB yang diderita agar
pandangan masyarakat tentang penyakit TB dapat berubah. Keberhasilan program
penanggulangan TB dapat dicapai apabila semua komponen diatas dapat
dilaksanakan bersamaan, dengan adanya ketersediaan tenaga yang kompeten dalam
jumlah yang memadai, serta kerjasama dari semua sektor termasuk pemerintah, non-
pemerintah maupun masyarakat.

KESMIPULAN

Profil pasien TB yang terdapat di Puskesmas Kassi Kassi lebih banyak


ditemukan pada laki-laki dewasa (15-65 tahun) dengan mayoritas merupakan TB paru
kasus baru, diberikan OAT kategori 1 dan berakhir dengan pengobatan lengkap. Masih
terdata adanya koinfeksi TB-HIV dan kasus TB dengan komorbid DM sehingga perlu
deteksi lebih dini. Pencegahan dan pengendalian angka kejadian TB di Puskesmas
Kassi Kassi perlu ditingkatkan melalui strategi “TOSS-TB”.
DAFTAR PUSTAKA

1) Badan Pusat Statistik, (2017). Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017, Jakarta.

2) Departemen Kesehatan RI, (2011). Pedoman Nasional Penanggulangan TB, Jakarta.


3) Departemen Kesehatan RI, (2006). Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS
Secara Sukarela, Jakarta
4) Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, (2015). Profil kesehatan provinsi Sulawesi Selatan
tahun 2015, Makassar.
5) Deribew, A. et al, (2013). Change in quality of life: A follow up study among patients with HIV
infection with and without TB in Ethiopia. BMC Public Health, Volume 13.
6) Ditjen P2P. (2019). Data dan informasi profil kesehatan Indonesia tahun 2018. Kementrian
kesehatan republik Indonesia

7) Infodatin, (2018), Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan
Informasi, Jakarta Selatan.
8) Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, et al (2018). Harrisn’s Principls of Internal Medicine. 20th
Edition, 8(173): 1236-1241. Mc Graw-Hill Education, United States.
9) Kementerian Kesehatan RI, (2011), Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.
10) Kementerian Kesehatan RI, (2016), Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Jakarta.
11) Kementerian Kesehatan RI, (2016), Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat
Dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta.
12) Muchtar NH, Deddy H, Yulistini, (2015), Gambaran Faktor Risiko Timbulnya Tuberkulosis Paru
pada Pasien yang Berkunjung ke Unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2015. Jurnal
Kesehatan Andalas, Volume 7(1).
13) Price SA, Wilson LM (2004). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi Bahasa
Indonesia, Hartanto H. Ed.6. Vol.2, Jakarta.
14) Riskesdas, (2013). Riset Kesehatan Dasar: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
15) Sub Direktorat TB, (2016). TOSS-TBC. www.tbindonesia.or.id. Departemen Kesehatan.
16) Suharyo, (2013), Determinasi Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Universitas Dian Nuswantoro. Volume 9(1).
17) Susilayanti EY, Irvan M, Erkadius, (2012), Profil Penderita Penyakit Tuberkulosis Paru BTA
Positif yang Ditemukan di BP4 lubul Alung periode Januari 2012 – Desember 2012. Jurnal
Keshetan Andalas, Volume 3(2).
18) WHO (2010). Treatment of tuberculosis guidelines: Fourth edition. World Health Organization
Press, Geneva.
19) WHO (2016). Tuberculosis & Diabetes. World Health Organization Press, Geneva
20) WHO (2019). Global tuberculosis report 2019. World Health Organization Press, Geneva.
21) Wijaya, I.M.K (2013). Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada Penderita TB. Seminar
Nasional FMIPA UNDIKSHA III, 2013.

Anda mungkin juga menyukai