TAHUN 2019
ABSTRAK
Latar Belakang: Indonesia merupakan negara ke-3 dengan beban tinggi berdasarkan
indikator mortalitas dan disabilitas penyakit tuberkulosis (TB). Dalam upaya
mengendalikan TB, penelitian ini bertujuan untuk menentukan pola profil Kasus TB.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan potong lintang. Laporan
data Puskesmas Kassi Kassi dari Januari 2019 sampai Desember 2019 dikelola
menggunakan Excel. Penyebaran kasus TB dianalisa berdasarkan karakteristik klinis.
Hasil: Dari 178 kasus TB di tahun 2019 didapatkan laki-laki 114 kasus (64.05%) dan
perempuan 64 kasus (35.95%). Mayoritas berumur 15-65 tahun sebanyak 153 kasus
(85.9%). Paduan OAT kategori 1 pada kasus baru sebanyak 159 kasus (89.32%).
Penderita TB dengan BTA positif sebanyak 83 kasus (62.88%). Jumlah Kasus TB yang
diberikan VCT sebanyak 109 kasus (61.24%). Dilakukan pemeriksaan tes HIV dan
terdapat 3 Kasus (2.14%) dengan HIV positif. Jumlah penderita TB dengan riwayat
DM sebanyak 31 kasus (17.42%). Pemberhentian obat kebanyakan dkarenakan
pengobatan lengakap sebanyak 88 kasus (62.86%) Namun masih terdapat kasus
defaulter sebanyak 3 kasus (2.14%).
Kesimpulan: Profil pasien TB yang terdapat di Puskesmas Kassi Kassi lebih banyak
ditemukan pada laki-laki dewasa (15-65 tahun) dengan mayoritas merupakan TB paru
kasus baru, diberikan OAT kategori 1 dan berakhir dengan pengobatan lengkap. Masih
terdata adanya koinfeksi TB-HIV dan kasus TB dengan komorbid DM sehingga perlu
deteksi lebih dini. Pencegahan dan pengendalian angka kejadian TB perlu ditingkatkan
melalui strategi “TOSS-TB”.
ABSTRACT
Result: Out of 155 case in 2019, more male than female patients were recorded : 114
(64.05%) and 64 (35.95%) cases. The majority was from 15 to 65 year-old : 153
(85.9%) cases. Group 1 Anti-TB drugs were given to new TB patients upon 159 cases
(89.32%). Positive AFB cases were found upon 83 cases (62.88%). VCT were given
to TB patients upon 109 cases (61.24%). They were running on a HIV test and there
are 3 cases (2.14%) found. Patient with history of DM were found upon 31 cases
(17.42%). ATD termination was found mostly due to complete regimen of ATD upon
88 cases (62.86%). But still found defaulter patient upon 3 cases (2.14%).
Conclusion: TB patients profile with in Kassi Kassi Primary Health Center mostly
consisted of adult men (15-65 year-old). The majority was new lung TB case. Hence
Group 1 ATD was mostly given and resulted in completed ATD regimen. TB/HIV co-
infection and also history of DM still existed so early detection is necessary. Control
progam such as “TOSS-TB” needed to be aggressively implemented to prevent and
controlling TB cases in Kassi Kassi Primary Health Center.
METODE
Kriteria inklusi untuk TB paru adalah gejala utama batuk berdahak selama
minimal 2 minggu, dengan atau tidaknya gejala tambahan (batuk darah, sesak
napas, badan lemas, nafsu makan atau berat badan menurun, malaise, keringat
malam, demam meriang lebih dari satu bulan). Semua suspek TB diperiksa
spesimen dahak sewaktu – pagi – sewaktu (SPS). Kriteria inklusi untuk penderita TB
ekstra paru adalah gejala dan keluhan tergantung dari organ yang terkena dengan
beberapa gejala dari TB paru, lalu menyingkirkan kemungkinan penyakit lain dengan
pemeriksaan penunjang.
Tipe pasien meliputi pasien TB “baru” yang belum pernah berobat atau pernah
minum OAT kurang dari 4 minggu, dan pasien “kambuh” yang pernah mengonsumsi
OAT, telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan didiagnosis kembali
dengan BTA positif. Alasan pemberhentian pengobatan terdiri dari sembuh,
pengobatan lengkap, meninggal, gagal, defaulter dan pindah. Pasien di nyatakan
sembuh jika sudah mengonsumsi OAT secara lengkap dan hasil BTA negatif pada
akhir pengobatan. Pengobatan lengkap yaitu pasien yang telah menyelesaikan
pengobatan secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Pasien dikatakan gagal pengobatan bila hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir pengobatan. Defaulter adalah pasien yang
telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Pasien
pindah adalah pasien yang pindah ke sarana pelayanan kesehatan lain untuk
melanjutkan pengobatan.
N %
Laki-Laki 114 64,05
Jenis Kelamin
Perempuan 64 35,95
0-4 3 1,68
5-14 3 1,68
15-24 29 16,29
25-34 28 15,73
Usia
35-44 27 15,17
45-54 33 18,54
55-65 36 20,22
>65 19 10,67
Triwulan 1 44 24,72
Triwulan 2 40 22,47
Periode
Triwulan 3 58 32,58
Triwulan 4 36 20,22
OAT Kategori 1 159 89,32
Paduan Obat OAT Kategori 2 14 7,86
OAT Anak 5 2.81
Paru 164 92,13
Klasifikasi TB
Ekstra Paru 14 7,87
Baru 164 92,13
Jenis Kasus
Kambuh 14 7,87
Positif 83 62,88
Hasil BTA
Negatif 49 37,12
Lengkap 88 62,86
Alasan Pemberhentian Sembuh 48 34,28
Obat Meninggal 1 0,71
Defaulter 3 2,14
Pemberian VCT Dilakukan 109 61,24
Tidak Dilakukan 69 38,76
Tes HIV Positif 3 2,97
Negatif 98 97,03
Riwayat DM Positif 31 17,42
Negatif 147 82,58
70 64.05
60
Persentase (%)
50
40 35.95
30
20
10
0
Laki-Laki Perempuan
Berdasarkan usia (Gambar 2), kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi pada tahun
2019 lebih banyak ditemukan pada kelompok usia 55-65 tahun (n=36, 20.22%)
kemudian usia 45-54 tahun (n=33, 18,54%), usia 15-24 tahun (n=29, 16.29%), usia
25-34 tahun (n=28, 16.29%), usia 35-44 tahun (n=27, 15.17%), usia >65 tahun (n=19,
10.67%), dan usia 0-14 tahun (n=6, 3.36%)
25
20.22
20 18.54
Persentase (%)
5 1.68 1.68
0
Persentase (%)
25
20 22.47
20.22
15
10
5
0
Triwulan 1 Triwulan 2 Triwulan 3 Triwulan 4
Pada tahun 2019 (Gambar 4), jumlah kasus TB baru tercatat sebanyak 164
kasus (92.13%) sedangkan kasus kambuh tercatat sebanyak 14 kasus (7.87%).
Berdasarkan paduan obat yang diberikan dari kasus TB yang ditemukan di Puskesmas
Kassi Kassi (Gambar 5), penderita TB yang diberikan OAT kategori 1 sebanyak 159
kasus (89.32%), OAT kategori 2 sebanyak 14 kasus (7.86%), dan OAT kategori anak
sebanyak 5 kasus (2.81%).
100 92.13
80
Persentase (%)
60
40
20 7.87
100 89.32
80
Persentase (%)
60
40
20 7.86
2.81
0
100 92.13
80
Persentase (%)
60
40
20 7.87
100
82.88
80
Persentase (%)
60
37.12
40
20
Karena adanya koinfeksi HIV pada kasus TB, maka pihak Puskesmas
melakukan VCT untuk mendeteksi adanya infeksi HIV pada penderita TB, menurut
data (Gambar 8) jumlah pasien TB yang dilakukan VCT yaitu sebanyak 109 kasus
(61.24%) sedangkan 69 kasus (38.76%) yang tidak dilakukan VCT. Berdasarkan hasil
tes HIV (Gambar 7) menunjukkan bahwa sebanyak 3 kasus TB (2.97%) dengan tes
HIV positif sedangkan 98 kasus (97.03)memiliki hasil tes negatif.
70
61.24
60
Persentase (%)
50
38.76
40
30
20
10
0
120
97.03
100
Persentase (%)
80
60
40
20
2.93
0
100
82.58
80
Persentase (%)
60
40
17.42
20
DM (+) DM (-)
Persentase (%)
50
40 34.28
30
20
10 2.14
0.71
0
Tabel 2. Prevalensi kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi berdasarkan kelurahan tahun 2019
n %
Kelurahan Tidung 41 23.03
Kelurahan Bonto Makkio 9 5.06
Kelurahan Kassi=Kassi 29 16.29
Kelurahan Mappala 16 8.98
Kelurahan Karunrung 20 11.24
Kelurahan Banta-Bantaeng 33 18.54
Lain-Lain 30 16.85
25 23.03
20 18.54
16.29 16.85
Persentase (%)
15
11.24
8.98
10
5.06
5
Gambar 12. Denah sebaran kasus TB berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Kassi Kassi
PEMBAHASAN
Wijaya (2013) dan beberapa penelitian lain telah menunjukkan bahwa adanya
hubungan antara TB dan HIV dimana jumlah kasus TB meningkat akibat infeksi HIV
dan sebaliknya juga TB meningkatkan progresivitas HIV. Sehingga pihak kesehatan
perlu melakukan skrining HIV pada semua pasien TB berupa kegiatan Voluntary
Counselling and Testing (VCT). Berdasarkan data di Puskesmas Kassi Kassi, jumlah
pasien TB yang dilakukan yaitu sebanyak 109 kasus (61.24%) dan yang tidak
dilakukan VCT yaitu sebanyak 69 kasus (38.76%). VCT merupakan salah satu strategi
kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke seluruh layanan kesehatan
HIV/AIDS berkelanjutan. Layanan ini termasuk konseling dan dukungan akan
informasi HIV/AIDS serta resiko infeksi HIV sehingga dapat menurunkan perilaku
beresiko dan mencegah penularan HIV (Depkes, 2006). Salah satu program dari VCT
sendiri yaitu dengan melakukan screening test untuk antibodi HIV. Menurut data dari
Puskesmas Kassi Kassi, pasien TB yang ditemukan HIV positif yaitu sebanyak 3 kasus
dan 98 kasus TB yang ditemukan HIV negatif.
Selain infeksi HIV, kondisi Diabetes Mellitus (DM) juga memiliki kaitan erat
dengan kejadian DM. Berdasarkan data di Puskesmas Kassi Kassi, jumlah pasien
yang memiliki riwayat DM yaitu sebanyak 31 kasus (17.42%). Muchtar (2015)
menjelaskan bahwa diabetes merupakan salah satu faktor yang meningkatkan risiko
timbulnya infeksi tuberkulosis, diperkirakan sepertiga kasus DM yang terinfeksi TB.
Pasien diabetes memiliki resiko 2-3 kali terinfeksi TB dibandingkan pasien non
diabetes. Penyebab meningkatnya insiden tuberkulosis paru pada pasien diabtes
disebabkan karena adanya gangguan respon selular akibat kondisi hiperglikemia pada
pasien DM yang mengakibatkan melemahnya sistem imunitas tubuh sehingga
meningkatkan risiko infeksi TB ataupun aktivasi TB laten.
Menurut data yang diteliti, kasus TB di Puskesmas Kassi Kassi lebih banyak
berdomisili di Kelurahan Tidung, Kelurahan Mappala & Kelurahan Kassi-Kassi.
Wilayah atau lingkungan tempat tinggal dapat memberikan pengaruh terhadap
penularan TB. Menurut teori Blum, faktor yang mempengaruhi kesehatan baik individu,
kelompok dan masyarakat dikelompokkan menjadi 4, yaitu lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan dan keturunan. Keempat faktor tersebut saling mempengaruhi
satu sama lain. Faktor llingkungan selain langsung mempengaruhi kesehatan juga
mepengaruhi perilaku dan sebaliknya. Selain itu, kebersihan lingkungan juga dapat
mempengaruhi penyebaran TB seperti kondisi ventilasi yang kurang baik. Kondisi
lembab akibat kurang lancarnya pergantian udara dan sinar matahari dapat membantu
perkembangbiakan bakteri TB (Suharyo, 2013).
KESMIPULAN
7) Infodatin, (2018), Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan
Informasi, Jakarta Selatan.
8) Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, et al (2018). Harrisn’s Principls of Internal Medicine. 20th
Edition, 8(173): 1236-1241. Mc Graw-Hill Education, United States.
9) Kementerian Kesehatan RI, (2011), Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta.
10) Kementerian Kesehatan RI, (2016), Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak.
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Jakarta.
11) Kementerian Kesehatan RI, (2016), Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat
Dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta.
12) Muchtar NH, Deddy H, Yulistini, (2015), Gambaran Faktor Risiko Timbulnya Tuberkulosis Paru
pada Pasien yang Berkunjung ke Unit DOTS RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2015. Jurnal
Kesehatan Andalas, Volume 7(1).
13) Price SA, Wilson LM (2004). Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi Bahasa
Indonesia, Hartanto H. Ed.6. Vol.2, Jakarta.
14) Riskesdas, (2013). Riset Kesehatan Dasar: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
15) Sub Direktorat TB, (2016). TOSS-TBC. www.tbindonesia.or.id. Departemen Kesehatan.
16) Suharyo, (2013), Determinasi Penyakit Tuberkulosis di Daerah Pedesaan. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Universitas Dian Nuswantoro. Volume 9(1).
17) Susilayanti EY, Irvan M, Erkadius, (2012), Profil Penderita Penyakit Tuberkulosis Paru BTA
Positif yang Ditemukan di BP4 lubul Alung periode Januari 2012 – Desember 2012. Jurnal
Keshetan Andalas, Volume 3(2).
18) WHO (2010). Treatment of tuberculosis guidelines: Fourth edition. World Health Organization
Press, Geneva.
19) WHO (2016). Tuberculosis & Diabetes. World Health Organization Press, Geneva
20) WHO (2019). Global tuberculosis report 2019. World Health Organization Press, Geneva.
21) Wijaya, I.M.K (2013). Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) pada Penderita TB. Seminar
Nasional FMIPA UNDIKSHA III, 2013.