ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) Paru adalah penyakit menular yang tetap menjadi masalah
di dunia. Di Indonesia, TB Paru menjadi salah satu masalah utama kesehatan
masyarakat dan sampai saat ini belum dapat ditangani walaupun sudah dilakukan
sosialisasi dan penanganan oleh pemerintah. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mencari tahu kendala penyelesaian masalah TB Paru dengan
mencari gambaran umum karakteristik penderita TB Paru dan lingkungan
rumahnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Subjek
penelitian adalah penderita TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Padalarang,
Kabupaten Bandung Barat. Data didapatkan dengan menggunakan kuesioner dan
observasi langsung lingkungan rumah.
Dari 42 subjek penelitian terdapat 73,8% kelompok umur dewasa, 54,8% laki-
laki, 59,5% berpendidikan menengah, 80,9% berstatus ekonomi rendah, 38,1%
sebagai buruh, 71,4% mempunyai riwayat tinggal dekat penderita TB Paru, dan
71,4% pengobatan lengkap. Sedangkan dari lingkungan rumah terdapat 57,1%
berjendela pada kamar tidur dan 52,4% pada ruang keluarga, 76,2% berventilasi
ruangan tidak baik, 57,1% berpencahayaan ruangan baik, 78,6% kepadatan
hunian yang tidak baik, 38,1% berpekarangan rumah yang bersih, 54,8% terletak
berhimpitan, 85,7% terletak di dalam gang, 78,5% bersanitasi selokan terbuka,
54,8% mempunyai perilaku tidak pernah membuka jendela pada kamar dan ruang
keluarga, dan 78,6% rumah dikategorikan rumah tidak sehat.
Penelitian ini menunjukkan bahwa penderita TB Paru di Kabupaten Bandung
Barat adalah berjenis kelamin laki-laki pada kelompok usia dewasa, berstatus
ekonomi rendah, memiliki riwayat orang disekitar yang TB Paru, dan memiliki
rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko terjadinya
TB Paru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan
masyarakat dengan memberdayakan puskesmas dan kerjasama lintas sektoral
dalam perencanaan pemukiman sehat bagi masyarakat.
1
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) paru adalah suatu penyakit menular yang menjadi perhatian
dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga penduduk
dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan lima sampai sepuluh persen
dari orang-orang yang terinfeksi bakteri ini akan menjadi sakit atau menularkan
kepada orang lain selama hidupnya. Data WHO dalam Global Tuberculosis
Control 2010, menyatakan bahwa terdapat 9,4 juta insiden TB dengan 1,3 juta
penderita meninggal dunia di seluruh dunia. Jumlah insiden TB tertinggi terdapat
di kawasan Asia Tenggara, 35% dari insiden total TB di dunia dengan prevalensi
280 per 100.000 penduduk.1
2
Di Indonesia, TB Paru merupakan salah satu masalah utama kesehatan
masyarakat. Jumlah pasien TB Paru di Indonesia berada pada peringkat lima
dunia setelah India, Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria dengan prevalensi TB 285
per 100.000 penduduk atau sebanyak 294.731 kasus pada tahun 2010. 2 Profil
Kesehatan Indonesia 2010 menyatakan bahwa provinsi dengan persentase pasien
TB Paru BTA positif terhadap suspek TB Paru terbanyak adalah Maluku Utara
sebesar 22,9%, Kepulauan Riau sebesar 18,7%, dan DKI Jakarta sebesar 16,3%.
Sedangkan rata-rata secara nasional persentase pasien TB Paru BTA positif
terhadap suspek TB Paru hanya sebesar 10,9%.3
Di Provinsi Jawa Barat, persentase pasien TB Paru BTA positif terhadap
suspek TB Paru sebesar 11,5%, dengan kasus TB Paru BTA positif sebanyak
29.413 (Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2007). 4 Angka kejadian TB Paru di
Kabupaten Bandung Barat pada Tahun 2010 dan tahun 2011 menunjukkan angka
sebesar 1.349 dan 1.393 kasus secara berurutan. Data tersebut menunjukkan
terjadi kenaikan angka kejadian dari tahun 2010 ke tahun 2011 sebanyak 44 kasus
atau tiga persen. Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2011 menunjukkan angka
kejadian kasus TB Paru di Puskesmas Padalarang pada tahun 2011 sebanyak 40
kasus dengan 24 kasus merupakan TB Paru BTA positif baru.5
Diperkirakan 95% kasus TB Paru dan 98% kematian akibat TB Paru di dunia
terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Sebanyak 75%
pasien TB Paru mengenai kelompok usia produktif secara ekonomis yang
berumur sekitar 15-50 tahun. Diperkirakan seorang pasien TB Paru dewasa akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya selama tiga sampai empat bulan dengan
akibat kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sekitar 20-30%. Jika pasien
meninggal akibat TB Paru, maka kehilangan pendapatannya akan meningkat
menjadi sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB paru juga
memberikan dampak buruk lainnya secara sosial dan terdapat kemungkinan untuk
dikucilkan oleh masyarakat.6
TB Paru merupakan suatu penyakit menular dikarenakan bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri berkembang dan menyebabkan penyakit
dipengaruhi oleh kesehatan lingkungan. H.L. Blum menyatakan dalam the
environment of health model bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi
kesehatan manusia, yaitu lingkungan, perilaku, genetik, dan sarana kesehatan.
Faktor yang paling berpengaruh terhadap kesehatan manusia adalah faktor
lingkungan dan diikuti oleh perilaku, genetik, serta sarana kesehatan.7
Tuberkulosis ditularkan melalui droplet dan penularannya akan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan rumah terutama kepadatan ruangan, pencahayaan,
dan juga ventilasi. Menurut Kepmenkes RI No. 829 Tahun 1999, ruangan dengan
luas delapan meter persegi tidak dianjurkan untuk dihuni lebih dari dua orang
karena akan memudahkan penularan mikroorganisme patogen. Pencahayaan
ruangan yang efektif harus masuk melalui ventilasi dengan minimal luas 10% dari
luas lantai merupakan faktor yang sangat mempengaruhi karena cahaya matahari
dapat membasmi bakteri patogen. Sedangkan ventilasi sendiri berfungsi dalam
pertukaran udara yang akan mempengaruhi kelembaban dari ruangan.
Kelembaban dapat menjadi media yang baik bagi perkembangan bakteri patogen
seperti basilus TB.8, 9
3
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa kejadian tuberkulosis paru di
Puskesmas Padalarang, Kabupaten Bandung Barat masih tinggi dan terjadi
peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011. Karena itu untuk mengetahui
penyebab peningkatan kejadian ini harus diketahui karakteristik dari penderita
tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, status
ekonomi, kepadatan hunian, pencahayaan ruangan, luas ventilasi, pekarangan, dan
lingkungan sekitar rumah.10-19
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan karakteristik penderita
tuberkulosis paru seperti usia, jenis kelamin, status ekonomi, pekerjaan,
pendidikan, riwayat TB yang sama, dan riwayat pengobatan TB Paru. Serta untuk
menggambarkan karakteristik lingkungan rumah seperti terdapatnya jendela pada
kamar dan ruang keluarga, luas ventilasi ruangan, pencahayaan ruangan,
kepadatan hunian rumah, pekarangan rumah, letak rumah, jalan depan rumah,
sanitasi air limbah, perilaku penghuni rumah, dan kriteria rumah sehat.
Manfaat penelitian ini dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memperbaiki
lingkungan rumah tempat tinggalnya dan juga perilaku penghuni rumah sehingga
dapat mencegah penularan tuberkulosis paru kepada orang lain. Selain itu dapat
digunakan oleh tenaga kesehatan sebagai dasar melakukan edukasi dan sosialisasi
mengenai faktor-faktor lingkungan yang menjadi risiko terjadinya tuberkulosis
paru, serta kejadian tuberkulosis paru dapat ditekan.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan cross
sectional yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik penderita tuberkulosis
paru dan lingkungan rumah. Populasi dalam penelitian ini adalah penderita
tuberkulosis paru di wilayah kerja puskesmas Padalarang, Kabupaten Bandung
Barat. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas yaitu usia, jenis
kelamin, status ekonomi, pendidikan, pekerjaan, riwayat TB yang sama, riwayat
pengobatan TB, jendela pada kamar dan ruang keluarga, kepadatan hunian,
pencahayaan ruangan, luas ventilasi rumah, perkarangan rumah, lebar jalan di
depan rumah, letak rumah, sanitasi rumah, perilaku, dan kriteria rumah sehat.
Serta variabel terikat yaitu tuberkulosis paru. Lokasi penelitian dilakukan di
Puskesmas Padalarang Kabupaten Bandung Barat periode Mei-Juli 2012.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dengan
prosedur pengumpulan data kuesioner yang memuat karakteristik responden dan
karakteristik lingkungan rumah. Pertanyaan diajukan secara tertulis dan dijawab
oleh responden. Penilaian lingkungan rumah dilakukan oleh peneliti dengan
mengobservasi lingkungan rumah responden dengan menggunakan daftar tilik.
Data dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin, status ekonomi,
kepadatan hunian rumah, pencahayaan ruangan, luas ventilasi rumah, dan jalan
depan rumah. Data selanjutnya dihitung angka kejadiannya serta dilihat
karakteristik responden dan lingkungan rumah penderita tuberkulosis paru di
wilayah kerja Puskesmas Padalarang. Data yang telah dikelompokkan diolah
dengan menggunakan SPSS versi 18.
4
Penelitian mengenai karakteristik penderita tuberkulosis paru dan lingkungan
rumah di wilayah kerja Puskesmas Padalarang, Kabupaten Bandung Barat telah
dilakukan kepada seluruh penderita TB Paru sejumlah 42 orang yang tercatat di
puskesmas pada kurun waktu Mei Juli 2012.
1) Karakteristik Demografi Penderita TB Paru
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita TB Paru
berada di kelompok umur dewasa 25-64 tahun, sebanyak 31 orang (73,8%)
dan berada di kelompok usia produktif yaitu berusia antara 15-50 tahun.
Responden di Kabupaten Bandung Barat berada di kelompok usia produktif
sehingga akan menghabiskan waktunya lebih banyak di luar rumah untuk
bekerja dan berinteraksi dengan orang lain. Risiko paparan menjadi lebih
besar karena kemungkinan kontak dengan orang yang menderita TB Paru
menjadi lebih sering. Penelitian ini juga sesuai dengan pernyataan WHO
bahwa penderita tuberkulosis paru di negara berkembang adalah kelompok
usia produktif.
Angka kejadian TB Paru berdasarkan jenis kelamin adalah 23 orang laki-
laki (54,8%). Hampir seluruh responden laki-laki di Kabupaten Bandung
Barat, berada di kelompok usia produktif sehingga akan menghabiskan
waktunya lebih banyak di luar rumah untuk bekerja dan berinteraksi dengan
orang lain. Risiko paparan menjadi lebih besar karena kemungkinan kontak
dengan orang yang menderita TB Paru.
Angka kejadian TB Paru berdasarkan karakteristik pendidikan adalah
responden paling banyak berpendidikan menengah sebanyak 25 orang
(59,5%). WHO menyatakan bahwa TB Paru menyerang masyarakat dengan
pendidikan rendah. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku.
Semakin tinggi pendidikan, maka semakin mudah menerima informasi. 10
Tetapi pada kenyataannya tidak demikian, karena mayoritas responden di
Kabupaten Bandung Barat adalah berpendidikan menengah. Hal ini
kemungkinan karena sebelum penderita TB Paru menjalani pengobatan,
mereka kurang mendapat informasi atau pengetahuan mengenai penyakit TB
Paru.
Hasil penelitian berdasarkan status ekonomi penderita TB Paru adalah
sebanyak 34 orang penderita TB Paru (80,9%) memiliki status ekonomi
rendah. Dengan penghasilan di bawah upah minimum regional Kabupaten
Bandung Barat tahun 2011 sebesar Rp. 1.236.991. Sebagian besar bekerja
sebagai buruh, petani, dan pedagang. Sehingga penghasilannya berada di
bawah upah minimum regional kabupaten. Hal ini menyebabkan responden di
Kabupaten Bandung Barat memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari terutama kebutuhan gizi, lingkungan rumah yang sehat, dan
kebutuhan akan kesehatan. Kebutuhan gizi yang mencukupi akan menjamin
status kekebalan tubuh yang baik dan lingkungan rumah yang sehat akan
menurunkan risiko berkembangnya kuman M. tuberculosis, serta melindungi
orang-orang dari penularan kuman. Sedangkan kebutuhan kesehatan yang
tidak dapat dipenuhi akan menunda kesembuhan dan meningkatkan risiko
penularan kepada orang lain. Oleh karena itu, status ekonomi rendah akan
meningkatkan risiko terinfeksi dan risiko menularkan TB Paru.
5
Karakteristik penderita TB Paru berdasarkan pekerjaannya menyatakan
bahwa pekerjaan yang banyak dimiliki berupa pekerjaan sebagai buruh, yaitu
16 orang (38,1%). Pekerjaan sebagai buruh memiliki pendapatan yang rendah,
sehingga pemenuhan kebutuhan untuk memiliki rumah yang sehat akan
diabaikan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain itu pekerjaan
dengan penghasilan rendah akan berdampak kepada pola konsumsi makanan
dan pemeliharaan kesehatan. Oleh karena itu, pekerjaan berpengaruh kepada
tingkat kesehatan karena jenis pekerjaan seseorang akan mempengaruhi
pendapatan keluarganya.
Penderita TB Paru memiliki kemampuan untuk menularkan kuman M.
tuberculosis kepada 2-3 orang disekitarnya. Pernyataan ini dapat dibuktikan
dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa 30 orang (71,4%) responden
memiliki keluarga atau orang disekitarnya yang menderita gejala yang sama
atau pernah didiagnosis TB. Dari 30 penderita TB Paru tersebut, didapatkan
sebanyak 28 penderita memiliki riwayat TB Paru yang sama dengan anggota
keluarganya, sedangkan dua penderita TB Paru lainnya memiliki riwayat TB
Paru yang sama dengan tetangga dan juga teman kerjanya. Riwayat
pengobatan dari semua penderita TB Paru diketahui sebanyak 12 orang
(28,6%) responden sedang menjalani pengobatan, sedangkan 30 orang
(71,4%) responden lainnya telah selesai menjalani pengobatan. Hasil
penelitian ini dapat memberikan gambaran kemungkinan bahwa penderita TB
Paru yang sedang menjalani pengobatan ditularkan oleh orang disekitarnya
yang telah terlebih dahulu terinfeksi. Penularan ini dapat diakibatkan karena
kemungkinan anggota keluarga atau orang disekitarnya tidak menjalani
pengobatan TB Paru dengan baik, sehingga pengobatan menjadi tidak efektif
dan meningkatkan risiko penularan pada orang sekitarnya. Jadi penelitian ini
mendukung teori bahwa penularan TB Paru berasal dari orang sekitar yang
memiliki riwayat TB Paru.12,13
6
Total 42 100
3. Pendidikan
Rendah 17 40,5
Menengah 25 59,5
Tinggi 0 0
Total 42 100
4. Status Ekonomi
Rendah 34 80,9
Tinggi 8 19,1
Total 42 100
5. Pekerjaan
Pelajar / Mahasiswa 1 2,4
PNS / POLRI / TNI / Pensiunan 0 0
Wiraswasta / Pegawai Swasta 10 23,8
Buruh 16 38,1
Petani 2 4,8
Lain-lain 13 30,9
Total 42 100
6. Riwayat Penyakit TB Paru yang Sama
Ada 30 71,4
Tidak Ada 12 28,6
Total 42 100
7. Riwayat Pengobatan
Masih Menjalani 12 28,6
Pengobatan Lengkap 30 71,4
Total 42 100
7
rata responden di Kabupaten Bandung Barat memiliki ruangan sebesar empat
sampai delapan meter persegi, tetapi dihuni oleh lebih dari dua orang untuk
satu ruangan. Kepadatan hunian ruangan ini akan meningkatkan risiko
penularan kuman M. tuberculosis dari penderita TB Paru kepada orang-orang
yang tidur dalam satu ruangan yang sama. Karena rata-rata penderita TB Paru
dapat menularkan kuman M. tuberculosis kepada dua sampai tiga orang yang
tinggal serumah, sehingga kepadatan hunian yang tidak baik akan lebih
memudahkan penularan kuman tuberculosis kepada orang di sekitarnya.8
Hasil penelitian mengenai karakteristik lingkungan rumah penderita TB
Paru berdasarkan lebar jalan depan rumah adalah hampir semua responden
yang berjumlah 36 rumah (85,7%) memiliki lebar jalan kurang dari sama
dengan dua meter. Hal ini berarti bahwa 36 orang penderita TB Paru tinggal di
rumah yang terletak di dalam gang serta memiliki kualitas udara yang tidak
baik karena tidak memiliki lahan terbuka hijau sebagai penyedia udara yang
bersih dan juga akibat dari rumah yang tidak memiliki jarak antara satu rumah
dengan rumah lainnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian mengenai
letak rumah yang mengungkapkan bahwa sebanyak 23 rumah (54,8%)
penderita TB Paru tidak memiliki jarak dengan rumah lainnya atau
berhimpitan. Rumah yang tidak memiliki jarak dengan rumah lainnya
membuat rumah tersebut tidak memiliki banyak ventilasi untuk pertukaran
udara. Sehingga penularan kuman M. tuberculosis akan lebih mudah dan juga
telah dibuktikan dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat.
Hasil komponen fisik rumah berdasarkan pekarangan rumah didapatkan
hasil bahwa penderita TB Paru yang memiliki pekarangan rumah sebanyak 26
orang responden dan 16 orang responden (38,1%) diantaranya memiliki
pekarangan yang bersih, sedangkan 10 orang responden (23,8%) lainnya
memiliki pekarangan yang kotor. Pekarangan rumah berfungsi sebagai tempat
pertukaran udara dari luar menuju kedalam ruangan rumah ataupun
sebaliknya. Karena dengan adanya pekarangan rumah maka udara yang
terinfeksi dapat dikeluarkan ke luar rumah menuju ke pekarangan atau juga
dapat disalurkan melalui jendela dan ventilasi. Sedangkan udara yang bersih
dapat masuk melalui pekarangan, jendela, atau ventilasi menuju ke dalam
rumah. Tetapi dengan syarat pekarangan tersebut harus bersih dan udara yang
masuk juga akan bersih. Pada penelitian ini walaupun terdapat pekarangan,
tetapi pekarangan tidak cukup bersih dan luas sebagai penghasil dan tempat
pertukaran udara. Hal ini karena letak rumah yang berhimpitan sehingga
pekarangan rumah tidak cukup baik sebagai tempat pertukaran udara.
8
Tidak Ada 18 42,9
Total 42 100
2. Jendela Ruang Keluarga
Ada 22 52,4
Tidak Ada 20 47,6
Total 42 100
3. Ventilasi Ruangan
Baik 10 23,8
Tidak Baik 32 76,2
Total 42 100
4. Pencahayaan Ruangan
Tidak Terang 0 0
Kurang Terang 18 42,9
Terang 24 57,1
Total 42 100
5. Kepadatan Hunian Rumah
Baik 9 21,4
Tidak Baik 33 78,6
Total 42 100
6. Pekarangan Rumah
Tidak Ada 16 38,1
Ada dan Kotor 10 23,8
Ada dan Bersih 16 38,1
Total 42 100
7. Letak Rumah
Berhimpitan 23 54,8
Ada Jarak 19 45,2
Total 42 100
8. Jalan Depan Rumah
2 meter 36 85,7
> 2 meter 6 14,3
Total 42 100
9
Tabel 3. Karakteristik Lingkungan Rumah Penderita TB Paru Berdasarkan
Komponen Perilaku Penghuni Rumah
Hasil Pengamatan
No. Karakteristik
Jumlah Persentase
1. Membuka Jendela Kamar Tidur
Tidak Pernah 23 54,8
Kadang-kadang 18 42,9
Setiap Hari 1 2,3
Total 42 100
2. Membuka Jendela Ruang Keluarga
Tidak Pernah 23 54,8
Kadang-kadang 17 40,5
Setiap Hari 2 4,7
Total 42 100
10
Total 42 100
5) Rumah Sehat
Penelitian ini menilai karakteristik rumah sehat yang ditinjau dari tiga
aspek, yaitu komponen fisik, komponen sanitasi, dan komponen perilaku.
Kriteria baik untuk setiap komponen dan juga penilaian secara keseluruhan
adalah jika terpenuhi minimal nilai sebesar 80% dari total skor. Rumah
penderita TB Paru yang tidak memenuhi syarat kesehatan dalam komponen
fisik adalah sebanyak 33 rumah (78,6%). Rumah penderita TB Paru yang tidak
memenuhi standar kriteria sanitasi sebanyak 38 rumah (90,5%). Serta Perilaku
penderita TB Paru yang tidak memenuhi syarat berjumlah 37 orang (88,1%).
Berdasarkan ketiga komponen tersebut maka rumah penderita TB Paru yang
tidak memenuhi syarat rumah sehat sebanyak 95,3%.
11
memiliki luas ventilasi yang tidak baik atau tidak memenuhi syarat. Rumah
memiliki pencahayaan ruangan yang terang dan dihuni oleh lebih dari dua
orang dalam satu ruangan. Rumah terletak di dalam jalan gang dan
berhimpitan dengan rumah lainnya, serta rumah memiliki pekarangan yang
bersih. Sedangkan pembuangan limbah cair rumah tangga dibuang ke sanitasi
terbuka berupa selokan. Penghuni rumah memiliki kebiasaan tidak pernah
membuka jendela pada kamar tidur dan ruang keluarga. Sehingga secara
keseluruhan rumah penderita TB Paru dikategorikan rumah tidak sehat.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Tuberculosis. 2010. Tersedia di :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/ [diakses 10 Januari 2012,
19.21 WIB].
12
4. Dinas Kesehatan Jawa Barat. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2007.
2008. Tersedia di : http://www.depkes.go.id/downloads/profil/prov%20jabar
%202007.pdf [21 Februari 2012, 16.17 WIB].
11. Hill, P.C., Jackson-Sillah, D., Donkor, S.A., Otu, J., Adegbola, R.A.,
Lienhardt, C. Risk Factors For Pulmonary Tuberculosis: A Clinic-Based Case
Control Study in The Gambia. BMC Public Health. 2006, 6:156.
12. Wildan, Y., Fatimah, S., Kuspiatiningsih, T., Sumardi. Hubungan Sosial
Ekonomi Dengan Angka Kejadian TB Paru BTA Positif Di Puskesmas Sedati.
Buletin Penelitian RSU Dr Soetomo; Vol 10, No 2, Juni 2008.
13
15. Ogboi S.J., Idris S.H., Olayinka A.T., Junaid, I. Socio-Demographic
Characteristics of Patients Presenting Pulmonary Tuberculosis in Primary
Health Center, Zaria, Nigeria. Jurnal of Medical Laboratory and Diagnosis.
2010, Vol. 1(2) pp. 11-14.
16. Davidow, A.L., Mangura, B.T., Napolitano, E.C., Reichman, L.B. Rethinking
The Sosioeconomics and Geography of Tuberculosis Among Foreign-Born
Residents of New Jersey, 1994-1999. American Journal of Public Helath.
2003, Vol. 93, No. 6.
17. Coker, R., McKee, M., Atun, R., Dimitrova, B., Dodonova, E., Kuznetsov, S.,
Drobniewski, F. Risk Factors For Pulmonary Tuberculosis in Russia: Case
Control Study. BMJ. 2006, Vol. 332.
19. Kementerian Kesehatan RI. Data Kabupaten atau Kota. 2010. Jakarta.
Tersedia di :
http://www.bankdata.depkes.go.id/propinsi/public/report/createtablepti
[diakses 12 Januari 2012, 16.39].
21. Fauci AS, Kasper DL, Braundwald E, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
Loscalzo J. Harrisons Principle of Internal Medicine, 17th Edition. New
York. 2009, Chapter 158.
23. California department of public health. What Is A Cross Sectional Study. 2009.
State of California. Tersedia di : http://www.ehib.org/faq.jsp?faq_key=41
[diakses 15 Maret 2012, 18.18].
24. Trochim, William M.K. Reliability and Validity. Research Method Knowledge
Base. 2006. Tersedia di :
http://www.socialresearchmethods.net/kb/relandval.php [diakses 15 Maret
2012, 18.38].
14