Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TBC) di Indonesia masih merupakan masalah besar dan

merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia setelah Cina dan India

(Zulaikhah dan Turijan, 2010). Tuberkulosis paru-paru merupakan suatu penyakit

infeksi yang masih dijumpai di Indonesia, walaupun di Negara yang maju

jumlahnya sudah berkurang. Penyakit ini sangat mudah ditularkan dengan cara “

droplet Infection “ .Diduga bahwa untuk setiap penderita yang meninggal karena

tuberkulosis, terdapat 10-20 penderita tuberkulosis yang aktif (Rukmono, 2006).

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit menular yang sebagian besar

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis (Notoadmodjo, 2011).

Berdasarkan data dari WHO tahun 1997, didunia setiap tahunnya terdapat

Sembilan juta orang terserang TB, dan lebih dari dua juta orang meninggal dunia

(Dimyati, 2012).

Penanggulangan TB terutama di Negara berkembang masih belum

memuaskan, karena angka kesembuhannya mencapai 30% (Bahar, 2013).

Walaupun obat-obat untuk TB telah ditemukan yaitu PAS, Vaksin BCG (1921),

INH (1999), Etambutol, Kanamisin dan terakhir Rifampisin (1968) sebagai

“ revolusi terapi (Bahar, 2013).

Pada Tahun 1998 terdapat 18.361 kasus baru TB yang dilaporkan ke CDC.

Statistik ini memperlihatkan angka kasus insidensi sebesar 6,8/100.000 pada

1
2

masyarakat. Di Amerika Serikat diperkirakan bahwa 10-15 juta orang akan

terinfeksi TB. Lebih dari 80% kasus baru TB yang dilaporkan di tahun 1998

adalah berusia lebih dari 25 tahun dan kebanyakan dari mereka terinfeksi di masa

lalu. Kira-kira 5-100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang menjadi TB

paru 1-2 tahun setelah terinfeksi. Pada 5% kasus akan berkembang menjadi

penyakit klinis dimasa akan datang sedangkan 95% sisanya tidak. Sekitar 10%

individu yang terinfeksi akan berkembang menjadi TB klinis seumur mereka

(Sylvia, 2012).

Di Indonesia penyakit tuberculosis paru masih menjadi masalah kesehatan

masyarakat. Hasil survey kesehatan rumah tangga tahun1998 menunjukan bahwa

tuberculosis merupakan penyakit kematian nomor 2 (11%) setelah penyakit

kardiovaskuler pada semua golongan usia dan nomor 1 dari golongan penyakit

infeksi. Penyakit TB paru menyerang sebagian besar kelompok usia produktif

dan kelompok social ekonnomi rendah. Diperkirakan setiap tahun terdapat

500.000 kasus baru TB, yaitu sekitar 200.000 penderita terdapat sekitar

puskesmas, sedangkan 200.000 ditemukan pada pelayanan rumah sakit atau klinik

pemerintah dan swasta serta sisnya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan.

Angka kematian karena TBC diperkirakan 175.000/tahun sedang selebihnya

belum terjangkau (Notoadmodjo, 2014).

WHO sedang mencoba untuk melawan TB dengan program terapi

observasi langsung (DOT). DOT berdasarkan pada ketetapan pemerintah local

dalam menggunakan sputum yang diperiksakan dengan mikroskop, terapi

observasi langsung dengan regimen teraupetik standar, mempertahankan suplai


3

obat agar tidak terputus dan mengawasi hasil-hasil system laporan standart

(Sylvia, 2009). Diperkirakan secara kasar bahwa setiap 100.000 penduduk

Indonesia terdapat 130 penderita baru TB paru BTA positif. Setiap satu penderita

TB positif akan menularkan kepada 10-15 orang penduduk setiap tahunnya.

Penemuan penderita dan pengobatannya merupakan suatu kunci penting dalam

menangani tuberkulosis paru, oleh karena itu kedua fase ini haruslah ditangani

dengan seksama (Rasmin et al, 2005). Berdasarkan sistem pencatatan dan

peloporan tersebut diperkirakan program TBC telah mencapai angka penemuan

Kasus ( Case Detection Rate ) sebesar 33% (2003), dan angka kesembuhan (Cure

Rate) sebesar 86% untuk tahun 2002, yang artinya banyak kasus TBC yang belum

tertangani dengan baik dan benar (SP-TBC, 2014).

Di Provinsi Sumatera utara jumlah penderita TB Paru Pada Tahun 2015

sebanyak 11. 185 penduduk di Kab. Dairi jumlah penderita TB paru Pada Tahun

2015 sebanyak 1.353 penduduk (Dinkes kota Medan, 2015 ). Di RS Mitra Sejati

Jumlah Penderita TB Paru Pada Tahun 2015 sebanyak 101 penduduk. Dan Pada

Tahun 2017 sampai Pada Bulan Agustus 2017 sebanyak 43 orang tetapi yang aktif

rutin datang untuk mengambil obat dan konsultasi ke dokter sebanyak 38 orang

(RM RS Mitra Sejati, 2017).

Dalam pengobatan TB yang harus diingat adalah keputusan pasien dalam

minum obat. Motivasi pengobatan tetap dilakukan karena sering terjadi putus

berobat, alasan tidak merasa sakit, bosan karena minum obat terlalu lama dll

(Bahar, 2010).

Individu yang menderita penyakit TB Paru sering merasa tidak berdaya,


4

menolak, merasa bersalah, merasa rendah diri, dan menarik diri dari orang lain

karena khawatir penyakit yang diderita menular kepada orang lain, hal ini

disebabkan oleh kurangnya pengetahuan pasien dan kelurga tentang TB Paru.

Selain itu akibat kurangnya pengetahuan pasien dan keluarga, maka pasien

sering merasa malu karena mengidap TB, tidak hanya pasien tetapi keluarga juga

biasa melakukan isolasi terhadap pasien TB dengan memisahkan tempat tidur dan

peralatan makan. Oleh sebab itu dibutuhkan pengetahuan yang baik tentang TB

sehingga penerapan tugas anggota keluarga dapat terlaksana dengan baik

(Aditama, 2014).

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, dari 10 keluarga

pasien yang diwawancara 7 diantaranya mengatakan bahwa tidak paham

bagaimana perawatan pasien TB Paru dan tidak tahu penularannya, mereka hanya

memisahkan alat-alat makan, tempat tidur dan selimut pasien dari anggota

keluarga yang sehat.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti mangambil kesimpulan bahwa

permasalahan pasien pasien dengan TB paru adalah hal yang sangat kompleks,

yang bukan hanya diperankan oleh tim kesehatan namun juga oleh semua

komponen masyarakat, diantaranya ;keluarga, lingkungan, perangkat

desa/pemerintahan dll. Kebijakan Pemerintah sangat berperan untuk

mengentaskan kasus kasus TB paru yang ada di masyarakat, Puskesmas

memainkan peran terdepan sebagai ujung tombak memerangi kasus TB paru

tersebut. Selain dari petugas kesehatan diharapkan peran keluarga dalm proses

penyembuhan pasien TB Paru. Untuk meningkatkan dukungan terhadap pasien,


5

penyuluhan dan pendidikan kesehatan sangat penting untuk meningkatkan

pengetahuan masyarakat khususnya keluarga pasien TB Paru.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah

Hubungan Pengetahuan Keluarga Tentang TB Paru dan Penerapan Tugas

Keluarga Pada Anggota Keluarga Yang Mengalami Tb Paru di RS Mitra Sejati

Tahun 2018.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan Keluarga Tentang TB Paru dan

Penerapan Tugas Keluarga Pada Anggota Keluarga Yang Mengalami Tb Paru di

RS Mitra Sejati Tahun 2018.

1.3.2 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan keluarga pasien TB Paru tentang TB

paru di RS Mitra Sejati Tahun 2018.

2. Untuk mengetahui penerapan tugas anggota keluarga yang mengalami TB

Paru di RS Mitra Sejati Tahun 2018.

3. Untuk menganalisa hubungan pengetahuan keluarga tentang TB Paru dengan

penerapan tugas keluarga pada anggota keluarga yang mengalami TB Paru di

RS Mitra Sejati Tahun 2018.


6

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan, pengalaman, dan meningkatkan pengetahuan

peneliti tentang TB Paru dan penerapan tugas-tugas keluarga dalam proses

pengobatan pasien TB Paru.

1.4.2 Bagi STIKes Sumatera Utara

Sebagai sumber referensi tambahan bagi perpustakaan STIKes Sumatera

Utara dalam rangka penangan masalah yang berhubungan dengan masalah TB

Paru.

1.4.3 Bagi RS Mitra Sejati Medan

Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan di RS Mitra Sejati

khususnya untuk lebih lagi melakukan penyuluhan kepada masyarakat untuk

meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga tugas keluarga dapat diterapkan

oleh keluarga pasien TB Paru.

1.4.4 Bagi Masyarakat

Diharapkan masyarakat mampu menerapkan tugasnya / perannya dalam

keluarga untuk proses penyembuhan pasien TB Paru sehingga pasien akan merasa

lebih semangat karena adanya dukungan keluarga.

Anda mungkin juga menyukai