Anda di halaman 1dari 13

C.

Status Gizi bayi dan balita di Daerah Perkotaan dan Pedesaan Jawa Tengah

 Status Gizi bayi dan balita di daerah Pedesaan Jawa Tengah

Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Jawa Tengah, status gizi terendah


pada daerah pedesaan di Jawa Tengah pada tahun 2018 di sandang oleh Kabupaten
Brebes, Jawa tengah. Para penderita ini umumnya berasal dari keluarga miskin dan
tersebar di seluruh kecamatan.

Pada bulan November 2017 lalu, dinas kesehatan brebes melaporkan ada
110 pasien gizi buruk. Jumlahnya meningkat menjadi 140 orang pada desember 2017.
Pada awal tahun 2018 ada penurunan sedikit menjadi 113 orang penderita gizi buruk

Penderita gizi buruk tersebar hamper di seluruh kecamatan yang ada di


brebes. Paling banyak terdapat pada kecamatan bulakamba sebanyak 16 pasien ,
disusuli oleh kecamatan brebes 12 orang dan Bumiayu 7 orang.

Berdasarkan Dinas kesehatan jawa tengah , penyebab penyakit gizi buruk ini
disebabkan karena banyak factor antara lain adanya penyakit penyerta antara lain
seperti ISPA, TBC, Hydrocephalus, dan Thalasemia.

 Status Gizi bayi dan balita di daerah Perkotaan Jawa tengah

Status Gizi bayi dan balita di daerah perkotaan (dalam pembahasan ini
dibahas kota Semarang) dapat tercermin dari hasil penimbangan bayi dan balita
setiap bulan di posyandu. Menurut laporan dari berbagai puskesmas pada tahun
2018 jumlah Bayi Lahir Hidup sebanyak 25.074 bayi dan jumlah Balita yang ada (S)
sebesar 107.071 anak.

Untuk kasus bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) pada tahun 2018
yaitu sebanyak 506 bayi (2,02%) yang terdiri dari 253 bayi laki-laki dan 253 bayi
perempuan. Upaya masyarakat untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan
bayi salah satunya dengan penimbangan bayi dan balita di Posyandu. Jumlah Balita
yang datang dan ditimbang (D) di Posyandu dari seluruh balita yang ada yaitu
sejumlah 89.698 balita (83,8%) dari 107.071 balita yang dilaporkan. Jumlah balita
yang naik berat badannya sebanyak 75.121 anak (92,7%) dari balita yang ditimbang
dan Bawah Garis Merah (BGM) sebanyak 741 anak (0,83%). Berikut adalah grafik
cakupan D/S di kota semarang.
Gambar 3.8 tersebut menunjukan cakupan D/S di kota semarang , grafik
tersebut menunjukan ada peningkatan dari tahun 2016 sampai dengan 2018. Dari pelaporan
penimbangan 3 tahun terakhir menunjukan hasil yang sudah mencapai target. Seduai
dengan teori pada pedoman penatalaksanaan Gizi Buruk Depkes RI yaitu “Bahwa apabila
80% dari balita ditimbang berat badannya maka dapat mecegah 20% kejadian gizi buruk”.
Cakupan pada tahun 2018 sudah mencapai target yaitu sebesar 83,77%.

Gizi buruk terjadi bukan hanya karena permasalahan-permasalahan


kurangnya konsumsi gizi namun bisa disebabkan karena adanya infeksi atau penyakit.
Kurang konsumsi gizi di sebabkan karena sosial ekonomi yang kurang dan pengetahuan
tentang gizi yang masih minim. Sedangkan penyebab infeksi karena lingkungan yang kurang
sehat. Berikut tren kasus gizi buruk di Kota Semarang tahun 2014-2018.
Dari gambar 3.10 dapat diketahui bahwa pada tahun 2018 kasus gizi buruk
ditemukan sebanyak 23 kasus. Jumlah tersebut semua mendapat perawatan (100%) yang
meliputi pemeriksaan gizi buruk secara komprehensif.Berikut adalah Peta persebarannya.
D. Morbiditas

Morbiditas dapat diartikan sebagai Angka Kesakitan, dapat berupa angka prevalensi
maupun angka insidensi maupun angka prevalensi dari suatu penyakit. Selain
menggambarkan kejadian penyakit dalma suatu populasi dan pada kurun waktu tertentu.
Morbiditas juga berperan dalam penilaian terhadap derajat kesehatan masyarakat.

1. Pola 10 Besar Penyakit Puskesmas Tahun 2018

2. Pola 10 Besar Penyakit Rumah Sakit tahun 2018


3. Penyakit Menular
Tuberkulosis Paru

Case detection rate (CDR) adalah prosentase jumlah pasien baru TBC semua
tipe yang ditemukan dan diobati dibanding jumlah pasien baru TBC semua tipe
yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case detection rate (CDR)
menggambarkan cakupan penemuan pasien TBC baru pada suatu wilayah.
Cakupan CDR Kota Semarang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terus
mengalami peningkatan cakupan. Bahkan di tahun 2017 dan tahun 2018
cakupan CDR diatas 100 % dengan peningkatan target cakupan sebesar 104.5 %
di tahun 2018 dan 107.3 di tahun 2018. Dengan demikian CDR kasus TBC di
tahun 2018 adalah 7.3 % diatas target. Hal ini terjadi karena peningkatan kinerja
seluruh pengelola program P2TB yang didukung oleh semua pihak terkait,
sehingga di tahun-tahun mendatang hal ini perlu dipertahankan dan bahkan
ditingkatkan guna penemuan kasus secara maksimal sampai tahun 2020 sebagai
amanat nasional eleminasi TB di tahun 2030.

penemuan kasus TB Anak di tahun 2018 sejumlah 884 kasus, jumlah


tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 916
kasus.
Penderita TB BTA (semua tipe) pada tahun 2018 sejumlah 4.252
kasus, dengan persentase TB Semua Tipe pada laki-laki sebanyak 2.308 kasus
(54%) lebih besar dari pada perempuan sebanyak 1.944 kasus (46%). Hal ini
disebabkan karena (fakta kwalitatif) pada laki-laki lebih intens kontak dengan
faktor risiko dan kurang peduli terhadap aspek pemeliharaan kesehatan individu
dibandingkan dengan wanita.

Total kasus TB-MDR dari tahun 2014 s.d tahun 2018 sebanyak 165
kasus. Dikaitkan dengan proporsi kejadian TB-MDR pada kasus TB Baru dan TB
Kambuh di tahun 2018 terdapat 71 kasus baru TB-MDR.

Indonesia telah memulai program MTPTRO (Manajemen Terpadu


Pengendalian TB Resistan Obat) sejak tahun 2009 dan di kembangkan secara
bertahap ke seluruh wilayah Indonesia sehingga seluruh pasien TB-MDR dapat
mengakses penatalaksanaan TB-MDR yang terstandar dan cepat. Sedangkan di
Kota Semaran g telah memulai program MTPTRO pada tahun 2013. Berdasarkan
peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 13/MENKES/PER/II/2013 program
MTPTRO merupakan bagian intergal dari Program Pengendalian TB Nasional.
Angka kesembuhan Kota Semarang dalam kurun waktu 5 (lima) tahun
terakhir tidak pernah mencapai target nasional, yang tertinggi sebesar 65% CR
di tahun 2017, yang terendah sebesar 64 % di tahun 2013. Rata-rata pencapaian
CR pertahunnya baru sebesar 18,32% di bawah target CR nasional.

Angka Konversi pasien TB Paru BTA (+) dalam 5 tahun terakhir masih berada
di bawah target nasional 80%. Secara gradual 5 tahun berjalan mengalami
penurunan rata-rata sebesar 13,5% dari target nasional. Penurunan yang paling
tajam terjadi di tahun 2018 yaitu sebesar 29,5% dari target nasional. Penyebab tidak
konversinya pasien kemungkinan dapat disebabkan oleh :
1. Kepatuhan minum obat yang kurang
2. Very delayed conversion
3. MoTT (Mycobacterium other Than Tuberculosis)
4. Multiple Drug Resistant
5. Dead Bacilli
6. Lesi Paru yang luas dengan Tuberculoma
7. Komorbid lain

Salah satu upaya untuk mengendalikan TB yaitu dengan pengobatan.


Indikator yang digunakan untuk evaluasi pengobatan yaitu angka keberhasilan
pengobatan.
4. Penyakit PD3I
a. Tetanus
Kasus Tetanus Neonatorum (TN) di kota Semarang Tahun 2018 tidak
ditemukan .
b. Difteri
Kasus difteri sejak tahun 2013 hingga tahun 2017 mengalami status
stagnansi atau tidak berubah banyak, yaitu ditemukan sebanyak 2 kasus tiap
tahunnya. Namun terjadi peningkatan kasus pada 2018 (8 kasus) dan
kematian (3 kasus) sehingga dapat dikatakan terjadi KLB difteri pada 2018.

c. Polio
Hasil surveilans Acute Flaccid Paralysis (AFP) di Kota Semarang dari tahun
2014 sampai tahun 2018 selalu ditemukan kasus AFP. Hal ini disebabkan
karena surveilans aktif yang sudah berjalan cukup baik. Kasus AFP di tahun
2018 sebanyak 9 kasus.
Pada tahun 2018 kasus AFP ditemukan di rumah sakit sebanyak 8 kasus dan
di Puskesmas sebanyak 1 kasus. Kasus AFP di kota Semarang pada tahun
2018 berada di wilayah kerja Puskesmas Lebdosari, Bulu Lor, Manyaran,
Purwoyoso, Padangsari, Bangetayu dan Kedungmundu.
Kasus AFP yang ditemukan di kota Semarang tahun 2018 sebanyak 9 kasus,
yang terdiri dari laki-laki sebanyak 5 (56%) orang dan perempuan 4 (44%)
orang
d. Campak
kasus campak dari tahun 2012–2018 dari hasil laporan mingguan (W2)
puskesmas, SKDR dan rumah sakit mengalami penurunan. Pada tahun 2018
kasus campak mengalami penurunan jika dibanding tahun 2017 yaitu 64
kasus.
5. Penyakit tidak menular

Perhatian terhadap penyakit tidak menular semakin meningkat seiring


meningkatnya frekuensi kejadian penyakit di masyarakat. Di Indonesia terjadi
perubahan pola penyakit yaitu dari penyakit menular ke penyakit tidak menular,
yang dikenal sebagai transisi epidemiologi. Terjadinya perubahan pola penyakit dari
penyakit menular menuju penyakit tidak menular berkaitan dengan beberapa hal,
yaitu:
Perubahan struktur masyarakat yaitu dari agraris ke industri,
Perubahan struktur penduduk yaitu penurunan anak usia muda dan
peningkatan jumlah penduduk usia lanjut karena keberhasilan KB,
Perbaikan dalam sanitasi lingkungan untuk menurunkan penyebaran
penyakit menular,
Peningkatan tenaga kerja wanita karena emansipasi,
Peningkatan pelayanan kesehatan dalam memberantas penyakit infeksi,

Selama ini sebagian fokus pemberantasan lebih mengarah pada penyakit


menular.

Penyakit tidak menular antara lain penyakit jantung dan pembuluh darah
yang utama adalah penyakit hipertensi, stroke dan diabetes mellitus. Penyakit tidak
menular termasuk penyakit yang dapat dicegah dengan mengendalikan faktor
resikonya.. Berikut adalah table grafik Persebaran Kasus PTM di puskesmas dan
FKTP serta di Rumah sakit dan Grafik Kasus PTM di puskesmas dan rumah sakit
berdasarkan Umur , tahun 2018.
6. Penyakit Bersumber Binatang

Anda mungkin juga menyukai