Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Pneumonia adalah peradangan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi.

Pneumonia bisa menimbulkan gejala ringan hingga berat. Beberapa gejala

yang umumnya dialami penderita Pneumonia adalah batuk berdahak, demam

dan sesak napas. Pneumonia juga dikenal dengan istilah Paru-paru basah.

Pada kondisi ini, infeksi menyebabkan peradangan pada kantong-kantong

udara (alveoli) di salah satu atau kedua Paru-paru. Akibatnya, alveoli bisa

dipenuhi cairan atau nanah sehingga menyebabkan penderitanya sulit

bernapas (WHO, 2019).

Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang menyerang paru-

paru. Paru-paru terdiri dari Kantung-kantung kecil yang disebut Alveoli, yang

terisi udara ketika orang sehat bernafas. Ketika seseorang menderita

Pneumonia, Alveoli dipenuhi dengan nanah dan cairan, yang membuat

Pernapasan terasa menyakitkan dan membatasi asupan oksigen (WHO, 2019).

Pneumonia adalah penyakit menular yang menyebabkan kematian terbesar

pada anak-anak di seluruh Dunia. Pneumonia membunuh 808.694 anak di

bawah usia 5 tahun pada tahun 2017, terhitung 15%dari semua kematian anak

di bawah usia lima tahun. Pneumonia menyerang anak-anak dan keluarga di

mana-mana, tetapi paling umum di Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara.

Anak-anak dapat dilindungi dari Pneumonia, dapat dicegah dengan intervensi

1
sederhana seperti diberikan vaksin dan dirawat dengan biaya rendah,

pengobatan dan perawatan berteknologi rendah (WHO, 2019).

Menurut WHO pada tahun 2018 Pneumonia merenggut nyawa lebih dari

800.000 anak Balita di seluruh Dunia, atau 39 anak per detik. Separuh dari

kematian Balita akibat Pneumonia tersebut di lima Negara meliputi Nigeria

(162.000), India (127.000), Pakistan (58.000), Republik Demokratik Kongo

(40.000), dan Ethiopia (32.000). Pneumonia juga merupakan penyebab

kematian Balita terbesar di Indonesia. Pada tahun 2018, diperkirakan sekitar

19.000 anak meninggal akibat Pneumonia. Estimasi global menunjukkan

bahwa satu jam ada 71 anak di Indonesia yang tertular Pneumonia (WHO,

2019).

Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018, Berdasarkan data laporan

rutin Subdit ISPA Tahun 2018, didapatkan insiden (per 1000 Balita) di

Indonesia sebesar 20,06% hampir sama dengan data tahun sebelumnya

20,56%. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini

yaitu dengan meningkatkan penemuan Pneumonia pada Balita. Perkiraan

kasus Pneumonia secara nasional sebesar 3,55% namun angka perkiraan

kasus Pneumonia di masing-masing provinsi menggunakan angka yang

berbeda-beda sesuai angka yang telah ditetapkan. Pada tahun 2018 terdapat

satu Provinsi yang cakupan penemuan Pneumonia Balita sudah mencapai

target yaitu DKI Jakarta 95,53%, sedang provinsi yang lain masih di bawah

target 80%, capaian terendah di provinsi Kalimantan Tengah 5,35%. Hasil

pada tahun 2015 tercapai 14,62% sedangkan target sebesar 20%, tahun 2016

2
tercapai 28,07% dari target 30%, tahun 2017 tercapai 42,6% dari target 40%.

Tahun 2018 tercapai sebesar 43% dari target 50%. Pada tahun 2018 tidak

mencapai target, namun bila dilihat capaiannya meningkat dari tahun

sebelumnya. Pada tahun 2018 Angka kematian akibat Pneumonia pada Balita

sebesar 0,08 %. Angka kematian akibat Pneumonia pada kelompok Bayi

lebih tinggi yaitu sebesar 0,16 % dibandingkan pada kelompok anak umur 1 –

4 tahun sebesar 0,05% (Kemenkes RI, 2019).

Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, hanya Provinsi Papua Barat

dan DKI telah mencapai target penemuan sebesar 80, bahkan melebihi target

yang telah ditetapkan program. Sedangkan Papua hanya mencapai 0,2%

penemuan pneumonia dari target yang telah ditetapkan. Pada tahun 2019

Persentase Kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan tatalaksana

standar Pneumonia sebesar 57,2% yang berarti hampir mencapai target

renstra tahun 2019 yang sebesar 60%. Namun dari 34 Provinsi terdapat empat

Provinsi yang Puskesmas di seluruh Kabupaten/Kotanya melakukan

pemeriksaan dan tata laksana standar Pneumonia yaitu Kepulauan Bangka

Belitung, DKI Jakarta, Banten, dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2019

angka kematian akibat Pneumonia pada Balita sebesar 0,12%. Angka

kematian akibat Pneumonia pada kelompok Bayi lebih tinggi hampir dua kali

lipat dibandingkan pada kelompok anak umur 1 – 4 tahun (Kemenkes RI,

2020).

Data Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2020, Cakupan penemuan

Pneumonia pada balita di Indonesia berkisar antara 20 – 30% dari tahun 2010

3
sampai dengan 2014, dan sejak tahun 2015 hingga 2019 terjadi peningkatan

cakupan dikarenakan adanya perubahan angka perkiraan kasus dari 10%

menjadi 3,55%. Namun, pada tahun 2020 terjadi penurunan kembali menjadi

34,8%. Penurunan ini lebih di sebabkan dampak dari pandemi COVID-19,

dimana adanya stigma pada penderita COVID-19 yang berpengaruh pada

penurunan jumlah kunjungan Balita batuk atau kesulitan bernapas di

Puskesmas, pada tahun 2019 jumlah kunjungan Balita batuk atau kesulitan

bernapas sebesar 7,047,834 kunjungan, pada tahun 2020 menjadi 4,972,553

kunjungan, terjadi penurunan 30% dari kunjungan tahun 2019 yang pada

akhirnya berdampak pada penemuan Pneumonia Balita. Pada tahun 2020

secara Nasional dan Provinsi belum mencapai target penemuan sebesar 80%.

Provinsi dengan cakupan Pneumonia pada Balita tertinggi berada di DKI

Jakarta (53,0%), Banten (46,0%), dan Papua Barat (45,7%). Pada tahun 2020

Persentase Kabupaten/Kota yang 50% Puskesmasnya melakukan tata laksana

standar Pneumonia sebesar 60,7% yang berarti sudah mencapai target renstra

tahun 2020 yaitu sebesar 50%. Terdapat tujuh Provinsi yang Puskesmasnya di

seluruh Kabupaten/Kota melakukan pemeriksaan dan tata laksana standar

Pneumonia yaitu, Bengkulu, Kep. Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten,

Bali, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo. Pada tahun 2020 angka kematian

akibat Pneumonia pada Balita sebesar 0,16%. Angka kematian akibat

Pneumonia pada kelompok Bayi lebih tinggi hampir dua kali lipat

dibandingkan pada kelompok anak umur 1 – 4 tahun (Kemenkes RI, 2021).

4
Menurut Riskesdas Tahun 2007, 2013, 2018, Prevalensi penderita

Pneumonia di Indonesia adalah (2,13%) pada tahun 2007, (1,6%) pada tahun

2013 mengalami penurunan dari tahun 2007, (2,0%) pada tahun 2018

mengalami kenaikan dengan prevalensi (4,0%). Pada tahun 2013 prevalensi

penderita Pneumonia tertinggi di Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh

(35,6%), Bangka Belitung (34,8%), Sulawesi Barat (34,8%) dan Kalimantan

Tengah (32,7%). Pada tahun 2018 prevalensi penderita Pneumonia tertinggi

di DI Yogyakarta (10,8%), terendah di Kalimantan Selatan dan Jambi

(3,6%). Dengan kejadian Pneumonia anak usia di bawah lima tahun (1,4%)

pada tahun 2013 dan (3,4%) pada tahun 2018 (Riskesdas).

Berdasarkan Profil Kesehatan Bangka Belitung Tahun 2018, jumlah

penduduk usia Balita di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah

sebanyak 136.920 orang. Angka kesakitan Pneumonia untuk Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung adalah 6,05% dari jumlah Balita yaitu sebesar

8.284 kasus. Dari target tersebut, pada tahun 2018 diperoleh data sebanyak

5.135 balita (61,99%) terklasifikasi mengalami Pneumonia dan Pneumonia

berat. Dari semua kunjungan Balita batuk dan atau kesukaran bernapas di

fasilitas pelayanan kesehatan sebanyak 88,47% sudah dilakukan tatalaksana

sesuai standar. Sedangkan untuk data Kabupaten/Kota yang 50%

Puskesmasnya melaksanakan tatalaksana standar untuk penemua kasus

Pneumonia adalah 71,43% (Profil Kesehatan Dinkes Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung Tahun 2018).

5
Berdasarkan Profil Kesehatan Bangka Belitung Tahun 2019, jumlah

penduduk usia balita di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebanyak

128.893 orang. Angka kesakitan Pneumonia untuk Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung adalah 6,05% dari jumlah Balita yaitu sebesar 7.771 kasus.

Dari target tersebut, pada tahun 2019 diperoleh data sebanyak 3.893 balita

(53%) terklasifikasi mengalami Pneumonia dan Pneumonia berat. Target

Nasional cakupan penemuan kasus Pneumonia Kabupaten/Kota se Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019 sebesar 85% terlihat cakupan

tertinggi penemuan kasus Kabupaten Bangka 77,50% sedangkan cakupan

terendah Kabupaten Bangka Tengah 25,17%. Cakupan Penemuan Kasus

Pneumonia Kabupaten/Kota se Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun

2019 belum memenuhi target nasional 85%. Sedangkan kelengkapan laporan

dengan target 100% dapat di capai oleh Kabupaten/Kota di Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung. Pada tahun 2019 progres pengendalian dan

penemuan kasus Pneumonia teranalisa bahwa pada bulan januari 2019 kasus

Pneumonia sebanyak 342 kasus di Kabupaten/Kota, lonjakan kasus di bulan

april 451 kasus dan terjadi penurunan kasus pada bulan juli 259 kasus

sedangkan bulan desember berjumlah 330 kasus. (Profil Kesehatan Dinkes

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2019).

Berdasarkan Profil Kesehatan Bangka Belitung Tahun 2020, jumlah

penduduk usia Balita di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah

sebanyak 112.979.000 orang. Angka kesakitan Pneumonia untuk Provinsi

6
Kepulauan Bangka Belitung adalah 6,05% dari jumlah Balita yaitu sebesar

8.336 kasus. Dari target tersebut, pada tahun 2020 diperoleh data sebanyak

2.119 Balita (25,53%) terklasifikasi mengalami Pneumonia dan Pneumonia

Berat. Dari semua kunjungan Balita batuk dan atau kesukaran bernapas di

fasilitas pelayanan kesehatan sebanyak 92,9% sudah dilakukan tatalaksana

sesuai standar. Sedangkan untuk data Kabupaten/Kota 50% Puskesmasnya

melaksanakan tatalaksana standar untuk penemuan kasus Pneumonia minimal

60% adalah 100% (Profil Kesehatan Dinkes Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung Tahun 2020).

Berdasarkan Data Dinas kesehatan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Pada Tahun 2019 jumlah kasus Pneumonia dilaporkan sebanyak 4.137 kasus,

Pada tahun 2020 jumlah kasus Pneumonia dilaporkan sebanyak 2.147 kasus,

dan Pada Tahun 2021 jumlah kasus Pneumonia di laporkan sebanyak 1.890

kasus. Dalam tiga tahun terakhir angka kejadian Pneumonia mengalami

peningkatan terutama di Kabupaten Bangka, Pada tahun 2019 sebanyak 1.482

kasus, Pada tahun 2020 sebanyak 943 kasus, Pada tahun 2021 sebanyak 1.066

kasus (Dinkes Babel).

7
Pada Riskesdas Bangka Belitung tahun 2007, 2018 Prevalensi penderita

Pneumonia di Bangka Belitung (1,3%) pada tahun 2007, (1,08%) pada tahun

2018 dengan prevalensi (2,78%). Pada tahun 2007 prevalensi penderita

Pneumonia tertinggi di Kota Pangkalpinang (37,0%) dan terendah di

Kabupaten Bangka Tengah (23,8%) dan untuk tahun 2018 prevalensi

penderita Pneumonia tertinggi di Kabupaten Bangka (2,85%) dan terendah di

Kabupaten Belitung Timur (1,34%). Dengan kejadian anak usia di bawah

lima tahun (1,1%) pada tahun 2007 dan (3,66%) pada tahun 2018 (Riskesdas

Bangka Belitung).

Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bangka Tahun 2019 jumlah

kasus Pneumonia pada Balita mencapai 1.465 kasus, Pada tahun 2020 jumlah

kasus Pneumonia pada balita mencapai 912 kasus, Pada tahun 2021 jumlah

kasus Pneumonia pada Balita mencapai 1.066 kasus. Dalam tiga tahun

terakhir kasus Pneumonia tertinggi ada di Puskesmas Sungailiat Pada tahun

2019 sebanyak 252 kasus, Pada tahun 2020 sebanyak 172 kasus, Pada tahun

2021 sebanyak 207 kasus. Terdapat angka kematian (CFR) sebanyak 1 kasus

meninggal di Puskesmas Riau Silip tahun 2020 (Dinkes Kabupaten Bangka).

8
Berdasarkan Data Yang Di Peroleh Dari Puskesmas Sungailiat, bahwa

angka kejadian Pneumonia pada Balita terbilang fluktuasi setiap tahunnya

yaitu pada tahun 2019 sebanyak 252 Kasus, pada tahun 2020 sebanyak 172

Kasus, pada tahun 2021 sebanyak 207 Kasus. Dan ada di tiga kelurahan kasus

Pneumonia tertinggi di daerah Kabupaten Bangka yang termasuk wilayah

kerja Puskesmas Sungailiat yaitu Kelurahan Sungailiat, Kelurahan

Srimenanti, Kelurahan Kuday (Puskesmas Sungailiat).

Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan di atas, maka penulis

tertarik melakukan penelitian tentang “ Faktor-faktor yang berhubungan

dengan meningkatnya kejadian Pneumonia pada anak Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Sungailiat Tahun 2022 ”.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) bahwa ada

hubungan Luas Ventilasi dengan kejadian Pneumonia pada penelitian tersebut

menunjukkan bahwa risiko Balita terkena Pneumonia akan meningkat jika

tinggal di rumah yang luas ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Merry Fanada (2012) bahwa

ada hubungan Status Imunisasi dengan kejadian Pneumonia pada penelitian

tersebut didapatkan bahwa Balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap

lebih banyak menderita Pneumonia dibandingkan dengan Balita yang

mendapatkan imunisasi lengkap, ini dikarena kekebalan tubuh anak Balita

juga dipengaruhi oleh status imunisasi, oleh karena itu imunisasi sangat

penting karena peluang untuk terkena penyakit terutama Pneumonia lebih

kecil dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak lengkap.

9
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurjazuli (2012) bahwa ada

hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Pneumonia pada

penelitian tersebut didapatkan bahwa ibu yang tidak memberikan ASI

Eksklusif pada Balitanya lebih banyak yang menderita Pneumonia

dibandingkan dengan ibu yang memberikan ASI Eksklusif, ini karena

kekebalan tubuh anak Balita juga tergantung pada lamanya pemberian ASI,

oleh karena itu ASI Eksklusif sangat penting karena peluang untuk terkena

penyakit terutama Pneumonia lebih kecil dibandingkan dengan anak yang

tidak ASI Eksklusif.

1.2 Rumusan Masalah


Penelitian ini dilakukan karena berdasarkan data yang diperoleh dari

Puskesmas Sungailiat bahwa angka kejadian Pneumonia pada Balita

terbilang Fluktuasi dari tahun ke tahunnya yaitu pada tahun 2019 sebanyak

252 Kasus, pada tahun 2020 sebanyak 172 Kasus, pada tahun 2021

sebanyak 207 Kasus. Berdasarkan latar belakang yang di kemukakan di atas,

Maka penulis tertarik melakukan Penelitian Tentang “Faktor-faktor yang

berhubungan dengan meningkatnya kejadian Pneumonia pada anak Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Sungailiat Tahun 2022 ”.

10
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk Mengetahui Faktor-faktor yang berhubungan dengan

meningkatnya kejadian Pneumonia pada anak Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Sungailiat Tahun 2022.

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Untuk Mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu tentang penyakit

Pneumonia pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sungailiat

Tahun 2022.

b. Untuk Mengetahui hubungan antara jenis kelamin balita dengan

penyakit Pneumonia pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Sungailiat Tahun 2022.

c. Untuk Mengetahui hubungan antara keberadaan perokok dengan

penyakit Pneumonia pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Sungailiat Tahun 2022.

d. Untuk Mengetahui hubungan antara Status ASI Eksklusif dengan

penyakit Pneumonia pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Sungailiat Tahun 2022.

11
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
a. Dapat meningkatkan pengetahuan dalam pencegahan Pneumonia yang

telah diperoleh di bangku kuliah dengan kenyataan yang ada di

lingkungan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengalaman dalam menganalisa permasalahan kesehatan terutama

mengenai faktor-faktor meningkatnya Pneumonia pada anak balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Sungailiat Tahun 2022.

1.4.2 Bagi Tempat Institusi Kesehatan


Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pegawai Tenaga

kesehatan dalam mengatasi upaya pencegahan Pneumonia pada anak. Dan

dapat memperhatikan pengupayaan faktor-faktor yang dapat mengurangi

kejadian penyakit Pneumonia sehingga kejadian Pneumonia pada anak

menurun.

1.4.3 Bagi Institusi Pendidikan


Bagi Institusi Pendidikan untuk menambah referensi dan ilmuan tentang

pengetahuan yang berkaitan dengan lingkup keperawatan anak, terutama

di khususkan pada pengetahuan, sikap dan upaya pencegahan penyakit

Pneumonia pada anak.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan kepustakaan untuk mendukung permasalahan yang diungkapan,

dalam usulan penelitian, diperlukan tinjauan kepustakaan yang kuat. Tinjauan

kepustakaan sangat penting dalam mendasari penelitian yakan dilakukan

(Notoatmodjo, 2012).

2.1 Konsep Teori Pneumonia


2.1.1 Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan paru-paru yang disebabkan oleh infeksi.

Pneumonia bisa menimbulkan gejala yang ringan hingga berat. Beberapa

gejala umumnya dialami penderita pneumonia adalah batuk berdahak,

demam, dan sesak napas. Pneumonia juga dikenal dengan istilah paru-paru

basah. Pada kondisi, Infeksi menyebabkan peradangan pada kantong-

kantong udara (alveoli) disalah satu atau kedua Paru-paru. Akibatnya,

Alveoli bisa dipenuhi cairan atau nanah sehingga menyebabkan

penderitanya sulit bernapas (Padila, 2017).

Pneumonia adalah peradangan akut Parenkim Paru-paru yang biasanya

berasal dari suatu infeksi (Price dalam Padila, 2017).

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai Parenkim Akut,

Distal dari Bronkiolus Terminalis yang mencakup Bronkiolus

Respiratorius, Alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan Paru dan

menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat (Zul dalam Padila, 2017).

13
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan

pneumonia yang mempunyai pola penyebaran bercak, teratur dalam satu

atau lebih area terlokalisasi didalam Bronki dan meluas ke Parenkim Paruh

dan berdekatan disekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsodilasi

area bercak (Smeltzer, 2001 dalam Padila, 2017).

2.1.2 Epidemiolgi
Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan utama dan

menyebabkan lebih dari 5 juta kematian per tahun pada anak Balita di

Negara berkembang. Penyakit ini juga merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas anak berusia <5 tahun. Insidens Pneumonia pada

anak berusia <5 tahun adalah 10–20 kasus/100 anak/ tahun di negara

berkembang dan 2-4 kasus/anak/tahun di negara maju. (Callistania C dan

Indrawati W, 2014).

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan

utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab

utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun.

Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang

2 juta anak Balita, meninggal setiap tahun akibat Pneumonia, sebagian besar

terjadi di Afrika dan Asia tenggara. Menurut survei kesehatan nasional

(SKN) 2001, 27,6% kematian Bayi dan 22,8% kematian Balita di Indonesia

disebabkan oleh penyakit Sistem Respiratori, terutama Pneumonia (Said

M,2015).

14
2.1.3 Etiologi
Penyebab tersering Pneumonia Bakterial adalah S. Pneumoniae. Virus

lebih sering ditemukan pada anak < 5 tahun dan respiratory syncytial virus

(RSV) merupakan penyebab tersering pada anak < 3 tahun. Virus lain

penyebab Pneumonia meliputi Adenovirus, Paraininfluenza virus.

Mycoplasma Pneumonia dan Chalmydia Pneumonia lebih sering di temukan

pada anak > 10 tahun. Sementara itu, bakteri yang paling banyak di temukan

pada apus tenggorokan usia 2-59 bulan adalah Streptococcus Neomonia,

Staphylococcus Aureus, dan Hemophilus Influenza.

Menurut Nurarif & Kusuma, (2016) dalam Syara (2018), penyebab

Pneumonia pada anak dapat digolongkan menjadi :

a. Bakteri : Pneumonia Bakteri biasanya di dapatkan pada lanjut

organisme gram positif seperti : Streptococcus Pneumonia, S.Aerous,

dan Atreplococcus Pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti

Haemophilus Influenza, Klebsiella Pneumonia dan P.Aeruginosa.

b. Virus : di sebabkan oleh Virus Influenza yang menyebar melalui

transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai

penyebab utama Pneumonia Virus.

c. Jamur : infeksi yang disebabkan jamur seperti Histoplasmosis menyebar

melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya

ditemukan pada kotoran burung tanah serta kompos.

15
d. Protozoa : Menimbulkan terjadinya Pneumocystis Carinil Pneumonia

(Cpc). Biasanya menjangkit pasien yang mengalami Immunosupresi.

2.1.4 Manifestasi Klinis Pneumonia


Gambaran klinis Pneumonia beragam, bergantung pada organisme

penyebab dan penyakit pasien diantaranya menggigil mendadak dengan

cepat berlanjut menjadi demam (38,5-45 C), nyeri dada pleuretik yang

semakin berat ketika bernapas dan batuk, pasien yang sakit parah

mengalami takipnea berat (25 sampai 45 kali pernapasan atau/menit) dan

dyspnea, ortopnea ketika tidak di sangga, nadi cepat dan memantul, dapat

meningkat 10 kali/menit per satu derajat peningkatan suhu tubuh (celsius),

relatif untuk tingginya demam menuju infeksi organisme legionella,

sputum purulent, berwarna seperti karat, bercampur darah, kental, atau

hijau, bergantung pada agen penyebab. Pada Pneumonia berat tampak pipi

memerah, bibir dan bantalan kuku menunjukan sianosis sentral (Suddarth,

2014).

2.1.5 Patofisiologi
Pneumonia yang dipicu oleh bakteri bisa menyerang siapa saja, dari

bayi sampai usia lanjut. Pecandu alkohol, pasien pasca operasi, orang-

orang dengan gangguan penyakit pernapasan, sedang terinfeksi virus atu

menurun kekebalan tubuhnya, adalah yang paling berisiko. Sebenarnya

bakteri pneumonia itu ada dan hidup pada tenggorokan yang sehat. Pada

saat pertahanan menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut dan

malnutrisi, bakteri Pneumonia dengan cepat berkembang dan merusak

organ Paru-paru. Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu

16
mikroorganisme paru banyak disebabkan oleh reaksi imun. Selain itu,

toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada Pneumonia bakterialis

dapat secara langsung merusak sel-sel sistem pernapasan bawah,

Pneumonia Bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan yang

paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-

paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-

paru (tiga di Paru-paru kanan dan dua di Paru-paru kiri) menjadi terisi

cairan. Dari jaringan Paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh

tubuh melalui peredaran darah. Bakteri Pneumokokus adalah kuman yang

paling umum sebagai penyebab Pneumonia (Suparyanto, 2018).

2.1.6 Klasifikasi
Menurut (Zul Dahlan dalam Padila, 2017).

A. Berdasarkan ciri Radiologis dan Gejala klinis, dibagi atas : Pneumonia

tipikal, bercirikan Tanda-tanda

B. Pneumonia lobaris dengan opasitas lobus atau lobularis. Pneumonia

atipikal, ditandai gangguan respirasi yang meningkat lambat dengan

gambaran infiltrate paru bilateral difus.

1. Berdasarkan faktor lingkungan

a. Pneumonia komunitas

b. Pneumonia nasocomial

c. Pneumonia rekurens

d. Pneumonia aspirasi

e. Pneumonia pada gangguan imun

17
f. Pneumonia hipostatik

2. Berdasarkan sindrom klinis

a) Pneumonia bacterial berupa : Pneumonia tipe Tipikal yang

terutama mengenai Parenkim Paru dalam bentuk

Bronkopneumonia dan Pneumonia Lobar serta Pneumonia

Bacterial tipe campuran Aptipikal yaitu perjalanan penyakit

ringan dan jarang disertai konsodilasi paru.

b) Pneumonia Non Bacterial, dikenal Pneumonia Atipikal yang

disebabkan Mycoplasma, Chlamydia Pneumoniae atau

Legionella.

3. Klasifikasi berdasarkan (Reeves dalam Padila, 2017) ;

A. Community Acquired Pneumonia dimulai sebagai penyakit

pernapasan umum dan bisa berkembang menjadi Pneumonia.

Pneumonia Streptococal merupakan organisme penyebab umum.

Tipe Pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau

kalangan orang tua.

B. Hospital Acquired Pneumonia dikenal sebagai Pneumonia

Nosocomial. Organisme seperti ini Aeruginisa Pseudomonas.

Klibrisella atau Aureus Stapilococcus, merupakan Bakteri umum

penyebab Hospital Acquired Pneumonia.

C. Lobar dan Bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi

anatomi infeksi. Sekarang ini pneumonia diklasifikasikan

menurut organisme, bukan hanya menurut lokasi anatominya saja.

18
D. Pneumonia viral, Bacterial dan fungsi dikatergorikan berdasarkan

pada agen penyebabnya, kultur sensifitas dilakukan untuk

mengindentifikasi organisme perusak.

Depkes RI (2012) membuat klasifikasi Pneumonia pada

balita berdasarkan kelompok usia :

a. Usia anak 2 bulan - < 5 tahun :

1. Batuk bukan Pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat

dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah.

2. Pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan tidak ada

tarikan dinding dada bagian bawah.

3. Pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dinding dada

bagian bawah ke depan.

b. Usia kurang dari 2 bulan :

1. Bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat dan tidak

ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.

2. Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat dan tarikan

dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.

Menurut Depkes RI (2008), klasifikasi Pneumonia berdasarkan

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai berikut :

a) Pneumonia Berat dengan tanda gejala : terdapat tanda bahaya

umum, atau terdapat tarikan dinding dada ke dalam, atau terdengan

bunyi sridor.

19
b) Pneumonia dengan tanda gejala : nafas cepat dengan batasan (anak

usia 2 bulan - < 12 bulan, frekuensi nafas 50 kali/menit atau lebih

dan anak usia 1 tahun - < 5 tahun frekuensi nafas 40 kali/menit

atau lebih).

c) Batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada tanda yang mengarah ke

Pneumonia, atau Pneumonia berat.

2.1.7 Penularan Pneumonia


Pada umumnya, penularan Pneumonia adalah melalui percikan ludah

(batuk oleh penderita lain dan tidak ditutup), kontak langsung melalui

mulut atau melalui kontak secara tidak langsung melalui kontaminasi pada

alat makan. Penyebaran infeksi Pneumonia ada dua, yaitu :

a. Melalui Aerosol (mikroorganisme yang melayang- layang diudara)

yang keluar pada saat batuk dan bersin.

b. Melalui kontak langsung dari benda yang telah tercemar

mikroorganisme penyebab (Hand To Hand Transmission).

Dari beberapa penelitian klinik, Laboratorium dan Penelitian Lapangan,

diperoleh kesimpulannya bahwa sebenarnya Kotak Hand To Hand

Transmission merupakan penyebab tersering dibandingkan penularan secara

Aerosol.

2.1.8 Komplikasi
Menurut suyono (2013) komplikasi Pneumonia antara lain Efusi Pleura

dan Emfisema. Terjadi pada sekitar 45% kasus, terutama pada infeksi

Bakterial Akut berupa Efusi pada Pneumonia gram negative sebesar 60%

Stapillococcus Aureus 50% Stapillococcus Pneumonia 40-40 %, Kuman

20
Anaerob 35% sedangkan pada Mycoplasma Pneumonia sebesar 20%.

Cairannya transudate dan steril, komplikasi sitematik, dapat terjadi invasi

kuman atau Bakteriemia berupa meningitis. dapat juga terjadi dehidrasi

dan hiponatremia, anemia pada infeksi kronik, peningkatan ureum dan

enzim hati, hipoksemia akibat gangguan difusi, Pneumonia Kronis yang

dapat terjadi bila Pneumonia berlangsung lebih 4-6 minggu akibat Kuman

Anaerob Stapillococcus Aureus dan Kuman Gram Negative,

Bronkietaksis, biasanya terjadi karena Pneumonia pada masa anak-anak

tetapi dapat juga pada infeksi berulang dilokasi Bronkus distal pada Cystic

Fibrosis atau Hipogamaglobuliinemia, Tuberkolosis, atau Pneumonia

Nekroktikans.

2.1.9 Pemeriksaan penunjang


Menurut Ryusuke dan Damayanti (2017) pemeriksaan penyakit

Pneumonia adalah sebagai berikut :

a. Rontgen Thorax atau Sinar X: mengindentifikasi distribusi structural,

dapat juga menyatakan abses Luas/Infiltrate, Empysema

(Stapilococcus). Infiltrasi penyebaran atau terlokalisasi (Bacterial) atau

penyebaran/perluasan infiltrate nodul (Virus). Pneumonia Mikroplasma

Sinar X Dada mungkin bersih.

b. Pemeriksaan Laboratorium lengkap: terjadi peningkatan Leukosit dan

peningkatan LED. LED meningkat terjadi karena hipoksia, volume

menurun, tekanan jalan napas meningkat.

21
c. Pemeriksaan Mikrobiologi yaitu pemeriksaan gram atau kultur sputum

dan darah yang diambil dengan biopsy jarum, aspirasi transtrakeal, atau

biopsy atau pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.

d. Analisa gas darah: Abnormalitas mungkin timbul tergantung dari

luasnya kerusakan paru-paru.

e. Pemeriksaan fungsi paru: Volume mungkin menurun (kongesti dan

kolaps alveolar), tekanan jalan nafas mungkin meningkat, complain

menurun, dan hipoksemia.

f. Pewarnaan darah lengkap (complete blood count-cbc): Leukositosis,

biasanya timbul, meskipun nilai pemeriksaan darah putih (white blood

count-wbc) rendah pada infeksi virus.

g. Tes serologi: Membantu dalam membedakan diagnosis pada organisme

secara spesifik.

2.1.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis secara umum untuk Pneumonia menurut

(Padila, 2017) adalah :

1. Terapi oksigen jika pasien mengalami pertukaran gas yang tidak

adekuat.

2. Ventilasi mekanik mungkin diperlukan jika nilai normal GDA tidak

dapat dipertahankan.

3. Blok saraf interkonstal untuk mengurangi nyeri.

4. Pada Pneumonia aspirasi bersihkan jalan napas yang tersumbat.

5. Perbaiki hipotensi pada Pneumonia aspirasi dengan penggantian

volume cairan.

22
6. Terapi antimikrobial berdasarkan kultur dan sensitivitas.

7. Supresan batuk jika batuk bersifat nonproduktif.

8. Analgesik untuk mengurangi nyeri.

2.1.11 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Pneumonia Pada Balita


Beberapa faktor risiko yang meningkat pada kejadian dan derajat

Pneumonia adalah defek anatomi bawaan, imunodefisiensi, polusi,

Gastoesophageal Reflux Disease (GERD), aspirasi, gizi, berat badan lahir

rendah, tidak mendapat ASI, imunisasi tidak lengkap, terdapat anggota

serumah yang menderita batuk, dan kamar tidur yang terlalu padat (Tanto

dkk, 2014).

Menurut astute dan rahmat (2010) menjelaskan jenis dan keparahan

Pneumonia dipengaruhi oleh faktor :

1. Umur, seranga puncak pneumonia virus pada anakl usia 2 tahun

dan 3 tahun, maka sedikit beransur-ansur.

2. Jenis kelamin, anak laki-laki lebih sedikit sering terserang

pneumonia daripada perempuan.

3. Musim dalam tahun.

4. Kepadatan penduduk.

Berdasarkan penelitian Rinawati dan Kasmo (2014) faktor- faktor

yang mempengaruhi terjadinya Pneumonia pada balita meliputi :

A. Karateristik Balita

1. Usia

Usia merupakan salah satu faktor risiko pada beberapa penyakit. Usia

rentan dalam kehidupan manusia adalah usia Balita, dimana sistem imun

23
pada rentang usia tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan usia

selanjutnya (Khomsan dan Anwar, 2008).

Usia yang muda seperti Balita memiliki mekanisme pertahanan tubuh

yang belum sempurna, hal ini menyebabkan Balita lebih rentan terkena

penyakit infeksi seperti Influenza dan Pneumonia (Utami, 2014).

Berdasarkan penelitian Hartanti et al. (2012) balita yang berusia ≤ 12

bulan mempunyai peluang 3,24 kali untuk mengalami Pneumonia

dibandingkan dengan Balita berusia ≥ 12 bulan (95% CI: 1,58-6,64).

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Hananto (2004) yang

menyebutkan bahwa anak usia ≤ 12 bulan mempunyai risiko Pneumonia

sebesar 2,30 kali (95% CI : 1,59-3,33) dibandingkan dengan responden yang

berusia > 12 bulan.

2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin atau seks menurut Hananto (2004) adalah perbedaan antara

perempuan dan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

Dalam program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan

Akut (P2 ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang

mempengaruhi kesakitan Pneumonia (Depkes RI, 2004).

Adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan. Perempuan

memiliki hormone 17 β-estradiol yang akan menstabilisasi dan

meningkatkan reaksi imunitas bila terjadi infeksi dengan cara mengeluarkan

mediator inflamasi yang sangat berguna ketika terjadi respon inflamasi saat

24
terjadi infeksi.Sedangkan hormon testosteron pada laki-laki memiliki sedikit

aktivitas untuk menghambat pengeluaran interleukin sehingga akan

mengganggu respon inflamasi ketika terjadi infeksi (Falagas, 2007).

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Anwar dan Dhamayanti (2014)

didapatkan hasil bahwa risiko Pneumonia meningkat secara bermakna pada

kelompok balita laki-laki (OR=1,11, 95% CI:1,04-1,192).

Hasil penelitian Rasyid (2013) mengatakan bahwa jenis kelamin laki-laki

lebih berisiko 2,76 kali dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan

(95% CI: 1,82-4,17).

Sunyantaningkamto et al. (2004) mengatakan bahwa anak laki-laki 1,5

kali lebih berisiko dibandingkan anak perempuan (OR= 1,47, 95% CI: 1,06-

2,04). Dikatakan, hal ini dapat terjadi karena diameter saluran pernafasan

anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak perempuan atau

adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak laki-laki dan

perempuan.

3. Status Gizi

Status gizi merupakan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat

gizi yang diperlukan tubuh untuk tumbuh kembang terutama untuk anak

balita, aktivitas, pemeliharan kesehatan, dan penyembuhan bagi yang

menderita sakit serta proses biologis lainnya di dalam tubuh (Depkes RI,

2008).

Status gizi balita diukur berdasarkan umur, Berat Badan (BB), dan

Tinggi Badan (TB). Variabel BB dan TB tersebut disajikan dalam bentuk

25
tiga indikator antropometri yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi

badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB). Gizi kurang dan gizi buruk adalah ststus gizi yang didasarkan

pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan KMK nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar

antopometri penilaian status gizi pada anak adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Penetapan Status Gizi pada Balita

Indeks Kategori Ambang Batas (Z-Score)

Status Gizi

Berat Badan menurut Gizi Buruk ≤ -3 SD

Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan ≤ -2 SD

Anak umur 0-60 bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi Lebih >2 SD

Sumber : Kemenkes,2011

Dalam penelitian Efni (2014) didapatkan hasil adanya hubungan yang

bermakna antara status gizi dengan kejadian Pneumonia (p value= 0,022;

OR= 9,1; 95% CI: 1,03-8). Hal ini sejalan dengan penelitian Utami (2014)

yang menyebutkan bahwa balita dengan status gizi kurang berisiko 2,98

kali terkena Pneumonia dibandingkan dengan balita dengan status gizi baik.

Status gizi kurang dan gizi buruk dapat menyebabkan gangguan

imunitas. Gangguan tersebut berupa penurunan imunitas yang disebabkan

26
oleh menurunnya aktivitas leukosit untuk memfagosit atau membunuh agen

penyebab Pneumonia. Selain itu kekurangan protein juga dapat

menyebabkan atrofi timus, dimana timus adalah organ yang memproduksi

sel limfosit yang berperan dalam pertahanan tubuh dari benda asing (Gozali,

2010).

4. Berat Badan Lahir Rendah

BBLR atau Berat Badan Lahir Rendah adalah Bayi dengan berat lahir

kurang dari 2500 gram tanpa memperhitungkan masa gestasi

(Depkes,2005).

BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan Mortalitas, Morbiditas,

dan Disabilitas Neonatus, Bayi, Anak, serta memberikan dampak panjang

untuk kehidupan dimasa depan (Sembiring, 2017).

Bayi dengan BBLR mempunyai risiko kematian yang lebih besar

dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan- bulan

pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang

sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama

Pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya (Hartanti et al., 2012).

BBLR merupakan kasus prematuritas, bayi lahir dengan prematuritas

menyebabkan immaturitas sistem imun berupa penekanan pembentukan

gamma globulin oleh sistem limfoid. Selain itu immaturitas sistem imun

akan menyebabkan gangguan fungsi imunologi berupa penurunan aktivitas

fagosit pada sel darah putih dan penurunan produk sitokin sehingga

27
terjadilah kegagalan sistem kekebalan humoral (Bratawidjaja, 2006).

Dalam penelitian Rasyid (2013) didapatkan hasil OR=1,62 (95% CI:

1,09-2,41) yang berarti terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian

Pneumonia. Begitu pula dalam penelitian Utami (2014) menyatakan bahwa

bayi yang lahir dengan berat badan <2500 gram lebih berisiko 4,4 kali

terkena Pneumonia dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat

badan >2500 gram (OR=4,4, 95% CI:1,14-16,86).

5. Pemberian ASI Eksklusif

Pada saat bayi baru lahir, secara alamiah mendapatkan kekebalan tubuh

dari ibunya melalui plasenta. Tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun

setelah kelahiran bayi. Sedangkan selama periode bayi baru lahir hingga

berusia 4 bulan, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara

sempurna. Sehingga kemampuan bayi membantu daya tahan tubuhnya

sendiri menjadi lambat dan akan terjadi kesenjangan. Kesenjangan daya

tahan tubuh dapat diatasi dengan pemberian ASI (Utami, 2001).

ASI eksklusif adalah tidak memberikan makanan atau miniman lain

(termasuk air putih) selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin atau

mineral tetes) (Kemenkes RI, 2014).

Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif

selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI

bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI

mengandung nutrisi, antioksidan, hormon dan antibodi yang dibutuhkan

oleh anak untuk bertahan dan berkembang serta sebagai sistem kekebalan

28
tubuh anak yang baik (UNICEF/WHO, 2006).

ASI mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi walaupun ibu

dalam kondisi kurang gizi sekalipun, dan mampu mengatasi infeksi melalui

sel fagosit (Pemusnah) dan immunoglobulin (Antibodi). ASI juga

mengandung komponen lain yang memberi efek perlindungan, seperti

sitokin, laktoferin, lisozim, dan musin (IDAI, 2013).

Menurut Annah et al. (2012), tidak memberikan ASI eksklusif

merupakan faktor risiko kejadian Pneumonia pada anak usia 6-59 bulan

dengan nilai OR= 2,49 (95% CI: 1,20-5,17). Begitu pula dengan penelitian

Hartanti et al. (2012) pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif

mempunyai peluang mengalami Pneumonia 4,47 kali dibanding Balita yang

mendapatkan ASI eksklusif (95% CI: 1,68-11,80).

Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Mokoginta et al. (2013)

yang menjelaskan bahwa Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif

berisiko 4,47 kali mengalami Pneumonia 95% CI: 1,64-12,1). Oleh sebab

itu, Pemberian ASI eksklusif merupakan cara yang baik untuk mencegah

terjadinya penyakit Pneumonia dan lainnya.

6. Riwayat Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh secara

aktif terhadap suatu antigen. Dengan imunisasi atau pemberian vaksin,

tubuh akan mengaktifkan sistem imun spesifik yang berperan untuk

memberikan kekebalan tubuh terhadap satu jenis agen infeksi melalui

29
mekanisme memori. Adanya sel memori akan memudahkan pengenalan

antigen pada pajanan yang kedua, sehingga jika seseorang terpajan antigen

yang sama tidak akan terjadi penyakit. (Judarwanto, 2009).

Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari Pneumonia dengan

dua cara. Pertama, vaksinasi yang membantu mencegah anak- anak dari

infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan Pneumonia, seperti

Haemophilus influenza tipe b (Hib).

Kedua, imunisasi yang dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan

Pneumonia sebagai komplikasi dari penyakit seperti campak dan pertussis

(UNICEF/WHO, 2006).

Status Imunisasi balita di Indonesia dapat dilihat berdasarkan lengkap

atau tidaknya imunisasi, baik imunisasi dasar maupun imunisasi lanjutan

yang diberikan pada Balita (Kemenkes, 2015). Berikut jadwal imunisasi

pada Balita :

30
Tabel 2.2 Jadwal Imunisasi pada Balita

Usia Jenis Vaksin

0-7 hari HB 0

1 bulan BCG, Polio 1

Imunisasi 2 bulan DPT-HB-Hib 1,

Dasar Polio 2

Jadwal 3 bulan DPT-HB-Hib 2,

Imunisasi Polio 3

4 bulan DPT-HB-Hib 3,

Polio 4

9 bulan Campak

Imunisasi 18 DPT-HB-Hib

bulan

Lanjutan 24 Campak

31
bulan

Sumber : Kemenkes, 2015

Hasil penelitian Rasyid (2013) menemukan bahwa anak Balita yang tidak

mendapatkan imunisasi lengkap (tidak imunisasi campak dan DPT)

berpotensi untuk terkena campak yang selanjutnya akan berpotensi menjadi

Pneumonia (OR= 1,61, 95% CI: 1,02-2,54).

Penelitian yang dilakukan Utami (2014) mengatakan bahwa terdapat

hubungan antara riwayat imunisasi dengan kejadian Pneumonia (p value :

0,007 OR:4,4;95% CI: 1,15-16,89).

Balita yang telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan terhindar

dari penyakit campak dan Pneumonia yang merupakan komplikasi yang

paling sering terjadi pada anak yang mengalami penyakit campak. Begitu

pun dengan vaksin DPT. Pemberian vaksin DPT dapat mencegah infeksi

yang dapat menyebabkan Pneumonia sebagai komplikasi dari pertusis.

Maka dari itu imunisasi campak dan DPT sangat penting untuk mencegah

terjadinya penyakit Pneumonia (UNICEF/WHO, 2006).

7. Konsumsi Vitamin A

Terdapat dua jenis kapsul vitamin A, yaitu kapsul biru

(dosis100.000 IU) diberikan untuk bayi berumur 6-11 bulan dan kapsul

merah (dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan serta ibu nifas.

Pemberian kapsul vitamin A dilakukan secara serentak. Untuk bayi usia 6-

11 bulan Februari atau Agustus. Dan untuk anak balita usia 12-59 bulan

32
pada bulan Februari dan Agustus (Kemenkes RI, 2016). Berikut sasaran

suplementasi vitamin A :

Tabel 2.3 Sasaran Sumplementasi Vitamin A


Sasaran Dosis Frekuensi

Bayi 6-11 blan Kapsul Biru (100.000 SI) 1 kali

Balita 12-59 bulan Kapsul Merah (200.000 SI) 2 kali

Ibu Nifas (0-42 hari) Kapsul Merah (200.000 SI) 2 kali

Sumber : Depkes RI, 2009

Pemberian vitamin A kepada ibu nifas ditujukkan untuk meningkatkan

kandungan vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 6 bulan. Kapsul

vitamin A merah dikonsumsi oleh ibu nifas sebanyak 2 kali. Kapsul

pertama diberikan untuk dikonsumsi segera setelah melahirkan dan kapsul

kedua diminum 24 jam sesudah konsumsi kapsul pertama (Depkes RI,

2009).

Kemenkes RI (2016) mengatakan bahwa kekurangan vitamin A dalam

tubuh yang berlangsung lama dapat menimbulkan masalah kesehatan yang

berdampak pada meningkatnya risiko kesakitan dan kematian pada Balita,

hal ini disebabkan karena vitamin A memiliki peran dalam pembentukan,

produksi, dan pertumbuhan sel darah merah, sel limfosit, antibodi, juga

integritas sel epitel pelapis tubuh.Kekurangan vitamin A akan menyebabkan

integritas mukosa epitel terganggu dikarenakan hilangnya sel goblet

penghasil mukus. Hal tersebut berdampak pada peningkatan kerentanan

terhadap patogen (Almatsier, 2009).

33
Selain itu, vitamin A juga merupakan antioksidan yang menangkal

radikal bebas dan dapat memperbaiki jaringan/sel yang telah dirusak oleh

radikal bebas. Kekurangan antioksidan dapat menyebabkan supresi imun

yang mempengaruhi mediasi sel T dan respon imun adaptif ( Brambilla D.

et al., 2008). Retinol pada vitamin A juga berpengaruh pada diferensiasi

limfosit B yang berfungsi sebagai pertahanan humoral.

Hasil penelitian Utami (2014) di Lampung, mengatakan bahwa anak

yang tidak mendapatkan vitamin A berisiko 2,23 kali terkena Pneumonia

dibandingkan dengan anak yang diberikan vitamin A (OR= 2,23, 95% CI:

1,01-4,95).

Menurut Kartasasmita (2010), anak yang tidak mendapatkan vitamin A

memiliki risiko meninggal akibat Pneumonia lebih tinggi, dan anak yang

menderita Pneumonia yang tidak pernah mendapatkan vitamin A juga

terbukti lebih lama mengalami sakit dibandingkan penderita Pneumonia

yang mendapatkan suplemen vitamin A.

B. Faktor Lingkungan

1. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan Menteri Kesehatan

RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan

Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan untuk

34
digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur kecuali anak usia 5

tahun.

Kepadatan hunian dalam rumah menurut Kasjono (2011) adalah satu

orang minimal menempati luas rumah 9 m2 agar dapat mencegah penularan

penyakit termasuk penularan penyakit ISPA dan juga dapat melancarkan

aktivitas di dalamnya. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat

meningkatkan faktor polusi udara di dalam rumah (Maryunani, 2010).

Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang banyak

menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang. Kepadatan

hunian ini memungkinkan penularan bakteri atau virus dari penghuni satu

ke penghuni lainnya (Yuwono, 2008).

Selain itu, kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan

yang disebabkan oleh pengeluaran panas tubuh yang akan meningkatkan

kelembaban akibat uap air dari keringat dan pernafasan tersebut. Bangunan

yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan

mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam ruangan. Dengan demikian,

semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara ruangan

mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya penghuni,

maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan di ikuti oleh peningkatan

CO ruangan dan dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah

35
penurunan kualitas udara dalam rumah (Yusup dan Sulistyorin, 2005).

Berdasarkan analisa multivariat di Kabupaten Kubu Raya yang dilakukan

Sartika et al (2011). Didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan

bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian Pneumonia. Responden

yang memiliki hunian tidak memenuhi syarat berisiko 16,335 kali lebih

besar tertular Pneumonia dibandingkan dengan responden yang memiliki

kepadatan hunian yang memenuhi syarat (95% CI: 2,88-77,79).

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Utami (2014) yang

menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan

kejadian Pneumonia (OR: 3,55, 95%CI: 1,54-8,21).

2. Ventilasi Udara

Ventilasi udara memiliki fungsi untuk menjaga agar aliran udara dalam

rumah tetap segar sehingga keseimbangan Oksigen (O2) yang diperlukan

oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi udara akan

menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah dan kadar karbon dioksida

(CO2) yang bersifat racun bagi penghuni menjadi meningkat. Selain itu

ventilasi udara juga berfungsi untuk membebaskan udara ruang dari bakteri

patogen karena akan terjadi aliran udara yang terus menerus serta dapat

menjaga kelembaban udara tetap optimum (Notoatmodjo, 2007).

Ventilasi udara berkaitan dengan kelembaban rumah, yang mendukung

daya hidup virus maupun bakteri. Kelembaban dalam ruangan rumah yamg

terlalu rendah ataupun tinggi dapat menyebabkan meningkatnya

pertumbuhan mikroorganisme (Amin, 2014).

36
Ruangan dengan ventilasi yang tidak baik, jika dihuni dapat

menyebabkan kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan

tubuh dari kulit ataupun pernapasan (Yuwono, 2008).

Selain itu, ventilasi udara yang cukup dan terbuka akan menyebabkan

masuknya sinar matahari ke dalam rumah. Dimana sinar matahari dapat

membunuh virus atau bakteri, sehingga akan mengurangi risiko terjadinya

Pneumonia (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Permenkes RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman

Penyehatan Udara dalam Ruang menyebutkan rumah harus dilengkapi

dengan ventilasi minimal 10% luas lantai dengan sistem ventilasi silang.

Keadaan ventilasi udara yang kurang akan berpengaruh terhaap fungsi

fisiologis pernafasan terutama Bayi dan Balita.

Berdasarkan penelitian Hartanti et al. (2012) dikatakan bahwa Balita

yang tinggal di rumah yang tidak memiliki ventilasi mempunyai peluang 2,5

kali terkena Pneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah

yang memiliki ventilasi (OR= 2,5, 95% CI: 1,23-5,09).

Hal ini sejalan dengan penelitian Utami (2014), didapatkan hasil

OR=2,61 (95% CI: 1,54-8,21) yang berarti ventilasi udara memiliki

hubungan bermakna dengan kejadian Pneumonia.

3. Status Merokok Anggota Keluarga

37
Bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan

gangguan kesehatan kepada perokok saja, namun juga berdampak pada

orang-orang disekitarnya yang tidak merokok seperti bayi, balita, anak-

anak dan ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif karena ada anggota

keluarga mereka yang merokok di dalam rumah (Sartika et al., 2011).

Dari sebatang rokok akan dihasilkan asap samping 2 kali lebih banyak

dari asap utama. Asap samping tersebut yang kemudian akan mencemari

lingkungan rumah dan terhirup oleh anggota keluarga termasuk bayi dan

balita. Semakin sering menghisap asap rokok maka akan semakin rentan

terkena infeksi karena asap tersebut mengandung zat yang dapat

menurunkan kekebalan tubuh (WHO,2010).

Satu batang rokok yang dibakar akan menghasilkan sekitar 5000 mg gas

(92%) dan bahan-bahan partikel padat (8%) yang berupa droplet aerosol cair

dan partikel tar padat submikroskopik. Asap rokok mengandung ribuan

komponen kimia, termasuk 1.015 spesies reaktif dalam fase gas, khususnya

oksida nitrogen (NO), oksidan yang dihasilkan tembakau menurunkan

jumlah antioksidan intraseluler yang terdapat dalam sel paru-paru. Oksidan

dalam asap rokok mempunyai jumlah yang cukup untuk memainkan

38
peranan yang besar untuk terjadinya kerusakan saluran nafas. Oksidan asap

tembakau menghabiskan antioksidan intraseluler dalam sel paru (in vivo)

melalui mekanisme yang dikaitkan terhadap tekanan oksidan (Britton dan

Edwards, 2007).

Asap rokok dapat menurunkan fungsi silia, merusak sel epitel bersilia

yang akan diubah menjadi sel-sel skuamosa, dan menurunkan sistem

imunitas humoral/seluler (Sunyataningkamto et al., 2004). Menurut

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), sistem imunitas humoral sangat

berperan dalam mekanisme pertahanan paru (saluran napas atas).

Berdasarkan penelitian Annah et al. (2012) didapatkan hasil bahwa

Balita dengan anggota keluarga yang merokok berisiko terkena Pneumonia

5,31 kali dibandingkan dengan balita yang anggota keluarganya tidak

merokok OR = 5,31 (95% CI: 2,42-11,65). Begitupun dalam penelitian

Hartanti et al. (2012) yang menyebutkan adanya hubungan antara kebiasaan

merokok anggota keluarga dengan kejadian Pneumonia pada Balita dengan

nilai OR= 2,53 (95% CI: 1,27-5,04).

4. Status Sosial Ekonomi

Menurut Netoadmojo dalam Yulizar (2008) keadaan sosial ekonomi

merupakan aspek sosial budaya yang sangat mempengaruhi kesehatan dan

pola penyakit. Hal ini dikarenakan sosial ekonomi keluarga sangat

mempengaruhi tercukupi atau tidaknya kehidupan primer, sekunder, serta

perhatian dan kasih sayang yang akan diperoleh anak. Menurut hasil

39
penelitian yang dilakukan oleh Okti Rahmawati dkk (2014) menunjukkan

bahwa pendapatan keluarga tidak mempunyai hubungan yang signifikan

dengan kejadian Pneumonia pada Balita. Artinya tingkat pendapatan yang

rendah menyebabkan orang tua sulit menyediakan fasilitas perumahan yang

baik, perawatan kesehatan, dan gizi anak yang memadai.

5. Pendidikan

Menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dab

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar

peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara. Suwandi, 2007 menjelaskan pendidikan ada 2 macam

yaitu pendidikan formal dan nonformal, dimana pendidikan formal

dikategorikan menjadi 4 yaitu SD, SMP, SMA , Perguruan Tinggi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2020) dengan judul

penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Pneumonia pada

balita di Rumah Sakit Umum daerah Kota Padangsindipuan dengan hasil

nilai P value 0,013 dimana nilai P value <a= 0,05 yang artinya ada

hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian Pneumonia di Rumah

Sakit Umum Daerah Kota Padangsindipuan.

6. Tingkat Pengetahuan Ibu

Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk

40
tindakan seseorang, tingkat pengetahuan ibu sangat berperan besar terhadap

kejadian Pneumonia pada Balita. Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu

dalam memberikan makanan yang memadai dan bergizi kepada anaknya

serta perilaku ibu dalam pertolongan, perawatan, pengobatan, serta

pencegahan Pneumonia (Djoko, 2007).

Pengetahuan lebih jauh tentang penyakit Pneumonia dan praktek

pelayanan yang benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya

penurunan angka kesakitan dan kematian Pneumonia. Berdasarkan uji

statistik yang di lakukan oleh Miftahul Azizah dkk (2012) terdapat

hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian

penyakit Pneumonia. Jadi semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu maka

semakin baik pula pencegahan terhadap kejadian Pneumonia dan begitu

pula sebaliknya.

2.1 Kerangka Teori


Kerangka teoritis adalah bagian dari penelitian, tempat penelitian

memberikan penjelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan variabel,

sub variabel, atau pokok masalah yang ada dalam penelitiannya

(Notoatmodjo, 2012). Dari kerangka teori diatas dapat disusun hal-hal yang

dapat menyebabkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

pneumonia.

Karakteristik balita Faktor lingkungan


Etiologi 1. Pendidikan ibu
1. Usia
2. Berat badan lahir 1. Virus 2. Status sosial
rendah 2. Bakteri ekonomi
3. Status gizi 3. Jamur 3. Ventilasi udara
4. Riwayat 4. Protozoa rumah
imunisasi 4. Kepadatan Hunian

Kejadian Pneumonia
41
Variabel independent
1. Jenis kelamin
2. Tingkat pengetahuan ibu
3. Status merokok anggota keluarga
4. Status ASI Eksklusif

Keterangan : : variabel yang tidak dilakukan penelitian


: variabel yang dilakukan penelitian

Gambar 1 kerangka teori

Sumber : Nurarif & Kusuma (2016), Suddarth (2014), Padila (2017)

Faktor-faktor yang berhubungan dengan meningkatnya kejadian Pneumonia


pada Balita

42
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara

konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diamati (diukur) melalui

penelitian yang dimaksud (Notoatmodjo, 2012). Berdasarkan Tinjauan

Pustaka yang telah diuraikan variabel dalam kerangka konseptual sebagai

berikut :

1. Variabel bebas (Independent) : pada penelitian ini terdiri dari

karakteristik balita berupa Usia, Jenis kelamin, Pemberian ASI

Eksklusif, Faktor lingkungan sosial berupa Pengetahuan ibu, Status

merokok anggota keluarga.

2. Variabel terikat (dependen) : yaitu kejadian pneumonia pada balita.

Dibawah ini dijelaskan Kerangka Konsep dalam penelitian dapat di

rumus kan sebagai berikut :

Variabel Independen

Variabel Dependen

Karakteristik Balita :
Jenis Kelamin

Kejadian
Pneumonia Pada
Balita
Faktor Lingkungan :
Tingkat Pengetahuan Ibu 43
Pemberian ASI Eksklusif
Status Merokok Anggota
Gambar 2 Kerangka Konsep

Faktor-faktor yang berhubungan dengan meningkatnya kejadian pneumonia

pada anak di wilayah kerja Puskesmas Sungailiat

tahun 2022

3.2 Definisi Operasional


Definisi Operasional menjelaskan cara digunakan dalam penetapan

batas-batas terhadap variabel yang akan diteliti supaya variabel yang akan

diteliti bisa diukur dengan instrumen atau alat ukur variabel tersebut

(Notoatmodjo, 2018, p.111). Definisi operasional yang digunakan dalam

penelitian ini :

No Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala

. Operasional Ukur Ukur

1. Kejadian Infeksi saluran Rekam Observasi 1. Pneumonia ordinal

Pneumon pernafasan. Medis 2. Tidak

ia Ditetapkan oleh Pneumonia

dokter puskesmas

dan di register

dinyatakan

sebagai penderita

44
No Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala

. Operasional Ukur Ukur

pneumonia dalam

buku MTBS

2. Jenis Istilah yang Kuesione Observasi 1. Laki-laki Nomina

Kelamin membedakan r 2. Perempuan l

antar responden

(balita) dari

tanda-tanda

biologis dan ciri-

ciri biologis

3. Pengetah Informasi yang Kuesione Wawancar 1. Baik Nomina

uan Ibu diketahui atau r a 2. Kurang baik l

disadari oleh

seseorang

4. Status Terdapat anggota Kuesione Wawancar 1. Ada Ordinal

Merokok keluarga r a 2. Tidak ada

Anggota responden yang

Keluarga merokok di

dalam rumah

5. Pemberia Ada atau Kuesione Wawancar 1. ASI Eksklusif Nomina

n ASI tidaknya r a 2. Tidak ASI l

45
No Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala

. Operasional Ukur Ukur

Eksklusif pemberian ASI Eksklusif

saja pada anak

tanpa tambahan

makanan apapun

dari usia 0-6

bulan

3.3 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga atau dalil

sementara yang kebenarannya akan di buktikan dalam penelitian tersebut

(Notoatmodjo, 2010).

Dari kajian diatas maka hipotesis dalam penelitian ini dapat di rumuskan

sebagai berikut :

1. Ada Hubungan Jenis Kelamin dengan kejadian Pneumonia pada

Balita di Wilayah kerja Puskesmas Sungailiat Tahun 2022.

2. Ada Hubungan Pengetahuan Ibu dengan kejadian Pneumonia pada

Balita di Wilayah kerja Puskesmas Sungailiat Tahun 2022.

46
3. Ada Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan kejadian

Pneumonia pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Sungailiat

Tahun 2022.

4. Ada Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian

Pneumonia pada Balita di Wilayah kerja Puskesmas Sungailiat

Tahun 2022

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kuantitatif

dengan menggunakan metode survei analitik yaitu peneliti tidak hanya

mendeskripsikan saja tetapi sudah menganalisis hubungan antar variabel dan

disajikan dalam tabel distribusi frekuensi (Ariani, 2014).

Adapun jenis penelitian ini melalui pendekatan cross sectional yaitu

suatu penelitian untuk mempelajari dinamika hubungan antara variabel

dependen (kejadian pneumonia) dan variabel independent (usia, jenis

kelamin, tingkat pengetahuan ibu, status merokok anggota keluarga, status

ASI Eksklusif) dengan cara pengumpulan data dilakukan secara bersama-

47
sama atau sekaligus.

4.2 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling


4.2.1 Populasi
Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan

diteliti (Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah semua

ibu yang membawa anak balita untuk berobat ke Poli MTBS Puskesmas

Sungailiat tahun 2021 sebanyak 207 orang.

4.2.2 Sampel
Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi. Dalam mengambil sampel penelitian ini digunakan cara atau

teknik-teknik tertentu, sehingga sampel tersebut dapat mungkin mewakili

populasinya (Notoatmodjo, 2012).

Untuk menghitung penentuan jumlah sampel minimal menggunakan

rumus Slovin. Perhitungan pengambilan sampel menggunakan rumus

Slovin sebagai berikut :

N
in = 2
1+ N (d )

207
n= 2
1+ 207(0,1)

207
n=
1+ 2,07

207
n=
3,07

Jumlah sampel n = 67,42 = 67 Responden

Keterangan

48
N: Jumlah Populasi

d: Tingkat Kesalahan 10% (0,1)

n: Jumlah Sampel

rumus diatas didapatkan jumlah sampel yang digunakan dalam

penelitian berjumlah 67 orang. Untuk mengantisipasi drop out data,

sampel ditambah 10%, adapun jumlah sampel semuanya adalah

67+10%(67) = 67+6,7 = 73,7 dibulatkan menjadi 74 orang.

4.2.3 Teknik Sampling


Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel untuk

menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian (Sugiyono,

2011). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu dengan

menggunakan teknik non random (non probability) sampling dengan

purposive sampling. Teknik ini disebut juga sebagai sampel bertujuan

yang mana cara pengambilan subjeknya bukan didasarkan atas adanya

tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa

pertimbangan misalnya keterbatasan waktu, tenaga dan biaya yang

digunakan sehingga tidak dapat mengambil sampel dalam jumlah besar

(Notoatmodjo, 2012).

Pada metode ini menggunakan kriteria yang telah dipilih oleh peneliti

dalam memilih sampel. Kriteria pemilihan sampel terbagi menjadi kriteria

inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria sampel pada penelitian ini adalah :

A. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel

49
(Notoatmodjo, 2012). Kriteria inklusi penelitian, yaitu:

1. Responden merupakan orang tua/orang terdekat dari pasien

balita melakukan kunjungan ke Poli MTBS Puskesmas

Sungailiat tahun 2022.

2. Ibu balita bersedia memberikan informasi

3. Ibu balita yang balitanya mengalami pneumonia satu tahun

terakhir

B. Kriteria Eklusi

Kriteria eklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat

diambil sebagai sampel.

1. Orang tua yang tidak bersedia menjadi responden

2. Orang tua pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara

lisan/tulisan

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian


4.3.1 Tempat
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sungailiat di ruangan poli

anak/MTBS.

4.3.2 Waktu penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Mei – Juni Tahun 2022

4.4 Pengumpulan Data


4.4.1 Sumber data
Sumber data diperoleh dari data primer dan data sekunder :

a. Data primer adalah data yang didapatkan dari responden

langsung dengan menggunakan kuesioner. Adapun yang

50
menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah dari

balita usia 1-5 tahun yang berkunjung ke Poli MTBS Puskesmas

Sungailiat.

b. Data sekunder adalah sumber data dalam penelitian ini

digunakan untuk mendukung data primer, yang meliputi buku-

buku, jurnal, review, dokumentasi atau sumber data lain yang

berkaitan dengan penelitian ini.

4.4.2 Proses pengumpulan data


a) Sebelum melakukan penelitian, peneliti mengajukan surat

permohonan izin pengambilan data kepada institusi kampus

Stikes Citra Delima Bangka Belitung.

b) Setelah disetujui, peneliti mengajukan permohonan izin kepada

Kepala Puskesmas Sungailiat untuk mendapatkan persetujuan.

c) Setelah disetujui peneliti mengindentifikasi responden sesuai dengan

kriteria inklusi sampel yaitu balita yang pernah pneumonia, satu

tahun terakhir.

d) Setelah responden bersedia dan setuju, meminta responden

menandatangani lembar persetujuan.

e) Kemudian peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner.

f) Setelah responden selesai mengisi lembar kuesioner, menanyakan

responden apabila ada yang ingin ditanyakan dan merasa kurang

jelas.

g) Melakukan evaluasi atau pengecekan kuesioner yang dibagikan

apakah telah terisi secara lengkap.

51
4.5 Analisa Data
1. Pengolahan data
Setelah data dikumpulkan, kemudian dilakukan pengolahan data dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

A. Editing data (Penyuntingan)

Tahap ini dilakukan dengan memeriksa apakah seluruh data sudah

terisi semua, jika masih ada yang kosong peneliti mengembalikan

kembali kuesioner kepada responden untuk diisi kembali.

B. Coding data (Pengkodean)

Tahap ini setiap lembar kuesioner mempunyai kode masing-masing

yang diisi oleh peneliti untuk memudahkan peneliti melakukan

pengolahan data dan menjaga kerahasiaan responden. Peneliti juga

melakukan perekapan hasil kuesioner untuk memudahkan dalam

memasukan data kedalam komputer.

C. Entry data (Pemprosesan data)

Pada tahap ini, data yang sudah direkap dipindahkan atau

dimasukkan kedalam komputer untuk di proses menggunakan program

statistik SPSS V24.

D. Cleaning data (Pembersihan data)

Pengecekan kembali data yang sudah dimasukan. Tahap ini

memastikan kembali bahwa semua data yang telah dimasukkan

52
siap dilakukan analisa.

2. Analisa data penelitian ini dilakukan dengan dua tahap yaitu :

a. Analisa Univariat (analisa deskriptif)

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat

tergantung dari jenis data pada umumnya dalam analisis ini hanya

menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari setiap variabel

(Notoatmodjo, 2012).

Analisis univariat ini digunakan untuk mendapatkan gambaran

distribusi frekuensi dengan presentase atau proporsi dari variabel yang

di teliti, baik variabel independen maupun variabel dependent.

b. analisa bivariat

analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan dan berkorelasi (Notoatmodjo, 2012). Analisa bivariat

dilakukan untuk melihat hubungan jenis kelamin, tingkat pengetahuan

ibu, status merokok anggota keluarga, dan status ASI Eksklusif dengan

kejadian pneumonia pada balita di Puskesmas Sungailiat.

Dalam analisa ini uji statistik yang digunakan adalah uji Chi-square

53
dimana dilakukan uji hubungan kedua variabel, karena baik variabel

independen maupun variabel dependen merupakan variabel kategori,

dengan tingkat kemaknaan α = 5% dan confidance interval (CI) sebesar

95% pengambilan keputusan statistik dilakukan dengan

membandingkan nilai p (value) dengan nilai α = 0,05 dengan ketentuan

sebagai berikut :

a) Jika p (value) ≤ α (0,05), berarti ada hubungan bermakna antara

variabel independen dengan variabel dependen.

b) Jika p (value) ≥ α (0,05), berarti tidak ada hubungan bermakna

antara variabel independen dengan variabel dependen.

Rumus uji Chi-square :

X2 = ∑ (0-E)2
E

Keterangan :

X2 = distribusi kuantitas

∑ = penjumlahan

O = nilai observasi

E = nilai ekspektasi

Keterbatasan uji “Chi Square”

1) Tidak boleh ada nilai sel yang mempunyai nilai harapan (nilai E)

kurang dari 1

2) Tidak boleh ada nilai sel yang mempunyai nilai harapan (nilai E)

kurang dari 5, lebih dari 20% dari jumlah keseluruhan sel, jika

tabel 2x2 mempunyai nilai E (harapan) kurang dari 5, maka Chi

54
Square bisa digunakan, solusinya menggunakan uji Fisher Exact.

Analisis keeratan hubungan antara dua variabel tersebut, dengan

melihat nilai odd ratio (OR). Besar kecilnya nilai OR menunjukan

besarnya keeratan hubungan antara variabel yang di uji (Notoatmodjo,

2012).

4.6 Etika Penelitian


Menurut Notoatmodjo (2012), pelaku penelitian atau peneliti dalam

menjalankan tugas meneliti atau penelitian hendaknya memegang teguh

sikap ilmiah (scientific attitute) serta berpegang teguh pada etika penelitian,

meskipun mungkin penelitian yang dilakukan tidak akan merugikan atau

membahayakan bagi subjek penelitian. Secara garis besar, dalam melakukan

penelitian ada empat prinsip yang harus dipegang teguh, yakni :

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian

tersebut. Disamping itu, peneliti juga memberikan kebebasan kepada

subjek untuk memberikan informasi (berpatisipasi).

Sebagai ungkapan, peneliti menghormati harkat dan martabat subjek

penelitian, peneliti mempersiapkan formulir persetujuan subjek (inform

consent) yang mencakup :

a) Penjelasan manfaat penelitian

b) Penjelasan kemungkinan risiko dan ketidaknyamanan yang

ditimbulkan.

55
c) Penjelasan manfaat yang didapatkan.

d) Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang

diajukan subjek berkaitan dengan prosedur penelitian.

e) Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek peneliti

kapan saja.

f) Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan

informai yang diberikan oleh responden.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (pespet for

privacy and confidentiality).

Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan

kebebasan individu dalam memmberikan informasi. Setiap orang berhak

untuk tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh

sebab itu, peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai

indentitas dan kerahasiaan identitas subjek. Peneliti cukup menggunakan

coding sebagai pengganti identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice and

inchlusiveness)

Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan

kejujuran, keterbukaan, dan hati-hati. Untuk itu, lingkungan penelitian

perlu dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yaitu

dengan menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin

56
bahwa semua objek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan

yang sama tanpa membedakan jender, agama, etnis, dan sebagainya.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balacing

harms and benefits)

Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal

mungkin bagi masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada

khususnya, penelitian hendaknya berusaha meminimalisi dampak yang

merugikan bagi subjek. Oleh sebab itu, penatalaksanaan penelitian baru

dapat dicegah atau paling tidak merugikan rasa sakit, cedera, stress,

maupun kematian subjek penelitian.

57

Anda mungkin juga menyukai