ANALISIS SPASIAL
PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF
DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN
TAHUN 2007-2009
TESIS
ANALISIS SPASIAL
PENYAKIT TUBERKULOSIS PARU BTA POSITIF
DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA SELATAN
TAHUN 2007-2009
TESIS
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-
Nya saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kesehatan
Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. dra. Dewi Susanna, M.Kes, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini.
2. Prof. Umar Fahmi Achmadi, dr, MPH, Ph.D, dan Dr. drg. Ririn A. Wulandari,
M.Kes, yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan serta saran
untuk kesempurnaan tesis ini.
3. dr. Wibowo B. Sukijat, MPH, dan dr. Widyastuti, MKM, yang telah bersedia
menguji dan memberikan masukan serta saran untuk kesempurnaan tesis ini.
4. Ayah, ibu serta istri dan anak-anakku tercinta (Fakhri Muzakki dan Faqih
Musyaffa), yang telah tulus berdoa dan memberikan dorongan serta
pengorbanan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.
Penulis
iv Universitas Indonesia
Kata kunci:
Tuberkulosis paru, demografi, geografi, iklim, spasial.
ABSTRACT
Keywords:
Pulmonary TB, demographic, geography, climate, spatial.
x Universitas Indonesia
Tabel 5.8 Korelasi Suhu Udara dengan Jumlah Kasus TB Paru BTA
Positif di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009 62
Gambar 5.6 Suhu Udara dengan Jumlah Kasus TB Paru BTA Positif di
Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009 ........... 64
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
sebanyak 1784 kasus dan tahun 2009 sebanyak 1810 kasus. Selain itu juga Kota
Administrasi Jakarta Selatan merupakan wilayah yang memiliki kecamatan-
kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi (Sudinkes,
2009).
Untuk mengetahui masalah kesehatan yang terjadi di wilayah Kota
Administrasi Jakarta Selatan, khususnya dengan selalu meningkatnya jumlah
kasus TB paru BTA positif maka perlu dilakukan pendekatan spasial agar dapat
diketahui tindakan serta kebijakan apa yang perlu dilakukan untuk menurunkan
jumlah kasus penyakit TB paru.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
7 Universitas Indonesia
2.1.3 Gejala
Keluhan yang dirasakan pasien TB paru dapat bermacam-macam atau
malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah:
a. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas
dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya
demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Batuk/batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan yang terjadi karena adanya iritasi pada bronkus
dan batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.
Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk
darah pada TB paru terjadi pada kavitis, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus
dinding bronkus.
c. Sesak nafas
Pada penyakit ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah
meliputi setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan dan akan timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua
pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.
Universitas Indonesia
e. Malaise
Penyakit TB paru bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat
badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain.
Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara
tidak teratur (Amin, 2006).
2.1.4 Diagnosa
American Thoracic Society dan WHO 1964 menyebutkan bahwa diagnosis
pasti TB paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis
dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan
sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang belum
berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya
dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali (Depkes, 2008).
Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Depkes RI
tahun 2008, diagnosis TB paru yaitu:
a. Semua suspek TB paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu – pagi – sewaktu (SPS).
b. Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain
seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
c. Diagnosis TB paru tidak hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto
toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu
menunjukkan aktifitas penyakit.
2.1.5 Klasifikasi
Penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan berdasarkan pada empat hal,
yaitu; lokasi atau organ tubuh yang sakit, bakteriologi, tingkat keparahan penyakit
dan riwayat pengobatan tuberkulosis sebelumnya (Depkes, 2008).
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
Tuberkulosis paru
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
berbagai bidang, mulai bidang biomedis atau kesehatan masyarakat sampai ilmu
perilaku sosial telah lama menyadari pengaruh perbedaan umur pada manusia.
Penyakit dan kondisi pada umur tua berbeda dengan penyakit dan kondisi di umur
muda. Orang yang setengah baya memiliki pola kecelakaan yang berbeda dengan
mereka yang berumur di awal dua puluhan. Beberapa faktor resiko penularan
penyakit TB paru di Amerika yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta
infeksi AIDS. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada panti
penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat
infeksi TB paru aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur dan insiden
tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda (Timmereck, 2005).
Berdasarkan data surveilans CDC menunjukkan bahwa penderita TB yang
berumur tua lebih dari separuh, penderita tersebut dengan sputum BTA positif
yang dapat menularkan kepada orang lain. Hal ini dikarenakan pada kelompok
umur tersebut mempunyai riwayat kontak di suatu tempat yang lama serta
hubungan sosial yang erat adalah kunci terjadinya transmisi penyakit. Kelompok
umur ini cendrung bergaul dengan kelompok umur yang sebaya, sehingga
beresiko untuk tertular penyakit, hal inilah yang membuktikan bahwa resiko
penularan TB berhubungan dengan umur (Aditama, 2006).
Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit TB paru, dimana risiko
untuk mendapatkan TB paru dapat dikatakan seperti halnya kurva normal terbalik,
yakni tinggi ketika awalnya dan menurun karena di atas 2 tahun hingga dewasa
memiliki daya tangkal terhadap TB paru dengan baik. Puncaknya tentu dewasa
muda dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok menjelang usia tua.
Namun di Indonesia diperkirakan 75 % penderita TB paru adalah usia produktif,
yakni 15 hingga 50 tahun (Achmadi, 2008).
2.2.1.2 Jenis kelamin
Selain umur, jenis kelamin merupakan determinan perbedaan kedua yang
paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam faktor risiko suatu
penyakit. Ada perbedaan fakta yang memperjelas perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, setiap tahun lebih banyak laki-laki yang lahir, tetapi dalam tahun
pertama kehidupan bayi laki-laki yang meninggal juga lebih banyak (angka
kematiannya lebih tinggi). Demikian pula pada tahun-tahun selanjutnya dalam
kehidupan jika dibandingkan dengan perempuan. Perempuan hidup lebih lama 5
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1997-2002 menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara lingkungan kerja
yang tidak memenuhi syarat kesehatan dengan resiko terjadinya kasus TB paru
kepada para pekerja. Berdasarkan hasil tersebut dianggap perlu untuk melakukan
perbaikan strategi dalam penanggulangan TB paru (Diel, 2005).
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status
sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera atau masalah kesehatan
dalam suatu kelompok populasi. Penyakit, kondisi atau gangguan tertentu dapat
terjadi dalam suatu pekerjaan. Brown lung telah diidentifikasi pada pekerja
industri garmen, black lung pada penambang batu bara, dan beberapa kecelakaan
atau cedera anggota gerak pada petani. Pekerjaan juga merupakan suatu
determinan risiko dan determinan pajanan yang khusus dalam bidang pekerjaan
tertentu serta merupakan prediktor status kesehatan dan kondisi tempat suatu
populasi bekerja (Timmreck, 2005).
2.2.1.5 Status gizi
Status gizi didapat orang dari nutrien yang diberikan padanya. Ada tiga
jenis kekurangan gizi, yaitu kurang secara kualitatif, kurang secara kuantitatif dan
kurang secara keduanya. Secara umum kekurangan gizi akan berpengaruh
terhadap kekuatan daya tahan dan respons imunologis terhadap penyakit dan
keracunan (Slamet, 2005).
Defisiensi gizi sering dihubungkan dengan infeksi. Infeksi bisa
berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi
nafsu makan, dapat juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena
diare/muntah-muntah atau mempengaruhi metabolisme makanan dan banyak cara
lain lagi. Secara umum, defisiensi gizi sering merupakan awal dari gangguan
sistem kekebalan. Gizi kurang dan infeksi, kedua-duanya dapat bermula dari
kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat sengan sanitasi buruk. Selain itu juga
diketahui bahwa infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal dengan
menghabiskan sumber-sumber energi di tubuh. Gangguan gizi dan infeksi sering
saling bereja sama, dan bila bekerja sama akan memberikan prognosis yang lebih
buruk dibandingkan dengan bila kedua faktor tadi masing-masing bekerja sendiri-
sendiri. Infeksi memperburuk taraf gizi dan sebaliknya (Santoso, 1999).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
di Asia Tenggara. Diperkirakan 1,3 juta kematian terjadi diantara HIV negatif
kasus TB paru (20 per 100.000 penduduk). Jumlah HIV positif dan kematian
kasus TB paru diperkirakan memuncak pada tahun 2005.
2.2.2 Iklim
2.2.2.1 Kelembaban Udara
Iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang mata erat, terutama
terjadinya berbagai penyakit menular. Iklim dapat dijadikan predictor kejadian
berbagai penyakit menular yang seyogyanya dapat dijadikan petunjuk untuk
melakukan manajemen kesehatan, khususnya manajemen penyakit berbasis
wilayah (Achmadi, 2008).
Binatang dan juga mikroba penular penyakit memiliki habita wilayah,
yang tergantung pada komponen lingkungan hidup yang mendukungnya seperti
suhu, kelembaban, ketersediaan air dan ketersediaan pangan. Kelembaban
merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk
Mycobacterium tuberculosis sehingga viabilitasnya lebih lama. (Achmadi, 2008).
Pada waktu bersin atau batuk pasien TB paru BTA positif menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Penularan terjadi
dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama, dan
percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab
(Depkes RI, 2008).
Suhu udara dan kelembaban udara sangat mempengaruhi siklus hidup
mycobacterium tuberculosis yang merupakan penyebab dari penyakit TB paru
BTA positif (Olender, 2003).
Berdasarkan hasil penelitian Mulyadi tahun 2003 di Kota Bogor
menyebutkan bahwa penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang
keluarga lebih besar dari 60 % berisiko terkena TB paru 10,7 kali dibanding
penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil
atau sama dengan 60 %.
2.2.2.2 Suhu Udara
Hubungan antara iklim dengan kejadian penyakit bisa terjadi secara
langsung maupun tidak langsung. Efek langsung pemanasan global pada
kesehatan manusia misalnya stress akibat kepanasan (heat stress). Selain itu
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam
waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama Penularan kuman
TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar matahari dapat masuk
dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni
akan sangat berkurang (Prabu, 2008).
Menurut Robert Koch semua jenis cahaya dapat mematika kuman.
Perbedaanya hanya dari segi lamanya proses mematikan kuman. Cahaya yang
sama apabila melalui kaca yang tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam
waktu yang lebih pendek dari pada yang melalui kaca berwarna. Hasil penelitian
Pratiwi (2004), pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat penghuninya
beresiko 2,5 kali terkena penyakit tuberculosis dibandingkan dengan penghuni
rumah yang memenuhi syarat pencahayaan di Kotamadya Jakarta Timur tahun
2004. Penelitian lain yaitu Supriyono (2003), Silviana (2005) dan Wardhana
(2006) menyatakan bahwa pencahayaan dalam rumah mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian TB paru BTA positif.
2.2.2.4 Curah Hujan
Iklim dapat mempengaruhi ekosistem, habitat binatang penular penyakit,
bahkan tumbuh kembangnya koloni kuman secara alamiah. Dengan demikian
secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi timbulnya suatu
penyakit. Hubungan secara tidak langsung antara musim hujan dengan kejadian
penyakit dapat diberikan contoh misalnya kejadian berbagai penyakit menular
wilayah urban terutama daerah padat penduduk (Achmadi, 2008).
Meningkatnya curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara
dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup
Mycobacterium tuberculosis (Olender, 2003)
Curah hujan didefinisikan sebagai hujan yang jatuh dari atmosfir pada
bidang horizontal, sebelum menguap dan meresap kedalam tanah sebanyak satu
liter pada setiap bidang seluas 1 m2. Pada musim hujan rumah menjadi lembab,
dinding dan lantai rumah basah oleh air hujan yang merembes naik. Pada saat
banjir banyak penderita tuberculosis yang dinyatakan sembuh ternyata kambuh
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
cepat dan masalah lingkungan kerap lebih parah pada wilayah yang berpenduduk
padat (McKenzie, 2007).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Afrika Selatan tahun 2006,
bahwa penggunaan alat Global Positioning System (GPS) sangat dianjurkan
karena mudah dan murah untuk memperoleh data yang baik dalam menentukan
kepadatan penduduk dengan mengambil titik kasus dan rumah kasus. Sehingga
penggunaan GPS dapat mendukung dalam mengontrol penyakit TB paru di Afrika
Selatan (Dwolatzky, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian Chandra tahun 2005 bahwa hasil uji statistik
diperoleh ada hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk dengan
jumlah kasus TB BTA positif pada tahun 2002 dan 2004 (p-value = 0,009 dan
0,002). Hal ini menunjukkan bahwa persebaran jumlah kasus TB paru BTA
positif tergantung pada kepadatan penduduk. Selain itu wilayah yang kepadatan
penduduknya tinggi cendrung memiliki lingkungan tempat tinggal yang kumuh
sehingga bila ada salah satu warganya yang menderita TB paru BTA positif akan
mempercepat terjadinya proses penyebaran penyakit tersebut. Dan pada analisis
spasial, pola persebaran jumlah kasus TB paru BTA positif pada tahun 2002 dan
2003 terbanyak rata-rata berada pada kecamatan yang memiliki kepadatan
penduduk tertinggi yaitu pada range > 1456 Km2 per jiwa.
2.2.4.2 Kepadatan Hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan
jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain (Notoatmodjo, 2003).
Semakin padat suatu hunian, maka perpindahan penyakit khususnya
penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan
dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian
TB paru. Departemen Kesehatan telah membuat peraturan tentang rumah sehat,
dengan rumus jumlah penghuni/luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat
adalah 10 m2 per orang, jarak antar tempat tidur satu sama lainnya adalah 90 cm,
Universitas Indonesia
kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali anak di bawah 2
tahun. Sebuah penelitian di Ciampea, Jawa Barat menunjukkan bahwa risiko
untuk mendapatkan TB paru 1,3 kali lebih tinggi dibanding dengan penduduk
yang tinggal pada rumah yang memenuhi persyaratan kesehatan (Achmadi, 2008).
2.2.4.3 Fasilitas Pelayanan Kesehatan Mikroskopis
Dalam penanggulangan penyakit TB paru BTA (+) perlu ditunjang oleh
fasilitas-fasilitas kesehatan yang memiliki sarana prasarana dan sumber daya
manusia yang cukup baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Keberhasilan
penanggulangan kasus TB paru perlu dukungan dan kerja sama dengan lintas
sektor dan lintas program serta fasilitas kesehatan yang mudah dijangkau oleh
masyarakat, baik dari segi biaya maupun akses yang mudah dijangkau terutama
oleh masyarakat ekonomi lemah. Fasilitas kesehatan yang menunjang dalam
penanggulangan TB paru perlu dilengkapi dengan laboratorium yang dapat
memeriksa bakteri tahan asam sehingga diagnosis dapat ditetapkan dengan cepat
dan cermat. Laboratorium tuberkulosis merupakan bagian dari pelayanan
laboratorium kesehatan yang mempunyai peranan penting dalam penanggulangan
TB paru berkaitan dengan kegiatan deteksi pasien TB paru, pemantauan
keberhasilan pengobatan serta menetapkan hasil akhir pengobatan (DepKes,
2008).
Dalam manajemen kasus pengendalian TB paru berbasis wilayah, upaya
peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung pencarian dan pengobatan
kasus sebagai upaya preventif, seperti halnya mikroskop, kemampuan diagnosis
dengan metode BTA harus dilengkapi (Achmadi, 2008).
Penelitian Chandra tahun 2005 menyebutkan bahwa hasil analisis
kekuatan hubungan antara fasilitas kesehatan yang mikroskofis dengan jumlah
kasus TB paru BTA positif pada tahun 2002 menunjukkan ada hubungan sedang
(r = 0,458). Sedangkan pada tahun 2003 dan 2004 menunjukkan ada hubungan
yang kuat (r = 0,509 dan 0,585).
2.2.4.4 Petugas Kesehatan Terlatih
Penanggulangan penyakit TB paru perlu didukung oleh sumber daya yang
memadai baik dari segi sarana prasarana maupun dari segi sumber daya
manusianya. Dalam menegakkan diagnosis penyakit TB paru BTA positif
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
besar terhadap kejadian penyakit TB paru, yaitu dengan rendahnya daya tahan
tubuh akibat asupan makanan bergizi yang kurang, tidak sanggup berobat dan
membeli obat. Selain itu juga kemiskinan mengharuskan seseorang untuk bekerja
keras secara fisik sehingga kemungkinan sembuh akan berkurang (Mangtani,
1995).
WHO tahun 2003 menyebutkan 90 % penderita TB paru di dunia
menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Kondisi sosial
ekonomi itu sendiri, mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun
dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk,
serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga
menurun kemampuannya. Menurut perhitungan, rata-rata penderita TB paru
kehilangan 3 sampai 4 bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan
penghasilan setahun secara total mencapai 30 % dari pendapatan rumah tangga
(Achmadi, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chandra di Kabupaten Sukabumi
tahun 2005 bahwa ada hubungan yang signifikan antara keluarga miskin dengan
jumlah kasus TB paru BTA positif pada tahun 2003 dan 2004.
Sumber Media
Kependudukan Sakit/Sehat
Penyakit Transmisi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
distribusi atau pola spasial penyebaran penderita suatu penyakit, pola atau model
penyebaran penyakit, distribusi unit-unit (jumlah tenaga medis berikut fasilitas-
fasilitas pendukungnya) pelayanan kesehatan (Prahasta, 2002).
Ada beberapa pengertian tentang Sistem Informasi Geografis atau dalam
bahasa asing dikenal dengan Geographic Information System (GIS) yang ditulis
dalam sebuah buku Spatial Epidemiological Approaches in Disease Mapping and
Analysis tahun 2009, yaitu GIS adalah seperangkat alat untuk mengumpulkan,
meyimpan, mengeluarkan mengubah dan menampilkan data spasial tentang
permukaan bumi (Burrough). Pengertian lain tentang GIS oleh Smith yaitu sebuah
datbase yang mana sebagian besar datanya diindek secara spasial dan yang
mengatur adalah seperangkat prosedur yang berfungsi untuk menjawab
pertanyaan mengenai entitas spasial di database tersebut. Sedangkan Cowen
mendefinisikan GIS sebagai sebuah decision support system yang melibatkan
integrasi data yang bereferensi spasial di sebuah problem-solving environment
(Lai, 2009).
Lima cara perolehan data/informasi geografi:
Survei lapangan; pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi
air), pengumpulan data non-fisik (data sosial, politik, ekonomi dan budaya).
Sensus; dengan pendekatan kuesioner, wawancara dan pengamatan;
pengumpulan data secara nasional dan periodik (sensus jumlah penduduk,
sensus kepemilikan tanah).
Statistik; merupakan metode pengumpulan data periodik/per-interval-waktu
pada stasiun pengamatan dan analisis data geografi tersebut, contoh; data curah
hujan.
Tracking; merupakan cara pengumpulan data dalam periode tertentu untuk
tujuan pemantauan atau pengamatan perubahan, contoh: kebakaran hutan,
gunung meletus, debit air sungai.
Penginderaan jarak jauh (inderaja); merupakan ilmu dan seni untuk
mendapatkan informasi suatu obyek, wilayah atau fenomena melalui analisis
data yang diperoleh dari sensor pengamat tanpa harus kontak langsung dengan
obyek, wilayah atau fenomena yang diamati (Husein, 2006).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Data
Manipulation
& Analysis
Data Data
Input
SIG Output
Data
Management
Universitas Indonesia
2.6 ArcView
ArcView merupakan salah satu perangkat lunak Sistem Informasi
Geografis dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI (Environmental
Systems Research Institute). Perangkat SIG ArcView memiliki kemampuan:
Pertukaran data; membaca dan menulis data dari dan ke dalam format
perangkat lunak SIG lainnya.
Melakukan analisis statistik dan operasi-operasi matematis.
Menampilkan informasi spasial maupun atribut.
Menjawab query spasial maupun atribut.
Melakukan fungsi-fungsi dasar SIG.
Membuat peta tematik.
Meng-customize aplikasi dengan menggunakan bahasa skrip.
Melakukan fungsi-fungsi SIG khusus lainnya.
ArcView mengorganisasikan sistem perangkat lunaknya sedemikian rupa
sehingga dapat dikelompokkan ke dalam beberapa komponen-komponen penting
sebagai berikut: (Prahasta, 2009).
Project
Project merupakan suatu unit organisasi tertinggi di dalm ArcView.
Project di dalam ArcView mirip projects yang dimiliki oleh bahasa-bahasa
pemrograman (C/C++, Pascal/Delphi, Basic dan sebaginya), atau paling tidak
merupakan suatu file kerja yang dapat digunakan untuk menyimpan,
mengelompokkan dan mengorganisasikan semua komponen-komponen
program; view, theme, table, chart, layout dan script dalam satu kesatuan yang
utuh.
Theme
Theme merupakan suatu bangunan dasar sistem ArcView, dan juga
merupakan kumpulan dari beberapa layer ArcView yang membentuk suatu
tematik tertentu.
View
View mengorganisasikan theme dan merupakan representasi grafis
infromasi spasial dan dapat menampung beberapa layer atau theme informasi
spasial (titik, garis, poligon dan citra raster)
Universitas Indonesia
Table
Sebuah table merupakan representasi data ArcView dalam bentuk sebuah
tabel. Sebuah table akan berisi informasi deskriptif mengenai sebuah layer.
Chart
Chart merupakan representasi grafis dari resume tabel data dan juga bisa
merupakan hasil suatu query terhadap suatu tabel data. Bentuk chart yang
didukung oleh ArcView adalah line, bar, column, xy scatter, area dan pie.
Layout
Layout digunakan untuk menggabungkan semua dokumen (view, table,
dan chart) kedalam suatu dokumen yang siap cetak.
Script
Script merupakan bahasa (semi) pemrograman sederhana yang digunakan
untuk mengotomasikan kerja ArcView.
Universitas Indonesia
39 Universitas Indonesia
Kerangka Teori
Berdasarkan Teori; Achmadi, Olender, Chandra, Diel, Notoatmodjo, Prabu,
McKenzie dan Bustan.
Iklim
- Kelembaban udara
- Suhu udara
- Intensitas cahaya
matahari
- Curah hujan
SUMBER SEHAT
MEDIA
PENYAKIT KEPENDUDUKAN
TRANSMISI
Mycobacterium Manusia
Udara
Tuberculosis SAKIT
Karakteristik individu
- Umur
Geografi
- Jenis kelamin
- Ketinggian wilayah - Status gizi
- Jaringan jalan - Pekerjaan
- Riwayat penyakit
- Imunisasi
- Pendidikan
Universitas Indonesia
Kondisi Demografi
- Kepadatan penduduk
Kondisi Geografi
- Ketinggian wilayah
Kondisi Iklim
- Kelembaban udara
- Suhu udara KASUS TB PARU
BTA POSITIF
Fasilitas pelayanan
kesehatan mikroskopis
Petugas kesehatan
terlatih
Universitas Indonesia
Cara
Variabel Definisi Operasioal Skala Hasil Ukur
Ukur
Jumlah kasus Jumlah kasus TB Paru Observasi Rasio Uji statistik:
TB Paru BTA positif baru dan data Numerik
BTA positif lama berdasarkan profil sekunder
kesehatan Sudinkes Analisis spasial:
JakSel tahun 2007- 2009 Numerik
Kepadatan Jumlah penduduk Observasi Rasio Uji statistik:
penduduk dibandingkan dengan data Numerik
luas wilayah dalam sekunder
kilometer per segi Analisis spasial:
berdasarkan data BPS - < 11346
tahun 2007-2009 - 11346 - 13219
- > 13219
Ketinggian Jarak suatu wilayah dari Observasi Rasio Analisis spasial:
wilayah permukaan laut data - < 30 mdpl
berdasarkan data lab sekunder - 30 – 50 mdpl
Sistem Informasi - > 50 mdpl
Geografis FMIPA-UI
Kelembaban Rata-rata persentase uap Observasi Rasio Uji statistik:
udara air yang ada di udara per data Numerik
bulan berdasarkan data sekunder
BMKG tahun 2007-2009 Analisis spasial:
Numerik
Suhu Udara Rata-rata suhu udara per Observasi Rasio Uji statistik:
bulan yang dinyatakan data Numerik
dalam derajat celcius sekunder
berdasarkan data BMKG Analisis spasial:
tahun 2007-2009 Numerik
Keluarga Jumlah keluarga miskin Observasi Rasio Uji statistik:
miskin yang terdapat pada setiap data Numerik
kecamatan di wilayah sekunder
Kota Administrasi Jak- Analisis spasial:
Sel berdasarkan profil - < 534
kesehatan Sudinkes - 534 - 981
JakSel tahun 2007-2009 - > 981
Universitas Indonesia
Cara
Variabel Definisi Operasioal Skala Hasil Ukur
Ukur
Fasilitas Jumlah fasilitas Observasi Rasio Uji statistik:
pelayanan pelayanan kesehatan data Numerik
kesehatan yang dapat melaksanakan sekunder
mikroskopis pemeriksaan BTA, baik Analisis spasial:
rumah sakit maupun -<3
puskesmas berdasarkan -3–4
profil kesehatan ->4
Sudinkes JakSel tahun
2007-2009
Keterangan tabel:
- TB : Tuberkulosis
- BTA : Basil Tahan Asam
- BPS : Badan Pusat Statistik
- BMKG : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
- mdpl : meter dari permukaan laut
3.4 Hipotesis
a. Ada korelasi antara kepadatan penduduk dengan jumlah kasus TB paru BTA
positif.
b. Ada korelasi antara ketinggian wilayah dengan jumlah kasus TB paru BTA
positif.
c. Ada korelasi antara kelembaban udara dengan jumlah kasus TB paru BTA
positif.
d. Ada korelasi antara suhu udara dengan jumlah kasus TB paru BTA positif.
e. Ada korelasi antara jumlah keluarga miskin dengan jumlah kasus TB paru
BTA positif.
f. Ada korelasi antara jumlah fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis dengan
jumlah kasus TB paru BTA positif.
g. Ada korelasi antara jumlah petugas kesehatan terlatih dengan jumlah kasus TB
paru BTA positif.
Universitas Indonesia
44 Universitas Indonesia
b. Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Selatan berupa data tingkat
kepadatan penduduk dan jumlah keluarga miskin menurut kecamatan tahun
2007-2009.
c. Laboratorium Sistem Informasi Geografi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia berupa data peta digital wilayah
kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Selatan.
d. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Pondok Betung berupa data
kelembaban udara dan suhu udara tahun 2007-2009.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
49 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dengan kasus paling banyak, yaitu 20 % (tahun 2007), 18 % (2008) dan 17,3%
(tahun 2009). Jumlah kasus TB paru BTA positif dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Jumlah Kasus TB Paru BTA Positif Menurut Kecamatan di Kota
Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
No Kecamatan
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
1 Jagakarsa 141 8,5 157 8,8 168 9,3
2 Pasar Minggu 178 11 161 9 163 9
3 Cilandak 116 7 252 14 225 12,4
4 Pesanggrahan 149 9 201 11 211 11,7
5 Kebayoran Lama 110 6,6 108 6,1 135 7,5
6 Kebayoran Baru 339 20 326 18 313 17,3
7 Mampang Prapatan 128 7,7 104 5,8 72 4
8 Pancoran 116 7 108 6,1 103 5,7
9 Tebet 273 16 289 16 303 16,7
10 Setiabudi 111 6,7 78 4,4 117 6,5
Jumlah 1.661 100 1.784 100 1.810 100
Sumber : Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan, Tahun 2007-2009
Hasil analisis didapatkan rata-rata jumlah kasus TB paru BTA positif di
Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun 2007-2009 adalah 175,17 kasus, dengan
standar deviasi 79,30 kasus, jumlah kasus terkecil 72 kasus dan tertinggi 339
kasus. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa
rata-rata jumlah kasus adalah antara 145,56 sampai dengan 204,78. Hasil analisis
dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Universitas Indonesia
Tabel 5.2 Distribusi Statistik Jumlah Kasus TB Paru BTA Positif di Kota
Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Tahun Mean SD Min - Max 95% CI
2007 116,10 78,20 110 – 339 110,16 – 222,04
2008 178,40 85,79 78 – 326 117,03 – 239,77
2009 181 81,52 72 – 313 122,68 – 239,32
2007-2009 175,17 79,30 72 – 339 145,56 – 204,78
Universitas Indonesia
Gambar 5.2 Kasus TB Paru BTA Positif di Kota Administrasi Jakarta Selatan
Tahun 2007-2009
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 5.3 Kepadatan Penduduk dengan Kasus TB Paru BTA Positif di Kota
Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 5.4 Ketinggian Wilayah dengan Kasus TB Paru BTA Positif di Kota
Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Universitas Indonesia
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi antara kelembaban udara
dengan jumlah kasus TB paru BTA positif tahun 2007, 2008, 2009 dan 2007-2009
dengan nilai p > 0,05. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Korelasi Kelembaban Udara dengan Jumlah Kasus TB Paru BTA
Positif di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Tahun r p-value
2007 0,691 0,309
2008 -0,389 0,611
2009 -0,161 0,839
2007 - 2009 0,165 0,606
Universitas Indonesia
yang sama. Jumlah kasus TB paru BTA positif terbanyak di Kota Administrasi
Jakarta Selatan yaitu pada tahun 2009 dengan kelembaban rata-rata 78,1%.
Peningkatan kelembaban udara (tahun 2007, 2009 dan 2008) yang diikuti dengan
peningkatan jumlah kasus TB paru BTA positif terjadi di Kecamatan Cilandak.
Tahun 2007 hingga tahun 2008 terjadi peningkatan kelembaban yang diikuti
dengan peningkatan jumlah kasus TB paru BTA positif yaitu di Kecamatan
Pesanggrahan, Tebet, Cilandak dan Jagakarsa.
Antara tahun 2008 hingga 2009 terjadi penurunan kelembaban udara yang
diikuti dengan penurunan jumlah kasus TB paru BTA positif yaitu di Kecamatan
Kebayoran Baru, Mampang Prapatan, Pancoran dan Cilandak.
Universitas Indonesia
Gambar 5.5 Kelembaban Udara dengan Kasus TB Paru BTA Positif di Kota
Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Universitas Indonesia
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi antara suhu udara
dengan jumlah kasus TB paru BTA positif tahun 2007, 2008, 2009 dan 2007-2009
dengan nilai p > 0,05. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Gambar 5.6 merupakan overlay suhu udara dengan jumlah kasus TB paru
BTA positif di Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun 2007-2009. Gradasi
warna dibedakan berdasarkan tahun, karena tidak ada perbedaan nilai suhu udara
antara satu kecamatan dengan kecamatan yang lain pada waktu yang sama.
Jumlah kasus TB paru BTA positif terbanyak di Kota Admnistrasi Jakarta Selatan
Universitas Indonesia
yaitu pada tahun 2009 dengan rata-rata suhu 27.8 0Celcius. Peningkatan suhu
(tahun 2008, 2007 dan 2009) yang diikuti dengan peningkatan jumlah kasus TB
paru BTA positif yaitu di Kecamatan Setiabudi.
Terjadi peningkatan suhu udara antara tahun 2008 dan 2007 yang diikuti
dengan peningkatan jumlah kasus yaitu di Kecamatan Kebayoran Baru, Setiabudi,
Mampang Prapatan, pancoran, Kebayoran Lama dan Pasar Minggu. Terjadi
Peningkatan suhu udara antara tahun 2007 dan 2009 yang diikuti dengan
peningkatan jumlah kasus TB paru BTA positif terjadi di Kecamatan
Pesanggrahan, Kebayoran Lama, Setiabudi, Tebet, Cilandak dan Jagakarsa.
Universitas Indonesia
Gambar 5.6 Suhu Udara dengan Kasus TB Paru BTA Positif di Kota Administrasi
Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Universitas Indonesia
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi antara keluarga miskin
dengan jumlah kasus TB paru BTA positif tahun 2007, 2008, 2009 dan 2007-2009
dengan nilai p > 0,05. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10 Korelasi Keluarga Miskin dengan Jumlah Kasus TB Paru BTA
Positif di Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Tahun r p-value
2007 0,342 0,333
2008 0,316 0,374
2009 0,164 0,651
2007 - 2009 0,250 0,183
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 5.7 Keluarga Miskin dengan Kasus TB Paru BTA Positif di Kota
Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi antara petugas kesehatan
terlatih dengan jumlah kasus TB paru BTA positif tahun 2007, 2008, 2009 dan
2007-2009 dengan nilai p > 0,05. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.14.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 5.9 Petugas Kesehatan Terlatih dengan Kasus TB Paru BTA Positif di
Kota Administrasi Jakarta Selatan Tahun 2007-2009
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tabel 5.16 Skoring Daerah Kerawanan TB Paru BTA Positif Tahun 2007
Nilai Skor
Kecamatan Pelayanan Petugas Total
Kepadatan Keluarga Skor
Kesehatan Kesehatan
Penduduk Miskin
Mikroskopis Terlatih
Cilandak 1 2 2 3 8
Jagakarsa 1 2 3 2 8
Keby. Baru 1 2 1 2 6
Keby. Lama 2 3 2 1 8
Mp. Prapatan 3 3 3 3 12
Pancoran 3 2 2 2 9
Psr. Minggu 2 3 2 1 8
Pesanggrahan 2 2 2 3 9
Setiabudi 2 1 1 3 7
Tebet 3 3 3 2 11
Tabel 5.17 Skoring Daerah Kerawanan TB Paru BTA Positif Tahun 2008
Nilai Skor
Kecamatan Pelayanan Petugas Total
Kepadatan Keluarga Skor
Kesehatan Kesehatan
Penduduk Miskin
Mikroskopis Terlatih
Cilandak 1 1 2 2 6
Jagakarsa 1 2 3 2 8
Keby. Baru 1 2 1 1 5
Keby. Lama 2 3 2 1 8
Mp. Prapatan 3 3 3 3 12
Pancoran 3 1 2 2 8
Psr. Minggu 2 3 2 1 8
Pesanggrahan 2 2 2 2 8
Setiabudi 2 1 1 3 7
Tebet 3 3 3 2 11
Universitas Indonesia
Tabel 5.18 Skoring Daerah Kerawanan TB Paru BTA Positif Tahun 2009
Nilai Skor
Kecamatan Pelayanan Petugas Total
Kepadatan Keluarga Skor
Kesehatan Kesehatan
Penduduk Miskin
Mikroskopis Terlatih
Cilandak 1 1 2 2 6
Jagakarsa 1 1 3 2 7
Keby. Baru 1 1 1 1 4
Keby. Lama 2 2 2 1 7
Mp. Prapatan 3 2 3 3 11
Pancoran 3 1 2 1 7
Psr. Minggu 1 3 2 1 7
Pesanggrahan 2 1 2 2 7
Setiabudi 3 1 1 3 8
Tebet 3 3 3 2 11
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
78 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi dengan daerah kumuh yang ada
di kota-kota besar seperti halnya Kota Jakarta, yang dihuni oleh masyarakat
dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah. Hal tersebut dapat
berpengaruh kepada sikap dan perilaku yang dapat merugikan kesehatan, seperti
membuang sputum sembarangan dan konsumsi makan yang tidak mencukupi baik
dari segi kualitas maupun kuntitas. Belum lagi rumah yang sangat padat dengan
ventilasi yang kurang dan dihuni oleh anggota keluarga yang tidak sesuai dengan
luas ruangan, maka akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB paru
BTA positif.
Bustan tahun 2006 juga menyebutkan tentang teori proses terjadinya atau
penyebab penyakit, bahwa suatu penyakit terjadi sebagai hasil dari interaksi
berbagai faktor. Penyakit TB paru yang disebabkan oleh invasi Mycobacterium
tuberculosis pada jaringan paru, tidak dianggap sebagai penyebab tunggal
terjadinya penyakit, tetapi secara multifaktorial berkaitan dengan faktor genetik,
malnutrisi, kepadatan penduduk dan derajat kemiskinan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chandra di Kabupaten Sukabumi
tahun 2005 menyatakan ada hubungan yang signifikan antara kepadatan penduduk
dengan jumlah kasus TB paru BTA positif.
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa Kecamatan Tebet merupakan
wilayah dengan tingkat kepadatan yang paling tinggi dan jumlah kasus TB paru
BTA positif yang tinggi pula. Tingginya kasus diduga adanya pengaruh kepadatan
penduduk terhadap terjadinya penyakit TB paru di wilayah tersebut, walaupun
tidak dapat dibuktikan bahwa kepadatan penduduk menjadi penyebab tunggal
untuk terjadinya penyakit TB paru, sehingga dimungkinkan adanya faktor-faktor
lain yang berkontribusi pada peningkatan jumlah kasus TB paru di Kecamatan
Tebet.
Hal lain yang membuktikan bahwa kepadatan penduduk bukan satu-
satunya faktor risiko untuk terjadinya penyakit TB paru adalah bahwa Kecamatan
Mampang Prapatan, Pancoran dan Setibudi merupakan wilayah yang juga
memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi, tetapi tidak diikuti dengan
peningkatan jumlah kasus TB paru BTA positif. Begitu juga dengan Kecamatan
Kebayoran Baru dengan jumlah kasus terbanyak dari tahun 2007 hingga tahun
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tertentu banyak ditemukan pada suatu daerah saja, tetapi sangat sedikit di daerah
lain. Hal ini menunjukkan adanya suatu penyebaran penyakit menurut tempat
sehingga penelitian lebih lanjut dapat dilakukan.
Achmadi tahun 2008 juga menyatakan bahwa ketinggian mempengaruhi
kelembaban, suhu dan kerapatan oksigen, yang ketiganya itu akan berpengaruh
terhadap viabilitas Mycobacterium tuberculosis.
Tingginya kasus TB paru BTA positif di Kecamatan Kebayoran Baru dan
Tebet dimungkinkan karena wilayah yang rendah, dibandingkan dengan wilayah
lain di Jakarta Selatan. Juga disebabkan adanya faktor risiko lain yang ikut
mempengaruhinya seperti jumlah fasilitas pelayanan kesehatan miroskopis,
kepadatan penduduk, jumlah keluarga miskin dan lain sebagainya. Ini diperkuat
oleh Kasjono (2008) yang menyatakan bahwa penyakit TB paru terjadi akibat
akumulatif dari faktor-faktor risiko dan agen penyakit yang terjadi secara
bersamaan.
Dataran yang rendah dengan kasus TB paru yang tinggi seperti Kecamatan
Kebayoran Baru dan Tebet, perlu mendapatkan perhatian dalam penanganan dan
penanggulangan penyakit TB paru.
6.5 Kelembaban Udara dan Suhu Udara dengan Jumlah Kasus TB Paru
BTA Positif
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi antara kelembaban udara
dan suhu udara dengan jumlah kasus TB paru BTA positif di Kota Administrasi
Jakarta Selatan tahun 2007, 2008, 2009 dan 2007-2009, dengan demikian
hipotesis ditolak. Kelembaban terendah yaitu pada tahun 2007 (77,9%) dan
tertinggi pada tahun 2008 (78,7%), sedangkan untuk suhu terendah yaitu pada
tahun 2008 (27,40C) dan tertinggi terjadi pada tahun 2009 (27,80C).
Berdasarkan hasil analisis spasial didapat jumlah kasus TB paru BTA
positif terbanyak terjadi pada tahun 2009 dengan rata-rata kelembaban 78,1%.
Antara tahun 2007 hingga tahun 2008 terjadi peningkatan kelembaban yang
diikuti dengan peningkatan jumlah kasus TB paru BTA positif yaitu di Kecamatan
Pesanggrahan, Tebet dan Jagakarsa. Tahun 2008 hingga 2009 terjadi penurunan
kelembaban udara yang diikuti dengan penurunan jumlah kasus TB paru BTA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
6.8 Petugas Kesehatan Terlatih dengan Jumlah Kasus TB Paru BTA Positif
Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi antara petugas kesehatan
terlatih dengan jumlah kasus TB paru BTA positif tahun 2007, 2008, 2009 dan
2007-2009 di Kota Administrasi Jakarta Selatan, dengan demikian hipotesis
ditolak. Hasil Analisis spasial menunjukkan bahwa pada tahun 2007 jumlah kasus
TB paru BTA positif terbanyak berada di kecamatan Kebayoran Baru dan Tebet
dengan jumlah petugas kesehatan terlatih antara 14 – 28. Sedangkan pada tahun
2008 dan 2009 jumlah kasus TB paru BTA positif terbanyak berada di kecamatan
Kebayoran baru dengan jumlah petugas kesehatan terlatih lebih dari 28, disusul
dengan kecamatan Tebet dengan jumlah petugas kesehatan terlatih antara 14 - 28.
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan
keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja petugas, yang
diperlukan untuk menunjang keberhasilan penanggulangan TB paru. Kemampuan
yang diharapkan tidak hanya dalam penemuan kasus tetapi juga bagaimana
petugas dapat memberikan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat.
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah
rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai
suatu keadaan di mana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan
dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi, dan meningkatkan
kesehatannya. Penyuluhan TB paru perlu dilakukan karena masalah TB paru
banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dari tahun 2007 hingga tahun 2009 yang menjadi daerah yang paling
berisiko adalah Kecamatan Mampang Prapatan dan Tebet, tetapi bila dikaitkan
dengan jumlah kasus, hanya di Kecamatan Tebet yang diduga bahwa kepadatan
penduduk, keluarga miskin dan fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis
berhubungan dengan jumlah kasus TB paru BTA positif.
Kecamatan Tebet dengan kepadatan penduduk lebih dari 13. 219 per Km2,
keluarga miskin lebih dari 981 dan fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis
kurang dari 3, berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah kasus TB paru dimana
ketiga variabel tersebut saling keterkaitan satu dengan lainnya. Komitmen dan
kerja sama pihak-pihak terkait sangat diperlukan dalam penanggulangan penyakit
TB paru di Kecamatan Tebet mengingat besarnya masalah tersebut.
Universitas Indonesia
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan sebelumnya, dapat
disimpulkan:
1. Adanya peningkatan jumlah kasus TB paru BTA positif dari tahun 2007 hingga
tahun 2009 di Kota Administrasi Jakarta Selatan. Peningkatan kasus secara
konsisten dari tahun 2007 hingga tahun 2009 yaitu di Kecamatan Tebet,
Pesanggrahan dan Jagakarsa, sedangkan kecamatan lain kasus terjadi secara
fluktuatif.
2. Tidak ada korelasi antara kepadatan penduduk, kelembaban udara, suhu udara,
keluarga miskin, fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis dan petugas
kesehatan terlatih dengan jumlah kasus TB paru BTA positif, sehingga dengan
demikian hipotesis ditolak.
3. Ketinggian wilayah, kepadatan penduduk, kelembaban udara, suhu udara,
keluarga miskin, fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis dan petugas
kesehatan terlatih secara umum berpengaruh terhadap jumlah kasus TB paru
BTA positif di Kota Administrasi Jakarta Selatan.
4. Daerah dengan tingkat kerawanan tinggi atau yang berisiko tinggi terhadap
penyakit TB paru BTA positif tahun 2007 hingga tahun 2009 adalah
Kecamatan Mampang Prapatan dan Tebet. Tetapi bila dikaitkan dengan jumlah
kasus hanya di Kecamatan Tebet, bahwa variabel kepadatan penduduk,
keluarga miskin dan fasilitas pelayanan kesehatan mikoroskopis berpengaruh
terhadap peningkatan jumlah kasus TB paru BTA positif. Sedangkan
kecamatan lain, masuk dalam wilayah yang bersiko rendah terhadap penyakit
TB paru BTA Positif.
7.2 Saran
1. Bagi Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
Perlunya komitmen serta kerja sama dengan pihak-pihak terkait dalam
penanganan masalah kemiskinan dan kepadatan penduduk dalam rangka
90 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
92 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia