Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS

PUSKESMAS KEBASEN
HUBUNGAN KINERJA TENAGA KESEHATAN DENGAN
PENGETAHUAN DAN PERILAKU PASIEN TERHADAP ANGKA
KEJADIAN TB BTA POSITIF DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KEBASEN

Perseptor fakultas
Dr. dr. Nendyah Roestijawati, MKK

Perseptor lapangan
dr. Tri Lestari K

Disusun oleh:
Utiya Nur Laili
Mutiara Chandra Dewi

G4A014109
G4A014114

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN COMMUNITY HEALTH ANALYSIS
PUSKESMAS KEBASEN
HUBUNGAN KINERJA TENAGA KESEHATAN DENGAN
PENGETAHUAN DAN PERILAKU PASIEN TERHADAP ANGKA
KEJADIAN TB BTA POSITIF DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
KEBASEN
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat dari
Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Disusun oleh:
Utiya Nur Laili
Mutiara Chandra Dewi

G4A014109
G4A014114

Telah dipresentasikan dan disetujui :


Tanggal Agustus 2016

Perseptor Fakultas

Dr, dr. Nendyah Roestijawati, MKK


NIP. 19701110 200801 2 026

Perseptor Lapangan

dr. Tri Lestari K


NIP. 19700909 200212 2 004

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Tuberkulosis paru (TB) merupakan satu dari sepuluh penyakit di dunia
penyebab kematian. TB ialah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis (PDPI, 2011). TB menjadi
permasalahan kesehatan masyarakat dunia walaupun upaya pengendalian
dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995.
Setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 9 juta penderita baru dengan
kematian 3 juta orang. Indonesia merupakan satu dari tiga negara dengan
kontribusi penderita tuberkulosis terbesar setelah India dan Cina. Sekitar 75%
pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomi yaitu
rentang usia 15-50 tahun. Selain merugikan secara ekonomi, TB juga
memberikan dampak buruk lainnya secara sosial, seperti stigma dan bahkan
dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes, 2014).
Pada tahun 2013, beberapa negara anggota WHO mengusulkan adanya
strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu menahan laju infeksi
baru, mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak ekonomi akibat TB
dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi TB. Eliminasi TB akan
tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan mencapai 1 kasus TB per
1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang memungkinkan pencapaian
eliminasi TB (pra eliminasi) adalah bila angka insidensi mampu dikurangi
menjadi 10 per 100.000 penduduk. Dengan angka insidensi global tahun 2012
mencapai 122 per 100.000 penduduk dan penurunan angka insidensi sebesar
1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra eliminasi pada tahun
2160 (Kemenkes, 2014).
Pada tahun 2013 ditemukan jumlah kasus baru BTA positif sebanyak
196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi
dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa
Tengah. Kasus baru BTA positif di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40%
dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia (Kemenkes, 2014). Penemuan

kasus baru TB per 100.000 penduduk Provinsi Jawa Tengah tahun 2014
sebesar 63 dengan total 20.796 kasus baru. Penemuan kasus TB tertinggi
adalah di Kota Magelang yaitu 650 kasus. Banyumas menempati urutan ke-6
dengan penemuan jumlah kasus TB sebanyak 91 kasus (Dinkes Jateng, 2014).
Puskesmas Kebasen merupakan salah satu puskesmas di Kabupaten
Banyumas Provinsi Jawa Tengah dengan jumlah penduduk yang cukup besar
yaitu sebesar 61.090 jiwa. Jumlah pasien TB paru BTA positif yang terdata
pada tahun 2015 sebanyak 49 orang dengan kasus baru TB Paru BTA positif
sebanyak 23 kasus, klinis sebanyak 26 kasus, dan perkiraan jumlah kasus
BTA positif sebanyak 65 kasus. Pada tahun 2015, angka penemuan penderita
pasien TB paru BTA positif/Case Detection Rate (CDR) hanya sebesar
35,38% dari target 100%. Hal ini dimungkinkan karena kurangnya skrining
atau kurang aktifnya pemegang program, medis dan paramedis untuk
melakukan penjaringan di keluarga dengan BTA positif (Puskemas Kebasen,
2015).
Salah satu faktor risiko yang dinilai berpengaruh besar terhadap
kejadian TB adalah riwayat kontak dengan pasien TB. Percikan dahak yang
dikeluarkan oleh pasien TB merupakan sumber penularan. Tingkat penularan
pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil
kultur positif adalah 26%, sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif
dan foto toraks positif adalah 17%. Selain faktor tersebut, kurangnya
pengetahuan, sikap, dan perilaku pencegahan penularan penyakit TB akan
mempengaruhi kejadian penularan TB (Kemenkes, 2014).
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk
mengambil judul penelitian Hubungan Kinerja Tenaga Kesehatan dengan
Pengetahuan dan Perilaku Pasien terhadap Angka Kejadian TB BTA Positif di
Wilayah Kerja Puskesmas Kebasen.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Melakukan analisis kesehatan komunitas (Community Health Analysis) di
wilayah kerja Puskesmas Kebasen Kabupaten Banyumas

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan kinerja tenaga kesehatan dengan kejadian TB
b. Mengetahui hubungan pengetahuan atau perilaku pasien dengan
kejadian TB.
c. Mencari alternatif pemecahan masalah TB di Puskesmas Kebasen
d. Melakukan intervensi terhadap penyebab masalah TB untuk mengatasi
masalah kesehatan di Puskesmas Kebasen.
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Menjadi dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang
permasalahan kesehatan yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Kebasen.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa
Menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut mengenai masalah
kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Kebasen.
b. Bagi masyarakat desa
Memberikan informasi kesehatan (promotif, preventif, dan rehabilitatif)
kepada masyarakat untuk penelitian khususnya berkaitan dengan TB.
3. Bagi instansi terkait
Membantu program enam dasar pelayanan kesehatan puskesmas berkaitan
dengan promosi kesehatan terutama masalah TB sehingga dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan menentukan kebijakan yang harus diambil
untuk menyelesaikan masalah.
4. Bagi Fakultas Kedokteran UNSOED
Untuk menambah bahan referensi yang dapat digunakan sebagai acuan
dalam penelitian selanjutnya.

II. ANALISIS SITUASI

A. Deskripsi, Situasi, Kondisi dan Wilayah Kerja Puskesmas


1. Keadaan Geografi
Kecamatan Kebasen merupakan salah satu bagian wilayah
Kabupaten Banyumas dengan luas wilayah 5399,51 Ha (5400 km 2).
Kecamatan Kebasen terdiri dari 12 desa dengan batas-batas sebagai
berikut :
a.

Sebelah Utara

: Kec. Patikraja

b.

Sebelah Selatan : Kec. Sampang dan Kec. Kroya Kab. Cilacap

c.

Sebelah Timur

: Kec. Banyumas dan Kec. Kemranjen

d.

Sebelah Barat

: Kec. Rawalo

Pemanfaatan lahan di Kecamatan Kebasen dapat dirinci sebagai


berikut :
a.

Tanah pekarangan

: 4,07 %

b.

Tanah Bangunan

: 31,75%

c.

Tegal/Kebun

: 19,29%

d.

Persawahan

: 17,1%

e.

Hutan negara

: 16,96%

f.

Perkebunan rakyat

: 10,47%

g.

Kolam ikan

: 0,33%

h.

Lain-lain

: 4,19%

2. Keadaan Demografi
a. Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen
tahun 2015, jumlah penduduk Kecamatan Kebasen adalah 66.080 jiwa
terdiri dari 33.540 jiwa laki-laki (50,76 %) dan 32.540 jiwa
perempuan (49,24 %) yang tergabung dalam 16.530 rumah
tangga/KK. Jika dibandingkan dengan tahun 2014, jumlah penduduk
pada tahun 2015 mengalami peningkatan. Jumlah penduduk tahun
2015 yang tertinggi di desa Cindaga sebanyak 11.221 jiwa, sedangkan

terendah di desa Tumiyang 1.607 jiwa. Kepadatan penduduk


Kecamatan Kebasen sebesar 1.224/ km2.
b.

Tingkat Pendidikan
Badan Pusat Statistik Kecamatan Kebasen tahun 2015 mencatat
jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai
berikut :
Tabel 21. Jenis Pendidikan menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
No
1

Jenis Pendidikan
Tidak/Belum Tamat

Jumlah
Laki-laki

Perempuan

7.806

7.866

15.672

SD/MI
2

Tamat SD/MI

9.960

10.197

20.157

SLTP/Sederajat

3.481

2.836

6.317

SLTA/Sederajat

1.997

1.432

3.429

Diploma III

392

311

703

Universitas

248

158

406

(Sumber: Profil Puskesmas Kebasen Tahun 2015)


3. Wilayah kerja
Wilayah kerja Puskesmas Kebasen meliputi 12 desa yaitu :
a. Adisana

g. Kalisalak

b. Bangsa

h. Cindaga

c. Karangsari

i. Kebasen

d. Randegan

j. Gambarsari

e. Kaliwedi

k. Tumiyang

f. Sawangan

l. Mandirancan

4. Petugas kesehatan
Berdasarkan tabel dalam lampiran profil puskesmas, jumlah tenaga
medis dan nonmedis yang ada di Puskesmas Kebasen pada tahun 2015 sebanyak
58 orang terdiri dari :
a.

Dokter Umum

: 3 orang

b.

Dokter Gigi

: 1 orang

c.

Perawat

: 11 orang

d.

Perawat gigi

: 1 orang

e.

Bidan

: 24 orang

f.

Apoteker

: 1 orang

g.

Ahli Gizi

: 1 orang

h.

Sanitasi

: 2 orang

i.

Promkes

: 3 orang

j.

Analis kesehatan

: 1 orang

k.

Radiografer

: 1 orang

l.

Administrasi

: 9 orang

5. Sarana kesehatan
Berdasarkan tabel dalam lampiran profil puskesmas, sarana kesehatan
yang ada di Kecamatan Kebasen pada tahun 2015 terdiri dari :
a. Puskesmas rawat inap

:1

b. Puskesmas pembantu

:1

c. Klinik/BP swasta

:2

d. Praktik dokter umum

:5

e. Apotek

:2

f. Polindes

: 12

g. PKD

: 12

h. Posyandu

: 78

1) Posyandu Pratama

:0

2) Posyandu Madya

:0

3) Posyandu Purnama

: 70

4) Posyandu Mandiri

:8

i. Usaha kecil obat tradisional : 1

B. Capaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat


Untuk melihat gambaran dari derajat kesehatan masyarakat di wilayah
Puskesmas Kebasen, dapat dilihat dari angka kematian (mortalitas), angka
kesakitan (morbiditas) dan status gizi.
1.

Mortalitas
a. Angka Kematian Bayi
Berdasarkan tabel 4 dalam lampiran buku profil ini, pada tahun 2015
di Kecamatan Kebasen ada 955 lahir hidup, dengan 15 lahir mati dan
jumlah bayi mati sebesar 0 bayi. Angka kematian bayi (AKB) di
Kecamatan Kebasen sebesar 15,7 per 1000 lahir hidup, sehingga AKB
dilaporkan sebesar 15,7. Sedangkan AKB tahun 2014 sebesar 3,1. Dengan
demikian ada peningkatan AKB sebesar 12,6 . Hal ini menunjukkan
adanya peningkatan kematian bayi yang tidak terpengaruh oleh jumlah
kelahiran hidup pada tahun 2015. Jika dibandingkan dengan IIS 2015 AKB
di Kecamatan Kebasen masih terhitung rendah (IIS 2014 = 40 per 1000
kelahiran hidup). Untuk itu perlu didukung oleh peningkatan kualitas
pelayanan dengan bertambahnya kemampuan tenaga medis dan paramedis
untuk penanggulangan kegawatdaruratan lewat pelatihan atau diklat yang
diikuti.
Tingginya angka kematian bayi menunjukkan masih rendahnya
status kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang dapat disebabkan oleh masih
rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat khususnya
pelayanan kesehatan ibu dan anak, perilaku hidup bersih dan sehat di
masyarakat khususnya ibu saat hamil serta lingkungan masyarakat yang
belum sepenuhnya mendukung pentingnya kesehatan.
b. Angka kematian balita
Angka kematian balita (AKABA) merupakan jumlah kematian anak
balita (1 th 5 th) per 1000 kelahiran hidup dalam kurun waktu 1 tahun.
AKABA menggambarkan tingkat permasalahan kesehatan anak balita,
tingkat pelayanan KIA, tingkat keberhasilan program KIA dan kondisi
lingkungan. Berdasarkan Tabel 5 lampiran profil kesehatan tahun 2015,

angka kematian balita ada 2, dibandingkan tahun 2014 ada 2,1 . Hal ini
berarti pada tahun 2015 menunjukan ada penurunan kasus kematian balita
dibanding tahun 2014.
Upaya yang sudah dilakukan dalam rangka menurunkan angka
kematian balita adalah pengembangan upaya kesehatan bersumber
masyarakat seperti pos pelayanan terpadu (posyandu), penerapan PHBS
dalam setiap tatanan rumah tangga, penanggulangan kurang energi
protein (KEP), pendidikan gizi, penyediaan sarana air bersih dan sanitasi
dasar serta pencegahan dan pemberantasan penyakit melalui surveilans
dan imunisasi, serta optimalisasi kegiatan kelas ibu balita dalam rangka
meningkatkan kemandirian keluarga dan masyarakat dalam merawat dan
memelihara kesehatan dan tumbuh kembang balita.
c. Angka Kematian Ibu
Berdasarkan Tabel 6 dalam lampiran buku profil ini, pada tahun
2015 di Kecamatan Kebasen jumlah kematian ibu hamil 1, ibu bersalin 0
dan ibu nifas sebanyak 0 orang. Angka Kematian Ibu (AKI) di Kecamatan
Kebasen pada tahun 2015 sebesar 104 per 100.000 kelahiran hidup.
Menurut IIS 2015 AKI sebesar 150 per 100.000 kelahiran hidup,
dengan demikian AKI di Kecamatan Kebasen dibawah AKI menurut IIS
2014. Penyebab dari kematian ibu hamil di wilayah kecamatan Kebasen
karena penyakit kronis yang diderita oleh ibu hamil yaitu penyakit jantung
dan adanya keterlambatan dalam sistem rujukan. Perlu adanya peningkatan
kompetensi tenaga kesehatan dalam pendeteksian risiko tinggi dari ibu
hamil dan penguatan tim penangan kesehatan Ibu dan anak, peningkatan
akses pelayanan kesehatan (rujukan), peningkatan kerjasama lintas sektor,
dan peningkatan frekuensi pelatihan skill/ kompetensi dari tenaga
kesehatan.
2. Morbiditas
a. Penyakit Malaria
Berdasarkan Tabel 22 dalam lampiran buku profil, pada tahun 2015
terjadi kasus Malaria positif sebanyak 1 kasus atau Angka Kesakitan
Malaria (API) 0,0151 per 1000 penduduk. Sedangkan kejadian kasus

Malaria positif pada tahun 2014 sebanyak 4 kasus atau Angka Kesakitan
Malaria (API) sebesar 0,0655 per 1000 penduduk. Hal tersebut
menunjukan tidak terjadi peningkatan kejadian kasus malaria positif. Hal
ini bisa dipertahankan dengan peran aktif tenaga medis, paramedis,
petugas surveilans, promkes, bidan desa dalam preventif dan promotifnya
dan juga dibantu oleh juru malaria desa. Daerah endemis malaria di
Kecamatan Kebasen masih berada di Desa Kalisalak.
b. Kesembuhan penderita TB Paru BTA (+)
Dari Tabel 8 dalam buku profil, pada tahun 2015 ditemukan kasus
baru TB Paru BTA positif sebanyak 23 kasus, klinis 26 dengan perkiraan
jumlah kasus BTA positif sebanyak 65 kasus. Angka Penemuan Penderita
TB Paru BTA positif (CDR) di Kecamatan Kebasen sebesar 35,38%.
Dibanding periode yang sama pada tahun 2014 ditemukan kasus baru BTA
positif sebanyak 25 kasus dengan perkiraan jumlah kasus BTA positif
sebanyak 65 kasus dengan CDR sebesar 38,46 %. Dengan demikian ada
penurunan CDR pada tahun 2015 dibanding tahun 2014. Hal ini
dimungkinkan karena kurangnya skrining dari pemegang program atau
kurang aktifnya pemegang program, medis dan paramedis untuk
melakukan penjaringan di keluarga dengan BTA (+).
Angka kesembuhan penderita TB Paru BTA (+) dievaluasi dengan
melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis pada akhir pengobatan dengan
hasil pemeriksaan negatif. Dinyatakan sembuh bila hasil pemeriksaan
dahak pada akhir pengobatan ditambah minimal satu kali pemeriksaan
sebelumnya (sesudah fase awal atau satu bulan sebelum akhir pengobatan)
hasilnya negatif. Bila pemeriksaan follow up tidak dilaksanakan, namun
pasien telah menyelesaikan pengobatan, maka evaluasi pengobatan pasien
dinyatakan sebagai pengobatan lengkap.
Sesuai Tabel 9, Angka Kesembuhan (Cure Rate) TB paru di
Kecamatan Kebasen tahun 2015 sebesar 100 %, nilai ini bisa
dipertahankan seperti tahun 2014 yaitu 100%. Hal ini menunjukan bahwa
sudah berjalannya petugas PMO dengan baik dan kunjungan rumah yang
sudah rutin dilakukan oleh pemegang program.

c. Persentase Balita dengan Pneumonia


Tabel 10 lampiran buku profil menunjukan kasus pneumonia di
wilayah Kecamatan Kebasen tahun 2015 ada 21 kasus pneumonia dengan
sasaran yang seharusnya ada 379 orang. Dibandingkan dengan tahun 2014
ada 19 kasus, menunjukan ada peningkatan penemuan kasus biarpun masih
jauh dari angka sasaran. Hal ini menunjukan masih sangat rendahnya
penemuan kasus pneumonia dan bisa disebabkan masih kurangnya
pemahaman diagnosis tentang pneumonia. Dengan demikian perlunya
penambahan dari kompetensi medis dan paramedis dalam screening atau
penjaringan kasus pneumonia.
d. HIV
Dari Tabel 11 dalam buku profil, pada tahun 2015 di Kecamatan
Kebasen tidak ditemukan kasus HIV, walaupun untuk angka laporan dari
kabupaten ada sekitar 3-5 kasus. Hal ini dimungkinkan karena tidak
adanya open status dari pihak rumah sakit ataupun dari DKK, terutama
untuk pasien yang dirujuk ke Rumah Sakit dengan suspek HIV. Begitu
pula di tahun 2013 adalah 0 kasus.
e. Acute Flaccid Paralysis
Standar penemuan kasus polio adalah 2 per 100.000 penduduk usia
kurang dari 15 tahun. Target penemuan kasus di Kabupaten banyumas
adalah 2 kasus. Bila dilihat dari tabel 18 dalam buku profil ini, di
Kecamatan Kebasen pada tahun 2015 tidak ditemukan kasus AFP.
f. Demam Berdarah Dengue
Dari Tabel 21 dalam buku profil, jumlah kasus DBD di Kecamatan
Kebasen pada tahun 2015 sebanyak 8 kasus dengan angka kesakitan DBD
sebesar 12,1 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2014 jumlah
kasus DBD sebanyak 9 kasus dengan angka kesakitan DBD sebesar 14,7
per 100.000 penduduk. Dengan demikian terjadi penurunan kasus DBD
pada tahun 2015 dibanding tahun 2014. Untuk Insidence rate terhitung
masih tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin tingginya mobilitas
penduduk, masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan
pencegahan dengan kegiatan PSN secara rutin dan berkesinambungan, dan

kurangnya

pengetahuan

pemberantasannya.

dari

masyarakat

tentang

Masyarakat

mengetahui

untuk

DBD

dan

penatalaksaan

pemberantasan DBD hanya dengan fogging tanpa PSN, mungkin


kurangnya preventif dan promotif dari petugas kesehatan ke masyarakat.
g. Kasus Diare Ditangani
Penyakit diare terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses
selain dari frekuensi buang air besar. Diare merupakan penyakit endemis
di kabupaten Banyumas dan merupakan penyakit potensial KLB yang
sering disertai dengan kematian terutama pada daerah yang pengendalian
faktor risikonya masih rendah. Kasus diare di kecamatan Kebasen tahun
2015 dari Tabel 13 jumlah perkiraan penemuan kasus 1.414 kasus dan
yang mendapat penanganan 1.226 kasus. Dibandingkan tahun 2014 dari
perkiraan penemuan kasus 578 kasus yang mendapat penanganan 925
kasus. Hal ini menunjukan sudah adanya peningkatan dalam penanganan
kasus diare.
h. Persentase penderita kusta selesai berobat
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular, yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Penatalaksanaan
kasus yang buruk dapat menyebabkan kerusakan permanen pada saraf,
kulit, anggota gerak dan mata serta dapat menimbulkan masalah yang
sangat komplek, bukan hanya bagi segi medis tetapi meluas sampai
masalah sosial ekonomi.
Penemuan penderita kusta di kecamatan kebasen tahun 2015 Tabel
14 terdapat 2 kasus dengan angka prevalensi per 10000 penduduk 0,3
( tipe multibasiler). Dibandingkan pada tahun 2014 ditemukan 2 kasus
dengan angka prevalensi per 10000 penduduk 0,3 ( tipe multibasiler) hal
ini menunjukan tidak ada peningkatan kasus, dengan penatalaksanaan
100%.
i. Kasus penyakit filariasis ditangani
Di Kecamatan Kebasen di tahun 2015 dari Tabel 23 tidak didapatkan
adanya kasus filariasis, begitu juga di tahun 2014.

j. Jumlah kasus dan angka kesakitan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I).
Penyakit yang termasuk dalam PD3I adalah polio, campak, difteri,
pertussis, tetanus neonatorum, tetanus non neonatorium. Dalam upaya
untuk membebaskan Indonesia dari penyakit tersebut diperlukan
komitmen global untuk menekan turunnya angka kesakitan dan kematian
yang dikenal dengan eradikasi polio (ERAPO), Reduksi campak
(REDCAM), dan eliminasi tetanus neonatorium (ETN). Pada tahun 2015
Tabel 20 tidak ditemukan kasus penyakit PD3I yang berarti kecamatan
Kebasen sudah terbebas dari kasus / penyakit PD3I.
3. Status gizi
a. Presentase berat bayi lahir rendah
Berat bayi lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram, terjadinya kasus BBLR ini disebabkan antara lain
oleh ibu hamil mengalami anemia, kurangnya suplai gizi sewaktu dalam
kandungan atau terlahir belum cukup bulan. Bayi BBLR ini perlu
penanganan serius karena pada kondisi ini bayi mudah sekali mengalami
hipotermia dan belum sempurnanya pembentukan organ-organ tubuhnya
yang biasanya akan menjadi penyebab utama kematian bayi.
Jumlah bayi BBLR di kecamatan Kebasen tahun 2015 Tabel 37 ada
52 kasus atau 5,4 %. Dibandingkan tahun 2014 terdapat 19 kasus atau
2,0%, hal ini menunjukan adanya peningkatan jumlah bayi BBLR ditahun
2015. Perlu adanya peningkatan promotif dan preventif pada setiap
pertemuan di posyandu ataupun di kelas ibu baik oleh bidan desa, bidan
puskesmas, petugas gizi, promkes ataupun medis.
b. Presentase balita dengan gizi buruk
Dari Tabel 44 dalam buku profil, pada tahun 2015 terdapat 1057 bayi
dan 7759 anak balita dengan bayi mendapat vitamin A satu kali sebanyak
1057 bayi (100%), anak balita mendapat vitamin A dua kali sebanyak 7759
(100%). Dan pada Tabel 48 ditemukan kasus balita gizi buruk 2 kategori
BB/U dan semuanya sudah mendapat PMT pemulihan dari anggaran
APBN (BOK), dengan pengawasan dan evaluasi dari

petugas kesehatan baik medis, pemegang program gizi dan dibantu oleh
bidan desa akhirnya 6 yang terkategori gizi buruk mengalami peningkatan
BB yang signifikan.
C. Situasi upaya kesehatan
1. Pelayanan Kesehatan Dasar
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat
penting dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan
pemberian pelayanan kesehatan dasar secara tepat dan cepat, diharapkan
sebagaian besar masalah kesehatan masyarakat sudah dapat diatasi. Berbagai
pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh Puskesmas Kebasen
adalah sebagai berikut :
a. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak
Seorang ibu mempunyai peran yang sangat besar di dalam
pertumbuhan bayi dan perkembangan anak. Gangguan kesehatan yang
dialami seorang ibu apalagi yang sedang hamil bisa berpengaruh terhadap
kesehatan janin dalam kandungan hingga kelahiran dan masa pertumbuhan
bayi dan anaknya.
1) Pelayanan K4
Masa kehamilan merupakan masa yang rawan kesehatan, baik
kesehatan ibu yang mengandung maupun janin yang dikandungnya
sehingga dalam masa kehamilan perlu dilakukan pemeriksaan secara
teratur. Hal ini dilakukan guna mencegah gangguan sedini mungkin
dari segala sesuatu yang membahayakan kesehatan ibu dan janin yang
dikandungnya.
Berdasarkan Tabel 28 pada tahun 2015 jumlah ibu hamil di
Kecamatan Kebasen sebanyak 1007 ibu hamil , adapun ibu hamil yang
mendapat pelayanan K-4 adalah sebesar 1001 atau 99,4 % ibu hamil.
Dibandingkan dengan tahun 2014 yang mendapatkan pelayanan K-4
sejumlah 993 atau 97,4 % Berarti pelayanan K-4 mengalami
peningkatan sebesar 2 %.

Pada prinsipnya kegiatan-kegiatan dalam rangka pelayanan K-4 sudah


dilaksanakan secara maksimal , hal itu dikarenakan kesadaran
masyarakat tentang pentingnya pemeriksaan kesehatan pada waktu
hamil sudah meningkat. Selain itu juga petugas kesehatan telah
berusaha maksimal dalam memotivasi kepada ibu hamil. Dan adanya
kerjasama yang baik juga antara BPM dan Puskesmas.
Standar Pelayanan Minimal untuk cakupan kunjungan ibu hamil
K-4 sebesar 95%. Dengan demikian untuk Kecamatan Kebasen
memenuhi target / tercapai standar pelayanan minimal.
2) Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan (Nakes)
Komplikasi dan kematian ibu maternal serta bayi baru lahir
sebagian besar terjadi pada masa disekitar persalinan. Hal ini antara
lain disebabkan oleh pertolongan yang tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai kompetensi kebidanan (profesional).
Jumlah ibu bersalin tahun 2015 sesuai Tabel 29 sebanyak 964
orang, jumlah yang ditolong oleh nakes sebanyak 964 orang atau 100
%. Dibandingkan tahun 2014 jumlah ibu bersalin 971 orang, jumlah
persalinan yang ditolong nakes 971 orang atau 100 % . Berarti
pelayanan persalinan sudah seluruhnya dilakukan oleh Nakes.
Target Standar Pelayanan Minimal untuk pertolongan persalinan
oleh nakes tahun 2015 sebesar 90 %. Dengan demikian cakupan
persalinan nakes Kecamatan Kebasen tahun 2014 sudah memenuhi
standar pelayanan minimal, berkat kerjasama pemegang program,
koordinasi antar bidan, koordinasi tim PONED puskesmas, dan
kerjasama lintas sector.
Namun

demikian

kegiatan-kegiatan

yang

mendukung

pencapaian SPM tersebut masih tetap harus dilaksanakan untuk lebih


meningkatkan cakupan antara lain ditingkatkannya kerjasama bidan
untuk terselenggaranya PONED secara maksimal, pengembangan
kompetensi medis, bidan dan paramedis lainnya baik dengan update
kebidanan dan pelatihan, pengembangan Pondok Bersalin Desa
(Polindes) menjadi Poliklinik Kesehatan Desa (PKD)

3)

Komplikasi kebidanan yang ditangani


Sesuai Tabel 33 pada tahun 2014 jumlah ibu hamil risiko tinggi
(risti) di Kecamatan Kebasen yaitu 268 orang. Adapun jumlah ibu
hamil

resti

yang

mendapat

penanganan

yaitu

268

orang.

Dibandingkan jumlah bumil risti tahun 2014 adalah 204 orang maka
tahun 2015 jumlah bumil risti mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan

karena

tingginya

kesadaran

ibu

hamil

untuk

memeriksakan kehamilannya serta adanya Bidan di setiap desa


sehingga setiap ada kelainan segera terdeteksi dan mendapat
penanganan, dan adanya kerjasama lintas sektor, yang ikut membantu
dalam pendataan ibu hamil risiko tinggi.
4) Pelayanan ibu nifas
Nifas adalah periode mulai dari 6 jam sampai 42 hari pasca
persalinan, masa nifas berpeluang untuk terjadinya kematian ibu
maternal. Pelayanan kesehatan ibu nifas adalah pelayanan kesehatan
pada ibu nifas sesuai standart, yang dilakukan sekurang-kurangnya 3
kali sesuai jadwal yang dianjurkan yaitu pada 6 jam sampai dengan 3
hari pasca persalinan, pada hari ke 4 sampai dengan hari ke 28 pasca
persalinan.
Cakupan pelayanan pada ibu nifas tahun 2015 adalah 964 orang
dari 964 ibu bersalin. Ini menunjukan bahwa pelayanan ibu nifas
sudah 100% dilaksanakan oleh tenaga kesehatan. Dibandingkan
dengan target SPM tahun 2015 maka sudah tercapai yaitu 90%.
5)

Ibu hamil mendapat tablet besi


Penanggulangan anemi pada ibu hamil dilaksanakan dengan
program penanggulangan anemia dengan memberikan 90 tablet Fe
kepada ibu hamil selama periode kehamilannya, selain itu juga
dilakukan dengan pemberian tablet tembah darah yaitu preparat Fe
yang bertujuan untuk menurunkan angka anemia pada balita, remaja
putri, dan wanita usia subur.
Berdasarkan tabel 32 data yang dipeoleh, jumlah ibu hamil di
Kecamatan Kebasen tahun 2015 sebanyak 1.007 orang yang

mendapatkan tablet Fe ( 90 tablet ) sebanyak 1022 orang atau 101,49


%. Jika dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya jumlah ibu
hamil di Kecamatan Kebasen tahun 2014 sebanyak 1019 orang, yang
mendapatkan tablet Fe ( 90 tablet ) sebanyak 993 orang atau 97,45 %.
Hal ini menunjukan terjadinya peningkatan di tahun 2015 dalam
pemberian tablet tambah darah (Fe) dibandingkan tahun 2014. Kondisi
di atas bila dibandingkan dengan SPM ( 90% ) sudah mencapai target.
6) Neonatus dengan komplikasi yang ditangani
Neonatus dengan komplikasi yang ditangani adalah neonatus
komplikasi yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan yang
terlatih, dokter dan bidan di sarana pelayanan kesehatan. Perhitungan
sasaran neonatus dengan komplikasi dihitung berdasarkan 15% dari
jumlah bayi baru lahir. Indicator ini mengukur kemampuan
managemen program KIA dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan secara professional kepada neonatus dengan komplikasi.
Tahun 2015 perkiraan neonatus dengan komplikasi sebanyak
143 dari jumlah komplikasi neonatus komplikasi ditangani sebesar
218 atau 152%. Dibandingkan dengan tahun 2014 terdapat perkiraan
jumlah neonatus risti sebanyak 144 dari neonatal risti yang ditangani
sejumlah 194 atau 135%. Dibandingkan tahun 2014 mengalami
kenaikan di tahun 2015, dengan ini diharapkan karena masih tingginya
angka neonatal dengan komplikasi, seluruh paramedis baik bidan
maupun perawat, tenaga medis dan juga tim PONED puskesmas untuk
selalu update kebidanan untuk melatih skill dalam penatalaksanaan
neonatal dengan komplikasi.
b. Pelayanan Keluarga Berencana
Masa subur seorang wanita memiliki peran penting bagi terjadinya
kehamilan sehingga peluang wanita untuk melahirkan menjadi cukup
tinggi. Menurut hasil penelitian usia subur seorang wanita biasanya antara
15 49 tahun . Oleh karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran atau

menjarangkan kelahiran, wanita / pasangan ini lebih diprioritaskan untuk


menggunakan alat/ cara KB.
Berdasarkan data yang dihimpun pada tabel 35, tahun 2015 jumlah
pasangan usia subur (PUS) berdasarkan sumber dari Badan Pemberdayaan
Masyarakat Perempuan dan KB sebesar 11449 pasangan. Jumlah PUS
tahun 2014 sebesar 13859 sehingga mengalami penurunan.
Jika kita perhatikan tabel 35 bahwa jumlah PUS tertinggi terdapat di
desa Cindaga yaitu sebanyak 2.052 yang sebelumnya juga di desa
Cindaga. Peserta KB aktif pada tahun 2014 sebesar 7764 atau 67,8 % .
Sedangkan tahun 2013 sebesar 10473 atau 75,6% sehingga jumlah peserta
KB aktif mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan menurunnya tingkat
kesadaran masyarakat terhadap KB yang berpengaruh besar terhadap
kualitas generasi yang dilahiran dan pengaruh terhadap kesehatan ibu
hamil, dengan semakin banyak anak semakin besar resiko yang dihadapi
pada saat kehamilan atau dikarenakan kurang aktifnya pemegang program
dalam promosi tentang kualitas KB.
c. Pelayanan Imunisasi
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi
umur 0 1 tahun ( BCG, DPT, Polio, Campak, HB ) imunisasi untuk
wanita usia subur/ ibu hamil (TT) dan imunisasi untuk anak sekolah
SD( kelas 1 : DT, dan kelas 2-3 : TD ).
Jumlah desa di Kecamatan Kebasen sebanyak 12 desa. Desa
Universal Child Immunization (UCI) pada tahun 2015 berdasarkan tabel
41 sebanyak 12 desa atau 100%. Dibandingkan tahun 2014 desa UCI
sebanyak 12 desa atau 100% berarti sama. Terget SPM untuk desa UCI
tahun 2015 sebesar 100% . Dengan demikian Kecamatan Kebasen pada
tahun 2015 sudah memenuhi target SPM.
2. Pelayanan Kesehatan Puskesmas, Rujukan dan Penunjang
Pelayanan dapat dilayani melalui Puskesmas sebagai pelayanan
kesehatan dasar dan Rumah Sakit sebagai pelayanan kesehatan rujukan.
Jumlah kunjungan baru rawat jalan yang dihimpun dari profil kesehatan

berdasarkan tabel 54 sebesar 33721 atau 51,0 % dari jumlah penduduk ,


dibanding tahun lalu mengalami peningkatan,
Jumlah kunjungan baru pasien rawat inap sebanyak 1835 pasien atau
2,8 % dari jumlah penduduk dibanding tahun 2014 sebesar 1648 orang atau
2,7 % berarti mengalami peningkatan sekitar 0,1%.
Target kunjungan rawat jalan berdasarkan Indonesia Sehat 2015 sebesar
15 % dengan demikian penggunaan fasilitas kesehatan rawat jalan di
Kecamatan Kebasen tahun 2015 belum memenuhi target. Sedangkan untuk
penggunaan fasilitas kesehatan rawat inap di Kecamatan Kebasen bila
dibandingkan dengan Indikator Indonesia Sehat 2015 sebesar 1,5% maka
masyarakat Kecamatan Kebasen dalam pemanfaatan fasilitas rawat inap
sudah diatas target.
Pelayanan kesehatan jiwa adalah pelayanan yang mengalami gangguan
kejiwaan, yang meliputi gangguan pada perasaan, proses pikir, dan perilaku
yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosialny. Pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas
Kebasen tahun 2015 adalah sebesar 30 orang. Dibandingkan tahun 2014 ada
29 orang, ini menunjukan adany peningkatan kasus.
3. Pembinaan Kesehatan Lingkungan dan Sanitasi Dasar
a. Penyediaan air bersih dan sanitasi
Salah satu tujuan pembangunan prasarana penyediaan untuk
memastikan komitmen pemerintah terhadap MDGs ( Milenium
Development goals ) yaitu memastikan kelestarian lingkungan dan
mengurangi hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses
berkelanjutan terhadap air yang layak dan sanitasi dasar hingga tahun
2015.
1) Akses sarana air bersih
Jumlah penduduk pengguna dengan diperiksa akses air
minum berkelanjutan terhadap air minum berkualitas ( layak)
menurut jenis sumbernya seperti sumur gali terlindung, sumur gali
dengan pompa, sumur bor dengan pompa, terminal air terlindung,
penampungan air hujan (PAH) table 59 sebanyak 51260 jiwa atau

sebesar 77,57% dengan rician penduduk pengguna sebagai berikut :


sumur gali terlindung 37955, sumur gali dengan pompa 1655,
terminal air 0, mata air terlindung 9170, penampungan air hujan 0,
dan perpipaan 1935, dalam hal ini akses air minum berkualitas paling
banyak menggunakan air sumur gali terlindung, hal ini terjadi karena
struktur geografis, sedangkan jaringan perpipaan belum menjangkau
seluruh wilayah kecamatan kebasen.
2) Sarana sanitasi dasar
Akses penduduk terhadap sanitasi yang layak ( jamban sehat )
di kecamatan Kebasen table 61 sebesar 49403 atau sebesar 74,8 %
dengan rincian memenuhi syarat sebagai berikut : jumlah penduduk
kecamatan kebasen 66.080 jiwa pengguna jamban komunal 539,
leher angsa 48009, plengsengan 0, cemplung 863. Bila dibandingkan
secara nasional prosentase rumah tangga menurut akses terhadap
pembuangan tinja layak sesuai MDGs tahun 2015, sendiri / bersama,
jenis kloset leher angsa / laktrine dan pembuangan akhir tinjanya
adalah tangki sptic/saluran pembuangan air limbah ( SPAL) harus
sebesar 55,5% maka untuk kecamatan Kebasen dalam sarana sanitasi
dasar ( jamban) belum memenuhi standar.
b. Pengawasan dan pemeliharaan kualitas lingkungan Rumah sehat
Pada tahun2015 desa sanitasi total berbasis sanitasi di kecamatan
Kebasen sebanyak 12 desa ( 100%), sedang jumlah stop BABS sebesar 2
desa ( 16,67%) (table 62). Sedangkan untuk pemeriksaan rumah yang
memenuhi syarat ( rumah sehat ) sebagai berikut (tabel 58) : jumlah
rumah yang ada 16530 yang memenuhi syarat sehat sebanyak 5552
(33,59%), yang dibina 5176, yang memenuhi syarat sehat setelah dibina
adalah 5176, dengan kata lain rumah yang memenuhi syarat rumah sehat
adalah 11,576 atau 70,03 %. Cakupan rumah sehat di kecamatan Kebasen
meningkat di tahun 2015 ini.
4. Perbaikan Gizi Masyarakat
a. Pemantauan Pertumbuhan Balita
Berdasarkan Tabel 47 pada tahun 2015 adalah sebagai berikut :

1) Jumlah seluruh balita ( S ) = 4.795 anak


2) Jumlah balita yang ditimbang ( D ) = 3.873 anak
Berdasarkan data diatas, maka tingkat partisipasi masyarakat
(D/S) mengalami kenaikan yaitu 80,8 % dibandingkan tahun 2014 yaitu
73,6%. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kinerja dari pemegang
program dan peningkatan koordinasi lintas sektor. Tingkat partisipasi
masyarakat dan efek penyuluhan bila dibandingkan dengan SPM sudah
diatas standar. Upaya yang ditempuh antara lain meningkatkan
penyuluhan, meningkatkan fungsi Kelompok Kerja (Pokja) Posyandu
Desa untuk memotivasi masyarakat sehingga meningkatkan peran serta
masyarakat.
b. Pelayanan Gizi
1) Pemberian Kapsul Vitamin A
Upaya perbaikan gizi juga dlakukan pada beberapa sasaran
yang diperkirakan banyak mengalami kekurangan vitamin A, yaitu
melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada bayi dan balita
yang diberikan sebanyak 2 kali dalam satu tahun (Februari dan
Agustus) dan ibu nifas.
Berdasarkan data yang berhasil dihimpun oleh seksi gizi
seperti tercantum pada Tabel 44 bahwa jumlah sasaran bayi yang
mendapat vitamin A ( usia 6 bulan 11 bulan ) ada 1057 dan yang
diberikan vitamin A 1057 ( 100 % ), adapun jumlah balita yang ada
tahun 2015 sebanyak 7759 balita. Balita yang mendapat kapsul
vitamin A 2 kali sebanyak 7759 balita atau 100 %. Sedangkan jumlah
Ibu nifas (tabel29) yang ada 964 dan semuanya ( 100 % )
mendapatkan vitamin A dosis tinggi.
Standar pelayanan minimal untuk balita mendapat kapsul
vitamin A 2 kali sebesar 95 %. Dengan demikian cakupan balita yang
mendapat kapsul vitamin A 2 kali dibandingkan dengan SPM sudah
tercapai. Dibandingkan tahun 2014 sama target tercapai 100 % untuk
pemberian vit A usia 6-11 bulan dan vit A balita 2x 100% dan ibu
nifas juga 100%.

3) Pemberian Tablet Besi


Pemberian tablet besi (Fe) dimaksudkan untuk mengatasi
kasus Anemia serta meminimalisasi dampak buruk akibat
kekurangan Fe khususnya yang dialami ibu hamil. Berdasarkan
Tabel 32 data yang dipeoleh, jumlah ibu hamil di Kecamatan
Kebasen tahun 2014 sebanyak 1.007 orang., yang mendapatkan
tablet Fe (90 tablet) sebanyak 1022 orang atau 101,49%.
Jika dibandingkan dengan kondisi tahun sebelumnya jumlah
ibu hamil di Kecamatan Kebasen tahun 2014 sebanyak 1.019 orang,
yang mendapatkan tablet Fe (90 tablet) sebanyak 993 orang atau
97,45 %. Kondisi di atas bila dibandingkan dengan SPM (90%)
sudah mencapai target.
5. Perilaku hidup masyarakat
a. Presentase Rumah Tangga Berperilaku hidup bersih dan sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini dalam keluarga
dapat menciptakan keluarga yang sehat dan aktif dalam setiap upaya
kesehatan di masyarakat. Untuk mencapai rumah tangga berPHBS
terdapat 10 perilakuhidup bersih dan sehat yang dipantau yaitu : 1.
Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, 2. Memberi ASI
eksklusif, 3. Menimbang balita setiap bulan, 4. Menggunakan air
bersih, 5. Mencuci tangan dengan bersih, 6. Menggunakan jamban
sehat, 7. Memberantas jentik di rumah dan sekitar rumah seminggu
sekali, 8. Makan sayur dan buah setiap hari, 9. Melakukan aktifitas
fisik setiap hari, 10. Tidak merokok diadalm rumah.
Tatanan rumah tangga di kecamatan Kebasen tahun 2015 tabel
57 adalah sebanyak 16530 dipantau PHBS ada14475 yang ber PHBS
ada10471 (72,3%). Bila dibandingkan tahun 2014 sejumlah 17338
yang dipantau 1410 dan yang ber PHBS ada 8917 (63,6%), pada
tahun 2014 telah diketahui hasil dari pemantauan keluarga yang
berPHBS, sedang pada tahun-tahun sebelumnya hanya dilakukan
pemantauan terhadap keluarga yang berPHBS.
b. Prosentase posyandu aktif
Jumlah posyandu yang ada di kecamatan Kebasen tahun
2015 sebanyak 78 posyandu aktif yang terdiri dari 70 posyandu
purnama dan 8 posyandu mandiri.

c. Bayi yang mendapat ASI eksklusif


Berdasarkan data yang diperoleh tahun 2015 tabel 39
cakupan pemberian ASI eksklusif dari 800 bayi yang diberikan ASI
eksklusif ada 409 (51,1%). Hal ini meningkat jika dibandingkan
dengan tahun 2014 cakupan pemberian ASI eksklusif dari 1338 bayi
yang diberikan ASI eksklusif ada 306 (22,9 %). Target SPM tahun
2015 adalah 50%, hal ini terpenuhi target, karena meningkat dari
tahun sebelumnya.
d. Pelayanan kesehatan dalam bencana
Dalam 2 tahun ini baik tahun 2014 dan 2015 tidak terdapat
KLB ( Kejadian Luar Biasa) di wilayah kecamatan Kebasen.

III.IDENTIFIKASI PERMASALAHAN DAN PRIORITAS


MASALAH

A. Daftar Permasalahan Kesehatan


Masalah adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan
sehingga menimbulkan rasa tidak puas. Dalam memutuskan adanya
masalah, diperlukan tiga syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Adanya kesenjangan
2. Adanya rasa tidak puas
3. Adanya rasa tanggung jawab untuk menanggulangi masalah
(Timmreck,
2004).
Kepanitraan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) di Puskesmas
Kebasen mengidentifikasi permasalahan dari segi morbiditas penyakit
menular di wilayah Puskesmas Kebasen. Berikut ini adalah data
sepuluh penyakit menular di wilayah
kerja Puskesmas Kebasen bulan Januari-Desember 2015.
Tabel 3.1 Data sepuluh penyakit menular di wilayah kerja
Puskesmas Kebasen bulan Januari-Desember 2015
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

PENYAKIT
Diare
Tuberkulosis
Pneumonia
DBD
Kusta
Malaria
Filariasis
Polio
PD3I
HIV

TOTAL
1226
23
21
8
2
1
0
0
0
0

B. Penentuan Prioritas Masalah


Penentuan prioritas masalah dapat dilakukan dengan beberapa
metode, diantara skoring relatif dengan kriteria tertentu seperti pada
metode system skor relatif, berdasar kriteria tertentu seperti metode
Delbeq, Delphi, Hanlon, Relative Worth, Forced Ranking atau
mengambil masalah langsung yang dinyatakan urgensinya oleh
undang-undang atau sebuah lembaga yang berhak menentukan

prioritas masalah berdasar aturan tertentu misalnya KLB (Kejadian


Luar Biasa).
Penentuan prioritas masalah di Kecamatan Kebasen dengan
menggunakan metode Hanlon Kuantitatif. Untuk keperluan ini
digunakan 4 kelompok kriteria, yaitu:
1. Kelompok kriteria A : besarnya masalah
2. Kelompok

kriteria

kegawatan

masalah,

penilaian

terhadapdampak, urgensi dan biaya.


3. Kelompok kriteria C : kemudahan dalam penanggulangan, yaitu
penilaian

terhadap

tingkat kesulitan

penanggulangan

masalah.
4. Kelompok kriteria D : PEARL faktor yaitu penilaian terhadap
propriety,

economic,

acceptability, resourcesavailability,

legality
Adapun perincian masing-masing bobot kriteria pada prioritas masalah
di
Puskesmas Kebasen adalah sebagai berikut:
1. Kriteria A (besarnya masalah)
Kriteria A digunakan untuk menentukan besarnya masalah kesehatan
diukur dari besarnya penduduk yang terkena efek langsung.
Tabel 3.2 Besarnya Masalah Kesehatan Puskesmas Kebasen 2015
Besarnya masalah dari data
sekunder Puskesmas
Kebasen (%)

Masalah
Prevalensi

Nilai

Kesehatan
0.01- 0.1-

1-

10-

0.09

9.9 24.9

<0.01

>25
0.9

(0)

(10)
(2)

Diare
Tuberkulosis
Pneumonia
DBD
Kusta
Malaria

1.85%
0.034%
0.03%
0.012%
0.003%
0.0015%

v
v
v
v
v

(4)

(6)
v

(8)
6
2
2
2
0
0

2. Kriteria B (kegawatan masalah)


Tabel 3.3 Kegawatan Masalah Kesehatan Puskesmas Kebasen 2015
Masalah
Diare
Tuberkulosis
Pneumonia
DBD
Kusta
Malaria

Urgensi
6
10
10
8
8
10

Kegawatan
6
8
8
6
6
8

Biaya
4
8
4
4
6
6

Nilai
5.3
8.7
7.3
6
6.7
8

Tabel 3.4 Keterangan Skor Kegawatan Masalah


Urgensi
Sangat urgent
Urgent
Cukup urgen
Kurang urgen
Tidak Urgen

Kegawatan
Sangat gawat
Gawat
Cukup gawat
Kurang gawat
Tidak gawat

Cost
Sangat mahal
Mahal
Cukup mahal
Murah
Sangat murah

Score
10
8
6
4
2

3. Kriteria C (penaggulangan masalah)


Untuk menilai kemudahan dalam penanggulangan, pertanyaan
yang harus dijawab adalah apakah sumber-sumber dan teknologi yang
tersedia

mampu

menyelesaikan

masalah.

Semakin

sulit

penanggulangan,
skor yang diberikan semakin kecil.
a.

Sangat sulit ditanggulangi (0-20%)

: Skor 2

b.

Sulit ditanggulangi (20-40%)

: Skor 4

c.

Cukup bisa ditanggulangi (40-60%)

: Skor 6

d.

Mudah ditanggulangi (60-80%)

: Skor 8

e.

Sangat mudah ditanggulangi (80-100%)

: Skor 10

Pada tahap ini dilakukan pengambilan suara dari 3 orang yang


kemudian dirata-rata untuk menentukan skor, dimana skor tertinggi
merupakan masalah yang paling mudah ditanggulangi. Adapun hasil
konsensus tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 3.5 Hasil konsensus penanggulangan masalah Puskesmas


Kebasen Tahun 2015
Masalah kesehatan
Diare

1
10

2
8

3
8

Rata-Rata
8.6

Tuberkulosis
Pneumonia
DBD
Kusta
Malaria

10
8
10
10
8

8
8
10
8
8

10
8
8
8
6

9.3
8
9.3
8.6
7.3

4. Kriteria D (PEARL faktor)


Propriety

: kesesuaian (1/0)

Economic

: ekonomi murah (1/0)

Acceptability

: dapat diterima (1/0)

Resources availability

: tersedianya sumber daya (1/0)

Legality

: legalitas terjamin (1/0)

Tabel 3.6 Tabel Kriteria PEARL


Masalah

Diare
Tuberkulosis
Pneumonia
DBD
Kusta
Malaria

1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1

1
1
1
1
1
1

Hasil
Perkalian
1
1
1
1
1
1

Penetapan nilai
Setelah nilai kriteria A, B, C, dan D didapatkan kemudian nilai tersebut
dimasukkan ke dalam formula sebagai berikut :
Nilai prioritas dasar (NPD) = (A+B)x C
Nilai prioritas total (NPT)

= (A+B) x C x D

Tabel 3.7 Urutan Prioritas Masalah Kesehatan Puskesmas Kebasen Januari


Desember 2011
Urutan
Masalah

NPD

NPT
Prioritas

Diare
Tuberkulosis
Pneumonia
DBD
Kusta
Malaria

6
2
2
2
0
0

5.3
8.7
7.3
6
6.7
8

8.6
9.3
8
9.3
8.6
7.3

1
1
1
1
1
1

97.18
99.51
73.6
74.4
52.46
58.4

97.18
99.51
73.6
74.4
52.46
58.4

2
1
4
3
6
5

Prioritas pertama masalah diperoleh dengan nilai NPT tertinggi.


Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode Hanlon kuantitatif urutan
prioritas masalahnya adalah sebagai berikut :
1. TB paru
2. Diare
3. DBD
4. Pneumonia
5. Malaria
6. Kusta

IV. KERANGKA KONSEPTUAL MASALAH


A. Dasar Teori
1. Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh bakteri dari kelompok Mycobacterium yang
dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) yaitu Mycobacterium
tuberculosis. Beberapa spesies
Mycobacterium antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M.
bovis, M. leprae dan lain-lain. Kelompok bakteri Mycobacterium
selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan
pada saluran pernapasan dikenal sebagai Mycobacterium Other
Than Tuberculosis (MOTT) yang terkadang bisa mengganggu
penegakkan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu, pemeriksaan
bakteriologis yang mampu mengidentifikasi Mycobacterium
tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB (Kemenkes,
2014).
2. Etiologi
Bakteri Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus
atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul.
Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M.
tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat
merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang
dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan
dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang
terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida
seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis
bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan
asam alkohol.

Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma


yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik
antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan
antibodi monoklonal. Saat ini telah dikenal purified antigens
dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65
kDa yang memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi
dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen
M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang
tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan
oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP
40 dan lain lain.
3. Faktor risiko
a. Faktor Sosio-Ekonomi
Prevalensi TB paru empat kali lebih tinggi pada pendidikan
rendah dibandingkan pendidikan tinggi. Kondisi pendidikan
merupakan salah satu indikator yang kerap ditelaah dalam
mengukur tingkat pembangunan manusia suatu negara. Melalui
pengetahuan, pendidikan berkontribusi terhadap perilaku kesehatan.
Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan
salah satu faktor pencetus (predisposing) yang berperan dalam
memengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat.
Kurangnya pengetahuan untuk mendapatkan informasi kesehatan
dan kurangnya mendapat jangkauan pelayanan kesehatan berakibat
pada daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah untuk terkena
infeksi.
Dari segi ekonomi, sebagian besar penderita TB adalah
tergolong berpengeluaran rendah. Penyakit TB selalu dikaitkan
dengan kemiskinan. Menurut WHO (2003), 90% penderita TB di
dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau
miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal
balik, penyakit TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena
kemiskinan maka manusia menderita TB. (Rukmini & Catharina,
2011).
b. Faktor Demografi
Kondisi di mana penyakit TB lebih banyak di pedesaan
dapat dikaitkan dengan kondisi sosial ekonomi penduduk di

pedesaan itu sendiri. Pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin di


Indonesia tercatat 30,30 juta jiwa, di mana sebagian besar yaitu
24,81 jiwa (81,88%) tinggal di daerah pedesaan (BPS, 2007)
Kondisi sosial ekonomi tidak hanya berhubungan langsung,
namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti kondisi
status gizi yang buruk, perumahan yang tidak sehat dan rendahnya
akses terhadap pelayanan kesehatan. Rendahnya akses di
pedesaan, bukan hanya karena rendahnya kemampuan ekonomi
untuk membayar pelayanan, tetapi jauh lebih kompleks yaitu
dibatasi oleh jarak ke tempat pelayanan, sulitnya transportasi,
rendahnya pengetahuan dan dipengaruhi oleh faktor sosial budaya
masyarakat setempat
c. Faktor Kesehatan Lingkungan
Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan
penularan penyakit. Rumah dengan pencahayaan dan ventilasi
yang baik akan menyulitkan pertumbuhan kuman, karena sinar
ultraviolet dapat mematikan kuman dan ventilasi yang baik
menyebabkan pertukaran udara sehingga mengurangi kosentrasi
kuman. Kondisi rumah yang paling mempengaruhi terjadinya TB
adalah langit-langit dan ventilasi kamar tidur yang belum
memenuhi persyaratan. Ventilasi rumah <10% dari luas lantai
mempunyai peluang menderita TB 4,56 kali dibandingkan dengan
rumah dengan ventilasi 10% dari luas lantainya (Rukmini &
Catharina, 2011). Tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan
peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses
penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan
yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan
berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri TB
(Kurniasari et al., 2012).
d. Faktor Tindakan Pencegahan TB
Kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara
manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki
potensi penyakit. Perilaku yang tidak sehat yang berhubungan dengan
penyakit TB antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk

sembarangan, kedekatan anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak


seimbang, menggunakan peralatan makan secara bersamaan.

e. Faktor Status Gizi


Status gizi memiliki peran penting dalam pencegahan TB.
Kekurangan gizi yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh seperti
protein dan zat besi menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit
infeksi seperti TB paru (Rukmini & Catharina, 2011).
f. Faktor Kontak TB
Penularan TB dapat terjadi bila ada kontak dengan penderita TB
yang umumnya terjadi dalam ruangan yang mengandung droplet
(tergantung konsentrasi droplet dalam udara), lama menghirup dan
kerentanan individu. Selain kontak serumah, kontak juga dapat terjadi
dengan penderita TB di luar rumah.
4. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
Gejala utama pasien TBC adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan
menurun (anoreksia), berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan
(Depkes RI, 2014).
1) Batuk
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
bertujuan untuk membuang produk-produk radang keluar. Batuk
dapat timbul setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru
yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul
peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
yang lanjut adalah berupa batuk berdarah karena terdapat
pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada

tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada


ulkus dinding bronkus (Amin dan Bahar, 2009).
2) Demam
Demam pada psien TB biasanya subfebris menyerupai
demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat
mencapai 40-41C. Serangan demam dapat hilang timbul
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman tuberkulosis yang masuk (Amin dan Bahar, 2009).
3) Sesak napas.
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan
sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang
sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian
paru-paru (Amin dan Bahar, 2009).
4) Nyeri dada
Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua
pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya (Amin dan
Bahar, 2009).
5) Malaise
Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise
sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan
makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan
terjadi hilang timbul. (Amin dan Bahar, 2009)
Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat
gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan (Amin dan Bahar, 2009).

b. Pemeriksaan fisik
Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan
kelainan pada pemeriksaan fisik. Kelainan yang dijumpai tergantung
dari organ yang terlibat. Kelainan paru pada umumnya terletak di
daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior.
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain (Kemenkes RI,
2014):
1) Keadaan umum : normal atau tampak sesak napas jika infiltrasi
meliputi setangah bagian paru .
2) Pemeriksaan fisik paru
a)

Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda penarikan paru (deviasi trakea,
ketingalan gerak paru

b)

Palpasi
Jika terjadi infiltrasi, pada palpasi paru akan ditemukan
peningkatan vokal fremitus

c)

Perkusi
Dapat ditemukan redup teruatam terjadu pada atelektasis
atau efusi pleura (redup bagian basal)

d)

Auskultasi
Suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah.

c. Pemeriksaan penunjang
1)

Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi
penularan. Sputum yang baik harus berjumlah 3-5 ml, kental,
berwarna kuning kehijau-hijauan, dan bukan ludah. Sputum
dikumpulkan dalam 2 hari berurutan yaitu sputum sewaktu,
pagi, sewaktu (Kemenkes RI, 2014).
a)

S (sewaktu): Pada hari pertama waktu penderita datang


dengan

keluhan

suspek

tuberkulosis,

penderita

mengumpulkan sputum sebagai spesimen pertama berupa


sputum sewaktu. Pada saat pulang, terduga pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi
pada hari kedua.
b)

P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua,


segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas di fasyankes.

c)

S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari


kedua, saat menyerahkan dahak pagi.
Pemeriksaan

sputum

secara

mikroskopik

merupakan

pemeriksaan yang paling sederhana. Sputum yang didapat


kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis menggunakan
metode pewarnaan Ziehl- Nelseen. Mycobacterium tuberculosis
berbentuk batang berwarna merah, memiliki sifat yaitu tahan
terhadap penghilangan warna dengan asam dan alkohol oleh
karena itu disebut sebagai basil tahan asam (BTA) (Kemenkes
RI, 2014).
Selain utnuk penegakan diagnosis, pemeriksaan sputum
digunakan untuk evaluasi pengobatan, yaitu setelah masa
intensif, pada akhir bulan ke 5 pengobatan dan akhir
pengobatan. Evaluasi ini dilakukan untuk menilai ada atau
tidaknya konversi dahak (Kemenkes RI, 2014).
2) Pemeriksaan bakteriologis
Selain sputum, pemeriksaan bakteriologi juga dapat
menggunakan sapel cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus,

bilasan

lambung,

kurasan

bronkoalveolar

(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi


(termasuk biopsi jarum halus/BJH) (Kemenkes RI, 2014).
3)

Pemeriksaan radiologis
Evaluasi radiologi dilakukan sebanyak 3 kali dengan waktu
sebelum memulai pengobatan, setelah masa intensif, dan akhir
pengobatan, jika pada pasien dengan kemungkinan mengarah ke

keganasan maka evaluasi yang ke dua dapat dilakukan pada 1


bulan setelah pengobatan (Kemenkes RI, 2014).
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam--macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif (Palmer, 2012):
a) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
b) Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular
c) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif berupa
Fibrotik, Kalsifikasi, dan Schwarte atau penebalan pleura
(Palmer, 2012).

Gambar 1 Pemeriksaan foto thoraks pasien tuberkulosis


(Konstantinos, 2010).
4)

Tes tuberkulin
Tes kulit dapat mengidentifikasi seseorang yang telah
terinfeksi pada suatu saat oleh Mycobacterium tuberculosis,
namun tidak dapat membedakan antara penyakit yang sedang
berlangsung dengan keadaan paska infeksi. Hasil tes yang positif
tidak selalu diikuti dengan penyakit, demikian juga

dengan hasil tes negatif tidak selalu menyingkirkan tuberkulosis.


Tes ini mungkin hanya berguna dalam menentukan diagnosis
pada penderita dengan pemeriksaan sputum BTA negatif
(terutama anak-anak yang memiliki kontak dengan seseorang
penderita tuberkulosis yang menular) (Bahera, 2010).
Tes tuberkulin dilakukan dengan menyuntikan tuberkulin
sebanyak 0,1 ml secara intrakutan pada sepertiga atas
permukaan volar atau dorsal lengan bawah dengan ukuran jarum
suntik 26-27 G dan spuit 1 cc. Akan terbentuk suatu gelembung
berdiameter 6-10 mm yang menyerupai gigitan nyamuk bila
dosis 0,1 ml disuntikan dengan tepat dan cermat. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dalam cahaya yang
terang dan posisi lengan bawah sedikit di tekuk. Hasil tes
dikatakan positif apabila diameter indurasi > 5mm. Tidak
adanya indurasi sebaiknya dicatat 0 mm dan bukan negatif
(Price dan Wilson, 2005). Uji tuberkulin yang positif
menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen
(tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam
tubuh (Kemenkes RI, 2014).

5)

Algoritma penegakan diagnosis

Gambar 4.2 Algoritma Penegakan Diagnosis TB (Kemenkes RI,


2014)
5. Pencegahan
Mencegah penularan tuberkulosis pada semua orang yang terlibat
dalam pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian
utama. Penatalaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
TB bagi petugas kesehatan sangatlah penting peranannya untuk
mencegah tersebarnya kuman TB ini. Upaya tersebut berupa
pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu :
a. Pengendalian Manajerial
Komitmen, kepemimipinan dan dukungan manajemen yang efektif

37

berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang


meliputi: a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB b. Membuat
SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur pelaporan
dan surveilans serta Membuat perencanaan program PPI TB secara
komprehensif
b. Pengendalian administratif
Pengendalian administratif adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah atau mengurangi pajanan kuman m. tuberculosis kepada
petugas kesehatan, pasien, pengunjung, dan lingkungan. Upaya ini
mencangkup:
1) Strategi TEMPO (Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara
Aman, Obati secara tepat)
2) Penyuluhan pasien mengenai etika batuk
3) Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu, serta
pembuangan dahak yang benar
4) Skrining bagi petugas yang merawat pasien
c. Pengendalian lingkungan
Upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi
dengan menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan
mengurangi/ menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya
pengendalian dilakukan dengan menyalurkan percik renik kearah
tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi
ultraviolet sebagai germisida. Sistem ventilasi berupa, ventilasi
alamiah, ventilasi mekanik, dan ventilasi campuran
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas
dan keadaan setempat. Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi
suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur bangunan,
iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara
luar ruangan serta perlu dilakukan monitoring dan pemeliharaan
secara periodik.
d. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas

38

kesehatan di tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan


risiko terpajan, sebab kadar percik renik tidak dapat dihilangkan
dengan upaya administratif dan lingkungan.
Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI),
2010 menjelaskan tentang pencegahan penularan penyakit TBC, yaitu:
1) Pencegahan oleh masyarakat
a) Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan
tubuh meningkat untuk membunuh kuman TBC
b) Tidur dan istirahat yang cukup
c) Tidak merokok, minum alkohol dan menggunakan narkoba
d) Lingkungan yang bersih baik tempat tinggal dan disekitarnya
e) Membuka jendela agar masuk sinar matahari di semua ruangan
rumah karena kuma TBC akan mati bila terkena sinar matahari
f) Imunisasi BCG bagi balita, yang tujuannya untuk mencegah
agar kondisi balita tidak lebih parah bila terinfeksi TBC
g)

Melakukan imunisasi bagi orang-orang yang melakukan kontak


langsung dengan penderita, seperti keluarga, perawat, dokter,
petugas kesehatan, dan orang lain yang terindikasi, dengan
vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.

2) Pencegahan oleh penderita


a) Tidak meludah / membuang dahak di sembarang tempat tetapi
dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya: dengan
menggunakan wadah/ kaleng bertutup yang sudah diberi air
sabun. Buanglah dahak ke lubang WC atau timbun ke dalam
tanah di tempat yang jauh dari keramaian.
b) Menutup mulut saat batuk atau bersin dengan saputangan atau
tisu atau tangan pada waktu bersin dan batuk, dan mencuci
tangan.
c) Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar udara dan sinar
matahari masuk. Sinar matahari langsung dapat mematikan
kuman TB.

39

d) Menjemur alat tidur


e) Berperilaku hidup bersih dan sehat
f) Menelan OAT secara lengkap dan teratur sampai sembuh.
g) Menggunakan alat-alat makan dan kamar tidur tersendiri yang
terpisah dari anggota keluarga yang lain.
h) Melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang kontak
dengan penderita TBC. Perlu dilakukan Tes Tuberkulin bagi
seluruh anggota keluarga. Apabila cara ini menunjukan hasil
negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan,
dan perlu pemeriksaan intensif.
i) Memeriksakan balita yang tinggal serumah agar segera
diberikan pengobatan pencegahan
3) Pencegahan oleh petugas kesehatan
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh petugas
kesehatan adalah dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit
TB meliputi tanda dan gejala, bahaya, penularan dan dampak yang
ditimbulkan, pengobatan, serta pencegahan penularan. Penyuluhan
dapat dilakukan secara berkala dengan tatap muka, ceramah dan
media masa yang tersedia di wilayah tersebut tentang cara
pencegahan TB. Penyuluhan juga dapat diberikan secara khusus
kepada klien agar klien rajin berobat untuk mencegah penyebaran
penyakit kepada orang lain maupun anggota keluarga lain agar
tercipta rumah sehat sebagai upaya mengurangi penyebaran
penyakit.
B. Kerangka Konsep
Faktor riwayat kontak
Kejadian Tuberkulosis di
Wilayah Kerja
Puskesmas Kebasen
Faktor upaya pencegahan
a. Tingkat pengetahuan
b. Sikap
c. Perilaku

Tahun 2015 2016.

40

C. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Terdapat hubungan antara riwayat kontak dengan kejadian tuberkulosis di
wilayah kerja Puskesmas Kebasen Tahun 2015-2016.
2. Terdapat

hubungan

antara

tingkat

pengetahuan

dengan

kejadian

tuberkulosis di wilayah kerja Puskesmas Kebasen Tahun 2015-2016.


3. Terdapat hubungan antara sikap dengan kejadian tuberkulosis di wilayah
kerja Puskesmas Kebasen Tahun 2015-2016.
4. Terdapat hubungan antara perilaku dengan kejadian tuberkulosis di
wilayah kerja Puskesmas Kebasen Tahun 2015-2016.

Anda mungkin juga menyukai