Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Delirium, juga dikenal sebagai keadaan konfusi atau kebingungan akut,

adalah sindrom klinis yang biasanya terjadi pada orang tua. Keadaan ini

ditandai oleh perubahan kesadara dan kognisi dengan menurunnya

kemampuan untuk fokus, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian.

Keadaan ini berkembang dalam waktu singkat dan berfluktuasi di siang hari.

Gejala klinis yang terlihat dapat bervarisi, tetapi biasanya berkembang dengan

gangguan perilaku psikomotorik seperti hiperaktif atau hipoaktivitas dengan

peningkatan aktivitas simpatik dan gangguan dalam durasi dan pola tidur. Hal

ini disebabkan oleh oleh kondisi medis, keracunan zat, atau efek samping

penggunaan obat serta gangguan neurokognitif yang sudah ada sebelumnya.

Diagnosis sering terlewatkan, terutama pada tipe hipoaktif karena menifestasi

klinis yang buruk. Upaya yang dilakukan harus berfokus pada pencegahan dan

diagnosis dini [ CITATION Ech20 \l 1057 ].

Epidemologi delirium lebih tinggi pada pulasi lansia. Sepertiga dari pasien

medis umum yang berusia lebih dari 70 tahun memiliki delirium. Di Indonesia

prevalensi delirium belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan rekam

medis RSCM (2010) ditemukan kasus delirium di Instalasi Gawat Darurat

(IGD) RSC setidaknya 51 orang (0,16%) dari 31.064 kunjungan, dengan 45

(88,2%) adalah lanjut usia. Data di ruang perawatan didapatkan 54 pasien

delirium dari 35.772 kunjungan (0,13%), dengan 90,7% dari kasus tersebut

adalah pasien lanjut usia [ CITATION Vie12 \l 1057 ].

1
1.2. Tujuan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui tentang penyakit

delirium meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi

klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, pencegahan dan kie pada

pasien, komplikasi, serta prognosis, penyakit tersebut.

1.3. Manfaat

Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan

memperluas wawasan penulis ataupun pembaca mengenai penyakit penyakit

delirium.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Delirium adalah kelainan neuropasikiatrik kompleks yang ditandai oleh

perubahan tingkat kesadaran, disfungsi atensi, gangguan dalam kognitif

lainnya termasuk memori, orientasi, bahasa, dan perubahan terkait dalam non-

kognitif dari perilaku motorik, persepsi, siklus tidur-bangun, dan proses

berpikir. Delirium disebabkan dari beragam etiologi dan dikaitkan dengan

dampak penanganannya yang merugikan seperti infeksi sekunder, perwatan

yang lama di rumah sakit, biaya perawatan kesehatan yang mahal, dan

kematian [CITATION Col \l 1057 ]

2.2. Epidemiologi

Delirium adalah gangguan yang sangat lazim diperkirakan terjadi dalam

10%-15% dari pasien rawat inap medis-bedah umum, dalam 25%-45% pasien

kanker yang dirawat di rumah sakit, dan pada 80%-90% pasien perawatan

paliatif yang sakit parah. Tingkat delirium sangat tinggi di unit perawatan

intensif (ICU) di mana penelitian menunjukkan bahwa 30% pasien mengigau

masuk dan 60% mengalami delirium selama penyakit kritis mereka. Lebih

dari 80% secara mekanis pasien ICU berventilasi diperkirakan mengigau

[CITATION Col \l 1057 ].

2.3. Etiologi

Delirium adalah kondisi medis yang kompleks untuk dipahami, dapat

disebabkan oleh satu faktor, namun, hal tersebut bukanlah hal yang biasa.

Model multifaktorial telah diterima sebagai interaksi pasien yang rentan

3
dengan faktor predisposisi, terkena penghinaan berbahaya atau faktor

pencetus.

Terdapat dua kelompok faktor risiko yang terkait dengan delirium : faktor

predisposisi dan faktor pencetus. Faktor predisposisi yang paling umum

adalah usia yang lebih tua (lebih dari 70 tahun), demensia (sering tidak

dikenali secara klinis), cacat fungsional, jenis kelamin laki-laki, penglihatan

dan pendengaran yang buruk, dan gangguan kognitif ringan. Penyalahgunaan

alkohol dikaitkan dengan peningkatan risiko.

Faktor pencetus biasanya bervariasi di antara populasi. Namun, efek

samping penggunaan obat adalah faktor terpenting. Ada banyak obat yang

berkaitan dengan delirium, terutama obat penenang-hipnotik dan

antikolinergik, analgesik opioid (terutama meperidin), nonbenzodiazepin, obat

penenang, hipnotik, antihistamin (terutama generasi pertama), alkohol,

antikolinergik, antikonvulsan, antidipreseptor trisiklik, antidepresan, histamin.

blocker, agen antiparkinson, antipsikotik (terutama antipsikotik khas dengan

potensi rendah), barbiturat, digoksin, dan antibiotik telah dilaporkan juga.

Risiko meningkat setinggi empat setengah kali jika pasien mengkonsumsi tiga

atau lebih obat (polifarmasi), dan obatnya psikoaktif.

Di antara faktor-faktor pencetus lainnya adalah pembedahan, anestesi,

tingkat nyeri yang tinggi, anemia, infeksi, penyakit akut, dan eksaserbasi akut

penyakit kronis.

Table 1. Selected drugs causing delirium

Analgesics Antiparkinsonian drugs


Opiates Amantadine
Salicylates Bromocriptine
Antimicrobials Dopamine agonists (ropinirole, pramipexole)

4
Acyclovir, gancyclovir Levodopa
Aminoglycosides Cardiac drugs
Amphotericin B Beta-blockers
Antimalarials Captopril
Cephalosporins Clonidine
Ethambutol Digoxin
Interferon Lidocaine
Isoniazid Methyldopa
Macrolides (clarithromycin) Procainamide
Metronidazole Quinidine
Quinolones (ciprofloxacin) Tocainide
Rifampin Sedative-hypnotics
Sulfonamides (intoxication or withdrawal)
Vancomycin Barbiturates
Anticholinergic Benzodiazepines
Antihistamines (H1 ) Stimulants
Antispasmodics Amphetamines
Atropine and atropine-like drugs Benztropine Epinephrine, phenylephrine
Phenothiazines Pseudoephedrine
Tricyclics (amitriptyline, doxepin, Theophylline
imipramine) Miscellaneous
Trihexiphenidyl Antihistamines (H2 )
Anticonvulsants Baclofen (intoxication or withdrawal)
Phenobarbital Bromides
Phenytoin Disulfiram
Valproic Acid Ergotamine
Anti-inflammatory drugs Lithium
Corticosteroids Propylthiouracil
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs Quinacrine
Antineoplastic drugs Timolol (ophthalmic)
Asparaginase
Dacarbazine
Diphosphamide
5-Fluorouracil
Methotrexate
Procarbazine
Vinblastine
Vincristine
Adapted from: Trzepacz PT, Meagher DJ, and Leonard M. (2011). Delirium. In Levenson JL (Ed),
Textbook of Psychosomatic Medicine. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing, Inc

Sifat delirium bersifat sementara, tetapi dapat bertahan pada pasien dengan

faktor predisposisi. Sebuah tinjauan sistematis menunjukkan bahwa delirium

rumah sakit tetap ada di rumah sakit pada 45% kasus, dan satu bulan

kemudian pada 33% kasus.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, etiologi delirium tidak sepenuhnya

dapat dipahami dan banyak variabel yang berkontribusi pada

perkembangannya. Penting untuk mengidentifikasi apakah pasien minum obat

5
yang berkaitan dengan delirium sebelum timbulnya gejala, jika itu

masalahnya, selalu mengaitkan peristiwa akut dengan obat dan

menghentikannya [CITATION Col \l 1057 ].

2.4. Patofisiologi

Mekanisme terisolasi untuk menjelaskan delirium masih belum dapat

diketahui secara pasti. Teori multifaktorial mencoba menjelaskan

penyebabnya. Peningkatan permeabilitas sawar darah-otak sekunder akibat

pelepasan sitokin dan efek neurotoksik langsung dari obat-obatan dapat

menjelaskan prevalensi di kalangan lansia. Hipotesis ini didasarkan pada

peradangan saraf, ketidakseimbangan neurotransmitter, dan stres kronis.

1) Peradangan saraf

Pasien yang mengalami delirium menunjukkan peningkatan

kortisol, meskipun IL-8 lazim di antara pasien yang masuk dan keluar dari

ICU. Sitokin mengaktifkan endotelium dan kaskade koagulasi, yang

merupakan predisposisi trombosis mikrovaskular dan disfungsi aliran

darah. Peradangan saraf menyebabkan infiltrat sitokin dan leukosit ke

penghalang hematoensefalik dan kemudian di sistem saraf pusat di mana

menghasilkan iskemia dan apoptosis neuron. Peradangan saraf

mengaktifkan mikroglia. Namun, respon berlebihan terhadap rangsangan

termasuk ekspresi molekul dan adhesi, produksi sitokin (IL-1B, TNF-a,

ILGF-1) dan metalloproteinase, sekresi spesies oksigen reaktif, dan

penambahan nitrous oxide sintase. Reaksi ini menghasilkan lesi saraf,

kehilangan apoptosis saraf, dan aktivasi proinflamasi mikroglia kontinu.

6
Ini merusak hippocampus dan menghasilkan cacat kognisi karena

gangguan plastisitas sinaptik.

Regulasi positif reseptor GABAa dimediasi oleh peradangan, yang

memicu penghambatan nada otak dan mengurangi koneksi sinaptik otak.

Pemberian obat yang dimediasi GABA berkontribusi untuk menghambat

rute neuron yang sebelumnya rusak oleh neuroinflamasi dan meningkatkan

risiko pengembangan disfungsi otak akut.

2) Hipotesis Defisiensi Kolinergik

Asetilkolin adalah neurotransmitter yang sangat penting dalam

perhatian dan kesadaran. Diketahui, asetilkolin bertindak sebagai

modulator dalam input sensorik dan kognitif sehingga penurunan rute

menyebabkan timbulnya gejala delirium hipoaktif atau hiperaktif,

termasuk kurangnya perhatian, pemikiran yang tidak teratur, dan gangguan

persepsi. Proyek jalur kolinergik dari otak depan basal dan

pontomesencephalon ke interneuron di striatum dan akhirnya menargetkan

seluruh korteks.

3) Ketidakseimbangan Neurotransmitter

Kelebihan dopamin berkontribusi pada delirium hiperaktif dan

berhubungan dengan penurunan asetilkolin. Jalur dopaminergik dan

kolinergik tumpang tindih di otak. Ini menjelaskan mengapa reseptor

dopamin berdampak pada kadar asetilkolin dan menjelaskan manifestasi

klinis delirium, termasuk bentuk hiperaktif dan hipoaktif.

Ketidakseimbangan antara neurotransmiter dan jalur kolinergik dapat

menyebabkan delirium.

7
4) Stres Kronis

Stres kronis mengaktifkan sistem saraf simpatis dan aksis kelenjar

hipotalamus-hipofisis-suprarenal, yang meningkatkan kadar sitokin dan

menghasilkan hiperkortisolisme kronis yang dapat menyebabkan

perubahan fungsi hippocampus. Kortisol adalah hormon utama dalam

menanggapi stres dan memiliki efek merusak di antara reseptor 5HT 1A.

Hubungan antara reseptor dan delirium ini tidak konklusif. Kadar kortisol

yang tinggi menghasilkan pengurangan pelepasan GABA dan gangguan

pada bom energi saraf [CITATION Col \l 1057 ].

2.5. Manifestasi Klinis


Gambaran dapat bervariasi tergantung pada masing-masing individu.

Mood, persepsi, dan tingkah-laku yang abnormal merupakan gejala-gejala

psikiatrik umum; tremor, asteriksis, nistagmus inkoordinasi, inkontinensia

urin, dan disfasia merupakan gejala-gejala neurologik umum. Gejala yang

dapat ditemui antara lain gangguan kognitif global, berupa :

- Gangguan memori (recent memory= memori jangka pendek)

- Gangguan persepsi (halusinasi, ilusi)

- Gangguan proses piker (disorientasi waktu, tempat,orang).

Gejala yang mudah diamati namun justru terlewatkan adalah bila terdapat

komunikasi yang tidak relevan, atau autonamnesis yang sulit dipahami;

kadang-kadang pasien terlihat seperti mengomel terus atu terdapat ide-ide

pembicaraan yang melompat-lompat. Gejala lain meliputi perubahan aktifitas

psikomotor baik hipoaktif (25%), hiperaktif (25%) maupun campuran

keduanya (35%); sebagian pasien (15%) menunjukkan aktivitas psikomotor

8
normal; gangguan siklus tidur (siang hari tertidur sedangkan malam hari

terjaga). Gejala perubahan aktifitas psikomotor dimasukkan ke dalam

kelompok perubahan kesadaran, yakni setiap kondisi kesadaran selain compos

mentis, termasuk didalamnya keadaan hipoaktivitas dan hiperaktivitas.

[ CITATION JLR11 \l 1057 ]

2.6. Diagnosis

Delirium bisa menjadi keadaan darurat yang mengancam jiwa. Pasien

yang terkena memerlukan evaluasi yang tepat dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan neurologis serta tes laboratorium.

1. Pemeriksaan fisik harus mengevaluasi tanda-tanda head-to-toe dan

vital untuk menentukan kemungkinan penyebabnya.

2. Pemeriksaan neurologis harus fokus pada evaluasi temuan fokus baru

yang menunjukkan penyebab intrakranial, misalnya, stroke.

3. Penting untuk mengetahui keadaan mental pasien sebelumnya karena

ini dapat membantu kita membuat perbedaan dengan demensia. Orang

yang diwawancarai yang andal harus menyumbangkan informasi.

4. Pendekatan menjadi fokus pada kecurigaan diagnostik yang paling

memungkinkan sehingga uji laboratorium dapat mengkonfirmasi atau

mengecualikan faktor pencetus sebagai penyebab yang mungkin :

o Darah lengkap

o Darah arteri

o Elektrolit, kreatinin, nitrogen urea darah

o Tes fungsi hati

o Urinalisis.

9
5. Radiografi torak dan elektrokardiografi harus dilakukan pada setiap

pasien yang dirawat di rumah sakit.

6. Tes tambahan seperti pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan studi

toksikologi berguna dalam kasus-kasus tertentu.

7. Kultur harus diambil untuk penelitian ini jika dokter mencurigai sepsis

yang asalnya tidak pasti.

Pemilihan tes harus didasarkan pada informasi yang diperoleh dari

anamnesis dan pemeriksaan fisik, mengingat bahwa delirium sering

multifaktorial dalam etiologi dan dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor

predisposisi, faktor pemicu, atau keduanya. Ada tiga jenis delirium:

1) Hiperaktif, yang mewakili 25% kasus

2) Hipoaktif,

3) Tingkat aktivitas campuran.

Bentuk hipoaktif dikaitkan dengan tingkat komplikasi dan moralitas yang

lebih tinggi karena sifatnya yang berfluktuasi dan diagnosis yang menantang

[CITATION Col \l 1057 ].

Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V

(Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition). Kriteria

DSM V tahun 2013 tidak berbeda dengan pada DSM IV-TR tahun 2000. DSM

V mengklasifikasi delirium menurut etiologi sebagai berikut:

1) Delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum

2) Delirium intoksikasi substansi (penyalahgunaan obat)

3) Delirium penghentian substansi

4) Delirium diinduksi substansi (pengobatan atau toksin)

10
5) Delirium yang berhubungan dengan etiologi multipel

6) Delirium tidak terklasifi kasi.

Diagnosis delirium memerlukan 5 kriteria (A-E) dari DSM V, yaitu:

a) Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran

terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan fokus,

mempertahankan atau mengubah perhatian.

b) Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya

beberapa jam hingga hari) dan cenderung berfluktuasi dalam

perjalanannya.

c) Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi,

gangguan bahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang

tidak dapat dimasukkan ke dalam kondisi demensia.

d) Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh

gangguan neurokognitif lain yang telah ada, ter bentuk ataupun

sedang berkembang dan tidak timbul pada kondisi penurunan

tingkat kesadaran berat, seperti koma.

e) Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau

laboratorium yang mengindikasikan gangguan terjadi akibat

konsekuensi fisiologik langsung suatu kondisi medik umum,

intoksikasi atau penghentian substansi (seperti penyalahgunaan

obat atau pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau karena

etiologi multipel [ CITATION Wid17 \l 1057 ].

11
Tabel 3. Confussion Assessment Method (CAM)

Confusion Assessment Method (CAM)


1. Awitan Akut dan Berfluktuasi
a. Apakah ada bukti status mental pasien berubah mendadak (akut) dari kondisi
awalnya?
b. Apakah perilaku tersebut (abnormal) berfluktuasi pada hari tiu, dengan kata
lain hilang timbul atau keparahannya meningkat-menurun?
2. Perhatian Tidak Terfokus
Apakah pasien sulit memusatkan perhatian, misalnya mudah sekali teralih atau
sulit mengikuti pembicaraan?
3. Pikiran Tidak Tertata
Apakah pemikiran pasien tidak tertata atau tidak koheren, misalnya percakapan
melantur atau tidak relevan, aliran gagasan tidak jernih atau tidak logis, berganti-
ganti topik secara tidak terduga?
4. Perubahan Tingkat Kesadaran
Secara keseluruhan, bagaimana Anda menilai tingkat kesadaran pasien ini?
Waspada (normal), vigilant (waspada berlebihan), letargik, stupor, koma
Pasien harus memenuhi nilai 1 dan 2 ditambah nilai 3 atau 4 untuk diagnosis
delirium

Algoritma penilaian delirium pada geriatri. MMSE (Mini-Mental State Exam); CAM (Confusion Assessment
Method); OTC (Over the Counter); PRN, as needed; TFT (thyroid function tests); ABG (Arterial Blood Gas);
CSF (Cerebrospinal Fluid); EEG (Electroencephalogram); PO (per oral); IM (intramuskuler); IV (intravena).

12
2.7. Diagnosis Banding

Gangguan Psikosis Akut

Gangguan psikosis akut adalah keadaan darurat psikiatrik umum yang

mungkin terjadi pada layanan kesehatan selain praktisi kesehatan mental.

Komorbiditas sering terjadi dan meningkat seiring bertambahnya usia —

pemantauan terhadap gangguan fisik dan mental tersembunyi sangat penting

[ CITATION Byr07 \l 1057 ].

Kelompok heterogen dari gangguan psikotik akut dan transien ditandai

oleh tiga ciri khas, yang tercantum di bawah ini dalam urutan prioritas

menurun:

1) Tiba-tiba onset (dalam 2 minggu atau kurang);

2) Adanya sindrom khas dengan gejala polimorfik (berubah dan bervariasi)

atau skizofrenik;

3) Kehadiran stres akut terkait (peristiwa stres seperti berkabung, kehilangan

pekerjaan, trauma psikologis, dll.).

Timbulnya gangguan ini dimanifestasikan oleh perubahan nyata ke

keadaan psikotik abnormal. Keadaan ini dianggap tiba-tiba ketika terjadi

dalam waktu 48 jam atau kurang. Onset akut sering menunjukkan hasil yang

lebih baik. Pemulihan penuh terjadi dalam 3 bulan dan seringkali dalam waktu

yang lebih singkat (beberapa hari atau minggu). Namun, sebagian kecil pasien

mengalami kondisi persisten dan melumpuhkan.

Kriteria umum (G) untuk gangguan akut ini dalam DCR-10 (Kriteria

Diagnosis Penelitian ICD) adalah sebagai berikut.

13
- G1 Terjadi delusi akut, halusinasi, ucapan yang tidak dapat dipahami

atau tidak koheren, atau kombinasi keduanya. Interval waktu antara

kemunculan pertama gejala psikotik dan presentasi kelainan yang

berkembang sepenuhnya tidak boleh lebih dari 2 minggu.

- G2 Jika keadaan sementara kebingungan, kesalahan identifikasi, atau

gangguan perhatian dan konsentrasi hadir, mereka tidak memenuhi

kriteria untuk pengaburan kesadaran yang disebabkan secara organik

sebagaimana ditentukan untuk F05, kriteria A.

- G3 Gangguan tidak memenuhi kriteria gejala untuk episode manik

(F30), episode depresi (F32), atau gangguan depresi berulang (F33).

- G4 Ada bukti yang cukup dari penggunaan zat psikoaktif baru-baru ini

untuk memenuhi kriteria untuk keracunan (F1x.0), penggunaan

berbahaya (F1x.1), ketergantungan (F1x.2), atau keadaan penarikan

(F1x.3 dan F1x.4). Penggunaan alkohol atau obat-obatan yang moderat

dan sebagian besar tidak berubah dalam jumlah atau dengan frekuensi

yang biasa digunakan individu tidak serta merta mengesampingkan

penggunaan F23; ini harus diputuskan oleh penilaian klinis dan

persyaratan proyek penelitian yang bersangkutan.

- G5 Tidak boleh ada gangguan mental organik (F00-F09) atau

gangguan metabolisme serius yang memengaruhi sistem saraf pusat

(ini tidak termasuk persalinan). (Ini adalah klausa pengecualian yang

paling umum digunakan.)

14
Karakter kelima harus digunakan untuk menentukan apakah onset akut

gangguan dikaitkan dengan stres akut (terjadi 2 minggu atau kurang sebelum

bukti gejala psikotik pertama):

1) F23.x0 tanpa disertai stres akut dan

2) F23.x1 dengan stres akut terkait.

Untuk tujuan penelitian, direkomendasikan bahwa perubahan kelainan dari

non-psikotik ke keadaan psikotik jelas ditentukan lebih lanjut sebagai tiba-tiba

(onset dalam 48 jam) atau akut (onset dalam lebih dari 48 jam tetapi kurang

dari 2 minggu).

Pasien dengan episode pertama (bahkan mereka dengan penyalahgunaan

zat) paling baik diobati oleh tim intervensi awal multidisiplin spesialis yang

memberikan intervensi psikososial sebagai tambahan penting untuk obat.

Pengobatan mencapai remisi total, tanpa kambuh, pada 25% pasien

Secara umum, obat antipsikotik atipikal dosis rendah yang dapat

ditoleransi dengan baik akan meningkatkan kepatuhan jangka menengah dan

mengurangi kekambuhan di masa depan [ CITATION Gar12 \l 1057 ].

2.8. Tatalaksana

Pengobatan utama untuk delirium didasarkan pada intervensi non-

farmakologis karena tidak ada obat yang disetujui Food and Drug

Administration (FDA). Faktor-faktor yang dapat dimodifikasi seperti obat-

obatan, infeksi, faktor lingkungan, dan pengurangan input sensorik adalah

dasar penatalaksanaan.

Program Hospital Elder Life (HELP) mengurangi insiden pada pasien usia

lanjut. Intervensi ini termasuk pengurangan gangguan lingkungan, termasuk

15
penggunaan masker tidur dan alat bantu dengar untuk menjaga area gelap dan

tenang di malam hari untuk meningkatkan kualitas tidur. Pada siang hari,

pedoman mendorong penggunaan kacamata atau alat pendengaran untuk

mengoptimalkan pendengaran dan penglihatan, penggunaan alat untuk

meningkatkan orientasi termasuk jam, kalender untuk mengingatkan individu

di mana mereka berada, waktu bangun pagi, dan asupan cairan yang memadai.

Diketahui strategi ini hemat biaya dan tetap menjadi pengobatan utama untuk

delirium.

Dokter harus mempertimbangkan pendekatan farmakologis pada pasien

dengan gejala yang mengancam keselamatan mereka atau orang lain, terutama

pada orang dewasa yang lebih tua. Intervensi ini termasuk antipsikotik.

Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak ada bukti saat ini untuk mendukung

penggunaannya pada pasien tanpa delirium hiperaktif. Pilihannya termasuk

haloperidol, yang merupakan pilihan pertama jika kita membutuhkan efek

sedasi minimal. Namun demikian, dokter dapat memberikan quetiapine jika

efek yang diinginkan adalah sebaliknya. Dosis awal haloperidol, olanzapine,

dan quetiapine masing-masing adalah 0,25 mg, 2,5 mg, dan 12,5 mg. Dosis

antipsikotik harus dioptimalkan dan disesuaikan setiap hari sampai tidak lagi

diperlukan.

Obat lain telah diusulkan untuk mencegah dan mengurangi kejadian

delirium, misalnya, melatonin dan analognya, tetapi tinjauan Cochrane baru-

baru ini menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang jelas bahwa mereka

mengurangi kejadian delirium dibandingkan dengan plasebo. Penggunaan

16
inhibitor cholinesterase juga menunjukkan bukti minimal untuk mendukung

penurunan kejadian delirium.

Komplikasi dapat berupa inkontinensia urin, imobilitas atau jatuh, borok

tekan, gangguan tidur, dan gangguan makan. Untuk mencegahnya, dokter

perlu menyediakan program terjadwal bagi pasien untuk memobilisasi, pergi

ke toilet, dan mendapatkan bantuan makan jika diperlukan [ CITATION

Ech20 \l 1057 ].

2.9. Pencegahan dan KIE Pasien Untuk Mengurangi Delirium

1) Mempromosikan kualitas tidur

2) Memobilisasi pasien lebih awal

3) Pastikan pasien memiliki alat bantu dengar dan kacamata

4) Kelola rasa sakit secara memadai

5) Pertahankan hidrasi dan nutrisi yang baik

6) Pantau fungsi usus dan kandung kemih

7) Cobalah untuk mendeteksi delirium sejak dini

8) Optimalkan lingkungan

9) Hindari segala jenis stres

10) Berkomunikasi dengan pasien

11) Rujuk ke spesialis secepat mungkin, [ CITATION Wid17 \l 1057 ].

2.10. Komplikasi

1) Pneumonia

2) Ulserasi tenakan

3) Kelemahan, penurunan mobilitas, dan penurunan fungsi

4) Jatuh dan perilaku agresif mengarah pada cedera dan patah tulang

17
5) Malnutrisi, kelainan cairan dan elektrolit

6) Gangguan kognitif jangka panjang: bukti yang terkumpul menunjukkan

bahwa delirium tidak hanya bersifat sementara, kebingunan akut yang

dapat sembuh atau kembali, tetapi juga dalam menimbulkan gangguan

kognitif jangan panjang dan persisten

2.11. Prognosis

Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata

dilaporkan adanya beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap

bahkan sampai bulan ke 12. Beberapa penelitian melaporkan hasil pengamatan

tentang prognosis sindrom delirium yang berhubungan dengan mortalitas,

gangguan kognitif pasca-delirim, status fungsional serta gejala sisa yang ada.

Pasien dengan sindrom delirium mempunyai resiko 1,71 kali lebih tinggi

untuk meninggal dalam tiga tahun kedepan dibandingkan mereka yang tidak.

Perlu disampaikan bahwa peningkatan resiko tersebut tetap ada walaupun

sudah dilakukan pengendalian terhadap factor-faktor lain yang turut berperan

terhadap kematian seperti beratnya kondisi komorbid, demensia, gangguan

status fungsional, domisili (tinggal di panti atau tidak) serta faktor pemicu

yang lain [ CITATION Wid17 \l 1057 ].

18
KESIMPULAN

Delirium adalah gangguan yang sangat umum terlihat pada pasien yang

dirawat di rumah sakit. Diagnosis dan penatalaksanaannya sangat kompleks dan

paling baik dilakukan dengan tim interprofesional yang mencakup ahli saraf,

psikiater, internis, intensivist, dan perawat ICU. Perawat sering kali menjadi yang

pertama mendeteksi keberadaan delirium dan harus berkomunikasi secepatnya

dengan tim; karena semakin cepat kondisi dikelola, semakin baik hasilnya. Pada

saat yang sama, perawat harus menjaga lingkungan yang tenang untuk pasien,

memastikan keselamatan pasien, dan berkomunikasi dengan pasien dan keluarga.

Apoteker harus memastikan bahwa pasien tidak dalam pengobatan yang

menyebabkan stimulasi SSP. Perawat harus terus meningkatkan kualitas tidur,

memastikan pasien tidak sakit, dan terhidrasi secara optimal.

Pengobatan utama untuk delirium didasarkan pada intervensi non-

farmakologis karena tidak ada obat yang disetujui FDA. Faktor-faktor yang dapat

dimodifikasi seperti obat, infeksi, faktor lingkungan, dan input sensorik yang

berkurang adalah landasan manajemen.

Program Hospital Elder Life (HELP) mengurangi insiden pada pasien usia

lanjut. Intervensi ini termasuk pengurangan gangguan lingkungan, termasuk

penggunaan masker tidur dan alat bantu dengar untuk menjaga area gelap dan

tenang di malam hari untuk meningkatkan kualitas tidur, yang mana perawat dan

staf pendukung lainnya dapat bekerja untuk memastikan ada di tempat, dalam

koordinasi dengan perawatan dokter.

19
Penetalaksanaan farmakologis digunakan untuk perilaku buruk yang

parah. Harus ada komunikasi terbuka antara anggota tim interprofesional untuk

memastikan bahwa pasien menerima perawatan sesuai tujuan.

Prognosis keseluruhan untuk pasien dengan delirium dapat ditangai

dengan baik.

20
DAFTAR PUSTAKA

Byrne, P. (2007). Managing the acute psychotic episode. British Medical Journal,

686.

Echeverria, M. d., & Paul, M. (2020). Delirium. Treasure Island (FL): StatPearls

Publishing.

Garrabe, J., & Cousin, F. R. (2012). Acute and Transient Psychotic Disorders.

Oxford: Oxford University Press.

Harrington, C. J., & Vardi, K. M. (2014). Delirium: Presentation, Epidemiology,

and Diagnostic Evaluation (Part 1). R H O D E I S L A N D M E D I C A L

J O U R N A L, 18.

JL, R., & ER, M. (2011). Review articles: postoperative delirium: acute change

with long-term implications. Anesthesia & Analgesia, 1202-1211.

Vietara, D. W. (2012). Uji Kesahihan dan Keandalan Algoritma Confusion

Assessment Method Sebagai Instrumen Penapis Delirium Lanjut Usia di

Instalasi Gawat Darurat RSUPN DR Ciptomangunkusumo. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Widyastuti, K., & Mahasena. (2017). Delirium. Denpasar: Fakultas Kedokteran

Udayana.

21

Anda mungkin juga menyukai