Anda di halaman 1dari 12

Tugas Kelompok Psikofarmakologi

Dosen Pengampu: Widyastuti, S. Psi., M. Si., Psikolog


Dr. Widyanigrum, M. Sc., Sp. PD

PSIKOFARMAKOLOGI
MOOD STABILIZER

KELAS A
Muh. Fais A. Y. H. (1771042026)
Muh. Fadel Muharram (1771042028)
Alheysha Azalia Ihsan (1771042002)
Andi Meyka Try Intani (1771042036)
Al Ulumul Naqli Asysyams (1771041046)
Alifia Khairunnisa S (1771041049)
Anisah Zahra (1771042059)
Atikah Azyati (1771042078)
Asrifa Rosa Khaerunnisa (1771042077)
Nurul Afifah Toding B. (1771042057)

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020
A. Definisi Mood Stabilizer
Bauer dan Mitchner (2004:3) mengemukakan bahwa istilah "mood
stabilizer" digunakan secara luas dalam konteks mengobati gangguan
bipolar. Administrasi Makanan dan Obat-obatan AS (FDA) tidak secara
resmi mengakui istilah tersebut. Freeman dan Stoll (1998:12)
mengemukakan bahwa dalam penggunaanya mood stabilizer dapat
digunakan dalam terapi kombinasi, penggunaan lebih dari satu obat secara
bersamaan, telah menjadi hal biasa dalam pengobatan gangguan bipolar.
Zannah, Puspitasari dan Sinuraya (2018) mengemukakan bahwa
mood stabilizer merupakan obat yang mampu mengobati dan menstabilkan
mood pasien dari atas sehingga mencegah mania dan pada keadaan
depresi, menstabilisasi mood dari bawah keatas atau mencegah depresi.
Mood stabilizer utama yang digunakan dalam mengobati gangguan
bipolar, yaitu litium, divalproex, dan lamotrigin. Pies (2007:337)
mengemukakan bahwa mood stabilizer merupakan agen efektif bagi fase
gangguan bipolar, tidak mempengaruhi fase lain dan secara keseluruhan.
Boon (2016:753) mengemukakan bahwa mood stabilizer
digunakan dalam menangani pasien dengan gangguan bipolar afektif dan
gangguan schizoaffective untuk mengurangi frekuensi episode manik,
hipomanik, dan depresi. Boon (2016:753) mengemukakan bahwa dosis
penggunaan mood stabilizer harus dititrasi sesuai dengan konsentrasi obat
plasma, khususnya untuk lithium dan valproate.
Opsi treatment bervariasi tergantung pada fase penyakit yang ada
dan pengobatan antimanik. Perawatan jangka panjang harus
memperhitungkan apa yang telah bermanfaat dalam fase perawatan akut.
Lithium memiliki basis bukti terkuat dan dikaitkan dengan penurunan
risiko bunuh diri. Untuk pencegahan episode depresi, quetiapine atau
lamotrigine juga bermanfaat.
Bauer dan Mitchner (2004:3) mengemukakan bahwa berdasarkan
kebutuhan perawatan gangguan bipolar, mood stabilizer dianggap sebagai
penstabil suasana hati jika obat tersebut memiliki efek pengobatan gejala
manik akut, pengobatan gejala depresi akut, pencegahan gejala manik, dan
pencegahan gejala depresi. Maslim (2014) mengemukakan bahwa obat
anti-mania dan dosis anjuran yang beredar di Indonesia menurut MIMS
Edisi 13, 2013/2014 adalah sebagai berikut:

Dosis
No Nama Generik Nama Dagang Sediaan
Anjuran
FRIMANIA Tab. 200-400 200-500
1 Lithium Carbonate
(Mersifarma) mg mgh
Tab. 0,5-1,5-5 5-20 mgh
HALOPERIDO mg
L (Indofarma)
Tab. 0,5-2-5 5 mgh
2 Haloperidol Haldol (Janssen) mg dapat
Serenace Tab. 0,5-1,5-5 diulangi
(Searle) mg 1/2 jam
Liq 2 mg/mi (max. 20
Amp. 5 mg/cc mgh).
TEGRETOL
Tab. 200 mg 300-600
(Novartis)
mgh
3 Carbamazepine
Caplet 200 2-3 x
BAMGETOL
mg perhari
(Mersifarma)
DEPAKENE Syr. 2x250
4 Valproic Acid
(Abbott) 250mg/5ml mgh
3x250
Tab. 250 mg
DEPAKOTE mgh
5 Divalproex Na. Tab. ER 500
(Abbott) 1-
mg
2x500mgh

B. Jenis obat mood stabilizer


1. Lithium
Schatzberg dan Debattista (2015:307) mengemukakan bahwa
istilah mood stabilizer pertama kali diterapkan pada lithium ketika
menjadi jelas bahwa mereka efektif tidak hanya dalam meringankan
mania tetapi juga sebagai profilaksis terhadap siklus manik dan
depresi. Pies (2007:345) mengemukakan bahwa lithium merupakan
mood stabilizer yang paling umum digunakan pada anak-anak dan
remaja. Chou (Schatzberg & Debattista, 2015:321) mengemukakan
bahwa lithium karbonat secara dramatis mengurangi durasi episodik
yang serius pada pasien bipolar.
Dosis awal pemberian lithium ialah 600-900 mg/hari dan biasanya
diberikan dalam dosis terbagi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Collins dan McFarland (Zannah, Puspitasari & Sinuraya, 2018)
menyebutkan bahwa lithium dapat menurunkan resiko percobaan
bunuh diri pada subjek penelitian. Zannah, Puspitasari dan Sinuraya
(2018) mengemukakan bahwa lithium merupakan mood stabilizer
utama yang paling sering digunakan dan dijadikan sebagai “gold
standard” pengobatan gangguan bipolar terutama untuk pasien dengan
mania sebagai episode yang mendominasi.
Collins dan McFarland (Zannah, Puspitasari & Sinuraya, 2018)
mengemukakan bahwa terdapat studi yang melibatkan 12,662 pasien
bipolar yang menggunakan lithium dan divalproex serta jenis lainnya,
terbukti bahwa lithium dapat menurunkan risiko bunuh diri pasien
dengan ditemukannya dua kasus kematian akibat bunuh diri dan 15
kasus percobaan bunuh diri jika dibandingkan dengan jenis obat lain
sepeti divalproex dan gabapentin.
Zannah, Puspitasari dan Sinuraya (2018) mengemukakan bahwa
untuk terapi jangka panjang, lithium dapat digunakan sebagai
monoterapi dan efektif dalam mencegah kambuhnya episode mania,
depresi atau campuran keduanya. Jika penggunaan lithium tidak
efektif, dengan toleransi yang rendan dan pasien tidak patuh dapat
menggunakan jenis lain seperti valproate.
Schatzberg dan Debattista (2015:323) mengemukakan bahwa
indikasi klinis dalam penggunaan lithium dapat dibagi menjadi empat
bidang klinis utama, yaitu mengontrol psikopatologi, memodifikasi
gejala klinis berkelanjutan, menetapkan pemeliharaan profilaksis dan
meningkatkan efek antidepresan pada pasien gangguan depresi mayor.
Schatzberg dan Debattista (2015:320) mengemukakan bahwa efek
samping dari lithium, yaitu tremor, polyuria, polydipsia, kenaikan
berat badan, melambatnya fungsi kognitif dan masalah memori.
2. Antikonvulsan
Schatzberg dan Debattista (2015:321) mengemukakan bahwa
antikonvulsan mengandung asam valproat digunakan untuk mengatasi
kejang, terutama yang disebabkan oleh epilepsi. Digunakan untuk
menangani kondisi ketidakstabilan mood atau suasana hati pada
penderita gangguan bipolar, terutama fase mania (suasana hati
penderita gangguan bipolar menjadi senang berlebihan).
Dosis penggunaan antikonvulsan, yaitu formulasi IR pada 15 mg
/hari dan formulasi ER pada 25 mg /hari dalam dosis terbagi, hingga
maksimum 60 mg. dan dapat digunakan dalam kadar serum 50-100
mg. Schatzberg dan Debattista (2015:344) mengemukakan bahwa efek
samping dari antikonvulsan, yaitu penambahan berat badan, perubahan
emosional, tidak mampu berpikir jernih, dan kejang pada bagian tubuh
tertentu yang sulit dikendalikan.
3. Valproate
Zannah, Puspitasari dan Sinuraya (2018) mengemukakan bahwa
Valproate memiliki kesamaan atau ekuivalensi yang setara dengan
jenis lithium. Goodwin (Zannah, Puspitasari & Sinuraya, 2018)
mengemukakan bahwa beberapa studi mendukung ekuivalensi
valproate, namun terdapat beberapa studi yang mendukung
penggunaan valproate sebagai obat alternatif. Pies (2007:345)
mengemukakan bahwa valporate nampak relatif lebih baik ditoleransi
oleh pasien berusia tua, melalui tingkat thrombocytopenia yang besar
dan efek samping kognitif yang mungkin terlihat.
Boon (2016:753) mengemukakan bahwa valproate memiliki efek
pada glikogen sintase kinase-3b untuk membantu stabilisasi suasana
hati, meningkatkan g-aminobutyric acid dan mengurangi konsentrasi
protein kinase C.
4. Divalproex
Chisholm-Burns dkk (Zannah, Puspitasari & Sinuraya, 2018)
mengemukakan bahwa dosis awal divalproex yang digunakan biasanya
500-1000 mg/hari. Percobaan oleh Collins dan McFarland (Zannah,
Puspitasari & Sinuraya, 2018) ditemukan bahwa pasien gangguan
bipolar yang menggunakan divalproex memiliki resiko lebih tinggi
melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan pasien yang
menggunakan lithium.
5. Lamotrigin
Zannah, Puspitasari dan Sinuraya (2018) mengemukakan bahwa
agen mood stabilizer lain yang umum digunakan adalah lamotrigin.
Lamotrigin dapat digunakan sebagai monoterapi pada gangguan
bipolar II. Sedangkan untuk gangguan bipolar I, lamotrigin biasanya
dikombinasikan dengan jenis obat lainnya seperti antimania untuk
penggunaan jangkan panjang.
Boon (2016:755) mengemukakan bahwa efek stabilisasi mood
pada penggunaan lamotrigine berhubungan dengan penghambatan
saluran sodium dan kalsium pada neuron presinaptik dan selanjutnya
stabilisasi membran neuron. Pasien yang menggunakan lamotrigine
harus disarankan untuk segera ke dokter jika terdapat ruam yang
berkembang, karena ada risiko reaksi kulit yang serius termasuk
Steven-Johnson syndrome.
6. Carbamazepine
Boon (2016:754) mengemukakan bahwa carbamazepine
memblokir saluran sodium yang bergantung pada tegangan,
menghambat penembakan neuron berulang. Hal ini dapat mengurangi
pelepasan glutamat dan mengurangi pergantian noradrenalin
(norepinefrin) dan dopamin.

C. Farmakoterapi Mood Stabilizer


Doroty (2009) mengemukakan bahwa mood stabilizers merupakan
kelas terapi yang dapat digunakan untuk pengobatan skizofrenia dan
bipolar. Mood stabilizers secara signifikan memperbaiki perilaku yang
agresif, bicara yang kacau, rawat inap berulang, gejala positif, umur muda,
dan belum cukup diatasi dengan antipsikotik. Lithium, asam valproat,
carbamazepin dan lamotrigin, semuanya digunakan terapi adjuvan pada
skizofrenia, dan masih sedikit penelitian tentang efikasi pengobatan pada
psikosis.
Horowitz (2014) mengemukakan bahwa pasien yang mendapatkan
mood stabilizer rata-rata berusia muda karena memiliki banyak gejala
positif dan meningkatkan agresifitas atau perilaku impulsif. Pada pasien
geriatri banyak studi studi yang menunjukkan bahwa adanya efek samping
seperti jatuh dan gangguan gastrointestinal.
Farmakoterapi yang sering diberikan pada pasien dengan gangguan
mood terutama bipolar disorder, yakni golongan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs). SSRI dapat mengobati depresi pada
gangguan bipolar bersama dengan lithium atau sebagai obat penstabil
suasana hati lainnya seperti valproate, carbamazepine atau antipsikotik
atipikal. Beberapa obat antidepresan yang termasuk ke dalam kelas SSRI
dan merupakan landasan mengatur jenis dosis obat yang dapat digunakan
untuk mood stabilizer, sebagai berikut :
1. Citalopram, dijual di bawah nama merek Celexa yang digunakan
untuk mengobati gangguan depresi mayor, gangguan kompulsif
obsesif, gangguan panik, dan fobia sosial. Efek antidepresan dapat
berlangsung satu hingga empat minggu.
2. Escitalopram, untuk membantu mengembalikan keseimbangan zat
alam tertentu (serotonin) di dalam otak. Obat ini mungkin
meningkatkan level energi serta perasaan baik dan mengurangi
rasa gugup. Obat ini berguna untuk mengobati kelainan
mental/mood lainnya (misalnya kelainan obsesif-kompulsif,
gangguan panik).
3. Fluoxetine digunakan untuk mengobati depresi dapat menurunkan
kecemasan, memperbaiki mood, tidur, nafsu makan, meningkatkan
energy, dan dapat memulihkan minat dalam keseharian.
4. Fluvoxamine bekerja dengan mencegah penyerapan serotonin
salah satu jenis neurotranmiter, dari jarak antar satu sel saraf ke sel
saraf lain setelah terjadi pelepasan. Sehingga, serotonin masih
tersedia pada jarak antar sel saraf untuk menempel pada sel saraf
lainnya dan menstimulasi penyaluran informasi.
5. Paroxetine, meningkatkan hormon serotonin dalam tubuh dan
melepasnya ke otak pada pasien Obsessive Compulsive Disorder
(OCD), gangguan kecemasan, gangguan panik, gangguan
kecemasan sosial, gangguan kecemasan umum, Post Premenstrual
Dysphoric Disorder (PMDD) atau Post Traumatic Stress Disorder
(PSTD).
6. Sertraline, digunakan untuk mengobati gangguan depresi mayor,
obsesif-kompulsif, gangguan panik, gangguan stres pasca-trauma,
gangguan dysphoric pramenstruasi, dan gangguan kecemasan
sosial.

D. Indikasi penggunaan
Maslim (2014:35) mengemukakan bahwa terdapat beberapa gejala
sasaran sindrom Mania, yaitu dalam jangka waktu satu minggu hampir
setiap hari terdapat keadaan afek (mood, perasaan) yang meningkat dan
ekspresif atau iritabel. Keadaan akan disertai sedikitnya 4 dari 7 gejala
yaitu:
1. Peningkatan aktivitas atau ketidak-tenangan fisik,
2. Lebih banak berbicara dari biasanya,
3. Lompat gagasan atau penghayalan subjektif bahwa sedang
berlomba,
4. Merasa memiliki harga diri tinggi,
5. Kebutuhan tidur berkurang,
6. Perhatian mudah teralihkan
7. Terlibat dalam aktivitas yang memiliki resiko tinggi.

E. Mekanisme kerja
Maslim (2014:35) mengemukakan bahwa Lithium Carbonate
merupakan obat utama untuk meredakan Mania Akut atau Profilaksis
terhadap serangan sindrom Mania yang terjadi pada gangguan Afektif
Bipolar. Efek obat ini yaitu, mengurangi dopamine receptor
supersensitivity dengan cara meningkatkan cholinergic-muscarinic activity
dan menghambat clylic AMP (adenosine monophosphate) &
phospoinositides.
Boon (2016:753) mengemukakan bahwa lithium bekerja pada
berbagai sistem neurotransmitter dalam otak. Melalui efeknya pada
glikogen sintase kinase-3b dan reduksi protein kinase C, lithium dapat
menyebabkan perubahan neuroplastik di dalam otak yang berhubungan
dengan stabilisasi suasana hati. Lithium memiliki indeks terapi yang
sempit dan sebagian besar efek toksik berhubungan dengan dosis obat.

F. Lama Pemberian
Setelah gejala mereda, Lithium Carbonate harus diteruskan lebih
dari 6 bulan, dihentikan secara gradual bila memang tidak ada indikasi
lagi. Pada gangguan afektif bipolar dan unipolar, penggunaan harus
diteruskan hingga beberapa tahun, sesuai dengan indikasi profilaksis
serangan sindrom mania/depresi. Penggunaan jangka panjang ini
sebaiknya dengan kadar serum lithium terendah yang masih efektif.

G. Perhatian Khusus
Boon (2016) mengemukakan bahwa terdapat beberapa kelompok
rentan dan penggunaan berbeda dalam penggunaan mood stabilizer;
1. Wanita Hamil
a. Mendiskusikan risiko penggunaan mood stabilizer selama
kehamilan dengan ahli
b. Menghindari valporate dan carbamazipine saat kehamilan, hal
ini dapat menyebabkan kecatatan pada tabung saraf.
c. Menghindari lamotrigin dan lithium, namun kedua jenis ini
memiliki risiko lebih rendah dibandingkan valporate dan
carbamazipine.
d. Jika memungkinkan, hentikan penggunaan lithium dan gunakan
kembali saat trimester kedua.
e. Jika wanita hamil tetap menggunakan lithium, periksakan
konsentrasi serum setiap 4 minggu dan memastikan asupan
cairan yang memadai.
2. Pasien Lansia
a. Gunakan dosis rendah mood stabilizer dan antipsikotik untuk
semua pengobatan
b. Pertimbangan dampak negatif dari obat-obatan yang dapat
memengaruhi fungsi kognitif dan mobilitas.
c. Mempertimbangkan peningkatan risiko interaksi obat pada
pasien lansia
d. Memastikan bahwa komorbiditas medis telah diakui dan
diobati
3. Pasien dengan Gangguan Hati
a. Valporate dapat menyebabkan disfungsi hati sehingga harus
dihindari oleh pasien dengan gangguan hati berat
b. Tidak diperlukan penyesuaian lithium dalam kerusakan hati
4. Pasien dengan Gangguan Ginjal
a. Lithium berpotensi nefrotostik dan harus sedapat mungkin
dihindari pada gangguan ginjal
b. Valporate dapat digunakan pada gangguan ginjal, tetapi mulai
dari dosis yang lebih rendah

Maslim (2014) mengemukakan bahwa sebelum penggunaan obat


lithium Carbonate, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium secara
periodik, seperti :

1. Kadar serum Na dan K. Kadar ini merendah pada pasien diet


garam dan menggunakan diuretika.
2. Tes fungsi ginjal
3. Tes fungsi kelenjar tiroid
4. Pemeriksaan EKG
5. Wanita hamil. Penggunaan lithium bersifat teratogenic.
Lithium dapat masuk melalui placenta dan peredaran darah
janin khususnya kelenjar tiroid.
DAFTAR PUSTAKA

Bauer, M. S., & Mitchner, L. (2004). What is a “mood stabilizer”? An evidence-


based response. American Journal of Psychiatry, 161(1), 3-18. doi:
10.1176/appi.ajp.161.1.3

Bhandari, Smitha. (2019). SSRI Antidepressants for Bipolar Disorder. New York:
WebMD.

Boon, G. (2016). Mood stabilizers. Medicine, 44(12), 753-755.


doi:10.1016/j.mpmed.2016.09.002.

Boon, Georgina. (2016). Mood Stabilizers. Journal of treatment strategies and


psychopharmacology.

Flood, D. G., Choinski, M., Gasior, M. (2009). Mood stabilizer increase prepulse
inhibition in DBA/ 2NCrl mice. Psychopharmacology Springer Journal, 369-
377. USA

Freeman, M. P., & Stoll, A. L. (1998). Mood stabilizer combinations: a review of


safety and efficacy. American Journal of Psychiatry, 155(1), 12-21. doi:
10.1176/ajp.155.1.12

Horowitz, E., Bergman, L. C., Ashkenazy, C., Hurvits, I. M., Fogel, H. G.,
Racheli, M. (2014). Off label use of Sodium Valproate for Skizoprenia. Plos
One Journal, 9.

Maslim, R. (2014). Penggunaan klinis: Obat psikotropik. Jakarta : Nuh jaya.

Pies, R.W. (2007). Handbook of essential psychopharmacology. USA: American


Psychiatric Association Publishing.

Schatzberg, A. F., & DeBattista, C. (2015). Manual of clinical


psychopharmacology (8th ed.). Arlington: American psychiatric publication.

Zannah, U., Puspitasari, I. M., & Sinuraya, R. K. (2018). Farmakoterapi gangguan


bipolar. Farmaka, 16(1), 263-277.

Anda mungkin juga menyukai