Latar Belakang
Gangguan obsesif-kompulsif adalah salah satu gangguan di mana isi dari
pemikiran obsesif dan ritual kompulsif sangat kuat dipengaruhi oleh budaya,
meskipun data epidemiologis yang didapatkan tidak sebanyak gangguan kejiwaan
lainnya. Penangan ritual dan pemikiran yang dipengaruhi oleh budaya maka harus
ditangani dengan budaya juga. Kita harus ingat bahwa etiologi aspek genetik dan
manajemen dengan farmakoterapi menimbulkan masalah bagi mereka sendiri.
Dalam bab ini, de Silva dan Bhugra menyoroti dampak agama dan takhayul
pada etiologi gangguan obsesif kompulsif. Mereka berpendapat bahwa, dalam
setiap budaya terdapat kekhawatiran umum yang memungkinkan mempengaruhi
isi pikiran. Selain itu, isi tersebut mencerminkan ide dan tema keagamaan. Pada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif dengan agama tertentu terdapat rasa
bersalah yang berlebihan terhadap moral agama. Adanya kotoran, kontaminasi,
dan agresi dapat dikenakan sanksi budaya. Terdapat perbedaan kognisi antar
budaya, oleh karena itu masuk akal bahwa kognisi terkait dengan ritual dan
kompulsi juga akan bervariasi. Pribadi yang beranggung jawab banyak
ditunjukkan dalam beberapa budaya. Takhayul, perfeksionisme dan rasa tanggung
jawab telah dikaitkan bersama. Ada kemungkinan bahwa orang yang terkena
sanksi budaya dapat dianggap menyimpang jika individu tersebut dinilai di luar
konteks budaya mereka. Dokter akan mengalami kesulitan membedakan normal
dan abnormal sehingga harus memastikan apakah hal tersebut merupakan bagian
dari susunan budaya atau gangguan fungsi. Menilai kepercayaan agama dan
praktik budaya adalah langkah pertama yang penting dalam menilai pasien dengan
gangguan obsesif-kompulsif.
Pendahuluan
Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) adalah gangguan kecemasan, yang
ditandai dengan kognisi yang tidak diinginkan bersifat mengganggu (pikiran,
gambar, impuls) yang berulang disertai dengan perilaku kompulsif yang dilakukan
orang itu biasanya terpaksa karena berasal dari dorongan batin yang sangat kuat.
Perilaku kompulsif ini sebagian besar merupakan tindakan motorik terbuka
misalnya mencuci tangan berulang-ulang, memeriksa benda-benda, menyentuh
dan menata benda, tetapi dapat juga berupa internal atau terselubung misalnya
menghitung mundur dari sepuluh ke satu, diam-diam mengucapkan doa beberapa
kali dan menyatukan gambar visual dari deskripsi tertentu. Dalam mendiagnosis
OCD, orang tersebut harus mengalami obsesi atau kompulsi. Namun, dalam
kebanyakan kasus terdapat keduanya dan saling terkait. Obsesi menimbulkan
ketidaknyamanan dan kecemasan yang dapat dihilangkan, meskipun untuk
sementara oleh penyelesaian perilaku kompulsif. Obsesi atau paksaan harus
menyebabkan kesusahan atau mengganggu aktivitas seseorang untuk menegakkan
diagnosis (American Psychiatric Association, 1994). Hal ini penting, karena
banyak orang memiliki kognisi mengganggu yang tidak diinginkan atau
perilaku kompulsif minor namun tidak menyusahkan atau menyulitkan.
Pengaruh agama
Suatu aspek kehidupan manusia yang memiliki pengaruh terhadap
psikologis dan kesehatan mental seseorang adalah agama. Hal ini dikarenakan
agama merupakan keyakinan yang mewakili dan menentukan rasa keprihatinan
seseorang. Banyak penulis, termasuk Rachman (2003) membahas isi obsesi dapat
mencerminkan ide atau tema agama. Penelitian juga menunjukkan bahwa pasien
OCD dengan obsesi agama yang jelas cenderung lebih religious. Gejala yang
biasa ditemukan pada pasien OCD adalah tingkat rasa bersalah yang meningkat.
Beberapa studi tentang OCD dalam pengaturan budaya tertentu telah
menunjukkan hubungan antara presentasi klinis OCD dan agama. Studi di India
telah menunjukkan OCD banyak terkait tentang kotoran dan kontaminasi. Hal ini
dilihat sebagai masalah kebersihan sebagai ritual dalam budaya itu (Akhtar, 1978;
Akhtar et al., 1978; Khanna & Channabavasanna, 1988). Sebuah laporan oleh
Sharma (1968) telah menunjukkan bahwa tema obsesi di Nepal, sebuah negara
yang mayoritas penduduknya Hindu, seringkali terkait dengan praktik keagamaan.
Dalam sebuah penelitian di Mesir, ditemukan bahwa obsesi dan kompulsi
menunjukkan pengaruh budaya Muslim (Okasha et al., 1994). Dibandingkan
dengan sampel Inggris, sampel Mesir memiliki obsesi yang sebagian besar terkait
dengan masalah agama, dan kebersihan dan kontaminasi. Umat Islam diharuskan
shalat lima waktu sehari, didahului dengan wudhu. Muslim fundamentalis yang
keras mungkin diminta untuk melakukan pembersihan ritualistik yang kompleks
jika mereka harus menyentuh seorang wanita. Bagaimana keprihatinan terhadap
kebersihan dan cara ritualistik tercermin dalam gejala OCD. Maghoub & Abdel-
Hafeiz (1991) menemukan bahwa, dalam budaya Muslim Arab Saudi, tema obsesi
lebih sering terkait dengan praktik keagamaan daripada yang terlihat pada pasien
OCD Inggris. Sebuah studi dari Israel (Greenberg & Witzum, 1994) yang
mengamati gejala OCD dalam sampel 34 pasien menemukan gejala yang terkait
dengan praktik keagamaan yaitu 13 dari 19 pasien Yahudi ultra-ortodoks, dan
hanya 1 dari 15 Pasien Yahudi ortodoks non-ultra.
Selain memengaruhi konten obsesi dan kompulsi, tampaknya terdapat hal
lain dalam agama dapat memengaruhi OCD. Rachman (1997) berpendapat bahwa
kognisi normal yang dialami kebanyakan orang dapat berubah menjadi obsesi
klinis sebagai akibat pikiran yang melekat pada orang tersebut. Pikiran yang
menghujat dapat menyebabkan banyak kesusahan pada latar belakang agama yang
ketat. Rachman (2003) telah memberikan beberapa contoh bahwa adanya
pemikiran 'tindakan buruk' dianggap sebagai dosa atau tidak bermoral oleh
individu-individu ini, misalnya melukai seseorang dapat dilihat sebagai dosa.
Pemikiran ini kemudian menjadi obsesi yang terus-menerus dan berulang.
Takhayul
Fenomena lain yang relevan dalam konteks ini adalah takhayul. Tidak banyak
investigasi empiris hubungan antara OCD dan takhayul. Dalam studi kuesioner,
Frost et al. (1993) menemukan bahwa takhayul berkorelasi dengan keseluruhan
perilaku kompulsif, perfeksionisme, dan rasa tanggung jawab. Takhayul tidak
berkorelasi dengan pembersihan / pencucian kompulsif. Korelasi antara takhayul
dan pengukuran kognitif (perfeksionisme dan tanggung jawab) lebih besar
daripada takhayul dan gejala OCD. Ini menunjukkan bahwa takhayul mungkin
dikaitkan lebih dekat dengan pikiran obsesif daripada dengan perilaku kompulsif.
Singkatnya, ada beberapa cara di mana faktor budaya berperan dalam OCD.
Isi obsesi atau kompulsi dapat mencerminkan keprihatinan umum dalam suatu
budaya. Obsesi atau kompulsi dapat dihubungkan dengan praktik keagamaan.
Orang dengan kepercayaan agama yang kuat mungkin lebih rentan terhadap
pengembangan obsesi klinis. Takhayul merupakan hal yang lazim ada di dalam
budaya dan dapat tercermin dalam gejala OCD pada anggota budaya tersebut.
Kesimpulan
Bab ini mempertimbangkan hubungan antara budaya dan OCD. Perhatian khusus
diberikan pada agama, yang merupakan aspek utama budaya. Terdapat
pembahasan bagaimana budaya dapat mempengaruhi klinis OCD `dalam
menangani pasien yang mengalami OCD. Dokter sebagai bagian dari penilaian
mereka harus mengeksplorasi apa yang dianggap normal dan sesuai dengan
budaya pasien dan membuat rencana untuk intervensi. Keterlibatan para
pemimpin agama sebagai sumber informasi dan co-terapis perlu dipertimbangkan.
Penggunaan teknik ilustratif dari agama yang berbeda mampu meningkatkan
penerimaan terapi.