Anda di halaman 1dari 8

21

Kultur dan gangguan obsesif-kompulsif


Padmal de Silva dan Dinesh Bhugra

Latar Belakang
Gangguan obsesif-kompulsif adalah salah satu gangguan di mana isi dari
pemikiran obsesif dan ritual kompulsif sangat kuat dipengaruhi oleh budaya,
meskipun data epidemiologis yang didapatkan tidak sebanyak gangguan kejiwaan
lainnya. Penangan ritual dan pemikiran yang dipengaruhi oleh budaya maka harus
ditangani dengan budaya juga. Kita harus ingat bahwa etiologi aspek genetik dan
manajemen dengan farmakoterapi menimbulkan masalah bagi mereka sendiri.
Dalam bab ini, de Silva dan Bhugra menyoroti dampak agama dan takhayul
pada etiologi gangguan obsesif kompulsif. Mereka berpendapat bahwa, dalam
setiap budaya terdapat kekhawatiran umum yang memungkinkan mempengaruhi
isi pikiran. Selain itu, isi tersebut mencerminkan ide dan tema keagamaan. Pada
pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif dengan agama tertentu terdapat rasa
bersalah yang berlebihan terhadap moral agama. Adanya kotoran, kontaminasi,
dan agresi dapat dikenakan sanksi budaya. Terdapat perbedaan kognisi antar
budaya, oleh karena itu masuk akal bahwa kognisi terkait dengan ritual dan
kompulsi juga akan bervariasi. Pribadi yang beranggung jawab banyak
ditunjukkan dalam beberapa budaya. Takhayul, perfeksionisme dan rasa tanggung
jawab telah dikaitkan bersama. Ada kemungkinan bahwa orang yang terkena
sanksi budaya dapat dianggap menyimpang jika individu tersebut dinilai di luar
konteks budaya mereka. Dokter akan mengalami kesulitan membedakan normal
dan abnormal sehingga harus memastikan apakah hal tersebut merupakan bagian
dari susunan budaya atau gangguan fungsi. Menilai kepercayaan agama dan
praktik budaya adalah langkah pertama yang penting dalam menilai pasien dengan
gangguan obsesif-kompulsif.

Pendahuluan
Gangguan obsesif-kompulsif (OCD) adalah gangguan kecemasan, yang
ditandai dengan kognisi yang tidak diinginkan bersifat mengganggu (pikiran,
gambar, impuls) yang berulang disertai dengan perilaku kompulsif yang dilakukan
orang itu biasanya terpaksa karena berasal dari dorongan batin yang sangat kuat.
Perilaku kompulsif ini sebagian besar merupakan tindakan motorik terbuka
misalnya mencuci tangan berulang-ulang, memeriksa benda-benda, menyentuh
dan menata benda, tetapi dapat juga berupa internal atau terselubung misalnya
menghitung mundur dari sepuluh ke satu, diam-diam mengucapkan doa beberapa
kali dan menyatukan gambar visual dari deskripsi tertentu. Dalam mendiagnosis
OCD, orang tersebut harus mengalami obsesi atau kompulsi. Namun, dalam
kebanyakan kasus terdapat keduanya dan saling terkait. Obsesi menimbulkan
ketidaknyamanan dan kecemasan yang dapat dihilangkan, meskipun untuk
sementara oleh penyelesaian perilaku kompulsif. Obsesi atau paksaan harus
menyebabkan kesusahan atau mengganggu aktivitas seseorang untuk menegakkan
diagnosis (American Psychiatric Association, 1994). Hal ini penting, karena
banyak orang memiliki kognisi mengganggu yang tidak diinginkan atau
perilaku kompulsif minor namun tidak menyusahkan atau menyulitkan.

Beberapa perintis sejarah


Terdapat beberapa catatan tentang perilaku dan kognisi yang saat ini banyak orang
menganggap sebagai OCD (de Silva & Rachman, 2004). Teks Buddhis awal
Dhammapadatthakath menggambarkan seorang bhikshu, Sammun ̃jani, yang
menyapu biara dengan sapu berulang kali dalam sebagian besar waktunya dan
kegiatan itu diprioritaskan daripada yang lain (lihat Burlingame, 1979). Master
Zen Jepang Hakuin (1685-1768) dilaporkan menderita pikiran obsesif yang serius
dan keraguan sebagai seorang pemuda. Seorang tokoh agama yang bahkan lebih
berpengaruh di Barat, Martin Luther (1483-1543), disiksa oleh kognisi intensif
yang parah, berbentuk keraguan dan pemikiran menghujat. Salah satu pikirannya
yang berulang adalah apakah ia telah mengakui dosa-dosanya dengan sepenuhnya.
Dia juga memiliki pemikiran ragu bahwa dia mungkin telah melakukan berbagai
tindakan berdosa. John Bunyan (1628–1688), penulis Pilgrim's Progress, juga
menderita pikiran obsesif yang menyedihkan tentang sifat menghujat dan jahat.
Salah satu ketakutan utamanya adalah alih-alih mengatakan pujian untuk Tuhan
namun ia mengucapkan kata-kata penghujatan. Dia berjuang keras untuk
menyingkirkan ide-ide dan pemikiran setan yang meninggalkan Tuhan dan Yesus,
namun sesekali upaya ini berhasil. Penulis dan lexicographer Inggris Samuel
Johnson (1709-1784) memiliki banyak pemikiran yang mengkhawatirkan dan
perilaku kompulsif. Ini dicatat dalam biografinya yang ditulis oleh temannya dan
rekannya Boswell. Salah satu perilaku tersebut adalah keluar masuk melalui pintu
atau lorong dengan jumlah langkah tertentu yang tetap dari titik tertentu. Jika ini
salah, dia akan kembali dan memulai lagi. Boswell menyebut ini sebagai ‘another
particularity’ (Boswell, 1791, 1980).
Filsuf Denmark Søren Kierkegaard (1813–1855) dan penulis naskah
Norwegia Henrik Ibsen (1828–1906) juga telah dideskripsikan memiliki perilaku
yang menunjukkan obsesi dan dorongan. Yang pertama dikatakan menyimpan 50
cangkir dan piring, masing-masing diatur dalam pola yang berbeda. Yang terakhir
ini ternyata secara kompulsif menghancurkan dan menulis ulang karya-karyanya,
untuk mencapai hasil akhir yang sempurna. Dia juga dikatakan telah mengambil
satu jam atau lebih untuk berpakaian di pagi hari.

Budaya dan OCD


OCD ditemukan di berbagai belahan dunia, dan di berbagai budaya. Catatan klinis
gangguan ini tersedia dalam literatur ilmiah dan fiksi dari sebagian besar budaya
Barat, serta dari banyak bagian lain dunia termasuk India, Pakistan, Sri Lanka,
Nepal, Hong Kong, Taiwan, Mesir, Singapura, Saudi Saudi dan Turki. Kesamaan
dari gejala OCD yang ditemukan dalam laporan dari beragam budaya ini luar
biasa. OCD tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh budaya (de Silva & Rachman,
2004; Steketee, Quay & White, 1991). Ada beberapa cara faktor budaya
memainkan peran penting dalam gangguan ini.

Prevalensi OCD dalam budaya yang berbeda


Studi Cross National Collaborative yang banyak dikutip (Weissman et al.,
1994) menyelidiki prevalensi gangguan ini di beberapa negara. Prevalensi OCD
sekitar 2,3% di Amerika Serikat, Kanada, Puerto Riko, Jerman dan Selandia Baru.
Angka untuk Korea sedikit lebih rendah yaitu 1,9% dan untuk Taiwan kurang dari
0,7%. Di sisi lain, tingkat OCD lebih rendah di Afrika, Afro-Karibia, dan
kelompok Asia di Inggris (Meltzer, Gill & Petticrew, 1995) dan di penduduk asli
Australia (Jones & Horne, 1973). Prevalensi yang rendah juga telah dilaporkan
untuk Afrika sub-Sahara (Jerman, 1972).
Sulit untuk menarik kesimpulan yang pasti dari studi ini, karena metode
skrining yang berbeda telah digunakan. Penggunaan kriteria diagnostik untuk
memastikan tingkat prevalensi juga bervariasi. Sementara pekerjaan Cross-
National Collaborative Study telah membuat metode pengumpulan data
terstandard untuk memastikan komparabilitas di seluruh negara yang diteliti.
Gambaran keseluruhan hasil tidak menjamin ditemukan perbedaan signifikan
antara negara dan budaya terhadap prevalensi OCD.

Kekhawatiran bersama di dalam budaya


Orang dari budaya tertentu atau era tertentu memiliki rasa keprihatinan yang
sama. Kepedulian bersama ini cenderung tercermin dalam obsesi dan kompulsi
dalam populasi itu. Misalnya, obsesi dan kompulsi terkait dengan kontaminasi
asbes adalah masalah yang relatif umum di antara pasien OCD di Inggris tiga
dekade lalu. Lebih umum dalam beberapa tahun terakhir adalah obsesi, dan
dorongan yang terkait tentang HIV / AIDS.

Pengaruh agama
Suatu aspek kehidupan manusia yang memiliki pengaruh terhadap
psikologis dan kesehatan mental seseorang adalah agama. Hal ini dikarenakan
agama merupakan keyakinan yang mewakili dan menentukan rasa keprihatinan
seseorang. Banyak penulis, termasuk Rachman (2003) membahas isi obsesi dapat
mencerminkan ide atau tema agama. Penelitian juga menunjukkan bahwa pasien
OCD dengan obsesi agama yang jelas cenderung lebih religious. Gejala yang
biasa ditemukan pada pasien OCD adalah tingkat rasa bersalah yang meningkat.
Beberapa studi tentang OCD dalam pengaturan budaya tertentu telah
menunjukkan hubungan antara presentasi klinis OCD dan agama. Studi di India
telah menunjukkan OCD banyak terkait tentang kotoran dan kontaminasi. Hal ini
dilihat sebagai masalah kebersihan sebagai ritual dalam budaya itu (Akhtar, 1978;
Akhtar et al., 1978; Khanna & Channabavasanna, 1988). Sebuah laporan oleh
Sharma (1968) telah menunjukkan bahwa tema obsesi di Nepal, sebuah negara
yang mayoritas penduduknya Hindu, seringkali terkait dengan praktik keagamaan.
Dalam sebuah penelitian di Mesir, ditemukan bahwa obsesi dan kompulsi
menunjukkan pengaruh budaya Muslim (Okasha et al., 1994). Dibandingkan
dengan sampel Inggris, sampel Mesir memiliki obsesi yang sebagian besar terkait
dengan masalah agama, dan kebersihan dan kontaminasi. Umat Islam diharuskan
shalat lima waktu sehari, didahului dengan wudhu. Muslim fundamentalis yang
keras mungkin diminta untuk melakukan pembersihan ritualistik yang kompleks
jika mereka harus menyentuh seorang wanita. Bagaimana keprihatinan terhadap
kebersihan dan cara ritualistik tercermin dalam gejala OCD. Maghoub & Abdel-
Hafeiz (1991) menemukan bahwa, dalam budaya Muslim Arab Saudi, tema obsesi
lebih sering terkait dengan praktik keagamaan daripada yang terlihat pada pasien
OCD Inggris. Sebuah studi dari Israel (Greenberg & Witzum, 1994) yang
mengamati gejala OCD dalam sampel 34 pasien menemukan gejala yang terkait
dengan praktik keagamaan yaitu 13 dari 19 pasien Yahudi ultra-ortodoks, dan
hanya 1 dari 15 Pasien Yahudi ortodoks non-ultra.
Selain memengaruhi konten obsesi dan kompulsi, tampaknya terdapat hal
lain dalam agama dapat memengaruhi OCD. Rachman (1997) berpendapat bahwa
kognisi normal yang dialami kebanyakan orang dapat berubah menjadi obsesi
klinis sebagai akibat pikiran yang melekat pada orang tersebut. Pikiran yang
menghujat dapat menyebabkan banyak kesusahan pada latar belakang agama yang
ketat. Rachman (2003) telah memberikan beberapa contoh bahwa adanya
pemikiran 'tindakan buruk' dianggap sebagai dosa atau tidak bermoral oleh
individu-individu ini, misalnya melukai seseorang dapat dilihat sebagai dosa.
Pemikiran ini kemudian menjadi obsesi yang terus-menerus dan berulang.

Takhayul
Fenomena lain yang relevan dalam konteks ini adalah takhayul. Tidak banyak
investigasi empiris hubungan antara OCD dan takhayul. Dalam studi kuesioner,
Frost et al. (1993) menemukan bahwa takhayul berkorelasi dengan keseluruhan
perilaku kompulsif, perfeksionisme, dan rasa tanggung jawab. Takhayul tidak
berkorelasi dengan pembersihan / pencucian kompulsif. Korelasi antara takhayul
dan pengukuran kognitif (perfeksionisme dan tanggung jawab) lebih besar
daripada takhayul dan gejala OCD. Ini menunjukkan bahwa takhayul mungkin
dikaitkan lebih dekat dengan pikiran obsesif daripada dengan perilaku kompulsif.
Singkatnya, ada beberapa cara di mana faktor budaya berperan dalam OCD.
Isi obsesi atau kompulsi dapat mencerminkan keprihatinan umum dalam suatu
budaya. Obsesi atau kompulsi dapat dihubungkan dengan praktik keagamaan.
Orang dengan kepercayaan agama yang kuat mungkin lebih rentan terhadap
pengembangan obsesi klinis. Takhayul merupakan hal yang lazim ada di dalam
budaya dan dapat tercermin dalam gejala OCD pada anggota budaya tersebut.

Implikasi untuk praktik klinis


Terdapat beberapa implikasi untuk praktik klinis diantaranya, mungkin saja
ritual yang diterima dan disetujui secara budaya yang dilakukan oleh seseorang
dapat dianggap menyimpang apabila orang tersebut hidup di antara orang-orang
dengan budaya yang sangat berbeda. Orang tersebut dapat menjadi tertekan
bahkan dirujuk untuk mendapatkan bantuan karena dianggap tidak normal oleh
orang lain. Dokter perlu memastikan apakah gejala yang tampak hanyalah bagian
dari budaya atau apakah sudah menyebabkan penurunan fungsi yang nyata.
Dalam menjalankan terapi, perlu diketahui peran faktor budaya terhadap
gangguan tersebut. Adanya koping religius yang dipelajari seseorang dari
budayanya sering memiliki gambaran klinis tertentu sehingga dokter perlu
memperhatikan hal tersebut. Beberapa penulis juga berpendapat bahwa dokter
harus memiliki kepekaan terhadap masalah budaya. Sebagai contoh, Witztum &
Buchbinder (2001) menjelaskan tentang terapi terhadap pasien dengan budaya dan
beragama Yahudi, sementara Juthani (2001) membahas parameter budaya-agama
yang relevan dalam perawatan pasien Hindu.
Khususnya dalam kaitannya dengan OCD, Rachman (2003, 2006)
menjelaskan penggunaan taktik kognitif untuk pasien yang mengalami obsesi atau
ide-ide keagamaan. Serta perlakuan kognitif terhadap obsesi religious untuk
menghilangkan efek suasana hati yang buruk. Contoh kasus yang diberikan oleh
Rachman (2003) yaitu seorang pasien beragama Katolik berusia 43 tahun dimana
pada masa kanak-kanak, ia telah diberikan sebuah Alkitab yang berisi gambar
setan yang mengganggu. Segera setelah itu, dia mulai memiliki pikiran dan
gambaran yang mengganggu tentang iblis. Dia mencoba menetralkan ini dengan
berdoa, dan dengan mengulangi kalimat 'Aku cinta Tuhan dan Tuhan sendiri'.
Selama perawatan ia dibantu untuk membuat hubungan antara obsesi agamanya
dan obsesi lainnya. Hal ini menyebabkan penafsiran ulang tentang 'penistaan
agama' sebagai salah satu manifestasi dari gangguan psikologis, yaitu OCD. Dia
membuat kemajuan yang signifikan yang ditandai dengan penurunan frekuensi
obsesi keagamaan. Dengan terapi lebih lanjut menunjukkan pergeseran
keyakinannya tentang obsesi keagamaan, dan merasa bahwa Tuhan tidak ingin dia
menderita.
Masalah umum yang terjadi yaitu dalam budaya tertentu hanya memerlukan
terapi psikologis daripada farmakologis, atau sebaliknya. Sementara seorang
terapis yang merawat OCD akan ingin menggunakan pengobatan terbaik untuk
setiap pasien dan berusaha agar pasien menerima pengobatan tersebut sampai
taraf tertentu. Akhirnya, timbul pertanyaan tentang pengobatan OCD dan strategi
terapi yang mungkin berasal dari tradisi budaya. Rachman (2006) membahas
taktik keagamaan yang digunakan untuk menangani jenis masalah OCD tertentu.
Dalam tradisi Yahudi-Kristen yang mencakup doa, pengampunan, persembahan,
pengungkapan, pengakuan, pertobatan sering digunakan oleh pasien OCD untuk
memerangi obsesi mereka. Strategi tersebut dapat dipertimbangkan untuk
dimasukkan ke dalam pendekatan perawatan klinis.
Seperti disinggung sebelumnya, hubungan antara farmakoterapi dan
psikoterapi adalah kompleks. Selanjutnya, seperti yang dijelaskan oleh Liu dalam
buku ini, peran psikofarmakologi lintas kelompok etnis dan budaya yang berbeda
harus mencakup pengetahuan farmakodinamik dan farmakokinetik yang berbeda.
Perubahan metabolisme obat ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan etnis serta
faktor yang berhubungan dengan gaya hidup, seperti merokok dan makanan.
Meskipun obat anti-depresan telah digunakan, tampaknya ada beberapa bukti
bahwa satu obat anti-depresi secara signifikan lebih efektif daripada yang lain
untuk pengobatan OCD (Pigott, 1996, Murphy & Pigott, 1990). Anti-depresan
trisiklik dan inhibitor monoamine oksidase tidak efektif untuk pasien OCD tetapi
cloripramine, fluvoxamine, fluoxetive, sertraline, dan paroxetine semuanya
menunjukkan kemanjuran pada pasien dengan OCD. Kebanyakan penelitian
menunjukkan bahwa 60-80% pasien dengan OCD berespons dengan inhibitor
respon serotonin seperti sertraline, clomipra-mine, fluoxetine, fluvoxamine dan
paroxetine).
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam mengelola OCD adalah
komorbid depresi yang sama-sama dipengaruhi secara budaya. Kemungkinan
kegagalan terapi terjadi pada kondisi komorbid seperti gangguan kepribadian,
fobia sosial dan tanda gangguan neurologis. Pengobatan OCD yang
menggabungkan terapi perilaku dengan obat anti-depresi sering digunakan,
meskipun hasilnya tidak selalu lebih baik (McLeod, 1997).

Kesimpulan
Bab ini mempertimbangkan hubungan antara budaya dan OCD. Perhatian khusus
diberikan pada agama, yang merupakan aspek utama budaya. Terdapat
pembahasan bagaimana budaya dapat mempengaruhi klinis OCD `dalam
menangani pasien yang mengalami OCD. Dokter sebagai bagian dari penilaian
mereka harus mengeksplorasi apa yang dianggap normal dan sesuai dengan
budaya pasien dan membuat rencana untuk intervensi. Keterlibatan para
pemimpin agama sebagai sumber informasi dan co-terapis perlu dipertimbangkan.
Penggunaan teknik ilustratif dari agama yang berbeda mampu meningkatkan
penerimaan terapi.

Anda mungkin juga menyukai