Anda di halaman 1dari 12

DISSOSIATIVE DISORDERS

Menurut DSM V, 2013 gangguan disosiatif dibagi menjadi beberapa jenis


sebagai berikut.

1. Gangguan Identitas Disosiatif (Dissociative Identity Disorder)


Kriteria Diagnostik
a. Gangguan identitas ditandai dengan dua atau lebih keadaan kepribadian
yang berbeda, yang dapat dijelaskan dalam beberapa kebudayaan sebagai
pengalaman kepemilikan. Gangguan identitas melibatkan diskontinuitas
ditandai dalam kesadaran diri dan sense of agency, disertai dengan
perubahan alter yang berkaitan dengan afek, perilaku, kesadaran, memori,
persepsi, kognisi, dan/atau fungsi sensorik-motorik. Tanda-tanda dan gejala
dapat diamati oleh orang lain atau dilaporkan oleh individu.
b. Kegagalan mengingat kembali kegiatan sehari-hari, informasi pribadi yang
penting, dan /atau peristiwa traumatik yang tidak sesuai dilupakan.
c. Gejalanya menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan bidang
sosial, pekerjaan, atau lainnya yang penting dari fungsi.
d. Gangguan ini bukan bagian normal dari praktik budaya atau agama
diterima secara luas. Catatan: Pada anak-anak, gejalanya tidak dijelaskan
lebih baik oleh teman bermain imaji atau fantasi bermain lainnya.
e. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari substansi (misalnya,
hilang kesadaran atau perilaku kacau selama mabuk alkohol) atau kondisi
medis lain. (misalnya, kejang parsial kompleks).
Prevalensi
Prevalensi 12 bulan gangguan identitas disosiatif di antara orang dewasa
dalam studi komunitas kecil Amerika Serikat 1,5 %. Prevalensi lintas jenis
kelamin dalam penelitian tersebut adalah 1,6 % untuk pria dan 1,4% untuk
wanita.
Intervensi
Perawatan yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut.
 Hipnosis
Meskipun tidak selalu diperlukan, hipnosis (atau hipnoterapi) adalah
metode standar pengobatan untuk pasien DID. Hipnosis dapat membantu
pasien pulih dari ide dan keangan yang direpresi. Selanjutnya, hipnosis juga
dapat digunakan untuk mengontrol perilaku bermasalah yang banyak
ditunjukkan pasein DID, seperti melukai diri sendiri, atau gangguan makan
seperti bulimia nervosa. Pada stadium akhir pengobatan, terapis dapat
menggunakan hipnotis untuk "sekering" alter sebagai bagian dari proses
integrasi kepribadian pasien (Percy, 1995).
 Terapi
Keluarga Terapi keluarga sering dianjurkan untuk membantu keluarga
pasien memahami DID dan perubahan yang terjadi selama reintegrasi
kepribadian. Banyak pasien DID dibantu oleh terapi kelompok serta perawatan
individu, asalkan kelompok terbatas pada orang-orang dengan gangguan
disosiatif. Pasien DID kadang-kadang memiliki kemunduran dalam kelompok
terapi campuran karena pasien lain terganggu atau takut dengan switch
kepribadian mereka (Percy, 1995).
 Pengobatan
Beberapa dokter akan meresepkan obat penenang atau antidepresan untuk
pasien DID karena kepribadian alter mereka mungkin memiliki gangguan
kecemasan atau suasana hati. Namun, terapis lain yang merawat pasien DID
lebih memilih untuk tidak memberi obat-obatan karena pasien ini dapat dengan
mudah menjadi psikologis tergantung pada obat-obatan. Selain itu, banyak
pasien DID merupakan penyalahguna narkoba atau alkohol, zat-zat yang
berbahaya dalam kombinasi dengan sebagian besar obat penenang (Percy,
1995).
2. Amnesia Disosiatif (Dissociative Amnesia)
Kriteria Diagnostik
a. Ketidakmampuan untuk mengingat informasi otobiografi penting, biasanya
bersifat traumatik atau stres, yang tidak konsisten dengan lupa biasa.
Catatan: amnesia disosiatif paling sering terdiri dari lokal atau selektif
amnesia untuk acara tertentu atau peristiwa; atau amnesia secara umum
pada identitas dan sejarah kehidupan.
b. Gejala klinis menyebabkan distress signifikan atau penurunan bidang
sosial, pekerjaan, atau lainnya yang penting dari fungsi
c. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari substansi (misalnya,
alkohol atau obat lain penyalahgunaan, obat) atau kondisi medis neurologis
atau lainnya (misalnya, kejang kompleks parsial, transient global amnesia,
gejala sisa dari cedera kepala tertutup / cedera otak traumatis, kondisi
neurologis lainnya.
d. Gangguan ini tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan disosiatif identitas,
gangguan stres pasca trauma, gangguan stres akut, gangguan gejala
somatik, atau gangguan neurokognitif besar atau ringan.
Berdasarkan PPDGJ (F 44.0)
Ciri utamanya adalah hilangnya daya ingat biasanya mengenai kejadian
penting yang baru terjadi (selective), yang bukan disebabkan oleh gangguan
mental organik dan terlalu luas untuk dijelaskan atas dasar keluoaan yang
umum terjadi atau atas dasar kelelahan.

Prevalensi
Prevalensi 12 bulan untuk amnesia disosiatif di antara orang dewasa di
komunitas kesil Amerika Serikat adalah 1,8% (1,0% untuk pria; 2,6% untuk
wanita)
Intervensi
Treatment untuk gangguan disosiatif ada bermacam-macam, sebagian
besar karena kondisinya juga bervariasi. Tujuan utama dalam memberikan
treatment terhadap orang dengan simptom-simptom disosiatif adalah dengan
membawa kestabilan dan integrasi dalam hidup mereka. Hal yang penting
dalam treatment mereka adalah membangun sebuah lingkungan yang aman,
jauh dari stressor yang mengancam yang mungkin dapat membangkitkan
disosiasi. Pada keamanan dalam konteks treatment, klinisi akan mengenalkan
teknik yang menenangkan, beberapa bersifat psikoterapeutik dan yang lain
bersifat psikofarmakologis.
Beberapa klinisi akan menambah obat dan intervensi, juga dapat
membantu meningkatkan kondisi tenang. Obat yang paling umum digunakan
adalah sodium pentobarbital dan sodium amobarbital yang memfasilitasi proses
wawancara, khususnya pada klien yang mengalami amnesia disosiatif dan
fugue disosiatif. Jika amnesianya telah hilang, maka klinisi akan membanti
klien menemukan kejadian apa dan factor-faktor apa yang menyebabkan
amnesia (Halgin, 2013)
3. Fugue Disosiatif (Dissociative Fugue)
Fugue berasal dari bahasa latin fugere, yang berarti melarikan diri, fugue
sama dengan amnesia “dalam pelarian”. Dalam fugue disosiatif memori yang
hilang lebih luas dari pada amnesia dissosiative, individu tidak hanya
kehilangan seluruh ingatannya (misalnya nama, keluarga atau pekerjaanya),
mereka secara mendadak meninggalkan rumah dan pekerjaannya serta
memiliki identitas yang baru (parsial atau total) (APA, 1994). Namun mereka
mampu membentuk hubungan sosial yang baik dengan lingkungan yang baru.
Fugue, seperti amnesia, relatif jarang dan diyakini mempengaruhi sekitar 2
orang di 1.000 di antara populasi umum (APA, 1994).
Berdasarkan PPDGJ (F 44.1)
Ciri-ciri fugue disosiatif: melakukan perjalanan tertentu melampaui hal
yang umum dilakukannya sehari-hari. Kemampuan mengurus diri yang dasar
tetap ada seperti makan, mandi, dsb dan melakukan interaksi sosial sederhana
dengan orangorang yang belum dikenalnya misalnya membeli bensin,
menanyakan arah, dan memesan makanan
Intervensi
1. Psikoterapi: Psikoterapi adalah penanganan primer terhadap gangguan
disosiatif ini. Bentuk terapinya berupa terapi bicara, konseling atau terapi
psikososial, meliputi berbicara tentang gangguan yang diderita oleh pasien
jiwa. Terapinya akan membantu anda mengerti penyebab dari kondisi yang
dialami. Psikoterapi untuk gangguan disosiasi sering mengikutsertakan
teknik seperti hipnotis yang membantu kita mengingat trauma yang
menimbulkan gejala disosiatif.
2. Terapi kesenian kreatif: Dalam beberapa referensi dikatakan bahwa tipe
terapi ini menggunakan proses kreatif untuk membantu pasien yang sulit
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka. Seni kreatif dapat membantu
meningkatkan kesadaran diri. Terapi seni kreatif meliputi kesenian, tari,
drama dan puisi (Corey, 2013).
3. Terapi kognitif: Terapi kognitif ini bisa membantu untuk
mengidentifikasikan kelakuan yang negatif dan tidak sehat dan
menggantikannya dengan yang positif dan sehat, dan semua tergantung dari
ide dalam pikiran untuk mendeterminasikan apa yang menjadi perilaku
pemeriksa (Corey, 2013).
4. Terapi obat: Terapi ini sangat baik untuk dijadikan penangan awal,
walaupun tidak ada obat yang spesifik dalam menangani gangguan disosiatif
ini. Biasanya pasien diberikan resep berupa anti-depresan dan obat anti-
cemas untuk membantu mengontrol gejala mental pada gangguan disosiatif
ini (Corey, 2013).

4. Gangguan depersonalisasi (Depersonalization/Dereallzation Disorder)


Kriteria Diagnostik
a. Hadirnya pengalaman yang persisten atau berulang depersonalisasi,
derealisasi, atau keduanya.
1) Depersonalisasi: Pengalaman tidak nyata, pelepasan, atau menjadi
seorang pengamat di luar sehubungan dengan seseorang pikiran,
perasaan, sensasi, tubuh, atau tindakan (misalnya, perubahan persepsi,
rasa terdistorsi waktu, nyata atau tidak ada diri, mati rasa emosional dan
/ atau fisik).
2) Derealisasi: Pengalaman tak nyata atau pelepasan terhadap lingkungan
(misalnya, individu atau objek yang dialami sebagai nyata, mimpi,
berkabut, tak bernyawa, atau visual terdistorsi.
b. Selama mengalami depersonalisasi atau derealisasi, uji realitas tetap utuh.
c. Gejala menyebabkan distress klinis signifikan atau penurunan sosial,
pekerjaan, atau bidang-bidang penting lainnya berfungsi..
d. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari substansi (misalnya,
penyalahgunaan obat, obat) atau kondisi lain medis (misalnya, kejang).
e. Gangguan ini tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain, seperti
skizofrenia, gangguan panik, gangguan depresi mayor, gangguan stres akut,
gangguan stress pasca trauma, atau gangguan disosiatif lain.
Berdasarkan PPDGJ III, 1993:
Ciri utamanya adalah perasaan dan/atau pengalaman terlepas dari dirinya,
jauh, bukan darinya (depersonalisasi). Objek, orang, dan/atau lingkungan
menjadi seperti tidak sesungguhnya. Individu memahami bahwa hal tersebut
merupakan perubahan spontan dan subjektif, dan bukan disebabkan oleh
kekuatan luar. Penginderaan tidak terganggu.
Prevalensi
Gejala depersonalisasi/ derealisasi transisi sementara yang berlangsung
berjam-jam hingga berhari-hari sering terjadi pada populasi umum. Prevalensi
12 bulan dari gangguan depersonalisasi/ derealisasi dianggap lebih sedikit darp
pada gejala sementara, meskipun perkiraan yang tepat untuk gangguan tersebut
tidak tersedia. Secara umum, sekitar satu setengah dari semua orang dewasa
pernah mengalami setidaknya satu episode depersonalisasi/ derealisasi seumur
hidup. Namun gejala yang memenuhi kriteria lengkap untuk gangguan
depersonalisasi/ derealisasi secara nyata lebih jarang dari pada gejala
sementara. Prevalensi seumur hidup di negara-negara Amerika Serikat dan
selain Amerika Serikat adalah sekitar 2% (kisaran 0,8% hingga 2,8%). Rasio
jenis kelamin untuk gangguan tersebut adalah 1:1.
Intervensi
Pengobatan gangguan depersonalisasi dapat meliputi, antara lain:
1. Konseling psikologis
Konseling psikologis akan membantu pasien memahami mengapa
terjadi depersonalisasi dan melatih pasien untuk berhenti khawatir
mengenai gejala yang terjadi. Gangguan depersonalisasi juga dapat
membaik ketika konseling membantu dengan kondisi psikologis lain,
seperti depresi (Daniels et al. 2015).
2. Obat-obatan
Meskipun tidak ada obat khusus yang telah disetujui untuk mengobati
gangguan depersonalisasi. Namun, sejumlah obat yang umumnya
digunakan untuk mengobati depresi dan kecemasan juga dapat membantu
kondisi gangguan depersonalisasi (Daniels et al. 2015). Beberapa contoh
yang telah ditunjukkan untuk meredakan gejala tersebut termasuk:
a. Fluoxetine (Prozac)
Fluoxetine adalah salah satu obat diandalkan untuk pengobatan depresi.
mekanisme aksi dari Fluoxetine adalah dengan meningkatkan tingkat
serotonin dalam otak. bahwa Pasien dengan Depresi memiliki tingkat
serotonin dalam otak mereka. Fluoxetine memudahkan gejala depresi
dengan memperlakukan ketidakseimbangan serotonin dalam otak.
b) Clomipramine (Anafranil)
c) Clonazepam (Klonopin)
5. Gangguan Disosiatif Lainnya (Other Specified Dissociative Disorder)
Berdasarkan DSM V, 2013:
a. Sindrom kronis dan berulang dari gejala disosiatif campuran. Sindrom
gejala disosiatif campuran: kategori ini meliputi gangguan identitas terkait
dengan kurang ditandai diskontinuitas dalam arti diri dan lembaga, atau
perubahan identitas atau episode kepemilikan pada individu yang
melaporkan tidak ada amnesia disosiatif.
b. Gangguan Identitas karena berkepanjangan dan intens persuasi koersif:
individu yang telah mengalami persuasi koersif intens (misalnya
brainswashing, pikir reformasi, indoktrinasi ketika ditawan, penyiksaan,
pemenjaraan politik jangka panjang, perekrutan oleh sekte/sekte atau
dengan organisasi teror) mungkin hadir dengan berkepanjangan berubah
dalam, atau pertanyaan comscious dari, mereka identitas.
c. Reaksi disosiatif akut peristiwa stress: kategori ini adalah untuk, kondisi
transien akut yang biasanya berlangsung kurang 1 bulan, dan kadang-
kadang hanya beberapa jam atau hari. kondisi ini ditandai dengan
penyempitan kesadaran; depersonalisasi; derealization; gangguan persepsi
(misalnya waktu melambat, makropsia); mikro-amnesia; sementara pingsan,
dan / atau perubahan dalam sensorik-motorik (misalnya analgesia,
kelumpuhan).
d. Gangguan Trans: Pada trans disosiatif, seseorang mungkin benar-benar
responsif terhadap luar, sekitar rangsangan (misalnya, seseorang yang
mencoba untuk berbicara dengan mereka dapat diabaikan). Orang ini
mungkin menganggap bahwa hal-hal di sekitar mereka yang "nyata",
"kabur" atau bergerak di sekitar mereka sementara mereka tetap lumpuh
dapat mendapatkan kontrol atas lingkungan mereka.
SOMATIC SYMPTOM DISORDER
1. Gangguan Gejala Somatik (Somatic Symptom Disorder)
Kriteria Diagnostik
a. Satu atau lebih gejala somatik yang membuat stres atau mengakibatkan
gangguan yang signifikan dari kehidupan sehari-hari.
b. Pikiran, perasaan, atau perilaku yang berlebihan terkait dengan gejala
somatik atau masalah kesehatan terkait seperti yang ditunjukkan oleh
setidaknya salah satu dari berikut ini:
1. Pikiran yang tidak proporsional dan terus-menerus tentang keseriusan
gejala seseorang.
2. Tingkat kecemasan yang terus-menerus tinggi tentang kesehatan atau
gejala.
3. Waktu dan energi yang berlebihan dicurahkan untuk gejala atau
masalah kesehatan ini.
c. Meskipun salah satu gejala somatik mungkin tidak terus-menerus muncul,
keadaan gejala tetap ada (biasanya lebih dari 6 bulan).
Prevalensi
Prevalensi gangguan gejala somatik tidak diketahui. Namun, prevalensi
gangguan gejala somatik diharapkan lebih tinggi daripada gangguan
somatisasi DSMIV yang lebih restriktif (<1%) tetapi lebih rendah dari
gangguan somatoform tidak berdiferensiasi (sekitar 19%). Prevalensi
gangguan gejala somatik secara umum populasi orang dewasa mungkin
sekitar 5% -7%. Wanita cenderung melaporkan lebih banyak gejala somatik
dibandingkan laki-laki, dan akibatnya prevalensi gangguan gejala somatik
cenderung terjadi menjadi lebih tinggi pada wanita.
Macam-Macam Gangguan Somatik
1. Gangguan Somatisasi
Berdasarkan PPDGJ III, 1993. Kriteria Diagnosis:
 Untuk diagnosis pasti memerlukah semua hal sebagai berikut.
a. Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang
tidak dapat dijelaskan atau dasar adnya kelainan fisik, yang sudah
berlangsung sedikitnya 2 tahun.
b. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa
dokterbahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan
keluhan-keluhannya.
c. Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan masyaraka,
yang berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari
perilakunya.
2. Gangguan Hipokondrik
Berdasarkan PPDGJ III, 1993. Kriteria Diagnosis:
 Untuk diagnosis pasti memerlukah semua hal sebagai berikut.
a. Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit
fisik yang serius yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun
pemeriksaan yang berulang-ulang tidak menunjang adanya alasan fisik
yang memadai, ataupun adanya prokupasi yang menetap kemungkinan
defermitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai
waham).
b. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan-penjelasan
dan beberapa dokter bahwa tidak ditemukan penyakit atau
abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya.
3. Gangguan Somatoform Tak Terinci
Berdasarkan PPDGJ III, 1993. Kriteria Diagnosis:
 Keluhan-keluhan isik bersifat multiple, bervarias dan menetap, akan
tetapi gambaran klini yang khas dan lengkap dari gangguan somatic
tidak terpenuhi.
 Kemungkinan ada ataupun tidak fakto penyebab psikologis belum
jelas, akan tetapi tidak boleh ada penyebab fisik dari keluhan-
keluhannya.
4. Disfungsi Otonomik Somatoform
Berdasarkan PPDGJ III, 1993. Kriteria Diagnosis:
 Untuk diagnosis pasti memerlukah semua hal sebagai berikut.
a. Adanya gejala-gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi,
berkeringat, tremor, muka panas “flushing’ yang menetap, dan
mengganggu
b. Gejala subjektif tambahan mengacu pada system atau organ tertentu
(gejala tidak khas).
c. Prnokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai adanya
gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari system atau
organ tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaan
berulang maupun penjelasan-penjelasan dari para dokter.
d. Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur atau
fungsi dari sistem stsu organ yang dimaksud.
5. Gangguan Nyeri Somatoform Menetap
Berdasarkan PPDGJ III, 1993. Kriteria Diagnosis:
 Keluhan pertama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya atas dasar proses fisiologis maupun
adanya gangguan fisik.
 Nyeri timbul dalam hubungan denga adanya konflikemosional atau
problem psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan
dalam mempengaruhi terjadinya ganggguan tersebut.
 Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik
personalmaupun medis untuk yang bersangkutan.
6. Gangguan Somatoform Lainnya
Berdasarkan PPDGJ III, 1993. Kriteria Diagnosis:
 Pada gangguan ini keluhan-keluhannya tidak melalui system saraf
otonom, dan terbatas secara spesifik pada bagia tubuh atau system
tertentu. Ini sangat berbeda dengan gangguan somatisasi dan gangguan
somatoform tak terinci yang menunjukkan keluhan yang banyak dan
berganti-ganti.
 Tidak ada kaitannya denga adanya kerusakan jaringan.
Intervensi
Pengobatan gangguan depersonalisasi dapat meliputi, antara lain:
1. Cognitive-behavioral therapy
Pada terapi kognitif perilaku, psikiater dan penderita akan berdiskusi
bersama dalam beberapa sesi pertemuan. Tujuannya adalah untuk
membantu penderita memahami situasi yang mereka alami,
mengetahui apa yang menyebabkan keluhannya terjadi, dan berusaha
mencari jalan keluar dengan mengubah pola pikir. Agar semua tujuan
ini tercapai, dibutuhkan sesi diskusi berkali-kali dengan psikiater
yang sama.
2. Pemberian obat anti-depresan
Pemberian obat anti-depresan juga biasanya akan diberikan oleh
psikiater. Penderita gangguan somatis memang umumnya tidak
mengalami depresi, tetapi sebagian besar penderita mengalami
kecemasan. Anti-depresan digunakan untuk mengatasi kecemasan
pada penderita.1

1
https://www.klikdokter.com/penyakit/gangguansomatoform#:~:text=Pengobatan%20gangguan
%20somatoform%20dilakukan%20oleh,Pemberian%20obat%20anti%2Ddepresan (Diakses pada
tanggal 15 November 2020. Pada pukul 17.00 WIB)

Anda mungkin juga menyukai