Anda di halaman 1dari 33

BLOK SISTEM INDERA

SKENARIO 3
“BERCAK MERAK & GATAL DI SELANGKANGAN”
Abie kanzy (1102018281)
Kelompok 26-BSI

SASARAN BELAJAR:
1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Mikroskopis Kulit
2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Kulit
3. Memahami dan Menjelaskan Dermatomikosis
3.1 Definisi
3.2 Klasifikasi
4. Memahami dan Menjelaskan Dermatofitosis
4.1 Definisi
4.2 Etiologi
4.3 Epidemiologi
4.4 Klasifikasi
4.5 Patofisiologi
4.6 Manifestasi Klinis
4.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
4.8 Tata Laksana
4.9 Pencegahan
4.10 Komplikasi
4.11 Prognosis
4. Memahami dan Menjelaskan Tata Cara Memelihara Kulit Sesuai Tuntunan Islam
SKENARIO 3

BERCAK MERAK & GATAL DI SELANGKANGAN

Seorang wanita berusia 28 tahun datang ke Poliklinik dengan keluhan bercak merah
& gatal terutama bila berkeringat di selangkangan sejak 1 minggu yang lalu. Keluhan disertai
dengan beruntus dan kulit yang menebal berwarna gelap. Kelainan ini hilang timbul
selama 6 bulan, hilang apabila diobati dan timbul saat menstruasi atau menggunakan celana
berlapis. Riwayat keputihan disangkal. Kelainan ini dirasakan setelah berat badan penderita
bertambah.
Pada pemeriksaan generalis: dalam batas normal.
Pada pemeriksaan dermatologis: regioner, bilateral, pada kedua sisi medial paha atas
tampak lesi multipel, berbatas tegas, bentuk beraturan, ukuran bervariasi dari diameter 0,03
cm sp 0,1 cm, kering, permukaan halus dengan efloresensi berupa plak eritem, sebagian
likhenifikasi yang hiperpigmentasi, pada bagian tengah tampak central healing dengan
ditutupi skuama halus.
Setelah mendapatkan terapi, penderita diminta untuk kontrol rutin dan menjaga serta
memelihara kesehatan kulit sesuai tuntunan ajaran Islam.

Kata Sulit
1. Efloresensi: kelainan kulit yang dapat dilihat dengan mata telanjang (secara objektif),
dapat diperiksa dengan perabaan bila diperlukan.
2. Plak eritema:
 Eritema: kondisi munculnya bercak kemerahan pada kulit yang disebabkan
oleh pelebaran pembuluh darah di bawah kulit.
 Plak eritema: bercak eritema yang meninggi.
3. Likhenifikasi: pola yang terbentuk dari respon kutaneus akibat garukan dan gosokan
yang berulang dalam waktu cukup lama.
4. Hiperpigmentasi: kelainan kulit akibat adanya peningkatan deposisi melanin kutaneus
baik karena peningkatan sintesis melanin, peningkatan jumlah melanosit, atau
gangguan distribusi unit epidermal melanin ke keratinosit.
5. Central healing: proses penyembuhan yang berada di bagian tengah lesi, sedangkan
bagian tepi masih aktif.
6. Skuama: lapisan tanduk dari epidermis (stratum korneum) yang telah mati yang
menumpuk pada kulit yang dapat berkembang sebagai akibat perubahan inflamasi.
Pertanyaan
1. Apa diagnosis awal pada pasien?
Tinea kruris: dermatofitosis yang terletak pada lipatan paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Alasan:
1) Bercak merah dan gatal
2) Terletak di selangkangan
3) Berbatas tegas, bentuk beraturan, dan ukuran bervariasi
4) Terdapat central healing yang ditutupi skuama halus
5) Sudah kronik karena terdapat likhenifikasi yang hiperpigmentasi

2. Apa penyebab pada kasus ini?


Dermatofitosis: penyakit pada jaringan dengan zat tanduk (stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku) yang disebabkan oleh jamur dermatofita.
Jamur dermatofita: genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidemophyton.
3. Mengapa pasien mengalami gatal pada kasus ini?
Reaksi imunitas  pelepasan mediator-mediator kimiawi  gatal.
4. Mengapa kelainan pada kulit pasien timbul saat menstruasi atau menggunakan celana
berlapis?
Penggunaan pembalut atau celana berlapis menyebabkan daerah sekitar selangkangan
menjadi hangat dan lembab, sehingga jamur-jamur dermatofita mudah tumbuh.
5. Apa hubungan kelainan pada kulit pasien dengan bertambahnya berat badan?
Overweight  pakaian menjadi ketat; menghasilkan lebih banyak keringat karena
banyak membutuhkan energi untuk bergerak  selangkangan menjadi hangat dan
lembab.
6. Apa terapi yang dapat diberikan pada pasien?
Obat antifungi topikal atau sistemik.
7. Bagaimana pencegahan pada kasus ini?
 Menjaga kebersihan
 Tidak meminjamkan barang pribadi kepada orang lain (celana, handuk)
 Menjaga berat badan  hindari faktor risiko
 Tidak menggunakan pakaian yang ketat
 Rajin mengganti pembalut
8. Bagaimana cara memelihara kulit sesuai tuntunan Islam?
Menjaga kebersihan, berwudhu, menutup aurat.
1. ANATOMI MIKROSKOPIS KULIT

Gambar 1.1 Lapisan dan apendiks kulit (Mescher, 2013).

Kulit adalah organ tunggal yang berberat di tubuh, yang biasanya membentuk 15%
sampai 20% berat badan total dan pada orang dewasa, memiliki luas permukaan sebesar 1.5-2
m2 yang terpapar dengan dunia luar. Selain dikenal sebagai integumen (L. integumentum,
menutupi) atau lapisan kutaneus, kulit terdiri atas epidermis, yaitu lapisan epitel yang berasal
dari ektoderm, dan dermis, suatu lapisan jaringan ikat yang berasal dari mesoderm (Gambar
18–1). Taut dermis dan epidermis tidak teratur, dan tonjolan dermis yang disebut papila
saling mengunci dengan evaginasi epidermis yang disebut rigi epidermis untuk memperkuat
adhesi dari dua lapisan. Dibawah dermis terdapat jaringan subkutan / hipodermis (Yunani:
hypo, di bawah + derma, kulit), yaitu jaringan ikat longgar yang dapat mengandung bantalan
adiposit. Jaringan subkutan mengikat kulit secara longgar pada jaringan di bawahnya dan
sesuai dengan fasia superfisial pada anatomi makro.
1. Epidermis
Epidermis terutama terdiri atas epitel berlapis gepeng berkeratin yang disebut
keratinosit. Tiga jenis sel epidermis yang jumlahnya lebih sedikit juga ditemukan: melanosit,
sel Langerhans penyaji-antigen, dan sel taktil epitelial disebut sel Merkel (Gambar 1.2).
Epidermis menimbulkan perbedaan utama antara kulit tebal (Gambar 1.2a), yang terdapat
pada telapak tangan dan kaki, dengan kulit tipis (Gambar 1.3) yang terdapat pada bagian
tubuh lainnya. Pemakaian kata “tebal” dan “tipis” merujuk pada ketebalan lapisan epidermis,
yang bervariasi antara 75 sampai 150 μm untuk kulit tipis dan 400 sampai 1400 μm (1.4 mm)
untuk kulit tebal. Ketebalan total kulit (epidermis ditambah dermis) juga bervariasi menurut
tempatnya. Contohnya, kulit punggung memiliki tebal sekitar 4 mm, sedangkan pada kulit
kepala lebih kurang setebal 1.5 mm. Seperti semua epitel, epidermis skuamosa berlapis
kekurangan mikrovaskulatur, sel-sel menerima nutrisi dan O2 dengan difusi dari dermis.

Gambar 1.2 Lapisan (strata) epidermis pada kulit tebal (Mescher, 2013).

Gambar 1.3 Lapisan epidermis kulit kepala (Mescher, 2013).

Dari dermis ke atas, epidermis terdiri atas lima lapisan keratinosit, kelima lapisan di kulit
tebal:
 Lapisan basal (stratum basale) terdiri atas selapis sel kuboid atau kolumnar basofilik
yang terletak di atas membran basal pada perbatasan epidermis-dermis (Gambar 1.2
dan 1.3). Hemidesmosom, yang terdapat di plasmalema basal membantu mengikat
selsel ini pada lamina basal, dan desmosom mengikat selsel di lapisan ini bersama-
sama di permukaan atas dan lateralnya. Stratum basale ditandai dengan tingginya
aktivitas mitosis dan bertanggung jawab, bersama dengan bagian awal lapisan
berikutnya atas produksi sel-sel epidermis secara bersinambungan, sel progenitor
untuk semua lapisan epidermal. Meskipun sel punca untuk keratinosit ditemukan di
lapisan basal, lokus untuk sel tersebut juga ditemukan di tonjolan khusus selubung
folikel rambut yang bersambungan dengan epidermis. Epidermis manusia diperbarui
setiap 15-30 hari, bergantungan pada usia, bagian tubuh, dan faktor lain. Sebuah fitur
penting dari semua keratinosit di dalam basal stratum adalah keratin sitoskeletal,
filamen intermediat sekitar 10 nm diameter. Selama diferensiasi, sel-sel bergerak ke
atas dan jumlah serta jenis filamen keratin meningkat sampai mewakili setengah
protein total dalam keratinosit superfisial.

Gambar 1.4 Keratinosit stratum spinosum (Mescher, 2013).

 Lapisan spinosa (stratum spinosum), yang normalnya lapisan epidermis paling tebal,
terutama di epidermal ridges (Gambar 1.2 dan 1.3), dan terdiri atas sel-sel kuboid atau
agak gepeng dengan inti di tengah dengan nukleolus dan sitoplasma yang aktif
menyintesis filamen keratin. Tepat di atas lapisan basal, sejumlah sel masih
membelah dan zona kombinasi ini terkadang disebut stratum germinativum. Filamen
keratin membentuk berkas yang tampak secara mikroskopis, disebut tonofibril yang
berkonvergensi dan berakhir pada sejumlah desmosom yang mengubungkan sel
bersama-sama secara kuat untuk menghindari gesekan. Stioplasma ditarik ke dalam
juluran sel pendek di sekitar tonofibril pada kedua sisi di setiap desmosom (dan
juluran tersebut memanjang jika sel mengerut sedikit ketika mengalami proses
histologis), yang menimbulkan tampilan spina atau duri kecil di permukaan sel
(Gambar 1.4). Epidermis di area yang rentan mengalami gesekan dan tekanan secara
kontinu (seperti telapak kaki) memiliki stratum spinosum yang lebih tebal dengan
lebih banyak tonofibril dan desmosom.
 Lapisan granular (stratum granulosum) terdiri atas tiga sampai lima lapisan sel
poligonal gepeng, sekarang terlihat proses diferensiasi terminal dari keratinisasi.
Sitoplasmanya berisikan massa basofilik intens (Gambar 1.2 dan 1.3; Gambar 1.5)
yang disebut granul keratohialin. Ini adalah padat, tidak berikatan dengan membran
dan terdiri atas massa filaggrin dan protein lain yang berhubungan dengan keratin
tonofibril, yang menghubungkannya dengan struktur sitoplasma besar. Fitur
ultrakstrutual karakteristik dalam sel dari lapisan granular adalah membran, Golgi
diturunkan granul lamela, bulat telur kecil (100 oleh 300 nm) yang mengandung
banyak lamel yang dibentuk oleh berbagai lipid. Di antara aktivitas terakhir dari
keratinosit, granul lamela menjalani eksositosis, menghasilkan kaya lipid, lapisan
impermeabel sekitar sel. Bahan ini membentuk bagian utama dari penghalang kulit
terhadap hilangnya cairan.

Gambar 1.5 Stratum granulosum lucidum: kulit tebal (Mescher, 2013).

 Stratum lusidum, hanya dijumpai pada kulit tebal, dan terdiri atas lapisan tipis, lapisan
translusen dari keratinosit eosinofilik gepeng yang disatukan oleh desmosom (Gambar
1.1 dan 1.5). Organel dan inti telah menghilang dan sitoplasma hampir sepenuhnya
terdiri atas filamen keratin padat yang berhimpitan dalam matriks padat-elektron.
Desmosom masih tampak di antara sel-sel yang bersebelahan.
 Stratum korneum (Gambar 1.2 dan 1.3) terdiri atas 15-20 lapis sel gepeng berkeratin
tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi keratin filamentosa birefribgen. Filamen
keratin sekurang-kurangnya mengandung enam macam polipeptida dengan massa
molekul antara 40 sampai 70 kDa. Komposisi tonofilamen berubah sewaktu sel
epidermis berdiferensiasi dan ketika massa tonofibril bertambah dengan protein lain
dari granula keratohialin. Setelah mengalami keratinisasi, sel-sel hanya terdiri atas
protein amorf dan fibrilar dan membran plasma yang menebal dan disebut sisik atau
sel bertanduk. Sepenuhnya sel keratin atau sel tanduk (cornified) ini disebut skuama
secara kontinu pada permukaan epidermal sebagai desmosom dan pelindung sel kaya
lipid pecah.

2. Dermis

Gambar 1.6 Serat elastin dermis (Mescher, 2013).

Dermis adalah lapisan jaringan ikat (Gambar 1.1 dan 1.2) yang menunjang epidermis
dan mengikatnya pada jaringan subkutan (hipodermis). Ketebalan dermis bervariasi,
bergantung pada daerah tubuh, dan mencapai tebal maksimum 4 mm di daerah punggung.
Permukaan dermis sangat iregular dan memiliki banyak tonjolan (papilla dermis) yang saling
mengunci dengan juluran-juluran epidermis (rabung epidermis) (lihat Gambar 1.1), terutama
di kulit yang sering mengalami tekanan, tempat papila ini menguatkan tautan dermis-
epidermis.
Membran basal selalu dijumpai antara stratum basale dan lapisan papilar dermis, dan
mengikuti kontur interdigitas antara kedua lapisan tersebut. Membran ini adalah struktur
majemuk yang terdiri atas lamina basal dan lamina retikular, dan biasanya dapat terlihat
dengan mikroskop cahaya. Nutrien untuk keratinosit harus berdifusi ke dalam epidermis yang
avaskular dari vaskular dermis melalui membran basal tersebut.

3. Lapisan Subkutan
Lapisan subkutan (Gambar 1.1) terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit
secara longgar pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser di atasnya.
Lapisan tersebut, yang juga disebut hipodermis atau fascia superficialis, mengandung adiposit
yang jumlahnya bervariasi sesuai daerah tubuh dan ukuran yang bervariasi sesuai dengan
status gizi. Suplai vaskular yang luas di lapisan subkutan meningkatkan ambilan insulin dan
obat yang disuntikan ke dalam jaringan ini secara cepat.

Tabel 1.1 Lapisan kulit dan lapisan subkutan (Mescher, 2013).


4. Rambut

Gambar 1.7 Rambut (Mescher, 2013).

Rambut adalah struktur berkeratin panjang yang berasal dari invaginasi epitel
epidermis yang disebut folikel rambut (Gambar 18.2). Warna, ukuran, dan tekstur rambut
bervariasi sesuai umur, latar belakang genetik dan bagian tubuh. Semua kulit paling tidak
memiliki rambut kecuali di telapak tangan, telapak kaki, bibir, glans penis, klitoris, dan labia
minora. Bagian muka memiliki sekitar 600 rambut/cm2, sedangkan bagian tubuh yang lain
memiliki rambut lebih kurang 60/cm2. Rambut tidak tumbuh terus-menerus dan memiliki
masa pertumbuhan yang diikuti oleh masa istirahat. Pertumbuhan ini tidak berlangsung
secara sinkron di semua bagian tubuh atau bahkan di daerah yang sama.
Pertumbuhan folikel rambut memiliki pelebaran di distal yang disebut bulbus rambut.
Suatu papilla dermis menyelip ke dalam dasar bulbus rambut dan mengandung jalinan kapiler
yang diperlukan untuk kelangsungan hidup folikel rambut. Keratinosit kontinu dengan dari
epidermis basal menutupi papilla dermal. Sel-sel ini membentuk matriks akar rambut
memanjang; bagian dari rambut memperluas luar permukaan kulit batang rambut.
Sel epitel (keratinosit) yang menyusun bulbus tersebut serupa dengan sel epitel pada
lapisan basal dan spinosa epidermis. Sel-sel ini membelah secara kontinu dan lalu mengalami
keratinisasi, yang berdiferensiasi menjadi tipe sel spesifik. Melanosit di bulbus rambut
mentransfer granul melanin ke dalam sel epitel yang kemudian akan berdiferensiasi
membentuk rambut. Berbeda dengan epidermis di mana semua keratinosit menimbulkan
stratum korneum, sel-sel di akar rambut matriks membedakan dengan jumlah bervariasi dan
tipe keratin. Keratin rambut lebih sulit dan lebih kompak dibandingkan dengan stratum
korneum, mempertahankan strukturnya sebagai batang rambut lebih lama.
Dalam kebanyakan rambut tebal sel besar, bervakuola, dan cukup keratin yang akan
membentuk medula pusat akar rambut. Berkeratin banyak, yang akan membentuk korteks
sekitar medula. Sel-sel yang paling perifer dari akar rambut menghasilkan kutikula, lapisan
tipis berat keratin, sel skuamosa meliputi korteks. Sel-sel terluar bersambung dengan sarung
akar pitelial, dengan dua lapisan yang dapat dikenali. Sarung akar rambut dalam sepenuhnya
mengelilingi bagian awal batang rambut tetapi berdegenerasi di atas kelenjar sebasea. Sarung
akar rambut luar melapisi sarung dalam dan meluas ke epidermis, di mana sarung ini
bersambungan dengan lapisan basal dan spinosa. Yang memisahkan folikel rambut dari
dermis adalah lapisan hialin nonselular, yaitu membrane basal tebal yang disebut membran
kaca (glassy membrane). Dermis sekitarnya membentuk selubung jaringan ikat.

5. Kuku
Suatu proses keratinisasi serupa menghasilkan kuku, yang merupakan lempeng
keratin yang keras dan fleksibel pada permukaan dorsal setiap falang distal (Gambar 1.8).
Bagian proksimal kuku adalah akar kuku dan dilapisi oleh lipatan kulit, di mana stratum
corneum epidermal meluas sebagai kutikula atau eponikium. Lempeng kuku berkeratin
terikat pada bantalan epidermis yang disebut bantalan kuku (nail bed), yang hanya memiliki
lapisan basal dan spinosa.
Lempeng kuku timbul dari matriks kuku, yang terjulur dari akar kuku. Sel-sel matriks
membelah, bergeser ke distal, dan mengalami keratinisasi, yang membentuk akar kuku. Akar
tersebut menjadi matang berupa lempeng kuku (Gambar 1.8). Dengan pertumbuhan kontinu
di matriks yang mendorong ke atas bantalan kuku (yang tidak ikut dalam pembentukan
lempeng) pada kecepatan sekitar 3mm/bulan untuk kuku jari tangan dan 1 mm/bulan untuk
kuku ibu jari kaki. Ujung distal lempeng menjadi bebas dari bantalan kuku yang disebut
hiponikum dan habis terkikis atau terpotong. Lempeng kuku yang hampir transparan dan
eptel tipis bantalan kuku merupakan "jendela" petunjuk yang berguna untuk mengetahui
jumlah oksigen dalam darah dengan melihat warna darah dalam pembuluh dermis.
Gambar 1.8 Kuku (Mescher, 2013).
6. Kelenjar Kulit

Gambar 1.9 Kelenjar kulit (Mescher, 2013).

 Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea terbenam dalam dermis pada sebagian besar permukaan tubuh,
kecuali kulit tebal yang tidak berambut (glabrosa) di telapak tangan dan telapak kaki.
Terdapat sekitar 100 kelenjar per sentimeter persegi, tetapi jumlah ini bertambah menapai
400-900/cm2 di bagian muka dan kulit kepala. Kelenjar sebasea merupakan kelenjar asinar
bercabang dengan sejumlah asini yang bermuara ke dalam saluran pendek dan biasanya
berakhir di bagian atas folikel rambut (Gambar 1.9). Sebuah folikel rambut dan kelenjar
sebasea yang terkait membuat unit pilosebaseus. Area folikel yang menonjol adalah lokus sel
punca yang membentuk sel-sel folikel dan matriks rambut, epidermis yang bersebelahan,
kelenjar sebasea terkait. Di area tak berambut tertentu, seperti penis, klitoris, kelopak mata,
dan puting, duktus sebasea terbuka langsung ke permukaan epidermis.
Asini terdiri atas lapisan basal sel-sel epitel gepeng tak berdiferensiasi yang terletak di
atas lamina basal. Sel-sel ini berproliferasi dan bergeser ke arah pertengahan asinus, yang
mengalami diferensiasi terminal berupa sebosit besar penghasil-lipid dengan sitoplasmanya
yang terisi dengan droplet lemak kecil (Gambar 1.10). Intinya berangsur mengkerut dan
mengalami autofagi di sepanjang organel lain dan di dekat duktus, sel-sel berpisah dan
melepaskan lipid melalui sekresi holokrin. Hasil proses tersebut adalah sebum, yang secara
berangsur berpindah ke permukaan kulit di sepanjang duktus atau folikel rambut.
Sebum merupakan suatu campuran lipid yang mencakup ester malam (wax), skualen,
kolestrol dan trigliserida yang dihidrolisis oleh enzim bakteri setelah disekresi. Sekresi dari
kelenjar sebasea sangat meningkat saat pubertas, yang terutama dirangsang oleh testosterone
pada pria dan oleh androgen ovarium dan adrenal pada wanita. Fungsi spesifik sebum
tampaknya membantu mempertahankan stratum corneum dan rambut, dan juga
memperlihatkan sifat antibakteri dan antijamur yang lemah pada permukaan kulit.
Gambar 1.10 Kelenjar sebasea (Mescher, 2013).

 Kelenjar keringat
Kelenjar keringat mengembangkan invaginasi epidermal yang tertanam dalam dermis.
Ada dua jenis kelenjar keringat, kelenjar keringat ekrin dan kelenjar keringat apokrin
memiliki perbedaan fungsi, distribusi, dan rincian struktur.
Kelenjar keringat ekrin (Gambar 1.9 dan 1.11a) terdistribusi luas di kulit dan paling
banyak pada telapak kaki (620/cm2). Secara kolektif, 3 juta kelenjar keringat ekrin pada rerata
seseorang setara dengan massa sebuah ginjal dan dapat menghasilkan sebanyak 10 liter/hari,
yaitu laju sekresi yang jauh melebihi laju sekresi kelenjar eksokrin lainnya. Keringat adalah
respons fisiologis terhadap peningkatan suhu tubuh selama aktivitas fisik atau stres termal
dan pada manusia, merupakan cara terefektif untuk pengaturan suhu. Kedua komponen
sekretori dan duktus kelenjar keringat ekrin bergelung dan memiliki lumen yang kecil.
Bagian sekretorik umumnya terpulas yang lebih pucat ketimbang duktus dan memiliki epitel
kuboid berlapis yang terdiri atas tiga tipe sel, yaitu sel jernih pucat, sel gelap penuh, dan Sel
mioepielial.
Duktus kelenjar keringat ekrin terdiri atas dua lapisan sel epitel yang lebih bersifat
asidofilik dan terisi dengan mitokondria dan memiliki membran yang kaya akan Na +, K+-
ATPase. Sel-sel duktus ini menyerap ion Na+ untuk mencegah kehilangan berlebih elektrolit
tersebut. Pada epidermis setiap saluran menyatu dengan basal stratum dan aliran keringat
terus di saluran spiral melalui lapisan lima epidermal ke pori keringat ekskretoris di
permukaan kulit (Gambar 1.2a dan 1.9). Setelah dilepaskan pada permukaan kulit, keringat
menguap dan mendinginkan kulit. Selain fungsi pendinginan yang penting, kelenjar keringat
juga berfungsi sebagai organ ekskretorik tambahan, yang menghilangkan sejumlah kecil
limbah nitrogen dan kelebihan garam.
Kelenjar keringat apokrin terutama terbatas pada kulit ketiak dan regio perineal.
Perkembangannya (tetapi bukan aktivitas fungsional) bergantung pada hormon kelamin dan
tidak tuntas hingga mencapai pubertas. Bagian sekretorik kelenjar keringat apokrin terdiri
atas selapis (Gambar 1.11) dan sel kuboid eosinofilik dengan sejumlah besar granula
sekretorik yang mengalami eksositosis. Jadi, kelenjar tersebuut mendapatkan nama yang
keliru: sel-sel tersebut memperlihatkan sekret merokrin dan bukan apokrin.
Duktus kelenjar apokrin yang mirip dengan kelenjar ekrin, tetapi biasanya terbuka ke
folikel rambut di epidermis (Gambar 1.9) dan mengandung produk kaya-protein. Sekret yang
agak kental awalnya tidak berbau, tetapi dapat memiliki bau yang khas akibat aktivitas
bakteri. Produksi feromon oleh kelenjar apokrin sangat jelas pada banyak mamlia dan
mungkin pada manusia, meskipun kapasitasnya sudah berkurang atau hampir hilang. Kelenjar
keringat apokrin disarafi oleh serabut saraf adrenergik, sedangkan kelenjar keringat ekrin
menerima serabut kolinergik (Mescher, 2013).

Gambar 1.11 Kelenjar keringat ekrin dan apokrin (Mescher, 2013).


2. FISIOLOGI KULIT
Reseptor Taktil
Reseptor taktil (sentuh) pada kulit adalah mekanoreseptor. Gaya mekanik stimulus
mengubah protein kanal kation nonspesifik di membran plasma reseptor, menyebabkan
masuknya Na+. hal ini menghasilkan potensial reseptor yang mencetuskan potensial aksi di
serabut aferen. Masukan sensorik dari reseptor ini menginformasikan SPP tentang adanya
kontak tubuh dengan benda di lingkungan eksternal. Reseptor taktil mencakup sebagai
berikut (Sherwood, 2018):

Gambar 2.1 Reseptor taktil di kulit (Sherwood, 2018).

 Reseptor rambut yang beradaptasi dengan cepat dan merasakan gerakan rambut dan
sentuhan yang sangat lembut, seperti menggerakan rambut yang ada di lengan dengan
gumpalan kapas.
 Diskus Merkel yang beradaptasi dengan lambat, mendeteksi sentuhan ringan yang
menetap serta tekstur, seperti membaca tulisan Braille.
 Korpuskel Pacini yang beradaptasi dengan cepat, berespons terhadap getaran dan
tekanan yang dalam.
 Ujung Ruffini yang beradaptasi dengan lambat, berespons terhadap tekanan dalam
yang menetap dan regangan kulit, seperti saat sedang dipijat.
 Korpuskel Meissner yang beradaptasi dengan cepat, peka terhadap sentuhan ringan
yang menggetarkan, seperti menggelitik dengan bulu.
3. DERMATOMIKOSIS
3.1 Definisi
Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa yang
disebabkan infeksi jamur (Harahap, 2000).

3.2. Klasifikasi
Dermatomiosis umumnya digolongkan menjadi 2 kelompok: mikosis subkutan dan
mikosis superfisial.
 Mikosis subkutan:
Kelainan yang terjadi akibat jamur yang menyerang jaringan di bawah kulit. Kelainan
ini relatif dijumpai. Beberapa diantaranya: misetoma, kromomikosis, zigomikosis
subkutan, sporotrikosis, dan rinosporidiosis.
 Mikosis superfisial:
Infeksi jamur yang mengenai jaringan mati pada kulit, kuku, dan rambut. Infeksi ini
juga dapat dibedakan menjadi dua. Pada mikosis superfisial, tidak terjadi reaksi
inflamasi atau terjadi inflamasi ringan seperti pada pitiriasis versikolor, folikulitis
Malassezia, piedra, dan tinea nigra; disebut juga sebagai kelompok non-
dermatofitosis. Pada mikosis kutan, meskipun jarang menyerang jaringan mati,
terjadi inflamasi yang diakibatkan oleh metabolit jamur yaitu pada kelompok
dermatofitosis. Mikosis superfisial banyak ditemukan di dunia, terutama di wilayah
tropis seperti Indonesia (Menaldi, 2021).
Selain kelainan-kelainan tersebut, penyakit jamur pada kulit dapat berupa manifestasi
diseminasi kulit dari infeksi jamur sistemik atau deep mycosis (Menaldi, 2021).

4. DERMATOFITOSIS
4.1 Definisi
Dermatifitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk yaitu
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur
dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum korneum dan menghasilkan
gejala melalui aktivasi respon imun. Nama lain dari dermatofitosis: tinea, ringworm, kurap,
teigne, dan herpes sirsinata (Menaldi, 2021).

4.2 Etiologi
Jamur yang menyebabkan dermatofitosis merupakan golongan jamur dermatofita.
termasuk kelas Fungi imperfecti yang terbagi dalam 3 genus: Microsporum, Trichophyton,
dan Epidemophyton. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin (keratolitik).
Selain itu terdapat sifat yang sama di antara dermatofita, seperti sifat fsaali, taksonomis,
antigenik, kebutuhan zat makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit.
Hingga saat ini, telah dikenal 41 spesies dermatofita: 2 spesies Epidermophyton, 17
spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton. Telah ditemukan juga bentuk sempurna
(perfect stage) pada dermatofita yang terbentuk dari dua koloni yang berlainan jenis
kelaminnya, sehingga dapat dimasukkan ke dalam famili Gymnoascacease. Dari beberapa
spesies dermatofita seperti genus Nannizzia dan Arthroderma dihubungkan dengan genus
Microsporum dan Trichophyton.
Untuk kepentingan klinis dan epidemiologis, dermatofita yang menginfeksi mansuai
dibagi berdasarkan tempat hidupnya yaitu geofilik untuk jamur yang berasal dari tanah
seperti M. Gypseum; golongan zoofilik dari hewan seperti M. Canis; antropofilik khusus
untuk jamur yang berasal dari manusia seperti T. rubrum (Menaldi, 2021).

4.3 Epidemiologi
Dermatofit adalah penyebab paling umum dari infeksi jamur di seluruh dunia. WHO
memperkirakan secara global prevalensi dermatofitosis mendekati 20%. Sebaran geografis
keberadaan dermatofitosis cukup luas, namun penyakit ini lebh banyak di daerah yang
beriklim subtropis dengan kondisi udara panas dan kelembaban yang tinggi. Di negara yang
beriklim subtropis atau dingin, kejadian dermatofitosis lebih sering.
Usia, jenis kelamin, dan ras merupakan faktor epidemiologi yang penting, dimana
prevalensi infeksi dermatofit pada laki-laki lima kali lebih banyak dari wanita. Namun
demikian tinea kapitis karena T. tonsurans lebih sering pada wanita dewasa dibandingkan
laki-laki dewasa, dan lebih sering terjadi pada anak-anak Afrika Amerika. Hal ini terjadi
karena adanya pengaruh kebersihan perorangan, lingkungan yang kumuh dan padat serta
status sosial ekonomi dalam penyebaran infeksinya.
Perpindahan manusia dapat dengan cepat memengaruhi penyebaran endemik dari
jamur. Pemakaian bahan-bahan material yang sifatnya oklusif, adanya trauma, dan
pemanasan dapat meningkatkan temperatur dan kelembaban kulit meningkatkan kejadian
infeksi tinea. Alas kaki yang tertutup, berjalan, adanya tekanan temperatur, kebiasaan
penggunaan pelembab, dan kaos kaki yang berkeringat meningkatkan kejadian tinea pedis
dan onikomikosis.

4.4 Klasifikasi
Terdapat berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis, bergantung pada spesies
penyebab, ukuran inokulum jamur, bagian tubuh yang terkena, dan sistem imun hospes.
Untuk kemudahan diagnosis dan tata laksana, maka dermatofitosis dibagi ke dalam beberapa
bentuk:
 Tinea kapitis: pada kulit dan rambut kepala
 Tinea barbe: pada dagu dan jenggot
 Tinea kruris: pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong, dan kadang-
kadang sampai perut bagian bawah
 Tinea pedis et manum: pada kaki dan tangan
 Tinea unguium: pada kuku jari tangan dan kaki
 Tinea korporis: pada kulit glabrosa, pada bagian lain yang tidak termasuk ke
dalam 5 bentuk tinea di atas.
Selain itu, bentuk tinea masih dikenal dengan istilah yang mempunyai arti khusus;
dapat dianggap sebagai tinea korporis:
 Tinea imprikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris dan
disebabkan oleh Trichophyton concentricum.
 Tinea favosa atau favus: dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
Trichophyton schoenleini; secara klinis antara lain terbentuk skutula dan bau
seperti tikus (mousy odor)
 Tinea fasialis dan tinea aksilaris yang juga menunjukkan daerah kelainan
 Tinea sirsinata dan tinea arkuata yang merupakan penamaan deskriptif
morgfologis.
Selain itu dikenal istilah tinea inkognito: dermatofitosis dengan bentuk klinis tidak
khas karena telah diobati dengan steroit topikal kuat (Menaldi, 2021).
4.5 Patofisiologi

Dermatofita merupakan jamur keratinofilik yang normalnya ditemukan pada jaringan


keratinisasi yang sudah mati, seperti pada stratum korneum, sekitar rambut, dan di lapisan
kuku atau pangkal kuku. Gejala klinis dari infeksi dermatofita menunjukkan hasil kerja
kombinasi antara jaringan dan respon imun. Jaringan yang rusak itu menunjukkan kelainan
mekanis dan aktivitas enzimatis. Dermatofita memproduksi keratinolitik proteinase yang
efektif pada pH asam dan enzim ini berperan dalam faktor virulensinya.
Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya di dalam jaringan
keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke dalam jaringan
epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhan jamur dengan pola radial di
dalam stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit sirsinar dengan batas yang jelas
dan meninggi yang disebut ringworm. Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus
dapat mengatasi pertahanan tubuh nonspesifik dan spesifik.
Pada waktu menginvasi penjamu, jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada
kulit dan mukosa penjamu, serta kemampuan untuk menembus jaringan penjamu.
Selanjutnya, jamur harus mampu bertahan di dalam lingkungan penjamu dan dapat
menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia penjamu untuk dapat berkembang biak
dan menimbulkan reaksi radang. Dari berbagai kemampuan tersebut, kemampuan jamur
untuk menyesuaikan diri, dan kemampuan mengatasi pertahanan selular, merupakan dua
mekanisme terpenting dalam patogenesis penyakit jamur.
Mekanisme imun nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama penjamu melawan
infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi oleh faktor umum seperti gizi, keadaan
hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi
permukaan, dan repon radang. Produksi keringat dari sekresi kelenjar merupakan pertahanan
spesifik, termasuk asam laktat yang mempunyai pengaruh langsung terhadap penekanan
jamur, dan menyebabkan pH yang rendah untuk menambah potensi anti jamur.
Sekresi yang lain seperti lisozim dalam air mata dan saliva juga mempunyai efek anti
jamur. Perubahan dalam lingkungan mukosa, seperti meningkatnya kadar glukosa, akan
menguntungkan bagi Candida. Terdapat dua unsur reaksi radang, yaitu pertama, produksi
sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme.
Komponen kimia ini antara lain ialah Lisozim, Sitokin, Interferon, Komplemen, dan Protein
Fase Akut.
Unsur kedua merupakan elemen selular seperti netrofil dan makrofag, dengan fungsi
utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam
respon imun yang spesifik. Sel–sel lainn yang termasuk respon radang nonspesifik ialah
basofil, sel mast, eosinofil, trombosit, dan sel NK (Natural Killer). Neutrofil mempunyai
peranan utama dalam pertahanan melawan infeksi jamur.

4.6 Manifestasi Klinis


Tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut mempunyai morfologi
khas. Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas bermacam-macam
efloresensi kulit (polimorprh). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas terlihat tanda-tanda
peradangan) dibandingkan pada bagian tengah sehingga kepustakaan lama menyebutnya
sebagai eczema marginatum yang mencerminkan deskripsi klinis lesi dermatofitosis.
Gambaran klinis dermatofitosis yang bervariasi tidak hanya bergantung pada spesies
penyebab dan sistem imun hospes, namun juga karena adanya keterlibatan folikel rambut.
Bergantung pada berat-ringannya, reaksi inflamasi dapat dilihat pada berbagai macam lesi
kulit.
Berikut adalah bentuk-bentuk klinis yang sering dilihat sesuai dengan lokasinya.
a. Tinea pedis (Athlete’s foot, ringworm of the foot, kutu air)
Merupakan dermatofitosis pada kaki, terutsm pada sela-sela jari dan telapak kaki.
1. Tinea pedis yang tersering dijumpai adalah bentuk interdigitalis. Di antara jari IV
dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat
meluas ke bawah jari (subdigital) dan ke sela jari yang lain. Sering terlihat
maserasi karena daerahnya yang lembab. Maserasi memiliki aspek klinis berpa
kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit mati ini dibersihkan, maka akan terlihat
kulit baru yang umumnya juga telah diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat
bertahan bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan
sama sekali. Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga
terjadi selulitis, limfangitis, limfademitis, dan erisipelas, yang disertai gejalan-
gejala umum.
2. Bentuk lainnya disebut sebagai moccasin foot: kulit menebal dan bersisik dari
telapak, tepi sampai punggung kaki. Biasanya eritema ringan dan utamanya
terlihat pada bagian tepi lesi, bersifat kronik, dan sering resisten pada pengobatan.
Di bagian tepi lesi dapat terlihat papul dan kadang-kadang vesikel.
3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesikel-pustul dan kadang-kadang bula.
Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari kemudian meluas ke punggung atau
telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kenal. Setelah pecah, vesikel
tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret.
Infeksi sekunder oleh bakteri dapat terjadi juga pada bentuk ini. Jamur terdapat
pada bagian atap vesikel.
Tinea pedis banyak terlihat pada orang yang dalam kehidupan sehari-hari
bersepatu tertutup disertai perawatan kaki yang buruk, dan para pekerja dengan kaki yang
selalu/sering basah. Penderita biasanya merupakan orang dewasa.
Tinea manum adalah dermatofitosis pada tangan. Klinis berbentuk hiperkeratosis
dan penebalan lipat. Semua bentuk kelainan di kaki dapat terjadi pula pada tangan.
b. Tinea unguium (dermatophytic onychomycosis, ringworm of the nail)
Kelainan kuku yang disebabkan oleh jamur dermatofita. Terdapat bentuk-bentuk
klinis:
1. Bentuk subungual distalis
Bentuk ini dimulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Proses menjalar
ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. Bila proses
brjalan terus, maka permukaan kuku bagian distal akan hancur dan yang terlihat
hanya kuku rapuh yang menyerupai kapur.
2. Leukonikia trikofita / Leukonikia mikotika
Kelainan kuku pada bentuk ini merupakan leukonikia atau keputihan di
permukaan kuku yang dapat dikerok untuk dibuktikan adanya elemen jamur;
berhubungan dengan Trichophyton mentagrophytes sebagai penyebabnya.
3. Bentuk subungual proksimalis
Bentuk ini dimulai dari pangkal kuku bagian proksimal dan membentuk
gambaran klinis yang khas yaitu kuku di bagian distal masih utuh, sedangkan
bagian proksimal rusak. Biasanya penderita mempunyai dermatofitosis di tempat
lain yang sudah sembuh atau yang belum. Kuku kaki lebih sering terserang
daripada kuku tangan.
c. Tinea kruris (eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, ringworm of the groin)
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar
anus. Kelainan ini bersifat akut atau menahun, bahkan dapat menjadi penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genitokrural saja atau
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh
lain.
Kelainan yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan
pada tepi lebih nyata daripada tengahnya. Efloresensi terdiri atas bermacam-macam
bentuk primer dan sekunder (polimorph). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat
berupa bercak hitam (hiperpigmentasi) disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan
biasanya akibat garukan. Tinea kruris merupaakn salah satu bentuk klinis yang sering di
Indonesia.
d. Tinea korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, kurap, herpes sircine
trichophytique)
Merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin).
1. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang dengan vesikel dan papul di tepi.
Daerah tengahnya biasanya lebih tenang (central healing). Kadang terlihat erosi
dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya bercak-bercak terpisah antar
satu dengan yang lainnya. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi
dengan pinggir yang polisiklik karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Bentuk dengan tanda radang yang lebih nyata, lebih sering terlihat pada anak-anak
karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali.
2. Pada tinea korporis menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi.
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan
kelainan pada sela paha, sehingga disebut sebagai tinea korporis et kruris. Bentuk
menahun yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-
sama dengan tinea unguium.
3. Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum
disebut dengan tinea imbrikata. Penyakit ini terdapat di berbagai daerah tertentu di
Indonesia seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Aru dan Kei, dan
Sulawesi Tengah. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul coklat yang
perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari
dasarnya dan melebar. Setelah beberapa waktu, proses ini mulai kembali dari
bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama konsentris. Bila
dengan jari tangan kita meraba dari bagian tengah ke arah luar, maka akan terasa
jelas skuama yang menghadap ke dalam. Lingkaran-lingkaran skuama konsentris
bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran-lingkaran di sebelahnya
sehingga membentuk pinggiran yang polisiklik. Pada permulaan infeksi, penderita
dapat merasa gatal, akan tetapi kelainan yang menahun tidak menimbulkan
keluhan pada penderita. Pada kasus menahun, lesi kulit kadang dapat menyerupai
iktiosis. Kulit kepala penderita dapat terserang, akan tetapi rambut biasanya tidak.
4. Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah tinea favosa
atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik kecil di bawah
kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi krusta berbentuk
cawan (skutula) dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya ditembus oleh
satu/dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang cekung merah dan
membasah. Rambut kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya terlepas. Bila tidak
diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala dan meninggalkan parut dan botak.
Berlainan dengan tinea korporis, favus tidak menyembuh pada usia remaja.
Biasanya dapat tercium bau tikus (mousy odor). Kadang-kadang penyakit ini
menyerupai dermatitis seborotika. Tinea favosa pada kulit dapat dilihat sebagai
kelainan kulit papulovesikel dan papuloskuamosa, disertai kelainan kulit
berbentuk cawan khas yang kemudian menjadi jaringan parut. Favus pada kuku
tidak dapat dibedakan dengan tinea unguium pada umumnya, yang disebabkan
oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga spesies yang dapat menyebabkan favus
yaitu T. schoenleini, T. violaceum, dan M. gypseum. Berat klinis ringan banyak
dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur dan ketahanan penderita sendiri.
e. Tinea kapitis (ringworm of the scalp)
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh spesies
dermatofita. Kelainan ini dapat ditandai dengan lesi bersisik, kemerah-merahan, alopesia,
dan kadang-kadang terjadi gambaran klinis yang berat yang disebut kerion.
1. Gray patch ringworm merupakan tinea kapitis yang biasanya disebabkan oleh
genus Microsporum dan sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan
papul merah kecil di sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak
yang menjadi pucat dan bersisik. Keluhan penderita adalah merasa gatal. Warna
rambut menjadi abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas
dari akarnya sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua
rambut di daerah tersebut terserang oleh jamur sehingga terbentuk alopesia
setempat yang telihat sebagai grey patch. Grey patch yang dilihat di dalam klinik
tidak menunjukkan batas-batas daerah sakit dengan pasti. Pada pemeriksaan
lampu Wood dapat dilihat fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut sakit
yang melampaui batas-batas grey patch. Pada kasus-kasus tanpa keluhan,
pemeriksaan dengan lambu Wood banyak membantu diagnosis. Tinea kapitis
yang disebabkan oleh Microsporum audouini biasanya disertai tanda peradangan
ringan, hanya sekali-kali berbentuk kerion.
2. Kerion adalah reaksi peradangan yang memberat pada tinea kapitis berupa
pembengakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang yang
padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan Microsporum
gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering terlihat, agak kurang bila
disebabkan oleh Trichophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila penyebabnya
Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut dan
berakipat pada alopesia menetap. Jaringan parut yang menonjol kadang-kadang
dapat terbentuk.
3. Black dot ringworm terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan
Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinis menyerupai
kelainan yang disebabkan Microsporum. Rambut yang terkena infeksi patah, tepat
pada ,uara folikel, dan yang tertinggal adalah ujung rambut yang hitam di dalam
folikel rambut memberikan gambaran khas yaitu black dot. Ujung rambut yang
patah, nila tumbuh kadang-kadang masuk ke bawah permukaan kulit.
4.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
 Diagnosis
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain seperti
histopatologik, percobaan binatang, dan imunologi tidak diperlukan.
Pada pemeriksaan mikrobiologi, untuk mendapatkan jamur, diperlukan bahan klinis
yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan untuk pemeriksaan mikologi
diambil dan dikumpulkan sebagai berikut: tempat kelainan dibersihkan terlbih dahulu dengan
spirtus 70%, kemudian untuk:
1. Kulit tidak berambut (glabrous skin)
Dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit,
dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril lalu dikumpulkan pada gelas obyek.
2. Kulit berambut
Rambut pada daerah kulit yang mengalami kelainan dicabut, kemudian kulit dikerok
untuk mengumpulkan sisik kulit. Pemeriksaan dengan lampu Wood dilakukan
sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terkena
infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus-kasus tinea kapitis
tertentu.
3. Kuku
Bahan diambil dari bagian kuku yang sakit dan diambil dengan cara dipotong atau
dikerok sedalam-dalamnya hingga mengenai seluruh bagian tebal kuku. Bahan di
bawah kuku juga diambil. Pada leukonikia, cukup kerok permukaan kuku yang sakit.
Pemeriksaan langsung sediaan bash dilakukan dengan mikroskop, mulai-mulai
dengan pembesar 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Biasanya tidak diperlukan
pembesaran 10x100.
Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas kemudian ditambah
1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10%,
sedangkan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan KOH, ditunggu 15-
20 menit untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepatn proses pelarutan, dapat dilakukan
pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pemanasan sudah cukup bila uap mulai keluar dari
sediaan tersebut. Teknik lainnya yaitu dengan penambahan dimetil sulfoksida (DMSO) 40%
pada KOH akan mempercepat penjernihan tanpa pemanasan. Untuk melihat elemen jamur
lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH seperti tinta Parker superchrome
blue black.
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, dengan tampakan dua garis
sejajar yang terbagi oleh sekat dan bercabang, maupun spora berderet (artospora) pada
kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati. Pada sediaan rambut yang dilihat adalah spora
kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat tersusun di luar rambut (endotriks).
Kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.
Pembiakan dapat dilakukan pada medium agar dekstrosa Sabouraud (SDA), lalu
ditambahkan kloramfenikol dan sikloheksimid untuk menghindari kontaminasi bakteri
maupun jamur kontaminan. Selain itu dapat pula digunakan Dermatophyte Test Medium
(DTM) yang bila ditumbuhi dermatofita akan berubah warna akibat pengaruh metabolitnya
(Menaldi, 2021).
 Diagnosis Banding
Tinea pedis et manum harus dibedakan dengan dermatitis yang batasnya tidak jelas,
bagian tepi lebih aktif daripada bagian tengah, bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian
tengah. Efek samping obat topikal juga dapat meberi gambaran serupa dengan eksim atau
dermatitis, sehingga perlu dipikirkan adanya dermatitis kontak. Pada hiperhidrosis terlihat
kulit mengelupas atau maserasi. Bila hanya terlihat vesikel-vesikel, biasanya terletak sangat
dalam dan terbatas pada telapak kaki dan tangan. Kelainan tidak meluas sampai di sela-sela
jari.
Sifilis II dapat berupa kelainan kulit di telapak tangan dan kaki. Lesi yang merah dan
basah dapat merupakan petunjuk. Kemudian juga terdapat tanda-tanda sifilis yang lain. Tinea
unguium yang disebabkan oleh bermacam-macam dermatofita memberikan gambaran akhir
yang sama berupa kuku distrofik.
Lekukan-lekukan pada kuku (nail pits) yang terlihat pada psoriasis tidak didapati pada
tinea unguium. Lesi-lesi psoariasis pada bagian tubuh lain dapat membantu dalam
membedakan dengan tinea unguium. Banyak penyakit kulit yang menyerang bagian dorsal
jari-jari tangn dan kaki yang dapat menyebabkan kelainan yang berakhir dengan distrofi kuku
seperti paronikia, dermatitis, dan akrodermatitis persistans.
Meskipun tidak begitu sulit, terdapat beberapa penyakit kulit yang dapat mengganggu
diagnosis tinea korporis seperti dermatitis seboroika, psoriasis dan pitiriasis rosea. Kelainan
kulit oleh dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat
pada tempat-temapt predileksi seperti scalp kulit kepala, lipatan-lipatan kulit seperti belakang
telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.
Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi yaitu daerah
ekstensor seperti lutut, siku, dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena.
Lekukan-lekukan pada kuku dapat membantu menegakkan diagnosis. Pitiriasis rosea sukar
dibedakan dengan tinea korporis bila tidak ada herald patch. Tinea korporis kadang sukar
dibedakan dengan dermatitis seboroika pada sela paha. Lesi-lesi di tempat-tempat predileksi
sangat menolong menentukan diagnosis.
Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi-lesi pada psoriasis
biasanya lebih merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi psoriasis pad tempat
lain dapat membantu menentukan diagnosis. Kandidosis pada daerah lipat paha mempunyai
konfigurasi hen and chicken. Kelainan ini biasanya basah dan berkusta, pada wanita, ada-
tidaknya fluor albus dapat membantu. Pada penderita DM, kandidosis merupakan penyakit
yang sering dijumpai.
Eritasma merupakan penyakit yang tersering berlokasi di sela paha. Efloresensi yang
sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas penyakit ini.
Pemeriksaan lampu Wood dapat menolong dengan adanya flouoresensi merah (coral red).
Tinea barbe kadang sukar dibedakan dengan sikosis barbe yang disebabkan oleh
piokokus. Pemeriksaan sediaan langsung dapat membedakan kedua penyakit ini.
Berbagai kelainan pada kulit kepala berambut harus dibedakan dengan tinea kapitis.
Pada alopesia areata, ambut di bagian pinggir kelainan mula-mula mudah dicabut, tapi tidak
tampak pangkal yang patah. Pada kelainan ini juga terdapat skuama. Bercak-bercak seboroika
pada kulit kepala dan rambut kadang dapat mebingungkan. Dermatitis seboroika biasanya
mempunyai lesi-lesi kulit yang distirbusinya simetris. Psoriasis pada kulit kepala berambut
biasanya disertai kelainan-kelainan di tempat lain yang memberi pengarahan diagnosis yang
baik.
Impetigo yang menyertai pedikulosis kapitis menimbulkan kelainan yang kotor dan
berkusta tanpa rambut yang putus. Kerion kadang-kadang suka dibedakan dengan karbnukel,
walaupun tidak begitu nyeri. Pada trikotilomania, rambut putus tidak tepat pada kulit kepala,
daerah kelainan tidak pernah botak seluruhnya dan batas kelainan tidak tegas. Pada orang
dewasa, lupus eritromatosus dan bentuk-bentuk lain alopesia yang menimbulkan sikatriks
(Pseudopelade Brocq) memerlukan pemeriksaan lebih lengkap untuk membedakannya
dengan favus (Menaldi, 2021).

4.8 Tata Laksana


Tujuan pengobatan meliputi:
a. Menyembuhkan penyakit, yaitu hilangnya gejala klinis dan hasil pemeriksaan
mikologi negatif
b. Mencegah perkembangan penyakit menjadi kronik
c. Mencegah kekambuhan.
Strategi pengobatan meliputi:
a. Diagnosis yang tepat
b. Menghilangkan atau mencegah faktor-faktor predisposisi: kelembaban akibat keringat
atau lingkungan panas, iritasi oleh pakaian, orang sakit yang berbaring lama, friksi
lipatan kulit pada orang gemuk, imnitas rendah akibat penyakit (seperti DM) atau
akibat pengobatan (kortikosteroid, sitostatik)
c. Penentuan obat dilakukan dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan, daerah
yang terkena yakni lokasi dan luas lesi, stadium penyakit (akut, subakut, kronik),
jamur penyebab, serta pertimbangan pemberian obat oral, topikal atau kombinasi
d. Menghilangkan sumber penularan baik dari manusia, hewan, tanah maupun benda di
sekeliling yang mengandung elemen jamur. Spora dermatofit dapat bertahan hidup
dalam skauam untuk waktu yang lama
e. Mengoptimalkan kepatuhan pasien dengan menerangkan perjalanan penyakitnya,
pemilihan obat yang tepat yang dapat diterma pasien
f. Mengefektifkan cara penggunaan obat:
a) Bersihkan lesi kulit dengan air dan sabun lunak terutama di daerah berkusta dan
berskuama, lalu keringkan
b) Oleskan obat 1 lapis tipis menutupi lesi dan kurang-lebih 1 inci dke arah luar
lesi.
c) Oleskan obat 2x sehari, pagi dan malam. Kecuali pada beberapa jenis obat
cukup diberikan sekali sehari.
Obat-obat sistemik dan topikal yang dapat digunakan:
1. Sistemik
a. Griseofulvin: bersifat fungistatik dan hanya bekerja terhadap dermatofita. Dosis
0,5-1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak-anak sehari, atau
10-25 mg/kgBB, dosis tunggal atau terbagi dan absorpsi meningkat bila diberikan
bersama makanan berlemak. Sediaan microsize 500 mg setara dengan
ultramicrosize 333 mg. lama pengobatan bergantung pada lokasi, penyebab, dan
keadaan imunitas. Obat diberikan sampai gejala klinis membaik, biasanya kurang
lebih 1 bulan. Efek samping biasanya ringan, misalnya sakit kepala, mual atau
diare, dan reaksi fotosensitivitas pada kulit. Kontraindikasi griseofulvin adalah
kehamilan, hipersensitif terhadap griseofulvin, porfiria, dan kegagalan
hepatoselular. Hati-hati bila digunakan bersamaan dengan warfarin dan
fenobarbital.
b. Golongan azol
Ketokonazol efektif untuk dermatofitosis. Pada kasus-kasus resisten terhadap
griseofulvin, obat ini dapat diberikan 200 mg/hari selama 3-4 minggu pada pagi
hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan
kelainan hati karena bersifat hepatotoksik bila digunakan > 10 hari.
Itrakonazol merupakan derivat triazol yang bersprektum aktivitas in vitro luas dan
bersifat fungistatik. Dosis 100 mg/hari selama 2 minggu atau 200 mg per hari
selama 1 minggu berhasil memberi hasil baik pada tinea glabrosa.
Hepatotoksisitas lebih jarang terjadi dibandingkan ketokonazol. Itrakonazol
digunakan untuk terapi denyut (pulse dose) pada tinea unguium dengan dosis 400
mg/hari selama seminggu tiap 2-3 bulan.
c. Derivat alilamin
Terbinafin digunakan per oral, efektif untuk dermatofitosis, dan bersifat fungisidal
tetapi tidak efektif untuk kandida. Dosis dewasa umumnya 250 mg/hari dengan
lama pengobatan tergantung pada jenis kelainan. Obat ini relatif tidak
hepatotoksik, efek samping umumnya berupa gangguan gastrointestinal.
2. Topikal
Pemilihan obat banyak ragamnya, perlu diterapkan cara pengobatan yang efektif
dengan menggunakan vehikulum (zat inaktif dalam sediaan topikal sebagai pembawa
obat/zat aktif agar dapat berkontak dengan kulit) yang sesuai.
a. Obat-obat klasik yang telah digunakan sebelum tahun 1960-an bersifat keratolitik
dan antimikotik lemah, misalnya salap Whitfield, asam salisilat 2-4%, asam
benzoat 6-12%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5%, dan zat warna (hijau brilian
1% dalam cat Castellani), tolnaftat 2%, tolsiklat 1%, kliokuinol 1%, dan
haloprogin 1%. Penggunaan obat ini umumnya 2-3x/hari selama 5 minggu.
b. Golongan azol
Besifat fungistatik dan mempunyai spektrum luas, tidak hanya terhadap
dermatofita. Yang termasuk golongan ini antara lain klotrimazol, mikonazol,
oksikonazol, ekonazol, sulkonazol, isokonazol, tlokonazol, bifonazol, dan
ketokonazol.
c. Siklopiroksolamin
Merupakan derivat piridon yang mempunyai spektrum antijamur luas.
d. Alilamin
Derivat alilamin bersifat fungisidal dengan aktivitas tinggi terhadap dermatofita
tetapi tidak efektif untuk kandida. Naftifin digunakan secara topikal sekali tiap
hari, memiliki efek antiinflamasi selain antijamur. Terbinafin mempunyai efek
fungisidal lebih besar sehingga cukup digunakan 1 minggu pada tinea glabrosa,
tetapi tidak memiliki efek antiinflamasi.
e. Terdapat juga butenafin (derivat benzilamin) yang memiliki struktur kimia dan
cara kerja seperti aliamin dan efek fungisidal serupa terbinafin.
3. Dianjurkan pula tindakan pemotongan rambut pada tinea kapitis.

Di Amerika Serikat, pengobatan standar untuk tinea kapitis adalah griseofulvin,


sedangkan golongan tiazol dan alilamin menunjukan keamanan, efikasi dan manfaat lebih
karena penggunaannya membutuhkan waktu yang singkat. Sejak 2007, terbinafin juga
direkomendasi pada anak > 4 tahun, khususnya disebabkan oleh T. tonsurans. Terbinafin
yang bersifat fungisidal dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin, namun memiliki efek
samping pada gastrointestinal.
Obat oral yang efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang bersifat
fungistatik. Ketokonazol dapat diberikan pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin.
Sebagai pengganti ketokonazol yang dapat bersifat hepatotoksik, dapat diberikan itrakonazol
(Menaldi, 2021).

4.9 Pencegahan
Langkah-langkah pencegahan dermatofitosis (Sutanto, 2008):
1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan maserasi. Oleh akrena
itu, daerah-daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus
dikeringkan betul-betul dan diberi bedak pengering atau bedak anti jamur sesudahnya
dan tiap pagi.
2. Alas kaki harus pas dan tidak terlalu ketat.
3. Pasien dengan hiperhidrosis perlu memakai kaos kaki dari bahan katun yang
menyerap dan jangan memakai bahan wol atau bahan sintetis.
4. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dalam air panas.

4.10 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, antara lain (Suryantara et al):
1. Penyebaran infeksi ke area yang lain
2. Infeksi bakteri pada lesi
3. Dermatitis kontak atau kelainan kulit yang lain
4. Efek samping dari pengobatan.

4.11 Prognosis
Umumnya baik, kecuali faktor predisposisi sulit dihilangkan.
5. TATA CARA MEMELIHARA KULIT SESUAI TUNTUNAN ISLAM
A. Manfaat Berwudhu
 Membasuh Wajah
Membasuh wajah dengan air ketika wudhu, juga akan dapat mencegah munculnya
jerawat pada diri seseorang. Jerawat terkadang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dihindari, terutama bagi mereka yang berjenis kulit wajah kering dan berminyak. Sehingga
begitu terkena panas terik seperti di pantai, jerawatpun langsung muncul. Oleh sebab itu,
dengan membasuh air ke wajah setiap wudhu akan membuat kulit muka tidak terlalu kering
dan kulit yang berminyak pun hilang dan bersih dari kotoran yang menempel pada kulit
wajah. Air wudhu yang dibasuhkan kewajah, akan dapat menyegarkan kulit wajah dan lebih
jauh hal ini akan berpengaruh pula pada mata sehingga menjadi lebih segar dan tidak terasa
melelahkan serta dapat menyembuhkan sakit mata.
 Membasuh tangan
Membasuh tangan ketika wudhu akan menghilangkan kotoran yang ada pada tangan.
Yang demikian ini tentu sangat besar sekali manfaatnya dalam rangka untuk menghilangkan
debu, mikroba ataupun berbagai macam bibit penyakit. Sebab banyak sekali penyakit ‘besar’
yang sering kali dialami oleh seseorang seperti: penyakit kulit hingga diare berawal dari
kotoran yang ada pada tangan.
Manfaat lain dari membasuh tangan hingga siku ketika wudhu adalah untuk
menghilangkan keringat dari permukaan kulit dan membersihkan kulit dari lemak yang
dipartisi oleh kelenjar kulit, dan ini biasanya menjadi tempat yang ideal untuk berkembang
biaknya bakteri.
 Mengusap kepala
Manfaat Mengusap kepala ketika wudhu: mengurangi tekanan darah tinggi atau
hipertensi dan pusing kepala. Sebab air dingin yang dibasuhkan ke wajah ataupun diusapkan
ke kepala akan memiliki pengaruh yang baik untuk akvifitas dan kebugaran seseorang, dan
dapat menghilangkan penyakit kepala serta kelelahan otak.
 Manfaatnya bagi rambut
Manfaat lain yang bisa dirasakan dari wudhu, terutama ketika menyapu kepala adalah
membuat rambut menjadi lebih bersih dan terasa segar. Bahkan apabila kita mempelajari
ajaran islam tidak hanya memerhatikan kebersihan rambut kepala, tetapi islam juga
menyuruh kita untuk merapikan rambut, sehingga enak dipandang.
 Membasuh kaki
Termasuk hal yang penting dalam berwudhu adalah membasuh kedua kaki. Karena
kedua kaki sepanjang hari, sering berada dalam sepatu atau kaos kaki, sehingga sering
menimbulkan bau yang tidak sedap. Bau yang tidak sedap tidak akan hilang kecuali bila
dibasuh berkali-kali dan benar-benar bersih. Oleh karena itu, di antara sunnah wudhu adalah
membersihkan sela-sela antara jari-jari kaki dengan jari-jari tangan untuk menghilangkan
keringat dan kotoran yang menumpuk di dalamnya. Dan membasuh antara sela-sela jari
dengan baik dapat mencegah tumbuhnya jamur dan mencegah pembiakannya.
Membasuh kaki ketika wudhu akan membuat kaki terasa nyaman dan segar,
melemaskan otot-otot kaki yang tegang. Bahkan apabila ketika membasuh kaki disertai
dengan memijat secar baik, juga dapat mendatangkan perasaan tenang dan nyaman karena
telapak kaki merupakan cerminan seluruh perangkat tubuh. Dengan cara memijat kaki tatkala
wudhu berlansung secara tidak langsung telah mamijat syaraf-syaraf yang menghubungkan
keseluruh tubuh. Dan juga merupakan salah satu cara agar kaki menjadi lebih cantik (Afif &
Khasanah, 2018).

B. Batas Aurat
Aurat adalah bagian badan yang tidak boleh kelihatan. Maka umat Islam perlu tahu
apa saja aurat pria dan wanita. Ustadz Galih Maulana dalam buku Syarat Sah Sholat Mazhab
Syafi’i yang diterbitkan Rumah Fiqih Publishing menjelaskan tentang aurat pria dan wanita
menurut pendapat terkuat dalam mazhab Syafi'i. Aurat pria menurut mazhab Syafi'i adalah
antara pusar dan lutut. Sedangkan pusar dan lutut itu sendiri bukanlah aurat.
Imam Nawawi mengatakan, "Dalam masalah aurat pria ada lima pendapat dalam
mazhab. Namun yang shohih dan tertulis dalam kitab Imam Syafi'i adalah aurat pria antara
pusar dan lutut. Pusar dan lutut itu sendiri bukanlah aurat."
Ustadz Galih mengatakan, ketika seorang pria sedang sholat kemudian terlihat
lututnya, maka tetap sah sholatnya. Karena lutut bukan aurat. Penjelasan Imam Nawawi
tentang aurat pria ditegaskan dalam hadits shohih yang diriwayatkan Imam Bukhari.
“Abu Darda berkata, "Saya duduk dekat Nabi Muhammad SAW. Kemudian Abu
Bakar menghadap sambil mengangkat pakaiannya sampai terlihat lututnya." Lalu Nabi
Muhammad SAW bersabda, "Sahabatmu ini sedang dalam pertikaian." Kemudian Abu Bakar
mengucapkan salam”. (HR. Bukhari).
Ustadz Galih mengatakan, hadits di tersebut menunjukan lutut bukanlah aurat. Kalau
saja lutut itu termasuk aurat, tentu Nabi akan menegur dan menyuruh Abu Bakar menutup
lututnya.
“Dari Abu Musa al-Asy'ari, Nabi Muhammad SAW duduk pada suatu tempat yang ada
airnya dalam keadaan pakaiannya tersingkap hingga sampai kedua lutut atau salah satu
lutut beliau, tatkala Utsman sudah datang, beliau menutupnya.” (HR. Bukhari).
Dalam bukunya Ustaz Galih menjelaskan, hadits ini menunjukan lutut bukanlah aurat
karena kalau lutut termasuk aurat, tentu Nabi akan menutupnya. Adapun beliau menutup
lututnya ketika datang Ustman, itu karena Utsman terkenal dengan sifat malunya. Sehingga
Nabi merasa tidak enak apabila Utsman merasa malu melihat lutut baginda Nabi. Ini terbukti
karena sebelum Utsman datang, Nabi tidak merasa riskan lututnya terlihat oleh Abu Musa al-
Asy'ari.
Aurat wanita ketika sholat adalah seluruh badannya selain wajah dan kedua telapak
tangan. Imam Nawawi mengatakan, “Adapun aurat wanita mereka adalah seluruh badannya
selain wajah dan kedua telapak tangan sampai ke pergelangan.” Begitu juga Imam al-
Mawardi dalam al-Hawi mengatakan, "Seluruh tubuh wanita ketika sholat adalah aurat,
kecuali wajah dan kedua tangannya sampai pergelangan."
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya menyebutkan definisi dan batasan wajah.
"Batas wajah secara vertikal dimulai dari tempat tumbuhnya rambut sampai tempat
bertemunya dua rahang (dagu) yang menghadap ke depan. Sedangkan bagian bawah (dagu)
dan janggut bukanlah termasuk wajah."
"Adapun secara horizontal yaitu apa yang dhohir (muncul dan terlihat) di antara dua
telinga. Terlihat secara pasti berbentuk fisik, seperti hidung, ini berbeda dengan bola mata
(yang tidak muncul)."
Ustadz Galih menjelaskan, maksud dari perkataan Ibnu Hajar yaitu yang dihitung
sebagai wajah adalah apa yang nampak dan muncul di permukaan wajah. Sehingga bola
mata, lubang hidung dan mulut bagian dalam tidak masuk dalam kategori wajah
(republica.co.id).
DAFTAR PUSTAKA

Afif, M. & U. Khasanah. (2018). Urgensi Wudhu dan Relevansinya Bagi Kesehatan (Kajian
Ma’anil Hadits) dalam Perspektif Imam Musbikin. Jurnal Studi Hadis: 3(2).
Harahap, M. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta.
Menaldi, S.L.S. (2021). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi ke-7. Jakarta: UI Publishing.
Mescher, A.L. (2013). Junqueira’s Basic Histology: Text & Atlas (13th ed.). McGraw-Hill.
Sherwood, L. (2018). Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem (9th ed.). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Suryantara, P.A., Rusyati, L.M. & Darmada, I.G.K. Diagnosis dan Tatalaksana Tinea
Fasialis.
Sutanto, I. (2008). Parasitologi Kedokteran. Jakarta : FKUI.
https://www.republika.co.id/berita/qbg0x6366/aurat-pria-dan-wanita-menurut-mazhab-syafii

Anda mungkin juga menyukai