Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH

Penatalaksanaa Stevens-Johnson dan Miastenia Gravis


diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Keperawatan Kritis
dengan dosen pengampu: Sandra Pebrianti, M. Kep

DISUSUN OLEH :

Erdi Ramdan T W 220110166093 Indri Anggraeni 220110166022


Fatimah Nuralami 220110166071 Indri Hairani 220110166040
Fauziah Falah H 220110166084 Indriyanni Sri A 220110166080
Fauziah Rifka A 220110166035 Intan Humaeroh 220110166033
Fitri Aulia 220110166088 Intan Nurjanah 220110166059
Hamidah Nurhalimah 220110166060 Intan Rukmana 220110166077
Hanny Budhiyani 220110166085 Ismailah Alam 220110166006
Herlina Silviana 220110166015 Ismi Kharisma F 220110166066
Hikmah Fajar A 220110166157 Jakariya Gilang R 220110166058

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS PADJADJARAN KAMPUS

GARUT

Jl. Proklamasi No. 5 Telp. (0262) 232212 Garut

2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
inayah, dan petunjuk-nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “SYNDROME STEVEN JOHNSEN” secara tuntas dan tepat pada
waktunya. Terimakasih kepada dosen kami, yang telah membimbing kami dan yang
telah memberikan waktu kepada kami untuk mengerjakan tugas ini dengan baik.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini belum cukup sempurna
karena kami masih dalam tahap pembelajaran, maka dari itu kami igin mohon maaf
kepada pembaca atas kekurangan dari makalah yang kami buat. Atas kekurangan
tersebut, kami mengharapkan kritik dan saran dari manapun supaya kami dapat
memperbaiki pengkajian makalah pada masa mendatang

Garut, 12 Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................2

C. Tujuan.........................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Syndrome Steven Johnson .......................................................3

B. Etiologi Syndrome Steven Johnson............................................................4

C. Klasifikasi Syndrome Steven Johnson .......................................................4

D. Patofisiologi Syndrome Steven Johnson ....................................................5

E. Manifestasi Klinis Syndrome Steven Johnson ...........................................6

F. Diagnosis Banding .....................................................................................8

G. Diagnosis Syndrome Steven Johnson .......................................................10

H. Komplikasi Syndrome Steven Johnson .....................................................11

I. Penatalaksanaan Syndrome Steven Johnson .............................................12

BAB III ASKEP SYNDROME STEVEN JOHNSON

A. Pengkajian .................................................................................................24

B. Diagnosa ....................................................................................................28

C. Intervensi ...................................................................................................28

2
BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................34

B. Saran ..........................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sindrom Steven Johnson merupakan kelainan kulit yang bersifat
fatal dan merupakan kondisi paling ekstrim dari eritema multiformis.
Kondisi ini dipicu oleh penggunaan medikasi. Antibiotik, agens anti
kejang NSAID, dan sulfonamida adalah obat-obatan yang paling sering
menimbulkan kejadian ini. Seluruh permukaan tubuh dapat dipenuhi oleh
eritema dan lepuhan (Brunner& Suddarth, 2013).
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh dua dokter anak Amerika,
yaituA. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven Johnson yang
bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap obat-
obatan. Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak dan dewasa maupun
muda, jarang dijumpai pada anak usia 3 tahun kebawah. Perbandingan
antara priadan wanita tidak berbeda jauh, di rumah Sakit Cipto mangun
kusumo setiap tahun kira-kira ditemukan 10 kasus. Pada cuaca yang
dingin, penyakit ini sering ditemukan juga adanya faktor fisik pada
lingkungan seperti sinarmatahari dan sinar X yang akan mempengaruhi
timbulnya sindrom ini (https://www.academia.edu/).
Dari data yang dijelaskan diatas, penulis tertarik untuk membahas
perihal sindrom steven johnson karena sindrom steven johnson sangat
berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom ini tidak
menyerang anak dibawah 3 tahun, dan penyebab sindrom steven johnson
sendiri sangat bervariasi ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang
hebat.

1
2

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam pembuatan
makalah ini adalah:
1. Apa itu sindrom Steven-Johnson?
2. Apa saja penyebab munculnya sindrom Steven-Johnson?
3. Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi akibat sindrom Steven-
Johnson?
4. Apa saja manisfestasi klinis sindrom steven Johnson?
5. Bagaimana cara penatalaksanaan sindrom steven Johnson?
6. Bagaimana cara patofisiologi sindrom Stevens-Johnson?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penyusun dalam penyusunan makalah ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, dimana:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penyusunan makalah ini yaitu untuk
mengetahui danmemahami tentang konsep dasar penyakit sindrom
steven johnson dan asuhan keperawatan yang benar pada pasien
dengan sindrom steven johnson.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat mengetahui dan memahami tentang konsep dasar
penyakitsindrom steven johnson yang meliputi definisi sindrom
steven johnson, etiologi, anatomi fisiologi kulit, patofisiologi,
manifestasi klinis, pathways, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan.
b. Dapat mengidentifikasi konsep asuhan keperawatan yang benar
padaklien dengan sindrom steven johnson yang meliputi
pengkajian, diagnosa keperawatan, dan perencanaan keperawatan
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Steven Johnson Syndrom (SJS)


Stevens-Johnson syndrome (SJS) adalah penyakit kulit yang disebabkan
oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang
mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas dan
memisahkan dari dermis.
Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang
mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Stevens Johnson Syndrome adalah
sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan pada kulit
berupa eritema, vesikel, bula dapat disertai purpura.
Stevens Johnson Syndrome adalah bentuk penyakit mukokutan dengan
tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang
tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas
terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih
sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa
dari dua organ atau lebih.
Sindrom Stevens Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa
muda terutama pria. Tanda-tanda oral sindrom Stevens Johnson sama dengan
eritema multiforme, perbedaannnya yaitu melibatkan kulit dan membran
mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala umum yang lebih parah,
termasuk demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri dada, diare, muntah dan
artralgia.
4

B. Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui, dikatakan multifaktorial. Beberapa
faktor yang dapat menyebabkan timbulnya sindrom ini antara lain:
1. Infeksi
a. Virus
Sindrom Stevens-Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan
dari infeksi saluran nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat
terjadi pada Asian flu, Lympho Granuloma Venerium, Measles,
Mumps dan vaksinasi Smalpox virus. Virus-virus Coxsackie,
Echovirus dan Poliomyelits juga dapat menyebabkan Sindroma
Stevens- Johnson.
b. Bakteri
Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan Sindroma
Stevens- Johnson ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders,
Pneumonia, Psitacosis, Tuberculosis, Tularemia, Lepromatous
Leprosy atau Typhoid Fever.
c. Jamur
Cocidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan
Eritema Multiforme Bulosa, yang pada keadan berat juga dikatakan
sebagai Sindroma Stevens-Johnson.
d. Parasit
Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.
2. Alergi Sistemik
C. Klasifikasi
1. Sindrom Steven Johnson
Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached
dermis yaitu sebanyak <10 %.
2. Sindron Steven Johnson dan TEN
Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached
dermis yaitu sebanyak <10-30%.
5

3. TEN
Surface area of epidermal detachment dibandingkan dengan detached
dermis yaitu sebanyak >30%.
D. Patofisiologi
Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat
terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ
sasaran (target organ).
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan. Antibiotik
tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga
terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut.
Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel yang
rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa sel.
Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh
sel T, terjadi pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu
antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya. Pada beberapa kasus yang dilakukan
biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta
6

kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa hapten


akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik
sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat
berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau
produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau
jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses
metabolik). Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan
mukosa, serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen
dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta
mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai
kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik
akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun
sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis.15 Oleh karena proses hipersensitivitas,
maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit
yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal diikuti peningkatan
resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan
termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.16
E. Manifestasi Klinis
Gejala awal dari toxic epidermal necrolysis (TEN) dan, Stevens-
Johnson Syndrome (SJS) mungkin tidak spesifik dan termasuk gejala seperti
demam, mata menyengat dan ketidaknyamanan setelah menelan. Biasanya,
gejala-gejala ini mendahului manifestasi kulit oleh beberapa hari. Lokasi awal
keterlibatan kulit adalah wilayah presternal dari batang dan wajah, tetapi juga
telapak tangan dan kaki. Keterlibatan (eritema dan erosi) dari bukal, alat
kelamin dan / atau mukosa mata terjadi pada lebih dari 90% dari pasien, dan
dalam beberapa kasus sistem pernapasan dan pencernaan juga dipengaruhi.
Keterlibatan okular akibat timbulnya penyakit sering terjadi, dan dapat
berkisar dari akut konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta, dan
7

okular debit, ke membrane konjungtiva atau pseduomembrane pembentukan


atau erosi kornea, dan, pada kasus yang berat, untuk cicatrizing lesi,
symblepharon, forniks foreshortening, dan ulserasi kornea.
Pada fase kedua, sebagian besar kawasan pelepasan epidermal
berkembang. Dengan tidak adanya pelepasan epidermal, pemeriksaan kulit
yang lebih rinci harus dilakukan oleh mengerahkan tekanan mekanik
tangensial pada beberapa zona eritematosa (Nikolsky sign).
Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:
a. Kelainan pada kulit
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-
Johnson, antara lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema,
papula, vesikel, dan bula. Sedangkan tanda patognomonik yang muncul
adalah adanya lesi target atau targetoid lesions. Berbeda dengan lesi target
pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom Stevens-Johnson
merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna dengan
batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga
ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.18 Lesi
yang muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal
tersebut menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda
Nikolsk positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang
tertekan seperti pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan
menyebar kurang dari 10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-
Johnson. Jika 10-30% disebut Stevens Johnson Syndrome – Toxic
Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika lebih dari 30% area tubuh,
maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).20,21
b. Kelainan pada mukosa
Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan
esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan
bagian genital.27 Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan
8

eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis. Pada


mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan
mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya
bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bila yang pecah dapat
menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir penderita.1
Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring, percabangan
bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan penderita sulit untuk
bernapas dan mencerna makanan. Serta pada saluran genitalurinaria
sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.
c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva.
Kelopak mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka
dapat merobek epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga
dapat menyebabkan sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak
mata. Seringkali dapat pula terjadi peradangan atau keratitis pada kornea
mata.
F. Diagnosis Banding
1. Eritema multiformis (EM)
Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput
lendir. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat
membedakan EM dengan SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena.
Pada EM ialah <10% sedangkan pada SJS ialag >30%.
2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson.
Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan
keadaan umum penderita biasanya lebih buruk/berat.
3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat
meniru awal SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan
mukosa kurang tapi nyeri kulit pada TEN menonjol.
9

4. Erupsi Pustural Obat


Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous
pustulosis (AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal
SJS/NET. AGEP merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly
centered pustules yang sering dimulai di leher dan daerah intertriginosa.
5. Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia
dengan sinar matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi
fototoksik paling umum yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah
reaksi fototoksik yang terjadi akibat pemakaian oral. Sebagai contoh,
fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi fototoksik, yang dapat
menyebabkan pengelupasan epidermis luas.
6. Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan
oleh racun rantai elaborasi dari Grup A streptokokus. Dibandingkan
dengan SJS/NET, TSS hadiah dengan keterlibatan lebih menonjol dari
beberapa sistem organ.
7. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh
epidemiologi dan dari selaput lendir. Diagnosis didukung oleh
pemeriksaan histologis, yang mengungkapkan peluruhan hanya lapisan
atas epidermis.
G. DIAGNOSIS
1. Erythema multiforme major
2. Staphylococcal scalded skin syndrome
3. Purpura fulminant
4. Disseminated intravascular coagulation with skin necrosis
5. Acute generalised exanthematous pustulosis
6. Generalised bullous fixed drug eruption
10

7. Chemical toxicity (methotrexate, colchicines etc)


8. Burns
9. Graft-versus-host disease
10. Pemphigus
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang
dapat menegakkan diagnose SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat
menunjukkan anemia, limfopenia dan jumlah leukosit yang normal atau
leukositosis nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi
pada 1/3 pasien. Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya
infeksi bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena
adanya insidensi infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas.

Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah


langkah pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala
perubahan harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas
darah arteri. Tingkat serum bikarbonat dibawah 20 µm mengindikasikan
prognosis yang buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan
yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh
asidosis metabolik.25 Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang
ditemukan pada SSJ/NET adalah gangguan keseimbangan elektrolit,
hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia. prerenal,
leukositosis ringan, anemia, neutropenia, sedikit peningkatan enzim hepar dan
amilase, hiperglikemia. Serum urea nitrogen > 10mmol/L dan glukosa >
14mmol/L dianggap penanda keparahan penyakit.25,26 Seluruh kasus yang
disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan biopsi
kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan immunofluoresence. Lesi awal
menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan suprabasal. Lesi akhirnya
akan memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan pelepasan epidermis
11

dari dermis. Infiltrasi sel mononuclear dengan kepadatan sedang pada papilla
dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit dan makrofag.

H. Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah Bronchopneumonia (16%) yang dapat
menyebabkan kematian. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau
darah, gangguan keseimbangan elektrolit sehingga dapat menyebabkan shock.
Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan Lakrimasi.
12

I. Penatalaksanaan
Menurut hasih evidence based practice yang didapat penatalaksanaan yang dapat digunakan pada Steven Johnson
Syndrom yaitu:

Jumlah
No Judul/Tahun Penulis Metode Sampel Hasil
Responden
1. Terapi lesi oral - Yongki deskriptif Pasien di Terapi non farmakologi
pasien sindrom Tamigoes1* Bagian Penyakit berupa pemberian
Stevens-Johnson , Tenny Mulut, Rumah kortikosteroid topikal obat
disertai lupus Setiani Sakit Umum Pusat kumur Chlorhexidine
eritematosus Dewi2 Dr. Hasan Sadikin, gluconate 0,1%, vitamin
sistemik B12, asam folat, dan
nistatin yang menunjukkan
perbaikan pada lesi oral
dalam 3 minggu perawatan,
ditambah dengan terapi non
farmakologi berupa
pemeliharaan kebersihan
rongga mulut dengan obat
kumur Chlorhexidine
gluconate 0,1% sebagai
13

antiseptik untuk
meningkatkan kenyamanan
pasien, untuk memfasilitasi
epitelisasi dan mencegah
komplikasi seperti infeksi.
2. PEMBERIAN Ny S Karsenda Metode yang Nn. S, wanita 38 Penatalaksanaan utama life
KORTIKOSTE Y1 digunakan tahun datang saving untuk Sindrom
ROID PADA afalah Cohort melalui UGD Stevens-Johnson yaitu
PASIEN RSUDAM sebelas pemberian kortikosteroid
SINDROM hari yang lalu serta pemberian antibiotik
STEVENJOHN (23 Agustus 2013), dan intake cairan/elektrolit
SON yang
adekuat.
3. MANAGEMEN 1 orang Dewi Metode
T OF ORAL wanita Puspasari*, penelitian Seorang Lesi oral mengalami
LESIONS hamil Irna adalah cohort perempuan, 40 penyembuhan setelah
ASSOCIATED dengan SSJ Sufiawati tahun dirujuk dari diberikan terapi
WITH Departemen Ilmu klorheksidin glukonat
CARBAMAZE Kulit dan Kelamin 0,1%, suspensi oral
PINE dengan diagnosis nistatin, vitamin B12, asam
14

RELATED SJS/TEN overlap. folat, serta kortikosteroid


STEVENS- topikal selama 3 minggu
JOHNSON perawatan. SJS/ TEN
SYNDROME / merupakan spektrum
TOXIC penyakit yang serupa akibat
EPIDERMAL reaksi hipersensitivitas tipe
NECROLYSIS IV sehingga menyebabkan
OVERLAP apoptosis keratinosit.
PATIENT Penatalaksanaan lesi oral
berperan penting dalam
meningkatkan kualitas
hidup pasien dan dalam
upaya memperoleh
prognosis lebih baik pada
pasien SJS/ TEN melalui
multidisiplin ilmu.
4. Profil Sindrom Amelia Metode yang Sampel yang Hasil penelitian
Stevens Johnson Rahayu, dilakukan diambil, yaitu menunjukkan terdapat 22
Pada Pasien Rina yaitu studi seluruh catatan kasus SSJ (0,05%) dengan
Rawat Inap Di Gustiana, retrospektif. rekam medic perbandingan insiden para
15

RSUP Dr. M. Rahmatini pasien SSJ di pria dan wanita adalah 3:1
Djamil Padang RSUP Dr. M. SSJ banyak terjadi pada
Periode Januari Djamil Padang. umur > 19 tahun sampai ≤
2010 Sampai 59 tahun (31,81%) dengan
Desember 2011 penyebab terbanykan
adalah obat (81,82%)
terutama obat golongan
antikonvulsan (33,33%).
Semua pasien mengalami
gejala prodromal dan trias
kelainan SSJ. Lama
rawatan pasien SSJ ≤10
hari. Sebagian besar pasien
memiliki tingkat keparahan
SSJ yang ringan
berdasarkan nilai
SCORTEN, yaitu 3,2% dan
hampir semua pasien
sembuh (95,46%).
5. Hubungan Subjek pada Diana Penelitian ini pasien yang Berdasarkan data
16

Antara Terapi penelitian Septiani merupakan didiagnosis Drug penggunaan sulfadoxine,


Sulfadoksin ini adalah Nur studi analitik Eruption pada saat 14 orang didiagnosis
Dengan 95 pasien observasional pertama kali datang dengan Stevens-Johnson
Kejadian Drug jenis cross ke poliklinik kulit Sindrom dan 15 orang
Sindrom Steven- Eruption di sectional u dan kelamin atau didiagnosis dengan non-
Johnson Di Rsu poliklinik pada saat pertama SJS Erupsi Narkoba,
Dr.Soedarso kulit dan kali dirawat di sementara berdasarkan data
Pontianak kelamin RSU dr.Soedarso penggunaan narkoba jenis
Periode 1 serta rawat atau pasien yang lain, 26 orang didiagnosis
Januari 2007 - inap RSU didiagnosis dengan Stevens-Johnson
31 Desember dr. Soedarso Sindrom Steven- Syndrome dan 40 orang
2010 Pontianak Johnson pada saat orang yang didiagnosis
yang pertama kali datang non-SJS Erupsi Obat.
memenuhi ke poliklinik kulit Hasilnya menunjukkan
kriteria dan kelamin atau nilai p = 0,419, PR
inklusi pada saat pertama = 0,816, interval
terdiri dari kali dirawat di kepercayaan 95% = 0,504
44 laki-laki RSU dr.Soedarso. hingga 1,320.
(46,3%) dan Berdasarkan data
51 penggunaan sulfadoxine,
17

perempuan 14 orang didiagnosis


(53,7%), dengan Stevens-Johnson
informasi Sindrom dan 15 orang
lainnya didiagnosis dengan non-
dapat dilihat SJS Erupsi Narkoba,
pada sementara berdasarkan data
diagram di penggunaan narkoba jenis
bawah ini. lain, 26 orang didiagnosis
dengan Stevens-Johnson
Syndrome dan 40 orang
orang yang didiagnosis
non-SJS Erupsi Obat.
Hasilnya menunjukkan
nilai p = 0,419, PR
= 0,816, interval
kepercayaan 95% = 0,504
hingga 1,320

6. Gambaran 19 data Annisa Penelitian Populasi pada Berdasarkan pengamatan


Klinis Steven rekam Fitriana, deskriptif penelitian ini yang telah dilakukan
18

Johnson medis Anang retrospektif adalah pasien SJS, terhadap 19 orang pasien
Syndrome dan pasien Endaryanto, dengan SJS-TEN overlap yang menjadi subjek dalam
Toxic Epidermal Afif Nurul menggunaka dan TEN usia 0-18 penelitian ini, didapatkan
Necrolysis pada Hidayati n total tahun yang etiologi terjadinya SJS,
Pasien sampling mendapatkan SJSTEN overlap, dan TEN
Anak/2018 penangan medis di terutama disebabkan oleh
IRNA RSUD Dr reaksi alergi tubuh yang
diinduksi oleh, yang terjadi
pada 15 orang pasien
dengan persentase sebesar
79%, sedangkan 4 orang
pasien lainnya masih belum
diketahui penyebab
timbulnya penyakit. Pada
penelitian ini juga dapat
ditemukan bahwa pada
beberapa pasien, terdapat
lebih dari satu obat
penginduksi terjadinya
penyakit. Satu diantara
19

empat pasien dengan


etiologi yang masih belum
diketahui menderita
pneumonia sebagai
penyakit penyerta. Terdapat
kemungkinan jika SJS yang
diderita oleh pasien dapat
disebabkan oleh bakteri
penyebab pneumonia yaitu
Mycoplasma pneumoniae.
Obat penginduksi
terjadinya SJS, SJS-TEN
overlap, dan TEN
terbanyak yang ditemukan
pada pasien dalam
penelitian ini adalah jenis
acetaminophen yang
ditemukan pada 8 orang
pasien (24%), kemudian
antibiotik golongan
20

cephalosporin (15%), dan


antibiotik golongan
penicillin (9%).
21

Dari beberapa penelitian di dapat bahwa penatalaksanaan yang dapat digunakan


dalam Steven Jhonson Syndrom ini adalah sabagai berikut:

1. Preparat Kortikosteroid Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan


tindakan life saving. Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa
deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan
umum membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami
involusi, maka dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah
dosis mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian
diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian obat
dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira berlangsung
selama 10 hari. Penurunan dosis kortikosteroid sistemik harus dilakukan oleh
setiap dokter karena kortikosteroid mempunyai efek samping yang besar bagi
penderita (Hamzah, 2007).

Bila tapering off tidak lancar, mungkin antibiotik yang sekarang


menyebabkan alergi sehingga masih timbul lesi baru. Kalau demikian harus
diganti dengan antibiotik yang lain. Kemungkinan kausanya bukan alergi
obat, tetapi infeksi (pada sebagian kecil kasus) sehingga diperlukan kultur
darah nya (Hamzah, 2007).

Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul


miliaria kristalina yang sering disangka lesi baru dan dosis kortikosteroid
dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan (Hamzah, 2007).
Penggunaan preparat kortikosteroid harus di bawah pengawasan seorang ahli,
mengingat kortikosteroid memiliki efek samping berupa supresi daya tahan
tubuh dan menekan aktivitas korteks adrenal. Kortikosteroid hanya
mengurangi gejala, memperpendek durasi penyakit, dan tidak menyembuhkan
penyakit secara total (Smelik, 2005).
22

2. Infus Hal yang perlu diperhatikan pada penderita adalah mengatur


keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi tubuh, karena penderita sukar atau
tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan
tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Untuk itu dapat
diberikan infus, misalnya Dextros 5%, NaCl 0,9%, dan ringer laktat
berbanding 1:1:1 yang diberikan 8 jam sekali (Hamzah, 2007).

3. Antibiotik Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien


akan berkurang, karena itu harus diberi antibiotik untuk mencegah infeksi
sekunder, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian.
Antibiotik yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak atau sedikit nefrotoksik.
Hendaknya antibiotik yang diberikan tidak segolongan atau memiliki yang
rumusnya mirip dengan antibiotik yang menyebabkan alergi untuk mencegah
sensitisasi silang (Hamzah, 2007).

4. Diet Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang
dianjurkan kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid
dalam jangka waktu lama, penderita mangalami retensi natrium dan
kehilangan protein, dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan
konsentrasi garam dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita
selain menjalani diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan
makanan yang lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan
(Hamzah, 2007).

5. Perawatan pada Kulit Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan yang spesifik,
kebanyakan penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan
ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul
pada lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur (Labreze,
2005). Lesi kulit yang erosi dan eksoriasi dapat diatasi dengan memberikan
sofratulle atau krim sulfadiazine perak (Hamzah, 2007).
23

6. Perawatan pada Mata Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata


yang baik, kompres dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata
artificial dan ointment. Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali
digunakan untuk mencegah terjadinya corneal ephithelial breakdown.
Antibiotik topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi
sekunder. Konsultasi dengan dokter spesialis mata sangat direkomendasikan
dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar kebutaan dapat dihindarkan
(Labreze, 2005).

7. Perawatan pada Genital Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering
digunakan pada area genital penderita. Penderita sindrom Stevens-Johnson
seringkali mengalami gangguan buang air kecil akibat uretritis, balanitis, atau
vulvovaginitis, maka kateterisasi sangat diperlukan untuk memperlancar
buang air kecil (Labreze, 2005).

8. Perawatan pada Mulut Untuk lesi di mulut dapat diberikan kenalog in orabase
dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa krusta
tebalnkehitaman dapat diberikan emoelin misalna krim urea 10% (Hamzah,
2007). Simpulan, telah ditegakkan diagnosis Sindrom Stevens-Johnson (SJS)
pada Nn. S 38 tahun atas dasar anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, diagnosa, dan penatalaksanaan pada pasien ini sudah sesuai
dengan literatur. Etiologi pada pasien SJS ini kemungkinan karena alergi obat.
Penatalaksanaan utama life saving yaitu pemberian kortikosteroid serta
ditunjang dengan pemberian antibiotik dan intake cairan/elektrolit yang
adekuat.
24

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN SYNDROME STEVEN JOHNSON

A. Pengkajian
1. Identitas
Kaji nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Kaji apa alasan klien membutuhkan pelayanan kesehatan
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Kaji bagaimana kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan
Steven Johnson biasanya mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan
gatal, nyeri kepala, batuk, pilek, dan sakit tenggorokan.
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu,
riwayat penyakit yang sebelumnya dialami klien.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang
sama.

e. Riwayat Psikososial
f. Kaji bagaimana hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi sosial.
3. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi kesehatan - manajemen kesehatan
pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah pandangan klien terhadap penyakitnya?
2) Apakah klien klien memiliki riwayat merokok, alkohol, dan
konsumsi obat-obatan tertentu?
3) Bagaimakah pandangan klien terhadap pentingnya kesehatan?

24
25

Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya penting dikaji riwayat


konsumsi obat-obatan tertentu.
b. Pola nutrisi – metabolik
pada pola ini kita mengkaji:
1) Bagaimanakah pola makan dan minum klien sebelum dan selama
dirawat di rumah sakit?
2) Kaji apakah klien alergi terhadap makanan tertentu?
3) Apakah klien menghabiskan makanan yang diberikan oleh rumah
sakit?
4) Kaji makanan dan minuman kesukaan klien?
5) Apakah klien mengalami mual dan muntah?
6) Bagaimana dengan BB klien, apakah mengalami penurunan atau
sebaliknya?
Pada klien dengan Steven Johnson, biasanya mengalami penurunan nafsu
makan, sariawan pada mulut, dan kesulitan menelan.
c. Pola eliminasi
1) Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien?
2) Apakah klien menggunakan alat bantu untuk eliminasi?
3) Kaji konsistensi BAB dan BAK klien
4) Apakah klien merasakan nyeri saat BAB dan BAK?
Klien dengan Steven Johnson, biasanya akan mengalami retensi urin,
konstipasi, membutuhkan bantuan untuk eliminasi dari keluarga atau
perawat.
d. Pola aktivitas – latihan
1) Bagaimanakah perubahan pola aktivitas klien ketika dirawat di
rumah sakit?
2) Kaji aktivitas yang dapat dilakukan klien secara mandiri
3) Kaji tingkat ketergantungan klien
0 = mandiri
1 = membutuhkan alat bantu
26

2 = membutuhkan pengawasan
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain
4 = ketergantungan
4) Apakah klien mengeluh mudah lelah?
Klien dengan Steven Johnson biasanya tampak gelisah dan merasa lemas,
sehingga sulit untuk beraktifitas.
e. Pola istirahat – tidur
1) Apakah klien mengalami gangguang tidur?
2) Apakah klien mengkonsumsi obat tidur/penenang?
3) Apakah klien memiliki kebiasaan tertentu sebelum tidur?
Klien dengan Steven Johnson, akan mengalami kesulitan untuk tidur dan
istirahat karena nyeri yang dirasakan, rasa panas dan gatal-gatal pada
kulit.
f. Pola kognitif – persepsi
1) Kaji tingkat kesadaran klien
2) Bagaimanakah fungsi penglihatan dan pendengaran klien, apakah
mengalami perubahan?
3) Bagaimanakah kondisi kenyamanan klien?
4) Bagaimanakah fungsi kognitif dan komunikasi klien?
Klien dengan Steven Johnson akan mengalami kekaburan pada
penglihatannya, serta rasa nyeri dan panas di kulitnya
g. Pola persepsi diri - konsep diri
1) Bagaimanakah klien memandang dirinya terhadap penyakit yang
dialaminya?
2) Apakah klien mengalami perubahan citra pada diri klien?
3) Apakah klien merasa rendah diri?
Dengan keadaan kulitnya yang mengalami kemerahan, klien merasa
malu dengan keadaan tersebut, dan mengalami gangguan pada citra
dirinya.
h. Pola peran – hubungan
27

1) Bagaimanakah peran klien di dalam keluarganya?


2) Apakah terjadi perubahan peran dalam keluarga klien?
3) Bagaimanakah hubungan sosial klien terhadap masyarakat
sekitarnya?
i. Pola reproduksi dan seksualitas
1) Bagaimanakah status reproduksi klien?
2) Apakah klien masih mengalami siklus menstrusi (jika wanita)?
j. Pola koping dan toleransi stress
1) Apakah klien mengalami stress terhadap kondisinya saat ini?
2) Bagaimanakah cara klien menghilangkan stress yang dialaminya?
3) Apakah klien mengkonsumsi obat penenang?
k. Pola nilai dan kepercayaa
1) Kaji agama dan kepercayaan yang dianut klien
2) Apakah terjadi perubahan pola dalam beribadah klien?
4. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi: Warna, suhu, kelembapan, kekeringan
b. Palpasi: Turgor kulit, edema
c. Data fokus:
1) DS: gatal-gatal pada kulit, sulit menelan, pandangan kabur, aktifitas
menurun
2) DO: kemerah-merahan, memegang tenggorokan, tampak gelisah,
tampak lemas dalam beraktifitas.
5. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
a. Laboratorium: leukositosis atau esosinefilia

b. Histopatologi: infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel


darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal,
spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
c. Imunologi: deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA
28

B. Diagnosa
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
2. Gangguan integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit
karena destruksi lapisan kulit
3. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan
dari intravaskuler ke dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara
evaporasi, rusaknya jaringan kulit akibat luka.
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan
menelan.
5. Gangguan intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
6. Infeksi berhubungan dengan hilangnya barier/perlindungan kulit
7. Gangguan citra tubuh: penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi,
kecacatan, kejadian traumatic
C. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit

No Intervensi Rasional

1 Kaji tingkat skala nyeri 1 – 10, Untuk mengetahui tingkat nyeri klien
lokasi dan intensitas nyeri dan merupakan data dasar untuk
memberikan intervensi
2 Kaji tanda-tanda vital (TD, RR, N) Untuk memonitor keadaan klien dan
mengetahui terjadinaya syok neurologik
3 Anjurkan dan ajarkan klien tehnik Untuk mengurangi persepsi nyeri,
relaksasi nafas dalam, distraksi, meningkatkan relaksasi dan menurunkan
imajinasi ketegangan otot
29

4 Tingkatkan periode tidur tanpa Kekurangan tidur dapat meningkatkan


gangguan persepsi nyeri
5 Kendalikan faktor lingkungan yang Lingkungan yang tenang dapat
dapat mempengaruhi respon pasien menjadikan pasien dapat istirahat.
terhadap ketidaknyamanan
6 Kolaborasi dalam pemberian obat Membantu mengurangi atau
analgetik menghilangkan nyeri

2. Gangguan integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit


karena destruksi lapisan kulit

No Intervensi Rasional

1 Kaji ukuran, warna luka, Memberikan informasi dasar tentang


perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi luka
kondisi sekitar luka
2 Berikan perawatan luka yang tepat Meningkatkan pemulihan dan menurunkan
dan tindakan kontrol infeksi risiko infeksi
3 Berikan lingkungan yang lembab Lingkungan yang lembab memberikan
dengan kompres kondisi optimum bagi penyembuhan luka
4 Dorong klien untuk istirahat Untuk mendukung pertahanan tubuh

5 Tingkatkan masukan nutrisi, Untuk meningkatkan pembentukan


protein dan karbiohidrat granulasi yang normal dan kesembuhan
6 Kolaborasi pemberian obat Memperlancar terapi dan mempercepat
sistemik proses penyembuhan

3. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan


dari intravaskuler ke dalam rongga interstisial dan rusaknya jaringan kulit
akibat luka
30

No Intervensi Rasional

1 Kaji dan catat turgor kulit Untuk mengetahui keseimbangan cairan


tubuh
2 Observasi tanda vital Untuk memonitor keadaan umum klien

3 Monitor dan catat cairan yang Agar keseimbangan cairan tubuh klien
masuk dan keluar terpantau
4 Timbang BB klien setiap hari Penggantian cairan tergantung pada BB
klien
5 Berikan penggantian cairan IV Resusitasi cairan menggantikan kehilangan
yang dihitung, elektrolit, plasma, cairan/elektrolit dan mencegah komplikasi
albumin
6 Awasi pemeriksaan laboratorium Mengidentifikasi kehilangan darah atau
(Hb/Ht, natrium urine random) kerusakan sel darah merah, dan kebutuhan
penggantian cairan dan elektrolit

4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kesulitan menelan.

No Intervensi Rasional

1 Monitor intake dan output nutrisi Untuk mengetahui pemasukan dan


pengeluaran makanan
2 Kaji terhadap malnutrisi dengan Memberikan pengukuran objektif terhadap
mengukur tinggi dan BB status nutrisi
3 Jaga kebersihan mulut untuk Mulut yang bersih memungkinkan
menambah nafsu makan pasien peningkatan nafsu makan
4 Berikan makan sedikit tapi sering Makanan dalam porsi kecil mudah
hingga jumlah asupan nutrisi dikonsumsi oleh klien dan mencegah
tercukupi terjadinya anoreksia.
5 Berikan makanan untuk pasien Memudahkan pasien dalam menelan
dalam bentuk hangat dan sedian makanan
31

lunak/bubur

6 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Agar kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
menentukan kebutuhan nutsi klien
7 Kolaborasi dengan tim medis Memberikan dukungan nutrisi bila klien
tentang makanan pengganti tidak bisa mengkonsumsi jumlah yang
(enteral /parenteral) cukup banyak peroral.

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

No Intervensi Rasional

1 Kaji respon individu terhadap Untuk mengetahui tingkat kemampuan


aktivitas individu dalam pemenuhan aktivitas
sehari-hari.
2 Bantu klien dalam memenuhi Energi yang dikeluarkan lebih optimal
aktivitas sehari-hari dengan
tingkat keterbatasan yang dimiliki
klien
3 Jelaskan pentingnya pembatasan Pembatasan aktivitas penting untuk
aktivitas membatasi energi yang dikeluarkan, karena
energi penting untuk membantu proses
metabolisme tubuh
4 Libatkan keluarga dalam Klien mendapat dukungan psikologi dari
pemenuhan aktivitas klien keluarga

6. Resiko infeksi berhubungan dengan hilangnya barier/perlindungan kulit


No Intervensi Rasional
1 Monitor tanda-tanda vital Perubahan tanda vital secara drastis
merupakan komplikasi lanjut untuk
terjadinya infeksi
32

2 Observasi keadaan luka setiap Untuk mengidentifikasi adanya


hari penyembuhan
3 Jaga agar luka tetap bersih atau Menurunkan resiko inspeksi dan untuk
steril mencegah terjadinya kontaminasi silang
4 Lakukan perawatan luka setiap Untuk mempercepat penyembuhan
hari (kompres luka dengan
NaCl) dan bersihkan jaringan
nekrotik
5 Berikan perawatan pada mata Mata dapat membengkak oleh drainase luka
6 Tingkatkan asupan nutrsisi Nutrisi mempengaruhi sintesis protein dan
fotositosis
7 Batasi pengunjung dan anjurkan Untuk mencegah terjadinya kontaminasi
pada keluarga/pengunjung untuk silang
mencuci tangan sebelum kontak
langsung dengan klien
8 Pantau hitung leukosit, hasil Peningkatan leukosit menunjukkan infeksi,
kultur dan tes sensitivitas pemeriksaan kultur dan sensitivitas
menunjukkan mikroorganisme yang ada
dan antibiotic yang tepat diberikan
9 Kolaborasi berikan antibiotic Mengurangi jumlah bakteri

7. Gangguan citra tubuh: penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi,


kecacatan, kejadian traumatik.

No Intervensi Rasional
1 Kaji makna kehilangan/perubahan Episode traumatic mengakibatkan
pada pasien/orang terdekat perubahan tiba-tiba
2 Terima dan akui ekspresi frustasi, Penerimaan perasaan sebagai respons
ketergatnungan, marah, kedukaan. normal terhadap apa yang terjadi
Perhatikan perilaku menarik diri membantu perbaikan
dan penggunaan penyangkalan
3 Bersikap realistis dan positif Meingkatkan kepercayaan dan
selama pengobatan, pada mengadakan hubungan antara pasien dan
33

penyuluhan kesehatan dan perawat


menyusun tujuan dalam
keterbatasan
4 Berikan harapan dalam parameter Meningkatkan perilaku positif dan
situasi individu memberikan kesempatan untuk menyusu
tujuan dan rencana untuk masa depan
berdasarkan realita
5 Berikan penguatan positif terhadap Kata-kata penguatan dapat mendukung
kemajuan dan dorong usaha untuk terjadinya perilaku koping positif
mengikuti tujuan rehabilitasi
6 Dorong interaksi keluarga dan Mempertahankan /membuka garis
dengan tim medis rehabilitasi komunikasi dan memberikan dukungan
terus-menerus pada pasien dan keluarga
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sindrom steven Johnson yaitu suatu sindrom yang terjdi pada
kulit/integument. Patofisiologisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi
tipe III dan IV. Sistem imunitas atau Pertahanan dalam tubuh manusia yang
berfungsi melindungi tubuh manusia dari masuknya infeksi baik itu virus,
bakteri, protozoa maupun penyakit. Apabila pertahanan tubuh manusia tidak
dapat mengenali antigen yang masuk kedalam tubuh maka akan meyebabkan
penyakit sistem imun dan hematologi seperti salah satunya Syndrom Steven
Johnson atau yang biasanya disebut dengan penyakit kulit yang sangat parah atau
akut berat.
Penyakit ini disebabkan oleh adanya reaksi hipersensitivitas terhadap obat,
infeksi virus, bakteri, radiasi, makanan dan sebagainya. Apabila mengalami
penyakit ini maka akan mengalami tanda dan gejala seperti adanya eritema,
vesikel, bula, selaput lendir orifisium, dan kelainan pada mata. Sedangkan
penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah dengan tiga cara yaitu dengan
penatalaksanaan umum, khusus sistemik dan topikal.
Pemberian asuhan keperawatan yang komprehensif yaitu dimulai dari
pengkajian klien, menentukan diagnosa keperawatan yang munsul, dan
menyusun intervensi yang akan dilakukan pada klien dengan sindrom steven
Johnson dengan tepat agar klien dapat meningkat status kesehatannya.
B. Saran
Pembaca sebaiknya tidak hanya membaca dari materi makalah ini saja
karena masih banyak referensi yang lebih lengkap yang membahas materi dari
makalah ini. Oleh karena itu, pembaca sebaiknya membaca dari referensi dan
literature lain untuk menambah wawasan yang lebih luas tentang materi ini.

34
DAFTAR PUSTAKA

Fitriana, A., Endaryanto, A., & Hidayati, A. N. (2018). Gambaran Klinis Steven
Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis pada Pasien Anak.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 30(2), 102-110.

Karsenda, Y. (2013). PEMBERIAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN


SINDROM STEVENJOHNSON. Jurnal Medula, 1(03), 92-100.

Nur, D. S. Hubungan antara Terapi Sulfadoksin dengan Kejadian Sindrom Steven-


johnson di RSU Dr. soedarso Pontianak Periode 1 Januari 2007-31
Desember 2010. Jurnal Mahasiswa PSPD FK Universitas Tanjungpura,
1(1).

Rahayu, A., Gustia, R., & Rahmatini, R. (2014). Profil Sindrom Stevens Johnson
pada Pasien Rawat Inap di RSUP Dr. M. Djamil Padang Periode Januari
2010 sampai Desember 2011. Jurnal Kesehatan Andalas, 3(2).

Setyadi Anang, dkk (2018). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Sindrom
Steven Johnson. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah. Kendal.

Tamigoes, Y., & Dewi, T. S. (2018). Terapi lesi oral pasien sindrom Stevens-Johnson
disertai lupus eritematosus sistemik Oral lesion therapy in patients with
Stevens-Johnson syndrome with systemic lupus erythematosus. Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, 30(3), 181-188.

Thaha, M. A. (2012). SINDROM STEVENS-JOHNSON PADAKEHAMILAN


DITERAPI DENGAN N-ACETYLCYSTEIN. Media Dermato-
Venereologica Indonesia, 39, 24s-28s.

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
Penatalaksanaa Stevens-Johnson dan Miastenia Gravis tepat pada waktunya. Dan
juga kami berterimakasih pada Bapak dan Ibu Dosen, selaku Dosen mata kuliah
Keperawatan Kritis yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Penatalaksanaa Stevens-Johnson dan
Miastenia Gravis. Kami sangat menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah
ini terdapat kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kami sendiri maupun semua pihak
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan. Akhir kata kami ucapkan Terimakasih.

Kelompok

Garut, Oktober 2019

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................2

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Miastenia Gravis (MG)...................................................3
2.2 Klasifikasi Miastenia Gravis (MG)..............................................3
2.3 Etiologi.........................................................................................5
2.4 Manifestasi Klinis.........................................................................6
2.5 Patofisilogi....................................................................................6
2.6 Pemeriksaan Penunjang................................................................7
2.7 Penatalaksanaan............................................................................10
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian......................................................................................15
3.2 Diagnosa Keperawatan..................................................................15
3.3 Intervensi.......................................................................................16
BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan........................................................................................24
4.2 Saran..............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Myasthenia Gravis (selanjutnya akan disebut MG) merupakan
penyakit langka yang disebabkan oleh autoimmune yang menyerang
sistem imun diri sendiri, terutama di bagian otot dan belum diketahui
penyebabnya secara pasti (Kaminski, 2003). Bagian otot yang diserang
adalah bagian reseptor saraf pada otot sebagian tubuh atau keseluruhan
tubuh. Oleh karena itu, pada pasien MG yang terjadi adalah otot tidak
mampu menerima pesan sebagaimana seharusnya dan akhirnya menjadi
lemah. Lemah tidaknya otot tersebut tergantung dari bagian otot mana
yang terserang dan hal ini dapat terjadi secara tiba-tiba dalam jangka
waktu yang panjang tanpa adanya penyebab yang pasti (Mackenzie,
Martin, & Howard, 1989).
Departemen kesehatan Amerika Serikat mencatat jumlah pasien
miastenia gravis diestimasikan sebanyak 5 sampai 14 dari 100.000 orang
populasi pada seluruh etnis maupun jenis kelamin [4]. Angka tersebut
jauh berbeda dengan angka insidensi di wilayah Eropa seperti Inggris,
Italia, dan Pulau Farou di Islandia yaitu sebesar 21-30 per 1.000.000
populasi [5]. Di Indonesia sendiri belum ditemukan data yang akurat
terkait angka kejadian miastenia gravis. Yayasan Miastenia Gravis
Indonesia (YMGI) selaku support group utama sampai saat ini masih
mengupayakan pendataan yang maksimal terkait jumlah pasien dengan
miastenia gravis di Indonesia.
Di Indonesia, tidak banyak masyarakat yang mengerti MG
sehingga banyak yang menyalah artikan gejala penyakit MG. Beberapa
situasi yang dapat memicu gejala penyakit MG yaitu kehilangan atau sakit
parah pada orang terdekat, tekanan dari keluarga, perceraian, dan lainnya
(Komunikasi Pribadi, 3 Februari 2013). Manajemen terapi pada pasien
Myasthenia Gravis harus disesuaikan dengan karakteristik dan berat
ringannya penyakit yang dialami oleh pasien. Pendekatan managemen

1
2

Myasthenia Gravis berdasarkan patofisiologinya yaitu dengan


meningkatkan jumlah asetilkolin agar dapat berikatan dengan reseptor di
daerah post sinaptik dengan menggunakan inhibitor asetilkolinesterase dan
dengan menggunakan obat-obat immunosupresif sehingga menurunkan
jumlah auto antibodi yang berikatan dengan reseptor asetilkolin. Empat
prinsip dasar terapi Myasthenia Gravis yaitu: Pengobatan simptomatik
dengan menggunakan inhibitor asetilkolinesterase. Obat lini pertama untuk
pengobatan simptomatik adalah dengan menggunakan piridostigmin
dengandosis 15-30 mg setiap 4-6 jam, apabila tidak berespon dosis dapat
ditingkatkan hingga 90 mg.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Definisi Miastenia Gravis (MG)?

1.2.2 Bagaimana klasifikasi Miastenia Gravis?

1.2.3 Apa saja Etiologi Mistenia Gravis?

1.2.4 Apa saja Manifestasi Klinik Miastenia Gravis ?

1.2.5 Bagaimana Patofisiologi Miastenia Gravis ?

1.2.6 Apa Saja Pemeriksaan Penunjang Miastenia Gravis?

1.2.7 Bagaimana Penatalaksanaan Miastenia Gravis

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Untuk mengetahui Definisi Miastenia Gravis (MG

1.3.2 Untuk mengetahui klasifikasi Miastenia Gravis?

1.3.3 Untuk mengetahui Etiologi Mistenia Gravis

1.3.4 Untuk mengetahui Manifestasi Klinik Miastenia Gravis

1.3.5 Untuk mengetahui Pemeriksaan Penunjang Miastenia Gravis

1.3.6 Untuk mengetahui Penatalaksanaan Miastenia Gravis


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Miastenia Gravis (MG)

Miastenia gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi


neuromuskular / disorders of neuromuscular transmission (DNMT) yang
paling sering terjadi. Kelainan pada transmisi neuromuskular / disorders of
neuromuscular transmission (DNMT) yang dimaksud adalah penyakit
pada taut antara serat saraf dan serat otot / neuromuscular junction (NMJ).
Pada miastenia gravis (MG) terjadi permasalahan transmisi yang mana
terjadi pemblokiran reseptor asetilkolin (AChR) di serat otot (post
synaptic) mengakibatkan tidak sampainya impuls dari serat saraf ke serat
otot (tidak terjadi kontraksi otot). Miastenia gravis (MG) ditandai oleh
kelemahan otot yang kembali memulih setelah istirahat. Miastenia dalam
bahasa latin artinya kelemahan otot dan gravis artinya parah. (Julianti, E et
al 2016)

Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular.


Miastenia gravis adalah gangguan yang memengaruhi transmisi
neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanyaa di bawah kesadaran
seseorang (volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang
parah dan satu-satunya dengan penyakit neuromuskular dengan gabungan
antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya
pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebbih lama dari normal).
(Price dan Wilson, 1995)

2.2 Klasifikasi Miastenia Gravis (MG)

Klasifikasi menurut The Medical Scientific Advisory Board


(MSAB) of the Miastenia Gravis Foundation of America (MGFA) membagi
miastenia gravis menjadi 5 kelas utama dan beberapa subclass, sebagai
berikut :

3
A. Kelas I : adanya keluhan otot-otot ocular, kelemahan pada saat
menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal

B. Kelas II : terdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta


adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot ocular.

4
5

1) Kelas II a : mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau


keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang
ringan

2) Kelas II b : mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan


atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas II a

C. Kelas III : terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular,


sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang

1) Kelas III a : mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot


aksial atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan

2) Kelas III b : mempengaruhi otot faringeal, otot-otot pernapasan,


atau keduanya secara predominan. Terdapatnya kelemahan otot-
otot anggota tubuh, otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan

D. Kelas IV : otot-otot selain otot-otot ocular mengalami kelemahan


dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot ocular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat

1) Kelas IV a : secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota


tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan

2) Kelas IV b : mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan


atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dengan derajat ringan.Penderita menggunakan feeding
tube tanpa dilakukan intubasi.
6

E. Kelas V : penderita ter-intubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik.


Terdapat klasifikasi menurut Osserman dimana miastenia gravis dibagi
menjadi

1) Ocular miastenia : terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis


dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian

2) Generalized miastenia

a) Mild generalized miastenia

Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan


meluas ke otot-otot skelet dan bulber.System pernafasan tidak
terkena.Respon terhadap otot baik.

b) Moderate generalized miastenia

Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar, respon


terhadap obat tidak memuaskan

3) Severe generalized miastenia

Acute fulmating miastenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dari


otot-otot pernapasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6
bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas
penderita terbatas dan mortalitas tinggi.

Late severe miastenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah


kelompok I dan II progresif dari miastenia gravis dapat pelanpelan
atau mendadak, presentase thymoma kedua paling tinggi. Respon
terhadap obat dan prognosis jelek

2.3 Etiologi

Penyebab miastenia gravis masih belum diketahui secara pasti


diduga kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi reseptor
7

asetilkolin (Acetyl Choline Receptor) pada persimpangan neuromuskular


akibat retraksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:

A. Autoimun : direct mediated antibody

B. Virus

C. Pembedahan

D. Stres

E. Alkohol

F. Tumor mediastinum

G. Obat-obatan :

1) Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin,


erythromycin)

2) B-blocker (propanolol)

3) Lithium

4) Magnesium

5) Procainamide

6) Verapamil

7) Chloroquine

8) Prednisone

2.4 Manifestasi Klinik

A. Kelemahan otot mata dan wajah (hampir selalu ditemukan)


8

1) Ptosis (jatuhnya kelopak mata)

2) Diplobia (penglihatan ganda)

3) Otot mimik

B. Kelemahan otot bulbar

1) Otot-otot lidah

a) Suara nasal, regurgitasi nasal

b) Kesulitan dalam mengunyah

c) Kelemahan rahang yang berat dapat menyebebkan rahang


terbuka

d) Kesulitan menelan dan aspirasi dapat terjadi dengan cairan


batuk dan tercekik saat minum

2) Otot-otot leher

Otot-otot fleksor leher lebih terpengaruh daripada otot-otot


ekstensor

3) Kelemahan Anggota Gerak

4) Kelemahan otot pernapasan

Kelemahan otot interkostal dan difragma menyebabkan


retensi CO2. Hipoventilasi menyebabkan kedaruratan
neuromuskular. Kelemahan otot faring dapat menyebabkan gagal
saluran napas atas.

2.5 Patofisiologi
9

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl


Choline Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline
(ACh) yang tetap dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat
mengantarkan potensial aksi menuju membran post-synaptic. Kekurangan
reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada jumlah normal akan
mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh
impuls tertentu. inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada
pasien.

Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses


auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang
dapat memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut
Shah pada tahun 2006, anti-AChR bodies ditemukan pada 80%-90%
pasien Myasthenia Gravis. Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit
dengan Immunoglobulin G (IgG) dari pasien penderita Myasthenia Gravis
dapat mengakibatkan gejala-gejala Myasthenic pada mencit tersebut, ini
menujukkan bahwa faktor immunologis memainkan peranan penting
dalam etiology penyakit ini.

Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi


kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum
diketahui. Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit
yang disebabkan oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-
AChR bodies. Namun, penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang
diproduksi oleh Thymus, memiliki peranan penting pada patofisiologis
penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya
penderita Myasthenic mengalami hiperplasia thymic dan thymoma.

2.6 Pemeriksaan Penunjang

A. Tes klinik sederhana:


10

a) Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang


antara kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi
ptosis (tes positif).

b) Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara


akan menghilang secara bertahap (tes positif).

B. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang


memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi
maka disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-
otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata
yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya dapat
menyebabkan bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan
atropin.

C. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin


methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin
0,8 mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis
maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan
lain tidak lama kemudian akan lenyap.
11

D. Laboratorium

1) Anti striated muscle (anti-SM) antibody. Tes ini menunjukkan


hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita timoma
dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu
tes yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien
tanpa timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif
pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.

2) Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50%


penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR
Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab.

3) Anti-asetilkolin reseptor antibodi. Hasil dari pemeriksaan ini


dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu Miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari penderita
Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita
dengan Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-
asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma
tanpa Miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR
antibody.

E. Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek


pada transmisi neuro muscular melalui 2 teknik :

1) Single-fiber Electromyography (SFEMG). SFEMG mendeteksi


adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber berupa
peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena
menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil
untuk merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat
12

mendeteksi suatu titer (variabilitas pada interval interpotensial


diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang
sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).

2) Repetitive Nerve Stimulation (RNS). Pada penderita Miastenia


gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga
pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial aksi.

F. Gambaran Radiologi

1) Chest x-ray (foto roentgen thorak). Dapat dilakukan dalam posisi


anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior
mediastinum.

a) Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan


adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu
dilakukan chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada
semua kasus Miastenia gravis, terutama pada penderita dengan
usia tua.

b) MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai


pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis
Miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksaan dari penyakit miastenia gravis dapat dibagi dibagi
menjadi 3 pendekatan. (dr. I.A. Sri Wijayanti, M. Biomed, Sp. S. 2016)
A. Penatalaksaan Simptomatik
1) Anticholinesterase
Anticholinesterase atau cholisnesterase inhibitor bekerja
menghambat enzim hydrolisis dari ACh pada cholinergic synapse
13

sehingga Ach akan bekerja lebih lama pada neuromuscular


junction. 2 Pyrodostigmine bromide dan neostigmine bromide
merupakan obat anticholinesterase yang paling sering digunakan.
Menurut penelitian dari Pyrodostigmine lebih dianjurkan karena
memiliki efek samping yang lebih minimal pada gastointestinal
dan durasi kerja obat lebih lama. Efek samping lain yang muncul
yaitu akumulasi ACh pada muscarinic receptor pada otot polos
sehingga muncul stimulasi otot polos pada abdomen dan
menyebabkan abdominal cramping, peningkatan flatus, diare dan
menurunnya frekuensi buang air kecil. Jika efek samping muncul
dapat diberikan propantheline 15 mg tiap dosis pyrodostigmine
atau dengan dosis satu kali perhari. 1,2 Dosis awal
pyrodostigmine pada orang dewasa berkisar antara 30-60 mg tiap
4-8 jam. Sedangkan pada bayi dan anak-anak diberikan 1 mg/kg
dan neostagmine 0,3 mg/kg. Dosis maksimum per hari dari
pyrodostigmine adalah 360 mg atau 6 tablet. Krisis cholinergic
kemungkinan akan terjadi jika kelebihan dosis pyrodostigmine.

Menurut penelitian Erwin,I & Donni (2012), Dosis inhibitor


kolinesterase yang diperlukan tergantung derajat blok
neuromuskular yang telah dipulihkan; waktu yang dibutuhkan
untuk memulihkan efek blok non-depolarisasi bergantung pada
beberapa faktor termasuk pilihan dan dosis obat inhibitor
kolinesterase yang digunakan, jenis pelumpuh otot yang
diantagonis, dan derajat blokade sebelum pemulihan. Agen
pemulihan harus diberikan rutin pada pasien yang mendapat
pelumpuh otot non-depolarisasi kecuali ada pemulihan universal,
rencana pasca operasi yang berkaitan dengan intubasi dan ventilasi,
untuk menyediakan sedasi yang adekuat.
B. Terapi Immunodulatory
1) Thymectomy
14

Keuntungan dari thymectomy adalah pasien akan memiliki


potensi untuk drug free remission. Thymectomy
direkomendasikan pada pasien dengan symptom Miastenia gravis
yang muncul pada usia dibawah 60 tahun. Respon dari
thymectomy tidak dapat diprediksi dan gejala kemungkinan akan
menetap hingga beberapa bulan sampai tahun setelah operasi.
Respon terbaik dari thymectomy terjadi pada pasien perempuan
usia muda. Pasien dengan thymoma direkomendasikan untuk
menghilang tumor tersebut dahulu sebelum menjalani
thymectomy. 2 Thymectomy berulang dilaporkan meningkatkan
keberhasilan terapi pada beberapa pasien. Jaringan thymic
dianjurkan untuk tidak diangkat pada operasi pertama dan kedua
dengan syarat pasien berespon baik pada operasi pertama.

Permatasari,A & Laksmi (2013) menyatakan dalam


jurnalpenelitiannya bahwa terjadi perbaikan foto thorak pada
pasien detelah oprasi thymectomy dan selanjutnya diperukan
pelaksanaan kemoterapi untuk pemulihan.

2) Plasma Exchange (PLEX)

PLEX bekerja dalam memperbaiki myastenic weakness secara


sementara. PLEX digunakan sebagai intervensi jangka pendek
pada pasien dengan perburukan symptom miastenia secara
mendadak, untuk memperkuat saat operasi, mencegah exacerbasi
yang diinduksi kortikosteroid dan sebagai terapi chronic
intermittent untuk pasien yang telah gagal menjalani semua terapi
jenis lainnya . 2 Menurut typical PLEX protocol, 2 hingga 3 liter
dari plasma dikeluarkan sebanyak 3 kali dalam seminggu hingga
kondisi membaik yaitu sekitar 5 hingga 6 kali penukaran.
Perbaikan klinis biasanya dijumpai pada minggu pertama.
Perbaikan klinis biasanya akan bertahan hingga 3 bulan dan efek
akan menghilang kecuali diikuti dengan thymectomy atau terapi
immunosuppresive. Pengulangan PLEX terbukti tidak
15

memberikan manfaat kumulatif dan tidak dianjurkan digunakan


sebagai terapi kronis kecuali terapi lain mengalami kegagalan atau
kontraindikasi. Efek samping dari PLEX antara lain transitory
cardiac arrythmia, nausea, kepala terasa ringan, menggigil,
obscured vision, dan pedal edema. Thrombus, thrombophebitis,
subacute bacterial endocarditis, pneumothorax, brachial plexus
injury merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari
pemasangan rute akses peripheral venipuncture.

Terapi plasma exchange terbukti efektif cepat memperbaiki


kondisi klinis pasien miastenia gravis, membantu cepat lepas dari
ventilator sehingga mencegah komplikasi lebih lanjut akibat
penggunaan ventilator pada pasien krisis myasthenia yang
hemodinamiknya stabil. (Yusuf,IM & Sobaryati 2019)

3) Intravenous Immunoglobulin (IGiv)


Indikasi dari IGiv memiliki kesamaan dengan PLEX. Intravenous
immunoglobulin merupakan alternatif dari PLEX khususnya pada
pasien anak-anak maupun pasien dengan vena akses yang sulit
ditemukan dan jika PLEX tidak tersedia. IGiv juga tidak
direkomendasikan sebagai terapi kronis kecuali karena mengalami
kegagalan atau kontraindikasi. 2 Perbaikan klinis dilaporkan
terjadi pada 50 hingga 100 persen pasien setelah diberikan dosis 3
mg/kg selama 2 hingga 4 hari. Perbaikan klinis akan bertahan
hingga beberapa minggu atau bulan. Dosis minimum masih belum
ditentukan karena masih belum ada penelitian yang mendukung
mengenai hal tersebut. Menurut Gajdos P (2006) dosis 1 mg/kg
sama efektifnya dengan dosis 2 mg/kg dalam mengobati miastenia
crisis. Efek samping yang sering terjadi antara lain demam, sakit
kepala maupun menggigil. Reaksi tersebut dapat diringankan
dengan pemberian acetaminophen atau aspirin dengan
dipenhidramine sebelum pemberian IGiv. Pasien dengan selective
IgA deficiency kemungkinan akan mengalami reaksi anafilaksis
16

terhadap IGiv. Oleh karena hal tersebut maka dianjurkan untuk


melakukan tes kadar IgA sebelum melakukan terapi ini.
Krisis maistenia gravis dapat diperbaiki dengan plasma exchange
dan disertai intervenous immunoglobulin (IVIg) menurut Imron,A
et al (2013).
C. Terapi Immunosupresant
1) Kortikosteroid
Prednisone dilaporkan dapat menghilangkan gejala pada lebih dari
75% pasien dengan Miastenia Gravis. Perbaikan kondisi klinis
biasanya akan muncul 6 hingga 8 minggu setelah pemberian
prednisone pertama. Respon terbaik terjadi pada pasien dengan
onset muda. Pasien dengan thymoma biasanya akan membaik
dengan prednisone setelah dilakukan pengangkatan tumor. Dosis
awal prednison yang dianjurkan yaitu 1,5 hingga 2 mg/kg perhari.
Dosis akan dipertahankan hingga perbaikan klinis muncul yang
biasanya terjadi pada minggu kedua. Kemudian dosis akan
diturunkan setiap bulannya hingga mencapai dosis terendah untuk
terapi maintance, dimana idealnya 20 mg setiap harinya.
Penurunan dosis untuk tiap orang akan bervariasi. Pasien dengan
initial response yang buruk dianjurkan untuk menggunakan dosis
alternatif yaitu 100- 120 mg dan turunkan dosis 20 hingga 60 mg
tiap bulan. Efek samping dari pemberian prednison jangka lama
antara lain hypercortism. Tingkat keparahan dari hypercortism
meningkat seiring dengan pemberian dosis tinggi lebih dari 1
bulan. Efek samping akan membaik jika dosis diturunkan dan
menjadi minimal pada dosis dibawah 20 mg per hari. Efek
samping dapat diminimalkan dengan diet rendah lemak, rendah
sodium dan pemberian supplemental kalsium. Wanita dengan
postmenopause harus diberikan supplement vitamin D atau
biphosphate. Pasien dengan gastric ulcer atau gastritis memerlukan
H2 antagonist. Prednison tidak boleh digunakan pada penderita
tuberkulosis. Prednison akan bekerja lebih baik jika
dikombinasikan dengan azathioprine, cyclosporine,
mycophenolate atau obat immunosuppresant lainnya.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN MIASTENIA GRAVIS

3.1 Pengkajian
A. Identitas klien yang meliputi nama,alamat,umur,jenis kelamin,dan status
B. Keluhan utama : kelemahan otot
C. Riwayat kesehatan : diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat
dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan
pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan
miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan
pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang
kelemahan otot.
D. Pemeriksaan fisik :
1) B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan
akut, kelemahan otot diafragma
2) B2(bleeding) : hipotensi / hipertensi .takikardi / bradikardi
3) B3(brain) : kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi
okular,jatuhnya mata atau dipoblia
4) B4(bladder) : menurunkan fungsi kandung kemih,retensi
urine,hilangnya sensasi saat berkemih
5) B5(bowel) : kesulitan mengunyah-menelan,disfagia, dan peristaltik
usus turun, hipersalivasi,hipersekresi
6) B6(bone) : gangguan aktifitas / mobilitas fisik,kelemahan otot yang
berlebih

3.2 Diagnosa keperawatan


A. Ketidakefektifanpola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
B. Gangguan persepsi sensori bd ptosis,dipoblia
C. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal
D. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan
kelemahan fisik umum, keletihan

17
18

E. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan


pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus
otot fasial atau oral
F. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan
komunikasi verbal
3.3 Intervensi
A. Ketidakefektifanpola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot
pernafasan
1) Tujuan:
Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan
klien kembali efektif
2) Kriteria hasil :
a) Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
b) Bunyi nafas terdengar jelas
c) Respirator terpasang dengan optimal
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji Kemampuan  Untuk klien dengan penurunan
ventilasi kapasitasventilasi, perawat
mengkaji frekuensipernapasan,
kedalaman, dna bunyi
nafas,pantau hasil tes fungsi
paru-paru tidal, kapasitas vital,
kekuatan inspirasi),dengan
interval yang sering
dalammendeteksi masalah pau-
paru, sebelumperubahan kadar
gas darah arteri dansebelum
tampak gejala klinik.
1. Kaji kualitas,  Dengan mengkaji kualitas,
frekuensi,Dan frekuensi, dankedalaman
kedalaman pernapasan, kita
pernapasan,laporkan dapatmengetahui sejauh mana
setiap perubahan perubahan kondisiklien.
19

yang terjadi.
1. Baringkan klien  Penurunan diafragma
dalamposisi yang memperluas daerah dada
nyamandalam posisi sehingga ekspansi paru bisa
duduk maksimal
1. Observasi tanda-  Peningkatan RR dan takikardi
tanda vital (nadi,RR) merupakan indikasi adanya
penurunan fungsi paru

B. Gangguan persepsi sensori bd ptosis,dipoblia


1) Tujuan
Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
2) Kriteria hasil :
a) Adanya perubahan kemampuan yang nyata
b) Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
Intervensi Rasional
1. Tentukan kondisi  untuk mengetahui tipe dan
patologis klien lokasi yang mengalami
gangguan.
1. Kaji gangguan  untuk mempelajari kendala
penglihatan yang berhubungan dengan
terhadap perubahan disorientasi klien.
persepsi
1. Latih klien untuk  agar klien tidak kebingungan
melihat suatu obyek dan lebih berkonsentrasi.
dengan telaten dan
seksama
1. Observasi respon  untuk mengetahui keadaan
perilaku klien, emosi klien
seperti menangis,
bahagia,
bermusuhan,
halusinasi setiap
saat.
20

1. Berbicaralah dengan  memfokuskan perhatian klien,


klien secara tenang sehingga setiap masalah dapat
dan gunakan dimengerti.
kalimat-kalimat
pendek.

C. Resiko tinggi cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal


1) Tujuan
Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam
kemungkinan cedera.
2) Kriteria hasil :
a) Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan
faktor resiko dan melindungi diri dari cedera.
b) Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan
keamanan
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji kemampuan  Menjadi data dasar dalam
klien dalam melakukan intervensi
melakukan aktivitas selanjutnya
1. Atur cara  Sasaran klien adalah
beraktivitas klien memperbaiki kekuatandan daya
sesuai kemampuan tahan. Menjadi partisipan
dalampengobatan, klien harus
belajar tentangfakta-faakta
dasar mengenai agen-
agenantikolinesterase-kerja,
waktu, penyesuaiandosis,
gejala-gejala kelebihan dosis,
danefek toksik. Dan yang
penting padapengguaan
medikasi dengan tepat
waktuadalah ketegasan.
1. Evaluasi  Menilai singkat keberhasilan
21

Kemampuan dari terapi yang boleh diberikan


aktivitas motorik

D. Gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berhubungan dengan


kelemahan fisik umum, keletihan
1) Tujuan
Infeksi bronkhopulmonal dapat dikendalikan untuk menghilangkan
edema inflamasi dan memungkinkanpenyembuhan aksi siliaris normal.
Infeksi pernapasan minor yang tidak memberikan dampak pada
individu yang memilikiparu-paru normal, dapat berbahaya bagi klien
dengan PPOM
2) Kriteria hasil :
a) Frekuensi nafas 16-20 x/menit, frekuensi nadi 70-90x/menit
b) Kemampuan batuk efektif dapat optimal
c) Tidak ada tanda peningkatan suhu tubuh
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji kemampuan  Menjadi data dasar dalam
klien dalam melakukan intervensi
melakukan aktivitas selanjutnya
1. Atur cara  Sasaran klien adalah
beraktivitas klien memperbaiki kekuatandan daya
sesuai kemampuan tahan. Menjadi partisipan
dalampengobatan, klien harus
belajar tentangfakta-faakta
dasar mengenai agen-
agenantikolinesterase-kerja,
waktu, penyesuaiandosis,
gejala-gejala kelebihan dosis,
danefek toksik. Dan yang
penting padapengguaan
medikasi dengan tepat
waktuadalah ketegasan.
1. Evaluasi  Menilai singkat keberhasilan
22

Kemampuan dari terapi yang boleh diberikan


aktivitas motorik

E. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan


pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot
fasial atau oral
1) Tujuan
Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi,
mampu mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa
isyarat
2) Kriteria hasil :
a) Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat
dipenuhi
b) Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal
maupun isyarat.
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji komunikasi  Kelemahan otot-otot bicara
verbal klien. klien krisis miastenia gravis
dapat berakibat pada
komunikasi
1. Lakukan metode  Teknik untuk meningkatkan
komunikasi yang komunikasimeliputi
idealsesuai dengan mendengarkan klien,
kondisiklien mengulangiapa yang mereka
coba komunikasikan dengan
jelas dan membuktikan yang
diinformasikan, berbicara
dengan klienterhadap kedipan
mata mereka dan
ataugoyangkan jari-jari tangan
atau kaki untukmenjawab
ya/tidak. Setelah periode krisis
klien selalu mampu mengenal
23

kebutuhan mereka.
1. Beri peringatan  Untuk kenyamanan yang
bahwaklien di ruang berhubungan dengan
inimengalami ketidakmampuan komunikasi
gangguanberbicara,
sediakan bel khusus
bila perlu
1. Antisipasi dan bantu  Membantu menurunkan frustasi
kebutuhan klien oleh karenaketergantungan atau
ketidakmampuanberkomunikasi
1. Ucapkan langsung  Mengurangi kebingungan atau
kepada klien dengan kecemasanterhadap banyaknya
berbicara pelan dan informasi. Memajukanstimulasi
tenang,gunakan komunikasi ingatan dan kata-
pertanyaan kata.
denganjawaban ”ya”
atau”tidak” dan
perhatikanrespon
klien
1. Kolaborasi:  Mengkaji kemampuan verbal
konsultasi ke ahli individual,sensorik, dan
terapi bicara motorik, serta fungsi kognitif
untuk mengidentifikasi defisit
dankebutuhan terapi

F. Gangguan citra diri berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan


komunikasi verbal
1) Tujuan
Citra diri klien meningkat
2) Kriteria hasil :
a) Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang
terdekat tentang situasi dan perubahan yangsedang terjadi
b) Mampu menyatakan penerimaan diriterhadap situasi
24

c) Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri


dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji perubahan  Menentukan bantuan individual
darigangguan dalammenyusun rencana
persepsi perawatan ataupemilihan
danhubungan intervensi.
dengan derajat
ketidakmampuan
1. Identifikasi arti dari  Beberapa klien dapat menerima
Kehilangan atau danmengatur beberapa fungsi
disfungsi pada klien. secara efektifdengan sedikit
penyesuaian diri,
sedangkanyang lain mempunyai
kesulitanmembandingkan
mengenal dan
mengaturkekurangan.
1. Bantu dan anjurkan  Membantu meningkatkan
perawatan yang baik perasaan hargadiri dan
dan memperbaiki mengontrol lebih dari satu
kebiasaan areakehidupan
1. Anjurkan orang  Menghidupkan kembali
yang Terdekat untuk perasaan kemandirian dan
mengizinkan klien membantu perkembanganharga
melakukan hal untuk diri serta mempengaruhi
dirinya sebanyak- prosesrehabilitasi
banyaknya
1. Kolaborasi: rujuk  Dapat memfasilitasi perubahan
pada ahli peran yang penting untuk
neuropsikologi dan perkembangan perasaan
konseling bila ada
indikasi.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Pada miastenia gravis (MG) terjadi permasalahan transmisi yang
mana terjadi pemblokiran reseptor asetilkolin (AChR) di serat otot (post
synaptic) mengakibatkan tidak sampainya impuls dari serat saraf ke serat
otot (tidak terjadi kontraksi otot). Miastenia gravis (MG) ditandai oleh
kelemahan otot yang kembali memulih setelah istirahat. Miastenia dalam
bahasa latin artinya kelemahan otot dan gravis artinya parah.
Manajemen terapi pada pasien Myasthenia Gravis harus
disesuaikan dengan karakteristik dan berat ringannya penyakit yang
dialami oleh pasien. Pendekatan managemen Myasthenia Gravis
berdasarkan patofisiologinya yaitu dengan meningkatkan jumlah
asetilkolin agar dapat berikatan dengan reseptor di daerah post sinaptik
dengan menggunakan inhibitor asetilkolinesterase dan dengan
menggunakan obat-obat immunosupresif sehingga menurunkan jumlah
auto antibodi yang berikatan dengan reseptor asetilkolin. 3 Prinsip
Penatalaksanaan yaitu pertama dengan terapi simptomatik,
immunodulatory, dan immnunosupresant.
4.2 Saran
A. Mahasiswa
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat
memahami dan mempelajari asuhan keperawatan yang tepat untuk
pasien dengan Miastenia Gravis.
B. Tenaga kesehatan
Setelah membaca makalah ini diharapkan tenaga kesehatan
baik primer maupum spesialis dapat memberikan asuhan keperawatan
yang tepat untuk pasien dengan Miastenia Gravis.
C. Masyarakat
Setelah membaca makalah ini diharapkan masyarakat dapat
memahami dan mengetahui pengertian, tanda dan gejala, komplikasi
dan penatalaksanaan apa saja yang harus dilakukan secara mandiri
terkait dengan Miastenia Gravis.

25
DAFTAR PUSTAKA

Engel A. Miastenia gravis and miastenia syndromes. Annals of Neurology. 2004.


Volume 16: Page: 519-534.

Erwin, I., & Kusuma, D. I. (2012). Inhibitor Asetilkolinesterase untuk


Menghilangkan Efek Relaksan Otot Non-depolarisasi. Cermin Dunia
Kedokteran, 39(5), 333-39.

Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas Kedokteran


Universitas Hasanuddin; 2014.

Imron, A., Aditianingsih, D., & George, Y. W. (2013). Peran Plasmafaresis pada
Terapi Pasien Sepsis dengan Myasthenia Gravis. JAI (Jurnal Anestesiologi
Indonesia), 5(3), 210-216.

Julianti, E., Madiadipoera, T., Anggraeni, R., Purwanto, B., & Ratunanda, S. S. (2016).
Peningkatan functional oral intake scale dan kualitas hidup pada miastenia gravis pasca
rehabilitasi menelan. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana, 46(1), 79-86.

Setiadi. (2007). Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu

Permatasari, A., & Wulandari, L. Penatalaksanaan Penderita Thymic


Carcinomadengan Miastenia Gravis.

Tucker, S. et al. (2007). Standar Keperawatan Pasien: Perencanaan Kolaboratif dan


Intervensi Keperawatan. Jakarta: EGC

Widagdo, et al. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: TIM

Yusup, I. M., & Sobaryati, S. (2019). Plasma Exchange (PE) sebagai Pilihan Pertama
Terapi pada Krisis Myasthenia dengan Hemodinamik Stabil. Majalah Anestesia
dan Critical Care, 37(1), 13-21.

26
27

Anda mungkin juga menyukai