Mata Kuliah
Dosen Pengajar :
Lutfi Wahyuni.,S.Kep.Ns.,M.Kes
Disusun Oleh :
Kelompok 5 Kelas 3D
Puji-puji dan syukur kami panjatkan pada Allah SWT.Hanya kepada-Nya lah kami memuji dan
hanya kepada-Nya lah kami memohon pertolongan. Tidak lupa shalawat serta salam kami
haturkan pada junjungan nabi agung kita, Nabi Muhammad SAW. Risalah beliau lah yang
bermanfaat bagi kita semua sebagai petunjuk menjalani kehidupan.
Kelompok 5
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN…………………………………………………………………..
BAB 1 :
A. Latar Belakang………………………………………………………………….
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………
C. Tujuan………………………………………………………………………….
BAB II :
A. Pengertian………………………………………………………………………
B. ETIOLOGI……………………………………………………………………..
C. Klasifikasi……………………………………………………………………..
D. Patofisiologi……………………………………………………………………
E. Tanda dan Gejala………………………………………………………………
F. Penataksanaan …………………………………………………………………
G. Komplikasi……………………………………………………………………..
H. Pemeriksaan Diagnostik………………………………………………………..
I. Prognosis Penyakit……………………………………………………………..
BAB III :
A. Trigercase………………………………………………………………………
B. Pengkajian………………………………………………………………………
C. Diagnosa Keperawatan…………………………………………………………
D. Intervensi Keperawatan………………………………………………………..
E. Implementasi…………………………………………………………………..
PENUTUP
a. Kesimpulan………………………………………………………………………
b. Saran……………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………
BAB I
(PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang
Steven Johnson sindrom merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat kelainan
pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. SJS merupakan kompleks
imun yang memediasi proses hipersentitifitas , bisa dikatakan SJS merupakan menifestasi
parah dari eritema multiforme. Banyak penelitian meempertimbangakan bahwa steven
Johnson sindrom dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah penyakit yang sama
hanya berbeda manifestasi. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat.
Barubaru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada
dasar penentuan kriteria klinis.
Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang
mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran
kulit yang melepuh (bula).Penyakit ini berjalan tanpa dapat diprediksi. Mula-mula timbul
dermatosis yang tampak tidak berbahaya namun dapat menjadi progresif dalam watu singkat,
dan setelah terjadi pelepasan kulit (skin detachment) yang luas maka tidak dapat diprediksi
kapan penyakit akan sembuh. Beberapa penelitian telah meneliti tentang gejala klinis dari
SJS dan TEN dan telah membentuk suatu kriteria diagnosis.Risiko kematian juga dapat
diprediksi secara akurat dengan menggunakan tingkat keparahan penyakit yang dapat
digunakan sebagai prediksi prognosis dari TEN (SCORTEN).
Banyak penelitian mempertimbangkan bahwa SJS dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN)
adalah sebuah penyakit yang sama. Baik SJS maupun TEN ditandai dengan kelainan pada
kulit dan mukosa.Makula eritem merupakan lesi yang sering terdapat pada lokasi tubuh dan
kaki bagian proksimal lalu berkembang secara progresif menjadi bula flaccid yang
menyebabkan pelepasan epidermal. Dikarenakan kesamaan antara gejala klinis, penemuan
histopatologis, penyebab, serta mekanismenya, kedua kondisi ini hanya dapat bisa dibedakan
dengan total body surface area. Dikatakan SJS apabila total body surface area yang terkena
<10%, apabila total body surface area yang terkena 10-30% disebut SJS-TEN overlap, dan
dikatakan TEN apabila total body surface area yang terkena >30%. Keduanya juga dikenal
dengan istilah epidermal necrolysi bentuk penyakit yang cenderung berat dan dapat
menyebabkan kematian memerlukan penatalaksanan yang cepat dan tepat sehingga jiwa
pasien dapat segera tertolong.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Steven Johnson Sindrom?
2. Apa etiologi Steven Johnson Sindrom?
3. Apa saja klasifikasi Steven Johnson Sindrom?
4. Bagaimana patofisiologi Steven Johnson Sindrom?
5. Apa tanda dan gejala Steven Johnson Sindrom?
6. Bagaimana penatalaksanaan Steven Johnson Sindrom?
7. Apa komplikasi Steven Johnson Sindrom?
8. Bagaimana pemeriksaan diagnostik Steven Johnson Sindrom?
9. Bagaimana prognosis Steven Johnson Sindrom?
C. Tujuan
1. Kita dapat mengetahuipengertian Steven Johnson Sindrom
2. Kita dapat mengetahuietiologi Steven Johnson Sindrom
3. Kita dapat mengetahuiklasifikasi Steven Johnson Sindrom
4. Kita dapat mengetahuipatofisiologi Steven Johnson Sindrom
5. Kita dapat mengetahuitanda dan gejala Steven Johnson Sindrom
6. Kita dapat mengetahuipenatalaksanaan Steven Johnson Sindrom
7. Kita dapat mengetahuikomplikasi Steven Johnson Sindrom
8. Kita dapat mengetahui pemeriksaan diagnostik Steven Johnson Sindrom
9. Kita dapat mengetahui prognosis Steven Johnson
BAB II
LANDASAN TEORITIS MEDIS
2.1 Pengertian
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium
serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu,
eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis, dll.
Steven-Johnson’s Syndrome (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat mengancam
jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang dikenal dengan trias kelainan
pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium dan mata disertai gejala umum berat.Stevens dan
Johnson pertama kali melaporkan dua buah kasus erupsi kutaneus yang disertai erosif stomatitis
dan kelainan pada mata. Pada tahun 1956, Lyell mendeskripsikan pasien dengan kehilangan
epidermis hingga nekrosis dan pertama kali diperkenalkan sebagai Toxic Epidermal Necrolysis
(TEN).Baik SJS maupun TEN ditandai dengan kelainan pada kulit dan mukosa.Makula eritem
merupakan lesi yangsering terdapat pada lokasi tubuh dan kaki bagian proksimal lalu
berkembang secara progresif menjadi bula flaccid yang menyebabkan pelepasan epidermal.
Dikarenakan kesamaan antara gejala klinis, penemuan histopatologis, penyebab, serta
mekanismenya, kedua kondisi ini hanya dapat bisa dibedakan dengan total body surface area.
Dikatakan SJS apabila total body surface area yang terkena 30%. Apabila total body surface area
yang terkena 10-30% disebut SJS-TEN overlap, keduanya juga dikenal dengan istilah epidermal
necrolysis.
2.2 Etiologi
Etiologi pasti Sindrom Stevens – Johnson (SSJ) belum diketahui. Salah satu
penyebabnya ialah alergi obat sistemik, diantaranya penisilin dan semisintetiknya, streptomisin,
sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik/analgetik (misalnya : derivate salisil/pirazolon, metamizol,
metampiron, dan parasetamol), klorpromazin, karbamazepin, kinin, antipirin, dan jamu. Selain
itu dapat juga disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma, psca vaksinasi,
radiasi, dan makanan.
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa factor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
a) Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti piretik )
a) Penisilline
b) Sthreptomicine
c) Sulfonamide
d) Tetrasiklin
b) Anti piretikatauanalgesic ( derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol )
a) Kloepromazin
b) Karbamazepin
c) Kirin Antipirin
d) Tegretol
c) Infeksi mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur dan parasit )
d) Neoplasma dan factor endokrin
e) Factor fisik ( sinar matahari, radiasi, sinar-X, penyakit polagen, keganasan, kehamilan)
f) Makanan (coklat)
2.3 Klasifikasi
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ
terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang
dewasa sekitar 2,7 – 3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi
mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak
pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit
tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong.
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar adalah epidermis
yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan lapisan dalam yang berasal dari
mesoderm adalah dermis atau korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat
1. Lapisan Kulit
a. Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler..Epidermis terdiri atas lima lapisan
(dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) : Stratum Korneum,Stratum
Lusidum,Stratum Granulosum,Stratum Spinosum,Stratum Basale (Stratum Germinativum),
Fungsi Epidermis :Proteksi barier,Organisasi sel, Sintesis vitamin D dan sitokin, Pembelahan
dan mobilisasi sel, Pigmentasi (melanosit), Pengenalan alergen (sel Langerhans),
b. Dermis
Dermis Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap sebagai “True
Skin”.Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan menghubungkannya dengan
jaringan subkutis.
Fungsi Dermis : Struktur penunjang, Mechanical strength, Suplai nutrisi, Menahan shearing
forces dan respon inflamasi.
c. Subcutis
Subkutan Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan
lemak.Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar dengan
jaringan di bawahnya.Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan
nutrisi individu.Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi.
Fungsi Subkutis / hipodermis : Melekat ke struktur dasar, Isolasi panas, Cadangan
kalori, Kontrol bentuk tubuh, Mechanical shock absorber.
3. Fisiologi kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah
memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol
suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme.
4. Fungsi Imun
Terdapatduamacamtipeimunitasyaitu :
a. Imunitas alami (natural)
Imunitas alami akan memberikan respons nonspesipik terhadap setiap penterang asing
tanpa memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar dari mekanisme pertahanan alami
berupa kemampuan untuk membeda kan antara “diri sendiri” dan “bukan diri sendiri”. Sawar
fisik mencakup kulit serta membrane mukosa yang utuh sehingga mikroorganisme pathogen
dapat dicegah agar tidak masuk ke dalam tubuh, dan silia pada traktus respiratorius bersama
respons batuk serta bersin yang bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran nafas atas
dari mikroorganisme pathogen sebelum mikroorganisme tersebut dapat menginvasi tubuh
lebih lanjut.
Sawar kimia seperti getah lambung yang sam, enzim dalam air mata serta air liur (saliva)
dan substansi dalam secret kelenjar sebasea serta lakrimalis, bekerja dengan cara nonspesifik
unuk menghancurkan bakteri dan jamur yang menginvasi tubuh. Sel darah putih atau leukosit
turut serta dalam respons imun humoral maupun seluler.Leukosit granuler atau granulosit
yang mencakup neutrofil, eusinofil, dan basofil.
b. Imunitas didapat (akuisita)
Imunitas yang didapat (acquired immunity) terdiri atas respons imunyang tidak dijumpai
pada saat lahir tetapi akan diperoleh kemudian dalam hidup seseorang. Imunitas ini didapat
biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang
menghasilkan respons imunyang bersifat protektif. Pada imunitas yang didapat aktif,
pertahanan imunologo akan dibentuk tubuh orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut.
Imunitas ini biasanya berlangsung selama bertahun – tahun atau bahkan seumur hidup.
Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan dari sumber
lain yang sudah memiliki kekebalan setelah penderita sakit atau menjalani imunisasi. Gama
– globulin dan antiserum yang didapat dari plasma darah rang yang memiliki imunitas
didapatkan dalam keadaan darurat untuk memberikan kekebalan terhadap penyakit ketika
resiko terjangkit suatu penyakit tertentu cukup besar.
c. Stadium Respons Imun
Terdapat empat stadium yang batasnya jelas dalam suatu respons imun, keempat stadium
tersebut yaitu :Stadium pengenalan, Stadium proliferasi, Stadium respons, Stadium
efektor,faktor – faktor yang memepengaruhi system imunUsia ,Jenis kelamin, Nutrisi,
Penyakit, Faktor – faktor psikoneuro-imunologi, Obat – obatan.
d. Antigen
Terdapat beberpa teori tentang mekanisma yang digunakan limfosit B untuk mengenali
antigen penyerang dan kemudian bereaksi dengan memproduksi antibody yang tepat.
Sebagian antigen memiliki kemampuan untuk memicu pembentukan antibody secara
langsung oleh limfosit B, sementara sebagian lainnya memerlukan bantuan sel – sel T. sel T
merupakan bagian dari system surveilans yang tersebar diseluruh tubuh, dengan bantuan
makrofag maka limfosit T akan manganali antigen dari penyerang asing. Limfosit T
mengambil pesan antigenic atau cetak biru (blueprint) antigen dan kemudian kembali ke
nodus limfatikus yang terdekat dengan pesan tersebut.
e. Antibody
Limfosit B yang disimpan dalam nodus limfatikus, dibagi lagi menjadi ribuan klon yang
masing – masing bersifatrespnsif terhadap suatu kelompok tunggal antigen dengan
karakteristik yang hamper identik. Pesan antigenic yang dibawa kembali ke nodus limfatikus
akan menstimulasi kln spesifik limfosit B untuk membesar, membelah diri, dan
memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi sel – sel plasma yang dapat memproduksi
antibody spesifik terhadap antigen.
Antibody merupakan protein besar yang dinamakan immunoglobulin, setiap molekul
antibody terdiri atas dua subunit yang mengandung rantai peptide ringan dan berat.
Beberapa karakteristik immunoglobulin yaitu antara lain , Ig G (75 % dari total
imunoglobulin), Ig A (15 % dari total imunoglobulin), Ig M (10 % dari total
imunoglobulin), Ig D (0,2 % dari total imunoglobulin),Ig E (0,004 % dari total
imunoglobulin)
f. Respons Imun Seluler
Reaksi seluler dimulai leh pemhikatan antigen dengan reseptor antigen pada permukaan
sel T. sel T akan membawa cetak biru atau pesan antigenic ke nodus limfatikus tempat
produksi sel – sel T yang lain distimulasi. Sebagian sel T tetap berada dalam nodus
limfatikus dan mempertahankan memri untuk antigen tersebut. Sedangkan sebagian sel T
lainnya akan bermigrasi dari nodus limfatikus ke dalam system sirkulasi umum dan akhirnya
ke jaringan tempat sel tersebut berada.
Terdapat dua klasifikasi utama sel T efektor yang turut serta dalam menghancurkan
mikroorgansme asing. Sel T killer atau sitotoksik menyerang antigen sacara langsung
dengan mengubah membrane sel dan menyebabkan lisis sel. Sel – sel hipersensitifitas tipe
lambat melindungi tubuh melalui produksi dan pelepasan limfosit. Limfokin yang termasuk
dalam kelompok glikoprotein yang lebih besar dan dikenal dengan nama sitokin, dapat
merekrut, mengaktifkan serta mengatur limfosit dan sel – sel darah putih lainnya.
Limfosit lain yang membantu dalam memerangi mikroorganisme yaitu limfosit null dan
sel natural killer (NK). Limfosit null, merupakan subpolpulasi limfosit yang kurang
mengandung cirri – cirri khas dari limfosit B dan T. Sel NK yang mewakili suppulasi
limfosit lainnya tanpa karakteristik sel B dan T yang akan mempertahankan tubuh terhadap
mikroorganisme dan beberapa tipe sel malignan. Sel NK dapat membunuh langsung
mikroorganisme penginvasi dan menghasilkan sitokin.
2.4 Patofisiologis
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-
presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi Kegagalan fungsi
kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi
terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat, Kegagalan termoregulasi, Kegagalan fungsi
imun, Infeksi.
2.6 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-
40 mg sehari.Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat.Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari.Pasien steven-Johnson berat harus
segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi,
keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan
Cl).Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.Untuk mengatasi efek katabolik dari
kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
nanadrolon.Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
4. Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in oral base.Untuk lesi di kulit
yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
2.7 Komplikasi
Bronkopneumonia (16%), sepsis, kehilangan cairan/darah, gangguan keseimbangan
elektrolit, syok, dan kebutaan karena gangguan lakrimasi.
Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut:
Kehilangan cairan dan darah
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, Shock
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi - Esophageal strictures
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
Pulmonari – pneumonia, bronchopneumoni
Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
Infeksi sitemik, sepsis
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Bila ditemukan leukositosis penyebab kemungkinan dari infeksi
Bila eosinophilia penyebab kemungkinan alergi
2. Histopatologi
Infiltrasiselononuklear di sekitarpembuluhdarah dermis superficial
Edema dan extravasasiseldarahmerah di dermis papilar.
Degenerasihidrofiklapisanabsalissampaiterbentukvesikelsubepidermal
Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang dianeksa
Spongiosis dan edema intrasel di epidermis
3. Imunologi
DepositIgM dan C3 di pembuluhdarah dermal superficial dan pada pembulihdarah yang
mengalamikerusakan
Terdapatkomplekimun yang mengandungIgG, IgM, IgA secara
tersendiriataudalamkombinasi
2.9 Prognosis penyakit
Tes SCORTEN adalah tes untuk menskoring derajat keparahan Sindroma Steven Johnson.
Perhitungan dilakukan dalam 24 jam untuk memprediksi kematian. Adanya penampakan dari
tiap hal dibawah ini mendapat skor 1, dan jumlah dari poin-poin inilah yang dinamakan angka
SCORTEN dengan maksimum skor 7. Penampakan yang diukur : umur lebih dari 40 tahun,
adanya keganasan, nadi lebih dari 120 kali per menit, kadar glukosa lebih dari 252 mEq/L5, luas
permukaan tubuh yang terkena lebih dari 10 % (Gustiawan, 2010,
Menurut Siregar, RS (2005, hlm.142) prognosis umumnya baik, dapat sembuh secara
sempurna bergantung pada perawatan dan cepatnya mendapat terapi yang tepat. Jika terdapat
purpura, prognosisnya lebih buruk, angka kematian lebih kurang 5-15 % karena purpura dapat
menyebabkan pendarahan kecil didalam kulit, membran mukosa, atau permukaan serosa tetapi
dapat menyebabkan terjadinya lesi bercorak anular atau serpiginosa dan biasanya terjadi setelah
penyakit menular yang ditandai dengan gejala demam, anemia, dan pendarahan kulit simetris
yang timbul mendadak serta cepat meluas pada ekstrimitas bawah, sring ditandai dengan
ganggren dan trombosis intravaskuler yang luas.
\
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
a. Trigercase :
Nn. M usia 18 tahun memeriksakan kondisi ke RS Amanah dengan kedua orang tua nya pada
tanggal 21 oktober 2021. Nn.M mengatakan bahwa dia merasa. Mulutnya terasa perih saat
mengunyah dan sulit untuk menelan serta tidak selera makan atau minum,Setelah diamati
oleh perawata ternta Nn.M di temukan adanya lesi di daerah bibir, terdapat ruam dan bercak
kemerahan yang menyebar luas di sekitar kulit badan bagian atas ,eritma di seluruh tubuh,
Nn.M juga mengatakan bahwa dirinya mengalami penurunan BB dari 50 Kg menjadi 45 Kg
dalam waktu dekat ini. Nn. M sebelum hal ini terjadi , dia sering mengonsumsi obat
antibiotik seperti penisilin. Nn. M lahir di Jepara,20 Oktober 2003. Tinggal di kota Jepara
bersama dengan orang tua nya dan merupakan seorang pelajar di SMAN Jepara. Tanda-tanda
vital yang di peroleh yaitu TD : 120/90 mmHg Suhu 38,9’C , Nadi : 68 x/menit RR :
22x/menit. Nn.M akan diajukan untuk pemeriksaan selanjutnya yaitu pemeriksaan
hispopatologik biopsi kulit , hal ini dilakukan untuk mengetahui adanya nekrosis epidermis
dengan keterlibatan kelenjar keringat, folikel rambut dan perubahan dermis..
b. Asuhan Keperawatan :
1. Pengkajian :
Biodata Pasien :
- Nama : Nn. M
- Usia : 18 tahun
- Tanggal lahir : Jepara, 20 Oktober 2003
- Jenis Kelamin : perempuan
- Tempat tinggal : Jepara
- Pekerjaan : Pelajar
- Tanggal pemeriksaan : 21 Oktober 2021
Riwayat Kesehatan :
- Keluhan utama :Mulutnya terasa perih saat mengunyah dan sulit untuk menelan serta
tidak selera makan atau minum.
- Riwayat kesehatan sekarang : Px mengatakan merasa mulutnya terasa perih saat
mengunyah dan sulit untuk menelan serta tidak selera makan atau minum.
Px juga mengatakan bahwa tubuhnya merasa demam.
- Riwayat Kesehatan sebelumnya : Px mengatakan sering mengonsumsi antibiotik
penisilin.
- Riwayat Kesehatan Keluarga : Orang tua px mengatakan tidak ada yang mengalami hal
seperti px sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik :
-TTV :
Suhu : 38,9’C
Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Nadi : 68x/menit
Kesadaran :apatis
Turgor kulit: menurun
RR : 22x/menit
- Sistem Pernafasan :
a. Hidung : Inspeksi : tidak ada nafas cuping hidung, Palpasi : tidak ada nyeri tekan
b. Mulut : Inspeksi : Mukosa bibir lembab, terdapat luka di bagian mulut pasien
c. Sinus Paranalisis : Inspeksi : Tidak ada tanda adanya infeksi, palpasi : tidak ada nyeri
tekan
d. Leher : Inspeksi : terdapat ruam dan bercak merah , simetris kanan dan kiri, Palpasi :
ada nyeri tekan
e. Faring : Inspeksi : Tidak ada odema
f. Area Dada : Inspeksi : Pola nafas efektif
g. Palpasi : tidak ada nyeri tekan
h. Perkusi : Sonor
i. Auskultasi : vesikuler
- Kardiovaskuler dan limfe :
a. Wajah : Inspeksi : bengkak, terlihat area luka lepuh di sekitar mata dan mulut
b. Leher : Inspeksi : tidak ada bendungan vena jungularis, palpasi : irama denyutan
arteri carotis communis normal.
c. Dada : Inspeksi : Dada terlihat simetris. Palpasi : Letak ictus (ICS 5,2 cm medial dari
garis midklavikula sinistra)
Perkusi : Tidak ada tanda-tanda bunyi yang mredup
Auskultasi : Bunyi jantung normal
- Persyarafan :
a. Pemeriksaan Nervus :
1. Nervus I olfakorius (Pembau)
Px bisa membedakan aroma saat diberi minyak kayu putih
2. Nervus II Opticus (Penglihatan)
Bisa melihat benda jarak jauh dengan jarak 30 cm
3. Nervus III Oculomotorius
Ada odema pada kelopak mata di area luka lepuh
4. Nervus IV toklearis
Ukuran pupil normal, tidak ada perdarahan
5. Nervus V trigeminus (sensasi kulit wajah)
Kulit wajah odem di beberapa area yang terdapat luka lepuh
6. Nervus VI abdusen
Bola mata simetris
7. Nervus VII Facialis
Klien bisa membedakan rasa asin dan manis dengan mata tertutup
8. Nervus VIII auditorius / Akustikus
Fungsi Pendengaran baik
9. Nervus IX glosoparingeal
Klien mengalami kesulitan menelan karena adanya rasa perih/nyeri pada area
mulut.
10. Nervus X Vagus
Uvula klien simetris terlihat ketika klien membuka mulut dan berkata “aa”
11. Nervus XI aksesorius
Klien tidak merasa kesulitan saat mengangkat bahu dengan melawan tekanan atau
tahanan
12. Nervus XII hypoglosal / hiplogosum
Bentuk lidah simetris, klien mampu menjulurkan lidah.
2. Analisis Data
Do: - TTV :
Suhu : 38,9’C
Tekanan Darah : 120/90 mmHg
Nadi : 68x/menit
Kesadaran :apatis
Turgor kulit: menurun
RR : 22x/menit
4. Rencana Keperawatan
a. Gangguan integritas kulit b.d inflamasi dermal dan epidermal
Tujuan : kerusakan integritas kulit menunjukkan perbaikan dalam 7-10
hari.
Kriteria Hasil: Menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh, tidak ada
lesi baru, lesi lama mengalami involusi, tidak ada lesi yang infected
Intervensi:
1) Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta
perubahan lainnya yang terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
2) Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju,
membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses
penyembuhan dan menurunkan resiko infeksi
3) Jaga kebersihan alat tenun
Rasional: untuk mencegah infeksi
4) Kolaborasi dengan tim medis
Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan :
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai
gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis,
dll.Steven-Johnson’s Syndrome (SJS) merupakan suatu penyakit akut yang dapat mengancam
jiwa yang ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang dikenal dengan trias kelainan
pada kulit vesikobulosa, mukosa orifisium dan mata disertai gejala umum berat. Dengan Tanda
dan Gejala, Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya
bervariasi dari ringan sampai berat.Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat
soporous sampai koma.Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam
tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
b. Saran :
Kami masih memahami akan adanya kekurangan dalam pembuatan makalah ini, sehingga saran
dari pembaca sangat diperlukan untuk pembenahan lanjutan ke arah yang lebih baik dalam
pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA