Anda di halaman 1dari 37

Case Report Session

ANEMIA DEFISIENSI BESI (ADB)

OLEH :

Mayasari Putri Yanna


(1610070100076)

PRESEPTOR:
dr. Irwandi, Sp.A, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD M.NATSIR 2021

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, dan segala
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah laporan kasus yang
berjudul “Anemia Defisiensi Besi” ini dengan sebagaimana mestinya.
Case ini merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Anak RS M. Natsir Solok. Laporan kasus ini menyajikan mengenai Anemia
Defisiensi Besi beserta kasusnya.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing dr. Irwandi, Sp. A,
M.Biomed yang telah memberikan pengarahan dalam menyelesaikan laporan
kasus ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih
terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan
terimakasih.

Solok, Agustus 2021

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia adalah berkurangnya volume eritrosit atau konsentrasi
hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dalam darah tidak
mencukupi untuk kebutuhan fisiologis tubuh. Jika produksi eritrosit dan
penghancuran eritrosit tidak seimbang maka akan mengakibatkan terjadinya
anemia. Prevalensi anemia pada usia 0-5 tahun di dunia cukup tinggi yaitu sekitar
47,7% dari seluruh total populasi yang mengalami anemia. Asia tenggara
memiliki prevalensi tertinggi sekitar 65,5% dan di Indonesia mencapai 44,5%.
Prevalensi anemia lebih tinggi pada anak perempuan dari anak laki-laki serta
tempatnya lebih tinggi di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan. 1,2 Anak-anak
sangat berisiko untuk terjadinya anemia, karena berbagai penyebab seperti infeksi,
tidak seimbangnya kebutuhan besi dengan pertumbuhan pada anemia defisiensi
besi. Anemia yang terjadi secara kronik pada anak akan mempengaruhi
pertumbuhan, fungsi jantung dan perkembangan kognitif. 3

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran morfologi eritrosit


dan etiopatogenesis. Anemia berdasarkan morfologinya terbagi atas mikrositer
hipokrom, normositer normokrom dan makrositer. 4 Anemia defisiensi besi adalah
anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis,
karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.5 Prevalensi ADB menurut
WHO pada anak di dunia masih tinggi sekitar 27%. 6 Pada Negara berkembang
prevalensi anak balita sekitar 40-45%. Di Indonesia ADB merupakan salah satu
masalah kesehatan gizi utama. Prevalensi menurut Riskesdas 2007 sekitar 60,2%
dari kasus anemia merupakan anemia mikroitik hipokrom. 7
Manifestasi klinis ADB pada anak pucat, fatigue, nadi terasa cepat. Gejala
dan tanda hiperdinamik pada anak denyut nadi kuat, jantung berdebar.8 Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva, tangan
dan kaki serta pada pemeriksaan hasil laboratorium menunjukan cadangan besi
kosong.5
Anemia defisiensi besi merupakan masalah kesehatan gizi utama yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak seumur hidup karena
menyebabkan gangguan kognitif , perilaku dan pertumbuhan pada anak.9

1.2 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui dan menambah wawasan mengenai Anemia defisiens besi
pada anak.
2. Melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di bagian ilmu
kesehatan anak RSUD M.Natsir Solok tahun 2021.

1.3 Manfaat Penulisan

1. Sebagai informasi dan menambah wawasan mengenai Anemia defisiens


besi pada anak.
2. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda untuk menjalankan
kepaniteraan klinik senior terutama di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
M. Natsir Solok.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendekatan Anemia
Anemia adalah berkurangnya jumlah sel darah merah atau Hb yang
merupakan pengangkut oksigen dalam darah, sehingga tidak mencukupi
kebutuhan fisiologis tubuh dengan kadar Hb < 11 g/dl. Cut of point berdasarkan
anemia tergantung usia dan jenis kelamin. 2 Berdasarkan WHO, anemia pada anak
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Range Hemoglobin untuk Mendiagnosa Anemia10
Usia Anemia Ringan Anemia Sedang Anemia Berat
6 – 59 bulan 10-10.9 g/dl 7-9.9 g/dl < 7 g/dl
5 – 11 tahun 11-11.4 g/dl 8-10.9 g/dl < 8 g/dl
12 – 14 tahun 11-11.9 g/dl 8-10.9 g/dl < 8 g/dl
Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran morfologi eritrosit
dari hapusan darah tepi. Anemia mikrositik hipokrom jika MCV < 80 fl dan MCH
< 27 pg, Anemia normositik normokrom jika MCV 80-95 fl dan MCH 27- 34 pg,
sedangkan Anemia makrositik jika MCV > 95 fl. 10 Anemia juga dapat
diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologinya, dapat dilihat pada Tabel 2
Tabel 2. Klasifikasi Anemia berdasarkan Morfologi dan Etiologi4
I Anemia Hipokrom Mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalassemia major
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
II Anemia Normokrom Normositik
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindroma mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic
III Anemia Makrositer
1. Bentuk Megaloblastik
a. Anemia defisiensi asam folat
b. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
2. Bentuk non-megaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia pada hipotiroid
c. Anemia pada sindroma mielodisplastik
Klasifikasi anemia menurut etiopatogenesisnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis.4
A Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan (utilasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloplastik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindroma mielodisplastik
4. Anemia akibat kekurangan eritropoitin : pada gagal ginjal kronik
B Anemia akibat hemoragi
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskuler
a. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat
defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati structural : HbS, HbE
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopatik
D Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang
kompleks

Cara mendiagnosa anemia dapat dilihat dari hasil labor. Algoritma


pendekatan diagnostik anemia dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Algoritma Pendekatan Diagnostik Anemia4

Gambar 2. Algoritma Pendekatan Diagnostik Anemia Mikrositik Hipokrom.4


Gambar 3. Algoritma Pendekatan Diagnostik Anemia Normositik normokrom4
Gambar 4. Algoritma Diagnosis Anemia Makrositik.4
2.2 Anemia Defisiensi Besi (ADB)
2.2.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan kurangnya
ketersediaan zat besi di dalam tubuh sehingga menyebabkan zat besi yang
diperlukan untuk eritropoesis tidak cukup. Hal ini ditandai dengan gambaran
eritrosit yang hipokrom mikrositer, penurunan kadar besi serum, transferrin,
dan cadangan besi, disertai peningkatan kapasitas ikat besi/ total iron binding
capacity (TIBC). 5
2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi anemia secara global untuk anak usia pra-sekolah adalah
47,4% dengan populasi terbanyak di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Jumlah kasus anemia terbanyak didapatkan di Asia dengan prevalensi 58%.
Indonesia sebagai salah satu negara terbesar di Asia Tenggara juga
menghadapi masalah yang sama. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
melaporkan proporsi anemia di Indonesia untuk anak pra-sekolah adalah
28,1%.9
2.2.3 Etiologi
Etiologi Anemia defisiensi besi secara umum dibagi 4:5
a. Diet atau asupan zat besi yang kurang
Setiap hari zat besi dari tubuh yang diekskresikan melalui kulit dan
epitel usus sekitar 1 mg maka diimbangi asupan zat besi melalui diet
sekitar 1 mg untuk menjaga keseimbangan asupan dan ekskresi yang
berguna untuk kebutuhan produksi eritrosit. Asupan besi yang rendah pada
diet yang tidak adekuat dapat menyebabkan cadangan besi berkurang,
sehingga proses eritropoesis akan berkurang .
b. Kebutuhan yang meningkat
Kebutuhan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan
seperti pada bayi, anak-anak, remaja, kehamilan dan menyusui. Pada anak-
anak terutama yang mendapat susu formula kebutuhan zat besi meningkat
karena sedikit mengandung besi.
c. Gangguan Penyerapan
Diet yang kaya zat besi tidak menjamin ketersediaan zat besi di
dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang dapat diserap sangat
tergantung dari kondisi atau makanan yang dapat menghambat maupun
yang mempercepat penyerapan besi. Penyerapan besi sangat tergantung
dengan adanya asam lambung yang membantu mengubah ion ferri
menjadi ion ferro. Ganggguan penyerapan besi dapat dijumpai pada pasien
dengan sindrom malabsorbsi seperti gastrectomy, gastric bypass, celiac
disease.
d. Kehilangan Darah yang Kronis
Pada perempuan kehilangan zat besi sering karena menstruasi yang
banyak dan lama atau kondisi seperti tumor fibroid maupun malignan
uterin. Selain itu, pendarahan melalui saluran cerna bisa disebabkan ulkus,
gastritis karena alkohol atau aspirin, tumor, parasit dan hemoroid.
Tabel 4. Penyebab Anemia Defisiensi Menurut Umur 12

Bayi di bawah umur 1 tahun


 Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah atau lahir kembar.
1. Anak berumur 1-2 tahun
 Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat makanan tambahan
(hanya minum susu)
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
 Malabsorbsi
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan
diverticulum Meckeli.
2. Anak berumur 2-5 tahun
 Masukan besi kurang karena enis makanan kurang mengandung Fe-heme
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasit dan
diverticulum Meckeli
3. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infestasi parasite dan
polyposis
4. Usia remaja-dewasa
 Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan
2.2.4 Patogenesis
a. Metabolisme zat besi
Sumber zat besi untuk metabolisme besi berasal dari makanan dan
proses penghancuran eritrosit (daur ulang) di retikulo endotelial oleh
makrofag. Zat besi yang berasal dari makanan ada 2 bentuk yaitu heme
(contoh daging, ikan, ayam, udang, cumi) dan non heme (contoh sayuran,
buah, kacangkacangan, beras, pasta). Zat besi yang berasal dari makanan
non heme dalam bentuk ion ferri yang harus direduksi dahulu menjadi
bentuk ion feero sebelum diabsorpsi. Proses absorbsi ini dipermudah oleh
suasana asam seperti adanya asam hidroklorida yang diproduksi oleh sel
parietal lambung, vitamin C, beberapa substansi seperti fruktosa dan asam
amino. Bentuk ion ferro ini kemudian diabsorbsi oleh sel mukosa usus
halus, di dalam sel mukosa usus bentuk ion ferro akan mengalami oksidasi
menjadi bentuk ion ferri kembali. Sebagian kecil ion ferri ini akan
berikatan dengan apoferitin membentuk feritin, dan sebagian besar akan
mengalami reduksi menjadi bentuk ion ferro lagi yang akan dilepaskan ke
dalam peredaran darah dan ion ferro direoksidasi menjadi bentuk ion ferri
yang kemudian berikatan dengan transferin dan disimpan sebagai
cadangan di dalam hati, lien dan sumsum tulang dalam bentuk feritin. Bila
cadangan besi dalam tubuh berkurang atau kebutuhan besi meningkat,
maka absorbsi zat besi akan meningkat, sebaliknya bila cadangan zat besi
meningkat maka absorbsi akan berkurang.5 Sedangkan besi heme di
lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan enzim
proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang
akan masuk ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian akan
dipecah oleh enzim hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan porfirin.
Selanjutnya ion feri bebas ini mengalami siklus seperti di atas.11

b. Patogenesis anemia defisiensi zat besi


Perkembangan anemia defisiensi besi terdiri 3 tahap:5
Tahap pertama: Kekurangan besi (deplesi besi) Secara umum pada tahap
ini tidak menunjukkan gejala, pada tahap ini persediaan besi di sumsum
tulang berkurang. Feritin serum akan menurun akibat meningkatnya
penyerapan zat besi oleh mukosa usus sebagai kompensasinya hati akan
mensintesis lebih banyak transferin sehingga akan terjadi peningkatan
TIBC. Pada keadaan ini tidak menyebabkan anemia (CBC normal) dan
morfologi eritrosit normal, distribusi sel darah merah biasanya masih
normal.
Tahap kedua Disebut juga tahap eritropoiesis yang kekurangan besi. Pada
tahap ini kandungan hemoglobin (Hb) pada retikulosit mulai menurun, hal
ini merefleksikan omset dari eritropoiesis yang kekurangan besi. Tetapi
karena sebagian besar eritrosit yang bersirkulasi merupakan eritrosit yang
diproduksi saat ketersediaan besi masih adekuat, maka total pengukuran
Hb masih dalam batas normal, anemia masih belum tampak. Akan tetapi
Hb akan terus mengalami penurunan, Red Blood Cell distribution Widths
(RDW) akan meningkat karena mulai ada eritrosit yang ukurannya lebih
kecil dikeluarkan oleh sumsum tulang. Serum iron dan feritin akan
menurun, TIBC dan transferin akan meningkat. Reseptor transferrin akan
meningkat pada permukaan sel-sel yang kekurangan besi guna menangkap
sebanyak mungkin besi yang tersedia. Seperti pada tahap pertama, pada
tahap kedua ini juga bersifat subklinis, sehingga biasanya tidak dilakukan
pemeriksaan laboratorium.
Tahap ketiga Tahap ini anemia defisiensi besi menjadi jelas, nilai Hb dan
hematokrit (Ht) menurun, karena terjadi deplesi pada simpanan dan
transport besi maka prekursor eritrosit tidak dapat berkembang secara
normal. Eritrosit kemudian akan menjadi hipokromik dan mikrositik. Pada
tahap ini terjadi eritropoesis inefektif akibat kurangnya cadangan besi dan
transport besi. Pasien akan menunjukkan tanda-tanda anemia dari yang
tidak spesifik hingga tanda-tanda anemia berat.

Tabel 5. Tahapan Kekurangan Besi.11

Hemoglobin Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3


Normal Sedikit Menurun jelas
menurun (mikrositik/hipokrom)

Cadangan besi (mg) <100 0 0

Fe serum (ug/dl) Normal <60 <40

TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410

Saturasi transferrin(%) 20-30 <15 <10

Ferritin serum (ug/dl) <20 <12 <12

Sideroblas (%) 40-60 <10 <10

FEP (ug/dl sel daram >30 >100 >200


merah)

MCV Normal Normal Menurun

2.2.5 Manifestasi Klinis13


Anamnesis
a. Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan
b. Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan
tubuh terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi
belajar
c. Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas,
tanah,rambut
d. Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan
makanan yang menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan fitat
(beras, gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama sejak
bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics)
e. Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.

Pemeriksaan fisis13
a. Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu diperhatikan
oleh keluarga.
b. Bila kadar Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia
c. Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL
d. Tanpa organomegali
e. Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia,
gagal jantung, protein-losing enteropathy
f. Rentan terhadap infeksi
g. Gangguan pertumbuhan
h. Penurunan aktivitas kerja
Pemeriksaan penunjang13
a. Darah lengkap yang terdiri dari: hemoglobin rendah; MCV, MCH, dan
MCHC rendah. Red cell distribution width (RDW) yang lebar dan MCV
yang rendah merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
1. Nilai RDW tinggi >14.5% pada defisiensi besi, bila RDW normal
(<13%) pada talasemia trait.
2. Ratio MCV/RBC (Mentzer index) » 13 dan bila RDW index
(MCV/RBC xRDW) 220, merupakan tanda anemia defisiensi besi,
sedangkan jika kurang dari 220 merupakan tanda talasemia trait.
3. Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik, anisositosis, dan
poikilositosis.
b. Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin <12 ng/mL
dipertimbangkan sebagai diagnostik defisiensi besi
c. Nilai retikulosit: normal atau menurun, menunjukkan produksi sel darah
merah yang tidak adekuat
d. Serum transferrin receptor (STfR): sensitif untuk menentukan defisiensi
besi, mempunyai nilai tinggi untuk membedakan anemia defisiensi besi
dan anemia akibat penyakit kronik
e. Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) akan meningkat

f. Terapi besi (therapeutic trial): respons pemberian preparat besi dengan


dosis 3 mg/kgBB/hari, ditandai dengan kenaikan jumlah retikulosit antara
5–10 hari diikuti kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau hematokrit 3%
setelah 1 bulan menyokong diagnosis anemia defisiensi besi. Kira-kira 6
bulan setelah terapi, hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali untuk
menilai keberhasilan terapi.
Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan sesuai dengan fasilitas yang ada.
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan
dengan gejala klinis yang sering tidak khas.11
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan
ADB:11
a. Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-tata <31% (N:32-35%)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dl ( N:80-180 Ug/dl)
4. Saturasi transferrin <15% (N:20-50%)
b. Kriteria ADB menurut Cook dan Monsen:
1. Anemia mikrositik hipokrom
2. Saturasi transferrin <16%
3. Nilai FEP > 100 ug/dl eritrosit
4. Kadar ferritin serum < 12 ug/dl
Untuk keperntingan diagnosis minimal 2 dari 3 kriteria (ST, ferritin
serum, dan FEP)
c. Kriteria menurut Lanzkowsky:
1. Pemeriksaan apus darah terpi anemia mikrositik hiporom yang
dikonfirmasi dengan kadar MCV, MCH dan MCHC menurun.
RDW (red cell distribution width) >17%
2. FEP meningkat
3. Ferritin serum menurun
4. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 16%
5. Respon terhadap pemberian preparat besi
 Retikulositosis mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah
pemberian besi
 Kadar hemoglobin meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dl/hari
atau PCV meningat 1%/hari
6. Sumsum tulang
 Tertundanya maturasi sitoplasma
 Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau
besi berkurang.
Cara lain untuk menentukan adanya ADB adalah dengan trial pemberian
preparat besi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB dengan melihat
respons hemoglobin terhadap pemberian preparat besi. Prosedur ini sangat mudah,
praktis, sensitive dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi menderita
ADB. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu
terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang
bersangkutan menderita ADB.11
2.2.7 Diagnosis Banding
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik

lainnya seperti : anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia

sideroblastik.11

Anemia akibat
Anemia Anemia
penyakit Thalassemia
defisiensi besi sideroblastik
kronik

Derajat anemia Ringan-berat Ringan Ringan Ringan-berat

MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N

MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N

Besi serum Menurun < 30 Menurun < 50 Normal/  Normal/ 

Meningkat > Menurun < 300 Normal/  Normal/ 


TIBC
360
Saturasi Menurun Menurun/N Meningkat Meningkat

Transferrin < 15 % 10-20 >20% >20 %


Besi sumsum Negatif Positif Positif kuat Positif dengan

Tulang ring sideroblast


Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal

Eritrosit
Menurun Normal Meningkat Meningkat
Feritinin serum
< 20 g/l 20-200 g/l >50 g/l >50 g/l
N N Hb. A2 N
Elektofoesis-Hb
Meningkat

Tabel 6. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi11


2.2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar
80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pemberian prepatat Fe dapat secara peroral atau parenteral.
Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektifnya dengan pemberian
secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang
tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi
secara peroral karena ada gangguan pencernaan.11
Pemberian preparat besi11
a. Pemberian preparat besi peroral
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam
feri. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinant.
Yang sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah.
Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous suksinat diabsorpsi sama baiknya.
Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).
Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6
mg besi elemental/kgBB hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan
besi elemental yang ada dalam garam ferous. Garam ferous
sulfat_mengandung besi elemental sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu
besar akan menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak
memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik
adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi
dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna, Untuk mengatasi hal
tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah
makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-50%. Obat
diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena
dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat
besi ini harus terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita
teratasi.
Respons terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis
dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel di bawah ini:
Tabel 7. Respon terhadap pemberian besi pada ADB11
Waktu setelah
pemberian besi Respons

12-24 jam Penggantian enzim besi intraseluler; keluhan


subyektif berkurang, nafsu makan bertambah
36-48 jam Respon awal dari sumsum tulang; hyperplasia
eritroid
4-72 jam Retikulositosis, puncaknya pada hari ke 5-7
4-30 hari Kadar Hb meningkat
1-3 bulan Penambahan cadangan besi

Efek saping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada
orang dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang bersifat
sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang
lidah dan cara tetesan.
b. Pemberian preparat besi parenteral11
Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan
harganya mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi
alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding
peroral

Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini


mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg) = BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5
c. Transfusi darah11
Transfusi darah jarang diperlukan, Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi
respons terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya,
malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi
jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup
untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi
besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya
diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian
diuretik seperti furosemid. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.
2.2.9 Pencegahan13
Pencegahan primer:
- Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan
- Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
- Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat pada
waktunya, yaitu sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun
- Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan minum
preparat besi untuk meningkatkan absorbsi besi, serta menghindari bahan
yang menghambat absorbsi besi seperti teh, fosfat, dan fitat pada makanan.
- Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan makanan yang
mengandung kadar besi yang berasal dari hewani
- Pendidikan kebersihan lingkungan

Pencegahan sekunder
a. Skrining ADB
- Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht, waktunya
disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang tepat
masih kontroversial. American Academy of Pediatrics (AAP)
menganjurkan antara usia 9-12 bulan, 6 bulan kemudian, dan usia 24
bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak usia 1
tahun sampai 5 tahun.
- Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin
serum, dan trial terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja.
- Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah satu
alat skrining ADB
- Skrining yang paling sensitif, mudah dan dianjurkan yaitu zinc
erythrocyte protoporphyrin (ZEP).
- Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan berlebihan
sebaiknya dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi ADB dan segera
memberi terapi.
b. Suplementasi besi
Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di daerah
dengan prevalens tinggi. Dosis besi elemental yang dianjurkan:
- Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan | mg/kg
BB/hari
- Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBBJhari, diberikan sejak usia 2 minggu
- Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBBJhari, diberikan sejak usia 2 minggu
- Bayi <I kg:4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
- Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk bayi
dan makanan pendamping ASI seperti sereal.

2.2.10 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan
besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan
yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi kinis lainnya membaik dengan
pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu
dipetimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut:11
o Diagnosis yang salah
o Dosis obat tidak adekuat
o Preparat Fe yang tdak tepat dan kadaluwarsa
o Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap.
o Disertai penyakit yang mempengaruhi absopsi dan pemakaian besi
(seperti infeksi, keganasan, penyaki hati, penyakit ginjal, penyakit
tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12 dan asam folat)
o Gangguan absorpsi saluran cerna ( sepert pemberian anasid yang
berlebhan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan
pada besi)
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : An.F
No.MR : 216745
Umur/Tanggal Lahir : 5 Tahun 4 Bulan / 12 April 2016
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Kampung Batu Dalam, Danau Kembar
Tanggal Kedatangan : 15 Juni 2021, pukul 10.00 WIB
1.2 Alloanamnesis
Keluhan utama
Nyeri ulu hati sejak 12 jam SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
 Demam sejak 1 bulan yang lalu, demam meningkat sejak 3 hari SMRS,
demam hilang timbul, demam terutama sore hari, berkeringat, tidak
menggigil, tidak ada kejang
 Anak tampak lemah dan pucat sejak ± 3 hari SMRS.
 Nafsu makannya berkurang sejak ±3 hari SMRS, makan hanya 1 kali sehari
dengan telur saja.
 Nyeri ulu hati sejak 12 jam SMRS, nyeri di ulu hati, tidak menjalar,
dirasakan hilang timbul.
 Muntah sejak 12 jam SMRS, muntah 1 kali, memuntahkan air bewarna
putih sebanyak ½ aqua gelas.
 Muntah darah di igd, bewarna merah segar, muntah tidak menyemprot.
 Pasien sesak nafas saat di igd, sesak tidak menciut, tidak dipengaruhi
aktifitas, makanan dan cuaca.
 Pasien tidak ada batuk, pilek , tidak ada penurunan berat badan.
 BAB dan BAK normal
 Perdarahan yang berheti lama tidak ada, bintik perdarahan dikaki tidak ada,
muncul memar di badan, tanga, kaki tidak ada, gusi berdarah tidak ada
 Pasien tidak ada mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya
 Riwayat paparan zat kimia tidak ada

23
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Tidak ada penyakit seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga :
 Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan pasien
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
Lama hamil : Cukup bulan
Cara lahir : PN
Berat lahir : 3200 gr
Saat lahir : Langsung menangis kuat
Tidak ada riwayat biru dan kuning setelah lahir
Ditolong oleh : Bidan
Kesan : Sesuai masa kehamilan
Riwayat Makanan dan Minuman
-Anak : Makanan utama : Makanan keluarga 3 x sehari, menghabiskan 1 porsi
dengan 1 centong nasi
Daging : 1 kali/minggu
Ikan : 1 kali/minggu
Telur : 4 kali/minggu
Sayur : 1kali/minggu
Buah : 1 kali/minggu
Snack 2x perhari
Kesan : Kualitas buruk dan kuantitas baik
Riwayat Imunisasi:
IMUNISASI DASAR/UMUR Bosteer/umur
Hepatitis B -
1 Lahir
2 2 bulan
3 3 bulan
4 4 bulan

Polio -
0 1 bulan
1 2 bulan
2 3 bulan
3 4 bulan

24
BCG 1 bulan -

DPT -
1 2 bulan
2 3 bulan
3 4 bulan
Hib
1 2 bulan
2 3 bulan
3 4 bulan
Campak 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Umur
Tertawa 3 bulan
Miring 3 bulan
Tengkurap 5 bulan
Duduk 6 bulan
Merangkak 9 bulan
Berdiri 8 bulan
Lari 15 bulan
Gigi pertama 6 bulan
Bicara 2 bulan
Membaca -
Prestasi di sekolah -

Kesan : Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan baik


Riwayat Perumahan dan Lingkungan
• Rumah tempat tinggal : Rumah Sendiri ( 4 orang )
• Sumber air minum : Air mata air / pincuran
• Buang air besar : Jamban sendiri
• Pekarangan : Luas dan bersih
• Sampah : Bakar sendiri
Kesan : Riwayat perumahan dan lingkungan buruk

Pemeriksaan fisik :

25
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : 90/50 mmHg
Nadi : 125 x/ menit
Nafas : 40 x/ menit

Suhu : 37,4 oC
SpO2 : 98%
Edema : Tidak ada
Ikterus : Ada di tangan dan kaki
Berat badan : 15 kg
Panjang badan : 106 cm
BB/U : 15/18 x 100% = 83,3% ( berat badan kurang )
TB/U : 106/109 x 100% = 97% ( perawakan normal )
BB/TB : 15/17 x 100 % = 88% ( gizi kurang)
Status gizi : Gizi kurang, perawakan normal

26
v

Kulit : Pucat ada, ikterik ada, sianosis tidak ada, turgor kulit
normal.
Kepala : Normocephal, LK = 39 cm, UUB datar
Rambut : Berwarna hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Palpebra edema (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil
isokor (2 mm/2mm), konjungtiva anemis(+/+), sklera
ikterik (+/+)
Telinga : Simetris kanan dan kiri, tidak ditemukan kelainan
Hidung : Nafas cuping hidung ada , tanda radang (-), secret
(-)
Tenggorokan : T1-T1, tidak hiperemis
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah, sianosis (-)
Leher : Tidak terdapat pembesaran KGB dan tiroid

27
Toraks
 Inspeksi : Simetris dada kiri dan kanan, retraksi ringan di
interkostalis
 Palpasi : Taktil fremitus sama kiri dan kanan
 Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
 Auskultasi : vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada
Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba
 Perkusi : dalam batas normal
 Auskultasi : Reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
 Inspeksi : Tidak tampak membuncit
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium dan hipokondrium
dextra , hepar dan lien tidak teraba, nyeri lepas tidak ada
 Perkusi : timpani
Punggung : Tidak ada kelainan
Alat kelamin :Tidak dilakukan
Anggota gerak :Akral dingin, CRT < 2 detik, refleks fisiologis (+),
refleks patologis (-), tangan dan kaki ikterik
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah Lengkap (15 Juni 2021)
Hemoglobin : 2,2 gr/dl (LL) 9,9-14,5 g/dl
Eritrosit : 1.48 x 106/mm3 (L) 3.8-5.2 x 106/mm3
Hematokrit : 9.1 % (L) 29-43 %
MCV : 61.5 fL (L) 73-87 fl
MCH : 14.9 pg/cell (L) 24-30 pg/cell
MCHC : 24.2 g/dl (L) 32-36 g/dl
RDW-CV : 21.0% (H) 11.5-14.5 %
Leukosit : 11.100/mm3 5.0-19.0 x 103/mm3

28
Trombosit : 543.000/mm3 150-450 x 103/ mm3
Hitung Jenis Leukosit
Basofil : 0% 0-0 %
Eosinofil : 1% 0-3%
Neutrofil Batang : 0% 6-12 %
Neutrofil Segmen : 65% 13-33 %
Limfosit : 32% 46-76 %
Monosit : 2% 0-5 %
Gambaran Darah Tepi
Eritrsoit : Mikrositik, hipokrom, polikrom (+), targer cell (+).
Teardrop cell (+), fragmentosit (+), cigar cell (+).
Ditemukan eritrosit berinti 2/100 leukosit
Leukosit :Jumlah cukup dengan neutrofilia relative
Trombosit :Jumlah meningkat, morfologi normal
Kesan :Anemia berat mikrositik hipokrom e.c susp thalasemia,
DD/ Fe; neutrofilia relative; trombositosis
Saran : pemeriksaan SI, TIBC, Ferritin dan Elektroforesis Hb
Daftar Masalah :
1. Febris
2. Takipneu
3. Anemia mikrositik hipokrom
4. Gizi kurang
Diagnosis Kerja:
Anemia mikrositik hipokrom ec susp Anemia Defisiensi Besi
Diagnosis Banding :
 Et causa AHA
 Et causa Thalasemia
 Et causa Hemoglobinopati
 Et causa Penyakit kronik
 Et causa Keracunan timbal

29
Rencana Terapi
- Coombt test
- Cek retikulosit
- Cek LDH
- Kimia klinik ( SI, TIBC, Ferritin, SGPT, Bilirubin total, Ureum)
Penatalaksanaan
- O2 2 l/menit
- IVFD RL/12 jam
- Vitamin K 2 mg (IV)
- Ampisilin Sulbactam 3x250 (IV)
- Paracetamol 3x150 mg (PO)
- Transfusi darah cito : PRC 4x135 cc (4 hari)
- Cek ulang darah pre transfusi
- Cek DPL, GDR, gambaran darah tepi
-
Asuhan Nutrisi Pediatrik
1. Assesment : Menentukan status gizi dan masalah nutrisi
 BB/U : 15/18 x 100% = 83,3 %
 TB/U : 106/109 x 100% = 97%
 BB/TB : 15/17 x 100% =88 %
Kesan : Gizi kurang perawakan normal
2. Penentuan Kebutuhan nutrisi
Kebutuhan kalori :
BB ideal x RDA menurut usia tinggi : 17 x 90 = 1530 kkal/ hari
3. Cara Pemberian :
Fungsi oromotor normal  Oral
4. Penentuan jenis makanan :
Usia : 5 tahun , fungsi gastrointestinal normal = Polimerik ( Makanan
Keluarga)
5. Pemantauan dan evaluasi :
 Reaksi simang tidak ada : tidak ada mual, muntah, BAB normal

30
 Pertambahan BB : selama di rawat tidak ada penambahan BB
Follow Up :
Hari Perjalanan Penyakit
dan
Tanggal
Rawata Subjective Objective Assessment Planning
n ke
15/06/21 --demam -TTV : Anemia berat - IVFD RL 12
(16.00) (+) KU:sakit sedang e.c defisiensi jam /kolf
Bangsal -nafsu TD: 91/55mmHg besi dd/ - Ampisilin
anak makan HR: 125 x/i Thalasemia, Sulbactam
baik T : 36,3 AHA, 3x250 mg
-muntah -Pem. Fisik Keracunan - PCT 3x150
darah (-) Mata : timbal, mg
-pucat (+) Konjungtiva Hemoglobinoati - Tranfusi
-BAK dan Anemis (+/+) , PRC I (135
BAB Sklera ikterik (+) cc)
normal Kulit : ikterik (+) - Cek ulang
Abd: Nyeri tekan darah pre
epigastrium (+) tranfusi

16/06/21 -TTV:
Hari ke -demam KU: sakit sedang -Tranfusi PRC II
2 (-) HR:135 x/menit Anemia Berat (135 cc) mulai jam
Bangsal -nafsu RR : 20x/i mikrositik 20.30 sampai jam
anak makan T : 36,4° C hipokrom ec 23.30
membaik BC : -52,8 thalassemia DD/ -ampisilin
-muntah D: 2,86 ADB, AHA, sulbactam3x250 mg
darah (-) -Pem.Fisik : Hemoglobinopa -Cek LDH,
-pucat (+) Mata:Konjungtiv ti retikulosit, comb
-BAK dan a anemis (+) test, urin
BAB , Sklera Ikterik
normal (+) Pem.Labor
Kulit : ikterik (+) SI (85mg/dl)
Abd: Nyeri tekan TIBC (1587
epigastrium dan mg/dL)H
lumbal dextra Ferritin 20 ng/mL
SGPT (40 u/L)
Bil.Total (1,15mg/dl)
Ureum 25 mg/dl
Saturasi
Transferin: 5,35%
(L)
Indeks Metzer :
41,55
Indeks RDW : 827
(H)

31
17/06/21
Hari ke
3
Bangsal
anak
-TTV:
KU : sakit
-demam sedang
(-) TD : 98/50 Anemia berat
-Pucat (+) mmHg e.c AHA cold -Tranfusi PRC III
-BAB dan N : 125x/menit type DD/ 135 cc
BAK T : 36,3 hemoglobinopat -ampisilin sulbactam
dalam -Pem.Fisik : i, ADB, 3x250mg
batas -Konjungtiva Thalasemia, -metilprednisolon
normal Anemis (+), Keracunan 4x8mg (IV)
18/06/21 -nafsu sclera ikterik timbal
Hari ke makan Kulit : Ikterik
4 baik BC :+270
Bangsal -Nyeri D : 2,78
anak tekan Labor
epigastriu -retikulosit 7%
m dan (H)
lumbal -LDH 421u/L
kanan (-) H
- Coomb tes 
negative
- urinalisa 
keton +2

TTV:
KU : sakit Anemia berat
sedang e.c AHA cold -Tranfusi PRC IV
-demam N : 110x/menit type DD/ ADB, 135 cc
(-) T : 36,3 hemoglobinopat -Metilprednisolon
-Pucat (+) -Pem.Fisik : i, Thalasemia 4x8 mg (IV)
-BAB dan -Konjungtiva - cek ulang darah
BAK Anemis (-)
dalam Kulit : Ikterik (-)
batas
normal
-nafsu
makan
baik
-Nyeri
tekan

32
epigastriu
m dan
lumbal
kanan (-)
TTV :
19/04/21 -N:110x/menit Anemia berat
Hari ke -T:36,0°C e.c AHA cold -Pulang atas
5 Pem. Labor type DD/ ADB, permintaan sendiri
Bangsal -Hb post tranfusi hemoglobinopat
anak 11,8 g/dL i, Thalasemia
demam (-) -Ht: 35,8%
-Pucat (-) -Leukosit :
-BAB dan 12,3x103/mm3
BAK -trombosit :
dalam 383.000/mm3
batas
normal
-nafsu
makan
baik
-Nyeri
tekan
epigastriu
m dan
lumbal
kanan (-)

33
BAB IV
ANALISA KASUS
Seorang pasien anak laki-laki umur 5 tahun didiagnosa dengan anemia
berat et causa susp defisiensi besi. Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis ditemukan pasien tampak lemas sudah sejak 1 bulan
sebelum masuk rumah sakit, lemas dirasakan semakin terlihat dengan anak yang
kurang aktif dan pucat sudah sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit disertai
penurunan nafsu makan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengeluhkan demam sejak 3 hari sebelum mauk rumah sakit. Pasien juga
mengeluhkan muntah sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit dan muntah darah
saat di igd. Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda pada mata konjungtiva
anemis, sclera ikterik, tangan dan kaki pucat dan tampak kuning. . pada
pemeriksaan darah tepi didapatkan hasil Hb: 2,2 g/dL, Eritrosit: 1.48x10 6/mm3,
Hematokrit 9,1%, MCV: 61.5 fL, MCH 14.9 pg/cell, MCHC 24.2g/dL, RDW
21%. Pada hasil gambaran darah tepi didapatkan eritrosit jumalah kurang bentuk
hipokrom, leukosit: jumlah cukup, bentuk neutrophilia, trombosit: jumlah
meningkat, bentuk normal. Sehingga dapat ditegakkan diagnosis kerjanya Anemia
berat mikrositik hipokrom susp et causa defisieni besi dengan diagnosa banding
thalassemia, AIHA, dan anemia penyakit kronik. Hal ini sesuai dengan teori
dimana dikatan Anemia berat pada anak usia 5 tahun apabila Hb < 8g/dL, MCV
dan MCH rendah, pada apusan darah tepi didapatkan gambaran anemia mikrositik
hipokrom dan berdasarkan teori, salah satu penyebab dari anemia defisiensi besi
yaitu kekurangan asupan besi dari makanan karena pada pasien ini ditemukan gizi
buruk dengan kualitas makanan yang buruk, sedangkan berdasarkan teori gejala
klinis AIHA berupa pucat, ikterus pada sklera, tangan dan kaki, nafsu makan
berkurang, dan demam yang pada AIHA dapat disebabkan oleh penyakit yang
terjadi post infeksi pada anak. Untuk menyingkirkan diagnosis banding perlu

34
dilakukan pemeriksaan SerumIiron, TIBC, Ferritin.

Pada hasil pemeriksaan penunjang didapatkan serum iron : 85 ug/dL,


TIBC 1587 ug/dL dan ferritin: 20 ng/dL dan uji screening tes dengan saturasi
transferin: 5.35%. Sesuai dengan kriteria diagnosis ADB menurut Cook dan
Monsen didapatkan 2 dari 4 kriteria yaitu anemia mikrositik hipokrom dan
saturasi transferrin < 15% sehingga bisa ditegakkan diagnosis anemia defisiensi
besi. Hasil pemeriksaan retikulosit: 7%, didapatkan terjadi peningkatan dengan
pada retikulosit sehingga kita perlu melakukan pemeriksaan urinalisa dan melihat
ada tanda-tanda lisis atau tidak. Hasil pemeriksaan urinalisa tidak ditemukan
darah pada urinnya sehingga menyingkirkan diagnosis anemia berat et.causa
perdarahan akut. Pasien ini juga ditemukan tanda tanda lisis pada AIHA seperti
ikterik sehingga dilakukan pemeriksaan kimia klinik (SGPT,Bilirubin total) serta
comb test. Hasil yang didapatkan SGPT : 40 u/L, Bilirubin total: 1.15mg/dL dan
coomb test negatif. Dari hasil pemeriksaaan coomb test menunjukkan tidak sesuai
dengan teori AIHA yaitu ditegakkan diagnosis dengan marker coomb test positif.
Namun coomb test yag negatif tidak menghilangkan kemungkinan terjadinya
AIHA pada anak, karena hal ini dapat terjadi yang diakibatkan rendahnya antibodi
pada permukaan eritrosit, yang sering ditemukana pada AIHA tipe cold.
Untuk tatalaksan awala pasien ini diberikan O2 2L, IVFD RL 8 jam/kolf,
Inj. Vitamin K 2 mg, Inj Ampisilin Sulbactam 3x250 mg, paracetamol 3x150 mg
(PO). Transfusi PRC 4x135 cc secara bertahap, hal ini sesuai dengan teori
penatalaksanaan pasien pada anemia.
Selama perawatan kondisi pasien mengalami perbaikan, pasien memina
pulang sendiri setelah perawatan 5 hari dengan Hb 11,8 g/dL post transfuse.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawan H. Diagnostic Approach of Anemia in Children. Fakultas


Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya.
2. Faiqah S, Ristrini R, Irmayani I. Hubungan Usia, Jenis Kelamin Dan Berat
Badan Lahir Dengan Kejadian Anemia Pada Balita Di Indonesia. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan 2019; 21: 281–289.
3. Allali S, Brousse V, Sacri AS, et al. Anemia in children: prevalence,
causes, diagnostic work-up, and long-term consequences. Expert Review
Hematology 2017; 10: 1023–1028.
4. Bakta IM. Pendekatan Diagnosis dan Terapi Terhadap Penderita Anemia.
Bali Health Journal 2017; 1: 36–48.
5. Kurniati Intrantri. Anemia Defisiensi Zat Besi. Fakultas Kedokteran
Unversitas Lampung, 2020; 4: 18-31
6. Susanto Jc. Suplementasi Tempe Meningkatkan Status Besi dan
Perkembangan Anak. Sari Pediatri, 2016; 18(3); 169-173.
7. Tamam Moedrik, Susanto JC, et al. Status Besi Bay Sehat 8-10 Bulan
setelah Pemberian Vitamin C 75 mg Pada Saat Makan. Sari perdatri, 2016;
18(2); 122-127.
8. Tjiptaningrum Agustyas, Amalia Ajeng. Daignosis dan Tatalaksana
Anemia Defisiensi Besi. Majority 2016; 5(5); 168
9. Soetjatmiko, Aliza Nur, et al. Indeks Mentzer sebagai Alat Diagnostik
Anemia Defisiensi Besi di Sarana Kesehatan dengan Fasilitas Terbatas:
Perbadingan Berbagai Nilai Cutt Off. Sari Pediatric, 2019;21(3); 145-150
10. Who, Chan M. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia
and assessment of severity. Geneva, Switzerland World Health
Organization 2011; 1–6.
11. Purmono HB. Buku ajar Hematologi-Onkilogi Anak. Ikatan Dokter Anak

36
Indonesia, 2012;30-42.
12. Joyce C, McCann JC, Ames BN. An overview of evidence for a causal relation
between iron deficiency during development and deficits in cognitive or
behavioral function. Am J Clin Nutr. 2007;85(7); 31-45.

13. Pudjiadi H. Antonius,dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak


Indonesia : Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009;10-3.

37

Anda mungkin juga menyukai