Anda di halaman 1dari 22

1.

ANATOMI MAKROSKOPIK DAN MIKROSKOPIK GASTER


1.1 ANATOMI MAKROSKOPIK GASTER
Gaster (lambung) merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan
mempunyai tiga fungsi: (a) menyimpan makanan—pada orang dewasa, gaster
mempunyai kapasitas sekitar 1500 ml; (b) mencampur makanan dengan getah
lambung untuk membentuk kimus yang setengah cair; dan (c) mengatur kecepatan
pengiriman kimus ke usus halus sehingga pencernaan dan absorbsi yang efisien dapat
berlangsung.

Gaster terletak di bagian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah arcus
costalis sinistra sampai regio epigastrica dan umbilicalis. Sebagian besar gaster
terletak di bawah costae bagian bawah. Secara kasar, gaster berbentuk huruf J dan
mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan ostium pyloricum; dua curvatura,
curvatura major dan curvatura minor; dan dua dinding, paries anterior dan paries
posterior.

Gaster relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi di antara ujung-ujung


tersebut gaster sangat mudah bergerak. Gaster cenderung terletak tinggi dan
transversal pada orang pendek dan gemuk (gaster steer-horn) dan memanjang vertikal
pada orang yang tinggi dan kurus (gaster berbentuk huruf J). Bentuk gaster sangat
berbeda-beda pada orang yang sama dan tergantung pada isi, posisi tubuh, dan fase

pernafasan.

Gambar 1-1. Anatomi makroskopis lambung/gaster
Gaster dibagi menjadi bagian-bagian berikut:

 Fundus gastricum berbentuk kubah, menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri
ostium cardiacum. Biasanya fundus berisi penuh udara.
 Corpus gastricum terbentak dari ostium cardiacum sampai incisura angularis,
suatu lekukan yang ada pada bagian bawah curvatura minor.
 Anthrum pyloricum terbentang dari incisura angularis sampai pylorus.
 Pylorus merupakan bagian gaster yang berbentuk tubular. Dinding otot pylorus
yang tebal membentuk musculus sphincter pyloricus. Rongga pylorus dinamakan
canalis pyloricus.

a. Pendarahan gaster
 Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus.
- Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan
ke atas dan kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun
sepanjang curvatura minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3
bawah oesophagus dan bagian atas kanan gaster.
- Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada
pinggir atas pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria
ini mendarahi bagian kanan bawah gaster.
- Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale
dan berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk
mendarahi fundus.
- Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum
lienale dan berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk
mendarahi gaster sepanjang bagian atas curvatura major.
- Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis
yang merupakan cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke
kiri dan mendarahi gaster sepanjang bawah curvatura major.

 Venae. Vena-vena ini mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal. Vena


gastrica sinistra dan dextra bermuara langsung ke vena porta hepatis. Venae
gastricae breves dan vena gastroomentalis sinistra bermuara ke dalam vena
lienalis. Vena gastroomentalis dextra bermuara ke dalam vena mesentrica
superior.

b. Persarafan gaster
Persarafan ini termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari plexus
coeliacus dan serabut-serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan sinistra.

Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal


dari nervus vagus sinistra, memasuki abdomen pada permukaan anterior
oesophagus. Truncus, yang mungkin tunggal atau multipel, kemudian terbagi
menjadi cabang-cabang yang menyarafi permukaan anterior gaster. Sebuah cabang
hepaticus yang besar berjalan ke atas menuju hepar, dan di sini membentuk ramus
pyloricus yang berjalan turun ke pylorus.

Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal


dari nervus vagus dextra, memasuki abdomen pada permukaan posterior
oesophagus. Selanjutnya truncus membentuk cabang-cabang yang menyarafi
permukaan posterior gaster. Suatu cabang yang besar berjalan menuju plexus
coeliacus dan plexus mesentricus superior dan kemudian didistribusikan ke usus
sampai flexura coli sinistra dan ke pancreas.

Persarafan simpatis gaster membawa serabut-serabut rasa nyeri, sedangkan


serabut parasimpatis nervus vagus membawa secretomotoris untuk glandulae
gastricae dan serabut motoris untuk tunica muscularis gaster. Musculus sphincter
pyloricus menerima serabut motoris dari sistem simpatis dan serabut inhibitor dari
nervus vagus.

1.2 ANATOMI MIKROSKOPIK GASTER


a. Sel epitel permukaan (sel-sel mukus)
Epitel selapis silindris melapisi seluruh lambung dan meluas ke dalam sumur-
sumur atau foveola. Epitel selapis silindris ini berawal di cardia, di sebelah epitel
berlapis gepeng oesophagus, dan pada pylorus melanjutkan diri menjadi epitel usus
(epitel selapis silindris). Pada tepian muka yang menghadap lumen, terdapat
mikrovili gemuk dan pendek-pendek. Mukus glikoprotein netral yang disekresikan
oleh sel-sel epitel permukaan membentuk lapisan tipis, melindungi mukosa
terhadap asam. Tanpa adanya mukus ini, mukosa akan mengalami ulserasi.

b. Sel zimogen (Chief cell)


Sel ini terletak di dasar kelenjar lambung, dan menunjukkan ciri-ciri sel yang
mensekresi protein (zimogen). Sel zimogen mengeluarkan pepsinogen, yang dalam
suasana asam di lambung akan diubah menjadi pepsin aktif dan berfungsi
menghidrolisis protein menjadi peptida yang lebih kecil.

c. Sel parietal (oksintik)


Sel ini tersebar satu-satu dalam kelompokan kecil di antara jenis sel lainnya, mulai
dari ismus sampai ke dasar kelenjar lambung, tetapi paling banyak di daerah leher
dan ismus. Pada keadaan isitirahat, terdapat banyak gelembung tubulosa, dan
kenalikuli melebar dengan relatif sedikit mikrovili. Sewaktu mensekresi asam,
mikrovili bertambah banyak dan gelembung tubulosa berkurang, yang
menunjukkan adanya pertukaran membran di antara gelembung tubulosa di dalam
sitoplasma dan mikrovili pada permukaan, sekresi asam HCl terjadi pada
permukaan membran yang luas ini. Sel ini juga mensekresikan faktor intrinsik,
suatu glikoprotein yang terikat dengan vitamin B 12 dan membantu absorbsi vitamin
ini di usus halus. Vitamin B12 diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
Kekurangan vitamin B12 akibat kurangnya faktor ini dapat menyebabkan anemia
pernisiosa.

d. Sel mukus leher


Sel ini terletak di daerah leher kelenjar lambung, dalam kelompok kecil atau satu-
satu. Bentuknya cenderung tidak teratur, seakan-akan terdesak oleh sel-sel
disekitarnya (terutama sel parietal). Sel ini memiliki mikrovili apikal yang gemuk
dan pendek berisi filamen halus yang tampak kabur. Sel ini menghasilkan mukus
asam, berbeda dengan mukus netral yang dibentuk oleh sel mukus permukaan.

e. Sel enteroendokrin
Beberapa jenis sel enteroendokrin ditemukan di dalam kelenjar lambung. Sel-sel ini
berjumlah banyak, terutama di daerah antrum pylorik, dan umumnya ditemukan
pada dasar kelenjar. Sel-sel enteroendokrin serupa dengan sel endokrin yang
mensekresi peptida. Sel ini juga ditemukan di dalam epitel usus halus dan besar,
kelenjar oesophagus bagian bawah (cardia), dan dalam jumlah terbatas pada
ductus utama hati dan pankreas. Sel enteroendokrin menghasilkan beberapa
hormon peptida murni (sekretin, gastrin, kolesitokinin); semuanya melalui
peredaran darah untuk mencapai organ sasaran pankreas, lambung, dan kandung
empedu. Walaupun sistem saraf mengendalikan aktivitas sekretoris dan gerakan
otot dalam saluran cerna, terdapat interaksi yang rumit dengan kebanyakan
hormon yang dihasilkan oleh sel enteroendokrin ini.

Gambar 1-2. Histologi gaster: sel epitel permukaan, sel mukosa, sel parietal, Chief sel.

2. MM FISIOLOGI GASTER
Lambung merupakan bagian dari saluran pencernaan yang berbentuk seperti kantung, dapat
berdilatasi, dan berfungsi mencerna makanan dibantu oleh asam klorida (HCl) dan enzim-enzim
seperti pepsin, renin, dan lipase. Lambung memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi pencernaan
dan fungsi motorik. Sebagai fungsi pencernaan dan sekresi, yaitu pencernaan protein oleh pepsin
dan HCl, sintesis dan pelepasan gastrin yang dipengaruhi oleh protein yang dimakan, sekresi
mukus yang membentuk selubung dan melindungi lambung serta sebagai pelumas sehingga
makanan lebih mudah diangkut, sekresi bikarbonat bersama dengan sekresi gel mukus yang
berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin. Fungsi motorik lambung terdiri atas
penyimpanan makanan sampai makanan dapat diproses dalam duodenum, pencampuran
makanan dengan asam lambung, hingga membentuk suatu kimus, dan pengosongan makanan
dari lambung ke dalam usus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorbsi dalam
usus halus (Prince, 2005).

Lambung akan mensekresikan asam klorida (HCl) atau asam lambung dan enzim untuk
mencerna makanan. Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran makanan
yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat yang dinamakan kimus
kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml
cairan lambung yang mengandung berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl
membunuh sebagian besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH
yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan cairan pankreas.
Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan jaringan, tetapi pada orang normal
mukosa lambung tidak mengalami iritasi atau tercerna karena sebagian cairan lambung
mengandung mukus, yang merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).

Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem saraf yang bekerja
yatu saraf pusat dan saraf otonom, yakni saraf simpatis dan parasimpatis. Adapun hormon yang
bekerja antara lain adalah hormon gastrin, asetilkolin, dan histamin. Terdapat tiga fase yang
menyebabkan sekresi asam lambung. Pertama, fase sefalik, sekresi asam lambung terjadi
meskipun makanan belum masuk lambung, akibat memikirkan atau merasakan makanan. Kedua,
fase gastrik, ketika makanan masuk lambung akan merangsang mekanisme sekresi asam
lambung yang berlangsung selama beberapa jam, selama makanan masih berada di dalam
lambung. Ketiga, fase intestinal, proses sekresi asam lambung terjadi ketika makanan mengenai
mukosa usus. Produksi asam lambung akan tetap berlangsung meskipun dalam kondisi tidur.
Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut
memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi lambung terkontrol (Ganong,
2001).

FUNGSI LAMBUNG
a. Penyimpan makanan. Kapasitas lambung normal memungkinkan adanya interval yang
panjang antara saat makan dan kemampuan menyimpan makanan dalam jumlah besar
sampai makanan ini dapat terakomodasi di bagian bawah saluran cerna.
b. Produksi kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa homogen
setengah cair berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan mendorongnya ke dalam
duodenum.
c. Digesti protein. Lambung mulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan asam klorida.
d. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barrier setebal 1 mm
untuk melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dan sekresinya sendiri.
e. Produksi faktor intrinsik.
 Faktor intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi sel parietal.
 Vitamin B12, didapat dari makanan yang dicerna di lambung, terikat pada faktor intrinsik.
Kompleks faktor intrinsik vitamin B12 dibawa ke ileum usus halus, tempat vitamin B 12
diabsorbsi.
f. Absorbsi. Absorbsi nutrien yang berlangsung dalam lambung hanya sedikit. Beberapa obat
larut lemak (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding lambung. Zat terlarut dalam air
terabsorbsi dalam jumlah yang tidak jelas.

MEKANISME SEKRESI ASAM LAMBUNG


Kecepatan sekresi lambung dapat dipengaruhi oleh (1) faktor-faktor yang muncul sebelum
makanan mencapai lambung; (2) faktor-faktor yang timbul akibat adanya makanan di dalam
lambung; dan (3) faktor-faktor di duodenum setelah makanan meninggalkan lambung. Dengan
demikian, diaktifkan, pepsin secara autokatalis mengaktifkan lebih banyak pepsinogen dan
memulai pencernaan protein. Sekresi pepsiongen dalam bentuk inaktif mencegah pencernaan
protein struktural sel tempat enzim tersebut dihasilkan. Pengaktifan pepsinogen tidak terjadi
sampai enzim tersebut menjadi lumen dan berkontak dengan HCl yang disekresikan oleh sel
lain di kantung-kantung lambung. Sekresi lambung dibagi menjadi tiga fase—fase sefalik, fase
lambung, dan fase usus.

1. Fase sefalik terjadi sebelum makanan mencapai lambung. Masuknya makanan ke dalam
mulut atau tampilan, bau, atau pikiran tentang makanan dapat merangsang sekresi
lambung. Fase ini sepenuhnya diperantarai oleh nervus vagus dan dihilangkan dengan
vagotomi. Sinyal neurogenik yang menyebabkan fase sefalik berasal dari korteks serebri atau
pusat nafsu makan. Impuls eferen kemudian dihantarkan melalui saraf vagus ke lambung.
Hal ini mengakibatkan kelenjar gastric terangsang untuk menyekresi HCl, pepsinogen, dan
menambah mucus. Fase sefalik menghasilkan 10% dari sekresi lambung normal yang
berhubungan dengan makanan.

2. Fase lambung terjadi saat makanan mencapai lambung dan berlangsung selama makanan
masih ada. Dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi anthrum juga dapat
menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari reseptor pada dinding lambung. Impuls
tersebut berjalan menuju medula melalui aferen vagus dan kembali ke lambung melalui
eferen vagus. Impuls ini merangsang pelepasan hormon gastrin dan secara langsung
merangsang kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian dibawa oleh aliran
darah menuju kelenjar lambung untuk merangsang sekresi. Pelepasan gastrin juga dirangsang
oleh pH alkali, garam empedu di antrum, dan terutama oleh protein makanan dan alcohol.
Membran sel parietal di fundus dan korpus lambung mengandung reseptor untuk gastrin,
histamine dan asetilkolin, yang merangsang sekresi asam. Setelah makan, gastrin dapat
beraksi pada sel parietal secara langsung untuk sekresi asam dan juga dapat merangsang
pelepasan histamine dari sel snterokromafin dan mukosa untuk sekresi asam. Fase sekresi
gastric menghasilkan lebih dari dua per tiga sekresi lambung total setelah makan, sehingga
merupakan bagian terbesar dari total sekresi lambung harian yang berjumlah sekitar 2.000
ml. Fase gastric dapat terpengaruh oleh reseksi bedah pada antrum pilorus , sebab disinilah
pembentukan gastrin.

 Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam mukosa lambung dan
memicu refleks lambung. Serabut aferen menjalar ke medula melalui saraf vagus.
Serabut eferen parasimpatis menjalar dalam vagus menuju kelenjar lambung untuk
menstimulasi produksi HCl, enzim-enzim pencernaan, dan gastrin.
 Fungsi gastrin:
- merangsang sekresi lambung,
- meningkatkan motilitas usus dan lambung,
- mengkonstriksi sphincter oesophagus bawah dan merelaksasi sphincter pylorus,
- efek tambahan: stimulasi sekresi pancreas.
 Pengaturan pelepasan gastrin dalam lambung terjadi melalui penghambatan umpan
balik yang didasarkan pada pH isi lambung.
- Jika makanan tidak ada di dalam lambung di antara jam makan, pH lambung akan
rendah dan sekresi lambung terbatas.
- Makanan yang masuk ke lambung memiliki efek pendaparan (buffering) yang
mengakibatkan peningkatan pH dan sekresi lambung.

3. Fase usus terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus yang
kemudian memicu faktor saraf dan hormon. Dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke
duodenum. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein
yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan gastrin usus,
suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah kecil
cairan lambung. Meskipun demikian, peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi
lambung jauh lebih besar. Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik,
diperantarai oleh pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi
dan pengosongan lambung. Adanya asam (pH <2,5), lemak, dan hasil-hasil pemecahan
protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin, kolesistokinin, dan peptide
penghambat gastrik (gastric inhibiting peptide,GIP), semuanya memiliki efek inhibisi
terhadap sekresi lambung.

 Sekresi lambung distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum sehingga dapat


berlangsung selama beberapa jam. Gastrin ini dihasilkan oleh bagian atas
duodenum dan dibawa dalam sirkulasi menuju lambung.
 Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida yang dihasilkan
duodenum. Hormon ini dibawa sirkulasi menuju lambung, disekresi sebagai
respon terhadap asiditas lambung dengan pH di bawah 2, dan jika ada makanan
berlemak. Hormon-hormon ini meliputi gastric inhibitory polipeptide (GIP),
sekretin, kolesistokinin (CCK), dan hormon pembersih enterogastron.
Tabel 2-1. Stimulasi Sekresi Lambung

3. MM BIOKIMIA GASTER
a. DIGESTI PROTEIN
Pepsin mengawali pencernaan protein. Peristiwa ini merupakan fungsi pencernaan
utama lambung. Pepsin dihasilkan oleh chief cell sebagai zimogen yang inaktif,
pepsinogen. Pepsinogen ini diaktifkan menjadi pepsin oleh H +, yang memecah suatu
polipeptida pelindung untuk memajan pepsin aktif; dan oleh pepsin itu sendiri, yang secara
cepat mengaktifkan molekul pepsinogen (autokatalisis). Pepsin memecah protein yang
terdenaturasi menjadi derivat polipeptida berukuran besar. Pepsin merupakan enzim
endopeptidase karena menghidrolisis ikatan peptida yang terletak di dalam struktur
polipeptida utama, bukan yang terletak di dekat residu terminal-amino atau –karboksil,
yang merupakan ciri khas eksopeptidase. Enzim ini bersifat spesifik untuk ikatan peptida
yang dibentuk oleh asam-asam amino aromatik (misal, tirosin) atau asam-asam amino
dikarboksilat (misal, glutamat).

Renin (kimosin, rennet) mengkoagulasi susu

Renin memiliki peran penting pada proses pencernaan oleh bayi karena mencegah susu
melintas secara cepat dari dalam lambung. Dengan adanya kalsium, renin mengubah kasein
di dalam susu secara ireversibel menjadi parakasein. Pepsin kemudian bekerja pada
parakasein ini. Renin dilaporkan tidak ada pada lambung orang dewasa. Enzim ini
digunakan dalam pembuatan keju.

b. DIGESTI LIPID
Lipase melanjutkan pencernaan triasilgliserol. Panas lambung merupakan faktor
penting untuk mencairkan massa lemak yang berasal dai makanan; proses emulsifikasi
terjadi dengan bantuan kontraksi peristaltik. Lambung mensekresikan lipase lambung
(lipase gastrik) yang pada manusia merupakan lipase praduodenal utama. Lipase lingual
dan gastrik memulai pencernaan lemak dengan menghidrolisis triasilgliserol yang
mengandung asam lemak rantai pendek, sedang, dan umumnya asam lemak tak jenuh
rantai panjang, untuk membentuk terutama asam lemak bebas serta 1,2-diasilgliserol,
dengan ikatan sn-3 ester sebagai tempat hidrolisis utamanya. Enzim ini hancur pada nilai
pH rendah, tetapi bekerja aktif sesudah makan karena kerja pendaparan yang dimiliki
protein makanan di dalam lamung. Nilai pH optimal cukup luas, mulai dari 3,0 hingga 6,0.

*) Digesti karbohidrat. Amilase dalam saliva yang menghidrolisis zat tepung bekerja pada pH netral.
Enzim ini terbawa bersama bolus dan tetap bekerja dalam lambung sampai asiditas lambung
menembus bolus. Lambung tidak mensekresi enzim yang mencerna karbohidrat.

4. MM DYSPEPSIA
4.1 Definisi Dyspepsia

Dalam konsensus Roma II tahun 2000, disepakatai bahwa definisi disepsia sebagai dyspepsia
refers to pain or discomfort centered in the upper abdomen (dispepsia merupakan rasa sakit atau
tidak nyaman di daerah abdomen atas).

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan
yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa
cepat kenyang, perut rasa penuh/ begah. Setiap pasien memliki keluhan yang bervariasi.

4.2 Epidemiologi Dyspepsia

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam praktek praktis sehari-
hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek umum dan 60% pada praktek spesialis
merupakan kasus dispepsia. Di Amerika, prevalensi dispepsia sekitar 25%, tidak termasuk pasien
dengan keluhan refluks. Insiden pastinya tidaklah terdokumentasi dengan baik, tetapi penelitian
di Skandinavia menunjukkan dalam 3 bulan, dispepsia berkembang pada 0,8% pada subyek
tanpa keluhan dispepsia sebelumnya(7). Prevalensi keluhan saluran cerna menurut suatu
pengkajian sistematik atas berbagai penelitian berbasis populasi (systematic review of
population-based study) menyimpulkan angka bervariasi dari 11-41%. Jika keluhan terbakar di
ulu hati dikeluarkan maka angkanya berkisar 4-14%.

Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi tiap tahun tetapi tidak
semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis.

4.3 Klasifikasi dan Etiologi Dyspepsia

Sindroma dispepsia ini biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan, yang sifatnya hilang
timbul atau terus-menerus. Karena banyaknya penyebab yang menimbulkan kumpulan gejala
tersebut, maka sindroma dispepsia dapat diklasifikasian menjadi (1) dispepsia organik dan (2)
dispepsia non-organik atau dispepsia fungsional.

a. Dispepsia organik
Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia
lebih dari 40 tahun. Istilah dispepsia organik baru dapat digunakan bila penyebabnya
sudah jelas, antara lain:
 Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia). Keluhan penderita yang sering diajukan
adalah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada
hubungannya dengan makanan, pada tengah malam sering terbangun karena nyeri atau
pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat
menentukan adanya tukak lambung atau di duodenum.
 Dispepsia bukan tukak. Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa
ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak
ditemukan tanda-tanda tukak.
 Refluks gastroesofageal. Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa
panas di dada dan regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang
mempunyai keluhan tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya,
maka dapat disebut sindroma dispepsia refluks gastroesofageal.
 Penyakit saluran empedu. Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit
saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar
ke punggung dan bahu kanan.
 Karsinoma. Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma
dispepsia. Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan bertambah
berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.
 Pankreatitis. Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut
dirasa makin tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi
juga ada.
 Dispepsia pada sindroma malabsorbsi. Pada penderita ini—di samping mempunyai
keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama
lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
 Dispepsia akibat obat-obatan. Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa
sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah,
misalnya obat golongan NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis,
antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh karena itu,
perlu ditanyakan obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan dispepsia.
 Gangguan metabolisme. Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi
pengosongan lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan
lekas kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan
vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas lambung.
Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa nyeri di perut, nausea, vomitus, dan anoreksia.

▼ Tabel 4-1. Etiologi Dispepsia Organik

 Esofago-gastro-duodenal Tukak peptik, gastritis kronis,


gastritis NSAID, keganasan

 Obat-obatan Antiinflamasi non-steroid, teofilin,


digitalis, antibiotik

 Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis,


keganasan, disfungsi sphincter
Odii.

 Pancreas Pankreatitis, keganasan

 Penyakit sistemik lain Diabetes melitus, penyakit tiroid,


gagal ginjal, kehamilan, penyakit
jantung koroner atau iskemik

b. Dispepsia non-organik/fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia yang tidak ada kelainan
organik, tetapi merupakan kelainan dari fungsi saluran makanan. Dalam Konsensus Roma III
(2006), definisi nya adalah:

 Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/
epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
 Tidak ada bukti kelainan structural (termasuk di dalamnya pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut.
 Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu enam bulan terakhir sebelum diagnosis
ditegakkan.

Dalam usaha untuk mencoba ke arah praktis pengobatan, dispepsia fungsional dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu:

 Dispepsia tipe seperti ulcus. Yang lebih dominan adalah nyeri epiastric.
 Dispepsia tipe seperti dismotilitas. Pada dispepsia dismotilitas, umumnya terjadi
gangguan motilitas, di antaranya: waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas
kontraktil, abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan
dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yang meningkat.
Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia
fungsional. Hal ini dapat dijelaskan kembali pada faal saluran cerna pada proses
pencernaan yang mendapat mengaruh dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya
merangsang sel parietal secara langsung, tetapi memungkinkannya efek dari antral gastrin
dan rangsangan lain dari sel parietal. Dengan melihat, mencium bau, atau membayangkan
suatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak, yang mengandung HCl
dan pepsin. Yang lebih dominan adalah keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh,
cepat kenyang.
 Dispepsia tipe non-spesifik. Tidak ada keluhan yang dominan.

c. Patofisiologi Dyspepsia

Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan
dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.

1. Sekresi asam lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai


tingkat sekresi asam lambung yang rata-rata normal, baik sekresi basal maupun dengan
stimulasi pentagastrin. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung
terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

2. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima.

3. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia


fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum.
Tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang
sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak dapat mutlak mewakili
hal tersebut.

4. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk


reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya
kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap disetensi balon di
gaster atau duodenum.
5. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga
berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima
makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.

6. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung pada


pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia
fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten.

7. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional. Dilaporkan


adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin
mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.

8. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering
terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.

9. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan


mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara
faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap masih
kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok
dispepsia fungsional ini, walaupun dilaporkan dalam studi terbatas adanya
kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya
gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.

d. Manifestasi Dyspepsia

Keluhan, kuantitas dan kualitas pada setiap pasien sangat bervariasi, maka dispepsia
diklasifikasikan berdasarkan keluhan yang dominan:

 Bila nyeri ulu hati yang mendominasi dan disertai nyeri pada malam hari dikategorikan
sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like dyspepsia)
 Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti dismotilitas
(dismotility like dyspepsia)
 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia non
spesifik.

Keluhan yang sering diajukan pada sindroma dispepsia ini adalah:


 nyeri perut (abdominal discomfort)
 rasa pedih di ulu hati
 mual, kadang-kadang sampai muntah
 nafsu makan berkurang
 rasa cepat kenyang
 perut kembung
 rasa panas di dada dan perut
 regurgitasi
 banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (ruktus)

e. Diagnosis & DB – PF &PP Dyspepsia

Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorium sederhana dan pemeriksaan tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan
endoskopi.

Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien yang dapat
ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis secara klinis agak terbatas
kecuali bila ada alarm sign. Bila ada salah satu atau lebih ada pada pasien, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan endoskopi. Alarm sign adalah:

 Umur ≥ 45 tahun (onset baru)


 Perdarahan dari rektal atau melena
 Penurunan berat badan >10%
 Anoreksia
 Muntah yang persisten
 Anemia atau perdarahan
 Massa di abdomen atau limfadenopati
 Disfagia yang progresif atau odinofagia
 Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas
 Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya
 Riwayat ulkus peptikum
 Kuning (Jaundice)

Radiologi (dalam hal ini pemeriksaan barium meal), dapat mengidentifikasi kelainan structural
dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.
Pemeriksaan ini terutama bermanfaat pada kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/
obstruktif di mana skop endoskopi tidak dapat melewatinya.

Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti halnya pada sindroma
dispepsia. Oleh karena itu, sindroma dispepsia hanya merupakan kumpulan gejala dari penyakit
saluran cerna, maka perlu dipastikan penyakitnya. Untuk memastikan penyakitnya, maka
diperlukan beberapa pemeriksaan, selain pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan
penunjang.
Pada dasarnya, langkah pemeriksaan penunjang diagnostik adalah untuk mengeksklusi gangguan
organik atau biokimiawi. Pemeriksaan laboratorium (gula darah, fungsi tiroid, fungsi pancreas,
dan sebagainya), radiologi (barium meal, USG), dan endoskopi merupakan langkah yang paling
penting untuk eksklusi penyebab organik ataupun biokimiawi. Untuk menilai patofisiologinya,
dalam rangka mencari dasar terapi yang lebih kausatif, berbagai pemeriksaan dapat dilakukan,
walaupun aplikasi klinisnya tidak jarang dinilai masih kontroversial. Misalnya pemeriksaan pH-
metri untuk menilai tingkat sekresi asam lambung; manometri untuk menilai adanya gangguan
fase III migrating motor complex (MMC); elektrogastrografi, skintigrafi, atau penggunaan
pellet radioopaq untuk mengukur waktu pengosongan lambung, Helicobacter pylori, dan
sebagainya.

i. Laboratorium. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, seperti pemeriksaan darah,


urine, dan tinja secara rutin. Dari pemeriksaan darah, bila ditemukan leukositosis berarti
ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak, berarti kemungkinan pasien menderita malabsorbsi. Seseorang yang
diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa asam lambungnya.

ii. Radiologis. Pemeriksaan radiologis banyak menunjang diagnosis suatu penyakit di saluran
cerna. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna
bagian atas dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal, akan
tampak peristaltik di oesophagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak
antiperistaltik di antrum yang meninggi, serta sering menutupnya pylorus sehingga sedikit
barium yang masuk ke intestinal. Pada tukak, baik di lambung maupun di duodenum, akan
terlihat gambaran yang disebut niche, yaitu kawah dari tukak yang terisi kontras media.
Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin.

iii. Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi dari saluran cerna bagian atas akan banyak membantu
menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan adalah ada-tidaknya kelainan di
oesophagus, lambung, duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa,
lesi, tumor (jinak atau ganas).

iv. Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini makin
banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi
alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada kondisi
pasien yang berat sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma
dispepsia terutama bila ada dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid,
bahkan juga ada dugaan di oesophagus dan lambung. Juga untuk mengidentifikasi kelainan
padat intraabdomen, misalnya ada batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hati, dsb.

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit jantung iskemik sering memberi keluhan nyeri ulu hati, panas di dada, perut kembung,
perasaan lekas kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga sering memberikan
keluhan rasa sakit perut di atas, mual, kembung, kadang-kadang penderita angina mempunyai
keluhan menyerupai refluks gastroesofageal.

Penyakit vaskular kolagen, terutama pada sklerodema di lambung atau usus halus, akan sering
memberi keluhan sindroma dispepsia. Rasa nyeri perut sering ditemukan pada penderita SLE,
terutama yang banyak mengkonsumsi kortikosteroid.

f. Tatalaksana & Pencegahan Dyspepsia

Pengelolaan penderita dengan sindroma dispepsia secara garis besar pada umumnya sama.
Penderita yang mempunyai keluhan ringan umumnya dapat dilakukan dengan berobat jalan,
sedangkan yang mempunyai keluhan berat dengan atau tanpa komplikasi sebaiknya dirawat di
rumah sakit.

TERAPI FARMAKOLOGIS
i.Antasid Sistemik
Natrium bikarbonat

Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi. Karbon
dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa. Distensi lambung
dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain menimbulkan alkalosis metabolik,
obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan edema. Natrium bikarbonat sudah jarang
digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik,
alkalinisasi urin, dan pengobatan lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk
tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis
yang dianjurkan 1-4 gram. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau
krim pada pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali
syndrom)

ii.Antasid Non-sistemik
 Aluminium hidroksida -- Al(OH)3
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling panjang. Al(OH) 3
bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak larut lainnya.
Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan fosfat membentuk
aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga eksresi fosfat melalui urin
berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Ion aluminium dapat bereaksi dengan
protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini mengadsorbsi pepsin dan
menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan
komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben.
Efek samping Al(OH)3 yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan
memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat
dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osteomalasia. Al(OH) 3
dapat mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH) 3 lebih sering
menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.

Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat dan sebagai
adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH) 3 gel yang
mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam bentuk tablet
Al(OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat menetralkan 25 mEq asam.
Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.

 Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat, maka daya
kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.
Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan saluran cerna
dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut bukan berdasarkan
daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium di antrum yang mensekresi
gastrin yang merangsang sel parietal mengeluarkan HCl (H +). Sebagai akibatnya sekresi
asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan mengurangi efek netralisasi obat ini.
Efek serius yang dapat terjadi ialah hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia,
terutama terjadi pada penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain
(milk alkali syndrom).

Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan, sedangkan


pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang.
Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram kalsium
karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.

 Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2


Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis, tidak larut,
dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl membentuk MgCl 2. Magnesium
hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam lambung dan akan
menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan
natrium bikarbonat sama efektif dalam hal menetralkan HCl.

Ion magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal, hal
ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion magnesium yang
diabsorbi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat menimbulkan alkali uria,
tetapi jarang alkalosis.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek
katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada dalam usus
dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan dapat menimbulkan
kelainan neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.

Sediaan susu magnesium (milk of magnesium) berupa suspensi yang berisi 7-8,55
Mg(OH). Satu ml susu magnesium dap menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 5-
30 ml. Bentuk lain ialah tablet susu yang berisi 325 mg Mg(OH) 2 yang dapat dinetralkan 11,1
mEq asam.

 Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam lambung
sebagai berikut:

Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup tukak.
Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan dieksresi
dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang baik; tidak hanya
mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan. Mula kerja magnesium
trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan waktu 15 menit, sedangkan
untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu jam.

Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadi batu
silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya yang
rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang khas, kurang beralasan
mengunakan obat ini sebagai antasid.

Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4
gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-
kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat
menetralkan 13-17 mEq asam.

iii.Obat Penghambat Sekresi Lambung


Penghambat pompa proton

Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih kuat
dari AH2. Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih distal dari AMP.
Saat ini, yang digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol, lansoprazol,
rebeprazol, dan pantoprazol. Perbedaan antara kelima obat tersebut adalah subtitusi cinci
piridin dan/atau benzimidazol. Omeprazol adalah campuran resemik isomer R dan S.
Esomeprazol adalah campuran resemik isomer omeprazol (S-omeprazol) yang mengalami
eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.
Farmakodinamik. Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan suasana
asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat ini akan
berdifusi ke parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan mengalami aktivasi di
situ membentuk sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfhidril
enzim H+, K+, ATP-ase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran sel
parietal. Ikatan ini mengakibatkan terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam
lambung berhenti 80%-95% setelah penghambatan pompa poroton tersebut.

Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi
asam lambung basal atau akibat stimulasi, terlepas dari jenis perangsangnya histamin,
asetilkolin, atau gastrin. Hambatan ini sifatnya irreversibel, produksi asam kembali dapat
terjdai 3-4 hari pengobatan dihentikan.

Farmakokinetik. Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut


enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak
mengalami aktivasi di lambung sehingga bio-availabilitasnya labih baik. Tablet yang dipecah
dilambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan
makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena pengaruh
makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit setelah makan.

Obat ini mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan


persentasi jumlah absorbsi yang bervariasi luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut enterik
meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi asam
lambung setelah obat bekerja. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P 450 (CYP),
terutama CYP2P19 dan CYP3A4.

Indikasi. Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom
Zollinger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik pada AH2 pada
dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu.

Efek samping. Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi,
flatulence, dan diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan
ruam kulit.

Sediaan dan posologi. Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg,
diberikan 1 kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut enterik 20
mg dan 40 mg, serta sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet 20
mg dan 40 mg.

iv. Antagonis Reseptor H2


Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burinamid dan
metiamid merupakan antagonis reseptor H2 yang pertama kali ditemukan, namun karena
toksik tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor H 2 yang ada saat ini adalah simetidin,
ranitidin, famotidin, dan nizatidin.

Antagonis reseptor H2 merupakan obat yang efektif dan relatif aman untuk pasien
dengan hipersekresi asam lambung, misalnya untuk pasien tukak duodenum dan tukak
lambung. Golongan obat ini menggeser penggunaan antasid yang membutuhkan pemberian
yang lebih sering sehingga dapat mengurangi kepatuhan pasien. Bagi pasien yang
menggunakan obat lain/banyak obat, nampaknya akan lebih aman menggunakan ranitidin,
famotidin, atau nizatidin yang tidak/kurang kemungkinannya dibandingkan simetidin
untuk mengadakan interaksi dengan obat lain yang merupakan substrat enzim sitokrom
P450. Dibandingkan simetidin, kemungkinan efek samping ranitidin, famotidin, dan
nizatidin nampaknya lebih kecil, termasuk kemungkinan di antaranya kemungkinan
impotensi dan ginekomastia karena ketiga obat tersebut tidak mengikat reseptor androgen.

v. Prokinetik
Yang termasuk obat golongan ini adalah bathanecol, metoklopramid, domperidon,
cisapride.

 Bathanecol
Termasuk obat kalinomimetik yang menghambat asetilkolin esterase. Obat ini dipakai
untuk mengobati penderita dengan refluks gastroesophageal, makanan yang dirasa tidak
turun, transit oesophageal yang melantur, gastroparesis, kolik empedu. Efek sampingnya
cukup banyak, terutama pada aksi parasimpatis sistemik, di antaranya adalah sakit
kepala, mata kabur, kejang perut, nausea dan vomitus, spasme kandung kemih,
berkeringat. Oleh karena itu, obat ini mulai tidak digunakan lagi.

 Metoklopramid
Secara kimia, obat ini ada hubungannya dengan prokainamid yang mempunyai efek anti-
dopaminergik dan kolinomimetik. Jadi, obat ini berkhasiat sentral maupun perifer.
Khasiat metoklopramid antara lain:

- meningkatkan pembedaan asetilkolin dari saraf terminal postganglion


kolinergik,
- merangsang reseptor muskarinik pada asetilkolin, dan
- merupakan reseptor antagonis dopamin
Jadi, dengan demikian, metoklopramid akan merangsang kontraksi dari saluran cerna
dan mempercepat pengosongan lambung.
Efek samping yang ditimbulkan oleh obat ini antara lain reaksi distonik, iritabilitas
atau sedasi, dan efek samping ekstrapiramidal karena efek antagonisme dopamin sentral
dari metoklorpamid. Pemberian dosis tinggi pada anak dapat menyebabkan hipertonis
dan kejang.

 Domperidon
Domperidon merupakan derivat benzimidazol. Karena domperidon merupakan
antagonis dopamin perifer dan tidak menembus sawar darah otak, maka tidak
mempengaruhi reseptor dopamin saraf pusat, sehingga mempunyai efek samping yang
rendah daripada metoklopramid.

Pemberian obat ini akan meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah
sehingga mencegah terjadinya refluks gastroesophagus. Obat ini akan meningkatkan
koordinasi antroduodenal, dan memperbaiki motilitas lambung yang sedang terganggu,
yaitu dengan jalan meningkatkan kontraktiliitas serta menghambat relaksasi lambung
sehingga pengosongan lambung akan lebih cepat.

Domperidon bermanfaat untuk pengobatan dispepsia yang disertai masa


pengosongan yang lambat, refluks gastroesophagus, anoreksia nervosa, gastroparesis.
Demikian pula bermanfaat sebagai obat antiemetik pada penderita pasca-bedah, bahkan
efektif sebagai pencegah muntah pada penderita yang mendapat kemoterapi.

Efek sampingnya lebih rendah daripada metoklopramid, yaitu mulut kering, kulit
gatal, diare, pusing. Pada pemberian jangka panjang atau dosis tinggi, efeknya akan
meningkatkan sekresi prolaktin, dan dapat menimbulkan ginekomasti pada pria, serta
galaktore dan amenore pada wanita.

 Cisapride
Cisapride merupakan derivat benzidamide dan tergolong obat prokinetik baru yang
mempunyai khasiat memperbaiki motilitas seluruh saluran cerna. Obat ini mempunyai
spektrum yang luas.

Pada penderita dengan dispepsia, dimana sering terjadi gangguan motilitas pada
saluran cerna bagian atas, obat ini bermanfaat untuk memperbaiki. Hal ini disebabkan
karena cisapride meningkatkan tonus sphincter oesophagus bagian bawah, peristaltik
oesophagus, dan pengosongan oesophagus. Di samping itu, akan meningkatkan
peristaltik antrum, memperbaiki koordinasi gastro-duodenum dan mempercepat
pengosongan lambung. Manfaat cisapride pada saluran cerna bagian bawah yaitu akan
merangsang aktivitas motorik usus halus dan kolon sehingga mempercepat transit di
sini. Jadi, obat ini juga bermanfaat pada pseudo-obstruksi usus kronis idiopatik, pada
penderita konstipasi karena paraplegia, dan pemakai obat laxatif yang menahun.

Efek samping yang ditimbulkannya yaitu borborigmi, diare, dan rasa kejang di
perut yang sifatnya sementar.
TERAPI NONFARMAKOLOGIS DAN PENCEGAHAN

Diet merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai ialah cara
pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy’s diet.
Sekarang lebih dikenal dengan diet lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat
Indonesia. Dasar diet tersebut ialah makan sedikit dan berulang kali, makan makanan yang
mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah
dicerna, tidak merangsang, dan kemungkinan dapat menetralisir HCl. Pemberiannya dalam
porsi kecil dan berulang kali. Dilarang makan pedas, asam, alkohol.

g. Prognosis Dyspepsia

Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat mempunyai prognosis yang baik.

Anda mungkin juga menyukai