SK.1
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Gaster
LO.1.1 Memahami dan Menjelaskan Makroskopik
Gaster (lambung) merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan mempunyai tiga fungsi:
Menyimpan makanan - pada orang dewasa, gaster mempunyai kapasitas sekitar 1500 ml
Mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk kimus yang setengah cair
Mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus sehingga pencernaan dan absorbsi
yang efisien dapat berlangsung.
Gaster terletak di bagian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah arcus costalis sinistra
sampai regio epigastrica dan umbilicalis. Sebagian besar gaster terletak di bawah costae bagian
bawah. Secara kasar, gaster berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan
ostium pyloricum; dua curvatura, curvatura major dan curvatura minor; dan dua dinding, paries
anterior dan paries posterior.
Gaster relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi di antara ujung-ujung tersebut gaster sangat
mudah bergerak. Gaster cenderung terletak tinggi dan transversal pada orang pendek dan gemuk
(gaster steer-horn) dan memanjang vertikal pada orang yang tinggi dan kurus (gaster berbentuk
huruf J). Bentuk gaster sangat berbeda-beda pada orang yang sama dan tergantung pada isi, posisi
tubuh, dan fase pernafasan.
Gambar.1
Sumber: www.hotep.bemoor.com
Curvatura minor membentuk pinggir kanan lambung dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai
pylorus. Omentum minus terbentang dari curvatura minor sampai hati. Curvatura major jauh lebih
panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri ostium cardiacum, melalui kubah fundus
dan kemudian mengitarinya dan menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum
(omentum) gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan omentum
majus terbentang dari bagian bawah curvatura major sampai colon transversum.
Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen masuk ke lambung.
Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter, diduga bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang
mencegah regurgitasi isi lambung ke oesophagus.
Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya sekitar 2,5 cm. Otot sirkular yang
meliputi lambung jauh lebih tebal di sini dan secara anatomis dan fisiologi membentuk sphincter
pyloricum. Pylorus terletak pada bagian transpilorica dan posisinya dapat dikenali dengan adanya
sedikit kontraksi pada permukaan lambung. Sphincter pyloricum mengatur kecepatan pengeluaran
isi lambung ke duodenum.
Batas-Batas
Anterior: dinding anterior abdomen, arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma dan lobus kiri
hepar.
Posterior: bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal kiri, A.lienalis,
pankreas, mesocolon transversum dan colon transversum.
Pendarahan gaster
a. Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus.
Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke atas dan
kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura
minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3 bawah oesophagus dan bagian
atas kanan gaster.
Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir atas
pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini mendarahi bagian
kanan bawah gaster.
Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan berjalan
ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi fundus.
Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale dan
berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi gaster
sepanjang bagian atas curvatura major.
Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang
merupakan cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan
mendarahi gaster sepanjang bawah curvatura major.
b. Venae
Vena-vena ini mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal. Vena gastrica sinistra dan dextra
bermuara langsung ke vena porta hepatis. Venae gastricae breves dan vena gastroomentalis
sinistra bermuara ke dalam vena lienalis. Vena gastroomentalis dextra bermuara ke dalam
vena mesentrica superior.
Persarafan
Persarafan ini termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari plexus coeliacus dan serabut-
serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan sinistra.
Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus
sinistra, memasuki abdomen pada permukaan anterior oesophagus. Truncus, yang mungkin
tunggal atau multipel, kemudian terbagi menjadi cabang-cabang yang menyarafi permukaan
anterior gaster. Sebuah cabang hepaticus yang besar berjalan ke atas menuju hepar, dan di
sini membentuk ramus pyloricus yang berjalan turun ke pylorus.
Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus
dextra, memasuki abdomen pada permukaan posterior oesophagus. Selanjutnya truncus
membentuk cabang-cabang yang menyarafi permukaan posterior gaster. Suatu cabang yang
besar berjalan menuju plexus coeliacus dan plexus mesentricus superior dan kemudian
didistribusikan ke usus sampai flexura coli sinistra dan ke pancreas.
Persarafan simpatis gaster membawa serabut-serabut rasa nyeri, sedangkan serabut parasimpatis
nervus vagus membawa secretomotoris untuk glandulae gastricae dan serabut motoris untuk tunica
muscularis gaster. Musculus sphincter pyloricus menerima serabut motoris dari sistem simpatis dan
serabut inhibitor dari nervus vagus.
a. Lapisan Mukosa
Lapisan mukosa merupakan lapisan yang tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal, disebut juga
rugae. Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan, yakni epitel, lapisan propria, dan muskularis
mukosa. Pada epitel permukaannya menekuk dengan kedalamaan berbeda ke dalam lamina propria
membentuk sumur lambung (gastric pits). Lamina propria tersusun atas jaringan pengikat
longgar diselingi otot polos dan sel-sel limfoid. Juga terdapat muskularis mukosa, yakni lapisan yang
memisahkan mukosa dan submukosa yang masih merupakan lapisan otot polos (Junquiera dan
Carneiro, 2003) .Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel silinder yang berlekuk-lekuk
(foveolae gastricae), tempat bermuaranya kelenjar lambung yang spesifik.
b. Lapisan submukosa
Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa
dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan peristaltik.
Pada lapisan ini banyak mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe (Price
danWilson, 2006).
c. Lapisan muskularis
Lapisan muskularis tersusun atas tiga lapis otot polos. Bagian luar tersusun atas lapisan longitudinal,
bagian tengah tersusun atas lapisan sirkuler, dan bagian dalam tersusun atas lapisan oblik (Price dan
Wilson, 2006)
d. Lapisan serosa
Lapisan ini adalah lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi lapisan muskularis. Merupakan lapisan
paling luar yang merupakan bagian dari peritonium visceralis. Jaringan ikat yang menutupi
peritonium visceralis banyak mengandung sel lemak (Eroschenko, 2003).
Histologi bagian-bagian gaster :
Gambar.2
Gambar.3
Setelah mencapai cardia, kelenjar oesophagus di submukosa tidak ada lagi. Tunica
muscularis circularis menebal membentuk sphincter.
2. Gaster
Gambar.4
Sumber: creasoft.wordpress.com
Gambar.5
Sumber: www.fsu.edu
Gaster bagian Fundus:
a. Tunika Mukosa
- Foveola gastrika agak dangkal (invaginasi/cekungan dalam lipatan)
- Epitel selapis silindris
- Lamina propria (2/3 dari T.mukosa) : terdapat kelenjar-kelenjar
Tubulosa simplex/complex
Sel2 (sitoplasma pucat, inti di basal)
Menghasilkan mucus
- Sel2 kelenjar di lamina propria:
Chief cell/zimogen: paling banyak di bagian bawah, bentuk silindris, inti
bulat/lonjong di basal, SP mengandung granula zimogen kasar (zimogen
mengandung pepsinogen & lipase). Sel ini terletak di dasar kelenjar lambung,
dan menunjukkan ciri-ciri sel yang mensekresi protein (zimogen). Sel zimogen
mengeluarkan pepsinogen, yang dalam suasana asam di lambung akan diubah
menjadi pepsin aktif dan berfungsi menghidrolisis protein menjadi peptida yang
lebih kecil.
Sel parietal/Oxyntic: terdapat di bagian isthmus, sel agak besar, bulat/pyramid,
inti besar bulat, hasilkan HCl dan gastric intrinsic factor. Sel ini tersebar satu-
satu dalam kelompokan kecil di antara jenis sel lainnya, mulai dari isthmus
sampai ke dasar kelenjar lambung, tetapi paling banyak di daerah leher dan
isthmus. Pada keadaan isitirahat, terdapat banyak gelembung tubulosa, dan
kanalikuli melebar dengan relatif sedikit mikrovili. Sewaktu mensekresi asam,
mikrovili bertambah banyak dan gelembung tubulosa berkurang, yang
menunjukkan adanya pertukaran membran di antara gelembung tubulosa di
dalam sitoplasma dan mikrovili pada permukaan, sekresi asam HCl terjadi pada
permukaan membran yang luas ini. Sel ini juga mensekresikan faktor intrinsik,
suatu glikoprotein yang terikat dengan vitamin B12 dan membantu absorbsi
vitamin ini di usus halus. Vitamin B12 diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah. Kekurangan vitamin B12 akibat kurangnya faktor ini dapat menyebabkan
anemia pernisiosa.
Sel mucus: di leher / isthmus,dgn pewarnaan PAS granula memenuhi SP bagian
apikal, hasilkan mucus. Sel ini terletak di daerah leher kelenjar lambung, dalam
kelompok kecil atau satu-satu. Bentuknya cenderung tidak teratur, seakan-akan
terdesak oleh sel-sel disekitarnya (terutama sel parietal). Sel ini memiliki
mikrovili apikal yang gemuk dan pendek berisi filamen halus yang tampak
kabur. Sel ini menghasilkan mukus asam, berbeda dengan mukus netral yang
dibentuk oleh sel mukus permukaan.
Sel epitel permukaan (sel-sel mukus)
Epitel selapis silindris melapisi seluruh lambung dan meluas ke dalam sumur-
sumur atau foveola. Epitel selapis silindris ini berawal di cardia, di sebelah epitel
berlapis gepeng oesophagus, dan pada pylorus melanjutkan diri menjadi epitel
usus (epitel selapis silindris). Pada tepian muka yang menghadap lumen,
terdapat mikrovili gemuk dan pendek-pendek. Mukus glikoprotein netral yang
disekresikan oleh sel-sel epitel permukaan membentuk lapisan tipis, melindungi
mukosa terhadap asam. Tanpa adanya mukus ini, mukosa akan mengalami
ulserasi.
Sel argentaffin/enterochromaffin: di bagian dasar, diantara chief cell, hasilkan
histamine (menstimulasi HCl), sekresi serotonin.
Sel APUD: sintesa polipeptida, macam: sel D (sekresi somatostasin untuk
hambat HCl), sel G (sekresi gastrin untuk stimulasi HCl)
b. Tunika muskularis mukosa
- Tunika Submukosa
- Tunika Muskularis Externa, terdiri dari lapisan sirkular lebih tebal
- Tunika Serosa
3. Peralihan Gaster-Duodenum
Perubahan histologis dari dinding gaster pylorus ke dinding duodenum. Tunica mucosa epitel
toraks, yang pada bagian duodenum mulai terdapat sel goblet. Pada duodenum mulai
terdapat tonjolan ke permukaan villus intestinal yang gemuk atau lebar dengan sel goblet
dan criptus atau sumur Lieberkuhn. Pada pylorus terdapat kelenjar pylorus.
Ciri khas duodenum adalah adanya kelenjar Brunner atau mucus. Tunica adventitia pada
duodenum, tidak terbungkus peritoneum.
Gambar.6
Langkah pertama proses pencernaan adalah mastikasi atau mengunyah, motilitas mulut yang
melibatkan pengirisan, perobekan, penggilingan dan pencampuran makanan oleh gigi.
Fungsi mengunyah adalah :
a. Menggiling dan memecahkan makanan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil
sehingga makanan mudah ditelan untuk meningkatkan luas permukaan makanan yang
akan terkena enzim
b. Mencampur makanan dengan liur
c. Merangsang taste buds (selain menghasilkan rasa nikmat kecap yang subyektif tetapi
juga secara reflex meningkatkan sekresi liur, lambung, pancreas dan empedu untuk
persiapan bagi kedatangan makanan).
Tindakan mengunyah dapat volunteer, tetapi sebagian besar mengunyah selama makan adalah
reflex ritmik yang dihasilkan oleh pengaktifan otot rangka rahang, bibir, pipi, dan lidah sebagai
respons terhadap tekanan makanan pada jaringan mulut.
Tidak terjadi penyerapan makanan di mulut. Tetapi, sebagian obat dapat diserap oleh mukosa oral,
contoh : nitrogliserin-obat vasodilator yang kadang digunakan oleh pasien jantung untuk
menghilangkan serangan angina.
b. Tahap esophagus: pusat menelan memicu gelombang peristaltic primer yang menyapu dari
pangkal ke ujung esophagus, mendorong bolus di depannya menelusuri esophagus untuk
masuk ke lambung. Peristaltic adalah kontraksi otot polos sirkular yang bergerak progresif
maju, mendorong bolus kebagian di depannya yang masih melemas. Gelombang peristatik
butuh waktu sekitar 5-9detik untuk mencapai ujung bawah esophagus. Perambatan
gelombang dikontol oleh pusat menelan, dengan persarafan melalui saraf vagus. Jika bolus
yang tertelan besar atau lengket, maka bolus akan meregangkan esophagus, merangsang
reseptor tekanan di dindingnya. Akibatnya terjadi pengaktifan gelombang peristaltic kedua
yang lebih kuat yang diperantarai oleh plexus saraf intrinsic di tempat peregangan.
Gelombang peristaltic kedua ini tidak melibatkan pusat menelan. Peregangan esophagus
juga secara reflex meningkatkan sekresi liur.
Gambar.8
Sumber: geneticworlds.blogspot.com
Lambung
Empat aspek motilitas lambung adalah pengisian, penyimpanan, pencampuran dan pengosongan.
a. Pengisian lambung
Ketika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50ml, tetapi volume lambung dapat
bertambah hingga sekitar 1L saat makan. Lambung dapat menampung peningkatan volume
20kali lipat tersebut dengan tidak banyak mengalami perubahan tegangan di dindingnya dan
peningkatan tekanan intralambung. Bagian interior lambung membentuk liapatan-lipatan
dalam. Sewaktu makan, lipatan menjadi lebih kecil dan nyaris menatar sewaktu lambung
sedikit melemas setiap kali makanan masuk, seperti ekspansi bertahap kantung es yang
sedang diisi. Relaksasi lambung sewaktu menerima makanan ini disebut relaksasi reseptif,
relaksasi ini meningkatkan kemampuan lambung menampung tambahan volume makanan
dengan hanya menyebabkan sedikit peningkatan tekanan lambung. Namun, jika makanan
yang dikonsumsi lebih dari 1L maka lambung mengalami peregangan berlebihan dan
tekanan intralambung mengalami sehingga yang bersangkutan merasa tidak nyaman.
Relaksasi reseptif dipicu oleh tindakan makan dan diperantarai oleh saraf vagus.
b. Makanan disimpan di korpus lambung
c. Pencampuran makanan berlangsung di antrum
d. Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltic antrum adalah gaya pendorong untuk mengosongkan isi lambung. Jumlah kimus
yang lolos ke duodenum pada setiap gelombang kontraksi sebelum sfingter pylorus menutup erat
terutama bergantung pada kekuatan peristaltic. Intensitas peristaltic antrum dapat sangat bervariasi
di bawah pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; karena itu, pengosongan lambung
diatur baik oleh factor lambung dan duodenum. Factor-faktor ini mempengaruhi eksitabilitas
lambung dan sedikit mendepolarisasi atau menghiperpolarisasi otot polos lambung. Semakin besar
eksitabilitas, semakin sering BER menghasilkan potensial aksi, semakin besar tingkat aktivitas
peristaltic di antrum dan semakin cepat laju pengosongan lambung.
Gambar.9
Empat factor duodenum terpenting yang mempengaruhi pengosongan lambung adalah lemak,
asam, hipertonisitas dan peregangan.
1. Lemak
Lemak dicerna dan diserap lebih lambat dari pada nutrient lain. Pencernaan dan penyerapan
lemak berlangsung hanya di dalam lumen usus halus. Ketika lemak sudah ada di duodenum,
pengosongan lambung lebih lanjut ke dalam duodenum terhenti sampai usus halus selesai
memproses lemak yang ada di dalamnya.
2. Asam
Karena lambung mengeluarkan HCl, maka kimus yang masuk ke duodenum sangat asam.
Kimus ini dinetralkan oleh NaHCO3 yang disekresikan ke dalam lumen duodenum terutama
dari pancreas. Asam yang belum ternetralkan akan mengiritasi mukosa duodenum dan
menginaktifkan enzim-enzim pencernaan pancreas yang disekresikan ke dalam lumen
duodenum. Karena itu, masuk akal jika asam yang belum ternetralkan di duodenum akan
menghambat pengosongan lebih lanjut isi lambung yang asam sampai netralisasi selesai.
3. Hipertonisitas
Sewaktu molekul-molekul protein dan tepung dicerna di lumen duodenum terjadi
pembebasan seumlah besar molekul asam amino dan glukosa. Jika penyerapan molekul
asam amino dan glukosa tidak mengimbangi kecepatan pencernaan protein dan karbohidrat
maka sejumlah besar molekul akan tetap berada di kimus dan meningkatkan osmolaritas isi
duodenum. Osmolaritas bergantung pada jumlah molekul yang ada, bukan ukurannya dan 1
molekul protein dapat diuraikan menjadi beberapa ratus molekul asam amino, yang masing-
masing memiliki aktivitas osmotic setara dengan molekul protein semula. Hal yang sama
berlaku juga pada zat tepung. Karena dapat berdifusi bebas menembus dinding duodenum
maka air masuk ke lumen duodenum dari plasma jika osmolaritas duodenum meningkat. Air
dalam jumlah besar yang masuk ke usus dari plasma akan menyebabkan peregangan usus
dan yang lebih penting, gangguan dirkulasi karena berkurangnya volume plasma. Untuk
mencegah efek-efek ini, pengosongan lambung secara reflex dihambat jika osmolaritas isi
duodenum mulai meningkat. Karena itu, jumlah makanan yang masuk ke duodenum untuk
dicerna lebih lanjut menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan aktif osmotis berkurang
sampai proses penyerapan memiliki kesempatan untuk menyusul.
4. Peregangan
Kimus yang terlalu banyak di duodenum akan menghambat pengosongan isi lambung lebih
lanjut agar duodenum memiliki waktu untuk memproses kelebihan volume kimus yang
sedang ditampungnya sebelum duodenum menerima kimus tambahan.
Adanya satu atau lebih rangsangan ini di duodenum akan mengaktifkan reseptor duodenum yang
sesuai, memicu respons saraf atau hormone yang mengerem motilitas lambung dengan mengurangi
eksitabilitas otot polos lambung. Penururan aktivitas antrum kemudian memperlambat laju
pengosongan lambung,
Respons saraf diperantarai melalui pleksus saraf intrinsic (reflex pendek) dan saraf otonom
(reflex panjang). Secara kolektif, reflex-refleks ini disebut dengan reflex enterogastrik.
Respons hormone melibatkan pelepasan beberapa hormone yang secara kolektif dikenal
sebagai enterogastron dari mukosa duodenum. Darah membawa hormone-hormon ini ke
lambung, tempat mereka menghambat kontraksi antrum untuk mengurangi pengosongan
lambung. Dua enterogastron terpenting adalah sekretin dan kolesistokinin (CCK).
b. Nyeri hebat
Nyeri hebat dari bagian tubuh manapun cenderung menghambat motilitas dan
pengosongan, tidak hanya di lambung tetapi di seluruh saluran cerna. Respons ini
ditimbulkan oleh peningkatan aktivitas simpatis.
Gambar.10
Sumber: anfis-mariapoppy.blogspot.com
Sel parietal secara aktif mensekresikan HCl ke dalam lumen foveola gastrika, yang selanjutnya
menyalurkan bahan ini ke lumen lambung. Akibat sekresi HCl ini, pH isi lumen hingga serendah 2. Ion
hidrogen dan ion klorida secara aktif dipindahkan oleh pompa berbeda di dalam membrane plasma
sel parietal. Ion hidrogen secara aktif dipompa melawan gradient konsentrasi yang sangat besar,
dengan konsentrasi H+ di lumen mencapai 3juta kali konsentrasinya di darah. Klorida disekresikan
oleh mekanisme transport aktif sekunder melawan gradient konsentrasi yang jauh lebih kecil (hanya
1,5 kali).
H+ yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses metabolic di dalam sel
parietal. Secara spesifik, H+ yang akan disekresikan berasal dari penguraian molekul H2O menjadi H+
dan OH- di dalam sel parietal. H+ ini disekresikan ke dalam lumen oleh H+-K+ ATPase di membrane
luminal sel parietal. Pembawa transport aktif primer ini juga memompa K+ ke dalam sel dari lumen,
serupa dengan pompa Na+-K+ ATPase. K+ yang dipindahkan tersebut kemudian secara pasif mengalir
kembali ke dalam lumen melalui saluran K+ sehingga kadar K+ tidak berubah oleh proses sekresi H+
ini.
Sementara itu, OH- yang dihasilkan oleh penguraian H2O dinetralkan dengan berikatan dengan H+
baru yang dihasilkan dari asam karbonat (H2CO3). Sel parietalmengandung banyak enzim karbonat
anhidrase(Ca). dengan keberadaan enzim ini, H2O cepat berikatan dengan CO2 yang diproduksi oeh
sel parietal dari proses metabolic atau berdifusi masuk dari darah. Kombinasi H2 O dan CO2
menyebabkan terbentuknya H2CO3 yang mengalamin penguraian parsial untuk menghasilkan H+ dan
HCO3-, H+ yang dihasilkan pada hakikatnya menggantikan H+ yang disekresikan.
HCO3- yang terbentuk dipindahkan ke dalam plasma oleh penukar Cl- HCO3- di membrane basolateral
sel parietal. Penukar ini memindahkan Cl- ke dalam sel parietal melalui transport aktif sekunder.
Terdorong oleh gradient HCO3-, pembawa ini memindahkan HCO3- keluar sel munuju plasma
menuruni gradient konsentrasinya dan secara bersamaan memindahkan Cl- dari plasma ke dalam sel
parietal melawan gradient elektrokimiawinya. Penukar ini meningkatkan konsentrasi Cl- di dalam sel
parietal, meningkatkan konsentrasi antara sel parietal dan lumen lambung. Berkat gradient
konsentrasi ini dank arena interior sel lebih negative dibandingkan dengan isi lumen makan Cl- yang
bermuatan negative yang dipompa masuk ke sel oleh penukar di membrane basolateral berdifusi
keluar sel menuruni gradient elektrokimiawinya melalui saluran di membrane luminal menuju lumen
lambung, menyelesaikan proses sekresi Cl-.
H2O +CO2 dibantu oleh Carbonat Anhidrase menjadi H2CO3-
↓
H masuk ke lumen lambung melalui H+K+ATPase
+
↓
HCO3- bertukar dengan Cl- di plasma
↓
H+ berikatan dengan Cl-
↓
Menjadi HCl
Sekresi eksokrin ini semuanya dibebaskan ke dalam lumen lambung. Secara kolektif, berbagai sekresi
ini membentuk getah lambung. Di antara foveola gastika, mukosa lambung dilapisi oleh sel epitel
permukaan yang mengeluarkan mucus kental tebal basa yang membentuk lapisan setebal beberapa
millimeter di atas permukaan mukosa.
Gambar.12
Sumber: dc203.4shared.com
Kontrol sekresi lambung melibatkan 3 fase, yaitu:
1. Fase sefalik
Merujuk kepada peningkatan sekresi HCl dan pepsinogen yang terjadi melalui mekanisme
umpan sebagai respons terhadap rangsangan yang bekerja di kepala bahkan sebelum
makanan mencapai lambung. Memikirkan, mencicipi, mencium, mengunyah dan menelan
makanan meningkatkan sekresi lambung oleh aktifitas vagus melalui 2 cara:
a. Stimulasi vagus terhadap pleksus intrinsic mendorong peningkatan sekresi Ach, yang
pada gilirannya menyebabkan peningkatan sekresi HCl dan pepsinogen oleh sel
sekretorik
b. Stimulasi vagus pada sel G di dalam PGA menyebabkan pembebasan gastrin, yang
pada gilirannya semakin meningkatkkan sekresi HCl dan pepsinogen, dengan efek
HCl mengalami potensial (diperkuat) oleh pelepasan histamine yang dipicu gastrin.
Gambar.13
Sumber: http://courses.washington.edu/conj/bess/acid/cephalic3.png
2. Fase lambung
Berawal ketika makanan benar-benar mencapai lambung. Rangsangan yang bekerja di
lambung yaitu protein, khususnya potongan peptide: peregangan, kafein, dan alcohol
meningkatkan sekresi lambung melalui jalur-jalur eferen yang tumpang tindih. Contoh:
protein di lambung, perangsang paling kuat, merangsang kemoreseptor yang mengaktifkan
pleksus saraf intrinsic, yang selanjutnya merangsang sel sekretorik. Selain itu, protein
menyebabkan pengaktifan serat vagus eksentrik ke lambung. Aktivitas vagus semakin
meningkatkan stimulasi saraf intrinsic pada sel sekretorik dan memicu pelepasan gastrin.
Protein juga secara langsung merangsang pengeluaran gastrin. Gastrin pada gilirannya
adalah perangsang kuat bagi sekresi HCl dan pepsinogen lebih lanjut serta menyebabkan
pengeluaran histamine yang semakin meningkatkan sekresi HCl. Melalui jalur-jalur yang
sinergistik dan tumpang tindih ini, protein menginduksi sekresi getah lambung yang sangat
asam dan kaya pepsin, melanjutkan pencernaan protein yang menjadi pemicu proses ini.
Gambar.14
Sumber: http://courses.washington.edu/conj/bess/acid/gastric3.png
3. Fase usus
Fase ini terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus yang
kemudian memicu faktor saraf dan hormon.Dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke
duodenum. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein
yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan gastrin usus,
suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah kecil
cairan lambung. Meskipun demikian, peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi
lambung jauh lebih besar. Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik,
diperantarai oleh pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi
dan pengosongan lambung. Adanya asam (pH <2,5), lemak, dan hasil-hasil pemecahan
protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin, kolesistokinin, dan peptide
penghambat gastrik (gastric inhibiting peptide,GIP), semuanya memiliki efek inhibisi
terhadap sekresi lambung.
Gambar.15
Sumber: http://courses.washington.edu/conj/bess/acid/intestinalphase3.png
LI.3 Memahami dan Menjelaskan Proses Biokimia
LO.3.1 Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Enzimatik
Pencernaan Karbohidrat
A. Pencernaan karbohidrat makanan dalam mulut
1. Dalam mulut, α-amilse saliva memotong pati dengan memecahkan ikatan α-1,4
antara residu glukosa di dalam rantai.
2. Dekstrin (oligosakarida lurus dan bercabang) adalah produk utama yang masuk ke
lambung.
B. Pencernaan karbohidrat dalam usus halus
1. Isi lambung melintas ke usus halus, dimana bikarbonat (HCO3-) disekresi oleh
pankreas menteralkan asam lambung, meningkatkan pH ke dalam rentang optimal
untuk kerja dari enzim-enzim usus halus.
2. Pencernaan oleh enzim-enzim pankreas:
o Pankreas mensekresi α-amilase yang bekerja dalam lumen usus halus dan
seperti amilase saliva, memotong ikatan α-1,4 antara residu glukosa
o Produk dari α-amilase pankreas adalah disakarida maltosa dan isomaltosa,
trisakarida dan oligosakarida kecil yang mengandung ikatan α-1,4 dan α-1,6.
3. Pencernaan oleh enzim-enzim dari sel usus halus
o Kompleks enzim, diproduksi oleh sel epitel usus halus dan terletak dalam
batas sikat, melanjutkan pencernaan karbohidrat.
o Glukoamilase dan maltase lain memotong residu glukosa dari ujung, bukan
pereduksi dari oligosakarida dan juga memotong ikatan α-1,4 dari maltosa,
melepaskan dua residu glukosa.
o Isomaltosa memotong ikatan α-1,6 dan melepaskan residu glukosa dari
oligosakarida bercabang.
o Sukrase mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
o Laktasi (β-galaktosidase mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.
C. Karbohidrat yang tidak dapat dicerna
1. Polisakarida yang tidak dapat dicerna adalah bagian dari serat dalam diet yang lewat
melalui usus halus ke dalam feses.
2. Contoh, karena enzim yang dihasilkan oleh sel manusia tidak dapat memotong
ikatan β-1,4 dari selulosa, polisakarida ini tidak dapat dicerna.
D. Absorbsi glukosa, fruktosa, dan galaktosa
1. Glukosa, fruktosa, dana galaktosa (produk akhir yang dihasilkan oleh pencernaan
dari karbohidrat makanan) dapat diabsorbsi oleh sel usus halus dengan dua bentuk
transpor: transpor terfasilitasi dan transpor aktif.
2. Menggunakan transpor terfasilitasi, monosakarida terikat pada protein pengangkut
dan diangkut ke dalam sel bergerak mengikuti gradien konsentrasi.
3. Glukosa juga bergerak ke dalam sel oleh transpor aktif sekunder, dimana ion
natrium dibawa bersama glukosa. Suatu Na+-K+ ATPase memompa Na+ ke darah dan
Na+ bergerak mengikuti gradien konsentrasi dari darah ke dalam sel, membawa
glukosa dengannya.
Gambar.16
Pencernaan triasilgliserol makanan
A. Triasilgliserol makanan dicerna dalam usus halus oleh proses yang memerlukan garam
empedu dan sekresi dari pankreas. Secara normal, 95% lemak diabsorbsi. Sebagian besar
pencernaan lemak terjadi dalam lumen duodenum dan jejenum.
1. Garam empedu disintesis dari kolestrol dan disekresi ke dalam empedu. Emoedu
disimpan dalam kantung empedu dan dilepaskan dalam respons terhadap hormon.
Empedu kemudian lewat ke dalam usus halus, dimana ia mengemulsi lemak
makanan.
2. Pankreas mensekresi enzim-enzim pencernaan dan bikarbonat, yang menetralkan
asam lambung, menaikkan pH ke rentang optimal untuk enzim-enzim pencernaan.
3. Lipase pankreas, dengan bantuan kolipase mencerna triasilgliserol menjadi 2-
monoasilgliserol dan asam lemak bebas, yang dikemas ke dalam micel (micelles).
Misel, yang merupakan tetes-tetes mikro kecil diemulsi oleh garam empedu, juga
mengandung lemak makanan lain seperti kolestrol dan vitamin yang larut dalam
lemak.
4. Misel berjalan ke mikrovili dari sel epitel usus halus yang mengabsorbsi asam lemak,
2-monoasilgliserol dan lemak makanan lain.
5. Garam empedu diabsorbsi lagi dalam ileum terminal, didaur ulang oleh hati dan
disekresi ke dalam usus selama siklus pencernaan selanjutnya.
B. Sintesis kilomikron
1. Dalam sel epitel usus halus, asam lemak dari misel diaktifkan oleh asil lemak
koenzim A (KoA) sintetasi membentuk asil lemak KoA.
2. Satu asil lemak KoA bereaksi dengan satu 2-monoasilgliserol membentuk satu
diasilgliserol. Kemudian asil lemak KoA yang lain bereaksi dengan diasilgliserol
membentuk satu triasilgliseol.
3. Triasolgliserol lewat melalui limfe dikemas dalam kilomikron awal, yang akhirnya
masuk ke darah.
Pencernaan protein
1. 70 sampai 100 g protein yang dikonsumsi setiap hari sebanding atau lebih besa dari protein
yang masuk saluran cerna sebagai enzim pencernaan atau pada sel-sel yang terkelupas dari
epitel usus halus diubah menjadi asam amino oleh enzim pencernaan.
2. Dalam lambung, pepsin adalah enzim proteolitik utama. Yang memecah protein menjadi
polipeptida yang lebih kecil.
o Pepsin dihasilkan dan disekresi oleh sel chief dari lambung sebagai zimogen inaktif
pepsinogen.
o Asam hidroklorida (HCl) diproduksi oleh sel parietal lambung menyebabkan
perubahan konfromasi oada pepsinogen yang memungkinkan ia untuk memecahnya
sendiri (autokatalisis), membentuk pepsin aktif.
o Pepsin mempunyai spesifitas luas tetapi cenderung untuk memotong ikatan peptida
dimana gugus karboksi dikontribusi oleh asam amino yang bersifat asam, asam
amino aromatik atau leusin.
3. Dalam usus halus, bahan yang sebagian dicerna dari lambung bertemu dengan sekresi
pankreas, termasuk bikarbonat dan sekelompok enzim proteolitik.
o Bikarbonat menetralkan asam lambung, meningkatkan pH yang terkandung dalam
lumen usus halus dalam rentang optimal untuk kerja enzim pencernaan.
o Endopeptidase dari pankreas memotong ikatan peptida di dalam rantai protein.
a. Tripsin memotong ikatan peptida dimana gugus karboksil dikontribusi oleh
arginin atau lisisn.
b. Kimotripisin biasanya memotong ikatan peptida pada gugus karboksil dari
asam amino aromatik atau leusin. Kimotripsinogen, zimogen inaktif,
dipotong membentuk kimotripsin aktif oleh tripsin.
c. Elastase memotong pada ujung karboksi dari residu asam amino dengan
rantai samping kecil, tidak bermuatan seperti alanin, glisin, atau sering,
proelastase, zimogen inaktif, dipotong menjadi elastase aktif oleh tripsin.
o Eksopeptidase dalam pankreas memotong satu asam amino secara progresif dari
ujung terminal-C dari peptida.
o Protease yang dihasilkan oleh sel epitel usus halus melengkapi perubahan dari
protein amaknan ke peptida yang akhirnya menjadi asam amino.
a. Aminopeptidase adalah eksopeptidase yang dihasilkan oleh sel usus halus,
memotong satu asam amino setiap kali dari terminal N dari peptida.
b. Dipeptidase dan tripeptidase terkait dengan sel usus halus menghasilkan
asam amino dari dipeptida dan tripeptida.
Sindroma dispepsia ini biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan, yang sifatnya hilang
timbul atau terus-menerus. Karena banyaknya penyebab yang menimbulkan kumpulan gejala
tersebut, maka sindroma dispepsia dapat diklasifikasian menjadi (1) dispepsia organik dan (2)
dispepsia non-organik atau dispepsia fungsional.
1. Dispepsia organik
Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia
lebih dari 40 tahun. Istilah dispepsia organik baru dapat digunakan bila penyebabnya sudah
jelas, antara lain:
- Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia). Keluhan penderita yang sering diajukan
adalah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada
hubungannya dengan makanan, pada tengah malam sering terbangun karena nyeri
atau pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat
menentukan adanya tukak lambung atau di duodenum.
- Dispepsia bukan tukak. Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak.
Biasa ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak
ditemukan tanda-tanda tukak.
- Refluks gastroesofageal. Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa
panas di dada dan regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang
mempunyai keluhan tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya,
maka dapat disebut sindroma dispepsia refluks gastroesofageal.
- Penyakit saluran empedu. Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit
saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang
menjalar ke punggung dan bahu kanan.
- Karsinoma. Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma
dispepsia. Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan
bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.
- Pankreatitis. Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut
dirasa makin tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma
dispepsi juga ada.
- Dispepsia pada sindroma malabsorbsi. Pada penderita ini—di samping mempunyai
keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama
lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
- Dispepsia akibat obat-obatan. Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa
sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah,
misalnya obat golongan NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin,
digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh
karena itu, perlu ditanyakan obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan
dispepsia.
- Gangguan metabolisme. Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul
komplikasi pengosongan lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea,
vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa
nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya
hipomoltilitas lambung. Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa nyeri di perut,
nausea, vomitus, dan anoreksia.
2. Dispepsia non-organik/fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia yang tidak ada
kelainan organik, tetapi merupakan kelainan dari fungsi saluran makanan. Yang termasuk
dispepsia fungsional adalah:
- Dispepsia dismotilitas (dismotility-like dyspepsia)
Pada dispepsia dismotilitas, umumnya terjadi gangguan motilitas, di antaranya:
waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas
mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional
biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yang meningkat.
Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional.
Hal ini dapat dijelaskan kembali pada faal saluran cerna pada proses pencernaan yang
mendapat mengaruh dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal
secara langsung, tetapi memungkinkannya efek dari antral gastrin dan rangsangan lain dari
sel parietal. Dengan melihat, mencium bau, atau membayangkan suatu makanan saja sudah
terbentuk asam lambung yang banyak, yang mengandung HCl dan pepsin.
Pada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac, dan aspirin (terutamanya pada dosis
tinggi), kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase menyebabkan sintesis prostaglandin dari
asam arakidonat turut terhambat. Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah
penghambatan sistesis prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum
sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu
penggunaan NSAIDs dan efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan bahaya
perdarahan pada tukak (Silbernagl, 2000).
Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia
fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
1. Sekresi asam lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat
sekresi asam lambung yang rata-rata normal, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang
menimbulkan rasa tidak enak di perut.
2. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima.
3. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional
terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum. Tapi harus
dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat
kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak dapat mutlak mewakili hal
tersebut.
4. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus dispepsia ini
mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap disetensi balon di gaster atau duodenum.
5. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga
berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima makanan,
sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi hal ini
bersifat inkonsisten.
7. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional. Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal.
Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
8. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada
kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara faktor psikologis
stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan
kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun
dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia,
adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan dyspepsia biasanya normal, kecuali epigastrik terasa sakit. Adanya
sakit pada epigastrik tidak secara akurat dapat membedakan dyspepsia organic dengan dyspepsia
fungsional. Sakit abdominal pada palpitasi harus dievaluasi dengan tanda Carnett untuk mengetahui
apakah sakitnya dari dinding abdomen atau dari inflamasi dibawah visceral. Adanya peningkatan
rasa sakit karena regangan otot (test Carnett positif) menandakan bahwa terjadi sakit di dinding
abdomen. Tetapi, jika sakitnya menurun (test Carnitt negative), sumber sakit tidak berasal dari
dinding abdomen dan biasanya dari organ intra-abdominal, dengan otot dinding abdomen teregang
melindungi viscera.
Temuan lain pada pemeriksaan fisik adalah: ditemukan massa abdominal (contoh: hepatoma) atau
limfadenopati (kanker gastrik periumbal atau supraclavicula sinistra), jaundice (contoh: metastasis
liver sekunder) atau anemia sekunder. Ascites mengindikasikan adanya karsinomatosis peritoneal.
Pasien dapat mempunyai gejala otot lemah, lemak subkutan hilang dan edema perifer karena berat
badan menurun.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah termasuk tes fungsi liver harus dilakukan untuk
mengidentifikasi pasien dengan kegawatdaruratan (contoh: anemia defisiensi besi) dan penyakit
metabolic yang dapat menyebabkan dyspepsia (contoh: diabetes dan hiperkalsemia).
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, seperti pemeriksaan darah, urine, dan tinja secara rutin.
Dari pemeriksaan darah, bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak, berarti kemungkinan
pasien menderita malabsorbsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa
asam lambungnya.
ROMA II
Dispepsia Fungsional
Berlangsung sekurang-kurangnya selama 12 minggu, dalam 12 bulan ditandai dengan:
Gejala yang menetap atau berulang (nyeri atau tidak nyaman yang berpusat diabdomen
atas)
Tidak ada bukti penyakit organik (berdasarkan endoskopi)
Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan pola
dan bentuk defekasi
ROMA III
Dispepsia Fungsional
Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya:
Satu atau lebih gejala dibawah ini:
a. Rasa tidak nyaman setelah makan
b. Cepat merasa kenyang
c. Nyeri epigastrium
d. Rasa terbakar didaerah epigastrium
Dan
Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan gejala-gejala
tesebut diatas.
*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis
Kritria supportif
1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa yang berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik
Kriteria supportif
1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial
Diagnosis Banding
1. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat menjadi salah satu diagnosis banding.
Umumnya, penderita penyakit ini sering melaporkan nyeri abdomen bagian atas
epigastrum/ulu hati yang dapat ataupun regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel
syndrome (IBS) yang ditandai dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren, yang
berhubungan dengan buang air besar (defekasi) yang tidak teratur dan perut kembung..
2. Obat-obatan juga dapat menyebabkan sindrom dispepsia, seperti suplemen besi atau
kalium, digitalis, teofilin, antibiotik oral, terutama eritromisin dan ampisilin. Mengurangi
dosis ataupun menghentikan pengobatan dapat mengurangi keluhan dispepsia. Penyakit
psikiatrik juga dapat menjadi penyebab sindrom dispesia. Misalnya pada pasien gengan
keluhan multisistem yang salah satunya adalah gejala di abdomen ternyata menderita
depresi ataupun gangguan somatisasi. Gangguan pola makan juga tidak boleh dilupakan
apalagi pada pasien usia remaja dengan penurunan berat badan yang signifikan.
3. Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga timbul
keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah. Lebih jauh diabetik
radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas.
Gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan hiperkalsemia juga dapat menyebabkan nyeri
abdomen bagian atas.
4. Penyakit jantung iskemik kadang-kadang timbul bersamaan dengan gejala nyeri abdomen
bagian atas yang diinduksi oleh aktivitas fisik. Nyeri dinding abdomen yang dapat disebabkan
oleh otot yang tegang, saraf yang tercepit, ataupun miositis dapat membingungkan dengan
dispepsia fungsional. Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi yang dengan palpasi akan
menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut tidak dapat dikurangi atau dihilangkan
dengan meregangkan otot-otot abdomen.
Gambar. 17
Pada pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi ada tidaknya bakteri Helicobacter pylori,
dimana cairan tersebut diambil dan ditumbuhkan dalam media Helicobacter pylori.
Pemeriksaan antibodi terhadap infeksi Helicobacter pylori dikerjakan dengan metode Passive
Haem Aglutination (PHA), dengan cara menempelkan antigen pada permukaan sel darah
merah sehingga terjadi proses aglutinasi yang dapat diamati secara mikroskopik. Bila di
dalam serum sampel terdapat anti Helicobacter pylori maka akan terjadi aglutinasi dan
dinyatakan positif terinfeksi Helicobacter pylori.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini banyak menunjang diagnosis suatu penyakit di saluran cerna. Setidak-
tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna bagian atas dan
sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal, akan tampak
peristaltik di oesophagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di
antrum yang meninggi, serta sering menutupnya pylorus sehingga sedikit barium yang
masuk ke intestinal. Pada tukak, baik di lambung maupun di duodenum, akan terlihat
gambaran yang disebut niche, yaitu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk
niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin.
3. Ultrasonografi (USG)
Merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan
untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak
menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada kondisi pasien yang
berat sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia
terutama bila ada dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan
juga ada dugaan di oesophagus dan lambung.
4. Biopsi
Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui kultur, meskipun hal
ini merupakan tes laboratorium khusus. Ada juga tes pernafasan yang mendeteksi H. Pylori,
serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.
b. Stenosis pylorus
Disebabkan oleh iritasi jangka panjang permukaan system pencernaan karena asam
lambung. Ini terjadi ketika jalan antara lambung dan duodenum (daerah pylorus) menjadi
terluka dan menyempit. Ini dapat menyebabkan muntah dan mencagah makanan yang
dimakan dicerna sempurna. Pada kebanyakan kasus, stenosis pylorus diterapi dengan
operasi untuk mengembalikan lebar awal pylorus.
c. Barret’s esophagus
Reflux asam lambung yang berulang dapat menyebabkan perubahan sel permukaan
esophagus bawah. Ini adalah kondisi Barret’s esophagus. Barret’s esophagus biasanya tidak
menyebabkan gejala seperti reflux asam lambung lainnya. Tetapi, ada risiko kecil sel yang
terkena Barret’s esophagus dapat menjadi kanker dan memicu kanker esophagus.
e. Perforasi (lubang di dinding) sering mengarah ke konsekuensi bencana. Erosi dinding gastro-
usus oleh ulkus menyebabkan tumpahan isi perut atau usus ke dalam rongga perut.
Perforasi pada permukaan anterior perut menyebabkan peritonitis akut, awalnya kimia dan
kemudian bakteri peritonitis. Tanda pertama adalah sering nyeri perut tiba-tiba intens.
Perforasi dinding posterior menyebabkan pankreatitis, sakit dalam situasi ini sering menjalar
ke punggung.
f. Penetrasi adalah ketika ulkus berlanjut ke organ-organ yang berdekatan seperti hati dan
pankreas.
Farmakologi
Antagonis Reseptor H2
1. Cimetidine Ranitidine
Secara reversibel dan kompetitif menghambat reseptor Histamin 2 (H2) terutama pada sel
parietal lambung, sehingga memicu penghambatan sekresi asam lambung.
Indikasi: Keduanya digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Akan
tetapi manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak lambung belum diketahui
secara jelas.Efek penghambatannya selama 24 jam, Cimetidin 1000 mg/hari menyebabkan
penurunan kira-kira 50% dan Ranitidin 300 mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi
asam lambung; sedangkan terhadap sekresi malam hari, masing-masing menyebabkan
penghambatan 70% dan 90%.
Farmakodinamik: Cimetidin dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung sehingga pada pemberian
cimetidin dan ranitidine sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi cimetidin dan
ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting.walaupun tidak lengkap
cimetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat
muskarinik atau gastrin. Cimetidin dan ranitidine mengurangi volume dan kadar ion
hydrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan
pepsinogen menjadi pepsin menurun.
Farmakokinetik:
a. Cimetidin
Bioavailabilitas cimetidin sekitar 70% sama dengan pemberian IV atau IM ikatan
protein plasma hanya 20%.Absorbsi simetidin diperlambat oleh makanan sehingga
cimetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode paska makan. Absorpsi terutama terjadi pada
menit ke 60 -90. Cimetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-
20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral diekskresi
dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2 jam.
b. Ranitidine
Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat
pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3 jam pada orang dewasa,
dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati
masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak sebesar
pada ginjal.Pada ginjal normal, volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan klirens kreatinin
25-35 ml/menit. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan
ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine
mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam jumlah yang cukup besar
setelah pemberian oral. Ranitidine dan matabolitnya diekskresi terutama melalui
ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan IV dan 30%
yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.
Efek Samping: terbatas dan tidak berbahaya: aritmia, vaskulitis, pusing, halusinasi, sakit
kepala, confusion, mengantuk, vertigo, eritema multiforme, kemerahan, pankreatitis,
anemia haemolitic acquired, agranulositosis, anemia aplastik, granulositopenia,
leukopenia, trombositopenia, pansitopenia, gagal hati, anafilaksis, reaksi
hipersensitivitas.
Interaksi Makanan: Makanan tidak mengganggu absorpsi ranitidin.
Interaksi Obat:
a. Cimetidin terikat ole sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim
mikrosom hati, sehingga obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama
Cimetidin. Contohnya: warfarin, fenitoin, kafein, fenitoin, teofilin, fenobarbital,
karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol dan imipramin. Simetidin
dapat menghambat alkhohol dehidrogenase dalam mukosa lambung dan
menyebabkan peningkatan alkohol serum. Obat ini tak tercampurkan dengan
barbiturat dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan
SSP terutama pada pasien lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal.
b. Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin. Nifedin, warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi
dengan ranitidin. Selain menghambat sitokrom P-450, Ranitidin dapat juga
menghambat absorbsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah
25%. Sebaiknya obat yang dapat berinteraksi dengan ranitidin diberi selang
waktu minimal 1 jam. Ranitidin dapat menyebabkan gangguan SSP ringan,
karena lebih sukar melewati sawar darah otak dibanding simetidin.
2. Famotidin
Farmakodinamik: Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambungpada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga
kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
Indikasi:Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu
pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian selama 6 bula
famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna.
Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison
meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk
profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang
diteliti.
Efek Samping: Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing,
konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik
daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik.
Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui
apakah obat ini diekskresi kedalam air susu ibu.
Interaksi Obat: Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum
dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak mengganggu
oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH
asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bial diberikan bersama AH2.
Farmakokinetik:Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah
penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit
utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis
ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi
dapat melebihi 20 jam.
3. Nizatidin
Farmakodinamik: Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih
sama dengan ranitidin.
Indikasi: Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin
dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan
tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah
kekambuhan. Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung
lainnyan nizatidin siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan
pembuktian lanjut.
Efek Samping: Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan
saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum
ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang
bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut
belum terlihat pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada
mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam
dosis ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat enzim mikrosom hati yang
metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila
nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau
lorezepam. Ketakonazol yang membetuhkan pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH
lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.
Farmakokinetik: Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh
makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar
puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar
2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal
90% dari dosisi yang digunakann ditemukan di urin dalam 16 jam.
Antasida
Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga efektifitasnya bergantung pada
kapasitas penetralan dari antasida tersebut. Kapasitas penetralan (dalam miliequivalen) adalah mEq
HCl yang dibutuhkan untuk memepertahankan suspensi antasida pada pH 3,5 selama 10 menit
secara in vitro. Peningkatan pH cairan gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi penetralan sebesar 90% dan
peningkatan ke pH 3,3 terjadi penetralan sebesar 99% asam lambung.
Antasida dapat meningkatkan pH cairan lambung sampai pH 4, dan menghambat aktifitas proteolitik
dari pepsin. Antasida tidak melapisi dinding mukosa namun memiliki efek adstringen. Secara kimia
antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam lambung membentuk garam dan air.
Antasida juga dapat menstimulasi sintesis prostaglandin. Secara umum antasida dapat dibagi
menjadi dua golongan yaitu antasid sistemik dan non sistemik. Seluruh antasida dapat digunakan
untuk terapi tukak duodenum dan terbukti efektif untuk tukak lambung akut.
1. Antasida sistemik
Diabsorpsi dalam usus halus sehingga dapat menyebabkan urin bersifat alkali. Untuk
keadaan pasien dengan gangguan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolik sehingga saat ini
penggunaannya sudah jarang. Contoh antasida sistemik adalah Natrium bikarbonat
(NaHCO3).
a. Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi.
Karbon dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa.
Distensi lambung dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain
menimbulkan alkalosis metabolik, obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan
edema. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini
digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan
lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu
gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-
4 gram. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau krim pada
pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali
syndrom)
b. Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat, maka
daya kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.
Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan
saluran cerna dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut
bukan berdasarkan daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium
di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal mengeluarkan HCl
(H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan
mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi ialah
hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi pada
penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain (milk alkali
syndrom).
Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan,
sedangkan pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang.
Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram
kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.
d. Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam
lambumg sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup
tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan
dieksresi dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang
baik; tidak hanya mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan.
Mula kerja magnesium trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan
waktu 15 menit, sedangkan untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu
jam.
Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadi batu
silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya
yang rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang khas, kurang
beralasan mengunakan obat ini sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4
gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-
kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat
menetralkan 13-17 mEq asam.
Awad, El-Sayed I. 2005. Dyspepsia: An Updating Clinical Guideline. Journal of the Medical Research
Institut.
FKUI, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: Gaya
Baru
Ganong, W.F . 2008 . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC
http://courses.washington.edu/conj/bess/acid/acidreg.html
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31383/4/Chapter%20II.pdf
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3002577/
http://www.nhs.uk/conditions/indigestion/pages/complications.aspx
Perri, Francesco., Clemente, Rocco., et al. Patterns of Symptoms in Fungsional Dyspepsia: Role of
Heliobacter Pylori Infection and Delayed Gastric Emptying. The American Journal of
Gastroenterology.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem ed. 2.Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, dkk., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 ed. 4, Jakarta:
Interna Publishing
Swanson, Todd A., Kim, Sandra I., dkk., 2012. Essential Biokimia, Edisi 5. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher.
Tack, Jan., Bisschops, Rap., dkk., Pathophysiology and Treatment of Functional Dyspepsia. Division of
Gastroenterology, Department of Internal Medicine, University Hospital Gasthuisberg, University of
Leuven, Leuven, Belgium.