Anda di halaman 1dari 37

NUNGKI PRAMITA (1102013217)

SK.1
LI.1 Memahami dan Menjelaskan Gaster
LO.1.1 Memahami dan Menjelaskan Makroskopik
Gaster (lambung) merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan mempunyai tiga fungsi:
 Menyimpan makanan - pada orang dewasa, gaster mempunyai kapasitas sekitar 1500 ml
 Mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk kimus yang setengah cair
 Mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus sehingga pencernaan dan absorbsi
yang efisien dapat berlangsung.

Gaster terletak di bagian atas abdomen, terbentang dari permukaan bawah arcus costalis sinistra
sampai regio epigastrica dan umbilicalis. Sebagian besar gaster terletak di bawah costae bagian
bawah. Secara kasar, gaster berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan
ostium pyloricum; dua curvatura, curvatura major dan curvatura minor; dan dua dinding, paries
anterior dan paries posterior.

Gaster relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi di antara ujung-ujung tersebut gaster sangat
mudah bergerak. Gaster cenderung terletak tinggi dan transversal pada orang pendek dan gemuk
(gaster steer-horn) dan memanjang vertikal pada orang yang tinggi dan kurus (gaster berbentuk
huruf J). Bentuk gaster sangat berbeda-beda pada orang yang sama dan tergantung pada isi, posisi
tubuh, dan fase pernafasan.

Gambar.1
Sumber: www.hotep.bemoor.com

Gaster dibagi menjadi bagian-bagian berikut:


 Fundus gastricum berbentuk kubah, menonjol ke atas dan terletak di sebelah kiri ostium
cardiacum. Biasanya fundus berisi penuh udara.
 Corpus gastricum terbentang dari ostium cardiacum sampai incisura angularis, suatu lekukan
yang ada pada bagian bawah curvatura minor.
 Anthrum pyloricum terbentang dari incisura angularis sampai pylorus.
 Pylorus merupakan bagian gaster yang berbentuk tubular. Dinding otot pylorus yang tebal
membentuk musculus sphincter pyloricus. Rongga pylorus dinamakan canalis pyloricus.

Curvatura minor membentuk pinggir kanan lambung dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai
pylorus. Omentum minus terbentang dari curvatura minor sampai hati. Curvatura major jauh lebih
panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri ostium cardiacum, melalui kubah fundus
dan kemudian mengitarinya dan menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum
(omentum) gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan omentum
majus terbentang dari bagian bawah curvatura major sampai colon transversum.

Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen masuk ke lambung.
Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter, diduga bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang
mencegah regurgitasi isi lambung ke oesophagus.

Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya sekitar 2,5 cm. Otot sirkular yang
meliputi lambung jauh lebih tebal di sini dan secara anatomis dan fisiologi membentuk sphincter
pyloricum. Pylorus terletak pada bagian transpilorica dan posisinya dapat dikenali dengan adanya
sedikit kontraksi pada permukaan lambung. Sphincter pyloricum mengatur kecepatan pengeluaran
isi lambung ke duodenum.

Batas-Batas
Anterior: dinding anterior abdomen, arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma dan lobus kiri
hepar.
Posterior: bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal kiri, A.lienalis,
pankreas, mesocolon transversum dan colon transversum.

Pendarahan gaster
a. Arteriae berasal dari cabang truncus coeliacus.
 Arteria gastrica sinistra berasal dari truncus coeliacus. Arteri ini berjalan ke atas dan
kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura
minor gaster. Arteria gastrica sinistra mendarahi 1/3 bawah oesophagus dan bagian
atas kanan gaster.
 Arteria gastrica dextra berasal dari arteria hepatica communis pada pinggir atas
pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Arteria ini mendarahi bagian
kanan bawah gaster.
 Arteriae gastricae breves berasal dari arteria lienalis pada hilum lienale dan berjalan
ke depan di dalam ligamentum gastrosplenicum untuk mendarahi fundus.
 Arteria gastroomentalis sinistra berasal dari arteria splenica pada hilum lienale dan
berjalan ke depan di dalam ligamentum gastrolienale untuk mendarahi gaster
sepanjang bagian atas curvatura major.
 Arteria gastroomentalis dextra berasal dari arteria gastroduodenalis yang
merupakan cabang arteria hepatica communis. Arteria ini berjalan ke kiri dan
mendarahi gaster sepanjang bawah curvatura major.

b. Venae
Vena-vena ini mengalirkan darah ke dalam sirkulasi portal. Vena gastrica sinistra dan dextra
bermuara langsung ke vena porta hepatis. Venae gastricae breves dan vena gastroomentalis
sinistra bermuara ke dalam vena lienalis. Vena gastroomentalis dextra bermuara ke dalam
vena mesentrica superior.

Persarafan
Persarafan ini termasuk serabut-serabut simpatis yang berasal dari plexus coeliacus dan serabut-
serabut parasimpatis dari nervus vagus dextra dan sinistra.
 Truncus vagalis anterior yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus
sinistra, memasuki abdomen pada permukaan anterior oesophagus. Truncus, yang mungkin
tunggal atau multipel, kemudian terbagi menjadi cabang-cabang yang menyarafi permukaan
anterior gaster. Sebuah cabang hepaticus yang besar berjalan ke atas menuju hepar, dan di
sini membentuk ramus pyloricus yang berjalan turun ke pylorus.
 Truncus vagalis posterior, yang dibentuk di dalam thorax, terutama berasal dari nervus vagus
dextra, memasuki abdomen pada permukaan posterior oesophagus. Selanjutnya truncus
membentuk cabang-cabang yang menyarafi permukaan posterior gaster. Suatu cabang yang
besar berjalan menuju plexus coeliacus dan plexus mesentricus superior dan kemudian
didistribusikan ke usus sampai flexura coli sinistra dan ke pancreas.

Persarafan simpatis gaster membawa serabut-serabut rasa nyeri, sedangkan serabut parasimpatis
nervus vagus membawa secretomotoris untuk glandulae gastricae dan serabut motoris untuk tunica
muscularis gaster. Musculus sphincter pyloricus menerima serabut motoris dari sistem simpatis dan
serabut inhibitor dari nervus vagus.

LO.1.2 Memahami dan Menjelaskan Makroskopik

a. Lapisan Mukosa

Lapisan mukosa merupakan lapisan yang tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal, disebut juga
rugae. Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan, yakni epitel, lapisan propria, dan muskularis
mukosa. Pada epitel permukaannya menekuk dengan kedalamaan berbeda ke dalam lamina propria
membentuk sumur lambung (gastric pits). Lamina propria tersusun atas jaringan pengikat
longgar diselingi otot polos dan sel-sel limfoid. Juga terdapat muskularis mukosa, yakni lapisan yang
memisahkan mukosa dan submukosa yang masih merupakan lapisan otot polos (Junquiera dan
Carneiro, 2003) .Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel silinder yang berlekuk-lekuk
(foveolae gastricae), tempat bermuaranya kelenjar lambung yang spesifik.
b. Lapisan submukosa

Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar yang menghubungkan lapisan mukosa
dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa bergerak dengan gerakan peristaltik.
Pada lapisan ini banyak mengandung pleksus saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe (Price
danWilson, 2006).

c. Lapisan muskularis

Lapisan muskularis tersusun atas tiga lapis otot polos. Bagian luar tersusun atas lapisan longitudinal,
bagian tengah tersusun atas lapisan sirkuler, dan bagian dalam tersusun atas lapisan oblik (Price dan
Wilson, 2006)

d. Lapisan serosa

Lapisan ini adalah lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi lapisan muskularis. Merupakan lapisan
paling luar yang merupakan bagian dari peritonium visceralis. Jaringan ikat yang menutupi
peritonium visceralis banyak mengandung sel lemak (Eroschenko, 2003).
Histologi bagian-bagian gaster :

1. Peralihan Oesophagus-Gaster (Cardiac)


Merupakan segmen saluran pencernaan yang melebar, fungsi utama menambah cairan
makanan, mengubahnya menjadi bubur dan melanjutkan proses pencernaan. Ada 3 daerah
struktur histologis yang berbeda yaitu, corpus, fundus dan pylorus. Peralihan oesophagus
dan lambung disebut oesophagus-cardia, epitel berlapis gepeng oesophagus beralih menjadi
epitel selapis toraks pada cardia. Mukosa cardia terlihat berlipat-lipat disebut foveola
gastrica. Didalam lamina propria terdapat kelenjar terpotong melintang (kelenjar tubulosa
berkelok-kelok), dapat meluas ke dalam lamina propria oesophagus.

Gambar.2
Gambar.3

Setelah mencapai cardia, kelenjar oesophagus di submukosa tidak ada lagi. Tunica
muscularis circularis menebal membentuk sphincter.

2. Gaster

Gambar.4
Sumber: creasoft.wordpress.com

Gambar.5
Sumber: www.fsu.edu
Gaster bagian Fundus:
a. Tunika Mukosa
- Foveola gastrika agak dangkal (invaginasi/cekungan dalam lipatan)
- Epitel selapis silindris
- Lamina propria (2/3 dari T.mukosa) : terdapat kelenjar-kelenjar
 Tubulosa simplex/complex
 Sel2 (sitoplasma pucat, inti di basal)
 Menghasilkan mucus
- Sel2 kelenjar di lamina propria:
 Chief cell/zimogen: paling banyak di bagian bawah, bentuk silindris, inti
bulat/lonjong di basal, SP mengandung granula zimogen kasar (zimogen
mengandung pepsinogen & lipase). Sel ini terletak di dasar kelenjar lambung,
dan menunjukkan ciri-ciri sel yang mensekresi protein (zimogen). Sel zimogen
mengeluarkan pepsinogen, yang dalam suasana asam di lambung akan diubah
menjadi pepsin aktif dan berfungsi menghidrolisis protein menjadi peptida yang
lebih kecil.
 Sel parietal/Oxyntic: terdapat di bagian isthmus, sel agak besar, bulat/pyramid,
inti besar bulat, hasilkan HCl dan gastric intrinsic factor. Sel ini tersebar satu-
satu dalam kelompokan kecil di antara jenis sel lainnya, mulai dari isthmus
sampai ke dasar kelenjar lambung, tetapi paling banyak di daerah leher dan
isthmus. Pada keadaan isitirahat, terdapat banyak gelembung tubulosa, dan
kanalikuli melebar dengan relatif sedikit mikrovili. Sewaktu mensekresi asam,
mikrovili bertambah banyak dan gelembung tubulosa berkurang, yang
menunjukkan adanya pertukaran membran di antara gelembung tubulosa di
dalam sitoplasma dan mikrovili pada permukaan, sekresi asam HCl terjadi pada
permukaan membran yang luas ini. Sel ini juga mensekresikan faktor intrinsik,
suatu glikoprotein yang terikat dengan vitamin B12 dan membantu absorbsi
vitamin ini di usus halus. Vitamin B12 diperlukan untuk pembentukan sel darah
merah. Kekurangan vitamin B12 akibat kurangnya faktor ini dapat menyebabkan
anemia pernisiosa.
 Sel mucus: di leher / isthmus,dgn pewarnaan PAS granula memenuhi SP bagian
apikal, hasilkan mucus. Sel ini terletak di daerah leher kelenjar lambung, dalam
kelompok kecil atau satu-satu. Bentuknya cenderung tidak teratur, seakan-akan
terdesak oleh sel-sel disekitarnya (terutama sel parietal). Sel ini memiliki
mikrovili apikal yang gemuk dan pendek berisi filamen halus yang tampak
kabur. Sel ini menghasilkan mukus asam, berbeda dengan mukus netral yang
dibentuk oleh sel mukus permukaan.
 Sel epitel permukaan (sel-sel mukus)
Epitel selapis silindris melapisi seluruh lambung dan meluas ke dalam sumur-
sumur atau foveola. Epitel selapis silindris ini berawal di cardia, di sebelah epitel
berlapis gepeng oesophagus, dan pada pylorus melanjutkan diri menjadi epitel
usus (epitel selapis silindris). Pada tepian muka yang menghadap lumen,
terdapat mikrovili gemuk dan pendek-pendek. Mukus glikoprotein netral yang
disekresikan oleh sel-sel epitel permukaan membentuk lapisan tipis, melindungi
mukosa terhadap asam. Tanpa adanya mukus ini, mukosa akan mengalami
ulserasi.
 Sel argentaffin/enterochromaffin: di bagian dasar, diantara chief cell, hasilkan
histamine (menstimulasi HCl), sekresi serotonin.
 Sel APUD: sintesa polipeptida, macam: sel D (sekresi somatostasin untuk
hambat HCl), sel G (sekresi gastrin untuk stimulasi HCl)
b. Tunika muskularis mukosa
- Tunika Submukosa
- Tunika Muskularis Externa, terdiri dari lapisan sirkular lebih tebal
- Tunika Serosa

Gaster bagian Pylorus:


a. Tunika mukosa
- Foveola gastric lebih dalam
- Epitel selapis silindris
- Lamina Propria: semua sel mucus pilorus sering berkelok-kelok
- Terdapat nodulus limfatikus
- Tunika muskularis mukosa
b. Tunika Submukosa: kadang terdapatt nodulus limfatikus
c. Tunika muskularis externa: lapisan sirkular amat tebal membentuk sphincter
d. Tunika Serosa

3. Peralihan Gaster-Duodenum
Perubahan histologis dari dinding gaster pylorus ke dinding duodenum. Tunica mucosa epitel
toraks, yang pada bagian duodenum mulai terdapat sel goblet. Pada duodenum mulai
terdapat tonjolan ke permukaan villus intestinal yang gemuk atau lebar dengan sel goblet
dan criptus atau sumur Lieberkuhn. Pada pylorus terdapat kelenjar pylorus.
Ciri khas duodenum adalah adanya kelenjar Brunner atau mucus. Tunica adventitia pada
duodenum, tidak terbungkus peritoneum.

Gambar.6

LI.2 Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Gaster


LO.2.1 Memahami dan Menjelaskan Fungsi Gaster
Lambung memiliki 3 fungsi utama:
a. Menyimpan makanan yang masuk sampai makanan dapat disalurkan ke usus halus dengan
kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan penyerapan yang optimal.
b. Lambung mengeluarkan asam hidroklorida (HCl) dan enzim yang memulai pencernaan
protein
c. Melalui gerakan mencampur lambung, makanan yang tertelan dihaluskan dan dicampur
dengan sekresi lambung untuk menghasilkan campuran cairan kental yang dikenal sebagai
kimus. Isi lambung harus diubah menjadi kimus sebelum dapat dialirkan ke duodenum

Fungsi lambung berdasarkan lokasi:


a. Sekelompok sel pemacu yang terletak di region fundus bagian atas lambung menghasilkan
potensial gelombang lambat yang menyapu ke bawah sepanjang lambung menuju sphincter
pylorus dengan frekuensi 3x/menit. Pola ritmik depolarisasi spontan ini-irama listrik dasar
atau BER lambung-terjadi terus-menerus dan mungkin disertai oleh kontraksi lapisan otot
polos sirkular. Lapisan otot polos ini dapat mencapai ambang oleh aliran arus dan
mengalami potensial aksi, bergantung pada tingkat eksitabilitas lapisan tersebut, yang pada
gilirannya memulai gelombang peristaltic yang menyapu ke seluruh lambung seiring BER
dengan frekuensi 3x permenit. Sekali dimulai, gelombang peristaltic menyebar melalui
fundus dan korpus ke antrum dan sfingter pylorus. Karena lapisan otot di fundus dan korpus
tipis maka kontraksi di bagian ini lemah. Ketika mencapai antrum, gelombang kontraksi
menjadi jauh lebih kuat karena otot di sini lebih tebal.
b. Makanan yang disalurkan ke lambung dari esophagus disimpan di bagian corpus lambung
yang relative lebih tenang tanpa terjadi pencampuran.
c. Daerah fundus biasanya tidak menyimpan makanan tetapi hanya mengandung kantung gas.
d. Kontraksi peristaltic antrum yang kuat mencampur makanan dengan sekresi lambung untuk
menghasilkan kimus. Setiap gelombang peristaltik antrum mendorong kimus maju menuju
sfingter pylorus. Kontraksi tonik sfingter pylorus normalnya menyebabkan sfingter ini nyaris
tertutup. Lubang yang terbentuk cukup besar untuk dilalui oleh air dan cairan lain tetapi
terlalu kecil untuk kimus kental kecuali jika kimus didorong oleh kontraksi peristaltic antrum
yang kuat. Bahkan demikian pun dari 30ml kimus yang ditampung oleh antrum, biasanya
hanya beberapa ml isi antrum yang terdorong ke duodenum pada setiap gelombang
peristaltik. Sebelum banyak kimus yang terperas keluar, gelombang peristaltic mencapai
sfingter pylorus dan menyebabkan sfingter ini berkontraksi lebih kuat, menutup pintu keluar
dan mencegah mengalirnya kimus lebih lanjut ke duodenum. Massa kimus antrum yang
sedang terdorong maju tetapi tidak dapat masuk ke duodenum tertahan mendadak di
sfingter yang tertutup dan memantul balik ke dalam antrum, hanya untuk didorong kembali
ke sfingter dan memantul balik oleh gelombang peristaltic yang baru. Gerakan maju mundur
ini mencampur kimus secara merata di antrum.

LO.2.2 Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Pencernaan


Mulut
Lubang masuk makanan (mulut) dibentuk oleh bibir yang mengandung otot dan membantu
mengambil, menuntun, dan menampung makanan di mulut. Langit-langit (palatum) yang
membentuk atap lengkung rongga mulut, memisahkan mulut dari saluran hidung. Keberadaan
struktur ini juga memungkinkan bernapas dan mengunyah atau menghisap berlangsung secara
bersamaan. Terdapat uvula yang berperan penting dalam menutup saluran hidung sewaktu
menelan. Lidah yang membentuk dasar rongga mulut, terdiri dari otot rangka yang dikontrol secara
volunteer. Gerakan lidah penting dalam menuntun makanan di dalam mulut sewaktu mengunyah
dan menelan serta berperan dalam berbicara. Selain ini terdapat taste buds di lidah. Faring berfungsi
sebagai saluran bersama untuk system pencernaan (penghubung antara mulut dan esophagus,
untuk makanan) dan system pernapasan (dengan membantu memberi akses antara saluran hidung
dan trakea, untuk udara).

Langkah pertama proses pencernaan adalah mastikasi atau mengunyah, motilitas mulut yang
melibatkan pengirisan, perobekan, penggilingan dan pencampuran makanan oleh gigi.
Fungsi mengunyah adalah :
a. Menggiling dan memecahkan makanan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil
sehingga makanan mudah ditelan untuk meningkatkan luas permukaan makanan yang
akan terkena enzim
b. Mencampur makanan dengan liur
c. Merangsang taste buds (selain menghasilkan rasa nikmat kecap yang subyektif tetapi
juga secara reflex meningkatkan sekresi liur, lambung, pancreas dan empedu untuk
persiapan bagi kedatangan makanan).

Tindakan mengunyah dapat volunteer, tetapi sebagian besar mengunyah selama makan adalah
reflex ritmik yang dihasilkan oleh pengaktifan otot rangka rahang, bibir, pipi, dan lidah sebagai
respons terhadap tekanan makanan pada jaringan mulut.
Tidak terjadi penyerapan makanan di mulut. Tetapi, sebagian obat dapat diserap oleh mukosa oral,
contoh : nitrogliserin-obat vasodilator yang kadang digunakan oleh pasien jantung untuk
menghilangkan serangan angina.

Faring dan esophagus


Motilitas yang berkaitan dengan faring dan esophagus adalah menelan. Menelan adalah keseluruhan
proses memindahkan makanan dari mulut melalui esophagus hingga ke lambung.
Menelan adalah reflex tuntas atau gagal terprogram secara berurutan. Menelan dimulai ketika suatu
bolus (gumpalan makanan yang tekag dikunyah atau encer) secara sengaja didorong oleh lidah ke
belakang mulut menuju faring, yang mengirim impuls aferen ke pusat menelan yang terletak di
medulla batang otak. Pusat menelan kemudian secara reflex mengaktifkan dalam urutan yang sesuai
otot-otot yang terlibat dalam proses menelan. Menelan dimulai secara volunteer, tetapi sekali
dimulai makan gerakan ini tidak bisa dihentikan.
Menelan dibagi menjadi 2 tahap, yaitu:
a. Tahap orofaring: berlangsung sekitar 1 detik dan terdiri dari pemindahan bolus dari mulut
melalui faring untuk menuju esophagus. Ketika masuk ke faring, bolus makanan harus
diarahkan ke dalam esophagus dan dicegah untuk masuk ke lubang-lubang lain yang
berhubungan dengan faring. Makanan harus dijaga agar tidak masuk kembali ke mulut,
masuk ke saluran hidung atau masuk ke trakea. Semua ini diatur oleh aktivitas-aktvitas
terkoordinasi berikut:
 Posisi lidah yang menekan langit-langit keras menjaga agar makanan tidak masuk
kebali ke mulut sewaktu menelan
 Uvula terangkat dan menekan bagian belakang tenggorokan, menutup saluran
hidung dari faring sehingga makanan tidak masuk ke hidung.
 Makan dicegah masuk ke trakea, terutama oleh elevasi laring dan penutupan erat
pita suara di pintu masuk laring atau glottis. Kontraksi otot laring mendekatkan
kedua pita suara satu sama lain sehingga pintu masuk glottis tertutup. Bolus juga
mendorong suatu lipatan kecil jaringan tulang rawan, epiglottis ke belakang
menutuo glottis sebagai proteksi tambahan agar makanan tidak masuk ke saluran
napas.
 Pusat menelan secara singkat menghambat pusat pernapasan di dekatnya
 Dengan laring dan trake tertutup, otot-otot faring berkontraksi untuk mendorong
bolus ke dalam esophagus.
Gambar.7
Sumber: elvin-pasunda.blogspot.com

b. Tahap esophagus: pusat menelan memicu gelombang peristaltic primer yang menyapu dari
pangkal ke ujung esophagus, mendorong bolus di depannya menelusuri esophagus untuk
masuk ke lambung. Peristaltic adalah kontraksi otot polos sirkular yang bergerak progresif
maju, mendorong bolus kebagian di depannya yang masih melemas. Gelombang peristatik
butuh waktu sekitar 5-9detik untuk mencapai ujung bawah esophagus. Perambatan
gelombang dikontol oleh pusat menelan, dengan persarafan melalui saraf vagus. Jika bolus
yang tertelan besar atau lengket, maka bolus akan meregangkan esophagus, merangsang
reseptor tekanan di dindingnya. Akibatnya terjadi pengaktifan gelombang peristaltic kedua
yang lebih kuat yang diperantarai oleh plexus saraf intrinsic di tempat peregangan.
Gelombang peristaltic kedua ini tidak melibatkan pusat menelan. Peregangan esophagus
juga secara reflex meningkatkan sekresi liur.

Gambar.8
Sumber: geneticworlds.blogspot.com

Lambung
Empat aspek motilitas lambung adalah pengisian, penyimpanan, pencampuran dan pengosongan.
a. Pengisian lambung
Ketika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50ml, tetapi volume lambung dapat
bertambah hingga sekitar 1L saat makan. Lambung dapat menampung peningkatan volume
20kali lipat tersebut dengan tidak banyak mengalami perubahan tegangan di dindingnya dan
peningkatan tekanan intralambung. Bagian interior lambung membentuk liapatan-lipatan
dalam. Sewaktu makan, lipatan menjadi lebih kecil dan nyaris menatar sewaktu lambung
sedikit melemas setiap kali makanan masuk, seperti ekspansi bertahap kantung es yang
sedang diisi. Relaksasi lambung sewaktu menerima makanan ini disebut relaksasi reseptif,
relaksasi ini meningkatkan kemampuan lambung menampung tambahan volume makanan
dengan hanya menyebabkan sedikit peningkatan tekanan lambung. Namun, jika makanan
yang dikonsumsi lebih dari 1L maka lambung mengalami peregangan berlebihan dan
tekanan intralambung mengalami sehingga yang bersangkutan merasa tidak nyaman.
Relaksasi reseptif dipicu oleh tindakan makan dan diperantarai oleh saraf vagus.
b. Makanan disimpan di korpus lambung
c. Pencampuran makanan berlangsung di antrum
d. Pengosongan lambung

Kontraksi peristaltic antrum adalah gaya pendorong untuk mengosongkan isi lambung. Jumlah kimus
yang lolos ke duodenum pada setiap gelombang kontraksi sebelum sfingter pylorus menutup erat
terutama bergantung pada kekuatan peristaltic. Intensitas peristaltic antrum dapat sangat bervariasi
di bawah pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; karena itu, pengosongan lambung
diatur baik oleh factor lambung dan duodenum. Factor-faktor ini mempengaruhi eksitabilitas
lambung dan sedikit mendepolarisasi atau menghiperpolarisasi otot polos lambung. Semakin besar
eksitabilitas, semakin sering BER menghasilkan potensial aksi, semakin besar tingkat aktivitas
peristaltic di antrum dan semakin cepat laju pengosongan lambung.

Gambar.9

LO.2.3 Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Pengosongan Lambung


Faktor di lambung yang mempengaruhi laju pengosongan lambung
Faktor utama di lambung yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah kimus di lambung.
Jika hak-hal lain setara maka lambung mengosongkan isinya dengan kecepatan yang sebanding
dengan volume kimus di dalamnya setiap saat. Peregangan lambung memicu peningkatan motilitas
lambung melalui efek peregangan pada otot polos serta melalui keterlibatan pleksus intrinsic, saraf
vagus, dan hormone lambung gastrin.
Selain itu, derajat fluiditas kimus di lambung mempengaruhi pengosongan lambung. Isi lambung
harus diubah menjadi bentuk cair kental merata sebelum disalurkan ke duodenum. Semakin cepat
tingkat keenceran yang sesuai tercapai, semakin cepat isi lambung siap dievakuasi.

Faktor di duodenum yang mempengaruhi laju pengosongan lambung


Faktor duodenum snagat berpengaruh dalam pengosongan lambung. Duodenum harus siap
menerima kimus dan dapat menunda pengosongan lambung, dengan mengurangi aktivitas
peristaltic di lambung sampai duodenum diap menampung lebih banyak kimus. Bahkan jika lambung
teregang dan isinya berada dalam bentuk cair, lambung tidak dapat mengosongkan isinya sampai
duodenum siap mengolah kimus.

Empat factor duodenum terpenting yang mempengaruhi pengosongan lambung adalah lemak,
asam, hipertonisitas dan peregangan.
1. Lemak
Lemak dicerna dan diserap lebih lambat dari pada nutrient lain. Pencernaan dan penyerapan
lemak berlangsung hanya di dalam lumen usus halus. Ketika lemak sudah ada di duodenum,
pengosongan lambung lebih lanjut ke dalam duodenum terhenti sampai usus halus selesai
memproses lemak yang ada di dalamnya.

2. Asam
Karena lambung mengeluarkan HCl, maka kimus yang masuk ke duodenum sangat asam.
Kimus ini dinetralkan oleh NaHCO3 yang disekresikan ke dalam lumen duodenum terutama
dari pancreas. Asam yang belum ternetralkan akan mengiritasi mukosa duodenum dan
menginaktifkan enzim-enzim pencernaan pancreas yang disekresikan ke dalam lumen
duodenum. Karena itu, masuk akal jika asam yang belum ternetralkan di duodenum akan
menghambat pengosongan lebih lanjut isi lambung yang asam sampai netralisasi selesai.

3. Hipertonisitas
Sewaktu molekul-molekul protein dan tepung dicerna di lumen duodenum terjadi
pembebasan seumlah besar molekul asam amino dan glukosa. Jika penyerapan molekul
asam amino dan glukosa tidak mengimbangi kecepatan pencernaan protein dan karbohidrat
maka sejumlah besar molekul akan tetap berada di kimus dan meningkatkan osmolaritas isi
duodenum. Osmolaritas bergantung pada jumlah molekul yang ada, bukan ukurannya dan 1
molekul protein dapat diuraikan menjadi beberapa ratus molekul asam amino, yang masing-
masing memiliki aktivitas osmotic setara dengan molekul protein semula. Hal yang sama
berlaku juga pada zat tepung. Karena dapat berdifusi bebas menembus dinding duodenum
maka air masuk ke lumen duodenum dari plasma jika osmolaritas duodenum meningkat. Air
dalam jumlah besar yang masuk ke usus dari plasma akan menyebabkan peregangan usus
dan yang lebih penting, gangguan dirkulasi karena berkurangnya volume plasma. Untuk
mencegah efek-efek ini, pengosongan lambung secara reflex dihambat jika osmolaritas isi
duodenum mulai meningkat. Karena itu, jumlah makanan yang masuk ke duodenum untuk
dicerna lebih lanjut menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan aktif osmotis berkurang
sampai proses penyerapan memiliki kesempatan untuk menyusul.

4. Peregangan
Kimus yang terlalu banyak di duodenum akan menghambat pengosongan isi lambung lebih
lanjut agar duodenum memiliki waktu untuk memproses kelebihan volume kimus yang
sedang ditampungnya sebelum duodenum menerima kimus tambahan.
Adanya satu atau lebih rangsangan ini di duodenum akan mengaktifkan reseptor duodenum yang
sesuai, memicu respons saraf atau hormone yang mengerem motilitas lambung dengan mengurangi
eksitabilitas otot polos lambung. Penururan aktivitas antrum kemudian memperlambat laju
pengosongan lambung,
 Respons saraf diperantarai melalui pleksus saraf intrinsic (reflex pendek) dan saraf otonom
(reflex panjang). Secara kolektif, reflex-refleks ini disebut dengan reflex enterogastrik.
 Respons hormone melibatkan pelepasan beberapa hormone yang secara kolektif dikenal
sebagai enterogastron dari mukosa duodenum. Darah membawa hormone-hormon ini ke
lambung, tempat mereka menghambat kontraksi antrum untuk mengurangi pengosongan
lambung. Dua enterogastron terpenting adalah sekretin dan kolesistokinin (CCK).

Faktor di luar sistem lambung yang mempengaruhi laju pengosongan lambung


a. Emosi
Dapat mengubah motilitas dan pengosongan lambung dengan bekerja melalui saraf otonom
untuk mempengaruhi derajat eksitabilitas otot polos lambung. Kesedihan dan rasa takut
umumnya cenderung mengurangi, sementara kemarahan dan agresi cenderung
meningkatkannya.

b. Nyeri hebat
Nyeri hebat dari bagian tubuh manapun cenderung menghambat motilitas dan
pengosongan, tidak hanya di lambung tetapi di seluruh saluran cerna. Respons ini
ditimbulkan oleh peningkatan aktivitas simpatis.

Gambar.10
Sumber: anfis-mariapoppy.blogspot.com

LO.2.4 Memahami dan Menjelaskan Pembentukan Asam Lambung


Gambar.11
Sumber: www.sivabio.50webs.com

Sel parietal secara aktif mensekresikan HCl ke dalam lumen foveola gastrika, yang selanjutnya
menyalurkan bahan ini ke lumen lambung. Akibat sekresi HCl ini, pH isi lumen hingga serendah 2. Ion
hidrogen dan ion klorida secara aktif dipindahkan oleh pompa berbeda di dalam membrane plasma
sel parietal. Ion hidrogen secara aktif dipompa melawan gradient konsentrasi yang sangat besar,
dengan konsentrasi H+ di lumen mencapai 3juta kali konsentrasinya di darah. Klorida disekresikan
oleh mekanisme transport aktif sekunder melawan gradient konsentrasi yang jauh lebih kecil (hanya
1,5 kali).

H+ yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses metabolic di dalam sel
parietal. Secara spesifik, H+ yang akan disekresikan berasal dari penguraian molekul H2O menjadi H+
dan OH- di dalam sel parietal. H+ ini disekresikan ke dalam lumen oleh H+-K+ ATPase di membrane
luminal sel parietal. Pembawa transport aktif primer ini juga memompa K+ ke dalam sel dari lumen,
serupa dengan pompa Na+-K+ ATPase. K+ yang dipindahkan tersebut kemudian secara pasif mengalir
kembali ke dalam lumen melalui saluran K+ sehingga kadar K+ tidak berubah oleh proses sekresi H+
ini.

Sementara itu, OH- yang dihasilkan oleh penguraian H2O dinetralkan dengan berikatan dengan H+
baru yang dihasilkan dari asam karbonat (H2CO3). Sel parietalmengandung banyak enzim karbonat
anhidrase(Ca). dengan keberadaan enzim ini, H2O cepat berikatan dengan CO2 yang diproduksi oeh
sel parietal dari proses metabolic atau berdifusi masuk dari darah. Kombinasi H2 O dan CO2
menyebabkan terbentuknya H2CO3 yang mengalamin penguraian parsial untuk menghasilkan H+ dan
HCO3-, H+ yang dihasilkan pada hakikatnya menggantikan H+ yang disekresikan.
HCO3- yang terbentuk dipindahkan ke dalam plasma oleh penukar Cl- HCO3- di membrane basolateral
sel parietal. Penukar ini memindahkan Cl- ke dalam sel parietal melalui transport aktif sekunder.
Terdorong oleh gradient HCO3-, pembawa ini memindahkan HCO3- keluar sel munuju plasma
menuruni gradient konsentrasinya dan secara bersamaan memindahkan Cl- dari plasma ke dalam sel
parietal melawan gradient elektrokimiawinya. Penukar ini meningkatkan konsentrasi Cl- di dalam sel
parietal, meningkatkan konsentrasi antara sel parietal dan lumen lambung. Berkat gradient
konsentrasi ini dank arena interior sel lebih negative dibandingkan dengan isi lumen makan Cl- yang
bermuatan negative yang dipompa masuk ke sel oleh penukar di membrane basolateral berdifusi
keluar sel menuruni gradient elektrokimiawinya melalui saluran di membrane luminal menuju lumen
lambung, menyelesaikan proses sekresi Cl-.
H2O +CO2 dibantu oleh Carbonat Anhidrase menjadi H2CO3-

H masuk ke lumen lambung melalui H+K+ATPase
+


HCO3- bertukar dengan Cl- di plasma

H+ berikatan dengan Cl-

Menjadi HCl

LO.2.5 Memahami dan Menjelaskan Sekresi Lambung


Setiap hari lambung mensekresikan sekitar 2L getah lambung. Sel-sel yang mengeluarkan getah
lambung berada di lapisan dalam lambung, mukosa lambung, yang dibagi menjadi 2 daerah berbeda
: mukosa oksintik (yang melapisi korpus dan fundus) dan daerah kelenjar pylorus (pyloric gland area
/ PGA) (yang melapisi antrum). Permukaan luminal lambung berisi lubang-lubang kecil (foveola)
dengan kantung dalam yang terbentuk oleh pelipatan masuk mukosa lambung. Bagian pertama dari
invaginasi ini disebut dengan foveola gastrika, yang didasarnya terletak kelenjar lambung. Di dinding
foveola gastrika dan kelenjar mukosa oksintik ditemukan 3 jenis sel sekretorik eksokrin lambung :
a. Sel mucus: melapisi foveola gastrika dan pintu masuk kelenjar. Sel-sel ini mengeluarkan
mucus encer
b. Chief cell: di bagian lebih dalam kelenjar lambung. Jumlahnya lebih banyak menghasilkan
precursor enzim pepsinogen.
c. Sel parietal atau oksintik: mengeluarkan HCl dan factor intriksik

Sekresi eksokrin ini semuanya dibebaskan ke dalam lumen lambung. Secara kolektif, berbagai sekresi
ini membentuk getah lambung. Di antara foveola gastika, mukosa lambung dilapisi oleh sel epitel
permukaan yang mengeluarkan mucus kental tebal basa yang membentuk lapisan setebal beberapa
millimeter di atas permukaan mukosa.

Gambar.12
Sumber: dc203.4shared.com
Kontrol sekresi lambung melibatkan 3 fase, yaitu:
1. Fase sefalik
Merujuk kepada peningkatan sekresi HCl dan pepsinogen yang terjadi melalui mekanisme
umpan sebagai respons terhadap rangsangan yang bekerja di kepala bahkan sebelum
makanan mencapai lambung. Memikirkan, mencicipi, mencium, mengunyah dan menelan
makanan meningkatkan sekresi lambung oleh aktifitas vagus melalui 2 cara:
a. Stimulasi vagus terhadap pleksus intrinsic mendorong peningkatan sekresi Ach, yang
pada gilirannya menyebabkan peningkatan sekresi HCl dan pepsinogen oleh sel
sekretorik
b. Stimulasi vagus pada sel G di dalam PGA menyebabkan pembebasan gastrin, yang
pada gilirannya semakin meningkatkkan sekresi HCl dan pepsinogen, dengan efek
HCl mengalami potensial (diperkuat) oleh pelepasan histamine yang dipicu gastrin.

Gambar.13
Sumber: http://courses.washington.edu/conj/bess/acid/cephalic3.png

2. Fase lambung
Berawal ketika makanan benar-benar mencapai lambung. Rangsangan yang bekerja di
lambung yaitu protein, khususnya potongan peptide: peregangan, kafein, dan alcohol
meningkatkan sekresi lambung melalui jalur-jalur eferen yang tumpang tindih. Contoh:
protein di lambung, perangsang paling kuat, merangsang kemoreseptor yang mengaktifkan
pleksus saraf intrinsic, yang selanjutnya merangsang sel sekretorik. Selain itu, protein
menyebabkan pengaktifan serat vagus eksentrik ke lambung. Aktivitas vagus semakin
meningkatkan stimulasi saraf intrinsic pada sel sekretorik dan memicu pelepasan gastrin.
Protein juga secara langsung merangsang pengeluaran gastrin. Gastrin pada gilirannya
adalah perangsang kuat bagi sekresi HCl dan pepsinogen lebih lanjut serta menyebabkan
pengeluaran histamine yang semakin meningkatkan sekresi HCl. Melalui jalur-jalur yang
sinergistik dan tumpang tindih ini, protein menginduksi sekresi getah lambung yang sangat
asam dan kaya pepsin, melanjutkan pencernaan protein yang menjadi pemicu proses ini.
Gambar.14
Sumber: http://courses.washington.edu/conj/bess/acid/gastric3.png
3. Fase usus
Fase ini terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus yang
kemudian memicu faktor saraf dan hormon.Dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke
duodenum. Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein
yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan gastrin usus,
suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-menerus menyekresikan sejumlah kecil
cairan lambung. Meskipun demikian, peranan usus kecil sebagai penghambat sekresi
lambung jauh lebih besar. Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik,
diperantarai oleh pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi
dan pengosongan lambung. Adanya asam (pH <2,5), lemak, dan hasil-hasil pemecahan
protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin, kolesistokinin, dan peptide
penghambat gastrik (gastric inhibiting peptide,GIP), semuanya memiliki efek inhibisi
terhadap sekresi lambung.

Gambar.15
Sumber: http://courses.washington.edu/conj/bess/acid/intestinalphase3.png
LI.3 Memahami dan Menjelaskan Proses Biokimia
LO.3.1 Memahami dan Menjelaskan Mekanisme Enzimatik

Pencernaan Karbohidrat
A. Pencernaan karbohidrat makanan dalam mulut
1. Dalam mulut, α-amilse saliva memotong pati dengan memecahkan ikatan α-1,4
antara residu glukosa di dalam rantai.
2. Dekstrin (oligosakarida lurus dan bercabang) adalah produk utama yang masuk ke
lambung.
B. Pencernaan karbohidrat dalam usus halus
1. Isi lambung melintas ke usus halus, dimana bikarbonat (HCO3-) disekresi oleh
pankreas menteralkan asam lambung, meningkatkan pH ke dalam rentang optimal
untuk kerja dari enzim-enzim usus halus.
2. Pencernaan oleh enzim-enzim pankreas:
o Pankreas mensekresi α-amilase yang bekerja dalam lumen usus halus dan
seperti amilase saliva, memotong ikatan α-1,4 antara residu glukosa
o Produk dari α-amilase pankreas adalah disakarida maltosa dan isomaltosa,
trisakarida dan oligosakarida kecil yang mengandung ikatan α-1,4 dan α-1,6.
3. Pencernaan oleh enzim-enzim dari sel usus halus
o Kompleks enzim, diproduksi oleh sel epitel usus halus dan terletak dalam
batas sikat, melanjutkan pencernaan karbohidrat.
o Glukoamilase dan maltase lain memotong residu glukosa dari ujung, bukan
pereduksi dari oligosakarida dan juga memotong ikatan α-1,4 dari maltosa,
melepaskan dua residu glukosa.
o Isomaltosa memotong ikatan α-1,6 dan melepaskan residu glukosa dari
oligosakarida bercabang.
o Sukrase mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa.
o Laktasi (β-galaktosidase mengubah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa.
C. Karbohidrat yang tidak dapat dicerna
1. Polisakarida yang tidak dapat dicerna adalah bagian dari serat dalam diet yang lewat
melalui usus halus ke dalam feses.
2. Contoh, karena enzim yang dihasilkan oleh sel manusia tidak dapat memotong
ikatan β-1,4 dari selulosa, polisakarida ini tidak dapat dicerna.
D. Absorbsi glukosa, fruktosa, dan galaktosa
1. Glukosa, fruktosa, dana galaktosa (produk akhir yang dihasilkan oleh pencernaan
dari karbohidrat makanan) dapat diabsorbsi oleh sel usus halus dengan dua bentuk
transpor: transpor terfasilitasi dan transpor aktif.
2. Menggunakan transpor terfasilitasi, monosakarida terikat pada protein pengangkut
dan diangkut ke dalam sel bergerak mengikuti gradien konsentrasi.
3. Glukosa juga bergerak ke dalam sel oleh transpor aktif sekunder, dimana ion
natrium dibawa bersama glukosa. Suatu Na+-K+ ATPase memompa Na+ ke darah dan
Na+ bergerak mengikuti gradien konsentrasi dari darah ke dalam sel, membawa
glukosa dengannya.
Gambar.16
Pencernaan triasilgliserol makanan
A. Triasilgliserol makanan dicerna dalam usus halus oleh proses yang memerlukan garam
empedu dan sekresi dari pankreas. Secara normal, 95% lemak diabsorbsi. Sebagian besar
pencernaan lemak terjadi dalam lumen duodenum dan jejenum.
1. Garam empedu disintesis dari kolestrol dan disekresi ke dalam empedu. Emoedu
disimpan dalam kantung empedu dan dilepaskan dalam respons terhadap hormon.
Empedu kemudian lewat ke dalam usus halus, dimana ia mengemulsi lemak
makanan.
2. Pankreas mensekresi enzim-enzim pencernaan dan bikarbonat, yang menetralkan
asam lambung, menaikkan pH ke rentang optimal untuk enzim-enzim pencernaan.
3. Lipase pankreas, dengan bantuan kolipase mencerna triasilgliserol menjadi 2-
monoasilgliserol dan asam lemak bebas, yang dikemas ke dalam micel (micelles).
Misel, yang merupakan tetes-tetes mikro kecil diemulsi oleh garam empedu, juga
mengandung lemak makanan lain seperti kolestrol dan vitamin yang larut dalam
lemak.
4. Misel berjalan ke mikrovili dari sel epitel usus halus yang mengabsorbsi asam lemak,
2-monoasilgliserol dan lemak makanan lain.
5. Garam empedu diabsorbsi lagi dalam ileum terminal, didaur ulang oleh hati dan
disekresi ke dalam usus selama siklus pencernaan selanjutnya.
B. Sintesis kilomikron
1. Dalam sel epitel usus halus, asam lemak dari misel diaktifkan oleh asil lemak
koenzim A (KoA) sintetasi membentuk asil lemak KoA.
2. Satu asil lemak KoA bereaksi dengan satu 2-monoasilgliserol membentuk satu
diasilgliserol. Kemudian asil lemak KoA yang lain bereaksi dengan diasilgliserol
membentuk satu triasilgliseol.
3. Triasolgliserol lewat melalui limfe dikemas dalam kilomikron awal, yang akhirnya
masuk ke darah.

Pencernaan protein
1. 70 sampai 100 g protein yang dikonsumsi setiap hari sebanding atau lebih besa dari protein
yang masuk saluran cerna sebagai enzim pencernaan atau pada sel-sel yang terkelupas dari
epitel usus halus diubah menjadi asam amino oleh enzim pencernaan.
2. Dalam lambung, pepsin adalah enzim proteolitik utama. Yang memecah protein menjadi
polipeptida yang lebih kecil.
o Pepsin dihasilkan dan disekresi oleh sel chief dari lambung sebagai zimogen inaktif
pepsinogen.
o Asam hidroklorida (HCl) diproduksi oleh sel parietal lambung menyebabkan
perubahan konfromasi oada pepsinogen yang memungkinkan ia untuk memecahnya
sendiri (autokatalisis), membentuk pepsin aktif.
o Pepsin mempunyai spesifitas luas tetapi cenderung untuk memotong ikatan peptida
dimana gugus karboksi dikontribusi oleh asam amino yang bersifat asam, asam
amino aromatik atau leusin.
3. Dalam usus halus, bahan yang sebagian dicerna dari lambung bertemu dengan sekresi
pankreas, termasuk bikarbonat dan sekelompok enzim proteolitik.
o Bikarbonat menetralkan asam lambung, meningkatkan pH yang terkandung dalam
lumen usus halus dalam rentang optimal untuk kerja enzim pencernaan.
o Endopeptidase dari pankreas memotong ikatan peptida di dalam rantai protein.
a. Tripsin memotong ikatan peptida dimana gugus karboksil dikontribusi oleh
arginin atau lisisn.
b. Kimotripisin biasanya memotong ikatan peptida pada gugus karboksil dari
asam amino aromatik atau leusin. Kimotripsinogen, zimogen inaktif,
dipotong membentuk kimotripsin aktif oleh tripsin.
c. Elastase memotong pada ujung karboksi dari residu asam amino dengan
rantai samping kecil, tidak bermuatan seperti alanin, glisin, atau sering,
proelastase, zimogen inaktif, dipotong menjadi elastase aktif oleh tripsin.
o Eksopeptidase dalam pankreas memotong satu asam amino secara progresif dari
ujung terminal-C dari peptida.
o Protease yang dihasilkan oleh sel epitel usus halus melengkapi perubahan dari
protein amaknan ke peptida yang akhirnya menjadi asam amino.
a. Aminopeptidase adalah eksopeptidase yang dihasilkan oleh sel usus halus,
memotong satu asam amino setiap kali dari terminal N dari peptida.
b. Dipeptidase dan tripeptidase terkait dengan sel usus halus menghasilkan
asam amino dari dipeptida dan tripeptida.

LI.4 Memahami dan Menjelaskan Dyspepsia


LI.4 Memahami dan Menjelaskan Dyspepsia
LO.4.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut
bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik
berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk
dispepsia.
Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya.
Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya
tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila tidak
jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran
pencernaan).
Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada, yang
sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut.
Setiap orang dari berbagai usia dapat terkena dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari
empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa waktu (Bazaldua, et al, 1999).

LO.4.2 Memahami dan Menjelaskan Etiologi


1. Infeksi Helicobacter Pylori
Sekitar 90% dari tukak duodenum dan 75 % dari tukak lambung berhubungan dengan infeksi
Helicobacter pylori. Helicobacter Pylori adalah bakteri gram negatif, hidup dalam suasana
asam pada lambung/duodenum, ukuran panjang sekitar 3µm dan diameter 0,5µm, punya ≥
1 flagel pada salah satu ujungnya, terdapat hanya pada lapisan mukus permukaan epitel
antrum lambung, karena pada epithelium lambung terdapat reseptor adherens in vivo yang
dikenali oleh H.Pylori, dan dapat menembus sel epitel/antar epitel.
Tiga mekanisme terjadinya tukak peptik adalah pertama dengan memproduksi toksik yang
menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Protease dan fospolipase menekan sekresi mukus
sehingga daya tahan mukosa menurun menyebabkan asam lambung berdifusi balik. Hal ini
menyebabkan nekrosis jaringan dan akhirnya berkomplikasi menjadi tukak peptik. Kedua
mekanisme terjadi tukak peptik dengan menginduksi respon imun lokal pada mukos
sehingga terjadi kegagalan respon inflamasi dan reaksi imun untuk mengeliminasi bakteri ini
melalui mobilisasi melalui mediator inflamasi & sel-sel limfosit/PMN. Seterusnya,
peningkatkan level gastrin menyebabkan meningkatnya sekresi asam lambung yang masuk
ke duodenum lalu menjadi tukak duodenum.

2. Sekresi asam lambung


Normal produksi asam lambung kira-kira 20 mEq/jam. Pada penderita tukak, produksi asam
lambung dapat mencapai 40 mEq/jam.

3. Pertahanan Mukosal Lambung


NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat-zat lain dapat menimbulkan kerusakan pada
mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan kerusakan jaringan,
khususnya pada pembuluh darah.
Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam
arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan
produksi prostaglandin pada penggunaan NSAIDs melalui 4 tahap yaitu; pertama,
penurunkan sekresi mukus dan bikarbonat yang dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan
duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan duodenum menurun. Kedua,
penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa.
Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa. Hal demikian terjadi akibat hambatan COX-1
akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi nekrosis sel
epitel. Tahap keempat berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet
dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan
leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimulai dengan
pelepasan protease, radikal bebas oksigen berakibat kerusakan epitel dan
endotelmenyebabkan statis aliran mikrovaskular sehingga terjadinya iskemia dan akhirnya
terjadi tukak peptik.

LO.4.3 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi


Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia fungsional.Dispepsia
fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan epigastric pain
syndrome. Postprandial distresssyndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah
makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri
yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial
distress syndrome.

Sindroma dispepsia ini biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan, yang sifatnya hilang
timbul atau terus-menerus. Karena banyaknya penyebab yang menimbulkan kumpulan gejala
tersebut, maka sindroma dispepsia dapat diklasifikasian menjadi (1) dispepsia organik dan (2)
dispepsia non-organik atau dispepsia fungsional.
1. Dispepsia organik
Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia
lebih dari 40 tahun. Istilah dispepsia organik baru dapat digunakan bila penyebabnya sudah
jelas, antara lain:
- Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia). Keluhan penderita yang sering diajukan
adalah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada
hubungannya dengan makanan, pada tengah malam sering terbangun karena nyeri
atau pedih di ulu hati. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat
menentukan adanya tukak lambung atau di duodenum.
- Dispepsia bukan tukak. Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak.
Biasa ditemukan pada gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak
ditemukan tanda-tanda tukak.
- Refluks gastroesofageal. Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa
panas di dada dan regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang
mempunyai keluhan tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya,
maka dapat disebut sindroma dispepsia refluks gastroesofageal.
- Penyakit saluran empedu. Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit
saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang
menjalar ke punggung dan bahu kanan.
- Karsinoma. Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma
dispepsia. Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan
bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.
- Pankreatitis. Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut
dirasa makin tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma
dispepsi juga ada.
- Dispepsia pada sindroma malabsorbsi. Pada penderita ini—di samping mempunyai
keluhan rasa nyeri perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama
lainnya yang mencolok ialah timbulnya diare profus yang berlendir.
- Dispepsia akibat obat-obatan. Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa
sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah,
misalnya obat golongan NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin,
digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh
karena itu, perlu ditanyakan obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan
dispepsia.
- Gangguan metabolisme. Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul
komplikasi pengosongan lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea,
vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa
nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya
hipomoltilitas lambung. Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa nyeri di perut,
nausea, vomitus, dan anoreksia.

Esofago-gastro-duodenal Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID,


keganasan
Obat-obatan Antiinflamasi non-steroid, teofilin, digitalis,
antibiotik
Hepatobilier Hepatitis, kolesistitis, kolelitiasis, keganasan,
disfungsi sphincter Odii
Pancreas Pankreatitis, keganasan
Penyakit sistemik lain Diabetes melitus, penyakit tiroid, gagal ginjal,
kehamilan, penyakit jantung koroner atau
iskemik
Tabel 1. Etiologi Dispepsia Organik

2. Dispepsia non-organik/fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik merupakan dispepsia yang tidak ada
kelainan organik, tetapi merupakan kelainan dari fungsi saluran makanan. Yang termasuk
dispepsia fungsional adalah:
- Dispepsia dismotilitas (dismotility-like dyspepsia)
Pada dispepsia dismotilitas, umumnya terjadi gangguan motilitas, di antaranya:
waktu pengosongan lambung lambat, abnormalitas kontraktil, abnormalitas
mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia fungsional
biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yang meningkat.
Kelainan psikis, stres, dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan dispepsia fungsional.
Hal ini dapat dijelaskan kembali pada faal saluran cerna pada proses pencernaan yang
mendapat mengaruh dari nervus vagus. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal
secara langsung, tetapi memungkinkannya efek dari antral gastrin dan rangsangan lain dari
sel parietal. Dengan melihat, mencium bau, atau membayangkan suatu makanan saja sudah
terbentuk asam lambung yang banyak, yang mengandung HCl dan pepsin.

LO.4.4 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi


Kerusakan pada mukosa gastroduodenum berpunca daripada ketidakseimbangan antara faktor-
faktor yang merusak mukosa dengan faktor yang melindungi mukosa tersebut. Oleh sebab itu,
kerusakan mukosa tidak hanya terjadi apabila terdapat banyak faktor yang merusakkan mukosa
tetapi juga dapat terjadi apabila mekanisme proteksi mukosa gagal. Faktor pertahanan ini antara lain
adalah pembentukan dan sekresi mukus, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa dan difusi kembali
ion hidrogen pada epitel serta regenerasi epitel. Di samping kedua faktor tadi ada faktor yang
merupakan faktor predisposisi (kontribusi) untuk terjadinya tukak peptik antara lain daerah
geografis, jenis kelamin, faktor stress, herediter, merokok, obat-obatan dan infeksi bakteria agresif.

Pada pengguna NSAIDs, contohnya, indomethacin, diclofenac, dan aspirin (terutamanya pada dosis
tinggi), kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase menyebabkan sintesis prostaglandin dari
asam arakidonat turut terhambat. Efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs adalah
penghambatan sistesis prostaglandin secara sistemik terutama pada epitel lambung dan duodenum
sehingga melemahkan proteksi mukosa. Tukak dapat terjadi setelah beberapa hari atau minggu
penggunaan NSAIDs dan efek terhadap hambatan aggregasi trombosit menyebabkan bahaya
perdarahan pada tukak (Silbernagl, 2000).

Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia
fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas
gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
1. Sekresi asam lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya mempunyai tingkat
sekresi asam lambung yang rata-rata normal, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi
pentagastrin. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang
menimbulkan rasa tidak enak di perut.
2. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional belum
sepenuhnya dimengerti dan diterima.
3. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional
terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas antrum. Tapi harus
dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan proses yang sangat
kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak dapat mutlak mewakili hal
tersebut.
4. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor
kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi, tampaknya kasus dispepsia ini
mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap disetensi balon di gaster atau duodenum.
5. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga
berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal lambung waktu menerima makanan,
sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi hal ini
bersifat inkonsisten.
7. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional. Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal.
Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin mempengaruhi
kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.
8. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada
kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
9. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan
keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang
mendahului keluhan mual setelah stimulus stres sentral. Korelasi antara faktor psikologis
stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan
kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun
dilaporkan dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia,
adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia fungsional.

LO.4.5 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis


Keluhan utama yang menjadi kunci untukmendiagnosis dispepsia adalah adanyanyeri dan atau rasa
tidak nyaman padaperut bagian atas. Apabila kelainan organikditemukan, dipikirkan kemungkinan
diagnosisbanding dispepsia organik, sedangkan bilatidak ditemukan kelainan organik apa
pun,dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsiafungsional. Penting diingat bahwa dispepsiafungsional
merupakan diagnosis by exclusion,sehingga idealnya terlebih dahulu harusbenar-benar dipastikan
tidak ada kelainanyang bersifat organik. Dalam salah satusistem penggolongan, dispepsia
fungsionaldiklasifi kasikan ke dalam ulcer-like dyspepsiadan dysmotility-like dyspepsia; apabila
tidakdapat masuk ke dalam 2 subklasifi kasi di atas,didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik.
Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukanbila sulit membedakan antara dispepsiafungsional dan
organik, terutama bila gejalayang timbul tidak khas, dan menjadi indikasimutlak bila pasien berusia
lebih dari 55 tahundan didapatkan tanda-tanda bahaya.

Keluhan yang sering diajukan pada sindroma dispepsia ini adalah:


o Nyeri perut (abdominal discomfort): nyeri terjadi bila kandungan asam lambung dan
duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan. Teori
lain menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang mekanisme refleks local yang
memulai kontraksi otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan makan, karena
makan menetralisasi asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung telah
kosong atau alkali tidak digunakan nyeri kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat
dihilangkan dengan memberikan tekanan lembut pada epigastrium atau sedikit di sebelah
kanan garis tengah. Beberapa gejala menurun dengan memberikan tekanan local pada
epigastrium.
o Rasa pedih di ulu hati
o Mual, kadang-kadang sampai muntah: meskipun jarang pada ulkus duodenal tak
terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus peptikum. Hal ini dihubungkan dengan
pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran mukosa yang
mengalami inflamasi disekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa
didahului oleh mual, biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan
asam lambung.
o Nafsu makan berkurang
o Rasa cepat kenyang
o Perut kembung
o Rasa panas di dada dan perut
o Regurgitasi
o Banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (ruktus)
Gejala-gejala ulkus dapat hilang selama beberapa hari, minggu, atau beberapa bulan dan bahkan
dapat hilang hanya sampai terlihat kembali, sering tanpa penyebab yang dapat diidentifikasi. Banyak
individu mengalami gejala ulkus, dan 20-30% mengalami perforasi atau hemoragi yang tanpa adanya
manifestasi yang mendahului.

LO.4.6 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual bebas di
masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan
tertentu perlu diperhatikan.
Gejala (alarm symptom) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang
menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice kemungkinan
besar adalah merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan /
atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau
esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya: masalah anak
(meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik
ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai), pekerjaan dan
pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, PHK, pindah jabatan, tidak naik pangkat). Hal ini dapat
mengakibatkan eksaserbasi gejala pada beberapa orang.
Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum biasanya
berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna makanan tertentu
atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus
duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah makan
kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien
jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul
segera setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma.
Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum.
Pasien DNU lebih sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau
mempunyai riwayat pemakaian psikotropik

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan dyspepsia biasanya normal, kecuali epigastrik terasa sakit. Adanya
sakit pada epigastrik tidak secara akurat dapat membedakan dyspepsia organic dengan dyspepsia
fungsional. Sakit abdominal pada palpitasi harus dievaluasi dengan tanda Carnett untuk mengetahui
apakah sakitnya dari dinding abdomen atau dari inflamasi dibawah visceral. Adanya peningkatan
rasa sakit karena regangan otot (test Carnett positif) menandakan bahwa terjadi sakit di dinding
abdomen. Tetapi, jika sakitnya menurun (test Carnitt negative), sumber sakit tidak berasal dari
dinding abdomen dan biasanya dari organ intra-abdominal, dengan otot dinding abdomen teregang
melindungi viscera.
Temuan lain pada pemeriksaan fisik adalah: ditemukan massa abdominal (contoh: hepatoma) atau
limfadenopati (kanker gastrik periumbal atau supraclavicula sinistra), jaundice (contoh: metastasis
liver sekunder) atau anemia sekunder. Ascites mengindikasikan adanya karsinomatosis peritoneal.
Pasien dapat mempunyai gejala otot lemah, lemak subkutan hilang dan edema perifer karena berat
badan menurun.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah termasuk tes fungsi liver harus dilakukan untuk
mengidentifikasi pasien dengan kegawatdaruratan (contoh: anemia defisiensi besi) dan penyakit
metabolic yang dapat menyebabkan dyspepsia (contoh: diabetes dan hiperkalsemia).
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, seperti pemeriksaan darah, urine, dan tinja secara rutin.
Dari pemeriksaan darah, bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak, berarti kemungkinan
pasien menderita malabsorbsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa
asam lambungnya.

ROMA II
Dispepsia Fungsional
Berlangsung sekurang-kurangnya selama 12 minggu, dalam 12 bulan ditandai dengan:
 Gejala yang menetap atau berulang (nyeri atau tidak nyaman yang berpusat diabdomen
atas)
 Tidak ada bukti penyakit organik (berdasarkan endoskopi)
 Tidak ada bukti bahwa dyspepsia berkurang setelah defekasi atau perubahan pola
dan bentuk defekasi

a. Dispepsia like-ulcer : Rasa nyeri terutama dirasakan pada abdomen atas


b. Dispepsia like-dysmotility : Rasa tidak nyaman terutama dirasakan pada abdomen atas
berupa rasa penuh, lekas kenyang, sebah dan mual
c. Dispepsia Unspecified (Nonspesific): Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi criteria
like-ulcer atau like-dysmotility

ROMA III
Dispepsia Fungsional
Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya:
Satu atau lebih gejala dibawah ini:
a. Rasa tidak nyaman setelah makan
b. Cepat merasa kenyang
c. Nyeri epigastrium
d. Rasa terbakar didaerah epigastrium
Dan
Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan endoskopi) yang menyebabkan gejala-gejala
tesebut diatas.
*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis

a. Sindroma distress postprandial


Kriteria diagnosis* Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala dibawah ini
1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapakali
seminggu
2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali
seminggu
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan setelah
terdiagnosis

Kritria supportif
1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa yang berlebihan
2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik

b. Sindroma Nyeri Epigastrik


Kriteria diagnosis* Harus termasuk didalamnya :
Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium derajat sedang sekurang-kurangnya
sekaliseminggu
1. Nyeri bersifat intermitten
2. Tidak menyebar ke region abdomen lainnya atau ke region dada
3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus
4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung empedu dan sfinter oddi
* Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala sekurang-kurangnya 6 bulan
setelahterdiagnosis

Kriteria supportif
1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal
2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat puasa
3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial

Diagnosis Banding
1. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat menjadi salah satu diagnosis banding.
Umumnya, penderita penyakit ini sering melaporkan nyeri abdomen bagian atas
epigastrum/ulu hati yang dapat ataupun regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel
syndrome (IBS) yang ditandai dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren, yang
berhubungan dengan buang air besar (defekasi) yang tidak teratur dan perut kembung..
2. Obat-obatan juga dapat menyebabkan sindrom dispepsia, seperti suplemen besi atau
kalium, digitalis, teofilin, antibiotik oral, terutama eritromisin dan ampisilin. Mengurangi
dosis ataupun menghentikan pengobatan dapat mengurangi keluhan dispepsia. Penyakit
psikiatrik juga dapat menjadi penyebab sindrom dispesia. Misalnya pada pasien gengan
keluhan multisistem yang salah satunya adalah gejala di abdomen ternyata menderita
depresi ataupun gangguan somatisasi. Gangguan pola makan juga tidak boleh dilupakan
apalagi pada pasien usia remaja dengan penurunan berat badan yang signifikan.
3. Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat sehingga timbul
keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual, dan muntah. Lebih jauh diabetik
radikulopati pada akar saraf thoraks dapat menyebabkan nyeri abdomen bagian atas.
Gangguan metabolisme, seperti hipotiroid dan hiperkalsemia juga dapat menyebabkan nyeri
abdomen bagian atas.
4. Penyakit jantung iskemik kadang-kadang timbul bersamaan dengan gejala nyeri abdomen
bagian atas yang diinduksi oleh aktivitas fisik. Nyeri dinding abdomen yang dapat disebabkan
oleh otot yang tegang, saraf yang tercepit, ataupun miositis dapat membingungkan dengan
dispepsia fungsional. Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi yang dengan palpasi akan
menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut tidak dapat dikurangi atau dihilangkan
dengan meregangkan otot-otot abdomen.

LO.4.7 Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang


1. Endoskopi
a. Diagnostik
o Untuk menentukan atau menegakkan diagnosis yang pada pemeriksaan
radiologi menunjukkan hasil yang meragukan atau kurang jelas
o Untuk menentukan diagnosis pada klien yang sering mengeluh nyeri
epigastrium, muntah-muntah, sulit atau nyeri telan. Sedangkan radiologi
menunjukkan hasil yang normal
o Melaksanakan biopsy atau sitologi pada lesi-lesi di saluran pencernaan yang
diduga keganasan
o Untuk menentukan sumber perdarahan secara tepat dan tepat
o Memantau residif pada keganasan maupun menilai klien pasca bedah
o Menentukan diagnosis pada kelainan pankreatobillier.
b. Terapeutik
o Skleroterapi endoskopi (STE) adalah menyuntikkan obat sklerotik melalui
endoskopi pada varises esophagus
o Ligasi varises esophagus (LVE) adalah pengikatan varises pada esophagus
dengan menggunakan peralatan endoskopi
o Polipeptomi adalah pengambilan polip pada saluran pencernaan dengan
menggunakan peralatan endoskopi
o Sfingterektomi adalah melebarkan saluran papilla vateri dengan menggunakan
peralatan endoskopi
o Dilatasi adalah melebarkan lumen esophagus. Misalnya struktur esophagus pada
pasien akalasia
o Perkutaneous endoskopi gastrostomi (PEG) adalah pemasangan selang untuk
pemberian nutrisi ke lambung melalui dinding perut dengan bantuan endoskopi.
o Untuk pengambilan benda asing (corpus alienum) yang masuk ke dalam saluran
pencernaan

Gambar. 17
Pada pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi ada tidaknya bakteri Helicobacter pylori,
dimana cairan tersebut diambil dan ditumbuhkan dalam media Helicobacter pylori.
Pemeriksaan antibodi terhadap infeksi Helicobacter pylori dikerjakan dengan metode Passive
Haem Aglutination (PHA), dengan cara menempelkan antigen pada permukaan sel darah
merah sehingga terjadi proses aglutinasi yang dapat diamati secara mikroskopik. Bila di
dalam serum sampel terdapat anti Helicobacter pylori maka akan terjadi aglutinasi dan
dinyatakan positif terinfeksi Helicobacter pylori.

2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini banyak menunjang diagnosis suatu penyakit di saluran cerna. Setidak-
tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap saluran cerna bagian atas dan
sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal, akan tampak
peristaltik di oesophagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di
antrum yang meninggi, serta sering menutupnya pylorus sehingga sedikit barium yang
masuk ke intestinal. Pada tukak, baik di lambung maupun di duodenum, akan terlihat
gambaran yang disebut niche, yaitu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk
niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan dasar licin.

3. Ultrasonografi (USG)
Merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini makin banyak dimanfaatkan
untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit, apalagi alat ini tidak
menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat, dan pada kondisi pasien yang
berat sekalipun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia
terutama bila ada dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan di tiroid, bahkan
juga ada dugaan di oesophagus dan lambung.
4. Biopsi
Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui kultur, meskipun hal
ini merupakan tes laboratorium khusus. Ada juga tes pernafasan yang mendeteksi H. Pylori,
serta tes serologis terhadap antibody pada antigen H. Pylori.

LO.4.8 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi


Pada kebanyakan kasus, dyspepsia bersifat ringan dan hanya terjadi sesekali. Tetapi, dyspepsia
berat dapat menyebabkan komplikas, seperti :
a. Esofageal stricture
Dyspepsia kadang disebabkan oleh reflux asam lambung, yang terjadi ketika asam lambung
naik ke atas menuju esophagus dan mengiritasi permukaannya. Jika iritasi ini bertambah
seiring berjalannya waktu, dapat menyebabkan esophagus menjadi terluka. Luka ini dapat
menyebabkan esophagus menyempit dan konstriksi (esophagus stricture). Gejala yang
dialami adalah:
- Susah menelan (dysfagia)
- Makanan tersangkut di kerongkongan
- Sakit dada
Esophagus stricture biasanya di terapi dengan operasi untuk memperlebar esofagus

b. Stenosis pylorus
Disebabkan oleh iritasi jangka panjang permukaan system pencernaan karena asam
lambung. Ini terjadi ketika jalan antara lambung dan duodenum (daerah pylorus) menjadi
terluka dan menyempit. Ini dapat menyebabkan muntah dan mencagah makanan yang
dimakan dicerna sempurna. Pada kebanyakan kasus, stenosis pylorus diterapi dengan
operasi untuk mengembalikan lebar awal pylorus.
c. Barret’s esophagus
Reflux asam lambung yang berulang dapat menyebabkan perubahan sel permukaan
esophagus bawah. Ini adalah kondisi Barret’s esophagus. Barret’s esophagus biasanya tidak
menyebabkan gejala seperti reflux asam lambung lainnya. Tetapi, ada risiko kecil sel yang
terkena Barret’s esophagus dapat menjadi kanker dan memicu kanker esophagus.

d. Perdarahan gastrointestinal adalah komplikasi yang paling umum. Perdarahan besar


mendadak dapat mengancam jiwa. Ini terjadi ketika ulkus mengikis salah satu pembuluh
darah.

e. Perforasi (lubang di dinding) sering mengarah ke konsekuensi bencana. Erosi dinding gastro-
usus oleh ulkus menyebabkan tumpahan isi perut atau usus ke dalam rongga perut.
Perforasi pada permukaan anterior perut menyebabkan peritonitis akut, awalnya kimia dan
kemudian bakteri peritonitis. Tanda pertama adalah sering nyeri perut tiba-tiba intens.
Perforasi dinding posterior menyebabkan pankreatitis, sakit dalam situasi ini sering menjalar
ke punggung.

f. Penetrasi adalah ketika ulkus berlanjut ke organ-organ yang berdekatan seperti hati dan
pankreas.

g. Jaringan parut dan pembengkakan karena ulkus menyebabkan penyempitan di duodenum


dan obstruksi lambung. Pasien sering menyajikan dengan muntah-muntah hebat.

LI.5 Memahami dan Menjelaskan Penatalaksanaan dan Pencegahan


Diet dan perubahan gaya hidup
Jika rasa sakit dan tidak nyaman akibat dyspepsia hanya ringan, dapat melakukan diet dan
perubahan gaya hidup.
a. Berat badan seimbang
Kelebihan berat badan dapat meningkatkan tekanan ke lambung, membuat asam lambung
mudah terdorong ke atas (esophagus). Dikenal dengan reflux asam dan merupakan
penyebab tersering dyspepsia. Jika kelebihan berat bada atau obesitas, penting untuk
menurunkan berat badan secara bertahap dengan olahraga teratur dan makan makanan
sehat, menyeimbangkan diet
a. Berhenti merokok
Bahan kimia asam rokok yang terhirup dapat berpengaruh pada dyspepsia. Bahan kinia ini
menyebabkan sfingter antara esophagus dan gaster relaksasi. Menyebabkan asam lambung
naik ke atas (esophagus) dengan mudah (reflux asam)
b. Diet dan alcohol
- Makan makanan yang rendah lemak dan pedas
- Kurangi minuman yang mengandung kafein seperti the, kopi, cola
- Hindari atau kurangi minum alcohol
c. Waktu tidur
Jika gejala dyspepsia dirasakan pada malam hari, hindari makan 3-4 jam sebelum tidur. Tidur
dengan perut penuh berarti meningkatkan risiko asam lambung naik ke esophagus ketika
sedang berbaring. Ketika tidur, gunakan beberapa tumpuk bantal agak kepala dan bahu lebih
tinggi. Perbedaan tinggi ini dapat membantu agas asma lambung tidak masuk ke esophagus
selama tidur
Ganti pemakaian obat sebelumnya
Obat yang harus dihentikan seperti aspirin dan ibuproven. Pasien akan diberikan obat alternative
lain yang tidak menyebabkan dyspepsia.

Farmakologi
Antagonis Reseptor H2
1. Cimetidine Ranitidine
Secara reversibel dan kompetitif menghambat reseptor Histamin 2 (H2) terutama pada sel
parietal lambung, sehingga memicu penghambatan sekresi asam lambung.
Indikasi: Keduanya digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak duodenum. Akan
tetapi manfaat terapi pemeliharaan dalam pencegahan tukak lambung belum diketahui
secara jelas.Efek penghambatannya selama 24 jam, Cimetidin 1000 mg/hari menyebabkan
penurunan kira-kira 50% dan Ranitidin 300 mg/hari menyebabkan penurunan 70% sekresi
asam lambung; sedangkan terhadap sekresi malam hari, masing-masing menyebabkan
penghambatan 70% dan 90%.
Farmakodinamik: Cimetidin dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan
reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung sehingga pada pemberian
cimetidin dan ranitidine sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi cimetidin dan
ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting.walaupun tidak lengkap
cimetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat
muskarinik atau gastrin. Cimetidin dan ranitidine mengurangi volume dan kadar ion
hydrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan
pepsinogen menjadi pepsin menurun.
Farmakokinetik:
a. Cimetidin
Bioavailabilitas cimetidin sekitar 70% sama dengan pemberian IV atau IM ikatan
protein plasma hanya 20%.Absorbsi simetidin diperlambat oleh makanan sehingga
cimetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk
memperpanjang efek pada periode paska makan. Absorpsi terutama terjadi pada
menit ke 60 -90. Cimetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-
20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral diekskresi
dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2 jam.
b. Ranitidine
Bioavailabilitas ranitidine yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat
pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7 -3 jam pada orang dewasa,
dan memanjang pada orang tua dan pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati
masa paruh ranitidine juga memanjang meskipun tidak sebesar
pada ginjal.Pada ginjal normal, volume distribusi 1,7 L/kg sedangkan klirens kreatinin
25-35 ml/menit. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan
ranitidine 150 mg secara oral, dan terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine
mengalami metabolism lintas pertama di hati dalam jumlah yang cukup besar
setelah pemberian oral. Ranitidine dan matabolitnya diekskresi terutama melalui
ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidine yang diberikan IV dan 30%
yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.
Efek Samping: terbatas dan tidak berbahaya: aritmia, vaskulitis, pusing, halusinasi, sakit
kepala, confusion, mengantuk, vertigo, eritema multiforme, kemerahan, pankreatitis,
anemia haemolitic acquired, agranulositosis, anemia aplastik, granulositopenia,
leukopenia, trombositopenia, pansitopenia, gagal hati, anafilaksis, reaksi
hipersensitivitas.
Interaksi Makanan: Makanan tidak mengganggu absorpsi ranitidin.
Interaksi Obat:
a. Cimetidin terikat ole sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim
mikrosom hati, sehingga obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama
Cimetidin. Contohnya: warfarin, fenitoin, kafein, fenitoin, teofilin, fenobarbital,
karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol dan imipramin. Simetidin
dapat menghambat alkhohol dehidrogenase dalam mukosa lambung dan
menyebabkan peningkatan alkohol serum. Obat ini tak tercampurkan dengan
barbiturat dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan
SSP terutama pada pasien lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal.
b. Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan
simetidin. Nifedin, warfarin, teofilin dan metoprolol dilaporkan berinteraksi
dengan ranitidin. Selain menghambat sitokrom P-450, Ranitidin dapat juga
menghambat absorbsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah
25%. Sebaiknya obat yang dapat berinteraksi dengan ranitidin diberi selang
waktu minimal 1 jam. Ranitidin dapat menyebabkan gangguan SSP ringan,
karena lebih sukar melewati sawar darah otak dibanding simetidin.

2. Famotidin
Farmakodinamik: Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambungpada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga
kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
Indikasi:Efektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu
pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian selama 6 bula
famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna.
Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison
meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk
profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang
diteliti.
Efek Samping: Efek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing,
konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik
daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik.
Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui
apakah obat ini diekskresi kedalam air susu ibu.
Interaksi Obat: Sampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum
dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak mengganggu
oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH
asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bial diberikan bersama AH2.
Farmakokinetik:Famotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah
penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit
utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis
ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi
dapat melebihi 20 jam.

3. Nizatidin
Farmakodinamik: Potensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih
sama dengan ranitidin.
Indikasi: Efektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin
dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan
tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah
kekambuhan. Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung
lainnyan nizatidin siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan
pembuktian lanjut.
Efek Samping: Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan
saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum
ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang
bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut
belum terlihat pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada
mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam
dosis ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat enzim mikrosom hati yang
metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila
nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau
lorezepam. Ketakonazol yang membetuhkan pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH
lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.
Farmakokinetik: Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh
makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar
puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar
2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal
90% dari dosisi yang digunakann ditemukan di urin dalam 16 jam.

Antasida
Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga efektifitasnya bergantung pada
kapasitas penetralan dari antasida tersebut. Kapasitas penetralan (dalam miliequivalen) adalah mEq
HCl yang dibutuhkan untuk memepertahankan suspensi antasida pada pH 3,5 selama 10 menit
secara in vitro. Peningkatan pH cairan gastric dari 1,3 ke 2,3 terjadi penetralan sebesar 90% dan
peningkatan ke pH 3,3 terjadi penetralan sebesar 99% asam lambung.
Antasida dapat meningkatkan pH cairan lambung sampai pH 4, dan menghambat aktifitas proteolitik
dari pepsin. Antasida tidak melapisi dinding mukosa namun memiliki efek adstringen. Secara kimia
antasida merupakan basa lemah yang bereaksi dengan asam lambung membentuk garam dan air.
Antasida juga dapat menstimulasi sintesis prostaglandin. Secara umum antasida dapat dibagi
menjadi dua golongan yaitu antasid sistemik dan non sistemik. Seluruh antasida dapat digunakan
untuk terapi tukak duodenum dan terbukti efektif untuk tukak lambung akut.
1. Antasida sistemik
Diabsorpsi dalam usus halus sehingga dapat menyebabkan urin bersifat alkali. Untuk
keadaan pasien dengan gangguan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolik sehingga saat ini
penggunaannya sudah jarang. Contoh antasida sistemik adalah Natrium bikarbonat
(NaHCO3).
a. Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat cepat menetralkan HCl lambung karena daya larutnya tinggi.
Karbon dioksida yang tebentuk dalam lambung dapat menimbulkan sendawa.
Distensi lambung dapat terjadi dan dapat menimbulkan perforasi. Selain
menimbulkan alkalosis metabolik, obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan
edema. Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini
digunakan untuk mengatasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin, dan pengobatan
lokal pruritus. Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk tablet 500-1000 mg. Satu
gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 12 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-
4 gram. Pemberian dosis besar NaHCO3 atau CaCO3 bersama susu atau krim pada
pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindrom alkali susu (milk alkali
syndrom)

2. Antasida non sistemik


Tidak diabsorpsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik. Salah satunya
adalah Magnesium [Mg(OH)2], Aluminium [(Al(OH)3], Kalsium (CaCO3), Magnesium trisilikat
(Mg2Si3O8nH2O), Magaldrat.
a. Aluminium hidroksida -- Al(OH)3
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya paling panjang.
Al(OH)3 bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan obat yang tidak
larut lainnya. Al(OH)3 dan sediaanya Al (aluminium) lainnya dapat bereaksi dengtan
fosfat membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil, sehingga
eksresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. Ion
aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini
mengadsorbsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorsi makanan setelah pemberian Al
tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat
demulsen dan adsorben.
Efek samping: yang utama ialah konstipasi. Ini dapat diatasi dengan memberikan
antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorbsi fosfat dapat
terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osteomalasia. Al(OH)3
dapat mengurangi absorbsi bermacam-macam vitamin dan tetrasiklin. Al(OH)3 lebih
sering menyebabkan konstipasi pada usia lanjut.
Aluminium hidroksida digunakan untuk tukak peptik, nefrolitiasis fosfat dan sebagai
adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al(OH)3 gel
yang mengandung 3,6-4,4% Al2O3. Dosis yang dianjurkan 8 mL. Tersedia juga dalam
bentuk tablet Al(OH)3 yang mengandung 50% Al2O3. Satu gram Al(OH)3 dapat
menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram.

b. Kalsium karbonat
Kalsium karbonat merupakan antasid yang efektif karena mula kerjanya cepat, maka
daya kerjanya lama dan daya menetralkannya cukup lama.
Kalsium karbonat dapar menyebabkan konstipasi, mual, muntah, pendarahan
saluran cerna dan disfungsi ginjal, dan fenomena acid rebound. Fenomena tersebut
bukan berdasarkan daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium
di antrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal mengeluarkan HCl
(H+). Sebagai akibatnya sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggi yang akan
mengurangi efek netralisasi obat ini. Efek serius yang dapat terjadi ialah
hiperkalsemia, kalsifikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi pada
penggunaan kronik kalisium karbonat bersama susu dan antasid lain (milk alkali
syndrom).
Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan,
sedangkan pemberian 8 g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang.
Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 mg dan 1000 mg. Satu gram
kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. Dosis yang dianjurkan 1-2 gram.

c. Magnesium hidroksida -- Mg(OH)2


Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis, tidak
larut, dan tidak efektif sebelum obat ini berinteraksi dengan HCl membentuk MgCl2.
Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi denagn HCl akan tetap berada dalam
lambung dan akan menetralkan HCl yang disekresi belakangan sehingga masa
kerjanya lama. Antasid ini dan natrium bikarbonat sama efektif dalam hal
menetralkan HCl.
Ion magnesium dalam usus akan cepat diabsorbsi dan cepat dieksresi melalui ginjal,
hal ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginjalnya kurang baik. Ion
magnesium yang diabsorbi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga dapat
menimbulkan alkali uria, tetapi jarang alkalosis.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek
katartiknya, sebab magnesium yang larut tidak diabsorbsi, tetapi tetap berada dalam
usus dan akan menarik air. Sebanyak 5-10% magnesium diabsorbsi dan dapat
menimbulkan kelainan neurologik, neuromuskular, dan kardiovaskular.
Sediaan susu magnesium (milk of magnesium) berupa suspensi yang berisi 7-8,55
Mg(OH). Satu ml susu magnesium dap menetralkan 2,7 mEq asam. Dosis yang
dianjurkan 5-30 ml. Bentuk lain ialah tablet susu yang berisi 325 mg Mg(OH)2 yang
dapat dinetralkan 11,1 mEq asam.

d. Magnesium trisiklat
Magnesium trisiklat (Mg2Si3O8H2O) sebagai antasid non sistemik, bereaksi dalam
lambumg sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk dalam lambung diduga berfungsi menutup
tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisiklat akan diabsorbsi melalui usus dan
dieksresi dalam urin. Silika gel dan megnesium trisiklat merupakan adsorben yang
baik; tidak hanya mengadsorbsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan.
Mula kerja magnesium trisiklat lambat, untuk menetralkan HCl 30% 0,1 N diperlukan
waktu 15 menit, sedangkan untuk menetralkan HCl 60% 1,1 N diperlukan waktu satu
jam.
Dosis tinggi magnesium trisiklat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadi batu
silikat setelah penggunaan kronik magnesium trisiklat. Ditinjau dari efektivitasnya
yang rendah dan potensinya yang dapat menimbulakan toksisitas yang khas, kurang
beralasan mengunakan obat ini sebagai antasid.
Magnesium trisiklat tersedia dalam bentuk tablet 500mg; dosis yang dianjurkan 1-4
gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisiklat yang mengandung sekurang-
kurangnya 20% MgO dan 45% silikon dioksida. Satu gram magnesium trisiklat dapat
menetralkan 13-17 mEq asam.

Obat Penghambat Sekresi Lambung


Penghambat pompa proton
Penghambat pompa proton merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih kuat dari AH2.
Obat ini bekerja di proses akhir pembentukan asam lambung, lebih distal dari AMP. Saat ini, yang
digunakan di klinik adalah omeprazol, esomeprazol, lansoprazol, rebeprazol, dan pantoprazol.
Perbedaan antara kelima obat tersebut adalah subtitusi cinci piridin dan/atau benzimidazol.
Omeprazol adalah campuran resemik isomer R dan S. Esomeprazol adalah campuran resemik isomer
omeprazol (S-omeprazol) yang mengalami eliminasi lebih lambat dari R-omeprazol.
Farmakodinamik: Penghambat pompa proton adalah prodrug yang memebutuhkan suasana asam
untuk aktivasinya. Setelah diabsorbsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat ini akan berdifusi ke
parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar, dan mengalami aktivasi di situ membentuk
sulfonamid tetrasiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfhidril enzim H+, K+, ATP-ase (enzim
ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran sel parietal. Ikatan ini mengakibatkan
terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung berhenti 80%-95% setelah
penghambatan pompa poroton tersebut.Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan
dapat menurunkan sekresi asam lambung basal atau akibat stimulasi, terlepas dari jenis
perangsangnya histamin, asetilkolin, atau gastrin. Hambatan ini sifatnya irreversibel, produksi asam
kembali dapat terjdai 3-4 hari pengobatan dihentikan.
Farmakokinetik: Penghambat pompa proton sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik untuk
mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di
lambung sehingga bio-availabilitasnya lebih baik. Tablet yang dipecah dilambung mengalami aktivasi
lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan. Bioalvailabilitasnya akan menurun
sampai dengan 50% karena pengaruh makanan. Oleh sebab itu, sebaiknya diberikan 30 menit
setelah makan.
Obat ini mempunyai masalah bioalvailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan persentasi jumlah
absorbsi yang bervariasi luas. Bioalvailabilitas yang bukan salut enterik meningkat dalam 5-7 hari, ini
dapat dijelaskan dengan berkurangnya prosuksi asam lambung setelah obat bekerja. Obat ini
dimetabolisme di hati oleh sitokrom P 450 (CYP), terutama CYP2P19 dan CYP3A4.
Indikasi: Indikasi obat ini sama dengan AH2 yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom Zollinger-
Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik pada AH2 pada dosis yang efek
sampingnya tidak terlalu mengganggu.
Efek samping: Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi, flatulence, dan
diare. Dilaporkan pula terjadi miopati subakut, atralgia, sakit kepala, dan ruam kulit.
Sediaan dan posologi: Omeprazol tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg dan 20 mg, diberikan 1
kali/hari selama 8 minggu. Esomeprazol tersedia dalam bentuk salut enterik 20 mg dan 40 mg, serta
sediaan vial 40 mg/10 ml. Pantoprazol tersedia dalam bentuk tablet 20 mg dan 40 mg.
Interaksi Obat
1. Omeprazol dengan Diazepam à terjadi peningkatan kadar Diazepam.
2. Omeprazol dengan Barbiturat à memanjangkan waktu tidur yang merupakan efek dari
Barbiturat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Murdani., Gunawan, Jeffri. Dispepsia. Continuing Medical Education.

Awad, El-Sayed I. 2005. Dyspepsia: An Updating Clinical Guideline. Journal of the Medical Research
Institut.

Brun, Rita. Functional Dyspepsia

FKUI, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: Gaya
Baru

Ganong, W.F . 2008 . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta: EGC

http://courses.washington.edu/conj/bess/acid/acidreg.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31383/4/Chapter%20II.pdf

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3002577/

http://www.nhs.uk/conditions/indigestion/pages/complications.aspx

Perri, Francesco., Clemente, Rocco., et al. Patterns of Symptoms in Fungsional Dyspepsia: Role of
Heliobacter Pylori Infection and Delayed Gastric Emptying. The American Journal of
Gastroenterology.

Ringel, Yehuda. Functional Dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem ed. 2.Jakarta: EGC.

Sofwan, Achmad. 2012. Tractus Digestivus. Jakarta: FKUY

Sudoyo, Aru W., Bambang Setyohadi, dkk., 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 ed. 4, Jakarta:
Interna Publishing

Swanson, Todd A., Kim, Sandra I., dkk., 2012. Essential Biokimia, Edisi 5. Jakarta: Binarupa Aksara
Publisher.

Tack, jan et al. Functional Dyspepsia.

Tack, Jan., Bisschops, Rap., dkk., Pathophysiology and Treatment of Functional Dyspepsia. Division of
Gastroenterology, Department of Internal Medicine, University Hospital Gasthuisberg, University of
Leuven, Leuven, Belgium.

Anda mungkin juga menyukai