Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Difteri adalah penyakit infeksi sangat menular yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria. Bakteri ini akan mengelurakan toksin yang
menyebabkan terbentuknya pseudomembran atau selaput putih keabu-abuan
pada kulit dan atau mukosa. Kuman difteri akan menular ke orang lain melalui
percikan ludah, kontak langsung, dan luka yang terbuka. Hal inilah yang
menyebabkan penularan difteri yang sangat tinggi1.
Difteri sangat berbahaya karena memliki angka mortalitas yang cukup
tinggi akibat dari komplikasinya berupa obstruksi jalan nafas dan miokarditis.
Penyakit difteri mulai muncul kembali di Indonesia sekitar tahun 2003 di
Bangkalan, Jawa Timur yang kemudian menyebar ke hampir seluruh
kabupaten/kota di Jawa Timur dan ditetapkan sebagai KLB (Kejadian Luar
Biasa) pada tahun 2011.2 Jumlah kasus difteri ini terus meningkat tiap
tahunnya di Jawa Timur, yakni 5 kasus positif, tahun 2004, 15 kasus (4
meninggal), tahun 2005 dan 2006, 52 dan 44 kasus (8 meninggal), tahun 2007,
86 kasus (6 meninggal), tahun 2008, 76 kasus (12 meninggal), tahun 2009,
140 kasus (8 meninggal) dan tahun 2010, 304 kasus (21 meninggal)3. Pada
kurun waktu Oktober-November 2017 ada 11 provinsi yang melaporkan
terjadinya KLB Difteri di wilayah kabupaten/kota-nya, yaitu 1) Sumatera
Barat, 2) Jawa Tengah, 3) Aceh, 4) Sumatera Selatan, 5) Sulawesi Selatan, 6)
Kalimantan Timur, 7) Riau, 8) Banten, 9) DKI Jakarta, 10) Jawa Barat, dan
11) Jawa Timur. Epidemiologis KLB Difteri menurut Kementrian Kesehatan
sampai tanggal 25 Desember 2017 telah terkumpul data sebanyak 907 kasus
yang terdeteksi (kumulatif selama tahun 2017) dimana 44 di antaranya
meninggal dunia pada 164 Kabupaten kota dari 29 provinsi. KLB Difteri pada
saat ini tidak hanya menyerang Balita namun juga anak ataupun dewasa yang
memiliki kerentanan terhadap Difteri cukup tinggi.. Hal ini terbukti terdapat
47 % menyerang anak usia sekolah (5 14 tahun) dan 34% menyerang umur di
atas 14 tahun pada kelompok umur 1-40 tahun2.

1
Kasus difteri masih sering terjadi karena masih banyak daerah dengan
cakupan imunisasi yang rendah. Hal ini disebabkan akibat adanya penolakan
terhadap imunisasi, rendahnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat, serta
letak geografis yang sulit. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri
telah dilakukan dengan pemberian obat antitoksin pada penderita dan obat
(profilaksis) orang yang memiliki kontak erat dan carrier serta melakukan
Outbreak Response Immunization (ORI) dan Sub PIN difteri. Pencegahan
KLB Difteri dapat dilakukan dengan pemberian vaksin DPT-HB untuk usia 2
bulan sampai < 3 tahun, DT untuk usia 3-7 tahun dan Td untuk anak usia > 7
tahun dan pemberian profilaksis untuk kontak erat dengan penderita;
penguatan imunisasi dasar pada bayi dan imunisasi lanjutan pada Batita serta
anak sekolah dasar; meningkatkan cakupan imunisasi yang merata di seluruh
wilayah; serta perbaikan manajemen pengelolaan dan sarana penyimpanan
vaksin untuk menjaga mutu vaksin. Oleh sebab itu, penegakan diagnosis
difteri secara klinis di masyarakat harus dilakukan sebaik mungkin, agar
terputus rantai penularannya4.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Irma Septiani
Umur : 18 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lhoknga
No. RM : 052841
Tanggal Masuk : 20 Agustus 2019

2.2 Anamnesis Pasien


Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan sejak 3
hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit, demam dirasakan naik turun. Mual
(+) Muntah (+) > 5kali. Nyeri
tenggorokan (+), nyeri sendi (+) Nyeri
uluhati (+), sulit buang air besar (+).
Riwayat Penyakit Dahulu : Di Sangkal
Riwayat Penyakit Keluarga : Di Sangkal
Riwayat Persalinan :
Jenis persalinan : Normal
Massa Kehamilan : Cukup bulan
Tempat lahir : Rumah Sakit Harapan Bunda
Tanggal lahir : 17 Februari 2001
Ditolong oleh : Dokter
Anak ke- : 6 (enam)
Riwayat Imunisasi : Imunisasi lengkap hingga usia 4tahun.
Riwayat Tumbuh Kembang : Baik sesuai usianya

2.3 Pemerikaan Fisik


Tanda Vital
- Tekanan Darah : 110/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 80 kali/menit
- Frekuensi Napas : 20 kali/menit
- Suhu : 38.20C
- BB : 51 kg
- TB : 155 cm

Kepala : Normocephali

3
Mata : Pupil isokor, conj.palpebra inferior anemis (-/-), mata
cekung (-/-)
THT : Pseudomembran (+) nyeri menelan (+) faring hiperemis
(+), lidah kotor (+)
Leher : pembesaran KGB (+), nyeri tekan (+), trakea letak
medial
Thoraks : simestris, sonor (+/+), retraksi dinding dada (-/-)
Jantung : Bj I > Bj II, bising jantung (-)
Paru : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : simetris
Palpasi : soepel, Hepar teraba 3 jari dibawah arcus costarum,
lien tidak teaba, ren tidak teraba
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : edema (-), akral hangat
Status neurologi : GCS (E4, M6, V5)
Kekuatan otot : tidak dilakukan pemeriksaan
Neuromuskular : tidak dilakukan pemeriksaan

2.4 Pemerikaan Penunjang


Tanggal Pemeriksaan : 22 Januari 2018
Pemeriksaan HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hematologi
Hb 12,3 g/dL 12.0 – 15.2
Hematokrit 36,7 % 36.0 – 47.0
Eritrosit 4,70 10^6/uL 4.50 – 5.10
Leukosit 11,8 10^3/uL 4.5 – 13.0
Trombosit 245 10^3/uL 154- 386

2.5 Diagnosis Banding :


Difteri tonsil
Difteri faring
Difteri hidung
Difteri laring
Difteri kulit

2.6 Diagnosis Kerja : Suspected Diphtheria

4
2.7 Follow Up Pasien :
No Tgl S O A P
1 20/08/19  Panas (±),  KU : Sedang obs. Difteri ec  Infus RL 20gtt/i
bacterial  Inj. Ranitidine
mual (+), (kurang
infeection 1A/12j
Sesak (+), aktif)
 Domperidone
 HR:70x/mnt
nyeri telan (+),
1x10mg
RR :36x/mnt
batuk (+),  Paracetamol 3x500
T : 38,5oC
pilek mg
 Inj. Ceftriaxone
(+),Pembesara
1g/12j
n KGB
submandibular
dextra (+)

2 21/08/19  Panas naik  KU : Sedang tonsilo  Infus RL 20gtt/i


turun (+),  HR:112x/mnt Faringitis  Inj. Ranitidine

Sesak (+), RR :28x/mnt dengan 1A/12j


 Inj. Ceftriaxone
nyeri telan (+), T : 36,3oC pseudomembr
1g/12j
batuk (±), an  Inj. Dexametason
pilek (+), 1A/8j
nyeri sendi  Domperidone

(+), 1x10mg
 Paracetamol 3x500
pembesaran
mg
KGB (+)  Eritromisin
4x500mg
3 22/08/19  Panas (-),  KU :Aktif probable  Infus RL 20gtt/I
 GCS 15 Difteri  Inj. Ranitidine
Sesak (-),
 HR:86x/mnt 1A/12j
nyeri telan (+),
RR :22x/mnt  Inj. Ceftriaxone
batuk (+), T : 36,4oC 1g/12j
pilek (-),  Inj. Dexametason
pembesaran 1A/8j
 Inj. Antrain 250mg
KGB (+),
 Domperidone
nyeri uluhati
1x10mg
(+)  Paracetamol 3x500

5
mg
 Eritromisin
4x500mg
 Sucralfate syr 3x1
cth
4 23/08/19  Panas (-),  KU : Baik Probable Infus RL 20gtt/I
 GCS : 15  Inj. Ranitidine
Sesak (-), Difteri
 HR:88x/mnt 1A/12j
nyeri telan (+),  Inj. Ceftriaxone
RR :26x/mnt
batuk (±) pilek T : 36oC 1g/12j
(-)  Inj. Dexametason
Nyeri 1A/8j
uluhati(+),  Inj. Antrain 250mg
 Domperidone
pembesaran
1x10mg
KGB (+)
 Paracetamol 3x500
mg
 Eritromisin
4x500mg
 Sucralfate syr 3x1
cth
5 24/08/19  Panas (-),  KU : Sedang S. Difteri  Infus RL 20gtt/I
 Inj. Ranitidine
Sesak (-), (kurang
1A/12j
nyeri telan (-), aktif)
 Inj.methil
 GCS : 15
batuk (-), pilek  HR:92x/mnt prednisolone
(-), makan RR :24x/mnt 50mg/8j
minum baik  Inj. Antrain 250mg
T : 36oC
 Domperidone
1x10mg
 Paracetamol 3x500
mg
 Eritromisin
4x500mg
 Sucralfate syr 3x1
cth

6 25/08/19  Panas (-),  KU: Sedang S. Difteri  Infus RL 20gtt/i

6
Sesak (-), (kurang  Inj. Ranitidine
nyeri telan (-), aktif) 1A/12j
 GCS : 15  Inj.methil
batuk (-), pilek  HR:100x/mnt
prednisolone
(-), makan RR :26x/mnt
50mg/8j
minum baik T : 36,3 Co
 Inj. Antrain 250mg
 Domperidone
1x10mg
 Paracetamol 3x500
mg
 Eritromisin
4x500mg
 Sucralfate syr 3x1
cth
 Ranitidine 2x1 tab
 Metil prednisolone
3x4mg
7 26/08/19  Panas (-),  KU: Sedang Probable .  Infus Rl 20gtt/i
Difteri  Inj. Ranitidine
Sesak (-), (kurang
1A/12j
nyeri telan (-), aktif)
 Inj.methil
 HR: 90x/mnt
batuk (-), pilek prednisolone
RR: 22x/mnt
(-), makan 50mg/8j
T : 36,2oC
minum baik  Inj. Antrain 250mg
 Domperidone
1x10mg
 Paracetamol 3x500
mg
 Eritromisin
4x500mg
 Sucralfate syr 3x1
cth

8 27/08/19  Panas (-),  KU: Sedang probable  Domperidone


Sesak (-), (kurang Difteri 3x10mg
 Paracetamol 3x500
nyeri telan (-), aktif)
 HR:113x/mnt mg
batuk (-), pilek

7
(-), makan RR: 22x/mnt  Eritromisin
minum baik T : 36oC 4x500mg
 Sucralfate syr 3x1
cth
 Ranitidine 2x1 tab
 Metilprednisolon
3x4mg

9 28/08/19  Panas (-),  KU: Sedang Probable  Domperidone


Sesak (-), (kurang Difteri 3x10mg
 Paracetamol 3x500
nyeri telan (-), aktif)
 GCS : 15 mg
batuk (-), pilek  HR:90x/mnt  Eritromisin
(-), makan RR:20x/mnt 4x500mg
minum baik  Sucralfate syr 3x1
T : 36oC
cth
 Ranitidine 2x1 tab
 Metilprednisolon
3x4mg

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphteriae dengan membentuk pseudomembran atau
selaput putih keabuan pada mukosa atau kulit. Infeksi biasanya mengenai
hidung, tonsil dan faring, laring, serta kadang pada kulit, konjungtiva,
genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal maupun
sistemik, akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada
tempat infeksi.1
Masa inkubasi kuman ini antara 2 - 5 hari, dengan penularan melalui
kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri
tersebar melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa
laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi
kolonisasi pada saluran nafas.5

3.2 Etiologi
Kuman difteri Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loeffler)
merupakan kuman berbentuk batang, gram-positif (basil aerob), tidak
bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada
pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan basah kasar. Pada
pewarnaan, kuman bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin
telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang

9
menyaingi, dan bila direduksi oleh C. diphtheriae akan membuat koloni
menjadi abu-abu hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler
yaitu medium yang mengandung serum yang sudah dikoagulasikan dengan
fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang berwarna metakromatik
dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem atau putih
kelabu. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup bersama-
sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,
sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus
dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa6.
Pada media Tellurite dapat dibedakan 3 tipe koloni :
a. koloni mitis yang halus, berwarna hitam dan cembung
b. koloni gravis yang berwarna kelabu dan setengah kasar
c. koloni intermedius berukuran kecil, halus serta memiliki pusat
berwarna hitam.5
Ketiga tipe utama C.diphtheriae jika dipandang dari sudut antigenitas
sebenarnya merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai
banyak tipe serologik. C.diphtheriae memiliki kemampuan khas untuk
memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro. Eksotoksin ini
merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan
panas atau cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal)
dan fragmen B (karboksi-terminal). Kemampuan suatu strain untuk
membentuk atau memproduksi toksin dipengaruhi oleh adanya bakteriofag,
toksin hanya biasa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigene6.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit.
Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer
anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.7

3.3 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun
secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas.
Umumnya masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang
dari 15 tahun (yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun,
pada setiap epidemi insidens menurut usia tergantung pada kekebalan

10
individu. Serangan difteri yang sering terjadi, mendukung konsep bahwa
penyakit ini terjadi di kalangan penduduk miskin yanSg tinggal di tempat
berdesakan dan memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas. Kematian
umumnya terjadi pada individu yang belum mendapatkan imunisasi.8
Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10
tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang
dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.8
3.4 Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin
yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh
melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin yang terbentuk tersebut kemudian
dapat diserap oleh memnbran mukosa dan menimbulkan peradangan dan
penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis. Leukosit akan
menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang
kemudian akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. 6
Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk
pseudomembran dan semakin sulit untuk dilepas dan mudah berdarah.
Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil , faring, laring, bahkan
bias meluas samapai trakea dan bronchus. Pseudomembran dapat
menyebabkan edema dan jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri
pernapasan.
Toksin ini kemudian memasuki peredaran darah dan meyebar keseluruh
tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak
reseptor serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut.
Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis sedangkan
pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati, kematian biasanya
disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan gangguan pernafasan.

3.5 Manifestasi Klinis

11
Tanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status
kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran
darahataubelum.
Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya satu
hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit
agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang
tidak tinggi, berkisar antara 37,8oC – 38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya
hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan.8
Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum
molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera
menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan
masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas
dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat,
sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang
tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang
biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun
antitoksin tidak diberikan.3
Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran
akan menghilang. Dan perubahan ini akan lebih cepat bila diberikan
antitoksin.
Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri
antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri. Bentuk ini timbul dengan
gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat menutupi
faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat pula
timbul. Kadang-kadang udema disertai nekrose. Pembengkakan kelenjar
leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang
lain. Dan mengisi dibawah mandibula sehingga memberi gambaran
bullneck.8
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :
a. gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat, serta keluhan nyeri menelan
b. gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu.

12
Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring,
trakea dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini
melekat erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai sapi (bullneck) atau disebut juga Burgermeester’s hals.
c. gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.8

Difteri Tonsil
Gejala biasanya tidak khas berupa malaise, anoreksia, sakit tenggorok dan
demam. Difteri tonsil dan faring khas ditandai dengan adanya adenitis /
periadenitis cervical, kasus yang berat ditandai dengan bullneck (limfadenitis
disertai edema jaringan lunak leher). Suhu dapat normal atau sedikit meningkat
tetapi nadi biasanya cepat.9
Pada kasus ringan membran biasanya akan menghilang antara 7-10 hari dan
penderita tampak sehat. Pada kasus sangat berat ditandai dengan gejala-gejala
toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma dan
meninggal dalam 6-10 hari. Pada kasus sedang penyembuhan lambat disertai
komplikasi seperti miokarditis dan neuritis.9
Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai
gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan
kemudian mukopurulen mengadakan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin
sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis
lambat dibuat.9

Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring primer
gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas
atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain seperti nafas

13
berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk basah kasar dan pada obstruksi
laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular.
Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring sebagai perluasan daripada
diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.9

Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga


Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada
dasarnya disertai nyeri, eritem, dan eksudat khas; kelainan cenderung
menahun. Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang ditandai
dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane
coklat keabu-abuan. Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari
impetigo streptokokus atau stafilokokus, dan mereka biasanya bersama.
Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala. Hiperestesi lokal
atau hipestesia tidak lazim. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva
berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada
telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.9

3.6 Diagnosis
Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan
pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria
dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun
untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,
diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase
Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan
cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas.6
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae.5

14
3.7 Diagnosis Banding
3.7.1 Difteri Hidung
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita).6
3.7.2 Difteri Faring :
1. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis
akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi.6
3.7.3 Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring.6
3.7.4 Diphtheria Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi o.k. streptokokus/stafilokokus.6

3.8 Penyulit
1. Obstruksi jalan nafas
Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau
oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cervical.
2. Efek toksin
Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada
minggu ke dua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau lebih lambat
(minggu ke enam). Manifestasinya bisa berupa takhikardi, suara jantung
redup, bising jantung, atau aritmia. Bisa pula terjadi gagal jantung.
Penyulit pada saraf (neuropati) biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Kelumpuhan

15
pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi
regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya pada
minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan ke-7.
Paralisa ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai hilangnya deep
tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam liquor cerebrospinalis.
Bila terjadi kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan
gagal jantung.
3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain
4. Setelah penggunaan antibiotika secara luas, penyulit ini sudah sangat
jarang.1

3.9 Penatalaksanaan
1. Isolasi dan Karantina
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2-3 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-
tindakan berikut terlaksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Follow up gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.10
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-): anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).5
2. Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan
serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.10
2.1. Umum

16
Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian
cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna,
cukup mengandung protein dan kalori. Penderita diawasi ketat atas
kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan
EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. Khusus
pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-
hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.10
2.2. Khusus :
2.2.1. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis
diphtheria. Pemberian antitoksin pada hari pertama, akan menurunkan
angka kematian pada penderita menjadi 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini biasa meningkat
sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan tes kulit atau tes
konjungtiva dahulu. Hal ini disebabkan terdapat kemungkinan
terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 :
1000 dalam semprit.3 Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml
ADS dalam larutan garam fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.3
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1
: 10 dalam garam faali dan pada mata yang lain diteteskan garam
faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan
lakrimasi. Apabila tes hipersensitivitas kulit/konjungtiva positif, ADS
diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Namun, jika negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena.11
Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan
penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI. Dosis ADS di ruang

17
Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat
penyakit sebagai berikut :11
a. 20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit,
konjungtiva).
b. 40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang (pseudomembran terbatas
pada tonsil, faring, diphtheria laring).
c. 80.000 KI i.v. untuk diphteria kombinasi lokasi
d. 80.000 - 100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran
meluas ke luar tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai
"bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin) dan penderita
yang terlambat berobat > 72 jam.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam
larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Sedangkan untuk
pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dilakukan dalam waktu 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum
sickness).1
2.2.2. Antimikrobial
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000
KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40
mg/kg/hari.11

2.2.3. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan persepsi mengenai kegunaan obat ini
pada diphtheria. Beberapa ahli menyebutkan kortikosteroid diberikan
kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas
dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik. Dosis : dexametason
0,06-0,3 mg/kgBB/hari atau 1,2-10 mg/kgBB/hari IV tiap 6-12 jam.11

2.2.4. Pengobatan penyulit

18
Pengobatan ini ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
penderita tetap baik oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin
pada umumnya reversible. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi.11

3.10 Pencegahan
3.10.1 Umum
Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-
anak dan orang tua. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri
kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu
imunisasi dan pengobatan karier.10
3.10.2 Khusus
Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.10

3.11 Imunitas
3.11.1 Test kekebalan :
Schick test : menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap
diphtheria. Test dilakukan dengan menyuntikan toksin diphtheria
(dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan
antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.11
Moloney test : menentukan sensitivitas terhadap produk kuman
diphtheria. Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid
difteri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam
24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa :
- pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi
reaksi hipersensitivitas.
- pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi
yang berbahaya.
Kekebalan pasif : diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteri (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3
minggu).

19
Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita sakit atau
inapparent infection dan imunisasi dengan toksoid difteri.11

3.12 Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau akibat
aktivitas eksotoksin, maka komplikasi difteria dapat dikelompokkan dalam
infeksi tumpangan oleh kuman lain, obstruksi jalan nafas akibat membrane
atau adema jalan nafas, sistemik; karena efek eksotoksin terutama ke otot
jantung, syaraf, dan ginjal.
i. Komplikasi laringitis difteri dapat berlangsung cepat, pseudomembran
akan menjalar ke laring dan segera menyebabkan gejala sumbatan. Makin
muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
ii. Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensasio
kordis.
iii. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau
dan kelumpuhan otot-otot pernafasan.
iv. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke ginjal.4

3.13 Prognosis
Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-
50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun
menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis. Selain itu, prognosa
difteri umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.
1. Usia penderita
Makin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan
pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat obstruksi
jalan nafas oleh membran difterik.
2. Waktu pengobatan antitoksin
Sangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.
3. Tipe klinis difteri

20
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe
nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)
4. Keadaan umum penderita
Prognosa baik pada penderita dengan gizi baik.
Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan
prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin
berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan
kefatalan pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat.
Terjadinya trombositopenia amegakariositik atau miokarditis yang disertai
disosiasi atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.8

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Long SL. Diphtheriae (Corynebacterium diphtheria) in : Behrman RE,


Kliegman RM, Jelson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed
Philadelphia London New York St. Louis Sydney Toronto; WB Saunders,
2000; 817-20.
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. “Difteri akan dapat diatasi”.
Artikel. 2018
3. Rudi HP, Sariadji K, Sunarno, Roselinda. Corynebacterium diphtheriae
diagnosis laboratorium bakteriologi. Edisi pertama. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia; 2014.
4. Fakultas Kedokteran Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III.
Edisi Keempat. Jakarta. 2006
5. Wharton M. In: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds. Krugman’s Infectious
Diseases of Children, 11th ed St. Louis : The Mosby Co, 2004: 85-96
6. Dr. T.H.Rampengan, Spa (k) dan Dr. I.R. Laurentz, Spa. 1992. Penyakit
Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1-18
7. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam: BOIES
Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam.
EGC : Jakarta. 2016.
8. National Institute for Comminucable Disease. Guidelines Diphtheria: NICD
Recommendation for diagnosis, management, and public health response.
2016.
9. Garna Herry, dkk. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 2000.
173-176
10. I Nyoman Kadun. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. CV Infomedika,
Jakarta. 2006.
11. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. RSUD dr.
Soetomo Surabaya. 2008

22

Anda mungkin juga menyukai