Anda di halaman 1dari 6

II.

3 Amniosentesis

Amniosentesis (amniocentesis) adalah prosedur yang mengambil sampel cairan


ketuban (amnion) dan menganalisisnya di laboratorium untuk mendeteksi kelainan
genetik tertentu yaitu : penyakit metabolik, kelainan kromosom seperti sindrom Down,
dan kelainan neural tube atau cacat perkembangan pada janin maupun dapat menemukan
kelainan gen spesifik, termasuk fibrosis kistik dan penyakit sel darah berbentuk sabit.
Amniosentesis biasanya dilakukan antara minggu 15 dan 20 kehamilan dan
amniosentesis juga biasanya dilakukan pada wanita hamil yang berusia lebih dari 35
tahun. Namun, pemeriksaan tersebut saat ini dapat dilakukan pada batasan usia
kehamilan berapapun.2,3,12
Berikut ini masalah-masalah lain yang dapat diidentifikasi melalui amniosentesis,
yaitu:

1. Penyakit skeletal, seperti oseogenesis imperfekta


2. Infeksi janin, seperti herpes atau rubella
3. Penyakit sistem saraf pusat, seperti anensefali
4. Penyakit darah, seperti eritoblastosis fetalis
5. Masalah kimia atau defisiensi, seperti sistiuria
6. Amniosentesis dapat juga menentukan jenis kelamin bayi. Namun pemeriksaan
tersebut tidak digunakan untuk tujuan itu, kecuali pada kasus dimana jenis kelamin
bayi menjadi masalah, seperti pada hemofilia. Amniosentesis dapat dilakukan untuk
mengetahui apakah bayi dari ibu yang mempunyai resus Rh negatif mempunyai
masalah dan dapat juga dilakukan untuk menentukan kematangan paru-paru janin
sebelum dilahirkan.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari amniosentesis
adalah untuk diagnosis prenatal kelainan congenital, untuk menilai kesehatan ibu dan
janin, serta dapat dilakukan untuk menilai maturitas janin.Amniosentesis trimester
pertama dan kedua, pengambilan sampel vilus korion, dan pengambilan sampel darah tali
pusat merupakan teknik umum yang digunakan untuk diagnosis prenatal dengan tujuan
yang telah disebutkan.
Pemeriksaan amniosentesis tidak perlu dilakukan pada semua wanita hamil.
Pemeriksaan tersebut sering dilakukan pada wanita:

1. Yang akan melahirkan anak setelah usia 35 tahun. Ketika usia wanita bertambah
tua, maka akan memiliki kesempatan lebih besar untuk memiliki bayi dengan
cacat lahir.
2. Yang melahirkan anak dengan kelainan lahir sebelumnya

3. Memiliki riwayat keluarga kelainan genetic atau cacat lahir

4. Yang pasangannya mempunyai kelainan lahir. Ibu atau ayah bayi membawa gen
abnormal yang diketahui menyebabkan penyakit, seperti penyakit Tay-Sachs,
anemia sel sabit, atau cystic fibrosis sehingga adanya kemungkinan janin untuk
mewarisis gen abnormal dari orang tuanya.3,13,15

Alat-alat yang dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan ini antara lain:

1. Larutan antiseptic

2. Jarum-jarum spinal dan stilus ukuran 18, 20, 22

3. Spuit 10 cc

4. Spuit 2 cc

5. Lidokain

6. Jarum ukuran 25, 21

7. Handuk dan duk lobang steril

8. Es

9. Vial specimen bersih dan berwarna coklat

Tata cara untuk melakukan amniosentesis:


Ultrasonografi sangat membantu untuk melokalisasi plasenta dan menentukan
presentasi janin atau sebagai penuntun untuk memasukkan jarum spinal ukuran 20
atau 22 ke dala kantong amnion, sembari menghindari plasenta, tali pusat, dan janin.
Sebelum amniosentesis, pasien harus mengosongkan kandung kemihnya dan
kemudian berbaring terlentang pada meja pemeriksaan.Tempat untuk amniosentesis
dapat di belakang leher janin, atau pada area bagian-bagian kecil, atau dalam area
suprapubik di bawah kepala janin.Abdomen dipersiapkan dengan larutan antiseptic
dan tempat pungsi dikelilingi dengan duk bolong steril.Tempat tersebut diinfiltrasi
dengan anestetik local.Jarum spinal dengan stiletnya dimasukkan ke dalam rongga
amnion diaspirasi ke dalam sebuah spuit 10 cc.
Cairan untuk rasio lesitin-sfingomielin (L/S) ditempatkan ke dalam sebuah
tabung reaksi yang dikelilingi dengan es dan cairan untuk analisis spektrofotometri di
tempatkan dalam sebuah botol coklat untuk melindunginya dari sinar matahari
langsung.Apabila darah teraspirasi, jarum mungkin berada di dalam dinding uterus,
plasenta atau janin.Apabila jarum belum mencapai rongga amnion, dilanjutkan
dengan hati-hati.Rotasi jarum 180 derajat mungkin diperlukan untuk memperoleh
aliran bebas cairan amnion.Pada mulanya cairan sangineus sering jernih dalam 30
sampai 60 detik.

Amniosentesis Trimester Kedua


Amniosentesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis prenatal dan
biasanya dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound digunakan
sebagai penuntun untuk memasukkan jarum spinal ukuran 20 atau 22 ke dalam
kantong amnion, sembari menghindari plasenta, tali pusat, dan janin. Aspirat awal 1
sampai 2 ml cairan di buang untuk mengurangi kemungkinan pencemaran oleh sel-sel
ibu, kemudian diambil sekitar 20 ml cairan untuk analisis, dan jarum dikeluarkan.
Tempat pungsi diamati apakah ada perdarahan dan pasien diperlihatkan denyut
jantung janinnya. Angka kematian janin setelah amniosentesis adalah 0,5 persen atau
kurang (1 dari 200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mencakup kebocoran air
ketuban dan bercak perdarahan per vaginam yang sifatnya sementara pada 1 hingga 2
persen dan korioamnionitis pada kurang dari 1 per 1000 wanita yang diperiksa.
Cedera akibat jarum pada janin jarang terjadi.

Amniosentesis Dini (Trimester Pertama)


Amniosentesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu. Tekniknya
samadengan teknik amniosentesis tradisional, meskipun tidak adanya fusi membrane
ke dinding uterus menyebabkan pungsi kantong amnion menjadi lebih sulit, dan lebih
sedikit cairan yang dapat dikeluarkan (biasanya 1 ml untuk setiap minggu gestasi).
Karena sebab-sebab yang belum sepenuhnya dipahami, amniosentesis dini
menimbulkan angka kematian janin dan angka penyulit yang secara bermakna lebih
tinggi dari amniosentesis biasa. Pada sebuah uji coba acak multisentra baru-baru ini,
angka abortus spontan setelah amniosentesis trimester pertama adalah 2,5 persen
dibandingkan dengan 0,7 persen pada amniosentesis trimester ke dua. Komplikasi
lainnya adalah clubfoot (talipes) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4 persen
dibandingpkan dengan 0,1 persen setelah amniosentesis tradisional. Oleh karena itu,
banyak sentra tidak lagi menawarkan amniosentesis sebelum 15 minggu.

Interpretasi:

a. Rasio Lesitin-Sfingomielin (Rasio L/S): Lesitin dan sfingomielin mulai muncul


dalam jumlah yang terukur di dalam cairan amnion kurang lebih pada kehamilan
minggu ke 25 atau 26. Pada kira-kira minggu ke 31 atau ke 32, keduanya menjadi
sama. Setelah waktu ini, konsentrasi lesitin mulai meningkat lebih cepat dan
kadar konsentrasi sfingomielin berhenti dan benar-benar menurun.Pada
pematangan biokimiawi dari paru-paru yaitu pada kurang lebih minggu gestasi ke
35, perbandingan lesitin terhadap sfingomielin adalah 2 berbanding 1 atau lebih
tinggi. Perbandingan kurang dari 1 adalah karakteristik bagi paru-paru yang
belum matang; rasio antara 1 dan 2 berada dalam area intermediate.Rasio L/S
memberikan penilaian yang paling dapat dipercaya dari kematangan paru janin.
Pada rasio 2 banding 1 atau lebih, terdapat risiko minimal dari sindro gawat
pernafasan (respiratory distress syndrome). Darah atau mekonium dapat
mempengaruhi nilai-nilai yang sebenarnya. Bila cairan amnion tercemar dengan
mekonium, rasio L/S 2,2 sebelum minggu ke 35 dan 2,5 setelah minggu ke 36
biasanya merupakan petunjuk kematangan janin.

b. Fosfatidilgliserol (PG) biasanya muncul dalam cairan amnion kehamilan normal


diantara kehammilan minggu ke 34 dan 35. Bila terdapat PG 3% atau lebih,
sebenarnya tidak ada resiko dari respiratory distress syndrome. Tes ini dapat
dipercaya bahkan dalam keberadaan darah atau mekonium.

c. Fosfatidilkolin jenuh (SPC) adalah komponen utama dari fosfolipid permukaan-


aktif paru. Konsentrasi yang lebih besar dari 500 mikrogram per desiliter jarang
berhubungan dengan respiratory distress syndrome. Pengukuran SPC tidak
dipengaruhi oleh adanya darah atau mekonium (Torday).

d. Tes Stabilitas Busa (Tes Kocok) adalah suatu pengujian yang cepat untuk
menaksir keatangan paru janin. Tes ini tergantung pada kemampuan surfaktan
paru-paru di dalam cairan amnion bercampur dengan etanol untuk menimbulkan
busa stabil pada batas udara-cairan, 1 ml cairan amnion dan 1ml etanol 95%
dikocok bersama-sama di dalam sebuah tabung reaksi selama 15 detik. Adanya
sebuah cincin gelembung yang menetap pada permukaan udara cairan selama 15
menit menunjukkan suatu resiko yang yang sangat kecil dari respiratory distress
syndrome.

e. Spektrofotometri scan telah menunjukkan bantuannya dalam evaluasi


isoimunisasi Rhesus. Cairan amnion yang normal hampir membentuk suatu garis
lurus sepanjang sidikan (scan) dari 350 sampai 759 milimikro. Punuk bilirubin
yang khas mulai pada 375 m, mencapai suatu puncak pada 450 sampai 460 m
dan kemudian kembali ke garis dasar pada 525 m. Untuk menentukan jarak
deviasi dari normal, sebuah garis yang berubah-ubah diproyeksikan dari 375 ke
525 m. Kemudian deviasi dari garis yang teramati pada 450 m dapat
ditentukan. Nilai ini menunjukkan densitas delta optic pada 450 m dan
merupakan suatu petunjuk dari hemolisis intrauterine.

f. Darah di dalam cairan amnion dapat berasal dari janin atau ibu. Tes Kleihauer
dapat membedakan sel janin dari sel ibu.

g. Mekonium dalam cairan amnion memberikan kesan stress janin sebelumnya.


Makna noda mekonium sebenarnya masih belum diketahui.

h. Leukosit polimorfonuklear dalam cairan amnion mengindikasikan bahwa


terdapat infeksi atau menjelang infeksi.

i. Pewarnaan gram dan biakan sangat membantu bila dicurigai infeksi.

Anda mungkin juga menyukai