DISUSUN OLEH :
INDAH SARI
PO71242210021
A. Latar Belakang
menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpuan
sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Dalam
antara pengertian satu dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk
penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai prinsip yang harus diketahui terlebih
dahulu, karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis tergantung
pengertian, karena pengertian ini merupakan dasar dari semua bentuk penalaran.
Untuk mendapatkan pengertian sesuatu dengan baik sering juga dibutuhkan suatu
yang menyusunnya, hal ini secara teknis disebut dengan istilah pembagian (Diah
sesuatu masalah bukanlah hal yang berlebihan, tetapi untuk memperjelas sebagai
titik tolak penalaran, sehingga kekaburan arti dapat dihindarkan. Definisi dan
1
definisi yang baik sering membutuhkan suatu pembagian. Demikian juga untuk
Etni Dwi Astuti menyatakan dalam matematika sebagai “ilmu” hanya diterima
pola pikir deduktif. Meskipun pada akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir
pikir induktif (Etni Dwi Astuti,2018). Oleh karena itu, Makalah ini membahas
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Penalaran
yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar,
Proses inilah yang disebut menalar Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan
B. Penalaran Deduktif
manusia untuk menghubungkan antara data dengan fakta yang ada sehingga pada
Penalaran deduktif bertolak dari sebuah konklusi atau simpulan yang didapat
dari satu atau lebih pernyataan yang lebih umum. Simpulan yang diperoleh tidak
mungkin lebih umum dari pada proposi tempat menarik simpulan itu. Proposi
tempat merarik simpulan itu disebut premis. Dapat di artikan penalaran deduktif
adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang
kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan
3
atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus (Dinda Kurnia Putri Et
Al,2019).
instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala
terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan
deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu
1. Silogisme
Misalnya ucapan “Ia dihukum karena melanggar peraturan “X” (Palupi Sri
2. Silogisme Kategorik
premis yang kemudian dapat dibedakan dengan premis mayor (premis yang
termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi
4
3. Silogisme Hipotetik
4. Silogisme Disyungtif
atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.Seperti
pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara
D. Penalaran Induktif
pernyataan yang khusus dan menghasilkan kesimpulan yang umum. Dengan kata
lain kesimpulan, yang diperoleh tidak lebih khusus daripada pernyataaan (premis)
Contoh:
5
Jika dipanaskan, emas memuai.
proses penalaran yang digunakan dalam berfikir untuk menarik kesimpulan dari
sesuatu yang bersifat khusus ke umum atau berupa prinsip atau sikap yang berlaku
umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Penalaran Induktif dibagi
menjadi 2, yaitu :
1. Generalisasi adalah bentuk dari metode berfikir induktif atau suatu proses
a) Generalisasi tanpa loncatan induktif adalah seluruh fakta yang ada di dalam
terjadi. Contoh : setiap 1 bulan pada tahun masehi tidak ada yang jumlah harinya
diambil dari sebagian fakta dari suatu fenomena yang berlaku pada fenomena
6
Indonesia yang ramah, lalu kita membuat sebuah kesimpulan bahwa semua rakyat
2. Analogi adalah suatu bentuk metode penalaran induktif untuk menarik kesimpulan
tentang kebenaran suatu gejala khusus berdasarkan kebenaran suatu gejala khusus
– Meramalkan persamaan
– Mengadakan klasifikasi
– Menyingkap kekeliruan
1. Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari
dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Kuswanti, 2017). Persalinan adalah
proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan
dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah
Partus adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup
dari dalam uterus melalui vagina kedunia luar (Wiknjosastro, 2015). Persalinan
merupakan proses pergerakan janin, plasenta, dan membran dari dalam rahim
melalui jalan lahir. Proses ini berawal dari pembukaan dan dilatasi serviks sebagai
akibat kontraksi uterus dengan frekuensi, durasi, dan kekuatan yang teratur. Mula-
mula kekuatan yang muncul kecil, kemudian terus meningkat sampai pada
puncaknya pembukaan serviks lengkap sehingga siap untuk pengeluaran janin dari
7
rahim ibu. Persalinan adalah saat yang menegangkan, menggugah emosi,
2. Etiologi
dengan jelas, banyak teori yang dikemukakan, namun masingmasing teori ini
a. Teori penurunan horman minggu sebelum partus, terjadi penurunan kadar estrogen
kontraksi uterus.
b. Teori placenta menjadi tua Menyebabkan turunnya kadar estrogen dan progesteron
c. Teori distensi rahim Rahim yang menjadi besar dan meregang menyebabkan iskemia
frenkenhauser), bila ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin,
e. Induksi Partus Induksi persalinan adalah suatu upaya agar persalinan mulai
berlangsung sebelum dan sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang
timbulnya his (Sofian, 2016). Induksi persalinan adalah upaya untuk melahirkan
janin menjelang aterm dalam keadaan belum terdapat tanda–tanda persalinan atau
belum inpartu, dengan kemungkinan janin dapat hidup di luar kandungan (umur di
8
3. Mekanisme persalinan
a. Pengertian Denominator atau petunjuk adalah kedudukan dari salah satu bagian
dari bagian depan janin terhadap jalan lahir.Hipomoklion adalah titik putar atau
Engagement lengkap terjadi bila kepala sudah mencapai Hodge III. Bila
engagement sudah terjadi maka kepala tidak dapat berubah posisi lagi, sehingga
sering juga disebut fiksasi. Pada kepala masuk PAP, maka kepala dalam posisi
melintang dengan sutura sagitalis melintang sesuai dengan bentuk yang bulat
lonjong. Seharusnya pada waktu kepala masuk PAP, sutura sagitalis akan tetap
mendekati promontorium.
symphisis.
9
2) Descensus = penurunan Ialah penurunan kepala lebih lanjut kedalam panggul.
terjadi pada waktu kepala terdorong His kebawah kemudian menemui jalan
lahir.Pada waktu kepala tertahan jalan lahir, sedangkan dari atas mendapat
depan, sehingga ubun -ubun kecil berada di bawah symphisis (HIII). Faktor-
faktor yang mempengaruhi : perubahan arah bidang PAP dan PBP, bentuk jalan
menyebabkan terjadinya hal ini ialah : lengkungan panggul sebelah depan lebih
pendek dari pada yang belakang. Pada waktu defleksi, maka kepala akan
symphisis sehingga berturut – turut lahir ubun – ubun besar, dahi, muka dan
akhirnya dagu.
bayi).
10
Gambar 2.1 Mekanisme Persalinan Normal (Presentase Kepala).
4. Fisiologis persalinan
mulai dari berlangsungnya partus antara lain penurunan kadar hormon progesteron
Menurunnya kadar hormon ini terjadi 1-2 minggu sebelum persalinan. Kadar
11
pada ganglion servikale dari fleksus frankenhauser di belakang servik
a. Tenaga Atau Kekuatan (Power) Adalah kekuatan yang mendorong janin dalam
persalinan. Kekuatan yang berguna untuk mendorong keluar janin adalah his,
b. Jalan Lahir (Passage) Merupakan faktor jalan lahir, terbagi menjadi 2 yaitu
bagian keras (tulang panggul) dan bagian lunak (uterus, otot dasar panggul dan
c. Janin (Passanger) Meliputi sikap janin, letak janin, presentasi, bagian presentasi,
serta posisi. Sikap janin menunjukkan hubungan bagian tubuh janin yang satu
dengan bagian yang lain. Letak janin dilihat berdasarkan hubungan sumbu
tubuh janin dibandingkan dengan sumbu tubuh ibu. Presentasi digunakan untuk
menentukan bagian janin yang ada dibagian bawah rahim yang dijumpai pada
palpasi atau pada pemeriksaan dalam. Bagian presentasi adalah bagian tubuh
janin yang pertama kali teraba oleh jari pemeriksa saat melakukan pemeriksaan
12
e. Penolong Peran dari penolong persalinan adalah mengantisipasi dan menangani
komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan janin (Rohani, dkk., 2017).
a. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur
b. Keluar lendir bercampur darah (blood show) yang lebih banyak karena
dapat melahirkan bayi dengan sempurna. Ada dua cara persalinan yaitu persalinan
lewat vagina yang lebih dikenal dengan persalinan alami dan persalinan caesar atau
1) Persalinan Spontan yaitu persalinan yang berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri
2) Persalinan Buatan yaitu persalinan yang dibantu dengan tenaga dari luar, misalnya
b. Section Cesaria (SC) section caesarea yaitu tindakan operasi untuk mengeluarkan
bayi dengan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim
dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Prawirohardjo, 2018).
13
8. Tahap-Tahap Persalinan
a. Kala I
Kala pertama adalah dilatasi serviks untuk menyiapkan jalan lahir bagi janin.
Kala ini dimulai saat persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10 cm).
Proses ini terbagi dalam 2 fase, fase laten (8 jam) serviks membuka sampai 3
cm dan fase aktif (7 jam) serviks membuka dari 3 sampai 10 cm. Kontraksi
3) Keluar cairan dari vagina dalam bentuk lendir bercampur darah Kala I dibagi
dalam 2 fase: 1) Fase laten Dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan
kehamilan; riwayat medik; riwayat social; terakhir kali makan dan minum;
b) Pemeriksaan Umum : Tanda vital, BB, TB, Oedema; kondisi puting susu;
kandung kemih.
14
c) Pemeriksaan Abdomen : Bekas luka operasi; tinggi fundus uteri; kontraksi;
e) Pemeriksaan Penunjang : Urine: warna, kejernihan, bau, protein, BJ, dan lain-
(kontraksi dianggap adekuat jika terjadi tiga kali atau lebih), serviks membuka
pembukaan lengkap (10 cm) dan terjadi penurunan bagian terbawah janin.
adalah alat bantu yang digunakan selama fase aktif persalinan. Tujuan utama
15
uterus (setiap ½ jam), pembukaan serviks (setiap 4 jam), penurunan kepala
(setiap 4 jam). Kesejahteraan ibu Nadi (setiap ½ jam), tekanan darah dan
temperatur tubuh (setiap 4 jam), prodeksi urin , aseton dan protein (setiap 2
Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm)
dan berakhir dengan lahirnya bayi. Wanita merasa hendak buang air besar
karena tekanan pada rektum. Perinium menonjol dan menjadi besar karena
anus membuka. Labia menjadi membuka dan tidak lama kemudian kepala
janin tampak pada vulva pada waktu his. Pada primigravida kala II
berlangsung 1,5-2 jam, pada multi 0,5-1 jam. Tanda dan gejala kala II :
vaginanya.
vaginanya.
Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang
16
aktif pada kala III (pengeluaran aktif plasenta) membantu menghindarkan
dalam waktu dua menit setelah bayi lahir, dan setelah dipastikan kehamilan
sampai 80 mmHg, kekuatan kontraksi ini tidak diikuti oleh interval pembuluh
pengeluaran darah post partum. Kekuatan his dapat dirasakan ibu saat
posterior (Rohani,dkk., 2016). Tanda dan gejala kala IV : bayi dan plasenta
telah lahir, tinggi fundus uteri 2 jari bawah pusat. Pemantauan Selama 2 jam
17
kemih dan perdarahan yang terjadi setiap 15 menit dalam satu jam pertama
dan setiap 30 menit dalam satu jam kedua kala IV (Prawirohardjo, 2018).
perhatian terhadap tekanan darah, denyut jantung janin, frekuensi dan lama
keadaan normal periksa dalam cukup setiap 4 jam sekali dan harus selalu
secara aseptik.
selama proses persalinan,jika ada tanda-tanda gawat janin (DJJ kurang dari
100 kali/menit atau lebih dari 180 kali/menit) harus dilakukan setiap 15
menit, DJJ harus didengarkan selama dan segera setelah kontraksi uterus.
5) Catat semua temuan dan pemeriksaan fase laten persalinan pada kartu ibu
jam, lebih sering jika ada indikasi. Catatan harus selalu memasukkan DJJ,
18
6) Mengijinkan ibu untuk untuk memilih orang yang
7) Secara rutin selama proses persalinan, ibu harus berkemih sedikitnya akan
persalinan.
membantu ibu berganti posisi. Ibu boleh berjalan, berdiri, duduk, jongkok,
atau lebih sering jika ibu merasa ingin berkemih atau jika kandung kemih
terasa penuh.
KALA II
11) Mengamati tanda dan gejala kala II yaitu ibu mempunyai keinginan untuk
meneran, ibu merasa tekanan yang semakin meningkat pada rectum dan
19
12) Memastikan perlengkapan, bahan dan obat-obatan esensial siap digunakan.
13) Melepaskan semua perhiasan, mencuci kedua tangan dengan sabun dan air
bersih.
14) Memakai alat pelindung diri secara lengkap (topi, kacamata, masker,
dibasahi dengan air DTT. Jika mulut vagina, perineum, atau anus
dengan cara menyeka dari depan ke belakang. Membuang kapas atau kassa
yang masih memakai sarung tangan kotor kedalam larutan klorin 0,5% dan
20
19) Memeriksa denyut jantung janin (DJJ) setelah kontraksi berakhir untuk
20) Memberitahu ibu bahwa pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik.
21) Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk meneran
(pada saat ada kontraksi, bantu ibu berada dalam posisi setengah duduk
22) Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan yang kuat
ibu berbaring miring, ia akan lebih mudah untuk meneran jika lutut ditarik
23) Meminta ibu untuk tidak mengangkat bokong saat meneran dan tidak
24) Menganjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok, atau mengambil posisi yang
aman. Jika ibu belum meneran dalam 60 menit, anjurkan ibu untuk mulai
kontraksi.
25) Jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5-6 cm, letakkan
handuk bersih diatas perut ibu untuk mengeringkan bayi dan letakkan kain
26) Membuka partus set dan memakai sarung tangan steril pada kedua tangan.
21
27) Saat kepala bayi membuka vulva dengan diameter 5-6 cm, lindungi
perineum dengan satu tangan (dibawah kain bersih dan kering), ibu jari
pada salah satu sisi perineum dan 4 jari tangan pada sisi yang lain dan
tangan yang lain pada belakang kepala bayi. Tahan belakang kepala bayi
agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara bertahap melewati
28) Setelah kepala bayi lahir, minta ibu untuk berhenti meneran dan bernapas
cepat. Periksa leher bayi apakah terlilit oleh tali pusat. Jika ada lilitan di
leher bayi cukup longgar maka lepaskan lilitan tersebut dengan melewati
kepala bayi. Jika lilitan tali pusat sangat erat maka jepit tali pusat dengan
klem pada 2 tempat dengan jarak 3 cm, kemudian potong tali pusat diantara
2 klem tersebut.
29) Setelah menyeka mulut dan hidung bayi dan memeriksa tali pusat, tunggu
30) Setelah bayi melakukan putaran paksi luar, letakkan tangan pada sisi kiri
dan kanan kepala bayi. Menganjurkan ibu untuk meneran saat kontraksi
berikutnya. Dengan lembut menariknya kea rah bawah dan ke arah luar
hingga bahu depan melewati shimpisis, setelah bahu depan lahir, gerakkan
kepala ke atas dan lateral tubuh bayi sehingga bahu bawah dan seluruh
dada dilahirkan.
31) Saat bahu posterior lahir, geser tangan bawah kearah perineum dan
sanggah bahu dan lengan atas bayi pada tangan tersebut. Gunakan tangan
yang sama untuk menopang lahirnya siku dan tangan posterior saat
22
melewati perineum. Tangan bawah menopang samping lateral tubuh bayi
saat lahir. Secara simultan, tangan atas menelusuri dan memegang bahu,
32) Dari arah belakang, sisipkan jari telunjuk tangan atas diantara kedua kaki
bayi yang kemudian dipegang dengan ibu jari dan ketiga jari tangan yang
lainnya.
33) Menilai bayi dengan cepat (dalam 30 detik), Letakkan bayi diatas kain atau
handuk yang telah disiapkan pada perut bawah ibu dan posisikan kepala
bayi sedikit lebih rendah dari tubuhnya. Bila bayi mengalami asfiksia
34) Segera keringkan dan sambil melakukan rangsangan taktil pada tubuh bayi
dengan kain atau selimut di atas perut ibu. Pastikan bahwa kepala bayi
KALA III
37) Segera (dalam satu menit setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin 10 unit IM
38) Menjepit tali pusat menggunakan klem kira-kira 3 cm dari pusat bayi.
Melakukan urutan pada tali pusat mulai dari klem kea rah ibu dan
23
39) Memegang tali pusat dengan satu tangan, melindungi bayi dari gunting dan
40) Mengeringkan bayi secara seksama, memberikan bayi kepada ibunya dan
41) Memindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva.
42) Meletakkan satu tangan diatas perut ibu (beralaskan kain) tepat diatas
shimpisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus dan
43) Menunggu uterus berkontraksi dan setelah terjadi kontraksi, regangkan tali
pusat dengan satu tangan dengan lembut. Dan tangan yang lain melakukan
tekanan yang berlawanan arah pada bagian bawah uterus dengan cara
44) Setelah plasenta terlepas, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta
45) Pada saat plasenta terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan
ketuban mudah robek, pegang plasenta dengan kedua tangan dan secara
24
46) Lakukan penarikkan dengan lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan
selaput ketuban.
b. Jelaskan tindakkan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin merasa agak
c. Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada
48) Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastikan keduanya lengkap dan
utuh.
a. Periksa plasenta sisi maternal (yang melekat pada dinding uterus) untuk
memastikan bahwa semuanya lengkap dan utuh (tidak ada bagian yang
hilang).
49) Mengevaluasi adanya laserasi pada vagina dan perineum dan segera
25
KALA IV
50) Sangat penting untuk menilai keadaan ibu beberapa kali selama dua jam
51) Melakukan penilaian dan masase fundus uteri setiap 15 menit selama 1 jam
banyak darah yang keluar dari vagina. Jika fundus tidak teraba keras, terus
jumlah perdarahan yang keluar dari vagina. Periksa perineum ibu apakah
52) Periksa tekanan darah dan nadi ibu setiap 15 menit selama satu jam pertama
setelah persalinan, dan setiap 30 menit selama satu jam kedua setelah
persalinan.
53) Lakukan palpasi kandung kemih ibu setiap 15 menit selama satu jam
kedua setelah persalinan. Bila kandung kemih ibu penuh dan meregang,
mintalah ibu untuk BAK, jangan memasang kateter kecuali ibu tidak bisa
sesudah melahirkan.
26
54) Menempatkan semua peralatan didalam larutan klorin 0,5% untuk
dekontaminasi.
sesuai.
larutan klorin 0,5% dan membilas dengan air bersih. Mencelupkan sarung
Partograf
dikatakan sebagai data yang lengkap bila seluruh informasi ibu, kondisi
janin, kemajuan persalinan, waktu dan jam, kontraksi uterus, kondisi ibu,
27
dan asuhan atau tindakan yang diberikan dicatat secara rinci sesuai cara
2) Kondisi janin
3) Kemajuan persalinan
a) Pembukaan serviks;
5) Kontraksi uterus
28
6) Obat-obatan yang diberikan
a) Oksitosin;
7) Kondisi ibu
Adapun cara pengisian partograf yaitu pencatatan dimulai saat fase aktif
yaitu pembukaan serviks 4 cm dan berakhir titik dimana pembukaan lengkap atau
perjam. Pencatatan selama fase aktif persalinan harus dimulai digaris waspada
merasakan mules.
b. Kondisi janin.
1) Denyut Jantung Janin. Nilai dan catat denyut jantung janin (DJJ) setiap 30
menit (lebih sering jika terdapat tanda – tanda gawat janin). Setiap kotak
tebal angka 180 dan 100. Bidan harus waspada jika DJJ mengarah dibawah
120 per menit ( bradicardi) atau diatas 160 permenit (tachikardi). Beritanda
‘•’ (tanda titik) pada kisaran angka 180 dan 100. Hubungkan satu titik
29
2) Warna dan adanya air ketuban. Catat warna air ketuban setiap melakukan
3) Penyusupan atau molase tulang kepala janin. Setiap kali melakukan periksa
dalam, nilai penyusupan antar tulang (molase) kepala janin. Catat temuan
yang ada di kotak yang sesuai dibawah lajur air ketuban. Gunakan lambang-
lambang berikut:
0 : Sutura terpisah.
pelvic disproportion).
dilatasi serviks.
1) Pembukaan serviks. Saat ibu berada dalam fase aktif persalinan, catat pada
serviks setiap 4 jam. Menyantumkan tanda ‘X’di garis waktu yang sesuai
30
2) Penurunan bagian terbawah janin. Untuk menentukan penurunan kepala
setiap 4 jam. Menuliskan turunnya kepala janin dengan garis tidak terputus
dari 0-5. Berikan tanda ‘0’ pada garis waktu yang sesuai. Periksa luar
3/5 H II - III Bagian terbesar kepala belum masuk panggul. = 2/5 H III +
b) Garis bertindak, tertera sejajar, disebelah kanan (berjarak 4 jam) pada garis
1) Waktu mulainya fase aktif persalinan. Setiap kotak menyatakan satu jam
31
2) Waktu aktual saat pemeriksaan atau persalinan. Menyantumkan tanda ‘x’
menit jumlah unit oksit osin yang diberikan per volume cairan dan
IV. Mencatat semua dalam kotak yang sesuai dengan kolom waktunya.
g. Kondisi ibu.
a) Nadi, dicatat setiap 30 menit. Beri tanda titik (•) pada kolom yang
sesuai.
b) Tekanan darah, dicatat setiap 4 jam atau lebih sering jika diduga ada
penyulit. Memberi tanda panah pada partograf pada kolom waktu yang
sesuai.
c) Suhu tubuh, diukur dan dicatat setiap 2 jam atau lebih sering jika
32
2. Lembar belakang partograf. Lembar belakang partograf merupakan catatan
persalinan yang berguna untuk mencatat proses persalinan yaitu data dasar, kalaI,
kalaII, kalaIII, kalaIV, bayi baru lahir (Dewi Asri dan Cristine Clervo, 2012).
a. Data dasar. Data dasar terdiri dari tanggal, nama bidan, tempat persalinan, alamat
penatalaksanaannya.
c. KalaII. Kala II terdiri dari episiotomi, pendamping persalinan, gawat janin, distosia
d. KalaIII. Kala III berisi informasi tentang inisiasi menyusu dini, lama kala III,
kelengkapan plasenta, retensio plasenta > 30 menit, laserasi, atonia uteri, jumlah
e. Kala IV berisi tentang data tekanan darah, nadi, suhu tubuh, tinggi fundus uteri,
f. Bayi baru lahir. Bayi baru lahir berisi tentang berat badan, panjang badan, jenis
kelamin, penilaian bayi baru lahir, pemberian ASI, masalah lain dan hasilnya.
33
Gambar 2.1 Pathways
Bobak,2016:Varney, 2013:Prawirorahardjo:2018
34
Gambar 2.2 Pathways
Bobak,2016:Varney, 2013:Prawirorahardjo:2018
35
9. Teori Manajemen Asuhan Kebidanan
ilmiah, temuan, dan keterampilan dalam rangkaian atau tahapan yang logis untuk
Langkah I : Pengkajian
a. Data Subjektif.
Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap dari
1) Identitas mencakup:
b) Umur Umur merupakan salah satu faktor penentu apakah usia ibu
wanita adalah lebih dari 20 tahun dan kurang dari 35 tahun. Jika usia ibu
untuk hamil atau melahirkan < 20 tahun dan > 35 tahun, maka itu
36
d) Pekerjaan. Masalah utama jika bekerja saat hamil, adalah resiko terkena
yang dialami ibu bersalin normal adalah: rasasakit karena adannya his
yang datang lebih kuat, sering dan teratur, keluar lendir bercampur darah
tidak.
37
e) Jumlah kunjungan kehamilan selama ibu hamil mulai trimester I
penyakit tetanus pada bayi dan ibu yang dimulai pada awal kehamilan
dengan obat-obat), jumlah anak yang lahir hidup, keadaan bayi saat lahir,
berat badan lahir 2500 gram – 4000 gram dan komplikasi. Membantu
masalah potensial.
pernah di pakai seperti suntik, Pil, IUD, Implat, dan untuk dapat
menjarangkan kehamilan.
melahirkan.
agama, status ekonomi, dan keadaan tempat tinggal, serta pekerjaan ibu
setiap hari yang berat, pekerjaan yang baik untuk ibu selama hamila
38
10) Perilaku kesehatan.
baru lahir dan dengan berat bayi lebih rendah. Peminum berat bisa
11) Riwayat latar belakang budaya. Ditanyakan kebudayaan agar dapat megetahui
pantangan pada saat ibu hamil atau pada saat mau melahirkan seperti tidak
12) Riwayat seksual. Perubahan dalam hasrat seksual adalah hal wajar, dan hasrat
a) Pola mandi: megetahui apakah personal hygiene ibu baik atau tidak.
agar payudara tetap bersih dan puting susu tidak tengelam, perawatan dan
39
pemijatan payudara menggunakan air bersih, baby oil, atau air sabun dan
b. Data Objektif.
1) Pemeriksaan Umum.
a) Keadaan umum: untuk mengetahui keadaan umum ibu yaitu baik, sedang,
buruk.
somnolen.
c) TTV: frekuensi nadi dapat sedikit meningkat (80 x/mnt – 100 x/mnt). Tekanan
mmHg). Suhu 36,5 º C – 37,5 º C, jika > 36 ºC menandakan dehidrasi dan 145).
d) Tinggi Badan. Tinggi badan normal pada ibu hamil, jika tinggi badan kurang dari
normal (> 145) maka dicurgai panggul ibu sempit atau CPD dan akan
e) Berat Badan. Selama trimester pertama berat badan ibu bertambah sebanyak 7-8
kg, selama trimester kedua dan trimester ketiga berat badan ibu hamil
kecukupan gizi dari ibu hamil dan melahirkan. Lila normal ibu hamil adalah:
23,5 cm. Ibu dengan Lila > 23,5 beresiko mengalami partus lama karena
40
2) Pemeriksaan fisik.
gangguan.
linea nigra, serta memeriksa TFU untuk megetahui tafsiran berat badan
i) Leopold II: untuk menentukan dimana letaknya punggung anak dan dimana
j) Leopold III: untuk menentukan apa yang terdapat dibagian bawah dan
apakah bagian bawah anak ini sudah atau belum terpegang oleh pintu atas
panggul.
41
k) Leopold IV: untuk menentukan apa yang menjadi bagian bawah dan berapa
l) MC donal dan TBBJ: untuk menentukan tafsiran berat badan janin sesuai
apabila kepala sudah masuk PAP dengan penurunan kepala 2/5, 1/5, 0/5,
dan TFU – 12 X 155 apabila kepala belum masuk PAP dan penurunan
kepala 3/5, 4/5, 5/5, pada pemeriksaan dalam kepala turun hodge I, II, dan
III (Konvergen).
kehamilan.
o) Vulva: bentuk normal, labia mayora menutupi labia minora, tidak ada
Infeksi menular seksual, dan kelainan pada vagina atau varices, varices
persalinan.
p) Anus: dapat dicatat bila ada ruam, benjolan, dan hemoroid, ibu yang
42
dalam atau VT. Tujuan: Dilakukan pemeriksaan dalam untuk megetahui
10 cm.
d) Ketuban (U: ketuban utuh, J: air ketuban sudah pecah dan jernih, M: air
dipalpasi.
dipisahkan,
3 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak bisa dipisahkan.
4) Pemeriksaan Laboratorium.
43
b) Darah:dilakukan pada ibu hamil terutama adalah pemeriksaan kadar Hb
kurang dari 10 % gram, anemia sedang kurang dari 8 % gram, dan anemia
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau
masalah dan kebutuhan klien terhadap interpretasi yang benar atas data – data yang
Mencari hubungan antara data atau fakta yang ada untuk menentukan sebab
yang serius yang dituangkan dalam rencana asuhan terhadap klien. Berdasarkan
atas tanda dan gejala serta hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan maka dapat
ditentukan:
1. Diagnosa Kebidanan Ny. X G.. P.. A.. AH.. UK. minggu, janin tunggal, hidup,
intruterin, presentasi kepala, keadaan ibu dan janin baik, inpartu kala 1 fase aktif.
a. Data Subyektif
2) Ibu mengatakan nyeri perut bagian bawah menjalar ke pinggang sejak ....
44
3) Ibu mengatakan keluar lendir darah dari jalan lahir sejak....
b. Data Obyektif
2) TTV: Tensi (Batas normal 90/60 mmHg-130/90 mmHg), nadi (80 x/mnt-100
4) Pemeriksaan Leopold.
5) Pemeriksaan Dalam
2. Masalah
tingkah laku, relaksasi saat ada his, dukungan moril, nutrisi yang adekuat. Pada
yang berlebihan, penglihatan kabur. Pada kasus ini diagnosa potensial yang
a) Siapkan alat dan bahan sesuai saff yakni partus set, heacting set, obat dan alat-
45
Langkah III : Diagnosa Potensial
menghadapi diagnosis atau masalah potensial yang benar – benar akan terjadi.
Langkah ini penting sekali dalam melakukan asuhan yang aman (Jannah, 2016).
dokter dan tau untuk konsultasi atau ditangani bersama dengan anggota tim
Langkah V : Perencanaan
kemajuan persalinan. b) Observasi DJJ,his, dan nadi ibu setiap 30 menit, suhu
setiap 2 jam, tekanan darah, pembukaan dan penurunan kepala setiap 4 jam atau
46
Anjurkan ibu tidur dalam posisi miring kiri atau kanan. e) Anjurkan ibu untuk
Langkah VI : Pelaksanaan
pada langkah kelima di atas dilaksanakan secara efisien dan aman (Jannah,
2016).
mengatasi diagnosis dan masalah yang telah diidentifikasi. Evaluasi pada kasus
ini yaitu:
47
Bagan 1
Pengkajian Pengumpulan
Data Dasar
Mengidentifikasi Diagnosa
dan Masalah Potensial
Manajemen
Identifikasi Tindakan Segera
Varney
Varney Perencanaan
Pelaksanaan
Evaluasi
48
Data Perkembangan menggunakan SOAP
klien,hasil laboratorium dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data
49
FORMAT PENDOKUMENTASIAN
ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN (INC)
Penanggung jawab
Nama : Tn. S
Umur : 28 Tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : RT. 32 Talang Banjar
No. Telp/HP : 082306418363
Hubungan dengan klien : Suami
KELUHAN UTAMA :
Ibu mengatakan mengatakan nyeri perut bagian bawah dan sudah mengeluarkan lendir bercampur
darah.
2 Riwayat kehamilan persalinan dan nifas yang lalu
50
3 Riwayat kehamilan saat ini : G2 P 1 A 0 H1
Imunisasi :
✓ TT 1 ✓ Hepatitis
Lain-lain
4 Riwayat penyakit keluarga dan atau operasi yang lalu: (jenis penyakit/operasi, dimana dan kapan)
Infentilitas infeksi virus PMS Servisitis kronis Endrometriosis
Myoma Polip servix Kanker kandungan Operasi kandungan
✓ Lain-lain : tidak ada.....................................................................................................................
5 Makan/Minum/Eliminasi
Kapan terakhir kali makan/minum : 05.00 WIB
Jenis makanan/minuman yang sering dikonsumsi :
Nasi, sayur,lauk, buah,air putih, susu
(bila terdapat gangguan pada pola makan minum, hitung secara kuantitas/kualitas di lembar lain, kolaborasi
dengan ahli gizi)
51
B DATA OBYEKTIF (PEMERIKSAAN FISIK) :
Keadaan umum :
1 Tanda-tanda vital : TD: 110/70mmHg N :76 x/mnt S : 36,5 0
C
RR : 20 x/mnt
Abdomen :
Bekas operasi : Ada ✓ Tidak ada
PEMERIKSAAN KHUSUS
PALPASI
- Tinggi fundus : 34 cm - Bagian terdapat dalam Fundus :
- Presentasi : kepala
- Posisi : puka - Penurunan : 2/5
- Pergerakan : aktif
- kontraksi : 3x10’/40’’ - TBJA : 3100 gram
AUSKULTAS
- DJJ : 130 x/mnt ✓. Teratur Tidak teratur ✓ Kuat Lemah
- lain-lain : …………………………………………………….
PERKUSI
Repleks patella : kanan /kiri +/+
Ano-genetalia
- Vulva : ✓ Bersih Kotor Varises Edema
- Pengeluaran : Tdk.ada ✓ darah-lendir keputihan
Air ketuban, karakteristik ………………………………………….
Darah, Karakteristik ……………………………………………….
- Hemorroid : ✓ Tdk.ada Ada, jelaskan ………………………………….
- Lain-lain : tidak ada
52
TOUCHER/PERIKSA DALAM
2
- Tgl : 06-03-2019 Pukul : 09.00 Wib, oleh : Bidan
- Indikasi : tidk ada
⚫ Portio : ✓ tipis Tebal Lembut Kaku
⚫ Pendataran ✓
: 25% 50% 75% 100%
⚫ Pembukaan : 6 cm
⚫ Ketuban : ✓ utuh warna ………………………………….
√
⚫ Presentase : ✓ kepala, uuk: kecil/kanan/depan/belakang
⚫ Penurunan : HI √ H II H III H IV
⚫ Lain-lain : tidak ada..............................................................................................
3 Pemeriksaan Penunjang
Hb : - CT/BT : …../…… Ht : ……………………
Lain-lain : tidak dilakukan.....................................................................................................................
Jambi, 2019
Mahasiswa
Pembimbing Lahan
( ) ( )
Dosen Pembimbing
( )
53
PERENCANAAN
54
CATATAN PELAKSANAAN
55
06-07- 2021/ 1) Memberitahu ibu seluruh hasil pemeriksaan bahwa ibu
11.00 Wib sekarang dalam proses persalinan dengan pembukaan 6
cm, ibu belum boleh meneran karena pembukaan belum
lengkap, dan saat ini kondisi janin baik, keadaan ibu dalam
batas normal.
2) Informed consent dengan ibu dan keluarga atas tindakan
yang akan dilakukan antara bidan dengan klien, apabila
ada indikasi maka pihak keluarga bersedia untuk dirujuk.
3) Menjelaskan tanda-tanda persalinan fisiologis yaitu rasa
sakit oleh adanya his yang datangnya lebih kuat dan sering,
teratur, keluar lendir darah yang lebih banyak karena
robekan-robekan kecil pada servik, yang kadang-kadang
ketuban pecah sendirinya, pada pemeriksaan dalam servik
mendatar dan pembukaan telah ada.
4) Mengajarkan ibu teknik relaksasi yaitu dengan cara
mengajarkan teknik bernafas dengan menarik nafas dari
hidung dan mengeluarkan lewat mulut.
5) Menganjurkan ibu untuk istirahat senyaman mungkin
dengan posisi miring ke kiri dan jangan terlalu terlentang
agar sirkulasi darah janin tidak terganggu.
6) Memberikan nutrisi dan hidrasi pada ibu supaya ibu ada
tenaga untuk meneran, selain itu juga agar ibu tidak
dehidrasi.
7) Menganjurkan ibu untuk tidak menahan berkemih karena
bila kandung kemih penuh bisa memperlambat proses
penurunan kepala janin.
8) Memberitahu ibu posisi yang nyaman saat bersalin seperti
jongkok,duduk,berdiri, setengah jongkok dan setengah
duduk. Ibu mengerti dan memutuskan untuk memilih
posisi setengah duduk pada saat proses persalinan nanti.
9) Memberikan dukungan emosional kepada ibu. Ibu berdoa
sesuai keyakinan agar ibu tetap tenang dan sabar sehingga
persalinan berjalan lancar.
10) Mempersiapkan ruangan,alat,obat,perlengkapan ibu dan
bayi.
11) Memantau kemajuan persalinan(pembukaan servik dan
penurunan) 4 jam kemudian atau apabila ada indikasi
56
(ketuban pecah dini, keluar darah semakin banyak). His
dan djj setiap 30 menit sekali.
57
PERENCANAAN
58
dengan meletakkan kain diantara kedua
paha ibu. Kain yang kering dan bersih telah
disiapkan diantara kedua paha ibu.
10) Tolong proses kelahiran bayi dengan cara
meletakkan tangan kanan diperinium ibu
dengan menggunakan kain bersih dan
meletakkan tangan kiri diatas simfisis ibu
untuk menahan puncak kepala bayi dan
membantu lahirnya kepala.
11) Anjurkan ibu untuk meneran perlahan atau
bernafas cepat dan dangkal. Setelah kepala
bayi lahir dengan lembut, menyeka muka,
mulut dan hidung bayi dengan kasa steril.
Periksa kemungkinan adanya lilitan tali
pusat, menunggu hingga kepala bayi
melakukan putaran paksi luar secara
spontan. Tidak ada lilitan tali pusat.
12) Lahirkan bahu dengan memegang kepala
bayi secara biparietal, dengan lembut
membawa kepala bayi kearah perineum
untuk melahirkan bahu anterior, dan
menggerakkan kearah simfisis untuk
melahirkan bahu posterior sambil anjurkan
ibu untuk meneran secara perlahan. Bahu
anterior dan posterior telah lahir.
13) Lakukan sanggah susur hingga seluruh
tubuh bayi lahir, menyelipkan jari telunjuk
diantara kedua tungkai kaki bayi lalu
meletakkan bayi diantara kedua paha ibu.
59
CATATAN PELAKSANAAN
60
10) Menolong proses kelahiran bayi dengan cara meletakkan
tangan kanan diperinium ibu dengan menggunakan kain
bersih dan meletakkan tangan kiri diatas simfisis ibu untuk
menahan puncak kepala bayi dan membantu lahirnya kepala.
11) Menganjurkan ibu untuk meneran perlahan atau bernafas
cepat dan dangkal. Setelah kepala bayi lahir dengan lembut,
menyeka muka, mulut dan hidung bayi dengan kasa steril.
Periksa kemungkinan adanya lilitan tali pusat, menunggu
hingga kepala bayi melakukan putaran paksi luar secara
spontan. Tidak ada lilitan tali pusat.
12) Melahirkan bahu dengan memegang kepala bayi secara
biparietal, dengan lembut membawa kepala bayi kearah
perineum untuk melahirkan bahu anterior, dan
menggerakkan kearah simfisis untuk melahirkan bahu
posterior sambil menganjurkan ibu untuk meneran secara
perlahan. Bahu anterior dan posterior telah lahir.
13) Melakukan sanggah susur hingga seluruh tubuh bayi lahir,
menyelipkan jari telunjuk diantara kedua tungkai kaki bayi
lalu meletakkan bayi diantara kedua paha ibu. Bayi lahir
pukul 20.00 wib, jenis kelamin perempuan.
61
PERENCANAAN
62
keluarga untuk melakukan sendiri.
11) Memeriksa kelengkapan plasenta bagian
maternal dan fetal. Plasenta lahir lengkap.
63
CATATAN PELAKSANAAN
64
teraba keras) kemudian mengajarkan kepada ibu dan
keluarga untuk melakukan sendiri.
11) Memeriksa kelengkapan plasenta bagian maternal
dan fetal. Plasenta lahir lengkap.
65
PERENCANAAN
66
sehingga uterus berkontraksi (Fundus
teraba keras) dan beritahu ibu jika fundus
teraba lembek menandakan kontraksi
kurang baik dan segera beritahu.
10) Informasikan pada ibu tentang tanda dan
bahaya nifas yaitu uterus tidak
berkontraksi, perdarahan, sakit kepala hebat
dan kejang.
11) Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya
sesering mungkin minimal setiap 2 jam
sekali di kedua payudara secara bergantian,
hasilnya ibu mengatakan mau menyusui
bayinya.
12) Lakukan pemantauan kala IV telah
dilakukan selama 1-2 jam post partum dan
hasil pemantauan tidak ditemukan tanda-
tanda kegawatdaruratan pada tabel dibawah
ini.
67
CATATAN PELAKSANAAN
68
dan segera beritahu.
10) Menginformasikan pada ibu tentang tanda dan bahaya
nifas yaitu uterus tidak berkontraksi, perdarahan, sakit
kepala hebat dan kejang.
11) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya sesering
mungkin minimal setiap 2 jam sekali di kedua payudara
secara bergantian, hasilnya ibu mengatakan mau menyusui
bayinya.
12) Melakukan pemantauan kala IV telah dilakukan selama 1-
2 jam post partum dan hasil pemantauan tidak ditemukan
tanda-tanda kegawatdaruratan pada tabel dibawah ini.
69
KONTROL HIS
Nama Ibu : Ny.Y
Umur : 27 Tahun
Alamat : RT. 32 Jeramba bolong
140x/i 3x10’ 78 21
11.30 wib 30”
140x/i 3x10’ 78 21 ±
12.00 wib 30” 200
ml
135x/i 4x10’ 78 20
12.30 wib 30”
130x/i 4x10’ 80 22
13.30 wib 32”
70
LAPORAN PERSALINAN
06-07-2021 Ibu mengatakan nyeri perut bagian bawah dan sudah mengeluarkan lendir bercampur
Kala I darah.
fase aktif Melakukan pemeriksaan dengan hasil
11.00 Wib K/U: baik, TD: 110/70 mmHg, S: 36,50C, N: 76 x/menit, RR: 20x/menit, Kontraksi:
3x10’/40’’, DJJ: (+), Frek: 135x/mnt, VT porsio tipis, pembukaan 5 cm, penurunan H
II, presentasi kepala.
Bayi lahir normal segera menangis, bayi diletakkan diatas perut ibu dan pastikan tidak
16.40 Wib ada janin kedua, jika tidak ada maka suntikkan oksitosin 10 U/IM paha atas ibu bagian
luar, kemudian klem tali pusat ±3-5 cm dari pangkal tali pusat, lalu klem kedua ±2-3
cm dari klem pertama dan potong tali pusat diantara kedua klem, setelah itu anjurkan
ibu untuk segera melakukan IMD pada bayinya.
71
Kala III Melakukan peregangan tali pusat terkendali dengan tangan kanan, tangan kiri menekan
17.05 wib korpus uteri, melihat tanda-tanda pelepasan plasenta telah lepas tarik tali pusat kebawah
dan keatas, sementara tangan kiri menekan korpus uteri kearah dorso cranial, saat
plasenta tampak diintroitus vagina, lahirkan plasenta dengan kedua tangan, putar
plasenta searah jarum jam hingga plasenta dan selaput janin lahir lengkap, lalu lakukan
masase pada fundus uteri secara sirkuler selama 1 detik.
Memeriksa kelengkapan plasenta:
Kotiledon : 20 buah
Panjang tali pusat : ±50 cm
Diameter : 20 cm
Tebal : 2,5 cm
Kontraksi uterus: Baik
Kandung kemih : kosong
Perdarahan : ±200 cc, dan insesri: sentralis, plasenta lengkap.
72
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
untuk menghubungkan antara data dengan fakta yang ada sehingga pada akhirnya
adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik
berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus
Berpikir kritis adalah cara berpikir tentang subjek, konten, atau masalah
yang dilakukan oleh pemikir secara aktif dan terampil secara konseptual dan
diberikan. Berpikir kritis harus diintergrasikan kepada seluruh profesi Bidan dan
yang akan dilakukan sehingga menghasilkan asuhan yang tepat dan bermutu.
B. Saran
mungkin.
73
2. Sebagai mahasiswa, kita harus lebih mengupdate ilmu asuhan kehamilan
khususnya tentang berfikir kritis, agar menambah wawasan, selain itu kita
sehingga tepat dalam membuat suatu keputusan dan tepat dalam memberikan
kepada seluruh profesi Bidan dan dimulai pada mahasiswa kebidanan untuk
74
DAFTAR PUSTAKA
Aditama.Bandung:1-197hlm.
Timur:205hlm.
EGC.Jakarta:235-337hlm.
Mochtar,2018. Pengaruh pendampingan suami terhadap ibu bersalin di BPS Prita Yusita
Aditama.Bandung:1-197.
75
Rohani,2016.Asuhan Kebidanan Persalinan.Penerbit CV Trans Info Media.Jakarta
Timur:205hlm.
76
Nurse Education Today 33 (2013) 847–852
Review
a r t i c l e i n f o s u m m a r y
Article history: Educationalists need to think outside the box to facilitate students to learn key information essential for pro-
Accepted 6 February 2012 fessional practice. The use of mind maps incorporated into an assessment strategy and programme is an
innovative way of facilitating students to understand key information. Mind maps have the potential to pro-
Keywords: vide students with a strategy for retaining information, integrating critical thinking and problem solving
Mind maps
skills. This article reviews the current discussion on mind maps and discusses the integration of mind
Assessment
Critical thinking
maps into a component of an assessment strategy.
Problem solving © 2012 Elsevier Ltd. All rights reserved.
⁎ Tel.: + 353 86 8075759. First year midwifery students in the second semester of their BSc
E-mail address: Maria.noonan@ul.ie. Midwifery programme were required to complete a workbook type
0260-6917/$ – see front matter © 2012 Elsevier Ltd. All rights reserved.
doi:10.1016/j.nedt.2012.02.003
848 M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852
Table 1
Articles related to mind maps in health education.
Boley (2008) To evaluate whether pre-made mind maps A convenience sample of 14 graduate students The MMG consistently outperformed the CG
depicting how the stages of the nursing pro- enrolled in the critical care nursing course The on weekly quiz scores.
cess were applied to critical care scenarios sample was divided into two groups, 9 students in
helped student's achieve measurable im- the mind map group (MMG) and 5 students in the
provements in learning. control group (CG). Outcomes were evaluated by
tracking the average out of seven quiz and test
scores for the MMG and CG.
Burgess-Allen and Owen- Utilised the mind map approach to Perspective article They found that this approach provided a
Smith, 2010. manage the qualitative data from patient graphical format for representing the key
participation focus groups. themes raised during the focus groups,
helped stimulate and focus discussion and
enhanced transparency and group ownership
of the analysis process.
Crowe and Sheppard, To present the argument for using mind Perspective article They suggest that mind maps can be used as a
2011. maps to visualise the complexities and extent strategy to teach, supervise and guide
of research methods. students through the concepts of research
methods and ultimately may facilitate
students to produce more robust research.
D'Antoni et al., 2009. Adapted a scoring system used to grade Quantitative study with 66 first year medical The MMAR was found to have high reliability
concept maps and formed the mind map students (ICC .86). Further realibility and validity
assessment rubric (MMAR). studies are required.
D'Antoni et al., 2010. To investigate whether a relationship existed A quasi-experimental study First-year medical stu- No significant differences in mean scores on
between mind mapping and critical thinking dents (N = 131) were randomly assigned to a stan- both the pre- and post –quizzes between
as measured by the health Science Reasoning dard note taking group or mind map group. note taking groups were idenified.
Test (HSRT).
Farrand et al., 2002. To examine the effectiveness of using the 50 second- and third-year medical undergraduate At one week the factual knowledge in the
‘mind map’ study technique to improve students randomly assigned to ‘self-selected study mind map group was greater by 10%.
actual factual recall from written information technique’ and ‘mind map'group Motivation for the techniques used was
lower in the mind map group.
Evaluated the integration of mind-mapped A summative survey was administered Students on the course reported that the use
care plans (MMCP) as an educational tool in anonymously to students (N = 34) within the final of mind maps helped them demonstrate
the nursing curriculum semester of the nursing curriculum. critical thinking, view the patient holistically,
using creativity in nursing care and
individualising the plan of care.
Mollberg et al., 2011. Discussed the use of mind mapping to Perspective article Mind mapping may be a valuable tool for
understand and potentially guide decision physicians to use to understand and
making and research in the diagnosis and potentially guide decision making and
management of lung cancer. research in the diagnosis and management of
lung cancer.
Mueller et al., 2002. Combined mind mapping and care planning Perspective article Anecdotal data about mind- mapped care
to encourage the use of critical , whole- plans suggest that their use enhances think-
brained, holistic thinking when applying the ing skills: critical thinking, whole brain
nursing process and using nursing diagnoses thinking, comprehensive thinking and
patient-centred thinking
Tattersall et al., 2011. Compared results derived from mind Descriptive The majority of the research themes revealed
mapping with those from interpretive by the traditional method of analysing
phenomenological analysis. Data from a qualitative date were comparable to those
study that explored patients’ and carers’ derived from mind mapping.
perceptions of a new nurse-led service were
analysed separately by three researchers.
Wickramasinghe et al., To evaluate the effectiveness of using mind A quasi-experimental study Seventy-four new entry There was no significant difference between
2007. maps as a self-learning method for new en- medical students were randomly assigned to two the marks of the two groups.
trants to the Faculty of Medicine, University equal groups designated the mind map group and
of Colombo. the self-selected study technique group.
Zipp et al., 2009. Explored whether students perceive that A quantitative post -test survey design. Pilot study. DPT students did not perceive that the mind
mind mapping learning technique enabled Doctor of Physical Therapy (DPT) students (n = 21) mapping learning technique enabled them to
them to better organise, prioritise and better organise, prioritise and integrate
integrate material presented in the course material presented in the course.
assessment for their Module on Midwifery Practice and Normal Birth. Overview of Mind Mapping
The workbook was designed so that students completed a set of ques-
tions on a weekly basis with some of the questions requiring mind Mind mapping has been used in a variety of disciplines including
maps. A detailed explanation of mind maps and what was expected medicine (Davies, 2010; D'Antoni et al., 2010; Mollberg et al., 2011;
of the students in their assessment was discussed on the first two Wickramasinghe et al., 2007; Farrand et al, 2002). Mind maps tech-
weeks of the module. Students are more likely to engage if they un- niques were first proposed and developed by Buzan in 1974 (Buzan
derstand how the assessment fits with their learning outcomes and Buzan, 2003, 2010). The advantages of mind mapping include
(Race and Pickford, 2007). An example of a simple mind map based its “free-form” and unconstrained structure, the generation of unlim-
on material unrelated to midwifery was provided to the students. ited ideas and links, promotion of creativity and encouragement of
M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852 849
“brainstorming” (Davies, 2010. Critical thinking occurs when stu- Disadvantages of Mind Maps
dents possesses both domain knowledge and the capacity to solve
problems and mind maps promote critical thinking by establishing The disadvantages of mind maps include limitation of types of
nonlinear relationship between concepts (Zipp et al., 2009). The mul- links to simple associations, absence of clear links between ideas,
tisensory nature of mind maps which include colour and pictures fa- difficult for a lecturer to read, inconsistent in level of detail and may
cilitate the conversion of information from short to long term be too complex and miss the overall picture (Davies, 2010).
memory (D'Antoni et al., 2010). In order for meaningful learning to
occur adult learners must link new information with their existing Use of Mind Maps in Nursing and Midwifery
knowledge. This position is based on the conceptual framework of
the constructivist learning theory and is the basis of many learning Mind maps can be used by students for note taking, planning for
strategies including mind maps (Zipp et al., 2009). There is now a examinations, assignments, research, reflective practice and midwife-
greater emphasis in universities on the development of transferable ry and nursing practice.
‘life’ skills' (Rust, 2002). Lifelong learning is a key aspect of a midwi-
fe's and nurses professional practice and mapping may be a resource Note Taking
that can be utilised to assist students and future practitioners of mid-
wifery and nursing, learn and organise key information essential for Standard note-taking systems require the use sentences, phrases,
practice. lists and lines and numbers and utilise only the left-cortex memory
Student approaches to learning should influence the assessment (Buzan, 2003). This system omits many important elements involved
strategies in use (Rust, 2002). One means of achieving a deeper in the right-cortex memory such as imagination, association, exagger-
approach to learning is to design assessments that create learning ation, contraction, absurdity, humour, colour, rhythm, the senses,
activity (Rust, 2002). Mind mapping requires more active engage- sexuality and sensuality (Buzan, 2003). The ability to record effective
ment on the part of the learner which may contribute to deeper learn- notes is a central skill necessary to use time in lectures constructively
ing being achieved (Davies, 2010). Maps facilitate “dual coding” (Huxham, 2010). Notes taken in a lecture provide a record that can be
which is the separate encoding of information in memory in both vi- used for review and revision and can support understanding and re-
sual and propositional form (Davies, 2010). Processing information call through ‘encoding’ of knowledge (Huxham, 2010). Educational-
verbally and pictorially facilitates learning by means of using more ists need to consider ways to ‘create opportunities in lessons and
than one modality and enables students to imagine and explore asso- outside, in which thinking can flurish' within lectures (Bligh, 1998,
ciations between concepts (Davies, 2010). p. 65). Buzan (2003) argues that if a student is to make effective
The advantages of using mind maps in nursing and midwifery notes then this requires utilisation of both the left and right cortex
education is that it may benefit students with diverse learning styles as well as the fundamental memory principles. The use of mind
(D'Antoni et al., 2010). Mind maps have the potential to appeal to all maps to make notes may facilitate students to understand, analyse
types of learners from visual and kinaesthetic to high achievers. and think critically about the chosen topic and at the same time the
Buzan (2010) suggests that for visual and kinaesthetic learners student has more time to pay attention to the lecturer or book
mind maps make it easier for them to express their ideas in a non- (Buzan, 2003).
linear, colourful, image filled way. The incorporation of mind maps Huxham (2010) analysed 238 note-sets of first year students under-
into an assessment does not rely on a students’ language level and taking a biology degree for word counts, abbreviations, note-taking
therefore can give a more accurate assessment of the students’ styles and quality of content. He found that only 1% of students in the
knowledge of a topic (Buzan, 2010). study showed non-linear notes such as spider diagrams and mind-
Details of how to make a mind map are described in Box 1. maps which might be expected to support learning and understanding.
Emphasis and association are key factors in improving memory However lecturers cannot expect students to know how to use these
and creativity (Buzan and Buzan, 2010). Mind maps need to be techniques without some instruction on mind maps (Huxham, 2010).
reviewed on a continuous basis to assist the transfer of information Huxham (2010) argues however that formal instruction may have little
into long-term memory (Buzan and Buzan, 2010). effect upon student behaviour and the challenge for educationalists is
identifying techniques to encourage students to reflect on their own
notes. Incorporating mind maps into an assessment strategy could be
one means of achieving this goal. Students introduced to the use of
mind maps for an assessment may go on to continue to use them for
other activities such as note taking. D'Antoni et al. (2010) undertook a
quasi-experimental study to investigate whether a relationship existed
between mind mapping and critical thinking as measured by the health
Science Reasoning Test (HSRT). First-year medical students (N= 131)
were randomly assigned to a standard note taking group or mind map
group. No significant differences in mean scores on both the pre- and
post –quizzes between note taking groups were idenified. D'Antoni et
al. (2010) concluded that mind mapping did not increase short-term
recall domain-based information or critical thinking compared to stan-
dard note taking. However students in the study were only briefly intro-
duced to mind mapping and had very little time to gain proficiency in
the strategy. Further research is required to determine longitudinal ef-
fects of mind map proficiency training on both short and long-term in-
formation and retrieval and critical thinking (D'Antoni et al., 2010).
Examinations
Reprinted with permission from Buzan and Buzan (2010) The
Mind Map Book Unlock your creativity, boost your memory, change Mind maps can assist the student to organise information and to
your life. Pearson, Harlow England. shorten the time spent revising for exams (Buzan and Buzan, 2010).
850 M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852
A mind map can condense the main ideas within topics and can assist Assignments
the student to remember the information. Lecturers can guide stu-
dents at the beginning of a semester to create a mind map for each A Mind map can be used to structure assignments. A mind map
subject which will help the student to assimilate the information can help the student to organise the essential parts of an essay. It
and facts and this can be used as a revision sheet for exams. All the in- can be used to develop an introduction, context and conclusion
formation is in one page and students don't have to look through Mind maps can also be integrated into an assessment. (Buzan,
reams of information prior to an exam (Buzan and Buzan, 2010). 2010). Plagiarism has become a major issue in higher education and
Farrand et al. (2002) found that mind maps provided an effective Race and Pickford (2007) argue that there is an increased need to
study technique when applied to written material however they sug- be able to guarantee the authenticity of students’ coursework. Pre-
gest that consideration has to be given towards ways of improving vention of plagiarism is identified as preferable to detection (Race
motivation amongst users. and Pickford, 2007). Mind maps are very individual to each student
A common complaint from students in relation to exams is not and limit the risk of plagiarism.
having enough time to focus their knowledge to answer the question
or forgetting information at critical moments in the exam (Buzan, Mind Maps and Research
2003). Students often cram for exams and much of this information
cannot be accessed during an exam in what is commonly referred to Crowe and Sheppard (2011) used mind maps to visualise the com-
as a ‘mental block’. This information disappears almost immediately plexities and extent of research methods. They suggest that mind
after the exam (Buzan, 2003) and therefore is recognised as an inef- maps can be used as a strategy to teach, supervise and guide students
fective way of preparing students for the demands of practice. In through the concepts of research methods and ultimately may facili-
the exam a student can plan an answer to the questions using a tate students to produce more robust research. Mind maps can be
mind map. This tool assists the student to organise ideas in a short updated as new information is assimilated into the mind maps to re-
time frame and has the potential to improve the student's perfor- alise a deeper understanding of research methods. Aveyard (2010)
mance in exams (Buzan, 2003). also advocate using a mind map as a strategy for developing a re-
Wickramasinghe et al. (2007) undertook a quasi-experimental search topic for a literature review and suggest that a mind map can
study to evaluate the effectiveness of using mind maps as a self- assist the student identify aspects of the chosen topic and how this
relates to the topic area as a whole. Burgess-Allen and Owen-Smith
(2010) utilised the mind map approach to manage the qualitative
data from patient participation focus groups. They found that this ap-
Mind Map Tool Kit proach provided a graphical format for representing the key themes
raised during the focus groups, helped stimulate and focus discussion
• Paper 11x17 Inches and enhanced transparency and group ownership of the analysis
• Coloured pens process. However they did acknowledge that this approach may not
• Your brain achieve the depth or level of interpretation possible with other
approaches to data analysis. Researcher bias is a significant challenge
M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852 851
to researchers when considering that human judgement plays a take time to change to a new method of learning. A students learning
major part in the construction of the mind maps (Burgess-Allen and style or preference in learning may influence the perceived usefulness
Owen-Smith, 2010). Tattersall et al. (2007) suggested that theoreti- of a learning/teaching strategy and this would need to be considered
cally mind mapping had the potential to allow researchers to make when designing a study to evaluate the effectiveness of mind maps
rapid and valid transcriptions of qualitative interviews without the (Zipp et al., 2009). Sand-Jecklin (2007) found that nursing students
need for interviews to be transcribed verbatim. In 2011 Tattersall et showed a preference for passive instruction methodologies and sur-
al. tested this theory. They compared results derived from mind face learning strategies that they had been previously exposed to
mapping with those from interpretive phenomenological analysis. during prior education. Some students were also concerned about
Data from a study that explored patients' and carers' perceptions of their ability to complete the images in what they termed the ‘artistic’
a new nurse-led service were analysed separately by three re- requirement of mind maps. Buzan and Buzan (2010) suggest one rea-
searchers. The majority of the research themes revealed by the tradi- son for the rejection of the use of images is the modern overemphasis
tional method of analysing qualitative date were comparable to those on the word as the primary vehicle of information transmission. The
derived from mind mapping. They concluded that mind mapping other reason is that some people believe that they are not able to
could be used to rapidly analyse simple qualitative audio-recorded in- create images. However they argue that research has shown that any-
terviews but that more research was required to establish the extent one can learn to draw to a good art level.
to which mind mapping can assist qualitative researchers. Tattersall Kern et al. (2006) evaluated the integration of mind-mapped care
et al. (2007) did acknowledge that purists in the use of qualitative plans (MMCP) as an educational tool in the nursing curriculum at
research may find good arguments not to use mind mapping. Mercy College of Health Science. A summative survey was adminis-
tered anonymously to students (N = 34) within the final semester
Mind Maps and Clinical Practice of the nursing curriculum. Over 90% of the students on the course
reported that the use of mind maps helped them view the patient
Mind maps have been used in clinical practice for reflection, care holistically, using creativity in nursing care and individualising the
planning, needs assessment and practice development (Burgess- plan of care. Students expressed a concern relating to the time re-
Allen and Owen-Smith, 2010; Jenkins, 2005; Mueller et al., 2002; quired to complete a MMCP. 91% of the students surveyed reported
Michelini, 2000). The work that midwives and nurses do is rarely that they were satisfied that the use of mind maps helped them
linear in form and involves the sorting of many different tasks simul- demonstrate critical thinking. The sample size is small and further re-
taneously (Picton, 2009) and mind maps capture the non-linear activ- search is required to detect changes in critical thinking with the use of
ity of midwifery and nursing practice (Kern et al., 2006; Mueller et al., MMCP in comparison to traditional written care plans.
2002). Mind maps can be used to illustrate patient pathways and can
encourage reflection on care (Picton, 2009). They can also simplify in- Future Use
formation which reduces the chances of mistakes occurring
and ultimately helps clients/patients (Picton, 2009). Mueller et al. Bailey and Tuohy (2009) suggest that educators must consider
(2002) joined mind mapping and care planning to enhance student modes of assessment that take cognizance of students’ learning re-
critical thinking and to promote a holistic view of the patient. They quirements and preferences for assessment and that support and
found that mind-mapped care plans encouraged students to look at guidance for any new form of assessment is essential. Further prepa-
and visually illustrate the “whole” picture of the client and suggest ratory work is required to assist the students develop more compre-
that this activity enhances thinking skills such as critical thinking hensive mind maps. It is important that as educationalists we look
and client focused thinking. Mollberg et al. (2011) hypothesised at the demands we are making upon students and that we provide
that mind mapping may be a valuable tool for physicians to use to them with support. Practice is required for the memory system to
understand and potentially guide decision making and research in be effective. The assignment was used to assess a small group of stu-
the diagnosis and management of lung cancer and ultimately help dents (20) and consideration would have to be given to the efficacy of
patients in various aspects of lung cancer diagnosis and treatment. using this type of assessment with larger groups.
Michelini (2000) implemented mind maps as a teaching and an eval- Marking criteria specific to a mind map assessment and grading
uation strategy in home care to teach and assess patient and staff bands need to be developed. Currently there are no valid or reliable
understanding of key concepts. Michelini (2000) suggests that mind rubrics available to grade mind maps (D'Antoni et al., 2009). D'Antoni
maps help clarify essential points and illustrate interactions among et al. (2009) adapted a scoring system used to grade concept maps
key concepts and that this teaching strategy can be used to improve and formed the mind map assessment rubric (MMAR). The MMAR
patient outcomes (Table 1). assesses the quality of student mind maps using the concept mapping
assessment (CMA) system. The MMAR consists of the following 7
Student Evaluation of the Use of Mind Maps for the Assignment variables: concept-links, cross-links, hierarchies, examples, invalid com-
ponents, pictures and colours. The MMAR was found to have high reli-
Twenty midwifery students were asked to comment on the use of ability (ICC .86) and is available online at http://www.biomedcentral.
mind maps for their assignment in an end of module evaluation. The com/content/supplementary/1472-6920-9-19-S1.doc.
evaluation form consisted of open ended questions aimed at obtain- For maximum success mind maps need to be integrated through-
ing students’ thoughts on using mind maps as part of their assess- out a curriculum from study skills to their use in assignments. There
ment for the module. Some students saw the benefit of the use of is a plan to incorporate mind maps into learning and assessment
mind maps and felt that it focused their learning and ‘got them think- strategies for the coming year. The possibility of acquiring software
ing’, provided them with a ‘clearer view’ of the topic and they felt that packages that have been developed to organise mind maps will also
they learned a lot and enjoyed completing the mind maps. The maps be considered. It is hoped that some students may continue to use
helped them to visualise the information and this assisted them to mind maps in education and practice.
remember key points reviewed. Buzan and Buzan (2010) identify im-
ages as an important aspect of the mind maps because people primar- Conclusion
ily think with images and their associations. Other students found the
mind maps time consuming and expressed a preference for the tradi- The goal of assessments should be to focus students learning
tional essay type assignment. Students who traditionally have been towards important aspects of a module that are essential for practice.
educated to complete course work using essay type answers will Race and Pickford (2007) suggest that if we want to influence
852 M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852
learning we need to consider carefully our assessment strategies. The Fleming, V., Holmes, A., 2005. Basic nursing and midwifery education programmes in Eu-
rope. A report to the World Health Organisation Regional Office for Europe. WHO.
incorporation of mind maps into an assessment strategy offers an op- Huxham, M., 2010. The medium makes the message: effects of cues on students’ lecture
portunity to develop students understanding, memory and may go notes. Active Learning in Higher Education 11, 179. doi:10.1177/1469787410379681.
one step further in providing our future practitioners with a strategy Jenkins, A., 2005. Mind mapping. Nursing Standard 20 (7), 85.
Kern, C.S., Bush, K.L., McCleish, J.M., 2006. Mind-Mapped Care Plans: Integrating an
for lifelong learning. Studies exploring the relationship between mind Innovative Educational Tool as an Alternative to Traditional Care Plans. Journal of
mapping, critical thinking and long term recall of information are re- Nursing Education 45 (4), 112–119.
quired to support the use of mind mapping in medical education Michelini, C.A., 2000. Mind Map: A New Way to Teach Patients and Staff. Home Health-
care Nurse 18 (5), 318–322.
(D'Antoni et al., 2010; Zipp et al., 2009) and this is also true for mid- Mangena, A., Chabeli, M.M., 2005. Strategies to overcome obstacles in the facilitation of
wifery and nursing education. critical thinking in nursing education. Nurse Education Today 25, 291–298.
Mollberg, N., Surati, M., Demchuk, C., Fathi, R., Salama, A.K., Husain, A.N., Hensing, T.,
Salgia, R., 2011. Mind-Mapping for Lung Cancer: Towards a Personalised Therapeu-
References tics Approach. Advances in Therapy 28 (3). doi:10.1007/s12325-010-0103-9.
Mueller, A., Johnston, M., Bligh, D., 2002. Joining Mind Mapping and Care Planning to
Aveyard, H., 2010. Doing a Literature Review in Health and Social Care A practical Enhance Student Critical Thinking and Achieve Holistic Nursing Care. Nursing
Guide, 2nd ed. Open University Press Mc Graw Hill, Berkshire. Diagnosis 13 (1), 24–27.
Bailey, M.E., Tuohy, D., 2009. Student nurses' experiences of using a learning contract as Picton, C., 2009. Editorial Mind Maps: reflecting on nature. Emergency Nurse 17 (2), 3.
a method of assessment. Nurse Education Today 29, 758–762. Popil, I., 2011. Promotion of critical thinking by using case studies as teaching method.
Bligh, D.A., 1998. What's the Use of Lectures? second edn. Intellect, Exeter. Nurse Education Today 31, 204–207.
Boley, D.A., 2008. Use of premade mind maps to enhance simulation learning. Nurse Race, P., Pickford, R., 2007. Making Teaching Work ‘teaching smarter’ in post-compulsory
Educator 33 (5), 220–223. education. Sage, London.
Burgess-Allen, J., Owen-Smith, V., 2010. Using mind mapping techniques for rapid Rust, 2002. The Impact of Assessment on Student Learning : How Can the Research
qualitative data analysis in public participation processes. Health Expectations Literature Practically Help to Inform the Development of Departmental Assess-
13, 406–415. ment Strategies and Learner-Centred Assessment Practices? Active Learning in
Buzan, T., 2003. Use your Memory. BBC Active, Edinburgh. Higher Education 3, 145. doi:10.1177/1469787402003002004.
Buzan, T., 2010. Mind maps for pre and post assessment. ThinkBuzan.com2010accessed Sand-Jecklin, K., 2007. The impact of active/cooperative instruction on beginning nursing
05/07/2011. student learning strategy preference. Nurse Education Today 27, 474–480.
Buzan, T., Buzan, B., 2003. The Mind Map Book. BBC Books, London. Tattersall, C., Powell, J., Stroud, J., 2011. Mind mapping in qualitative research. Nursing
Buzan, T., Buzan, B., 2010. The Mind Map Book Unlock your creativity, boost your memory, Times 107, 18. 20–22.
change your life. Pearson, Harlow. Tattersall, C., Watts, A., Vernon, S., 2007. Mind mapping as a tool in qualitative research.
Crowe, M., Sheppard, L., 2011. Mind mapping research methods. Quality and Quantity. Nursing Times 103 (26), 32-22.
doi:10.1007/s11135-011-9463-8. Wellard, S.J., Bethune, E., Heggen, K., 2007. Assessment of learning in contemporary
Davies, M., 2010. Concept mapping, mind mapping and argument mapping: what are nurse education: Do we need standardised examination for nurse registration?
the differences and do they matter? Higher Education. doi:10.1007/s10734-010- Nurse Education Today 27, 68–72.
9387-6. Wickramasinghe, A., Widanapathirana, N., Kuruppu, O., Liyanage, I., Karunathilake, I.,
D'Antoni, A.V., Pinto Zipp, G., Olson, V.G., 2009. Interrater reliability of the mind map 2007. Effectiveness of mind maps as a learning tool for medical students. South
assessment rubric in a cohort of medical students. BMC Medical Education 9, 19. East Asian Journal of Medical Education Inaugural Issue 1, 30–32.
doi:10.1186/1472-6920-9-19. Worrell, J.A., Profetto-McGrath, J., 2007. Critical thinking as an outcome of context-
D'Antoni, A.V., Pinto Zipp, G., Olson, V.G., Cahill, T.F., 2010. Does the mind map learning based learning among post RN students: A literature review. Nurse Education
strategy facilitate information retrieval and critical thinking in medical students? Today 27, 420–426.
BMC Medical Education 10, 61. http://www.biomedcentral.com/1492-6920/10/61. Zipp, P.G., Maher, C., D'Antoni, A.V., 2009. Mind Maps: Useful Schematic Tool For Orga-
Farrand, P., Hussain, F., Hennessy, E., 2002. The efficacy of the ‘mind map’ study tech- nising And Integrating Concepts Of Complex Patient Care In The Clinic And Class-
nique. Medical Education 36, 426–431. room. Journal of College Teaching and Learning 6 (2), 59–68.
Studiu original J.M.B. nr. 2 - 2018
Abstract:
Aim: The aim of this “non-matched control group, time-serial designed” research is to implement an
education program for defining and advancing the ability for disposition based critical thinking of midwifery
students.
Method: The population of the study consisted of 64 4th class midwifery students studying at a
university in Turkey. The sample size was 46 students who volunteered to participate in the study. An
education program was conducted in 15 weeks with 11 units, every unit consisting of theoretical knowledge,
scenario studies, exercises, and homework in the content of the clinical course. For data collection, the
Socio-demographic Features Data Form and the California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI)
were used. The midwifery students kept reflective critical thinking course notes for each clinical day
throughout the semester.
Results: The mean scores for the midwifery students were 202.60±14.23 on the pre-test and
233.86±19.84 on the post-test. The pre-test critical thinking dispositions of the students in the pre-test and
post-test were significantly different (p<0.05).
Conclusion: It is concluded that to improve students’ critical thinking disposition, the course was
helpful. To improve students’ critical thinking disposition regarding theoretical knowledge, scenario studies,
exercises, and homework is suggested.
Key-words: Critical thinking, critical thinking education, midwifery students
Characteristics Number %*
Age Mean 21.78±1.05
Number of Siblings
A Sibling 18 39.1
Two Siblings 11 23.9
Three Siblings 12 26.1
Four and more siblings 5 10.9
Mother Education Level
Illiterate 17 36,9
Primary Education 23 50.0
High School 6 13.1
Father Education Level
Illiterate 7 15.2
Primary Education 20 43.5
High School 10 21.7
University 9 19.6
Perceived Income
Low 12 26.1
Medium 34 73.9
Total 46 100.0
*Column Percentage
Table 1. Distribution of socio-demographic characteristics of students (n=46)
15
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018
As a result of the study, pre-test avarage pre-test score of the systematicity subscale was
202.60 ± 14.23 post-test average 233.86 ± 20.36 ± 4.77 and the post-test score was 21.71 ±
19.84. There is a difference between the average 2.13. The pre-test score of the analytical
scores of the students before and after the subscale was 51.50 ± 5.73 and the post-test
training (p<0.05) (Table 2). Tests scores of the score was 57.86 ± 5.53 (Table 2).
students are low (239 points and below). The
Scale Pretest Posttest t* P
X ± SD X ± SD
Truth-seeking 26.04 3.86 30.39 3.86 -5.38 p<0.05
Open mindedness 43.02 4.60 48.78 6.29 -4.39 p<0.05
Analyticity 51.50 5.73 57.86 5.53 -5.26 p<0.05
Systematicity 20.36 4.77 21.71 2.13 -2.38 p<0.05
Self-confidence 27.65 4.77 33.63 4.61 -5.49 p<0.05
İnquisitiveness, 33.47 6.02 40.52 5.51 -7.57 p<0.05
Total 202.60 14.23 233.86 19.84 -10.22 p<0.05
*Parried samples t test
Table 2. Students’ distribution of pretest posttest CCTDI scores
There was an important difference in these 32]. There was a statistically significant difference
subscales before and after the training (p<0.05). in the mean scores between pre- and post-
There was no statistically significant difference education in this subscale (p <0.05). In
between clinical course scores and achievement experimental studies conducted abroad, students'
scores of the students (p>0.05). The pre-intervention scores were found to be low.
demographic characteristics of the students did Post-intervention scores were moderate [9, 23].
not change the mean scores of the scale and the The fact that the students had scores at a low level
mean of the subscale scores (p>0.05). in the pre-test of studies conducted abroad and
that the scores increased in the post-test, resulting
Discussion in a statistically significant difference, is
The research, tests scores of the students compatible with the results of this study. Although
are low (Table 2). The outcome of the the students had low-level scores in this subscale
researches canalize in Turkey and abroad related and the students had low-level scores in the post-
to critical thinking revealed that the critical test in the findings of this study, an increase in
thinking levels of university students were at their scores and the presence of a statistically
low and medium levels, whereas there occurred significant difference were the contributions of the
a significant increase in the critical thinking clinical course to this subscale. “Truth-seeking”
levels of students who had a course and some projects the disposition of evaluating different
training to develop their critical thinking [4, 5, ideas or alternatives. In line with this result in the
6, 8, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 17, 30, 32]. study, it may be suggested to arrange the re-
The “truth-seeking” subscale score of the contents of clinical applications and courses.
students was 26.04±3.86 (low level) in the pre-test In the “open-mindedness” subscale, the
and 30.39±3.86 (low level) in the post-test. In pre-test score of the students was 43.02±4.60
descriptive studies conducted on nursing and (medium level), and the score was 48.78±6.29
midwifery students in Turkey, it was determined (close to high level) in the post-test. In Turkey,
that the lowest score was 26.11±5.2 and the where students work on points in mid-level, and
highest score was 44.0±7.0 could not provide have been shown in studies abroad, they receive
experimental data for they did not evaluate the points for low and medium level [3, 8, 27, 29].
subscales. Descriptive studies conducted on In the experimental studies conducted abroad,
students abroad observed that they had the students had scores at a low level in the pre-
30.12±4.06, at the lowest, and 37.60±6.90, at the intervention and at a medium level in the post-
highest, at low levels in this subscale [16, 17, 26, intervention, and as a result, the critical thinking
16
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018
trainings were determined to have contributed to at the medium level after the conference; and
this subscale [9, 23, 24]. In the experimental Pıtts (2001) found that they scored 40.65±5.88
studies conducted abroad, the students had at a medium level in the pre-intervention and
scores at a medium level in the pre-intervention scored 46.78±6.58 at a medium level in the
and at a high level in the post-intervention, and post-intervention and determined a statistically
as a result, the critical thinking trainings were significant difference between them [9, 10, 23].
determined to have contributed to this subscale The above-mentioned international experi-
[30]. There was a statistically significant mental studies demonstrated an increase in the
difference in this subscale before and after the scores of students in the pre-intervention and
training (p<0.05) (Table 2). The fact that the post-intervention and a statistically significant
students had scores at a medium level in the pre- difference between them. Moreover, the
test in this study suggested the contribution of “analyticity” subscale expresses the disposition
the education system, whereas the fact that the of paying attention to the situations that can
students had scores close to a high level in the potentially create problems and reasoning and
post-test suggested the contribution of the using objective evidence even against difficult
“clinical course” to this subscale. The “open- problems. The reason why the students in the
mindedness” subscale expresses a person’s study had scores at the high level in this
tolerance towards different opinions and his subscale was that the subjects discussed in the
sensitivity to his own mistakes. The basic logic education system were supported by
in open-mindedness is a person’s taking not applications and laboratories, the subjects were
only his own ideas but also others’ views and presented to the students from a healthy
ideas into consideration while making a individual to an unhealthy individual in a logical
decision. We are advised on the development of chain, and sample cases were given in the
the features of this subscale in the scenario and subjects, which the students were asked to
the exercises, taking into account the course, solve. An increase in the scores of the students
clinical course and course of critical thinking. in the post-test resulted from works, exercises
In the „analyticity” subscale, the score of and homework, which were given depending on
the students was 51.50±5.73 (high level) in the the theoretical information in the clinical course
pre-test and 57.86±5.53 (high level) in the post- and further developed this subscale.
test. Turkey has been seen in studies of students In the “systematicity” subscale, the score
in middle and high scores they receive from of the students was 20.36±4.77 (low level) in
these subscales. In the studies conducted the pre-test and 21.71±2.13 (low level) in the
abroad, it was found that they received low and post-test. It was observed in studies conducted
intermediate scores [3, 8, 13, 16, 17, 18, 24, 25, in Turkey and abroad that the students had
26, 27, 28, 32]. In experimental studies scores at low and medium levels in this subscale
conducted abroad on nursing students for [35, 36, 45, 48]. While Yıldırım and Özsoy 2011
developing critical thinking disposition and determined that the students had scores at a low
skill, Yıldırım & Özsoy 2011 noted that the level at the beginning and end of the term and
experimental group students had a pre-test score that there was a statistically significant
of 52.05±6.05 and a 61.33±1.97 post-test score difference between the groups (p<0.05),
[30]. A statistically significant difference was Duphorne (2000) found that they had scores at a
determined between the experimental and low level before the conference and at a
control groups in the score means of this medium level after the conference [9, 30]. The
subscale in the post-test (p<0.001). Evancho “systematicity” subscale is the disposition of
(2000) found no statistically significant using a decision-making strategy that is based
difference between the those who had a score of on information and that follows a certain
43.91±40.60 at the beginning of the term and a procedure instead of both an organized, planned
score of 44.46±17.30 at the end of the term at and careful investigation and considering
the medium level; Duphorne (2000) found they different views and using complex reasoning. In
had a score of 37.37±4.97 at the low level the clinical course, it may be suggested that
before the conference and a score of 43.51±6.16 students should be rearranged in order to
17
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018
improve their critical thinking by considering grade point averages did not affect the total
these sub-dimension characteristics. scores and sub scores averages of the students
In the “self-confidence” subscale, the score (p>0.05). Academic achievement grade does not
of the students was 27.65±4.77 (low level) in the affect the scale score in domestic and foreign
pre-test and 33.63±4.61 (low level) in the post- research [9, 10, 15, 23, 30].
test. In our country studies, the lowest is 27.49 ± Socio-demographic characteristics of the
5.36 and the highest is 43.4 ± 6.10 [27, 29]. The students in studies in Turkey have been not
score obtained from this subscale; It is similar to found affect total score mean and the subscale
the work done on this issue in Turkey. There was score means [5, 30, 32]. Working our result was
a statistically significant difference in the mean found to be in parallel with the results of
scores between pre- and post-education in this research conducted in Turkey.
subscale (p <0.05). Yıldırım and Özsoy 2011
determined that the students had scores at a low Conclusion and Recommendations
level before and after the intervention; Pıtts However, the final test score of the
(2001) determined that the students had scores at students was higher than the first test score.
the medium level before and after the Therefore; it is thought that the education
intervention [23, 30]. They also determined that contributed to the students' critical thinking. The
there was a statistically significant difference clinical course did not affect the students'
between them. Although the students’ scores academic achievement. The socio-demographic
were at the same level in the pre-intervention and characteristics of the students did not change the
post-intervention in the experimental studies mean scores of the scale and the mean of the
conducted abroad, it was observed that there was subscale scores. It was observed that the
an increase in the students’ scores. Even though education made by the research contributed to
the CCTDI pre-test and post-test scores were at a the study. It can be said that students' critical
low level in the findings of this study and proves thinking skills can be improved by new
that they have to be developed, a 6 point increase regulations.
for the students showed the contribution of the
clinical course to this subscale. Students' self- Limitations of the study
confidence features were developed. Considering The results obtained in this study can be
the characteristics of this subscale, the generalised only to its sample and are limited by
curriculum may be reviewed again. the scope of the scales used.
In the “inquisitiveness” subscale, the score Acknowledgements
of the students was 33.47±6.02 (low level) in The authors thank the midwifery students
the pre-test and 40.52±5.51 (medium level) in who agreed to participate in this study.
the post-test. Students' scores; Şenturan (2008) Sources of funding
reported a low level of 39.31 ± 6.81; Topçu and None.
Beşer (2005) found an average of 48.65 ± 5.8 Conflicts of interest
[27, 29]. Yıldırım and Özsoy 2011 determined The authors have no conflicts of interest
that the students had scores at a low level in the relevant to this article.
pre-test and a medium level in the post-test; Authors’ contributions
Pıtts (2001) determined that they had scores at a Concept: Belgin Yıldırım, Design: Belgin
medium level in the pre-intervention and at a Yıldırım, Şükran Özkahraman-Koç, Data
high level in the post-intervention [23, 30]. Collection or Processing: Belgin Yıldırım, Analysis
They also found that there was a statistical or Interpretation: Belgin Yıldırım, Şükran
difference. The result shows the contribution of Özkahraman-Koç, Literature Search: Belgin
the clinical course. The “inquisitiveness” Yıldırım, Şükran Özkahraman-Koç, Writing:
subscale shows the disposition of a person in Belgin Yıldırım, Şükran Özkahraman-Koç.
obtaining information and learning new things
without any expectations of gain. Development References:
in the students’ inquisitiveness characteristics is 1. Alfevro-Lefevre R. Critical thinking and clinical
an indicator of the study’s success. The students' judgement: A practical approach 3rd ed.
Phidelphia: W.B. Saunders. 2004
18
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018
2. Beck SE, Bennett A, McLeod R, Molyneaux D. Master thesis. Sivas: Cumhuriyet University
Review of research on critical thinking in Health Sciences Institute. 2006.
nursing education. Review of Research in 18. Öztürk C, Karayağız G. The effect of different
Nursing Education. 1992; 5(1): 1-30. educational models on critical thinking skills of
3. Beşer A, Utku M. Determining the critical student nurses. II. Active Training Conference,
thinking tendencies of nursing and engineering DEÜ Publications. İzmir. 2005.
students, II Active Training Conference. DEU 19. Paul RW. Critical thinking: New global
Publications. İzmir. 2005. ımperative. Critical Thinking. 1993; 1(2): 3.
4. Bourdieu P. A social critigue of the judgement of 20. Paul RW. Critical thinking: What every person
taste. Routledge Pres. 1996; 114-122. needs to survive ın a rapidly changing world.
5. Comella TM. The use of clinical journals as a A.J.A. Binker (Eds.). CA. The Foundation For
teaching method to ıncrease critical thinking in Critical Thinking. Santa Rosa. 1992.
second year associate degree nursing students. 21. Paul RW. The critical thinking movement: A
Master thesis. USA: The Graduate School of historical perspective. Phi Kappa Phi Journal,
The University of Wyoming. 1997. 1985; 65(1): 2-3
6. Cotton, K. Teaching thinking skills. Available 22. Paul RW, Adamson KR. The evolution of the
from: http://www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cull.html. critical thinking movement: Sonoma’s. Social
7. Dewey J .How we think: A restatement of the Studies Review. 1990; 29(3): 7-10.
relation of reflective thinking to the educative 23. Pıtts LN. Critical thinking skill and disposition
process. Boston.1933. as predictors of success in assocıate degree
8. Dirimeşe E. Examining the critical thinking nursing education. Florida University. 2001.
tendencies of nurses and student nurses. Master 24. Sternberg RJ. Critical thinking: Its nature,
thesis. İzmir: Dokuz Eylül University Health measurement and ımprovement. U.S.
Sciences Institute Surgical Nursing. 2006. department of education, national ınstitute of
9. Duphorne PO. The effect of three computer education. Washington D.C.1986.
conferencing designs on critical thinking skills of 25. Sevil Ü, Ertem G, Bulut S. Investigation of
nursing students at a distance. PhD thesis. New critical thinking levels of nursing students of
Mexico: The University of New Mexico. 2000. health college of Ege University. 3. International
10. Evancho SR. Critical thinking skills and 10 National Nursing Congress. İzmir (2005).
dispositions of the undergraduate baccalaureate 26. Shin K, Jung DY, Shin S, Kim MS. Critical
nursing students. Master thesis. Connecticut. 2000. thinking dispositions and skills of senior nursing
11. Evcen D. Watson-Glaser critical reasoning test students in associate, baccalaureate and RN-
(Form S), Turkish adaptation study. [Master to_BSN programs. Journal of Nursing
thesis]. Ankara University Institute of Education, 2006; 45(6):233-237.
Educational Sciences, Ankara, 2002. 27. Şenturan L, Alpar ŞE. Critical thinking in
12. Facione NC, Facione PA. Externalising the critical nursing students. Cumhuriyet University Journal
thinking in knowledge development and clinical of School of Nursing. 2008; 12(1):22-30.
judgment. Nursing Outlook. 1996; 44: 129-136. 28. Tiwari A, Avery A, Lai P. Critical thinking
13. Ip WY, Lee D, Lee I, Chau JPC, Wootton YSY, disposition of Hong Kong Chinese and
Chang AM. Disposition towards critical Australian nursing students. Journal of
thinking: A study of chinese undergraduate Advanced Nursing. 2003; 44(3):298-307.
nursing students. Journal of Advanced Nursing, 29. Topçu S, Beşer A. Investigation of critical thinking
2000; 32(1):84-90. dispositions of Nine September University
14. Kaya H. Critical reasoning power in university Nursing School students. II Active Training
students. PhD thesis. İstanbul: İstanbul Conference DEÜ Publications. İzmir. 2005.
University Health Sciences Institute. 1998. 30. Yıldırım B, Özsoy SA Nursing student the
15. Kökdemir D. Decision making and problem critical thinking development of the critical
solving in uncertain situations. PhD thesis. thinking. HealthMED. 2011; 5(4): 846-856.
Ankara: Ankara University Social Sciences 31. Yıldırım B, Özkahraman Ş. Critical thinking and
Institute. 2003. education in nursing. Maltepe University Journal
16. McGrath JP. The relationship of thinking skills of Nursing Science and Art. 2011; 4(1): 155-160.
and critical thinking dispositions of baccalaurate 32. Zaybak A, Khorshid L. Investigation of critical
nursing students. Journal of Advanced Nursing, thinking levels of nursing school students in Ege
2003; 43(6): 569-577. University. Journal School Nursing of Ege
17. Öztürk N. Critical thinking levels of nursing University. 2006; 22(2):137-146.
students and factors affecting critical thinking.
19
Strides Dev Med Educ. 2018 December; 15(1):e84987. doi: 10.5812/sdme.84987.
Received 2017 June 11; Revised 2017 December 26; Accepted 2017 December 31.
Abstract
Background: Students’ personal characteristics are among the factors influencing the development of their critical thinking. Self-
esteem is a normal influencing personality trait. Self-esteem affects all the aspects of individuals’ lives including the way of their
thinking and performance.
Objectives: Therefore, the current study aimed to determine the relationship between critical thinking disposition and self-esteem
in the midwifery students of Mashhad University of Medical Sciences in 2014.
Methods: This cross sectional study was carried out on all bachelor students (N = 53) of the Mashhad Nursing and Midwifery Faculty.
Data were collected through a personal information form, the Rosenberg’s self-esteem questionnaire, and the California critical
thinking disposition questionnaire. The collected data were analyzed in SPSS through descriptive statistical methods and a Pearson
correlation coefficient test.
Results: The vast majority of students (62.26%) had an unsteady critical thinking disposition. However, 84.90% of them had a mod-
erate level of self-esteem. Pearson correlation test showed no significant relationship between critical thinking disposition and
self-esteem (P > 0.05).
Conclusions: According to the study results, the vast majority of the study cases had a moderate level of self-esteem with an un-
steady critical thinking disposition. There was no significant relationship between critical thinking disposition and self-esteem in
the studied midwifery students.
Copyright © 2018, Strides in Development of Medical Education. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons
Attribution-NonCommercial 4.0 International License (http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/) which permits copy and redistribute the material just in
noncommercial usages, provided the original work is properly cited.
Rashidi Fakari F et al.
ing and performance (11). Barkhordari et al. showed that below 15 indicated a high, moderate, and a low level of self-
there was a significant positive relationship between crit- esteem, respectively (8, 15). The content validity of the ques-
ical thinking disposition and self-esteem (8) while a study tionnaires was confirmed in different studies and its relia-
by Iranfar et al. showed that there was a significant nega- bility was confirmed using Cronbach’s alpha (alpha = 0.89)
tive relationship between critical thinking disposition and (8, 15, 16).
self-esteem (12). The results of Abasi et al. on medical stu- The California critical thinking disposition question-
dents showed that there was a direct positive correlation naire included 75 questions. A Likert six-point scale was
between critical thinking and self-esteem (13). A study on used to score the questions (completely disagree, disagree
nursing students concluded that the tendency to critical to some extent, disagree, agree, agree to some extent, and
thinking was low and a positive relationship was observed completely agree). A point between 1 and 6 was allocated
between the tendency to critical thinking and self-esteem to the questions in accordance with the instruction man-
(14). ual of the questionnaire.
The questions were divided into seven subscales of
truth-seeking (12 questions), exceptionable (12 questions),
2. Objectives analytic power (11 questions), data organization power (11
questions), self-confidence (9 questions), the extent of ma-
While this is an important subject, there are a few stud- turity (10 questions), and exploration (10 questions).
ies in this area in Iran. Therefore, this study aimed to deter- The minimum and maximum scores of the question-
mine the extent of the relationship between critical think- naire were 70 and 420, respectively. A score above 350, be-
ing disposition and self-esteem in midwifery students of tween 280 and 350, between 211 and 279, and below 210 in-
the nursing and midwifery faculty, Mashhad University of dicated strong and sustainable disposition, positive mod-
Medical Sciences. erate disposition, unsteady disposition, and completely
negative disposition, respectively. The content validity of
the questionnaires was confirmed through different na-
3. Methods tional and international studies and their reliability was
confirmed using the Cronbach’s alpha test (alpha = 0.75)
This cross sectional (descriptive-analytical) study was (6, 17).
carried out on midwifery students of the nursing and mid- Following the approval of the ethics committee of the
wifery faculty, Mashhad University of Medical Sciences, in university, the study objectives were explained to the par-
2014. The census method was used for recruiting the sam- ticipants and the signed written consent forms were col-
ple. The study cases were all undergraduate midwifery stu- lected. The personal information form, Rosenberg’s self-
dents of semesters 3, 5, and 7 (N = 53) in the first half of the esteem questionnaire, and California critical thinking dis-
academic year 2014 - 2015. position questionnaire were filled out by the cases within
The inclusion criterion was the consent for partici- 30 minutes (during their free times). The collected data
pation in the study. Transferred or guest students, stu- were analyzed by SPSS version 16 using descriptive statis-
dents with medical diseases, confirmed mental diseases, tics and Pearson correlation tests. First, the normal distri-
and background of depression, and experiencing impor- bution of quantitative variables was confirmed using the
tant events including relatives’ death, marriage, preg- Kolmogorov-Smirnov test. In all tests, the confidence and
nancy, childbirth, and accidents during the previous three significance levels were set at 95% and 0.05, respectively.
months were excluded from the study.
Data were collected using a personal information
form, the Rosenberg self-esteem questionnaire, and the 4. Results
California critical thinking disposition questionnaire. The
personal information form included demographic infor- The mean age of the study cases was 23.41 (SD = 1.08)
mation like age, residence status, and marital status. years. They had a mean GPA (grade point average) of 16.31
The Rosenberg self-esteem questionnaire included 10 (SD = 1.05). Of the study cases, 63.6% were single and 45.0%
general statements consisting of five sentences with pos- were living in a dormitory. According to the results, the
itive words and five sentences with negative words. Each vast majority of cases (62.26%) had an unsteady critical
question was scored on a four-point scale of completely thinking disposition. However, 84.90% of them had a mod-
agree, agree, disagree, and completely disagree. The score erate level of self-esteem (Table 1).
of each item ranged from 0 to 3 and the highest attainable The mean scores of critical thinking disposition and
total score was 30. The scores over 25, from 15 to 25, and self-esteem were 260.1 ± 38.18 and 16.54 ± 2.34, respectively.
Table 1. The Frequency of Critical Thinking Disposition in the Studied Midwifery Students in Terms of Self-Esteema
Critical Thinking Disposition Moderate Self-Esteem Low Self-Esteem Total Fischer Exact
Test Result
Positive 12 (22.64) 3 (5.66) 15 (28.30)
Pearson correlation test showed no significant relation- high self-esteem and eventually when entering the univer-
ship between critical thinking disposition and self-esteem sity, they believe that their actions or thoughts are better
(P > 0.05). There was no significant relationship between and faster than those of others are. This attitude is wrong
personal (age, marital status, and residence status) and ed- and causes these students to ignore the critical principles
ucational variables, on the one hand, and critical thinking of critical thinking that are focused on the ideas and beliefs
disposition and self-esteem, on the other hand (P > 0.05). of others (12). This is while pride varies with self-esteem.
Self-esteem is the satisfaction of one’s self and having a
sense of worthiness. In fact, the level of harmony and prox-
5. Discussion imity is the ideal and the real self in a person (19).
The results of Barkhordary et al. showed that there was
The results of this study revealed that there was no sig- a significant positive relationship between the tendency
nificant relationship between critical thinking disposition toward critical thinking and self-esteem, which the results
and self-esteem in the midwifery students studied. The of these studies are not consistent with the results of the
vast majority of them had a moderate level of self-esteem present study. It is possible that these results indicate that
with an unsteady critical thinking disposition. In various the current curriculum of nursing education does not use
studies, self-esteem has been mentioned as one of the emo- modern methods of teaching and education, which will
tional factors influencing the tendency to critical thinking, lead to the development of this aspect of critical thinking
but the results of this study indicated there is no meaning- in the students, as well as effective and better learning (8).
ful statistical relationship between the tendency to critical The results of the study by Ip et al. (20) showed that the
thinking and self-esteem (8). The tendency to think crit- tendency to critical thinking in most studied students was
ically emphasizes the attitudinal components of internal unstable, and the results of Abasi et al. showed that the ten-
thinking and motivation for problem-solving. Without a dency to critical thinking in the majority (53.3%) of medi-
positive tendency toward critical thinking, the emotional cal students studied was unstable (13), which is consistent
dimension of this type of thinking does not occur or stands with the results of the present study. The results of Sabouri
below the standard level (8). Critical thinking has emo- Kashani et al. on the medical students of Tehran and Mash-
tional components and mental habits (18). Self-esteem is had Universities of Medical Sciences showed that critical
just one of the psychological dimensions that may affect thinking tendency in students was at the positive and in-
critical thinking, and other psychological variables are in- termediate levels (21).
fluenced by various factors (13). The results of the study by Shin et al. showed that the
The results of the study of Iranfar et al. on 289 medical tendency to critical thinking in nursing students was pos-
students in Kermanshah showed that there was a signifi- itive (22), which may be due to differences in academic
cant negative relationship between the tendency toward discipline, academic level, educational environment, and
critical thinking and self-esteem and increased self-esteem teaching methods.
was associated with decreased tendency toward critical Considering that other factors can affect students’ crit-
thinking; the results that are not consistent with the re- ical thinking and self-esteem, it is suggested that further
sults of the current study. Iranfar et al. reported unusual research is conducted in this regard.
findings in their study that the students’ perspective nat-
urally affects their personality. In our country, students
5.1. Conclusion
are working hard to admit to the university, especially in
the field of medicine and certainly, those who are accepted The results of this study revealed that there was no sig-
in this field are clever and hard working. Therefore, it is nificant relationship between critical thinking disposition
not unexpected that they think they are excellent and have and self-esteem in the studied midwifery students. The vast
majority of the studied cases had a moderate level of self- 8. Barkhordary M, Jalalmanesh S, Mahmoodi M. [The relationship be-
esteem and an unsteady critical thinking disposition. Con- tween critical thinking disposition and self esteem in third and forth
year bachelor nursing students]. Iran J Med Educ. 2009;9(1):13–9. Per-
ducting comprehensive studies for identifying the influen-
sian.
tial factors in positive critical thinking disposition is rec- 9. Rochester S, Kilstoff K, Scott G. Learning from success: Improving un-
ommended in order to find solutions for promoting this dergraduate education through understanding the capabilities of
way of thinking. successful nurse graduates. Nurse Educ Today. 2005;25(3):181–8. doi:
10.1016/j.nedt.2004.12.002. [PubMed: 15795020].
10. Zare N, Daneshpajooh F, Amini M, Razeghi M, Fallahzadeh MH.
[The relationship between self-esteem, general health and academic
Supplementary Material
achievement in students of Shiraz University of Medical Sciences].
Iran J Med Educ. 2007;7(1):59–67. Persian.
Supplementary material(s) is available here [To read
11. Barkhordary M. [Comparing critical thinking disposition in baccalau-
supplementary materials, please refer to the journal web- reate nursing students at different grades and its relationship with
site and open PDF/HTML]. state anxiety]. Iran J Med Educ. 2012;11(7):779–88. Persian.
12. Iranfar S, Sepahi V, Khoshay A, Keshavarzi F. The relationship be-
tween critical thinking disposition and self-esteem. Edu Res Med Sci
Acknowledgments J. 2013;2(2):9–14.
13. Abasi P, Sepahi V, Khoshay A, Iranfar S, Timareh M. [Critical thinking
This study was part of a research plan approved on disposition and its relationship with self-esteem in pre-clinical and
September 11, 2014, in Mashhad University of Medical Sci- clinical medical students of Kermanshah University of Medical Sci-
ences]. Iran J Med Educ. 2013;13(6):498–508. Persian.
ences with code no. 900217, sponsored by the Research 14. Suliman WA, Halabi J. Critical thinking, self-esteem, and state anx-
Deputy of the university. We are very thankful to the re- iety of nursing students. Nurse Educ Today. 2007;27(2):162–8. doi:
spectful vice president of Mashhad University of Medical 10.1016/j.nedt.2006.04.008. [PubMed: 16857300].
Sciences and its Research Council for their support. We are 15. Rosenberg M. Society and the adolescent self-image. Rev ed. Middle-
town, CT, England: Wesleyan University Press; 1989.
very thankful to the respectful students who participated 16. Alizadeh T, Farahani MN, Shahraray M, Alizadegan S. [The relation-
in this study, as well as the honorable employees of the ship between self esteem and locus of control with infertility re-
Mashhad Nursing and Midwifery Faculty. lated stress of no related infertile men and women]. J Reprod Infertil.
2005;6(2):194–204. Persian.
17. Yadollahi A, Fata L, Mirzazadeh A, Soltani A. [Predicting academic
References achievement through critical thinking and sociodemographic vari-
ables]. J Med Educ Dev. 2013;6(11):72–8. Persian.
1. Kordi M, Rashidi Fakari F, Khadivzadeh T, Mazloum SR, Akhlaghi 18. Hasanpour M, Mohammadi R, Dabbaghi F, Oskouie S, Yadavar
F, Tara M. The effect of web-based and simulation-based education Nikravesh M, Salsali M, et al. [The need for change in medical sciences
on midwifery students’ self-confidence in postpartum hemorrhage education: A step towards developing critical thinking]. Iran J Nurs.
management. J Midwifery Reproduc Health. 2015;3(1):262–8. 2006;18(44):39–49. Persian.
2. Heshmati Nabavi F, Vanaki Z, Mohammadi E. [Barrier to forming and 19. Raeisoon M, Mohammadi Y, Abdorazaghnejad M, Sharifzadeh G. [An
implementing academic service partnership in nursing: A qualita- investigation of the relationship between self-concept, self-esteem,
tive study]. Iran J Nurs Res. 2010;5(17):32–46. Persian. and academic achievement of students in the nursing-midwifery fac-
3. Delaram M. [Clinical education from the viewpoints of nursing and ulty in Qaen during 2012-13 academic year]. Mod Care J. 2014;11(3):236–
midwifery students in Shahrekord University of Medical Sciences]. 42. Persian.
Iran J Med educ. 2006;6(2):129–32. Persian. 20. Ip WY, Lee DT, Lee IF, Chau JP, Wootton YS, Chang AM. Disposition to-
4. Tafazzoli M, Rashidi Fakari F, Ramazanzadeh M, Sarli A. The relation- wards critical thinking: A study of Chinese undergraduate nursing
ship between critical thinking dispositions and academic achieve- students. J Adv Nurs. 2000;32(1):84–90. [PubMed: 10886438].
ment in Iranian midwifery students. Nurs Pract Today. 2016;2(3):88–93. 21. Sabouri Kashani A, Faal Ostadzar N, Karimi Moonaghi H, Gharib
5. Arfaei K, Soofi-Abadi Z. [Midwifery students, perspectives about M. [Critical thinking dispositions among medical students in two
their motivation for choosing midwifery as a career]. Iran J Nurs. stages: Basic medical sciences and pre-internship]. Iran J Med Educ.
2010;23(67):23–8. Persian. 2013;12(10):778–85. Persian.
6. Facione PA. Critical thinking: What it is and why it counts. San Jose, CA, 22. Shin KR, Lee JH, Ha JY, Kim KH. Critical thinking dispositions in
USA: The California Academic Press; 2013. baccalaureate nursing students. J Adv Nurs. 2006;56(2):182–9. doi:
7. Fonteyn ME, Cahill M. The use of clinical logs to improve nursing stu- 10.1111/j.1365-2648.2006.03995.x. [PubMed: 17018066].
dents’ metacognition: A pilot study. J Adv Nurs. 1998;28(1):149–54. doi:
10.1046/j.1365-2648.1998.00777.x. [PubMed: 9687142].
A R T I C L E I N F O A B S T R A C T
Article history: Background: Practice-based or clinical placements are highly valued for linking theory to practice and
Received 9 January 2018 enabling students to meet graduate outcomes and industry standards. Post-practicum, the period
Received in revised form 17 May 2018 immediately following clinical experiences, is a time when students have an opportunity to share,
Accepted 5 June 2018
compare and engage critically in considering how these experiences impact on their learning. Reflective
practice has merit in facilitating this process.
Keywords: Aim: This project aimed to optimise the learning potential of practice-based experiences by enhancing
Reflection
midwifery students’ capacity for reflective practice through writing.
reflective practice
midwifery education
Methods: Design-based research was used to implement an educational intervention aimed at developing
competence reflective practice skills and enhance reflective writing. The Bass Model of Holistic Reflection was
midwife introduced to promote the development of reflective capacity in midwifery students. Academics and
midwifery students were provided with guidance and resources on how to apply the model to guide
reflective writing. Students’ written reflections completed before (n = 130) and after the introduction of
the intervention (n = 96) were evaluated using a scoring framework designed to assess sequential
development of reflective capacity.
Findings: The pre-intervention scores ranked poorly as evidence of reflective capacity. All scores
improved post-intervention.
Conclusions: The introduction of a holistic structured model of reflection resulted in improved scores
across all five components of reflective writing; self-awareness, sources of knowledge, reflection and
critical reflection, evidence informed practice and critical thinking. While further work is required the
results show that the implementation process and use of the Bass Model enables students to demonstrate
their capacity to reflect-on-practice through their writing.
© 2018 Australian College of Midwives. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.
https://doi.org/10.1016/j.wombi.2018.06.004
1871-5192/© 2018 Australian College of Midwives. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.
120 L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126
reflective, providing poor evidence of their reflective capacity.4,5 personal agency and ability to shape the process and outcome of a
Anecdotally, this situation had not improved in recent years. situation in action.6 Reflexivity cultivates self-awareness through
The next step in the design based process was to design a recognising one’s own influence on the environment, and what is
potential solution, and to test the outcomes of the educational learned about the self, including strengths, and areas for
intervention.24 This involved first scoping the reflective practice improvement.6,28 By developing reflexivity, the learner reflects
literature to determine a fit-for-purpose model. Historically, at a deeper personal level on the values, beliefs and assumptions
midwifery academics have drawn from models of reflection that influence experience.6 This is facilitated through deep
predominantly designed for nursing and/or education, to guide personal learning that involves moving beyond descriptive
the development of reflective practice.6 These models do not reflection to critically reflect on personal values and beliefs, and
reflect the woman-centred and holistic philosophy that underpins the wider health care system.6 The underpinning premise of the
midwifery practice.6 At the study university, undergraduate model is that if students can work with, and integrate all four
midwifery students were previously provided with the Gibbs27 concepts into their reflections, then they are much more likely to
reflective cycle as a framework to guide their reflection. This was achieve the ability to perform reflective practice (the outer circle in
presented to them in first year and reiterated in a second-year Fig. 2).
assessment activity. The reporting template for their regular COCE As depicted in Fig. 2 the Bass Model6 incorporates six inter-
reflective writing included open boxes titled “Reflection” and dependant phases embedded within a circular design reflecting
“Learning” with minimal guidance on writing expectations. An both the iterative and vertical dimensions of reflection.12,29 When
example of a COCE reflection using the Gibbs model was provided applying the model each phase is integrated to promote critical
to students. During the development phase of this project the reflection at a deep personal level, contributing to the develop-
research team became aware of the Bass Model of Holistic ment of holistic reflective practice throughout the continuum of
Reflection (henceforth the ‘Bass Model’), designed specifically for the learning cycle. The process embedded in the model promotes
midwifery.6 movement from surface to deep learning, and enables integration
The Bass Model6 integrates midwifery and educational of new learning into practice.22,29,30 Furthermore, the model
philosophy, and was designed to promote transformative learning makes explicit the forms of knowing used to make sense of
at a personal and societal level. The model offers a structured, midwifery practice, including Carpers’8 typology and Habermas’31
scaffolded and staged approach within a holistic continuum emancipatory knowing, and reflects the critical theory continuum
incorporating reflection, critical reflection and reflexivity (see to the development of holistic reflective practice.6
Fig. 1).6 The model was therefore thought to promote reflection at a To identify the level of reflective capacity within students
deeper and more critical level than the Gibbs model previously in written reflections a weighted scoring framework was developed
use. by Bass in consultation with co-authors. The framework represents
an amalgam of concepts that relate to the holistic nature of
3.1.1.1. Brief overview of the Bass Model of Holistic Reflection:. The midwifery practice and the sequential development of reflective
Bass Model6 is premised on the belief that reflective practice capacity across six measurable domains for reflective writing. Each
incorporates self-awareness, reflection, critical reflection and year of the program is linked with a deeper level of critical
reflexivity. This is represented as four inter-related concepts (see reflection that informs and reflects the developing epistemology of
inner circles of Fig. 2), situated within an outer circle of reflective midwifery practice6 (see Table 1).
practice (see Fig. 2). The first concept, self-awareness, is about In year one the student focus is on technical reflection31 based
developing understanding of ones’ own inner state, having on empirical, rational and deductive thinking, to discover what
presence and ability to regulate emotional reactions.6 Next is works in the clinical environment. Students are most concerned
reflection, the process of looking back on an experience or a with reflecting on clinical skills and what knowledge to apply in
situation with the intention of drawing insight that may inform the clinical setting to achieve appropriate outcomes. Reflection at
future practice in positive ways.6 Third, is the concept of critical this level involves evaluation of actions taken based on their
reflection, which is a guided process to aid analysis and increase success or inadequacies in the clinical setting. This includes the
the potential for transforming practice to achieve positive students’ and woman’s feelings, thoughts and perceptions about
outcomes.6 The model involves developing the ability to the experience.
critically examine situations from multiple perspectives. Steps In year two the focus shifts to practical reflection with an
include questioning, defining, reflection, analysis and learning. emphasis on human interaction and communicative action. The
Lastly, is the concept of reflexivity that represents awareness of student is concerned with developing ways of understanding
Fig. 1. Conceptual framework Bass Model of Holistic Reflection Model (Bass et al., [6,p. 230]).
122 L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126
Fig. 2. The Bass Model of Holistic Reflection (Bass et al., [6,p. 231]).
Table 1
Relative weighting of each section of scoring framework by year level.
Self-awareness Evidence of midwifery Reflection and Evidence informed Critical thinking Style, language
& insight knowledge reflexivity practice & integrity
Yr 1 20% 20% 20% 15% 10% 15%
Yr 2 + RN 1 10% 20% 25% 15% 20% 10%
Yr3 + RN 2 5% 20% 30% 15% 25% 5%
human behaviour and the practical aspects of the learning and critically reflects on practice, incorporating ethical and socio-
experience, specifically reflection on the relationship between political ways of knowing. This is motivated by transformative
theoretical principles and the realities of clinical practice. The action and commitment to reflect critically on the socio-political
student is expected to reflect on the relationship between actions and cultural constraints that prevent emancipation.32 Through
and their consequences, and beliefs, as well as the underlying critical reflection and reflexivity, the student begins to explore
rationale for practice. This extends beyond technical-rationality alternatives and plan future actions because of analysis and
into investigating, questioning, and interpreting the end objectives synthesis. To capture the progressive development expected with
and assumptions behind what is happening in the clinical setting. iterative and vertical reflection, different weightings are applied to
This involves the student in discourse and practice conversations final year students to assess their higher level reflective writing
that create opportunities for dialogic reflection.30 The scoring with an increased focus on reflexivity and critical thinking.
framework is therefore adjusted to assess the student’s increasing
ability to (1) interpret the significant factors influencing an 3.1.2. Preparation, implementation and evaluation phase
experience, (2) adopt a dialectical and dialogic approach to
exploration, (3) see the experience differently, and (4) exercise 3.1.2.1. Setting:. At the study setting, the Bachelor of Midwifery
integrative thinking to combine multiple perspectives and ways of has two pathways leading to registration; (1) Pre-registration or
knowing. direct entry for individuals without nursing or midwifery
In year three the focus is on critical and emancipatory experience, and (2) Registered Nurse (RN) entry or post-
reflection. This includes the ability to critically reflect on the registration pathway. During the program all midwifery
factors that impact on women’s choices, including ‘informed’ students are required to present written reflections across all
choices and how they are made. The focus is on what knowledge is years of their program. Whilst there were brief opportunities to do
of value and why, and builds on the interpretive knowledge this on their clinical placement records, the primary sources of
referred to earlier as practical reflection. The student is concerned reflective writing were the COCE records, and one critical reflective
with not only what happens in clinical practice, but also questions essay in second year. Given that students in all year levels, and both
L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126 123
entry pathways, undertake COCE, this form of practicum eighteen-month registered nurse (RN) pathway were shown as RN
experience was selected as the most suitable medium to test 1 or 2. The allocation of being RN 1 or 2 was directly aligned with
the intervention. The COCE also provides multiple episodes of the topics the student was enrolled in and writing for. The RN
practice over time, and therefore are rich experiences that students students do not undertake the clinical topics as year 1 students in
can draw from to reflect upon.3 the pre-registration pathway. If enrolled in the clinical topic also
Prior to the implementation of the Bass model, a series of done by year 2 students of the pre-registration pathway they were
professional development sessions were conducted for staff and identified as RN1 and similarly, when doing the clinical topic also
students on the purpose, and process of using the Bass Model6 by done by year 3 students of the pre-registration pathway, they were
the principal author of the model. To support these sessions, identified as RN2. Writings from the RN pathway students were
webinars and explanatory documents were created and made assessed using the second and third year weighted framework as it
available to staff and students through the university learning was assumed they would have developed a capacity for reflective
management system. practice in their education for, and role as, registered nurses. The
students were not provided the scoring framework, only the model
3.1.2.2. Ethical considerations:. Approval to undertake the project and supporting materials.
was received from the University’s Human Research Ethics
Committee. As data was drawn from reflective writing produced 4. Results
in the normal course of study, individual recruitment or consent
was not required. Taking this approach was considered to reduce The outcome of the reflective writing marking is shown in
the ‘Hawthorne effect’, whereby participants may consciously Table 2. Pre-intervention scores ranked poorly as evidence of
change their behaviour/output knowing they were in a research reflective capacity, with the more experienced students, Yr3 and
study.33 To ensure anonymity all data collected were de-identified RN2, scoring lower than their less experienced student counter-
and allocated a study code prior to distribution to the research parts.
assistant. Following the evaluation and scoring, the study code was All student scores improved post-intervention. Table 3 shows
then matched to the student’s program year level by the chief the per cent variation of scores for each year level.
investigator and the final score calculated with the relative
weightings to minimise potential bias during the evaluation phase. 5. Discussion
3.1.2.3. Data and data analysis:. Data was in the form of the This project set out to investigate whether implementation of a
students’ submitted reflective writings. All students submit their structured, guided and holistic reflective model designed specifi-
written work through the university online learning management cally for midwifery students would enhance their written
system or as a component of their hard copy Midwifery Practice reflections, therefore provide evidence of reflective capacity. The
Portfolio submission. In semester one 2016 a convenience sample importance of introducing midwifery students to the discipline of
of submitted reflections across all year/program pathway groups structured reflection through writing is supported by Collington
were collected. No more than two reflective pieces were sought and Hunt23 who found that students continued to embrace
from any individual student. This resulted in the collection of 130 reflection as part of their continuing midwifery practice upon
reflective pieces, based on the Gibbs model, for analysis pre- registration. Through collection and analysis of academically
intervention. Similarly, post intervention (semester 2 2016) a required reflective pieces we were able to demonstrate that the
convenience sample of 96 reflective pieces based on the Bass intervention improved midwifery students’ capacity to demon-
Model were collected for analysis. strate reflection on practice in their writing. This was achieved
All de-identified data were subjected to assessment using the
Bass reflective writing scoring framework. To ensure correct use of
Table 3
the framework, the research assistant and the author (JB) of the
Percent variation for scores for each year level.
framework independently assessed four papers across each year
group. These were then moderated to reach a consensus on Student level Pre-intervention Post-intervention % Variation
application of the framework. Subsequently any reflections that RN1 59.2 67.3 +14%
were difficult to assess were further moderated. Once all analysis RN2 49.2 67.7 +37%
was completed the scores were entered into an Excel© spread sheet Yr1 59.9 74.0 +24%
Yr2 55.9 69.4 +24%
and grouped by year level. Students undertaking the three-year Yr3 38.8 60.8 +57%
Pre-registration Bachelor program were identified using the
identifier of Year (Yr) 1, 2 or 3 while students enrolled in the
Table 2
Outcome of marking against scoring framework (note relative weightings vary per year level as per Table 1).
Time Student N Self-awareness & Evidence of midwifery Reflection and Evidence Critical Style, language & Total
group insight knowledge reflexivity informed thinking integrity score
practice
Pre-intervention RN 1 16 5.9 11.8 15.9 7.1 11.9 6.6 59.2
RN 2 21 2.2 11.0 15.3 6.4 11.2 3.1 49.2
Yr 1 10 12.4 11.9 12.2 8.2 4.8 10.4 59.9
Yr 2 39 5.4 11.9 14.1 8.1 9.8 6.6 55.9
Yr 3 44 2.1 8.2 12.7 5.0 7.8 3.0 38.8
Post-intervention RN 1 24 6.8 13.4 17.5 9.7 12.8 7.1 67.3
RN 2 33 3.5 14.0 20.1 10.4 15.9 3.8 67.7
Yr 1 11 15.1 14.4 15.7 9.9 6.9 12.0 74.0
Yr 2 24 7.1 14.0 17.9 9.7 13.4 7.3 69.4
Yr 3 4 3.3 12.5 20.8 9.4 11.2 3.6 60.8
124 L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126
without students being aware of the pre-and post-intervention philosophy underpinning the concept of ‘being with women’ in
project, to minimise any chance of their purposefully writing midwifery care.36 This requires the development of a holistic
differently for the study alone. midwifery approach that draws on multiple ways of knowing
Pre-intervention scores across the student cohort were low and gained through experiential, contextual and intuitive knowledge. It
ranked poorly as evidence of reflective capacity. Of note is the may be that the reflective model only speaks to this experience.
identified downward trend in pre-intervention scores as students Alternatively, the increase may simply be that the new structured
progressed through the program. The lowest scores, were achieved writing template, where the expectation was to write something in
by students with the most experience (final year students in both each box and therefore address each aspect of reflection, may have
entry pathways). Furthermore, had both groups of final year prompted students to increase their effort for the non-graded pass.
students’ scores been measured in this way in the curriculum they This result alone may be evidence enough to suggest a structured
would have failed to achieve the standard expected. This is an approach enhances learning and therefore should be introduced.
interesting finding given that it would seem reasonable to assume Another key finding that emerged from the project was the
that as a final year student they should have had a higher level of effectiveness of the scoring framework to assess reflective capacity.
reflective capacity and ability to translate this into reflective The pre- and post-intervention scores demonstrated the utility of
writing, especially as some of the assessed pieces of work were the framework in assessing reflective capacity. The framework was
their final written reflections. In addition, it was expected that the specifically developed to assess the five concepts that underpin the
cohort who were already registered nurses would have developed development of reflective practice, with the inclusion of language
reflective capacity as part of their pre-registration nursing and integrity for professional writing. The ability for students to be
education. This was not the case with final year students in the self-aware, insightful, critically reflective and reflexive within a
RN pathway returning scores lower than first and second year holistic midwifery philosophy that acknowledges midwifery ways
students in the pre-registration pathway. Why this would be the of knowing creates the potential for perspective transformation.
case is difficult to say. The low scores may have been the result of Weighting the concepts to reflect the expected levels of reflection
diminished student effort. For example, the COCE reflections were as the student progresses through the program from technical,
a component of the student’s Midwifery Practice Portfolio practical to emancipatory reflection is important.31,32 Pursuing this
submission, which is a non-graded assessment. As such, minimal approach ensures that each phase of the reflective process is
effort could still have achieved the non-graded pass required. assessed in a holistic and integrative manner, and students are able
Conversely, first-year students may have been more diligent in this to demonstrate development of reflective capacity over time. Each
aspect of their program, being new and enthusiastic, whereas the year of the program is linked with a deeper level of critical
third-year students may have felt pressured with the multiple reflection and reflexivity that informs and reflects the developing
demands of study and practicum, therefore strategically prioritis- epistemology of midwifery practice.6 The framework was able to
ing graded over non-graded work. quantitatively demonstrate students’ strength and weaknesses in
The subsequent improvement in scores across all year groups their reflective writing. The framework will be used in future as a
following the introduction and expectation of use of the Bass marking rubric to further enhance student learning through
Model is an important finding. For example, third-year students’ structured feedback to promote deep personal learning and
writing improved by 57%, despite the activity remaining as a non- development of reflective capacity.
graded pass. It is also noteworthy that students achieved higher In summary, we suggest that when compared to other models
post-intervention score across all criteria used to assess reflective of reflection, the design of the Bass Model has potential for
capacity (self-awareness, evidence of knowledge, reflection and facilitating the development of self-awareness and insight, critical
critical reflection, evidence informed practice, critical thinking, reflection and reflexivity, midwifery ways of knowing and critical
language and integrity). The preparation taken and process of thinking. Whereas Gibb’s iterative reflective cycle emphases
implementing the model is also important to highlight. An learning by doing, and reflection on action,27 the Bass Model6
essential aspect of the project was not only the introduction of incorporates a holistic approach to developing skills of critical
the model of structured reflection to students but to ensure they reflection, involving integration of existing knowledge with new
had access to educational resources to facilitate their learning insights and understanding within a framework of holistic
including guides and a writing template. Taking this approach is midwifery philosophy. The focus of the Bass Model is on the
supported by literature that clearly identifies that if students are to generation of knowledge through reflection on practice experi-
develop the habit of reflecting on actions, and construct meaning ences that occur before, during and after clinical practicum. In this
from those experiences, they need to be taught strategies to help way students can develop insights into what they think they
cultivate reflection.34 Reflection is a specialised form of thinking believe as espoused theory compared to theory in use.37
and learning that challenges routine thinking and action11 and Undertaking this process helps learners avoid ritualistic or routine
does not develop automatically.35 As such health care educators approaches to care as a result of unexamined knowledge and
should look for educational strategies that promote the develop- experience.38
ment of reflective capacity as early as possible in the education Such a model also recognises the complexity of reflection and
process. Low pre-intervention scores were possibly a reflection of the developmental nature of reflective capacity.12,39 Introducing
students being provided with minimal guidance on how to reflection early in pre-registration programs has been shown to
incorporate the Gibbs 22 framework into their COCE reflective develop self-awareness and insights into limitations,40,41 assist in
writing, and not necessarily the model itself. While more work is the generation of individual learning needs,40 develop solution
required the findings do suggest that the Bass Model and its focused thinking,10 and develop sustainable approaches to the
accompanying educational resources assisted students to reflect resolution of feelings and contradictions practitioners frequently
and write in a more holistic manner. face in clinical practice.10 Moreover, introducing reflection to
Having said this, the increased post intervention scores may students early in pre-registration programs has been shown to
have been an artefact of reflecting on the COCE itself, as opposed to have a direct relationship to continued use of reflection upon
another clinical learning experience. The COCE is specially graduation.42 What is evident from our study is that when
designed to help midwifery students understand how to practice scaffolded reflection is also combined with a staged approach to
holistically. Being able to be emotional, physical, spiritual and guide learners, the depth and breadth of reflective capacity is
psychological present in the COCE relationship is central to the enhanced.43 This is an important design feature of any model of
L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126 125
reflection as it recognises that learners require different levels of 2. Australian Nursing and Midwifery Accreditation Council. Midwife accreditation
reflection and a scaffolded learning approach to developing skills standards, 2014. Canberra: ANMAC; 2014.
3. Tierney O, et al. The continuity of care experience in australian midwifery
of reflection.12,13,22 education—what have we achieved? Women Birth 2017;30(3):200–5.
4. Glover P, Sweet L. Developing the language of midwifery though continuity of
6. Limitations care experiences. In: Ortoleva G, Betrancourt M, Billett S, editors. Writing for
professional development. Leiden: Brill; 2016.
5. Sweet L, Glover P. Optimizing the follow through experience for midwifery
The intervention group consisted of students from a single learning. In: Billett S, Henderson A, editors. Promoting professional learning.
tertiary education institution in Australia. The study would have Dordrecht, The Netherlands: Springer; 2011. p. 83–100.
6. Bass J, Fenwick J, Sidebotham M. Development of a model of holistic reflection
been strengthened had it taken a broader sampling approach to facilitate transformative learning in student midwives. Women Birth
across tertiary facilities. Furthermore, assessment of the reflective 2017;30(3):227–35.
pieces was analysed as a cohort group with no attempt to case- 7. Brookfield S. Critical reflection as an adult learning process. In: Lyons N, editor.
Handbook of reflection and reflective inquiry: mapping a way of knowing for
match individual writers’ pre-and post-intervention. This was
professional reflective inquiry. Springer Science+Business Media; 2010. p. 215–
because there was no guarantee that the same student would 36.
submit writings in both collection periods, and students in third 8. Carper B. Fundamental ways of knowing in nursing. Adv Nurs Sci 1978;1:13–23.
year 2016 would have completed the course before the 9. Dewey J. How we think. New York: Prometheus Books; 1933.
10. Johns C. Becoming a reflective practitioner. 2nd ed. Oxford, England: Blackwell
intervention. Furthermore, to minimise bias the students were Science; 2004.
unaware that the comparative study was occurring. Therefore, it 11. Mezirow J. Transformative learning: theory to practice. New Dir Adult Contin
is possible that the writers in the pre-and post-groups were Educ 1997;74:1–8.
12. Schön DA. The reflective practitioner: how professionals think in action. New
different individuals, and the change in score may have been by York: Basic books; 1983.
chance. The collection of data was time limited and dependant on 13. van Manen M. Linking ways of knowing with ways of being practical. Curric Inq
student submissions during the collection timeframe. COCE occur 1977;6(3):205–28.
14. Billett S. Learning through health care work: premises, contributions and
throughout the year and are relatively unpredictable in quantity practices. Med Educ 2016;50(1):124–31.
in any given time-period. Therefore, it was not possible to gather 15. Billett S. Integrating practice-based experiences into higher education. In:
equal numbers of submissions in the data collection period. In Billett S, Harteis C, Gruber H, editors. Professional and practice-based learning.
Dordrecht: Springer; 2015.
addition, it is important to note that the pre-intervention
16. Gray J, Taylor J, Newton M. Embedding continuity of care experiences: an
reflective writing was undertaken with the previous instructions, innovation in midwifery education. Midwifery 2016;33:40–2.
which may have been a limitation in itself to prompt the students 17. Billett S, Sweet L, Glover P. The curriculum and pedagogic properties of
practice-based experiences: the case of midwifery students. Vocat Learn
writing. Despite these limitations, the findings offer important
2013;6(2):237–57.
insights into the components of reflective writing that the 18. McKellar L, et al. Access, boundaries and confidence: the ABC of facilitating
students performed well in and identified areas for potential continuity of care experience in midwifery education. Women Birth 2014;27
improvement. (4):e61–6.
19. Billett S, Sweet L. Understanding and appraising healthcare students’ learning
through workplace experiences: participatory practices at work. In: Cleland J,
7. Conclusion Durning SJ, editors. Researching medical education. New York: John Wiley &
Sons Inc.; 2015. p. 117–27.
20. Gray JE, et al. The ‘follow-through’ experience in three-year Bachelor of
The findings of this project suggest that the intervention Midwifery programs in Australia: a survey of students. Nurse Educ Pract
process, including the implementation of the Bass Model of 2012;12(5):258–63.
Holistic Reflection, education for staff and students on how to 21. McLachlan HL, et al. Exploring the ‘follow-through experience’: a statewide
survey of midwifery students and academics conducted in Victoria, Australia.
write reflectively with the model, provision of resources and a Midwifery 2013;29(9):1064–72.
writing template, collectively enabled midwifery students to 22. Boud D, Keogh R, Walker D. Promoting reflection in learning: a model. In: Boud
demonstrate their capacity to reflect on practice through their D, Keogh R, Walker D, editors. Reflection: turning experience into learning.
London: Kogan Page; 1985.
writing, with improvements in reflective writing noted across all 23. Collington V, Hunt S. Reflection in midwifery education and practice: an
year groups. The collective intervention improved all components exploratory analysis. Evid Based Midwifery 2006;4(3).
of reflective writing incorporating self-awareness and insight, 24. McKenney S, Reeves TC. Conducting educational design research. London:
Routledge; 2012.
holistic midwifery philosophy, critical reflective capacity and
25. Reeves TC, McKenney S, Herrington J. Publishing and perishing: the critical
reflexivity, midwifery ways of knowing, critical thinking and importance of educational design research. Aust J Educ Technol 2011;27:55–65.
language and integrity. The results also demonstrated that, when 26. Anderson T, Shattuck J. Design-based research: a decade of progress in
introduced to students with prior experience of reflection, the education research? Educ Res 2012;41:16–25.
27. Gibbs G. Learning by doing: a guide to teaching and learning methods. London:
intervention showed substantial improvement in reflective Great Britain Further Education Unit; 1988.
capacity. While further research is required, the Bass Model and 28. Fook J, White S, Gardner F. Critical reflection: a review of contemporary
associate intervention activities appears to provide a structured, literature and understandings. In: Fook J, White S, Gardner F, editors. Critical
reflection in health and social care. Berkshire, England: Open University Press;
scaffolded, staged and holistic approach to developing post- 2006. p. 3–22.
practicum reflective capacity in midwifery students. With further 29. Moon J. Reflection in learning and professional development. London: Kogan
testing and adaptation, the Bass Model may also have the potential Page; 1999.
30. Mann K, Gordon J, MacLeod A. Reflection and reflective practice in health
to develop reflective capacity in students and practitioners across a professions education: a systematic review. Adv Health Sci Educ 2009;14
range of health and social care disciplines. (4):595–621.
31. Habermas J. Communication and the evolution of society. Cambridge: Polity
Press; 1979.
Conflict of Interest 32. Taylor B. Reflective practice: a guide for nurses and midwives. 2nd ed. Birkshire,
UK: Open Press University; 2006.
The Deputy Editor, Linda Sweet, played no role in the peer 33. Z. Schneider , et al. Nursing and midwifery research: methods and appraisal for
evidence-based practice 5th ed. Mosby Elsevier Sydney 2016;
review or decision-making processes around teh acceptance of this
34. Costa AL, Kallick B. Learning and leading with habits of mind: 16 essential
manuscript. characteristics for success. Alexandria, USA: ASCD; 2008.
35. Embo M, et al. Relationship between reflection ability and clinical perfor-
References mance: a cross-sectional and retrospective-longitudinal correlational cohort
study in midwifery. Midwifery 2015;31(1):90–4.
36. Hunter B, et al. Relationships: the hidden threads in the tapestry of maternity
1. Billett S., Cain M, Le AH. Augmenting higher education students’ work care. Midwifery 2008;24(2):132–7.
experiences: preferred purposes and processes. Stud High Educ 2016;1–16.
126 L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126
37. Argyris C, Schon D. Theory in practice: increasing professional effectiveness. San 41. Noveletsky-Rosenthal H, Solomon K. Reflections on the use of Johns’ model of
Francisco: Jossey Bass; 1974. structured reflection in nurse-practitioner education. Int J Hum Caring 2001;5
38. Thorpe K. Reflective learning journals: from concept to practice. Reflect Pract (2):21–6.
2004;5(6):327–43. 42. Wright JM. The frameworks: implications for placement learning. In: Smith A,
39. Larrivee B. Development of a tool to assess teachers’ level of reflective practice. McAskill H, Jack K, editors. Developing advanced skills in practice teaching.
Reflect Pract 2008;9(3):341–60. Hampshire: Palgrave Macmillan; 2009.
40. Ekelin M, Kvist LJ, Persson EK. Midwifery competence: content in midwifery 43. Platzer H, Snelling J, Blake D. Promoting reflective practitioners in nursing: a
students’ daily written reflections on clinical practice. Midwifery 2016;32:7– review of theoretical models and research into the use of diaries and journals
13. to facilitate reflection. Teach High Educ 1997;2(2):103–21.
Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi
sebagai Dasar Penalaran Ilmiah
Imron Mustofa
Sekolah Tinggi Agama Islam YPBWI Surabaya
Email: im.mustof4@gmail.com
Abstrak
Logika memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan
pengetahuan serta pengkajian-pengkajian pengetahuan tertentu.
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan ia menjadi dasar yang menentukan
pemikiran agar lurus, tepat dan sehat. Sebab fungsi logika menyelidiki,
merumuskan serta menerapkan hukum-hukum yang ditepati. Logika
merupakan ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti
agar dapat berfikir valid menurut aturan yang berlaku. Ini dikarenakan,
Penalaran ilmiah menghendaki pembuktian kebenaran secara terpadu.
Antara kebenaran rasional dan factual ataupun deduktif dan induktif
yang keduanya menggunakan hipotesa sebagai jembatan
penghubungnya. Baik deduktif dan induktif bukan tanpa cacat,
karenanya perlu sebuah identifikasi lebih jauh, guna mencapai suatu
metode penalaran ilmiah yang mengamini pembuktian terpadu, antara
rasional dan kebenaran factual.
Pendahuluan
Semua penalaran yang menggunakan pikiran sudah tentu berpangkal
pada logika. Dengannya, dapat diperoleh hubungan antar pernyataan.
Namun, tidak semua anggapan atau pernyataan berhubungan dengan logika.
Hanya yang bernilai benar atau salahlah yang bisa dihubungkan dengan
logika.1 Sehingga dalam sebuah diskursus keilmuan, kajian seputar logika
memiliki andil yang signifikan terhadap perkembangan hal itu. Terlebih lagi,
kondisi masyarakat yang umumnya cenderung praktis tampaknya telah
menuntun para pelajar melupakan aspek terpenting tersebut dari diskursus
keilmuan. Padahal sebuah konsep dianggap ilmiah jika mampu
membuktikan validitas argumennya,2 tentunya yang terangkai dalam
sistematika yang logis baik menggunakan panca indra ataupun lainnya.
Sehingga di sini antara penjelasan dan bukti-bukti terdapat sebuah benang
merah yang tidak tergantikan. Maka nampaklah bahwa penyajian yang baik
akan menjadi keyword dari kriteria ilmiah yang paling dasar. Sehingga
ungkapan bahwa Metode berpikir ilmiah memiliki peran penting dalam
mendukung manusia memperoleh cakrawala keilmuan baru dalam menjamin
eksistensi manusia bukanlah sebuah bualan belaka. Dengan menggunakan
metode berfikir ilmiah, manusia terus mengembangkan pengetahuannya.3
Maka sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi dunia keilmuan untuk
menjadikan sebuah diskursus tentang metode berfikir yang cocok dengan
logika sebagai sebuah pembahasan yang mendalam. Sehingga tepat atau
tidaknya penentuan pilihan dari metode atau cara yang mungkin diambil,
akan menentukan hasil akhir dari wacana tersebut. Maka dari itu akhirnya
timbul pertanyaan tentang seperti apa dan kapankan sebuah metode dalam
logika berfikir ilmiah dapat diterima dan digunakan sejalan dengan wacana
tersebut. Pertanyaan itu akhirnya menawarkan sistem induktif dan deduktif
sebagai jawaban, sehingga pada pembahasan selanjutnya hal inilah yang
menjadi pokok pembicaraan dalam wacana kali ini.
3 Baca: The Liang Gie, Dari Administrasi ke Filsafat (Yogyakarta: Supersukses, 1982)
4 Noor Ms Bakry, Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu (Yogyakarta: Liberty,
2001), 55.
5 Maksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang menjadi sarana komunikasi ilmiah yang
masing, begitu pula dengan para ilmuan, setiap individu merujuk pada
filsatat yang sama, yaitu penggunaan metode Ilmiah dalam menyelesaikan
sebuah problematika keilmuan yang mereka hadapi.8 Karena penggunaan
metode ilmiah dalam sebuah wacana keilmuan dapat meringankan ilmuan
dan pengikutnya dalam melacak kebenaran wacana mereka tersebut. Sehigga
akhirnya lahirlah sebuah asumsi bahwa dalam pengetahuan ilmiah semua
kebenaran dapat dipertanggung jawabkan, meskipun hanya atas nama logika.
Karena pada hakekatnya setiap kebenaran ilmiah selalu diperkuat dengan
adanya bukti-bukti empiris maupun indrawi yang mengikutinya.9 Sehingga
dalam proses berfikir ilmiah ataupun sebuah pencapaian pemahaman final
perlu ditopang dengan logika.
Disebut logika bilamana ia secara luas dapat definisikan sebagai
pengkajian untuk berpikir secara benar, yang bermuara pada kesimpulan
yang benar.10 Penarikan kesimpulan dalam berpikir ilmiah dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dengan logika deduktif dan logika induktif. Selain itu
bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah juga sangat berperan penting dalam
melakukan kegiatan berpikir ilmiah. Karena bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah serta
media untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Tanpa
bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak
seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah.
Karenanya, guna mendukung dan mengembangkan wacana
keilmuan yang selama ini telah berjalan, maka diperlukan sebuah master
plan yang mumpuni. Rencana tersebut haruslah di dalamnya mengandung
langkah-langkah baik logika teoritis, skematis, maupun implementasi, serta
pelaksanaannya. Ia meliputi: persiapan gambaran metodologi yang akan
digunakan, yang diikuti diskursus komprehensif dalam bidang tersebut,
kemudian mengkolaborasikannya dengan wacana keilmuan lain,11 sehingga
didapati sebuah sistem berfikir yang dapat disambut oleh semua belah pihak.
Yang kesemuanya akan kembali bermuara pada proses pembelajaran
terutama dalam wacana keilmuan.
Logika sendiri menurut Aristoteles tidak lepas dari istilah silogistik.
Ia merupakan sebuah penjelasan yang dalam prosesnya mengandung unsur
“abstraksi/premis mayor” dan “difinisi/premis minor” keduanya diperlukan
untuk membangun sebuah konsep yang benar sebelum melangkah menjadi
8 Baca: Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006),
edisi 3, 13-15.
9 Budi F. Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 2004), lihat juga: Jujun S.
Supriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 215.
10 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, 46.
11 Lihat: Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan
12 Penalaran deduktif yang diambil poin intinya dan dirumuskan secara singkat, maka
didapatilah bentuk logis pikiran yang disebut silogisme ini. Sehingga penguasaan atas bentuk
logis ini akan sangat membantu memfokuskan langkah-langkah pola pikirsehingga terlihat
hubungan sebelum mencapai suatu kesimpulan. lihat: Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), cet.4, 45-46.
13 Ibarat logika adalah suatu bangunan, maka proposisi adalah batu, pasir, dan semen yang
masih tercampur dengan hal-hal lain. Mohammad Muslih, “Problem Keilmuan Kontemporer
dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Pendidikan”, dalam Tsaqafah jurnal Peradaban Islam,
vol.8, Nomor1, April 2012, Gontor, Institu Studi Islam Darussalam (ISID), 30.
14 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, 48.
15 Ibid., 58.
16 Ibid., 52-53.
17 Untuk pembahasan memperdalami pembahasan tujuan ini, baca: Milton D. Hunnex, Peta
filsafat: Pendekatan Kronoligis dan Tematik (Jakarta: Teraju, 2004), 1-9.
18 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
21 Ibid., 40-41.
22 Maksud kaidah, di sini adalah suatu pernyataan yang mengandung kebenaran universal.
23
Prinsip identitas menyatakan bahwa suatu benda, adalah benda itu sendiri. Artinya benda
tersebut harus mengandung suatu makna yang sependapat dalam sebuah percakapan, atau
memiliki suatu sifat yang konsisten. adapun prinsip non-kontradiktif menyatakan bahwa tidak
mungkin suatu benda memiliki makna yang saling bertolak belakang, dalam waktu dan
kondisi yang sama. Selanjutnya eksklusi tertii, menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah
benda memiliki makna yang berlawan dan keduanya bermakna benar, ataupun keduanya
salah. Dan tidak mungkin menggabungkan keduanya dalam satu waktu. Hal ini kemudian
dilengkapi dengan prinsip cukup alas an, atau adanya suatu benda harus memiliki suatu alasan
yang cukup untuk menerangkan maksud dari eksistensinya. Ibid., 44-47.
24 Ibid.,124.
25 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
33 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Roshda Karya, 2005), vii.
34 A Muis, Komunikasi Islami (Bandung: Remaja Roshda Karya, 2001), 38.
35 Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (T.t.: Mizan Pustaka,
2005), 113.
36 Lembaga untuk Transformasi Sosial Indonesia, Wacana (T.t.: Yayasan Obor Indonesia,
2006), 192. lihat juga: Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, Asas-Asas Penalaran Sistematis
(Yogyakarta: Kanisius, t.th.), 18.
15.
40 Mark B. Woodhouse, Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 49.
41 Ibid., 55.
42 M. Sastrapratedja, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hkm Kodrat Th. Aquinas
2006), 138.
49 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, 18.
1993), 89.
56 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu,243.
menerima ataupun menolak sesuatu begitu saja tanpa pemikiran yang cermat
dan mendalam. Di sinilah kelebihan seorang ilmuan dibanding orang awam.
Walaupun demikian tidak sedikit ilmuan yang tergelincir dalam asumsi yang
kurang tepat, seperti halnya tidak sedikit orang yang terbius pendapat Hitler
yang menilai bahwa Jerman adalah bangsa Aria, sedangkan Yahudi adalah
pencemarnya, sehingga terjadilah apa yang telah terjadi. Hal ini tiada lain
merupakan sebuah jalan pikiran yang keliru ataupun materi yang tidak benar.
Di sinilah letak kenapa logika memerankan peran yang sangat krusial
sebagai sebuah metode bernalar.
Metode ini merupakan suatu rangkaian langkah yang harus
ditempuh sesuai hirarki tertentu guna mendapatkan suatu pengetahuan. Ia
adalah prosedur tata cara, dan tehnik-tehnik tertentu guna memperoleh
pengetahuan, serta mampu membuktikan benar salahnya sebuah hipotesis
yang telah ada sebelumnya.57 Sehingga jika metode ilmiah adalah sebuah
prosedur yang digunakan ilmuwan dalam mencari suatu kebenaran baru,
maka ia perlu dijalankan secara sistematis dan ditinjau kembali dari
kacamata pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Secara singkat metode
bernalar dapat digolongkan kedalam dua bentuk yang tampak saling bertolak
belakang namun saling melengkapi, yaitu induksi dan deduksi.
57 Julia Branner, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Samarinda: Pustaka
Pelajar, 2002)
58 Mundiri, Logika., 14
59 Maksud koheren di sini adalah konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap
60Ibid.
61Seperti halnya dengan kepercayaan kaum pragmatis terhadap sistem demikrasi, karena ia
merupakan bentuk fungsional dalam menentukan consensus masyarakat luas. Lihat: Jujun S.
Supriasumantri, Filsafat Ilmu,59
“ramalan” dengan suatu tingkat keyakinan tertentu tentang akan terjadinya suatu kejadian
dimasa yang akan datang. Lihat: Mundiri, Logika., 183.
64 JIka ingin memperdalam pembahasan ini, silahkan baca: Saleh Iskandar Poeradisastra,
Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1981)
65 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, 113.
66 Protasius Hardono Hadi, dan Kenneth T. Gallagher, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan
dalam negeri.” Jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering kita dapati.
Alasanya sederhana, keterbatasan manusia.
Induksi sering pula diartikan dengan istilah logika mayor, karena
membahas pensesuaian pemikiran dengan dunia empiris, ia menguji hasil
usaha logika formal (deduktif), dengan membandingkannya dengan
kenyataan empiris.69 Sehingga penganut paham empirme yang lebih sering
mengembangkan pengetahuan bertolak dari pengalaman konkrit. Yang
akhirnya mereka beranggapan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah
yang diperoleh langsung dari pengalaman nyata. Dengan demikian secara
tidak langsung penggiat aliran inilah yang sering menggunakan penalaran
induktif. Karena Penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi indrawi
atau empiris. Dengan kata lain penalaran induktif adalah proses penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat individual nyata menjadi
kesimpulan yang bersifat umum.70 Inilah alasan atas eratnya ikatan antara
logika induktif dengan istilah generalisasi, serta empirisme.
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada
suatu dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati sampai
mengerucut pada suatu kesimpulan yang general.71 Sebagai contohnya jika
kita ingin mengetahui berapa rata-rata tinggi badan anak umur 9 tahun di
Indonesia tentu cara paling logis adalah dengan mengukur tinggi seluruh
anak umur 9 tahun di Indonesia. Proses tersebut tentu akan memberikan
kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan namun pelaksanaan dari
proses ini sendiri sudah menjadi dilema yang tidak mudah untuk
ditanggulangi.
Di samping itu, guna menghindari kesalahan yang disebabkan
karena generalisasi yang terburu, Bacon menawarkan empat macam idola
atau godaan dalam berfikir: Pertama, idola tribus, yaitu menarik
kesimpulan, tanpa dasar yang cukup. Artinya, kesimpulan diperoleh darik
pengamatan yang kurang mendalam, dan memadai, sehingga ia diambil dari
penelitian yang masih dangkal. Kedua, idola spesus, yakni, kesimpulan yang
dihasilkan bukan berdasarkan pengamatan yang cukup, namun lebih sebagai
hasil dari prasangka belaka. Ketiga, idola fori, poin ketiga ini cukup
menarik, karena kesimpulan lahir hanya sebatas mengikuti anggapan
ataupun opini public secara umum. Dan terakhir, idola theari, anggapan
bahwa dunia ini hanyalah sebatas panggung sandiwara, makanya kesimpulan
yang diambil hanya berdasarkan mitos, doktrin, ataupun lainnya.72 Jika
seandainya keempat idola ini dapat dihindari oleh seorang peneliti, maka
Penutup
Penalaran atau metode berfikir ilmiah menghendaki pembuktian
kebenaran secara terpadu antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual,
serta mengggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan
menggunakan asumsi dasar atau hipotesa sebagai jembatan penghubungnya.
Induksi dan deduksi sebagai penalatan atau metode ilmiah bukan
tanpa kekurangan, karena itu tugas kita adalah mencoba identifikasi apa
kelebihan dan kekurangan metode ilmiah ini. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan metode penalaran ilmiah yang menghendaki pembuktian
kebenaran secara terpadu antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual,
menggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan menggunakan
hipotesis sebagai jembatan penghubungnya. Sehingga dari sini diharapkan
dapat melahirkan alur penalaran ilmiah yang baik dan benar.
75 Ibid., 218.
76 D. Van Dalen, Understanding Educational Research (New York: Mc Graw Hill Book,
1973), 13.
77 R.D. Anderson, Developing Children Thinking through Science (New Jersey: Prentice Hall,
Perumusan Masalah
Perumusan Kerangka
Berfikir
Induksi
Korespondens
Pragmatisme i
Daftar Rujukan
Anderson, R.D. Developing Children Thinking through Science. New Jersey:
Prentice Hall, 1970.
Awuy, Tommy F. Problem filsafat moderen dan Dekonstruksi. T.t.:
Lembaga Studi Filsafat, 1993.
Bagir, Zainal Abidin. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. T.t.:
Mizan Pustaka, 2005.
Bahm, Archie J. Filsafat Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius, t.th.
Bakar, Oesman. Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan, 1997.
Bakry, Noor Ms. Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu.
Yogyakarta: Liberty, 2001.
Branner, Julia. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.
Samarinda: Pustaka Pelajar, 2002.
Capra, Fritjop. Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan, terj. M. Thoyibi. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1998.
Dalen, D. Van. Understanding Educational Research. New York: Mc Graw
Hill Book, 1973.
Epstein, Richard A. Skeptisisme dan Kebebasan. T.t.: Yayasan Obor
Indonesia, t.th.
Faruqi (al), Ismail Raji. Islamization of Knowledge: General Principles and
Work Plan. Washington: International Institute of Islamic Thought,
1982.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kemampuan penalaaran deduktif mahasiswa pada
materi ruang vektor. Kemampuan penalaran deduktif mahasiswa perlu dikembangkan untuk
memberikan pengalaman dalam membuktikan suatu teorema yang sering ditemukan dalam
perkuliahan matematika. Penalaran deduktif adalah proses berfikir yang berawal dari pembuktian
pernyataan-pernyataan khusus untuk diambil suatu kesimpulan secara general. Jenis penelitian ini
adalah deskriptif kuantitatif dan kualititatif. Penelitian dilakukan pada semester gasal di program
studi pendidikan matematika Universitas PGRI Yogyakarta. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah soal tes penalaran deduktif. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dengan dua macam
yaitu kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan mencari rata-rata,
modus, dan persentase kelulusan kompetensi mahasiswa. pengolahan data kualitatif dilakukan
dengan mengkonversi data kuantitatif ke indikator penalaran deduktif sehingga diperoleh
kategosisasi kemampuan penalaran deduktif mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
profil kemampuan penalaran deduktif mahasiswa pada materi ruang vektor adalah 21% berada
pada kategori rendah, 46% berkategori sedang, dan 33% berkategori tinggi.
Kata Kunci : profil kemampuan, penalaran deduktif, ruang vektor.
ABSTRACT
The aim of this is to determine the profile of students’ deductive reasoning ability on vector space
chapter. Students’ deductive reasoning abilities must develop to enhance students’ experiences to
prove a theorem that is often found in mathematics teaching and learning. Deductive reasoning is a
process of reasoning that begins with the proof of specific statements to take a general conclusion.
The type of this research is descriptive quantitative and qualitative. The research was conducted in
the first of the year grade in mathematics education study program, PGRI University of
Yogyakarta. The instruments of this research use a deductive reasoning test. Analysis of data use
descriptive analysis in qualitative and quantitative. The quantitative data is used to find the mean,
mode, and percentage of students' competencies. The qualitative data is used to show the
categorization of students deductive reasoning ability. The results of this study is the profile of
students deductive reasoning ability on vector space chapter is 21% is in low category, 46% is
moderate category, and 33% high category.
Keywords: skills profile, deductive reasoning, vector space.
75
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82
76
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82
77
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82
78
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82
79
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82
analisis yang dilihat dari setiap indikator menguasai kompetensi tersebut. Hal ini
jawaban pada rubrik skor. Berikut data ditunjukkan dari jawaban mahasiswa
perolehan skor penalaran deduktif dengan yang telah mampu mengambil suatu
aspek membuktikan secara langsung premis yang sesuai dengan pernyataan
berdasarkan indikator jawaban pada soal yang diberikan. Mahasiswa
mahasiswa dengan skor 0, 1, 2, dan 3.. telah dapat menunjukkan premis tersebut
40 menggunakan simbol matematika sesuai
Banyaknya mahasiswa
80
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82
dibuktikan namun terkadang ada satu dari kurang lengkapnya sifat aksioma
atau dua langkah yang masih terlupakan yang bijektif. Sedangkan mahasiswa yang
untuk dibuktikan. memperoleh skor 1 disebabkan oleh
Berdasarkan Gambar 2, indikator terlambatnya mengikuti perkuliahan atau
tipe C dan E menunjukkan hasil yang sering tidak hadir sehingga saat latihan di
hampir bersesuaian. Pada indikator C kelas tidak mengikuti bahkan tugas
yang melihat kemampuan penalaran pendukung terkadang tidak memenuhi.
deduktif mahasiswa dari proses Walaupun demikian, terlambatnya
melaksanakan operasi-operasi mengikuti perkuliahan masih mendapat
matematika yang relevan disertai dengan sedikit pengalaman yang tidak komplit
penjelasan/alasan untuk memperoleh sehingga saat membuktikan tidak genap
pernyataan bukti terpenuhi. Dengan sepuluh aksioma terlaksana.
melihat Gambar 2, perolehan skor 3 pada Pada indikator jawaban tipe F
indikator ini lebih dari 30 mahasiswa yaitu menyatakan kembali bukti ke dalam
yang menunjukkan bahwa mahasiswa bentuk kalimat biasa yang menunjukkan
dapat mengoperasikan hal-hal khusus generalisasi masih banyak yang tidak
berdasarkan teorema ataupun aturan yang melakukan. Sehingga penilaian untuk
telah berlaku. kemampuan penalaran deduktif yang
Selain itu, kemampuan penalaran dilihat dari penarikan kesimpulan untuk
deduktif mahasiswa yang dilihat dari generalisasi masih cenderung terlupakan
kompetensi menyusun model matematika setelah aksioma-aksioma ditunjukkan
masalah dan pernyataan yang akan terpenuhi. Menginterpretasikan kembali
dibuktikan berdasarkan kelengkapan sifat hasil analisis khusus untuk dilakukan
aksioma telah dikuasai sebagian besar kesimpulan umum perlu ditekankan
mahasiswa. Terbukti hanya ada sedikit kepada mahasiswa karena bentuk umum
atau hanya terdapat kurang dari 10 yang akan dibuktikan harus sesuai
mahasiswa yang memperoleh skor 2 dan dengan permasalahan yang sedang
ini juga dapat menunjukkan skor dihadapi.
mahasiswa yang hampir sempurna.
Permasalahan yang menyebabkan
kekurangsempurnaan tersebut terlihat
81
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82
DAFTAR PUSTAKA
82
CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
Provided by Portal E-Journal Universitas Khairun
ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang berpikir matematika dengan metode
induktif, deduktif, analogi, integratif, dan abstrak. Uraian didasarkan atas
analisis terhadap: (1) berpikir induktif merupakan suatu proses berpikir
yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu
kesimpulan (inferensi); (2) Berpikir deduktif adalah proses pengambilan
kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang keberadaannya
telah ditentukan; (3) Berpikir analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
berlainan, yang satu bukan yang lain, tetapi dua hal yang berbeda itu
dibandingkan satu dengan yang lain.; (4) Melalui penerapan integratif
proses pengajaran menjadi lebih kompleks, hal ini melibatkan komponen
internal dan eksternal; (5) Kemampuan berpikir abstrak tidak terlepas dari
pengetahuan tentang konsep, karena berpikir memerlukan kemampuan
untuk membayangkan atau menggambarkan benda dan peristiwa yang
secara fisik tidak selalu ada.
Kata Kunci: Berpikir Matematis, Metode Induktif, Deduktif, Analogi, Integratif, dan
Abstrak.
PENDAHULUAN
Karakteristik berpikir matematis dibagi menjadi empat karakteristik yaitu fokus
kepada himpunan, berpikir bergantung pada tiga variabel, pemahaman denitatif dan
berpikir matematis sebagai kekuatan pendorong dibelakang pengatahuan dan
keterampilan. Karakteristik berpikir matematis ini merupakan cara yang mendasar
dalam memahami jenis berpikir matematis yang ada. Melalui pemahaman tentang
karakteristik berpikir matematis, seseorang dapat dikatakan memiliki pemahaman
matematik yang kuat. Berpikir matematis digunakan dalam kegiatan matematika,
karena itu berpikir matematis erat kaitannya dengan isi dan metode matematika itu
sendiri. Misalnya, berbagai metode yang berbeda diterapkan ketika aritmatika atau
matematika digunakan untuk melakukan kegiatan belajar matematika, bersama
dengan berbagai jenis isi matematika. Lebih tepatnya bahwa semua metode dan
jenis isinya adalah jenis berpikir matematis.
Katagiri (2004) membagikan empat kategori logis dalam berpikir matematika
yaitu sebagai berikut: a) Sikap matematika; mencoba untuk memahami masalah sendiri
79
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
atau tujuan, substansi dengan jelas oleh diri sendiri, mencoba untuk mengambil
tindakan logis, mencoba untuk mengekspresikan materi dengan jelas dan ringkas, dan
mencoba untuk mencari hal yang lebih baik; b) Berpikir matematika terkait dengan
metode matematika; berpikir induktif, berpikir analogis, berpikir deduktif, berpikir
integratif, berpikir abstraktif; c) Berpikir matematika terkait dengan isi matematika;
memperjelas objek himpunan untuk dipertimbangkan dan objek untuk dikeluarkan
dari himpunan, mengklarifikasi kondisi untuk dimasukkan (ide himpunan), fokus pada
elemen dan ukuran serta hubungan (Ide unit), mencoba untuk berpikir berdasarkan
prinsip-prinsip dasar ekspresi (Ide ekspresi), memperjelas dan memperluas
makna suatu hal dan operasi dan mencoba untuk berpikir berdasarkan ide operasi,
mencoba untuk merumuskan metode operasi (Ide dari algoritma), mencoba untuk
memahami gambaran besar dari objek dan operasi, dan menggunakan hasilnya
untuk pemahaman (Ide dari pendekatan), fokus pada aturan dasar dan sifat (Ide dari sifat
dasar); d) Mencoba untuk fokus pada apa yang ditentukan oleh keputusan seseorang,
menemukan aturan hubungan antara variabel, dan menggunakan sesuatu hal yang sama
(Berpikir Fungsional), mencoba untuk mengekspresikan proposisi dan hubungan
sebagai formula, dan untuk mengetahui tujuan (Ide formula).
PEMBAHASAN
Berpikir matematis digunakan dalam kegiatan matematika, karena itu erat
hubungannya berpikir matematis dengan isi dan metode aritmatika serta matematika.
1. Berpikir Induktif
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu
agar sampai pada sebuah kesimpulan yaitu berupa pengetahuan (Suriasumantri, 1997:
1). Oleh karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut dengan
sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan
ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya
diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan
dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan
kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa : bahasa
ilmiah, logika dan matematika, serta logika dan statistika (Tim Dosen Filsafat Ilmu.
1996: 68). Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh
proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk
80
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
menyampaikan jalan pikiran dari seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain.
Logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari
konsep-konsep yang berlaku umum.
Berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal
khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut
Herbert L. Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996 : 91-92), diperlukan proses penalaran
sebagai berikut:
1) Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus.
Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen.
Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk
membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.
2) Langkah kedua adalah perumusan hipotesis.
Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan
pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis
ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji kebenarannya, terbuka dan
sistematis sesuai dengan dalil-dalil yang dianggap benar serta dapat menjelaskan
fakta yang dijadikan fokus kajian.
3) Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi.
Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus
dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga dibandingkan dengan
fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu
langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil
yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup generalisasi untuk menemukan dalil
umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu teori.
4) Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil
verifikasi.
Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah terbentuknya hukum
ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi adalah untuk sampai pada suatu dasar
yang logis bagi generalisasi tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain
untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal
untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagi semua hal harus
merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Induktif adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah
fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Metode berpikir
81
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke umum. Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas
fenomena yang ada. Hal ini disebut sebagai sebuah corak berpikir yang ilmiah karena
perlu proses penalaran yang ilmiah dalam penalaran induktif.
Pada pembelajaran matematika, pola pikir induktif digunakan guru jika dalam
menyampaikan materi pembelajaran dimulai dari hal-hal yang khusus menuju ke hal
yang lebih umum. Dalam mengenalkan konsep bangun datar, misalnya persegi, guru
dapat menunjukkan berbagai bangun geometri atau gambar datar kepada para siswa, dan
mengatakan “ini namanya persegi.” Selanjutnya menunjuk bangun lain yang bukan
persegi dengan mengatakan “ini bukan persegi.” Setelah guru memberikan kasus khusus
misalnya contoh-contoh, siswa mengamati, membandingkan, mengenal karakteristik,
dan berusaha menyerap berbagai informasi yang terkandung dalam kasus khusus
tersebut untuk digunakan memperoleh kesimpulan atau sifat yang umum.
Proses berpikir induktif meliputi pengenalan pola, dugaan dan pembentukan
generalisasi. Ketepatan sebuah dugaan atau pembentukan generalisasi dalam pola
penalaran ini sangatlah tergantung dari data dan pola yang tersedia. Semakin banyak
data yang diberikan atau semakin spesifik pola yang diberikan, maka akan
menghasilkan sebuah dugaan atau generalisasi yang semakin mendekati kebenaran.
Sebaliknya, semakin sedikit data yang diberikan atau semakin kurang spesifiknya pola
yang disediakan, maka dugaan atau generalisasi bisa semakin jauh dari sasaran, dan
bahkan bisa memunculkan dugaan atau generalisasi ganda.
Misalkan diberikan sebuah barisan bilangan 2, 5, 8, 11, 14, 17, 20, ..., maka
pengenalan pola dimaksudkan sebagai suatu identifikasi tentang tata aturan penulisan
barisan tersebut. Dari contoh ini dapat dilihat bahwa untuk mendapatkan bilangan
berikutnya, maka sebuah bilangan dalam barisan tersebut harus ditambah dengan 3.
Setelah mengetahui polanya, selanjutnya dapat dilakukan dugaan-dugaan tentang
bilangan-bilangan yang akan muncul pada urutan yang lebih tinggi, misalnya dugaan
tentang 3 bilangan yang akan muncul pada urutan ke 8, 9 dan 10. Selanjutnya hasil dari
proses pengenalan pola dan pendugaan tersebut dapat digunakan untuk membentuk
sebuah generalisasi, yakni dengan menyusun formula untuk menentukan bilangan yang
akan muncul pada urutan ke n.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa penalaran induktif merupakan proses
penyimpulan secara umum dari hasil observasi yang terbatas. Hasil kesimpulan yang
diperoleh bisa jadi kurang valid atau bisa mengakibatkan kesalahan penafsiran apabila
82
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
data yang dipergunakan kurang lengkap atau pola yang diamati kurang spesifik.
Sementara itu konsep-konsep dalam matematika tidak pernah mengalami perubahan,
jikalaupun ada itu sifatnya hanyalah penambahan karena adanya temuan-temuan baru
dan tidak sampai merubah konsep yang sudah ada sebelumnya. Hal ini karena sistem
yang ada dalam matematika merupakan sistem-sistem deduktif, dimana kebenaran suatu
konsep didasarkan pada konsep-konsep sebelumnya. Oleh karenanya sistem penalaran
yang paling banyak berperan dalam matematika adalah penalaran deduktif.
2. Berpikir Deduktif
Berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan
kepada premis-premis yang keberadaannya telah ditentukan. Secara deduktif
matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu.
Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah konsekuensi dari pernyataan-
pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya.
Matematika dikenal dengan ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan
matematika harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi
berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian deduktif.
Meskipun demikian untuk membantu pemikiran pada tahap-tahap permulaan seringkali
kita memerlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
Perlu diketahui bahwa baik isi maupun metode mencari kebenaran dalam
matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam, apalagi dengan ilmu pengetahuan
umum. Metode mencari kebenaran yang dipakai oleh matematika adalah ilmu deduktif,
sedangkan ilmu pengetahuan alam adalah metode induktif atau eksperimen. Namun
dalam matematika mencari kebenaran itu bisa dimulai dengan cara induktif, tetapi
seterusnya generalisasi yang benar untuk semua keadaan harus bisa dibuktikan secara
deduktif. Dalam matematika suatu generalisasi, sifat, teori atau dalil itu belum dapat
diterima kebenarannya sebelum dapat dibuktikan secara deduktif. Sebagai contoh,
dalam ilmu biologi berdasarkan pada pengamatan, dari beberapa binatang menyusui
ternyata selalu melahirkan. Sehingga kita bisa membuat generalisasi secara induktif
bahwa setiap binatang menyusui adalah melahirkan.
Generalisasi yang dibenarkan dalam matematika adalah generalisasi yang telah
dapat dibuktikan secara deduktif. Contoh: untuk pembuktian jumlah dua bilangan ganjil
adalah bilangan genap. Pembuktian secara deduktif sebagai berikut: andaikan m dan n
sembarang dua bilangan bulat maka 2m + 1 dan 2n + 1 tentunya masing-masing
83
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
merupakan bilangan ganjil. Jika kita jumlahkan (2m + 1) + (2n + 1) = 2(m + n + 1).
Karena m dan n bilangan bulat maka (m+n+1) bilangan bulat, sehingga 2(m + n + 1)
adalah bilangan genap. Jadi jumlah dua bilangan ganjil selalu genap.
Hal ini untuk membiasakan siswa berpikir deduktif dalam belajarnya
dikarenakan matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak dan penalarannya
deduktif. Guru dapat mendesain kegiatan pembelajaran yang mampu mengungkap
penggunakan pola pikir deduktif. Namun bagi siswa penggunaan pola pikir deduktif ini
sering dipandang berat, misalnya pembuktian dengan pola pikir deduktif. Penggunaan
pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi atau teorema dalam
pemecahan masalah Hudojo (2005).
Dapat disimpulkan bahwa pengertian deduktif adalah pengambilan kesimpulan
untuk suatu atau beberapa kasus khusus yang didasarkan kepada suatu fakta umum.
Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan
operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus
memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian
di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori
merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.Sebagai contoh:
Premis 1: Jika ada 2 garis sejajar, maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar
tersebut dengan garis yang ketiga adalah sama.
Premis 2: Jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
Pada intinya, pembuktian dengan penalaran induktif seperti ditunjukkan di atas
belum dapat meyakinkan orang lain, termasuk para pembaca naskah ini, bahwa rumus
atau pernyataan tersebut akan benar untuk seluruh nilai n. Untuk itu, alternatif
pembuktian secara deduktif akan dikomunikasikan seperti ditunjukkan dengan Tabel
1. Langkah pertamanya adalah dengan memisalkan bilangan yang dipilih adalah x
pada cara II dan suatu persegi pada cara I yang mewakili atau melambangkan suatu
bilangan sembarang dari anggota semesta pembicaraannya.
84
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
2. Tambahkan 3 x+3
3. Kalikan dengan 2
2(x + 3) = 2x + 6
(dilipat duakan)
4. Kurangi dengan 4 2x + 2
6. Kurangi dengan
bilangan yang 1
anda pilih semula
7. Sebutkan hasilnya “satu” “satu”
85
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, tetapi dua hal yang
berbeda itu dibandingkan satu dengan yang lain. Dalam analogi yang dicari adalah
keserupaan dari dua hal yang berbeda, dan menarik kesimpulan atas dasar keserupaan
itu. Dengan demikian analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar
penalaran.
Analogi secara mendalam, yaitu: (1) mampu belajar dan melakukan apa yang
diinginkan secara mandiri, (2) menerapkan teknik pemecahan masalah dalam berbagai
bidang, (3) mampu menstrukturkan masalah dengan teknik formal, seperti matematika,
dan menggunakannya untuk memecahkan masalah, (4) dapat mematahkan pendapat
yang tidak relevan serta merumuskan intisari, (5) terbiasa menanyakan sudut pandang
orang lain untuk memahami asumsi serta implikasi dari sudut pandang tersebut, (6)
peka terhadap perbedaan.
Salah satu metode untuk bernalar adalah dengan menggunakan analogi.
Soekardijo (1999: 27) analogi adalah berbicara tentang suatu hal yang berlainan, dan
dua hal yang berlainan lalu dibandingkan. Selanjutnya, jika dalam perbandingan hanya
diperhatikan persamaan saja tanpa melihat perbedaan, maka timbullah analogi. Diane
(Setyono, 1996: 3) mengatakan bahwa dengan analogi suatu permasalahan mudah
dikenali, dianalisis hubungannya dengan permasalahan lain, dan permasalahan yang
kompleks dapat disederhanakan. Secara umum, Mundiri (2000: 26) mengemukakan
bahwa terdapat dua analogi yaitu:
1) Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif adalah analogi yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang
belum diketahui atau masih sama, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal.
Contoh : Menjelaskan angka 16
2) Analogi Induktif
16 8 8
Analogi induktif adalah analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsip
dari dua hal yang berbeda, selanjutnya ditarik kesimpulan bahwa apa yang terdapat pada
hal pertama terdapat pula hal yang kedua. Contoh:
86
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
3) Berpikir Integratif
Melalui penerapan pendidikan integratif proses pengajaran menjadi lebih
kompleks, hal ini melibatkan komponen internal dan eksternal. Dua komponen itu
berporos dalam satu kesatuan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. (1) Komponen
Internal. Terdiri atas tujuan, materi pelajaran, metode, media dan evaluasi (2)
Komponen eksternal. Mencakup guru, orang tua dan masyarakat sekelilingnya.
Beberapa definisi mengenai pendidikan integratif secara metodologi proses
pembentukan ilmu pengetahuan dalam diri manusia bertahap dari yang bersifat konkret,
semi abtrak sampai pada ilmu pengetahuan yang bersifat sangat abstrak. “Suatu konsep
belajar keseluruhan yang diterapkan di sekolah sebagi hasil riset sistematis di bidang
ilmu syarat, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu alam “bahwa mata pelajaran masih
terkesan terkotak-kotak”, sehingga semua pelajaran dapat dijadikan satu yang bersifat
integral.
4) Berpikir Abstrak
Berpikir abstrak adalah salah satu jenis kemampuan yang merupakan atribut
inteligensi. Menurut Termen (Winkel, 1996:139) kemampuan berpikir abstrak ini
adalah suatu aspek yang penting dari inteligensi, tetapi bukan satu-satunya aspek. Aspek
yang ditekankan dalam kemampuan berpikir abstrak adalah penggunaan efektif dari
konsep-konsep serta simbol-simbol dalam menghadapi berbagai situasi khusus dalam
menyelesaikan sebuah problem.
Kemampuan berpikir abstrak tidak terlepas dari pengetahuan tentang konsep,
karena berpikir memerlukan kemampuan untuk membayangkan atau menggambarkan
benda dan peristiwa yang secara fisik tidak selalu ada. Orang yang memiliki
kemampuan berpikir abstrak baik akan dapat mudah memahami konsep-konsep abstrak
dengan baik. Jadi kemampuan berpikir abstrak adalah kemampuan menemukan
pemecahan masalah tanpa hadirnya objek permasalahan itu secara nyata, dalam arti
siswa melakukan kegiatan berpikir secara simbolik atau imajinatif terhadap objek
87
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
permasalahan itu. Untuk menyelesaikan masalah yang bersifat abstrak akan mudah
dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan berpikir abstrak yang tinggi.
Kemamuan ini dapat dicapai oleh anak yang sudah mencapai tahap operasional formal
yang baik.
Sebagai contoh misalnya penggambaran sebuah garis di dalam matematika
“seharusnya” tanpa lebar/tebal (ketebalannya = 0) dan tanpa putus (kontinu) tetapi
keadaan nyata susah untuk menggambar yang demikian. Bila digambar demikian maka
nyaris garis itu tidak dapat terlihat bahkan oleh mokroskop yang paling canggih
sekalipun. Umumnya visualisasi yang dapat menggambarkan sebuah garis dengan
menggunakan alat tulis apapun akan menghasilkan garis yang “tidak ideal” menurut
matematika. Misalnya menggambar garis dengan menggunakan sebuah spidol akan
dihasilkan garis yang terlihat dan tidak mungkin garis tersebut tidak memiliki lebar.
SIMPULAN
1. Berpikir induktif, merupakan kebalikan dari berpikir deduktif yaitu proses
pengambilan keputusan dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus menuju umum.
Istilah ini dikenal dengan generalisasi.
2. Berpikir deduktif merupakan proses berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat
umum menuju pada hal-hal yang bersifat khusus. Dalam logika, berpikir deduktif
disebut dengan silogisme.
3. Berpikir analogis, yatiu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar
kemiripannya.
4. Berpikir integratif terdapat dua komponen yaitu internal dan eksternal. Internal
terdiri atas tujuan, materi pelajaran, metode, media dan evaluasi. Komponen
eksternal mencakup guru, orang tua dan masyarakat sekelilingnya.
5. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan
atau disempurnakan keluasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 2006. Mata Pelajaran Matematika Sekolah Atas. (SMA) dan Mad- rasah
Aliyah (MA). Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang.
Hudojo, Herman.(2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
UM Press: Malang.
88
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016
89
International Journal of Elementary Education.
Volume 3, Number 3, Tahun 2019, pp. 351-357 LOGO Jurnal
P-ISSN: 2579-7158 E-ISSN: 2549-6050
Open Access: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/IJEE
ARTICLEINFO ABSTRAK
Article history:
Received 18 May 2019 Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan pelaksanaan
Received in revised form
30 June 2019
pembelajaran matematika dan mendeskripsikan klasifikasi kemampuan
Accepted 15 July 2019 penalaran matematis ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah
Available online 25 August siswa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif.
2019 Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
melalui tes, observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi. Hasil
Kata Kunci:
Pembelajaran Matematika,
penelitian yang diperoleh dari pembelajaran matematika termasuk
Kemampuan Penalaran, dalam kategori baik dengan presentase 78%, sedangkan data klasifikasi
Pemecahan Masalah penalaran matematika didapatkan presentase sebesar 70% pada aspek
memahami pengertian dalam kategori tinggi, aspek berpikir logis
Keywords: termasuk dalam kategori tinggi dengan presentase 53,3%, aspek
Mathematics Learning,
Reasoning Ability, Problem memahami contoh negatif termasuk dalam kategori sangat tinggi
Solving dengan presentase 76,7%, aspek berpikir sistematis dan menentukan
strategi termasuk dalam kategori tinggi dengan presentase 73,3%,
berpikir konsisten termasuk dalam kategori tinggi dengan presentase
66,7%, aspek membuat alasan termasuk dalam kategori rendah dengan
presentase 33,3%, aspek berpikir deduksi termasuk dalam kategori
rendah dengan presentase 36,7%, aspek menentukan metode
termasuk dalam kategori sangat tinggi dengan presentase 80%,
sedangkan pada aspek menarik kesimpulan termasuk dalam kategori
tinggi dengan presentase 60%. Secara keseluruhan didapatkan hasil
presentase sebesar 62,3% teramasuk dalam kategori tinggi.
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe the implementation of mathematics learning and
describe the classification of mathematical reasoning abilities in terms of students' problem solving
abilities. This research uses descriptive qualitative research methods. Data collection techniques used
in this study are through tests, observations, interviews, questionnaires, and documentation. The
results of the study obtained from mathematics learning are included in both categories with a
percentage of 78%, while the classification of mathematical reasoning data obtained a percentage of
70% in understanding aspects of understanding in the high category, logical thinking aspects included
in the high category with a percentage of 53.3%, aspects of understanding negative examples
included in the category of very high with a percentage of 76.7%, aspects of systematic thinking and
determining strategies included in the high category with a percentage of 73.3%, thinking consistently
included in the high category with a percentage of 66.7%, aspects of making reasons included in the
category low with a percentage of 33.3%, deduction thinking aspects included in the category of low
with a percentage of 36.7%, aspects determining the method included in the category of very high with
a percentage of 80%, while the aspect of drawing conclusions included in the high category with a
percentage of 60%. Overall the percentage of results obtained by 62.3% included in the high category.
1
Corresponding author.
E-mail addresses: dindaaputrii97@gmail.com (Dinda Kurnia Putri)
International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357. 352
1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan salah satu proses dimana dapat merubah pola pikir melalui pengajaran
dan pelatihan untuk menambah wawasan agar siswa lebih aktif untuk mengembangkan pola pikirnya.
Mata pelajaran matematika merupakan salah satu pelajaran yang dapat mengembangkan pola pikir siswa.
Matematika adalah suatu ilmu pengetahuan yang tergolong ilmu dasar serta mempunyai peranan penting
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Astut, 2017). Menurut Munirah (2015) sistem
pendidikan di Indonesia dewasa ini tampak ada kesenjangan antara kenginan dan realita. Secara makro
dapat dilihat dalam aspek pengelolaan, peran pemerintah dan masyarakat, kurikulum atau materi ajar,
pendekatan dan metodologi pembelajaran, sumber daya manusia, lingkungan kampus atau sekolah, dana,
dan akreditasi. Kesenjangan dalam sistem pendidikan tersebut disebabkan karena faktor politik, ekonomi,
sosial-budaya dan sebagainya yang selalu berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Matematika merupakan ilmu dasar yang memiliki peran penting dalam perkembangan kehidupan
manusia. Menurut Wanti (2017) Matematika merupakan proses bernalar, pembentukan karakter dan pola
pikir, pembentukan sikap objektif, jujur, sistematis, kritis dan kreatif serta sebagai ilmu penunjang dalam
pengambilan suatu kesimpulan. Begitu banyak dan beragam profesi yang bisa dipilih sebagai bidang
profesi berlandaskan pengetahuan dan keterampilan matematika. Misalnya: guru, ekonom, insinyur, ahli
statistik, peneliti, dokter, apoteker, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanto (2013:185)
matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan
beragumentasi, memberikan kontribusi dalm penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja,
serta memberikan dukungan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. BSNP (2006) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan
kepada semua siswa mulai sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berfikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Matematika terbentuk sebagai hasil
pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran (Ruseffendi ET dalam Suherman
dkk, 2001: 18). Pembelajaran matematika di sekolah dasar bertujuan untuk memberi bekal siswa tidak
hanya memiliki kemampuan dalam berhitung saja tetapi juga dapat membentuk pola pikir dalam suatu
pemahaman yang berhubungan dengan penalaran.
Pembelajaran matematika di sekolah menurut NCTM (2000) mempunyai enam prinsip dasar yaitu
prinsip ekuitas, prinsip kurikulum, prinsip pengajaran, prinsip belajar, prinsip penilaian, dan prinsip
teknologi. Pembelajaran mtematika mencakup lima kemampuan dasar matematis yang merupakan lima
standar proses menurut NCTM (2000) yaitu pemecahan masalah (Problem Solving), penalaran
(reasoning), komunikasi (communication), koneksi (connection) dan representasi (representation).
Hasil Programme for International Student Asseseement (PISA) tahun 2015 dalam Sulianto, dkk
(2018: 1), menunjukkan adanya peningkatan kemampuan siswa Indonesia. Dibandingkan dengan hasil
PISA tahun 2012. Kemampuan membaca siswa Indonesia telah meningkat dari 337 menjadi 350,
kemampuan matematika meningkat dari 318 menjadi 335, dan kemampuan sains meningkat pesat dari
327 poin pada tahun 2012, menjadi 359 di tahun 2015. Peningkatan ini menunjukkan adanya pertinggian
kualitas pembelajaran di Indonesia, namun kemampuan siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata
dibandingkan 72 negara lainnya. National Center for Educational Statistics, mempulikasikan kemampuan
siswa Indonesia mengacu pada hasil PISA tahun 2012 bahwa hampir semua siswa Indonesia hanya
menguasai materi pelajaran sampai level 4 saja, sementara negara lain telah banyak yang mencapai level 5
dan 6. Organization for Economic Cooperation and Development (2016) memaparkan bahwa pada tahun
2015 menunjukkan bahwa kemampuan berpikir pada level 5 dan 6 siswa Indonesia hanya 0,8% dari 8%
partisipan. Sebaliknya, dari 20% partisipan yang berada level 2. Artinya, kemampuan berpikir siswa
Indonesia masih didominasi pada low order thingking (LOT).
Nilai matematika yang rendah dalam hasil survei PISA menunjukkan bahwa tujuan mata pelajaran
matematika belum sepenuhnya tercapai. Rendahnya nilai matematika tersebut berhubungan dengan
kemampuan penalaran siswa, karena salah satu tujuan dari mata pelajaran matematika yang dinyatakan
oleh Depdiknas 2006 dalam Susanto (2013: 190) yaitu siswa dapat menggunakan penalaran pada pola,
sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
Ball, Lewis & Thamel (dalam Suprihatin, dkk., 2018: 9) menyatakan, “mathematical reasoning is the
foundation for the construction of mathematical knowledge”. Hal ini berarti kemampuan penalaran
matematis adalah fondasi untuk mendapatkan pengetahuan matematika. Kemampuan penalaran sangat
berhubungan dengan pola berfikir logis, analitis, dan kritis. Melalui penalaran yang baik, seseorang akan
dapat mengambil kesimpulan atau keputusan yang berhubungan dengan kehidupannya sehari-hari. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sulianto (2011: 456) menyatakan penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu
proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang
kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Seseorang dengan kemampuan penalaran
yang rendah akan selalu mengalami kesulitan dalam menghadapi berbagai persoalan, karena
ketidakmampuan menghubungkan fakta-fakta untuk sampai pada suatu kesimpulan. Oleh karena itu,
sudah seharusnya penalaran perlu dikembangkan pada setiap individu. Secara garis besar penalaran
terbagi menjadi dua, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif (Sumartini, 2015: 4). Penalaran
deduktif merupakan penarikan kesimpulan dari hal yang umum menuju hal yang khusus berdasarkan
fakta-fakta yang ada. Sedangkan penalaran induktif merupakan suatu proses berpikir dengan mengambil
keputusan yang bersifat umum atau membuat suatu pernyataan baru dari kasus-kasus yang khusus.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas IV di SDN Sendangmulyo 01 Seamarang yaitu
Bapak Prima Martha Miarzha, S.Pd.Sd. di peroleh data bahwa kemampuan penalaran matematis siswa
dalam menyelesaikan soal berbasis pemecahan masalah di sekolah tersebut masih tergolong rendah. Hal
itu dikarenakan siswa masih belum terbiasa mengerjakan soal berbasis pemecahan masalah dengan
logika dan penalaran masing-masing. Soal yang dikerjakan siswa dari penyelesaiannya tidak berbeda jauh
dengan apa yang dicontohkan oleh guru di depan kelas. Hal ini membuat pengetahuan yang dimiliki oleh
siswa hanya terbatas dengan apa yang diajarkan oleh guru saja. Oleh karena itu, kemampuan penalaran
yang seharusnya berkembang dalam diri siswa menjadi tidak berkembang secara optimal.
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah siswa di SD tersebut yaitu diperlukan adanya
peningkatan kemampuan penalaran yang ditinjau dari pemecahan masalah, yang dapat ditemukan dalam
pembelajaran matematika, dan siswa akan dihadapkan dengan pemecahan masalah. Menurut Susanto
(2013: 195) pemecahan masalah (problem solving) merupakan proses menerapkan pengetahuan
(knowledge) yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi yang baru. Kemampuan pemecahan
masalah merupakan kecakapan atau potensi yang dimiliki siswa dalam menyelesaikan permasalahan dan
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Polya dalam Gunantara, dkk: 2014: 4). Salah satu solusi
dari permasalahan tersebut dengan menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya
(1973) dalam bukunya “How To Solve It” yaitu understanding the problem (memahami masalah), devising a
plan (menyusun rencana penyelesaian), carrying out the plan (melaksanakan rencana penyelesaian), dan
looking back (memeriksa kembali solusi yang diperoleh). Azizah (2018: 61) menyatakan dalam
pelaksanaan pembelajaran matematika tidak cukup hanya memberikan informasi berupa teori atau
konsep yang bersifat hafalan saja, tetapi perlu juga berorientasi pada pengembangan keterampilan-
keterampilan yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah.
Menurut Tukaryanto (2018) Pentingnya kemampuan penalaran matematik sangatlah bepengaruh
dengan proses pembelajaran matematika yang mereka ikuti. Karena siswa yang mempunyai kemampuan
penalaran yang baik akan mudah memahami materi matematika dan sebaliknya siswa yang kemampuan
penalaran matematikanya rendah akan sulit memahami materi matematika. Kemampuan penalaran
matematis merupakan kemampuan yang sangat penting dan harus dimiliki siswa dalam memecahkan
masalah matematika (Hidayati dan Widodo, 2015: 132). Hal tersebut dikarenakan bahwa setiap
permasalahan matematika harus diselesaikan dengan proses bernalar, dan bernalar dapat dipahami serta
dilatih dengan memecahkan masalah matematika. Guru dapat mengkaji kemampuan penalaran siswa
dengan mengamati cara siswa memecahkan masalah matematika. Melalui jawaban siswa yang bervariasi
guru dapat membedakan atau mengklasifikasi jawaban siswa, sehingga diperoleh gambaran sejauh mana
kemampuan penalaran siswa dalam memecahkan masalah matematika. Untuk mengukur kemampuan
penalaran matematis siswa diberikan soal yang berpedoman pada aspek penalaran yaitu asek memahami
pengertian, berpikir logis, memahami contoh negatif, berpikir sistematis, berpikir konsisten, membuat
alasan, menentukan strategi, berpikir deduksi, menentukan metode serta menarik kesimpulan (Sulianto,
2011: 454). Menurut Setiadi (2012) menyatakan bahwa penalaran dapat secara langsung meningkatkan
hasil belajar peserta didik, yaitu jika peserta didik diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan
bernalarnya dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalaman sendiri, sehingga peserta
didik akan lebih mudah memahami konsep. Menurut Agustin (2016) Penalaran matematika tidak hanya
penting untuk melakukan pembuktian atau pemeriksaan program, tetapi juga untuk inferensi dalam suatu
sistem kecerdasan buatan. Pada dasarnya setiap penyelesaian soal matematika memerlukan kemampuan
penalaran. Melalui penalaran, mahasiswa diharapkan dapat melihat bahwa matematika merupakan kajian
yang masuk akal atau logis. Dengan demikian mahasiswa merasa yakin bahwa matematika dapat
dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dapat dievaluasi. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematika mahasiswa adalah
kemampuan atau kesanggupan mahasiswa dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Sulistiawati (2014),
rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa, salah satunya disebabkan oleh pembelajaran
matematika yang kurang melibatkan siswa. Apabila dilihat dari kenyataan dilapangan, metode mengajar
yang digunakan oleh guru secara umum cenderung guru yang lebih aktif dan siswa pasif menerima
Dinda Kurnia Putri / Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357. 354
informasi yang disampaikan oleh guru. Penelitian ini bertujuan untuk: menelaah kualitas kemampuan
penalaran matematis siwa pada materi segitiga dan segiempat.
Seperti halnya sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumartini (2015) yang menyimpulkan
bahwa kemampuan penalaran matematis siswa mengalami peningkatan setelah mendapatkan
pembelajaran berbasis masalah karena lebih sering memecahkan masalah matematika dibandingkan
dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional. Kemudian berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Hadi dan Radiyatul (2014) menyimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan
bagian dari pembelajaran matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran atau
penyelesaiannya siswa dapat memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki.
Salah satunya yaitu siswa dapat menggunakan metode pemecahan masalah menurut Polya. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa lebih tinggi
pada setiap pertemuan dan hasil belajar siswa yang menggunakan metode pemecahan masalah menurut
Polya berada pada kualifikasi sangat baik.
Beradasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penelitian dengan judul “Kemampuan Penalaran
Matematis Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas IV SDN Sendangmulyo 01
Semarang”. Penelitian ini dilakukan karena peneliti tertarik untuk mengetahui tentang kemampuan
penalaran matematis yang ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa di sekolah dasar.
2. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif. Lokasi dalam penelitian di SDN Sendangmulyo 01 Semarang.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, angket, dokumentasi dan untuk
pengumpulan data kemampuan penalaran matematis siswa menggunakan soal tes. Keabsahan data
dilakukan dengan cara triangulasi teknik.
Data hasil penelitian pada pelaksanaan pembelajaran matematika diperoleh dari angket yang
diberikan pada dua responden yaitu guru kelas IV ditampilkan pada Tabel 1 berikut:
Berdasarkan data pada Tabel 1 hasil dari pemerolehan penilaian skor pada aspek pembelajaran
diperoleh hasil presentase sebesar 78% termasuk dalam kategori baik, aspek pendekatan saintifik
diperoleh hasil presentase sebesar 80% dalam kategori baik, sedangkan pada aspek penalaran siswa
diperoleh hasil presentase sebesar 77% dalam kategori baik. Secara keseluruhan hasil temuan dari data
angket yang diperoleh yaitu sebesar 78% termasuk dalam kategori baik.
Data hasil penelitian dilihat dari kemampuan penalaran siswa dapat diperoleh dari uji tes yang
dilakukan pada kelas IV ditampilkan pada Tabel 2 berikut:
Presentase Jawaban
No Aspek Penalaran Kategori
Benar
1 Memahami pengertian 70% Tinggi
2 Berpikir logis 53,3% Tinggi
3 Memahami contoh negatif 76,7% Sangat Tinggi
4 Berpikir sistematis 73,3% Tinggi
5 Berpikir konsisten 66,7% Tinggi
6 Membuat alasan 33,3% Rendah
7 Menentukan strategi 73,3% Tinggi
8 Berpikir deduksi 36,7% Rendah
Berdasarkan data pada Tabel 2 data hasil penelitian aspek penalaran matematis didapatkan hasil
presentase sebesar 70% pada aspek memahami pengertian dalam kategori tinggi, pada aspek berpikir
logis termasuk dalam kategori tinggi dengan hasil presentase sebesar 53,3%, aspek memahami contoh
negatif mendapatkan hasil presentase sebesar 76,7% dengan kategori sangat tinggi, aspek berpikir
sistematis dan menentukan strategi termasuk dalam kategori tinggi dengan mendapatkan hasil
presentase yang sama yaitu 73,3%, aspek berpikir konsisten termasuk dalam kategori tinggi dengan hasil
presentase sebesar 66,7%, aspek membuat alasan mendapatkan hasil presentase sebesar 33,3% termasuk
dalam kategori rendah, aspek berpikir deduksi termasuk dalam kategori rendah dengan presentase yang
diperoleh sebesar 36,7%, aspek menentukan metode termasuk dalam kategori tinggi dengan hasil
presentase sebesar 80%, serta pada aspek yang terakhir yaitu aspek menarik kesimpulan termasuk dalam
kategori tinggi dengan presentase sebesar 60%. Secara keseluruhan didapatkan hasil presentase sebesar
62,3%. Artinya dalam kemampuan penalaran matematis ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah
siswa kelas IV di SDN Sendangmulyo 01 Semarang sudah termasuk dalam kategori tinggi.
Dilihat dari hasil presentase pada tabel 2 dari masing-masing soal mengalami naik turun
presentase pada masing-masing butir soal dengan total soal keseluruhan sebanyak 10 butir soal. Dari
beberapa soal didapatkan hasil presentase yang sama yaitu sebesar 73,3% ditunjukkan pada butir soal
nomor empat yaitu aspek penalaran berpikir sistematis dan butir soal nomor tujuh yaitu aspek penalaran
menentukan strategi termasuk dalam kategori tinggi. Secara keseluruhan didapatkan hasil presentase
terendah yaitu sebesar 33,3% ditunjukkan pada butir soal nomor enam yaitu aspek penalaran membuat
alasan dan hasil peresentase tertinggi sebesar 80% ditunjukkan pada butir soal nomor sembilan yaitu
aspek penalaran menentukan metode.
Perbedaan hasil presentase pada masing-masing butir soal bisa diakibatkan oleh faktor tingkatan
soal pada setiap aspek penalaran dan kurangnya pemahaman siswa terhadap butir soal. Sehingga siswa
merasa kesulitan dalam mengerjakan, menentukan strategi, menentukan rumus untuk memecahkan
masalah dari persoalan yang ada. Faktor yang disebabkan dari pemerolehan hasil siswa di atas, hal
tersebut juga sama dengan pendapat Wasliman dalam Susanto (2013: 12) yaitu hasil belajar yang dicapai
peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi, baik faktor internal
maupun eksternal. Faktor yang dapat mempengaruhi hasil peserta didik termasuk dalam faktor internal
dimana faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik yang dapat
mempengaruhi kemampuan belajarnya. Adanya pemerolehan hasil presentase dengan nilai yang
diperoleh, itu bearti siswa dapat memahami bentuk dan maksud soal serta bagaimana cara siswa untuk
memecahkan masalah pada soal dengan kemampuan penalaran yang dimiliki siswa.
Hasil tes penalaran matematis siswa yang diperoleh menunjukkan bahwa naik turunnya hasil
presentase, secara keseluruhan kemampuan penalaran sudah termasuk dalam kategori tinggi dengan
presentase di atas 50% yaitu 62,3%. Artinya kemampuan penalaran siswa kelas IV di SDN Sendangmulyo
01 Semarang sudah maksimal.
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan
bahwa: 1) Hasil analisis terkait pelaksanaan pembelajaran matematika di SDN Sendangmulyo 01
Semarang sudah terlaksana dengan baik. Pada pelaksanaanya antara guru dan siswa tercipta interaksi
yang baik meskipun pada kegiatan pembelajaran guru tidak menggunakan media pembelajaran. Pada
proses pengamatan, guru menyampaikan materi dengan bahasa lisan yang mudah dipahami siswa. Selain
itu, dilihat dari aspek pembelajaran didapatkan hasil presentase sebesar 78%, aspek pendekatan saintifik
didapatkan hasil presentase sebesar 80% serta pada aspek penalaran siswa didapatkan hasil presentase
sebesar 77%. Secara keseluruhan hasil temuan dari ketiga aspek tersebut didapatkan hasil presentase
sebesar 78%. Presentase dari keseluruhan hasil tersebut termasuk dalam kategori baik. 2) Kemampuan
penalaran matematis siswa kelas IV SDN Sendangmulyo 01 Semarang ditinjau dari aspek penalaran serta
pemecahan masalah dengan materi segi banyak dan bangun datar terdapat dalam 10 soal penalaran dari
10 aspek penalaran matematis. Jika didapatkan hasil presentase di bawah 50% artinya penalaran
matematis siswa dikategorikan masih rendah. Secara keseluruhan didapatkan hasil presentase sebesar
62,3%. Artinya kemampuan penalaran matematis ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa
kelas IV di SDN Sendangmulyo 01 Semarang sudah termasuk dalam kategori tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka saran yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1) Bagi siswa, dalam proses pembelajaran sebaiknya siswa
Dinda Kurnia Putri / Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357. 356
mengikuti proses belajar dengan baik agar dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru sehingga
dalam mengerjakan soal ketika ulangan siswa bisa mengerjakan soal tanpa menemui kesulitan dan bila
merasa ada soal yang sulit dipahami sebaiknya ditanyakan kepada guru kelas. 2) Bagi guru, kemampuan
penalaran matematis dalam pemecahan masalah matematika siswa kelas IV sebaiknya diajarkan secara
berkelanjutan, karena kemampuan penalaran matematis dapat terus berkembang seiring dengan
banyaknya latihan soal pemecahan masalah yang dikerjakan. Maka diperlukan peran guru untuk
membantu dan membiasankan siswa dalam mempelajari dan mengerjakan latihan soal yang dapat
mengembangkan kemampuan penalaran matematis siswa dalam pemecahan masalah. 3) Bagi peneliti,
berikutnya diharapkan dapat berinovasi dengan mengembangkan model penelitian, mengembangkan
instrumen serta perangkan lainnya yang lebih menarik serta dapat mendukung dalam peningkatan
kemampuan penalaran matematis yang dimiliki siswa.
Daftar Rujukan
Agustin, Ririn Dwi.2016. Kemampuan Penalaran Matematika Mahasiswa Melalui Pendekatan Problem
Solving. Volume. 5, No. 2, Hal. 179-188. Tersedia Pada: http://www.ojs.umsida.ac.id/.
Astuti, Erni Puji. 2017. Penalaran Matematis Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Siswa SMP. Jurnal
Pendidikan Surya Edukasi (JPSE), Volume: 3, Nomor: 2, Hal. 83-91. Tersedia Pada:
http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/surya/article/download/4341/4040.
Azizah, Mira. Joko Sulianto dan Nyai Cintang. 2018. Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Sekolah
Dasar Pada Pembelajaran Matematika Kurikulum 2013. Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol.35.
Nomor 1.
BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.
Gunantara, Md Suarjana dan Pt. Nanci Riastini. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based
Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas V. Jurnal
Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 2. No. 1.
Hidayati, Anisatul dan Suryo Widodo. 2015. Proses Penalaran Matematis siswa dalam Memecahkan
Masalah Matematika pada Materi Pokok Dimensi Tiga Berdasarkan Kemampuan Siswa di SMA
Negeri 5 Kediri. Jurnal Math Educator Nusantara. Volume 01. No. 02.
Munirah. 2015. Sistem Pendidikan di Indonesia: antara keinginan dan realita. Auladuna, Vol. 2 No. 2 Hal.
233-245. Tersedia Pada: http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/auladuna/article/view/879.
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. The National Council of Teachers of
Mathematics. Virginia.
Polya, G. 1973. How To Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Princeton University Pres,
Princeton, New Jersey.
Setiadi, dkk. (2012). Kemampuan Matematika Siswa SMP Indonesia Menurut Benchmark Internasional
TIMSS 2011. Jakarta: Kemdikbud.
Suherman, Erman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA- Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI).
Sulianto, Joko. 2011. Keefektifan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Open Ended dalam
Pemecahan Masalah. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 17. No. 6.
Sulianto, Joko, Nyai Cintang dan Mira Azizah. 2018. Higher Order Thinking Skills (HOTS) Siswa Pada Mata
Pelajaran Matematika di Sekolah Dasar Pilot Project Kurikulum 2013 di Kota Semarang. Semarang:
LPPM Universitas PGRI Semarang.
Sulistiawati. (2014). “Analisis Kesulitan Belajar Kemampuan Penalaran Matematis Siswa pada Materi Luas
Permukaan dan Volume Limas”. Proceeding Seminar Nasioanal Pendidikan Matematika, Sains, dan
TIK STKIP Surya 2014.
Sumartini, Tina Sri. 2015. Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah. Jurnal Pendidikan Matematika. Vol. 5 No. 1.
Suprihatin, Tri Roro. Rippi Maya dan Eka Senjayawati. 2018. Analisis Kemampuan Penalaran Matematis
Siswa SMP pada Materi Segitiga dan Segiempat. Jurnal Kajian Pembelajaran Matematika. Volume 2.
No. 1.
Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajara dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenadamedia Group.
Tukaryanto, Putriaji Hendikawati, Sugeng Nugroho. 2018. Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematik
dan Percaya Diri Siswa Kelas X Melalui Model Discovery Learning. PRISMA, Prosiding Seminar
Nasional Matematika. Tersedia Pada: https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/prisma/.
Wanti, Nopia, Juariah, Ehda Farlina, Hamdan Sugilar, Rahayu Kariadinata. 2017. Pembelajaran Induktif
Pada Kemampuan Penalaran Matematis dan Self-Regulated Learning Siswa. Jurnal Analisa Vol. 3
No. 1 Hal. 56-69. Tersedia Pada: http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/analisa/index.
Dinda Kurnia Putri / Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.540
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMK
DENGAN MODEL KOOPERATIF TIPE THREE STEP INTERVIEW
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan SMK semakin pesat di Indonesia. Peminatnya semakin banyak dari
tahun ke tahun, pertumbuhan ini disebabkan semakin banyak orang yang
menyadari pentingnya keberadaan SMK untuk menciptakan tenaga-tenaga terampil
siap kerja. Salah satu kelompok SMK yang mengalami pertumbuhan yang signifikan
adalah SMK kelompok kesehatan dalam hal ini adalah SMK Farmasi. Pesatnya
pertumbuhan SMK Farmasi disebabkan perkembangan industri bidang farmasi
merupakan salah satu bidang yang menjanjikan di Indonesia.
Melalui matematika peserta didik dilatih dan dibekali untuk memiliki kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mampu bekerjasama
(Permendiknas, 2006). Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk
bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif
Kemampuan penalaran induktif yang masih rendah untuk siswa SMK diduga
karena siswa masih kurang dilibatkan untuk lebih aktif ketika proses pembelajaran.
Sehingga untuk dapat mengembangkan kemampuan penalaran induktif sebaiknya
keterlibatan siswa ketika proses pembelajaran lebih ditingkatkan.
Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah tipe three step interview atau
tiga langkah proses wawancara. Tipe three step interview ini merupakan pembelajaran
kooperatif yang dapat menghidupkan suasana belajar dan mengaktifkan siswa
untuk bertanya ataupun menjawab. Ketika siswa melakukan aktivitas bertanya
ataupun menjawab, dalam proses tersebut siswa dilatih untuk dapat
mengembangkan kemampuan penalaran mereka. Hal ini sejalan dengan Kilpatrik
(Hillen, 2006) yang menyatakan bahwa salah satu cara terbaik untuk siswa
mengembangkan penalaran mereka adalah dengan menjelaskan atau membenarkan
solusi kepada orang lain.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang menerapkan model
pembelajaran kooperarif tipe three step interview untuk meningkatkan kemampuan
penalaran induktif siswa SMK. Desain penelitian adalah nonequivalent control group
design yang melibatkan dua kelas yang dipilih secara acak dengan teknik cluster
sampling. Kelas pertama adalah kelas eksperimen merupakan kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe three step interview sedangkan kelas
kedua adalah kelas kontrol yaitu kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran
konvesional.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMKF Bumi Siliwangi.
Kemudian untuk sampelnya terpilih dua kelas, yaitu kelas XI B terdiri dari 40 siswa
sebagai kelas kontrol dan kelas XI A terdiri dari 36 siswa sebagai kelas eksperimen.
Instrumen utama yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat soal tes
untuk mengukur kemampuan penalaran induktif siswa berdasarkan indikator yang
telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan instrumen pendukung pada penelitian ini
adalah lembar observasi dan jurnal harian, lembar observasi dimaksudkan untuk
memberikan gambaran aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran dengan
Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603
©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.544
model kooperatif tipe three step interview dan jurnal harian dimaksudkan untuk
mengetahui pendapat serta kesulitan siswa selama memperoleh pembelajaran
dengan model kooperatif tipe three step interview.
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif diperoleh dari hasil
tes dan data kualitatif diperoleh dari lembar observasi dan jurnal harian. Data
kuantitatif diolah dengan bantuan program Microsoft Excel dan Software SPSS versi 20
for Windows. Data kualitatif yang terkumpul ditulis dan dirangkum, data ini
selanjutnya digunakan sebagai bahan masukan bagi peneliti dalam melakukan
pembahasan secara deskriptif.
Hal pertama yang dilakukan adalah uji normalitas dan homogenitas, hasil uji
normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-wilk menunjukkan bahwa data N-gain
berdistribusi normal dan hasil uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene
menunjukan bahwa data N-gain bervariansi homogen. Selanjutnya dilakukan uji
hipotesis menggunakan uji parametrik yaitu uji Independent Sample T-test. Hasil uji
parametrik Independent Sample T-test disajikan pada tabel berikut:
Berdasarkan uji parametrik Independent Sample T-test, diperoleh nilai Sig. (1-tailed) =
0,000 < 0,05 = α. Hal ini menunjukan bahwa H0 ditolak, artinya peningkatan
kemampuan penalaran induktif siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif
tipe Three Step Interview lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
Hasil analisis terhadap lembar observasi terdiri dari analisis terhadap aktivitas guru
dan analisis terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Hasil analisis
terhadap aktivitas guru dapat disimpulkan bahwa guru telah melaksanakan
fungsinya dengan sangat baik, baik dalam kegiatan pendahuluan, kegiatan inti
maupun kegiatan penutup. Meskipun pada awal pertemuan, observer memberikan
catatan bahwa guru masih kesulitan dalam pengaturan waktu pada keguatan inti.
Hal ini dapat dipahami karena model pembelajaran yang digunakan adalah sesuatu
yang baru dan siswa belum bisa beradaptasi secara baik terhadap model
pembelajaran tersebut. Hasil analisis terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa,
aktivitas siswa untuk setiap pertemuannya mengalami peningkatan. Rata-rata
persentase aktivitas siswa selama 6 kali pertemuan memiliki persentase sangat baik
yaitu sebesar 83,7%, hal ini menunjukkan bahwa siswa nampak semakin antusias
dan semakin terbiasa dalam proses tahapan pembelajaran dalam model
pembelajaran kooperatif tipe three step interview.
Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603
©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.546
Hasil analisis terhadap jurnal harian menunjukkan bahwa siswa sudah memiliki
tingkat konsentrasi dan kesungguhan dalam proses pembelajaran, pendapat siswa
terhadap model pembelajaran yang dilakukan untuk setiap pertemuannya semakin
baik, adapun kesulitan yang paling sering siswa hadapi ketika pelaksanaan
pembelajaran adalah ketikan proses interview. Siswa masih kesulitan ketika
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada temannya, selain itu siswa masih
kurang percaya diri ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh temannya.
C.2. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran induktif
siswa di kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada di kelas kontrol.
Hasil ini memberikan gambaran bahwa pembelajran dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Three Step Interview memberikan kontribusi yang positif dalam
meningkatkan kemampuan penalaran induktif siswa, sehingga model pembelajaran
ini mempunyai peranan yang lebih baik terhadap peningkatan kemampuan
penalaran induktif siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Model pembelajaran kooperatif tipe three step interview memberikan ruang kepada
siswa untuk mengeksplorasi kemampuan berpikirnya dalam memahami konsep,
siswa dituntut untuk lebih mandiri dalam memperoleh pengetahuan, memanfaatkan
sumber-sumber informasi yang ada, melakukan proses analisis dan sintesis dari
informasi yang diperoleh melalui proses interview.
Hasil temuan peneliti sejalan dengan hasil penelitian Granstrom (Samuelson, 2010)
yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran yang berbeda di kelas
mempengaruhi hasil bagi siswa dalam cara yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan SMK semakin pesat di Indonesia. Peminatnya semakin banyak dari
tahun ke tahun, pertumbuhan ini disebabkan semakin banyak orang yang
menyadari pentingnya keberadaan SMK untuk menciptakan tenaga-tenaga terampil
siap kerja. Salah satu kelompok SMK yang mengalami pertumbuhan yang signifikan
adalah SMK kelompok kesehatan dalam hal ini adalah SMK Farmasi. Pesatnya
pertumbuhan SMK Farmasi disebabkan perkembangan industri bidang farmasi
merupakan salah satu bidang yang menjanjikan di Indonesia.
Melalui matematika peserta didik dilatih dan dibekali untuk memiliki kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mampu bekerjasama
(Permendiknas, 2006). Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk
bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif
Kemampuan penalaran induktif yang masih rendah untuk siswa SMK diduga
karena siswa masih kurang dilibatkan untuk lebih aktif ketika proses pembelajaran.
Sehingga untuk dapat mengembangkan kemampuan penalaran induktif sebaiknya
keterlibatan siswa ketika proses pembelajaran lebih ditingkatkan.
Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah tipe three step interview atau
tiga langkah proses wawancara. Tipe three step interview ini merupakan pembelajaran
kooperatif yang dapat menghidupkan suasana belajar dan mengaktifkan siswa
untuk bertanya ataupun menjawab. Ketika siswa melakukan aktivitas bertanya
ataupun menjawab, dalam proses tersebut siswa dilatih untuk dapat
mengembangkan kemampuan penalaran mereka. Hal ini sejalan dengan Kilpatrik
(Hillen, 2006) yang menyatakan bahwa salah satu cara terbaik untuk siswa
mengembangkan penalaran mereka adalah dengan menjelaskan atau membenarkan
solusi kepada orang lain.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang menerapkan model
pembelajaran kooperarif tipe three step interview untuk meningkatkan kemampuan
penalaran induktif siswa SMK. Desain penelitian adalah nonequivalent control group
design yang melibatkan dua kelas yang dipilih secara acak dengan teknik cluster
sampling. Kelas pertama adalah kelas eksperimen merupakan kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe three step interview sedangkan kelas
kedua adalah kelas kontrol yaitu kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran
konvesional.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMKF Bumi Siliwangi.
Kemudian untuk sampelnya terpilih dua kelas, yaitu kelas XI B terdiri dari 40 siswa
sebagai kelas kontrol dan kelas XI A terdiri dari 36 siswa sebagai kelas eksperimen.
Instrumen utama yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat soal tes
untuk mengukur kemampuan penalaran induktif siswa berdasarkan indikator yang
telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan instrumen pendukung pada penelitian ini
adalah lembar observasi dan jurnal harian, lembar observasi dimaksudkan untuk
memberikan gambaran aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran dengan
Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603
©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.544
model kooperatif tipe three step interview dan jurnal harian dimaksudkan untuk
mengetahui pendapat serta kesulitan siswa selama memperoleh pembelajaran
dengan model kooperatif tipe three step interview.
Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif diperoleh dari hasil
tes dan data kualitatif diperoleh dari lembar observasi dan jurnal harian. Data
kuantitatif diolah dengan bantuan program Microsoft Excel dan Software SPSS versi 20
for Windows. Data kualitatif yang terkumpul ditulis dan dirangkum, data ini
selanjutnya digunakan sebagai bahan masukan bagi peneliti dalam melakukan
pembahasan secara deskriptif.
Hal pertama yang dilakukan adalah uji normalitas dan homogenitas, hasil uji
normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-wilk menunjukkan bahwa data N-gain
berdistribusi normal dan hasil uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene
menunjukan bahwa data N-gain bervariansi homogen. Selanjutnya dilakukan uji
hipotesis menggunakan uji parametrik yaitu uji Independent Sample T-test. Hasil uji
parametrik Independent Sample T-test disajikan pada tabel berikut:
Berdasarkan uji parametrik Independent Sample T-test, diperoleh nilai Sig. (1-tailed) =
0,000 < 0,05 = α. Hal ini menunjukan bahwa H0 ditolak, artinya peningkatan
kemampuan penalaran induktif siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif
tipe Three Step Interview lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
Hasil analisis terhadap lembar observasi terdiri dari analisis terhadap aktivitas guru
dan analisis terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Hasil analisis
terhadap aktivitas guru dapat disimpulkan bahwa guru telah melaksanakan
fungsinya dengan sangat baik, baik dalam kegiatan pendahuluan, kegiatan inti
maupun kegiatan penutup. Meskipun pada awal pertemuan, observer memberikan
catatan bahwa guru masih kesulitan dalam pengaturan waktu pada keguatan inti.
Hal ini dapat dipahami karena model pembelajaran yang digunakan adalah sesuatu
yang baru dan siswa belum bisa beradaptasi secara baik terhadap model
pembelajaran tersebut. Hasil analisis terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa,
aktivitas siswa untuk setiap pertemuannya mengalami peningkatan. Rata-rata
persentase aktivitas siswa selama 6 kali pertemuan memiliki persentase sangat baik
yaitu sebesar 83,7%, hal ini menunjukkan bahwa siswa nampak semakin antusias
dan semakin terbiasa dalam proses tahapan pembelajaran dalam model
pembelajaran kooperatif tipe three step interview.
Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603
©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.546
Hasil analisis terhadap jurnal harian menunjukkan bahwa siswa sudah memiliki
tingkat konsentrasi dan kesungguhan dalam proses pembelajaran, pendapat siswa
terhadap model pembelajaran yang dilakukan untuk setiap pertemuannya semakin
baik, adapun kesulitan yang paling sering siswa hadapi ketika pelaksanaan
pembelajaran adalah ketikan proses interview. Siswa masih kesulitan ketika
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada temannya, selain itu siswa masih
kurang percaya diri ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh temannya.
C.2. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran induktif
siswa di kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada di kelas kontrol.
Hasil ini memberikan gambaran bahwa pembelajran dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Three Step Interview memberikan kontribusi yang positif dalam
meningkatkan kemampuan penalaran induktif siswa, sehingga model pembelajaran
ini mempunyai peranan yang lebih baik terhadap peningkatan kemampuan
penalaran induktif siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
Model pembelajaran kooperatif tipe three step interview memberikan ruang kepada
siswa untuk mengeksplorasi kemampuan berpikirnya dalam memahami konsep,
siswa dituntut untuk lebih mandiri dalam memperoleh pengetahuan, memanfaatkan
sumber-sumber informasi yang ada, melakukan proses analisis dan sintesis dari
informasi yang diperoleh melalui proses interview.
Hasil temuan peneliti sejalan dengan hasil penelitian Granstrom (Samuelson, 2010)
yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran yang berbeda di kelas
mempengaruhi hasil bagi siswa dalam cara yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Rochmad
Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNNES
Abstrak
Salah satu ciri utama dalam mempelajari matematika adalah menerapkan penalaran deduktif yaitu
kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran
sebelumnya, sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan matematika bersifat konsisten. Namun
demikian, pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman konsep dapat diawali dengan
pendekatan induktif melalui pengalaman khusus yang dialami siswa. Dalam pembelajaran
matematika, pola pikir induktif dapat digunakan untuk memahami definisi, pengertian, dan aturan
matematika. Kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau fakta
yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang mungkin, dan
kemudian siswa dengan menggunakan pola pikir induktif diarahkan menyusun suatu generalisasi.
Selanjutnya, jika memungkinkan siswa diminta membuktikan generalisasi yang diperoleh tersebut
secara deduktif.
Kata kunci: Pembelajaran matematika, pola pikir induktif, pola pikir deduktif.
107
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
108
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
109
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
110
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
konkret menuju abstrak. Sebagai ilustrasi cara menunjukkan berbagai gambar bangun
guru matematika dalam menanamkan konsep geometri datar sebagai berikut.
”persegi” kepada para siswanya (menerapkan
teori Bruner dari ikonik ke simbolik) dengan
A B C
D
G
E F
Kemudian guru menjelaskan: Gambar A dan pembelajaran yang lebih penting adalah guru
F adalah gambar persegi. Gambar B adalah memfasilitasi siswa aktif belajar matematika
lingkaran, Gambar C adalah persegi panjang, dengan cara mengkonstruksi matematika,
gambar D dan E adalah segitiga, dan Gambar memberi kesempatan siswa berfikir dan
G adalah segi lima. Selanjutnya, guru membangun generalisasi. Kemungkinan
meminta siswa menulis definisi persegi diperoleh jawaban siswa yang berbeda-beda.
dengan bahasa siswa sendiri: “Tulislah Misalnya ada siswa yang menjawab: ”Persegi
dengan bahasa kalian sendiri definisi adalah bangun datar yang dibatasi empat sisi,
persegi.” sisi-sisi yang berhadapan sama panjang,”
Untuk dapat menulis definisi persegi siswa lainnya menjawab: ”Persegi adalah
dengan bahasa sendiri siswa mengamati, segiempat yang keempat sisinya sama
membandingkan, mengenal karakteristik, dan panjang dan salah satu sudutnya siku-siku,”
berusaha menyerap berbagai informasi yang dan kemungkinan masih banyak ragam
terkandung dalam kasus-kasus khusus jawaban siswa. Jawaban siswa dapat benar
tersebut untuk digunakan memperoleh dapat pula kurang tepat atau salah. Karena
kesimpulan atau sifat yang umum. Dengan itu guru, misalnya melalui diskusi kelas,
menyerap berbagai informasi pada kasus- membuat ’kesepakatan’ mengenai definisi
kasus khusus tersebut, siswa membangun persegi. Definisi inilah yang selanjutnya
suatu generalisasi. Ini merupakan bagian dipakai dalam pembelajaran matematika
kegiatan yang penting dalam mengkonstruksi selanjutnya.
pengetahuan matematika yang melibatkan Pembelajaran dengan melibatkan pola
penggunaan pola pikir induktif. pikir induktif efektif untuk mengajarkan suatu
Dengan menggunakan pola pikir konsep matematika, dan memberi peluang
induktif siswa mengkonstruk konsep persegi kepada siswa untuk memahami konsep atau
berdasar hasil pengamatan pada kasus-kasus memperoleh generalisasi dengan cara yang
khusus yang diberikan. Dalam pelaksanaan lebih bermakna. Siswa memperoleh
111
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
A B C D
Untuk menyelesaikan masalah di atas Gambar 3 titik hitam muncul lagi, dan muncul
siswa terlibat belajar memecahkan masalah gambar persegi di dalam persegi kecil.
dengan menggunakan pola pikir induktif, Siswa dalam memilih jawaban A, B,
ilustrasinya sebagai berikut. Suatu C atau D melakukan pengamatan dan analisis
pendekatan untuk memecahkan masalah pada serangkaian gambar yang diberikan.
secara sistematik adalah dengan melihat Misalnya pilihan untuk Gambar 4 adalah A,
bentuk-bentuk gambar yang diberikan dan pilihan ini tidak benar sebab titik hitam
perubahan bentuk dari gambar yang satu ke mestinya tidak ada dalam gambar. Melalui
lainnya. Pada Gambar 1 suatu persegi analogi, disimpulkan pilihan C juga salah.
diberikan, dengan titik hitam di tengahnya. Pilihan jawaban tinggal B dan D. Pilihan
Pada Gambar 2 persegi masih di tempat yang jawaban bukan B, sebab persegi kecilnya
sama, tetapi titik hitam lenyap, dan muncul tidak ada. Jadi jawabannya adalah D.
persegi kecil di dalam persegi mula-mula. Pada
112
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
M M M
n 2n nx2
113
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
the grades, they should also learn Jika guru memulai pembelajaran
to make effective deductive dengan menyampaikan generalisasi atau
arguments based on the definisi, misalnya untuk setiap bilangan
mathematical truths they are bulat a dan b berlaku a + b = b + a,
establishing in class (NCTM, kemudian baru memberi contoh, maka guru
2000: 59). tersebut menggunakan pendekatan pola pikir
deduktif. Dalam pembelajaran geometri,
Ciri utama matematika adalah jika guru memulai pembelajaran dengan
penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu menyampaikan definisi, misalnya segitiga
konsep atau pernyataan diperoleh sebagai adalah bangun datar bersisi tiga, kemudian
akibat logis dari kebenaran sebelumnya dilanjutkan dengan memberi contoh-contoh
sehingga kaitan antar konsep atau maka guru tersebut menggunakan
pernyataan matematika bersifat konsisten. pendekatan pola pikir deduktif. Menurut
Namun demikian, pembelajaran dengan Copeland (1974) pendekatan pembelajaran
fokus pada pemahaman konsep dapat yang lebih baik bagi siswa (setingkat SD
diawali secara induktif melalui pengalaman atau SMP) adalah dengan pendekatan pola
peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif- pikir induktif. Misalnya dalam
deduktif dapat digunakan untuk mempelajari menyampaikan konsep segitiga, guru
konsep matematika. Kegiatan dapat dimulai seyogyanya memulai pembelajaran dengan
dengan beberapa contoh atau fakta yang menyajikan contoh-contoh segitiga, siswa
teramati, membuat daftar sifat-sifat yang mencoba mencari sifat-sifat sekutu apa yang
muncul (sebagai gejala), memperkirakan ditemukan, dan kemudian siswa mencoba
hasil baru yang diharapkan, yang kemudian menyusun definisi atau generalisasinya.
dibuktikan secara deduktif. Dengan Para siswa dalam belajar matematika
demikian, cara belajar induktif dan deduktif akan lebih bermakna jika mereka berdasar
dapat digunakan dan sama-sama berperan pengalamannya mengkonstruk sendiri
penting dalam mempelajari matematika konsep-konsep dan struktur-struktur
(Depdiknas, 2004). matematika yang sedang dipelajarinya.
Pola pikir deduktif secara sederhana Dalam kegiatan mempelajari matematika,
dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal siswa diharapkan tidak sekedar menghafal
dari hal yang bersifat umum diterapkan atau aturan-aturan matematika tetapi siswa
diarahkan kepada hal yang bersifat khusus”. berupaya memahaminya. Dalam kurikulum
Pola pikir deduktif merupakan salah satu 2004 mata pelajaran matematika, salah satu
tujuan yang bersifat formal dan memberi hal yang perlu diperhatikan dalam
tekanan pada penataan nalar. Meskipun pola melaksanakan pembelajaran matematika
pikir deduktif amat penting, namun dalam adalah mengkondisikan siswa untuk
pembelajaran matematika terutama di menemukan kembali rumus, konsep atau
sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat prinsip dalam matematika melalui
pertama masih diperlukan pola pikir bimbingan guru agar siswa terbiasa
induktif. Ini berarti pembelajaran melakukan penyelidikan dan menemukan
matematika pada kedua jenjang pendidikan sesuatu (Depdiknas, 2004). Visi matematika
tersebut perlu dimulai dengan contoh- sekolah dalam NCTM (2000) berbasis pada
contoh, yaitu hal-hal yang khusus, pembelajaran matematika dengan
selanjutnya secara bertahap menuju kepada pemahaman (understanding) dan pada abad-
suatu simpulan atau sifat yang umum. 21 semua siswa diharapkan memahami dan
Simpulan itu dapat saja berupa suatu definisi dapat menerapkan matematika.
atau teorema yang diangkat dari contoh- Karena pentingnya pola pikir
contoh tersebut (Soedjadi, 2000) deduktif dalam belajar matematika, maka
114
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
115
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
Kemudian siswa menyimpulkan: ”jadi proses kognitif yang dapat digunakan untuk
rumus umum suku ke-n barisan bilangan asli mendorong kecakapan penalaran induktif
ganjil adalah 2n-1.” Dalam memecahkan siswa dalam belajar matematika adalah
masalah ini, proses berpikir yang digunakan kesamaan (similarity), ketidaksamaan
siswa adalah dengan pola pikir induktif. (disimilarity), dan integrasi (integration).
Selanjutnya, misalnya siswa diminta Ciri utama matematika adalah penalaran
menentukan suku ke-200 dari barisan deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau
bilangan tersebut dan siswa mengerjakan pernyataan diperoleh sebagai akibat logis
dengan cara sebagai berikut: untuk suku ke- dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan
200, berarti n = 200. Jadi suku ke-200 adalah antar konsep atau pernyataan matematika
2n – 1 = 2.200 – 1 = 399; maka dalam bersifat konsisten. Namun demikian,
memecahkan masalah ini proses berpikir pembelajaran dengan fokus pada
yang digunakan siswa adalah dengan pola pemahaman konsep dapat diawali secara
pikir deduktif. induktif melalui pengalaman peristiwa nyata
Atau sebaliknya, misalnya siswa atau intuisi.
diminta menentukan n jika diketahui suku
ke-n barisan bilangan tersebut adalah 2001. b. Saran
Misalnya siswa menyelesaikan masalah ini Guru matematika yang hanya
sebagai berikut: rumus barisan bilangan mengandalkan penalaran induktif atau
tersebut 2n-1, sehingga 2n – 1 = 2001. Oleh menggunakan pendekatan induktif saja
karena itu 2n = 2002. Jadi n = 1001; maka menjadikan siswanya kurang memahami
dalam memecahkan masalah ini proses pendekatan deduktif dalam belajar
berpikir yang digunakan siswa adalah matematika. Dikhawatirkan guru yang
dengan pola pikir deduktif. mengajar dengan pendekatan induktif saja
tidak begitu mengenal pendekatan deduktif.
C. Penutup Oleh karen itu disarankan dalam
a. Simpulan pembelajaran matematika guru diharpkan
Penalaran induktif dalam belajar mendesain pembelajaran yang melibatkan
matematika sangat diperlukan. Kerangka penggunaan pola pikir induktif dan deduktif.
DAFTAR PUSTAKA
Copeland, R.W. 1974. How Children Learn Mathematics: Teaching Implications of Piaget’s
Theory. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.
Cristou, C dan Papageorgiou, E. 2007. A Frame Work of Mathematics Inductive Reasoning.
Learning and Instruction 17 (2007) 55-56. University of Cypurs, Cyprus. www.
Elsevier.com.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas.
116
Rochmad – Proses Berpikir Induktif
117
21
INFORMASI ARTIKEL:
Riwayat Artikel :
Tanggal diterima : Mei 2016
Tanggal direvisi : Oktober 2016
Tanggal Publikasi : Desember 2016
ABSTRAK ABSTRACT
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
22
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
23
yang sudah diidentifikasi. Langkah ini dilaksanakan secara efisien dan aman.
membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan Perencanaan ini biasa dilakukan seluruhnya oleh
dilakukan pencegahan, pada langkah ini bidan bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan
juga melakukan pikiran kritis sehingga bersiap- sebagian lagi oleh klien, atau anggota tim
siap bila diagnosa/masalah potensial benar-benar kesehatan yang lain. Jika bidan tidak melakukan
terjadi. sendiri ia tetap memikul tanggung jawab untuk
Langkah keempat yaitu mengidentifikasi mengarahkan pelaksanaannya (misalnya:
kebutuhan dan tindakan segera. memastikan agar langkah-langkah tersebut
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh benar-benar terlaksana).
bidan atau dokter dan/atau untuk dikonsultasikan Bidan berkolaborasi dengan dokter, untuk
atau ditangani bersama dengan anggota tim menangani klien yang mengalami komplikasi,
kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. maka keterlibatan bidan dalam manajemen
Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari asuhan bagi klien adalah bertanggung jawab
proses manajemen kebidanan. terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama
Manajemen bukan hanya selama asuhan yang menyeluruh tersebut. Manajemen yang
primer periodik atau kunjungan prenatal saja, efisien akan menyingkat waktu dan biaya serta
tetapi juga selama wanita tersebut bersama bidan meningkatkan mutu dari asuhan klien.
namun berkelanjutan atau terus-menerus. Langah ketujuh yaitu evaluasi. Pada langkah
Langkah kelima yaitu perencanaan. Pada ketujuh ini dilakukan evaluasi keefektifan dari
langkah ini direncanakan asuhan yang asuhan yang sudah diberikan meliputi
menyeluruh, ditentukan oleh langkah-langkah pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah
sebelumnya. Pada langkah ini informasi/data benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan
dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi. kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi di
Rencana asuhan yang menyeluruh tidak dalam masalah dan diagnosa. Rencana tersebut
hanya meliputi apa yang sudah teridentifikasi dapat dianggap efektif jika memang benar
dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang efektif dalam pelaksanaanya. Ada kemungkinan
berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman bahwa sebagian rencana tersebut telah efektif
antisipasi terhadap wanita tersebut seperti apa sedang sebagian belum efektif.
yang diperkirakan akan terjadi berikutnya, Pola pikir yang digunakan oleh bidan dalam
apakah dibutuhkan penyuluhan, konseling, dan asuhan kebidanan mengacu kepada langkah
apakah perlu merujuk klien bila ada masalah- Varney dan proses dokumentasi manajemen
masalah yang berkaitan dengan sosial-ekonomi, asuhan kebidanan menggunakan Subjectif,
kultural atau masalah psikologis. Objectif, Assesment, Planning (SOAP) dengan
Asuhan terhadap wanita tersebut sudah melampirkan catatan perkembangan.
mencakup setiap hal yang berkaitan dengan Subjectif merupakan hasil dari anamnesis,
semua aspek asuhan. Setiap rencana asuhan baik informasi langsung dari klien maupun dari
haruslah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu keluarga. Anamnesis yang dilakukan harus
oleh bidan dan klien, agar dapat dilaksanakan secara terperinci sehingga informasi yang
dengan efektif karena klien merupakan bagian diharapkan benar-benar akurat. Pada langkah ini,
dari pelaksanaan rencana tersebut. Oleh karena diharapkan bidan menggunakan daya nalarnya
itu, pada langkah ini tugas bidan adalah terkait informasi yang didapatkan.
merumuskan rencana asuhan sesuai dengan hasil Objectif merupakan hasil dari pemeriksaan
pembahasan rencana bersama klien, kemudian yang dilakuan oleh bidan. Pemeriksaan tersebut
membuat kesepakatan bersama sebelum meliputi pemeriksaan keadaan umum,
melaksanakannya. pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik
Pada langkah ini pikiran kritis dari bidan secara head to toe, pemeriksaan penunjang
untuk meyakinkan klien sangatlah diperlukan (pemeriksaan laboratorium baik darah, urin, tinja
karna akan menentukan langkah selanjutnya. atau cairan tubuh). Data hasil kegiatan subjectif
Langkah keenam adalah pelaksanaan. Pada dan objectif akan beriringan. Hal ini meyakinkan
langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh bidan untuk melakukan langkah selanjutnya
seperti yang telah diuraikan pada langkah ke 5 yaitu assessment.
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
24
Pada langkah assessment, bidan akan berargumen serta aplikasi dari ilmu yang
melakukan 3 poin pokok, yaitu menegakkan dipahami untuk membuat suatu keputusan dan
diagnosa kebidanan baik aktual maupun memutuskan sesuatu setelah hal tersebut ia
potensil, menentukan masalah (aktual dan yakini, (Glaser dalam Alec Fisher, 2001;
potensial) dan menentukan kebutuhan. Diagnosa OU,2008).
kebidanan mengacu kepada nomenklatur, artinya Berpikir kritis dan penalaran klinis
diagnosa yang ditegakkan merupakan diagnosa adalah bentuk hipotetis-deduktif. Berpikir dan
hasil anamnesis dan pemeriksaan yang penalaran yang berfokus pada fakta-fakta
merupakan kasus kebidanan, kasus yang biofisik sehingga memastikan bahwa keputusan
menjadi hak, kewajiban dan wewenang bidan diagnostik dan pengobatan nantinya didasarkan
untuk memberikan asuhan kebidanan. pada pemikiran logis (Jefford, et al., 2011).
Pada langkah planning atau perencanaan, Berpikir kritis memungkinkan bagi
bidan akan merencanakan asuhan kebidanan bidan untuk memanfaatkan potensi dirinya
yang akan diberikan kepada klien sesuai dengan melihat, memecahkan masalah dan menciptakan
diagnosa kebidanan yang telah ditegakkan, suatu hal baru dalam manajemen asuhan
sesuai dengan kebutuhan yang telah disusun kebidanan.
pada langkah assessment. Pada langkah Berpikir kritis meningkatkan
perencanaan ini, bidan mempertimbangkan kemampuan verbal dan analitik yang sistematis
seluruh kebutuhan baik fisik maupun psikologis sehingga mengeksplorasikan gagasan-gagasan,
klien. Tindakan apa yang akan dilakukan, menganalisis masalah hingga memahami
mengapa tindakan tersebut dilakukan, kapan masalah khususnya dalam manajemen asuhan
tindakan tersebut dilakukan, siapa yang kebidanan.
melakukan dan bagaimana caranya tindakan Berpikir kritis meningkatkan kreatifitas.
tersebut dilakukan. Untuk menghasilkan solusi kreatif terhadap
Tahap perencanaan ini terdapat beberapa suatu masalah tidak hanya memerlukan gagasan
analisis yang dilakukan oleh bidan meliputi baru namun dengan berpikir kritis dapat
tahap prioritas, mempertimbangkan apakah klien mengevaluasi gagasan lama dan baru, memilih
dan keluarga diikutsertakan dalam tindakan yang terbaik dan memodifikasi bila perlu.
kebidanan, apakah intervensi yang direncanakan Berpikir kritis merupakan upaya refleksi
dan dilakukan sesuai dengan permasalahan dan diri, evaluasi diri terhadap nilai, keputusan yang
penyakit klien, membuat rasional tindakan dan diambil sehingga hasil refleksi dapat diterapkan
dokumentasi. Setelah tahap perencanaan dalam kehidupan sehari-hari. (Lai Emily, 2011;
dilakukan oleh bidan maka bidan melanjutkan Jefford et al, 2011)
kegiatan pemberian asuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Fenech
Kegiatan asuhan yang diberikan oleh bidan, (2015) pada bidan dan perawat yang melakukan
dilakukan dokumentanya dalam bentuk catatan refleksi praktik dengan Protection Motivation
perkembangan. Pada catatan ini, bidan secara Theory (PMT) diyakini bahwa bidan akan dapat
terperinci membuat asuhan yang diberikan bekerja dalam kemitraan dengan dokter
dengan melampirkan hari, tanggal, waktu, tanda kandungan untuk memberikan perawatan yang
tangan dan nama petugas yang melaksanakan. aman dan efektif dalam lingkup praktek dan
Setiap asuhan yang diberikan harus tidak adanya rasa takut.
melampirkan hal tersebut. Bidan sebagai praktisi maupun dalam
pendidikan harus menggunakan unsur-unsur
dasar dalam berpikir kritis agar asuhan
kebidanan yang akan diberikan berkualitas.
Berpikir Kritis Unsur pertama dalam berpikir kritis adalah
Berpikir kritis merupakan seni (Paul and konsep. Seorang bidan harus memahami konsep
Linda Elder, 2006) gambaran sikap seseorang dasar manajemen asuhan kebidanan, konsep-
dalam menganalisis, mengevaluasi sesuatu yang konsep dasar kebidanan baik definisi, aturan
ia lihat, mengklarifikasi yang di dengar, metode yang mengikat atau etika profesi dan prinsip-
pengetahuan untuk berfikir logis dan prinsip dari konsep kebidanan tersebut.
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
25
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
26
kredibilitasnya, merefleksika kandungan teks berpikir kritis dapat dipengaruhi oleh usia, lama
dengan pendapat sendiri dan membandingkan pendidikan dengan peningkatan jenjang
tes yang satu dengan yang lainnya yang pendidikan, filsafat (Brown, 2001; Schin, 2006).
memiliki keterkaitan (OU, 2008) Berpikir kritis berdampingan dengan
Cara kedua adalah menulis dengan berpikir kreatif, artinya kemampuan berpikir
kritis. Seorang profesi bidan yang telah seorang bidan untuk membuat hubungan yang
melakukan membaca dengan kritis harus baru dan yang lebih berguna dari informasi yang
menuliskan semua pemahaman yang ada dalam sebelumnya sudah diketahui oleh bidan. Bidan
bentuk tulisan. Salah satu contohnya adalah melakukannya dengan cara membangkitkan
dokumentasi dalam manajemen asuhan sejumlah besar ide-ide, menerima hal yang baru
kebidanan. Dokumentasi tersebut merupakan dan tidak cepat mengambil keputusan. Semua
suatu media bagi profesi bidan untuk informasi yang didapatkan diolah dengan
menuangkan semua asuhan yang telah diberikan membuat suatu hubungan sebab akibat dengan
dan menjadi acuan untuk asuhan berikutnya. teknik brainstorming, idea writing, mind
Cara ketiga adalah meningkatkan mapping, forcing new connections and relaxers.
analisis dari yang dibaca dan ditulis. Asuhan Berpikir kritis yang dilakukan seorang
kebidanan yang telah dituliskan dapat menjadi bidan tidak terpisah dari clinical reasoning,
bahan diskusi untuk dievaluasi atau mencari artinya seorang bidan memusatkan pikirannya
penyelesainan masalah atau mendiskusikan hal kea rah diagnosa kebidanan yang
terburuk yang mungkin terjadi. memungkinkan berdasarkan campuran pola
Cara keempat adalah mengembangkan pengenalan dan penalaran deduktif hipotetik.
kemampuan observasi. Observasi atau Para ahli mengorganisasikan pengetahuan
mengamati suatu kondisi klien akan melalui tiga fase, yaitu akumulasi pengetahuan
memudahkan seorang profesi bidan untuk dasar, proses penggabungan pengetahuan dasar
menarik kesimpulan dari kondisi klien yang dengan kasus nyata dan proses menggunakan
diamati. Pengamatan tersebut dikritisi dan script yang sesua untuk menangani kasus yang
pengamatan yang ia dapatkan bisa menjadi baru.
acuan untuk menarik kesimpulan yang Fase pertama merupakan proses
berdampak pada pembuaan keputusan. akumulasi pengetahuan dasar tentang penyakit,
Cara kelima yaitu meningkatkan rasa dapat dicontohkan bidan seperti patofisiologi
ingin tahu, kemampuan bertanya dan dan patogenesis. Patofisiologi persalinan,
refleksi.Pengajuan pertanyaan yang bermutu patofisiologi seorang perempuan hamil dengan
yaitu pertanyaan yang tidak memiliki jawaban penyakit asma, potogenesis suatu penyakit. Fase
benar atau salah atau pertanyaan yang kedua adalah proses penggabungan pengetahuan
mengharuskan seorang profesi bidan dasar dengan kasus nyata melalui pengalaman
menjelaskan sehingga memperbanyak berpikir. menangani klien atau dikenal dengan istilah
Berpikir kritis memungkinkan perawat illness script. Fase ketiga merupakan proses
dan atau bidan untuk memenuhi kebutuhan klien menggunakan script yang sesuai untuk
sesuai dengan data yang ia dapatkan, mampu menangani kasus yang baru.
mempertimbangkan alternatif, sehingga asuhan Strategi clinical reasoning menggunakan
kebidanan dan perawatan klien berkualitas tinggi logika induktif dan deduktif untuk membuat
dan berpikir reflektif berarti bidan bukan hanya kesimpulan atau dikenal metode analitik
menerima laporan dan tugas melakukan asuhan hipotetico-deductive. Strategi reasoning data dan
kebidanan lanjutan tanpa pemahaman yang informasi yang diperoleh dari klien
signifikan dan evaluasi (Mottola, 2001) digeneralisasikan menjadi hipotesis sebagai
Praktisi terampil dapat berpikir kritis diagnosis banding. Diagnosis banding yang
karena mereka memiliki keterampilan kognitif dihasilkan digunakan sebagai dasar untuk
dengan mencari informasi, diskriminasi, menentukan data yang masih diperlukan,
menganalisis, mengubah pengetahuan, membedakan berbagai penyakit dalam
prediksi/asumsi, menerapkan Standar, dan hipotesisnya. Data yang dikumpulkan akan
alasan-alasan logis. Kemampuan bidan untuk
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
27
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
28
mendokumentasikan hasil observasinya yang sheet lebih sering digunakan di unit gawat
relevan dan kejadian secara kronologis. darurat, terutama data fisiologis.
Keuntungan catatan naratif diantaranya Lembar alur yang unik, berupa
adalah memudahkan penafsiran secara berurutan kesimpulan penemuan , termasuk flowsheet
dari kejadian dari asuhan/tindakan yang instruksi dokter/perawat, grafik, catatan
dilakukan, memberi kebebasan kepada bidan pendidikan dan catatan pemulangan klien.
untuk mencatat menurut gaya yang disukainya Rangkaian informasi dalam sistem pendekatan
dan format menyederhanakan proses dalam orientasi masalah. Catatan ini dirancang dengan
mencatat masalah, kejadian perubahan, format khusus pendokumentasian informasi
intervensi, reaksi klien dan outcomes. mengenai setiap nomor dan judul masalah yang
Kelemahan catatan naratif diantaranya sudah terdaftar. Flow sheet sendiri berisi hasil
adalah cenderung untuk menjadi kumpulan data observasi dan tindakan tertentu. Beragam format
yang terputus-putus, tumpang tindih dan mungkin digunakan dalam pencatatan walau
sebenarnya catatannya kurang berarti, sulit demikian daftar masalah, flowsheet dan catatan
mencari informasi tanpa membaca seluruh perkembangan adalah syarat minimal untuk
catatan atau sebagian besar catatan tersebut. dokumentasi pasien yang adekuat/memadai.
Mengabdikan sistem menguburkan pesanan Berpikir kritis dalam manajemen asuhan
dimana mencatat masalah pasien secara kebidan menggambarkan bahwa seorang bidan
suferpisial/dangkal daripada mengupasnya tersebut memiliki basis pengetahuan dan
secara mendalam. Beberapa penulis juga kemampuan untuk menganalisis dan
menyatakan bahwa dalam pencatatan secara mengevaluasi pengetahuan terbaru,
naratif juga memiliki kekurangan diantaranya mengaplikasikan logika dan rasionalnya untuk
perlu meninjau catatan dari seluruh sumber mengambil sutu keputusan klinis. Berpikir kritis
untuk mengetahui gambaran klinis pasien secara diiringi pengalaman bidan maka akan
menyeluruh, membuang banyak waktu karena meminimalkan atau tidak adanya kesalahan,
format yang polos menuntun pertimbangan hati- bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain akan
hati untuk menentukan informasi yang perlu menjadikan bidan lebih memahami kebutuhan
dicatat setiap klien, kronologis urutan peristiwa klien.
dapat mempersulit interpretasi karena informasi Bidan menerapkan setiap kegiatan
yang bersangkutan mungkin tidak tercatat pada manajemen asuhan kebidanan selalu
tempat yang sama dan harus mengikuti menggunakan penalaran, berpikir kritis. Hal ini
perkembangan klien yang bisa menyita banyak dapat dilakukan evaluasi. Evaluasi merupakan
waktu. proses pengukuran pencapaian tujuan yang
Flow sheet atau lembaran ceklist diinginkan dengan menggunakan metode yang
memungkinkan bidan untuk mencatat hasil teruji validitas dan reliabilitasnya. Beberapa
observasi atau pengukuran yang dilakukan penelitian mengevaluasi kemampuan
secara berulang yang tidak perlu ditulis secara berpikir kritis dari aspek ketrampilan
naratif, termasuk data klinik klien tentang tanda- intelektual seperti ketrampilan menganalisis,
tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan, mensintesis, dan mengevaluasi dengan
suhu), berat badan, jumlah masukan dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang
keluaran cairan dalam 24 jam dan pemberian berbasis taxonomi Bloom. Sedangkan tujuan
obat. Flow sheet yang biasanya dipakai adalah pengajaran berpikir kritis meliputi ketrampilan
catatan klinik, catatan keseimbangan cairan dan strategi kognitif, serta sikap.
dalam 24 jam, catatan pengobatan catatan harian Colucciello menggabungkan berbagai
tentang asuhan keperawatan. Flow sheet elemen yang digunakan dalam penelitian dan
merupakan cara tercepat dan paling efisien komponen pemecahan masalah keperawatan
untuk mencatat informasi. Selain itu tenaga serta kriteria yangdigunakan dengan
kesehatan akan dengan mudah mengetahui komponen ketrampilan dan sikap berpikir
keadaan klien hanya dengan melihat grafik yang kritis. Elemen tersebut antara lain
terdapat pada flow sheet. Oleh karena itu flow menentukan tujuan, menyusun pertanyaan
atau membuat kerangka masalah, menunjukkan
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
29
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
30
Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
Jurnal Kebidanan 10 (02) 103 - 205
Jurnal Kebidanan
http : /www.journal.stikeseub.ac.id
Hasil penelitian memunculkan beberapa tema dan secara skematis ditunjukkan dengan
skema berikut:
Data dari laporan asuhan kebidanan CoC disajikan dalam bentuk tabel tema sebagai
berikut:
No
Aspek
Indikator dalam PKK CoC Tema
Critical thinking
Tema-tema dari analisis hasil wawancara secara skematis ditampilkan secara keseluruhan
sebagai berikut :
DISUSUN OLEH :
INDAH SARI
PO71242210021
Kala 1
Kala 2
Terjadinya kontraksi dan dilatasi serviks
dimulai ketika pembukaan serviks sudah
untuk menyiapkan jalan lahir bagi janin. Kala
lengkap (10 cm) dan berakhir dengan
ini dimulai saat persalinan mulai sampai
lahirnya bayi.
pembukaan lengkap (10 cm).
Kala 4
Berakhirnya Plasenta lahir dan 2 Jam setelah
Kala 3 itu Pemantauan Selama 2 jam pertama
pascapersalinan : Pantau tekanan darah,
dimulai segera setelah bayi lahir sampai
nadi, tinggi fundus, kandung kemih dan
lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak
perdarahan yang terjadi setiap 15 menit
lebih dari 30 menit (Prawirohardjo,2018).
dalam satu jam pertama dan setiap 30 menit
dalam satu jam kedua kala IV
(Prawirohardjo, 2018).
7 Langkah Manajemen Varney
1. Pengkajian
Pengkajian adalah mengumpulkan data subyektif dan obyektif,berupa data fokus yang dibutuhkan untuk
menilai keadaan ibu sesuaidengan kondisinya, menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik,penimbangan
berat badan, tinggi badan, dan pemeriksaan laboratorium(Mandriwati, 2016).
2. Intrepetasi Data
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau masalah dan kebutuhan klien
terhadap interpretasi yang benar atas data – data yang dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan
diinterpretasikan sehingga ditemukan masalah atau diagnosa yang spesifik (Hidayat, 2017).
3. Diagnosa potensial adalah melakukan identifikasi diagnosis atau masalah potensial dan mengantisipasi
penanganannya.
4. Tindakan segera adalah mengidentifikasi perlunya tindakan segera bidan atau dokter dan tau untuk
konsultasi atau ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien
(Jannah, 2011).
5. Perencanaan Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh berdasarkan langkah sebelumnya.
6. Pelaksanaan pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang diuraikan pada langkah kelima di
atas dilaksanakan secara efisien dan aman (Jannah, 2016).
7. Evaluasi Hal yang dievaluasi meliputi apakah kebutuhan telah terpenuhi dan mengatasi diagnosis dan
masalah yang telah diidentifikasi.
Gambar 2.1 PATHWAY
Bobak,2016:Varney,2013:Prawirorahardjo:2018
BAB III KASUS
Kesimpulan
• Berpikir kritis adalah cara berpikir tentang subjek, konten, atau
masalah yang dilakukan oleh pemikir secara aktif dan terampil secara
konseptual dan memaksakan standar yang tinggi atas intelektualitas
mereka. Berpikir kritis merupakan dasar bagi setiap Bidan untuk
melakukan manajemen asuhan kebidanan sehingga tepatnya
pembuatan keputusan dan tepatnya asuhan yang diberikan. Berpikir
kritis harus diintergrasikan kepada seluruh profesi Bidan dan dimulai
pada mahasiswa kebidanan untuk setiap manajemen asuhan
kebidanan yang akan dilakukan sehingga menghasilkan asuhan yang
tepat dan bermutu.