Anda di halaman 1dari 208

MAKALAH

PENALARAN DEDUKTIF DAN INDUKTIF


DALAM PERSALINAN NORMAL

DISUSUN OLEH :
INDAH SARI
PO71242210021

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


JURUSAN KEBIDANAN PROGRAM STUDI
PROFESI BIDAN
2021/2022
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penalaran atau reasoning merupakan suatu konsep yang paling umum

menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpuan

sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Dalam

pernyataan-pernyataan itu terdiri dari pengertia-pengertian sebagai unsurnya yang

antara pengertian satu dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk

menghindarkan kekabutan arti (Palupi Sri Wijayanti Et Al,2017).

Unsur-unsur di sini bukan merupakan bagian-bagian yang menyusun suatu

penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai prinsip yang harus diketahui terlebih

dahulu, karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis tergantung

pada pangkal pikirnya. Unsur-unsur penalaran yang dimaksudkan adalah tentang

pengertian, karena pengertian ini merupakan dasar dari semua bentuk penalaran.

Untuk mendapatkan pengertian sesuatu dengan baik sering juga dibutuhkan suatu

analisa dalam bentuk pemecah-belahan sesuatu pengertian umum ke pengertian

yang menyusunnya, hal ini secara teknis disebut dengan istilah pembagian (Diah

Prawitha Sari Et Al,2016).

Dan selanjutnya diadakan pembatasan arti atau definisi. Mendefinisikan

sesuatu masalah bukanlah hal yang berlebihan, tetapi untuk memperjelas sebagai

titik tolak penalaran, sehingga kekaburan arti dapat dihindarkan. Definisi dan

pembagian merupakan dua hal yang saling melengkapi. Untuk mendapatkan

1
definisi yang baik sering membutuhkan suatu pembagian. Demikian juga untuk

memudahkan mengadakan pembagian, suatu definisi sering juga dibutuhkan

(Aldina Ayunda Insani Et Al,2016).

Etni Dwi Astuti menyatakan dalam matematika sebagai “ilmu” hanya diterima

pola pikir deduktif. Meskipun pada akhirnya siswa diharapkan mampu berpikir

deduktif, namun dalam proses pembelajaran matematika dapat digunakan pola

pikir induktif (Etni Dwi Astuti,2018). Oleh karena itu, Makalah ini membahas

berpikir deduktif dan induktif dalam matematika sehingga dalam mempelajari

matematika siswa terlibat dengan berpikir.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud penalaran deduktif ?

2. Ada berapa macam jenis penalaran deduktif ?

3. Apakah yang dimaksud dengan penalaran induktif ?

4. Ada berapa macam jenis penalaran induktif ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian penalaran deduktif

2. Untuk mengetahui berapa macam jenis penalaran deduktif

3. Untuk mengetahui pengertian penalaran induktif

4. Untuk mengetahui berapa macam jenis penalaran induktif

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Penalaran

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera

(pengamatan empiric) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.

Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi

yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar,

orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui.

Proses inilah yang disebut menalar Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan

dasar penyimpulan disebut dengan premis(antesedens) dan hasil kesimpulannya

disebut dengan konklusi (consequence) (Palupi Sri Wijayanti Et Al,2017).

B. Penalaran Deduktif

Penalaran deduktif adalah suatu tahap pemikiran dan pembelajaran

manusia untuk menghubungkan antara data dengan fakta yang ada sehingga pada

akhirnya terdapat kesimpulan yg dapat diambil (Etni Dwi Astuti,2018).

Penalaran deduktif bertolak dari sebuah konklusi atau simpulan yang didapat

dari satu atau lebih pernyataan yang lebih umum. Simpulan yang diperoleh tidak

mungkin lebih umum dari pada proposi tempat menarik simpulan itu. Proposi

tempat merarik simpulan itu disebut premis. Dapat di artikan penalaran deduktif

adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang

kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan

3
atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus (Dinda Kurnia Putri Et

Al,2019).

Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional,

instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala

terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan

selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran

deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu

gejala (Diah Prawitha Sari Et Al,2016).

C. Macam-Macam Penalaran Deduktif

1. Silogisme

Merupakan suatu cara penalaran yang formal.Penalaran dalam bentuk

ini jarang ditemukan/dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita lebih sering

mengikuti polanya saja, meskipun kadang-kadang secara tidak sadar.

Misalnya ucapan “Ia dihukum karena melanggar peraturan “X” (Palupi Sri

Wijayanti Et AL, 2017).

2. Silogisme Kategorik

Silogisme Katagorik adalah silogisme yang semua proposisinya

merupakan katagorik. Proposisi yang mendukung silogisme disebut dengan

premis yang kemudian dapat dibedakan dengan premis mayor (premis yang

termnya menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi

subjek). Yang menghubungkan diantara kedua premis tersebut adalah term

penengah (middle term) (Palupi Sri Wijayanti Et Al,2017).

4
3. Silogisme Hipotetik

Silogisme Hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa

proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya adalah proposisi katagorik

(Palupi Sri Wijayanti Et Al, 2017).

4. Silogisme Disyungtif

Silogisme Disyungtif adalah silogisme yang premis mayornya

keputusan disyungtif sedangkan premis minornya kategorik yang mengakui

atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.Seperti

pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara

analog bukan yang semestinya (Palupi Sri Wijayanti Et Al,2017).

D. Penalaran Induktif

Penalaran induktif adalah penalaran yang bertolak dari pernyataan –

pernyataan yang khusus dan menghasilkan kesimpulan yang umum. Dengan kata

lain kesimpulan, yang diperoleh tidak lebih khusus daripada pernyataaan (premis)

(Diah Prawitha Sari Et Al,2016).

E. Macam-Macam Penalaran Induktif

Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir

dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan

difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum

diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif.

Contoh:

Jika dipanaskan, besi memuai.

Jika dipanaskan, tembaga memuai.

5
Jika dipanaskan, emas memuai.

Jika dipanaskan, platina memuai.

∴ Jika dipanaskan, logam memuai.

Jika ada udara, manusia akan hidup.

Jika ada udara, hewan akan hidup.

Jika ada udara, tumbuhan akan hidup.

∴ Jika ada udara mahkluk hidup akan hidup.

proses penalaran yang digunakan dalam berfikir untuk menarik kesimpulan dari

sesuatu yang bersifat khusus ke umum atau berupa prinsip atau sikap yang berlaku

umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Penalaran Induktif dibagi

menjadi 2, yaitu :

1. Generalisasi adalah bentuk dari metode berfikir induktif atau suatu proses

penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual ( khusus ) menuju

kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena

individual yang diselidiki.

a) Generalisasi tanpa loncatan induktif adalah seluruh fakta yang ada di dalam

fenomena yang dijadikan sebuah kesimpulan berdasarkan penyelidikan yang

terjadi. Contoh : setiap 1 bulan pada tahun masehi tidak ada yang jumlah harinya

lebih dari 31 hari.

b) Generalisasi dengan loncatan induktif adalah generalisasi yang kesimpulannya

diambil dari sebagian fakta dari suatu fenomena yang berlaku pada fenomena

sejenis yang belum diselidiki. Contoh : kita menyelidiki sebagian masyarakat

6
Indonesia yang ramah, lalu kita membuat sebuah kesimpulan bahwa semua rakyat

Indonesia adalah masyarakat yang ramah.

2. Analogi adalah suatu bentuk metode penalaran induktif untuk menarik kesimpulan

tentang kebenaran suatu gejala khusus berdasarkan kebenaran suatu gejala khusus

lain yang memiliki sifat-sifat penting yang bersamaan.

Tujuan dari analogi adalah:

– Meramalkan persamaan

– Mengadakan klasifikasi

– Menyingkap kekeliruan

F. Teori Persalinan Normal

1. Persalinan

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari

dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Kuswanti, 2017). Persalinan adalah

proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan

dianggap normal jika prosesnya terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah

37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit (Nurasiah, 2016).

Partus adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup

dari dalam uterus melalui vagina kedunia luar (Wiknjosastro, 2015). Persalinan

merupakan proses pergerakan janin, plasenta, dan membran dari dalam rahim

melalui jalan lahir. Proses ini berawal dari pembukaan dan dilatasi serviks sebagai

akibat kontraksi uterus dengan frekuensi, durasi, dan kekuatan yang teratur. Mula-

mula kekuatan yang muncul kecil, kemudian terus meningkat sampai pada

puncaknya pembukaan serviks lengkap sehingga siap untuk pengeluaran janin dari

7
rahim ibu. Persalinan adalah saat yang menegangkan, menggugah emosi,

menyakitkan, dan meakutkan bagi ibu maupun keluarga (Rohani, 2016).

2. Etiologi

Sampai sekarang sebab-sebab mulai timbulnya persalinan tidak diketahui

dengan jelas, banyak teori yang dikemukakan, namun masingmasing teori ini

mempunyai kelemahan-kelemahan. Menurut Mochtar, 2018 beberapa teori

timbulnya persalinan yaitu :

a. Teori penurunan horman minggu sebelum partus, terjadi penurunan kadar estrogen

dan progesteron, peningkatan kadar prostaglandin yang berfungsi meningkatkan

kontraksi uterus.

b. Teori placenta menjadi tua Menyebabkan turunnya kadar estrogen dan progesteron

yang menyebabkan kekejangan pembuluh darah.

c. Teori distensi rahim Rahim yang menjadi besar dan meregang menyebabkan iskemia

otototot rahim sehingga mengganggu sirkulasi uteroplasenta.

d. Teori iritasi mekanik Di belakang serviks terletak ganglion servikale (fleksus

frenkenhauser), bila ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin,

akan timbul kontraksi uterus.

e. Induksi Partus Induksi persalinan adalah suatu upaya agar persalinan mulai

berlangsung sebelum dan sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang

timbulnya his (Sofian, 2016). Induksi persalinan adalah upaya untuk melahirkan

janin menjelang aterm dalam keadaan belum terdapat tanda–tanda persalinan atau

belum inpartu, dengan kemungkinan janin dapat hidup di luar kandungan (umur di

atas 28 minggu) (Manuaba, 2016)

8
3. Mekanisme persalinan

a. Pengertian Denominator atau petunjuk adalah kedudukan dari salah satu bagian

dari bagian depan janin terhadap jalan lahir.Hipomoklion adalah titik putar atau

pusat pemutaran (Wiknjosastro, 2015).

b. Mekanisme persalinan letak belakang kepala Menurut Wiknjosastro (2015)

mekanisme persalinan dibagi beberapa tahap yaitu :

1) Engagement (fiksasi) = masuk Ialah masuknya kepala dengan lingkaran

terbesar (diameter Biparietal) melalui PAP. Pada primigravida kepala janin

mulai turun pada umur kehamilan kira–kira 36 minggu, sedangkan pada

multigravida pada kira– kira 38 minggu kadang–kadang permulaan partus.

Engagement lengkap terjadi bila kepala sudah mencapai Hodge III. Bila

engagement sudah terjadi maka kepala tidak dapat berubah posisi lagi, sehingga

posisinya seolah–olah terfixer di dalam panggul, oleh karena itu engagement

sering juga disebut fiksasi. Pada kepala masuk PAP, maka kepala dalam posisi

melintang dengan sutura sagitalis melintang sesuai dengan bentuk yang bulat

lonjong. Seharusnya pada waktu kepala masuk PAP, sutura sagitalis akan tetap

berada di tengah yang disebut Synclitismus. Tetapi kenyataannya, sutura

sagitalis dapat bergeser kedepan atau kebelakang disebut Asynclitismus.

Asynclitismus dibagi 2 jenis :

a) Asynclitismus anterior : naegele obliquity yaitu bila sutura sagitalis bergeser

mendekati promontorium.

b) Asynclitismus posterior : litzman obliquity yaitu bila sutura sagitalis mendekati

symphisis.

9
2) Descensus = penurunan Ialah penurunan kepala lebih lanjut kedalam panggul.

Faktor– faktor yang mempengaruhi descensus : tekanan air ketuban, dorongan

langsung fundus uteri padabokong janin, kontraksi otot– otot abdomen,

ekstensi badan janin.

3) Fleksi Ialah menekannya kepala dimana dagu mendekati sternum sehingga

lingkaran kepala menjadi mengecil  suboksipito bregmatikus (9,5 cm). Fleksi

terjadi pada waktu kepala terdorong His kebawah kemudian menemui jalan

lahir.Pada waktu kepala tertahan jalan lahir, sedangkan dari atas mendapat

dorongan, maka kepala bergerak menekan kebawah.

4) Putaran Paksi Dalam (internal rotation) Ialah berputarnya oksiput ke arah

depan, sehingga ubun -ubun kecil berada di bawah symphisis (HIII). Faktor-

faktor yang mempengaruhi : perubahan arah bidang PAP dan PBP, bentuk jalan

lahir yang melengkung, kepala yang bulatdan lonjong.

5) Defleksi Ialah mekanisme lahirnya kepala lewat perineum. Faktor yang

menyebabkan terjadinya hal ini ialah : lengkungan panggul sebelah depan lebih

pendek dari pada yang belakang. Pada waktu defleksi, maka kepala akan

berputar ke atas dengan suboksiput sebagai titik putar (hypomochlion) dibawah

symphisis sehingga berturut – turut lahir ubun – ubun besar, dahi, muka dan

akhirnya dagu.

6) Putaran paksi luar (external rotation) Ialah berputarnya kepala

menyesuaikankembali dengan sumbu badan (arahnya sesuai dengan punggung

bayi).

7) Expulsi (Lahirnya Seluruh Badan Bayi).

10
Gambar 2.1 Mekanisme Persalinan Normal (Presentase Kepala).

4. Fisiologis persalinan

Sebab-sebab terjadinya persalinan masih merupakan teori yang komplek.

Perubahan-perubahan dalam biokimia dan biofisika telah banyak mengungkapkan

mulai dari berlangsungnya partus antara lain penurunan kadar hormon progesteron

dan estrogen. Progesteron merupakan penenang bagi otot–otot uterus.

Menurunnya kadar hormon ini terjadi 1-2 minggu sebelum persalinan. Kadar

prostaglandin meningkat menimbulkan kontraksi myometrium. Keadaan uterus

yang membesar menjadi tegang mengakibatkan iskemi otot–otot uterus yang

mengganggu sirkulasi uteroplasenter sehingga plasenta berdegenerasi. Tekanan

11
pada ganglion servikale dari fleksus frankenhauser di belakang servik

menyebabkan uterus berkontraksi (Manuaba, 2016).

5. Faktor Penyebab Terjadinya Persalinan

a. Tenaga Atau Kekuatan (Power) Adalah kekuatan yang mendorong janin dalam

persalinan. Kekuatan yang berguna untuk mendorong keluar janin adalah his,

kontraksi otot-otot perut, kontraksi diagfragma dan aksi ligament. Kekuatan

primer yang diperlukan dalam persalinan adalah his, sedangkan sebagai

kekuatan sekundernya adalah tenaga meneran ibu. (Rohani, dkk., 2017).

b. Jalan Lahir (Passage) Merupakan faktor jalan lahir, terbagi menjadi 2 yaitu

bagian keras (tulang panggul) dan bagian lunak (uterus, otot dasar panggul dan

perineum) (Rohani, dkk., 2017).

c. Janin (Passanger) Meliputi sikap janin, letak janin, presentasi, bagian presentasi,

serta posisi. Sikap janin menunjukkan hubungan bagian tubuh janin yang satu

dengan bagian yang lain. Letak janin dilihat berdasarkan hubungan sumbu

tubuh janin dibandingkan dengan sumbu tubuh ibu. Presentasi digunakan untuk

menentukan bagian janin yang ada dibagian bawah rahim yang dijumpai pada

palpasi atau pada pemeriksaan dalam. Bagian presentasi adalah bagian tubuh

janin yang pertama kali teraba oleh jari pemeriksa saat melakukan pemeriksaan

dalam. Sedangkan posisi merupakan indikator untuk menetapkan arah bagian

terbawah janin (Rohani, dkk., 2017).

d. Psikis Ibu Meliputi psikologis ibu, emosi, dan persiapan intelektual,

pengalaman melahirkan bayi sebelumnya, kebiasaan adat, dan dukungan dari

orang terdekat pada kehidupan ibu. (Rohani, dkk.,2017).

12
e. Penolong Peran dari penolong persalinan adalah mengantisipasi dan menangani

komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan janin (Rohani, dkk., 2017).

6. Tanda – tanda persalinan

Menurut Sofian (2019), tanda dan gejala persalinan antara lain:

a. Rasa sakit oleh adanya his yang datang lebih kuat, sering dan teratur

b. Keluar lendir bercampur darah (blood show) yang lebih banyak karena

robekan–robekan kecil pada serviks.

c. Kadang–kadang ketuban pecah dengan sendirinya.

d. Pemeriksaan dalam : serviks mendatar dan pembukaan telah ada.

7. Jenis Persalinan Setiap wanita menginginkan persalinannya berjalan lancar dan

dapat melahirkan bayi dengan sempurna. Ada dua cara persalinan yaitu persalinan

lewat vagina yang lebih dikenal dengan persalinan alami dan persalinan caesar atau

section caesarea (Prawirohardjo, 2018).

a. Pervaginam Persalinan pervaginam dibagi menjadi 2 yaitu :

1) Persalinan Spontan yaitu persalinan yang berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri

dan melalui jalan lahir.

2) Persalinan Buatan yaitu persalinan yang dibantu dengan tenaga dari luar, misalnya

ekstraksi dengan forceps atau dilakukan section caesarea (Manuaba, 2016).

b. Section Cesaria (SC) section caesarea yaitu tindakan operasi untuk mengeluarkan

bayi dengan melalui insisi pada dinding perut dan dinding rahim dengan syarat rahim

dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Prawirohardjo, 2018).

13
8. Tahap-Tahap Persalinan

Pervaginam Berlangsungnya persalinan dibagi dalam 4 kala yaitu:

a. Kala I

Kala pertama adalah dilatasi serviks untuk menyiapkan jalan lahir bagi janin.

Kala ini dimulai saat persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10 cm).

Proses ini terbagi dalam 2 fase, fase laten (8 jam) serviks membuka sampai 3

cm dan fase aktif (7 jam) serviks membuka dari 3 sampai 10 cm. Kontraksi

lebih kuat dan sering selama fase aktif (Prawirohardjo, 2018).

Tanda dan gejala kala I :

1) His sudah teratur, frekuensi minimal

2) 2 kali dalam 10 menit Penipisan dan pembukaan serviks

3) Keluar cairan dari vagina dalam bentuk lendir bercampur darah Kala I dibagi

dalam 2 fase: 1) Fase laten Dimulai sejak awal kontraksi yang menyebabkan

penipisan dan pembukaan servik secara bertahap,pembukaan servik kurang

dari 4 cm,biasanya berlangsung hingga 8 jam.

4) Prosedur dan diagnostik :

a) Tanyakan riwayat persalinan : Permulaan timbulnya kontraksi; pengeluaran

pervaginam seperti lendir, darah, dan atau cairan ketuban; riwayat

kehamilan; riwayat medik; riwayat social; terakhir kali makan dan minum;

masalah yang pernah ada.

b) Pemeriksaan Umum : Tanda vital, BB, TB, Oedema; kondisi puting susu;

kandung kemih.

14
c) Pemeriksaan Abdomen : Bekas luka operasi; tinggi fundus uteri; kontraksi;

penurunan kepala; letak janin; besar janin; denyut jantung janin.

d) Pemeriksaan vagina : Pembukaan dan penipisan serviks; selaput ketuban

penurunan dan molase; anggota tubuh janin yang sudah teraba.

e) Pemeriksaan Penunjang : Urine: warna, kejernihan, bau, protein, BJ, dan lain-

lain; darah: Hb, BT/CT, dan lain-lain.

f) Perubahan psikososial Perubahan prilaku; tingkat energi; kebutuhan dan

dukungan (Prawirohardjo, 2018).

2) Fase aktif Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus umumnya meningkat

(kontraksi dianggap adekuat jika terjadi tiga kali atau lebih), serviks membuka

dari 4 cm ke 10 cm, biasanya kecepatan 1 cm atau lebih per jam hingga

pembukaan lengkap (10 cm) dan terjadi penurunan bagian terbawah janin.

Pemantauan kala 1 fase aktif persalinan : Penggunaan Partograf Partograf

adalah alat bantu yang digunakan selama fase aktif persalinan. Tujuan utama

dari penggunaan partograf adalah untuk:

a) Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai

pembukaan serviks melalui pemeriksaan dalam.

b) Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal. Dengan

demikian, juga dapat melakukan deteksi secara dini setiap kemungkinan

terjadinya partus lama. Halaman depan partograf untuk mencatat atau

memantau : Kesejahteraan janin Denyut jantung janin (setiap ½ jam), warna

air ketuban (setiap pemeriksaan dalam), penyusupan sutura (setiap

pemeriksaan dalam). Kemajuan persalinan Frekuensi dan lamanya kontraksi

15
uterus (setiap ½ jam), pembukaan serviks (setiap 4 jam), penurunan kepala

(setiap 4 jam). Kesejahteraan ibu Nadi (setiap ½ jam), tekanan darah dan

temperatur tubuh (setiap 4 jam), prodeksi urin , aseton dan protein (setiap 2

sampai 4 jam), makan dan minum (Prawirohardjo, 2018).

b. Kala II (Kala Pengeluaran)

Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm)

dan berakhir dengan lahirnya bayi. Wanita merasa hendak buang air besar

karena tekanan pada rektum. Perinium menonjol dan menjadi besar karena

anus membuka. Labia menjadi membuka dan tidak lama kemudian kepala

janin tampak pada vulva pada waktu his. Pada primigravida kala II

berlangsung 1,5-2 jam, pada multi 0,5-1 jam. Tanda dan gejala kala II :

1) Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi.

2) Perineum terlihat menonjol.

3) Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rectum dan atau

vaginanya.

4) Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rectum dan atau

vaginanya.

5) Vulva-vagina dan sfingkter ani terlihat membuka.

6) Peningkatan pengeluaran lendir dan darah (Prawirohardjo, 2018).

c. Kala III (Kala uri)

Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang

berlangsung tidak lebih dari 30 menit (Prawirohardjo,2018). Penatalaksanaan

16
aktif pada kala III (pengeluaran aktif plasenta) membantu menghindarkan

terjadinya perdarahan pascapersalinan. Tanda-tanda pelepasan plasenta :

1) Perubahan bentuk dan tinggi fundus.

2) Tali pusat memanjang

3) Semburan darah tiba–tiba Manejemen aktif kala III : Tujuannya adalah

untuk menghasilkan kontraksi uterus yang lebih efektif sehingga dapat

memperpendek waktu kala III dan mengurangi kehilangan darah dibandingkan

dengan penatalaksanaan fisiologis, serta mencegah terjadinya retensio

plasenta.Tiga langkah manajemen aktif kala III : Berikan oksitosin 10 unit IM

dalam waktu dua menit setelah bayi lahir, dan setelah dipastikan kehamilan

tunggal. Lakukan peregangan tali pusat terkendali. Segera lakukan massage

pada fundus uteri setelah plasenta lahir (Prawirohardjo, 2018).

d. Kala IV ( 2 jam post partum )

Setelah plasenta lahir, kontraksi rahim tetap kuat dengan amplitudo 60

sampai 80 mmHg, kekuatan kontraksi ini tidak diikuti oleh interval pembuluh

darah tertutup rapat dan terjadi kesempatan membentuk trombus. Melalui

kontraksi yang kuat dan pembentukan trombus terjadi penghentian

pengeluaran darah post partum. Kekuatan his dapat dirasakan ibu saat

menyusui bayinya karena pengeluaran oksitosin oleh kelenjar hipofise

posterior (Rohani,dkk., 2016). Tanda dan gejala kala IV : bayi dan plasenta

telah lahir, tinggi fundus uteri 2 jari bawah pusat. Pemantauan Selama 2 jam

pertama pascapersalinan : Pantau tekanan darah, nadi, tinggi fundus, kandung

17
kemih dan perdarahan yang terjadi setiap 15 menit dalam satu jam pertama

dan setiap 30 menit dalam satu jam kedua kala IV (Prawirohardjo, 2018).

Pemantauan Persalinan Menurut Asuhan Persalinan Normal (APN),

(JNPK, 2018) KALA I

1) Menanyakan riwayat kehamilan ibu secara lengkap.

2) Melakukan pemeriksaan fisik secara lengkap (dengan memberikan

perhatian terhadap tekanan darah, denyut jantung janin, frekuensi dan lama

kontraksi dan apakah ketuban pecah).

3) Lakukan pemeriksaan dalam secara aseptic dan sesuai kebutuhan. Dalam

keadaan normal periksa dalam cukup setiap 4 jam sekali dan harus selalu

secara aseptik.

4) Memantau dan mencatat denyut jantung janin sedikitnya setiap 30 menit

selama proses persalinan,jika ada tanda-tanda gawat janin (DJJ kurang dari

100 kali/menit atau lebih dari 180 kali/menit) harus dilakukan setiap 15

menit, DJJ harus didengarkan selama dan segera setelah kontraksi uterus.

Jika ada tanda-tanda gawat janin bidan harus mempersiapkan rujukan

kefasilitas yang memadai.

5) Catat semua temuan dan pemeriksaan fase laten persalinan pada kartu ibu

dan catatan kemajuan persalinan. Ibu harus dievaluasi sedikitnya setiap 4

jam, lebih sering jika ada indikasi. Catatan harus selalu memasukkan DJJ,

periksa dalam, pecahnya ketuban, perdarahan/cairan vagina, kontraksi

uterus, TTV, urine, minuman, obat-obat yang diberikan, dan informasi

yang berkaitan serta semua perawatan yang diberikan.

18
6) Mengijinkan ibu untuk untuk memilih orang yang

7) Secara rutin selama proses persalinan, ibu harus berkemih sedikitnya akan

mendampinginya selama proses persalinan dan menganjurkan suami dan

anggota keluarga yang lain untu mendampingi ibu selama proses

persalinan.

8) Menganjurkan ibu untuk mencoba posisi-posisi yang nyaman selama

persalinan dan menganjurkan suami dan pendamping lainnya untuk

membantu ibu berganti posisi. Ibu boleh berjalan, berdiri, duduk, jongkok,

berbaring miring atau merangkak.

9) Menganjurkan ibu untuk mendapatkan asupan (makanan ringan dan

minuman air) selama persalinan dan proses kelahiran bayi dan

menganjurkan anggota keluarga untuk sesering mungkin menawarkan

makanan ringan dan minuman selama proses persalinan.

10) Menganjurkan ibu untuk mengosongkan kandung kemihnya setiap 2 jam,

atau lebih sering jika ibu merasa ingin berkemih atau jika kandung kemih

terasa penuh.

KALA II

11) Mengamati tanda dan gejala kala II yaitu ibu mempunyai keinginan untuk

meneran, ibu merasa tekanan yang semakin meningkat pada rectum dan

vaginanya, perineum menonjol, vulva-vagina dan sfingter ani membuka,

meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah.

19
12) Memastikan perlengkapan, bahan dan obat-obatan esensial siap digunakan.

Mematahkan ampul okstosin 10 unit dan menempatkan tabung suntik steril

sekali pakai didalam partus set.

13) Melepaskan semua perhiasan, mencuci kedua tangan dengan sabun dan air

bersih yang mengalir dan mengeringkan tangan dengan handuk yang

bersih.

14) Memakai alat pelindung diri secara lengkap (topi, kacamata, masker,

celemek, sarung tangan dan sepatu bot).

15) Mengisap oksitosin 10 unit kedalam tabung suntik (dengan memakai

sarung tangan DTT) dan meletakkan kembali di partus set tanpa

mengontaminasi tabung suntik.

16) Membersihkan vulva dan perineum, menyekanya dengan hati-hati dari

depan ke belakang dengan menggunakan kapas atau kassa yang sudah

dibasahi dengan air DTT. Jika mulut vagina, perineum, atau anus

terkontaminasi oleh kotoran ibu, membersihkannya dengan seksama

dengan cara menyeka dari depan ke belakang. Membuang kapas atau kassa

yang terkontaminasi dalam wadah yang benar.

17) Dengan menggunakan teknik aseptik, melakukan pemeriksaan dalam.

18) Mendekontaminasikan sarung tangan dengan cara mencelupkan tangan

yang masih memakai sarung tangan kotor kedalam larutan klorin 0,5% dan

kemudian melepaskannya dalam keadaan terbalik serta merendamnya

dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit. Mencuci kedua tangan.

20
19) Memeriksa denyut jantung janin (DJJ) setelah kontraksi berakhir untuk

memastikan bahwa DJJ dalam batas normal.

20) Memberitahu ibu bahwa pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik.

Membantu ibu berada dalam posisi yang nyaman sesuai keinginannya.

21) Meminta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi ibu untuk meneran

(pada saat ada kontraksi, bantu ibu berada dalam posisi setengah duduk

dan pastikan ibu merasa nyaman).

22) Melakukan pimpinan meneran saat ibu mempunyai dorongan yang kuat

untuk meneran. Jangan menganjurkan ibu untuk meneran berkepanjangan

dan menahan napas. Anjurkan ibu untuk beristirahat diantara kontraksi.jika

ibu berbaring miring, ia akan lebih mudah untuk meneran jika lutut ditarik

kearah dada dan dagu ditempelkan ke dada.

23) Meminta ibu untuk tidak mengangkat bokong saat meneran dan tidak

diperbolehkan untuk mendorong fundus untuk membantu kelahiran bayi.

24) Menganjurkan ibu untuk berjalan, berjongkok, atau mengambil posisi yang

aman. Jika ibu belum meneran dalam 60 menit, anjurkan ibu untuk mulai

meneran pada puncak-puncak kontraksi tersebut dan beristirahat diantara

kontraksi.

25) Jika kepala bayi telah membuka vulva dengan diameter 5-6 cm, letakkan

handuk bersih diatas perut ibu untuk mengeringkan bayi dan letakkan kain

bersih yang dilipat 1/3 bagian dibawah bokong ibu.

26) Membuka partus set dan memakai sarung tangan steril pada kedua tangan.

21
27) Saat kepala bayi membuka vulva dengan diameter 5-6 cm, lindungi

perineum dengan satu tangan (dibawah kain bersih dan kering), ibu jari

pada salah satu sisi perineum dan 4 jari tangan pada sisi yang lain dan

tangan yang lain pada belakang kepala bayi. Tahan belakang kepala bayi

agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara bertahap melewati

introitus dan perineum.

28) Setelah kepala bayi lahir, minta ibu untuk berhenti meneran dan bernapas

cepat. Periksa leher bayi apakah terlilit oleh tali pusat. Jika ada lilitan di

leher bayi cukup longgar maka lepaskan lilitan tersebut dengan melewati

kepala bayi. Jika lilitan tali pusat sangat erat maka jepit tali pusat dengan

klem pada 2 tempat dengan jarak 3 cm, kemudian potong tali pusat diantara

2 klem tersebut.

29) Setelah menyeka mulut dan hidung bayi dan memeriksa tali pusat, tunggu

kontraksi berikut sehingga terjadi putaran paksi luar secara spontan.

30) Setelah bayi melakukan putaran paksi luar, letakkan tangan pada sisi kiri

dan kanan kepala bayi. Menganjurkan ibu untuk meneran saat kontraksi

berikutnya. Dengan lembut menariknya kea rah bawah dan ke arah luar

hingga bahu depan melewati shimpisis, setelah bahu depan lahir, gerakkan

kepala ke atas dan lateral tubuh bayi sehingga bahu bawah dan seluruh

dada dilahirkan.

31) Saat bahu posterior lahir, geser tangan bawah kearah perineum dan

sanggah bahu dan lengan atas bayi pada tangan tersebut. Gunakan tangan

yang sama untuk menopang lahirnya siku dan tangan posterior saat

22
melewati perineum. Tangan bawah menopang samping lateral tubuh bayi

saat lahir. Secara simultan, tangan atas menelusuri dan memegang bahu,

siku dan lengan bagian anterior. Lanjutkan penelusuran dan memegang

tubuh bayi ke bagian punggung, bokong dan kaki.

32) Dari arah belakang, sisipkan jari telunjuk tangan atas diantara kedua kaki

bayi yang kemudian dipegang dengan ibu jari dan ketiga jari tangan yang

lainnya.

33) Menilai bayi dengan cepat (dalam 30 detik), Letakkan bayi diatas kain atau

handuk yang telah disiapkan pada perut bawah ibu dan posisikan kepala

bayi sedikit lebih rendah dari tubuhnya. Bila bayi mengalami asfiksia

segera lakukan resusitasi.

34) Segera keringkan dan sambil melakukan rangsangan taktil pada tubuh bayi

dengan kain atau selimut di atas perut ibu. Pastikan bahwa kepala bayi

tertutup dengan baik.

KALA III

35) Memastikan bahwa tidak ada bayi lain didalam uterus.

36) Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitosin.

37) Segera (dalam satu menit setelah bayi lahir) suntikkan oksitosin 10 unit IM

pada 1/3 bagian atas paha bagian luar.

38) Menjepit tali pusat menggunakan klem kira-kira 3 cm dari pusat bayi.

Melakukan urutan pada tali pusat mulai dari klem kea rah ibu dan

memasang klem kedua 2 cm dari klem pertama (kearah ibu).

23
39) Memegang tali pusat dengan satu tangan, melindungi bayi dari gunting dan

memotong tali pusat diantara kedua klem tersebut.

40) Mengeringkan bayi secara seksama, memberikan bayi kepada ibunya dan

dan menganjurkan ibu untuk memeluk bayinya dan memulai pemberian

ASI jika ibu menghendakinya.

41) Memindahkan klem pada tali pusat sekitar 5-10 cm dari vulva.

42) Meletakkan satu tangan diatas perut ibu (beralaskan kain) tepat diatas

shimpisis pubis. Gunakan tangan ini untuk meraba kontraksi uterus dan

menahan uterus pada saat melakukan penegangan pada tali pusat.

Memegang tali pusat dengan klem dengan tangan yang lain.

43) Menunggu uterus berkontraksi dan setelah terjadi kontraksi, regangkan tali

pusat dengan satu tangan dengan lembut. Dan tangan yang lain melakukan

tekanan yang berlawanan arah pada bagian bawah uterus dengan cara

menekan uterus kearah atas dan belakang (dorsokranial).

44) Setelah plasenta terlepas, anjurkan ibu untuk meneran agar plasenta

terdorong keluar melalui introitus vagina. Tetap tegangkan tali pusat

dengan dengan arah sejajar lantai (mengikuti poros jalan lahir).

45) Pada saat plasenta terlihat di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan

mengangkat tali pusat ke atas dan menopang plasenta dengan tangan

lainnya untuk meletakkan kedalam wadah penampung. Karena selaput

ketuban mudah robek, pegang plasenta dengan kedua tangan dan secara

lembut putar plasenta hingga selaput ketuban terpilin menjadi satu.

24
46) Lakukan penarikkan dengan lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan

selaput ketuban.

47) Segera setelah plasenta lahir, lakukan masase fundus uteri :

a. Letakkan telapak tangan pada fundus uteri.

b. Jelaskan tindakkan kepada ibu, katakan bahwa ibu mungkin merasa agak

tidak nyaman karena tindakkan yang diberikan. Anjurkan ibu untuk

menarik napas dalam dan perlahan secara rileks.

c. Dengan lembut tapi mantap gerakkan tangan dengan arah memutar pada

fundus uteri supaya uterus berkontraksi. Jika uterus tidak berkontraksi

dalam waktu 15 detik, lakukan penatalaksanaan atonia uteri.

48) Periksa plasenta dan selaputnya untuk memastikan keduanya lengkap dan

utuh.

a. Periksa plasenta sisi maternal (yang melekat pada dinding uterus) untuk

memastikan bahwa semuanya lengkap dan utuh (tidak ada bagian yang

hilang).

b. Pasangkan bagian-bagian plasenta yang robek untuk memastikan tidak

ada bagian yang hilang.

c. Periksa plasenta sisi fetal (yang menghadap kebayi) untuk memastikan

tidak adanya lobus tambahan (suksenturiata).

d. Evaluasi selaput untuk memastikan kelengkapannya.

49) Mengevaluasi adanya laserasi pada vagina dan perineum dan segera

menjahit laserasi yang mengalami perdarahan aktif.

25
KALA IV

50) Sangat penting untuk menilai keadaan ibu beberapa kali selama dua jam

pertama setelah persalinan. Berada bersama ibu dan melakukan setiap

pemeriksaan, jangan pernah meninggalkan ibu sendirian sampai paling

sedikit 2 jam setelah persalinan dan kondisi ibu stabil.

51) Melakukan penilaian dan masase fundus uteri setiap 15 menit selama 1 jam

pertama setelah persalinan, kemudian setiap 30 menit selama 1 jam kedua

setelah persalinan. Pada saat melakukan masase uterus, perhatikan berapa

banyak darah yang keluar dari vagina. Jika fundus tidak teraba keras, terus

lakukan masase pada daerah fundus agar dapat berkontraksi. Periksaa

jumlah perdarahan yang keluar dari vagina. Periksa perineum ibu apakah

membengkak, hematoma, dan perdarahan dari tempat perlukaan yang

sudah dijahit setiap kali memeriksa perdarahan fundus dan vagina.

52) Periksa tekanan darah dan nadi ibu setiap 15 menit selama satu jam pertama

setelah persalinan, dan setiap 30 menit selama satu jam kedua setelah

persalinan.

53) Lakukan palpasi kandung kemih ibu setiap 15 menit selama satu jam

pertama setelah persalinan dan kemudian setiap 30 menit selama 1 jam

kedua setelah persalinan. Bila kandung kemih ibu penuh dan meregang,

mintalah ibu untuk BAK, jangan memasang kateter kecuali ibu tidak bisa

melakukannya sendiri. Mintalah ibu untuk BAK dalam 2 jam pertama

sesudah melahirkan.

26
54) Menempatkan semua peralatan didalam larutan klorin 0,5% untuk

dekontaminasi (10 menit). Mencuci dan membilas peralatan setelah

dekontaminasi.

55) Membuang bahan-bahan yang terkontaminasi dalam tempat sampah yang

sesuai.

56) Membersihkan ibu dengan menggunakan air desinfeksi tingkat tinggi.

Membersihkan cairan ketuban, lender dan darah. Membantu ibu memakai

pakaian yang bersih.

57) Mendekontaminasi daerah yang digunakan untuk melahirkan dengan

larutan klorin 0,5% dan membilas dengan air bersih. Mencelupkan sarung

tangan kotor kedalam larutan klorin 0,5% , membalikan bagian dalam

keluar dan merendamnya dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.

58) Mencuci kedua tangan dengan sabun dan air mengalir.

59) Dokumentasi: melengkapi partograf (halaman depan dan belakang).

Partograf

Partograf adalah alat bantu untuk membuat keputusan klinik, memantau,

mengevaluasi dan menatalaksana persalinan. Partograf dapat dipakai untuk

memberikan peringatan awal bahwa suatu persalinan berlangsung

lama,adanya gawat ibu dan janin, serta perlunya rujukan. Partograf

dikatakan sebagai data yang lengkap bila seluruh informasi ibu, kondisi

janin, kemajuan persalinan, waktu dan jam, kontraksi uterus, kondisi ibu,

obat-obatan yang diberikan, pemeriksaan laboratorium, keputusan klinik

27
dan asuhan atau tindakan yang diberikan dicatat secara rinci sesuai cara

pencatatan partograf (Dwi Asri dan Cristine Clervo; 2012).

Isi dari partografantaralain:

1) Informasi tentang ibu

a) Nama dan umur;

b) Gravida, para, abortus;

c) Nomor catatan medik/nomor puskesmas;

d) Tanggal dan waktu mulai dirawat;

e) Waktu pecahnya selaput ketuban.

2) Kondisi janin

a) Denyut jantung janin;

b)Warna dan adanya air ketuban;

c)Penyusupan (molase) kepala janin.

3) Kemajuan persalinan

a) Pembukaan serviks;

b) Penurunan bagian terbawah atau presentasi janin;

c) Garis waspada dan garis bertindak.

4) Waktu dan jam

a) Waktu mulainya fase aktif persalinan;

b) Waktu aktual saat pemeriksaan atau penilaian.

5) Kontraksi uterus

a) kontraksi dalam waktu 10 menit;

b) Lamakontraksi (dalam detik).

28
6) Obat-obatan yang diberikan

a) Oksitosin;

b) Obat-obatan lainnya dan cairan IV yang diberikan.

7) Kondisi ibu

a) Nadi, tekanan darah dantemperatur tubuh;

b) Urin (volume, aseton atau protein).

Adapun cara pengisian partograf yaitu pencatatan dimulai saat fase aktif

yaitu pembukaan serviks 4 cm dan berakhir titik dimana pembukaan lengkap atau

10 cm. Pembukaan lengkap diharapkan terjadi jika laju pembukaan adalah 1 cm

perjam. Pencatatan selama fase aktif persalinan harus dimulai digaris waspada

yaitu sebagai berikut (Dwi Asri dan Cristine Clervo; 2012).

1. Lembar depan partograf.

a. Informasi ibu ditulis sesuai identitas ibu. Waktu kedatangan ditulis

sebagaijam. Catat waktu pecahnya selaput ketuban, dan catat waktu

merasakan mules.

b. Kondisi janin.

1) Denyut Jantung Janin. Nilai dan catat denyut jantung janin (DJJ) setiap 30

menit (lebih sering jika terdapat tanda – tanda gawat janin). Setiap kotak

menunjukkan waktu 30 menit. Kisaran normal DJJ tertera diantara garis

tebal angka 180 dan 100. Bidan harus waspada jika DJJ mengarah dibawah

120 per menit ( bradicardi) atau diatas 160 permenit (tachikardi). Beritanda

‘•’ (tanda titik) pada kisaran angka 180 dan 100. Hubungkan satu titik

dengan titik yang lainnya.

29
2) Warna dan adanya air ketuban. Catat warna air ketuban setiap melakukan

pemeriksaan vagina, menggunakan lambang-lambang berikut:

U : Selaput ketuban Utuh.

J : Selaput ketuban pecah, dan air ketuban Jernih.

M : Air ketuban bercampur Mekonium.

D : Air ketuban bernoda Darah.

K : Tidak ada cairan ketuban/Kering.

3) Penyusupan atau molase tulang kepala janin. Setiap kali melakukan periksa

dalam, nilai penyusupan antar tulang (molase) kepala janin. Catat temuan

yang ada di kotak yang sesuai dibawah lajur air ketuban. Gunakan lambang-

lambang berikut:

0 : Sutura terpisah.

1 : Tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan.

2 : Sutura tumpeng tindih tetapi masih dapat diperbaiki.

3 : Sutura tumpeng tindih dan tidak dapat diperbaiki. Sutura/tulang kepala

saling tumpang tindih menandakan kemungkinan adanya CPD (cephalo

pelvic disproportion).

c. Kemajuan persalinan Angka 0-10 di kolom paling kiri adalah besarnya

dilatasi serviks.

1) Pembukaan serviks. Saat ibu berada dalam fase aktif persalinan, catat pada

partograf setiap temuan dari pemeriksaan. Nilai dan catat pembukaan

serviks setiap 4 jam. Menyantumkan tanda ‘X’di garis waktu yang sesuai

dengan lajur besarnya pembukaan serviks

30
2) Penurunan bagian terbawah janin. Untuk menentukan penurunan kepala

janin tercantum angka1-5yang sesuai dengan metode perlimaan dinilai

setiap 4 jam. Menuliskan turunnya kepala janin dengan garis tidak terputus

dari 0-5. Berikan tanda ‘0’ pada garis waktu yang sesuai. Periksa luar

Periksa Dalam Keterangan = 5/5 Kepala diatas pap,mudah digerakkan = 4/5

H I – II Sulit digerakkan, bagian terbesar kepala belum masuk panggul. =

3/5 H II - III Bagian terbesar kepala belum masuk panggul. = 2/5 H III +

Bagian terbesar kepala sudah masuk panggul. = 1/5 H III – IV Kepala

didasar panggung = 0/5 H IV Di Perineum

3) Garis waspada dan garis bertindak.

a) Garis waspada, dimulai pada pembukaan serviks 4 cm (jam ke 0), dan

berakhir pada titik dimana pembukaan lengkap (6 jam). Pencatatan dimulai

pada garis waspada. Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan

garis waspada, makaharus dipertimbangkan adanya penyulit.

b) Garis bertindak, tertera sejajar, disebelah kanan (berjarak 4 jam) pada garis

waspada. Jika pembukaan serviks telah melampaui dan berada di sebelah

kanan garis bertindak maka menunjukkan perlu dilakukan tindakan untuk

menyelesaikan persalinan. Sebaiknya ibu harus berada ditempat rujukan

sebelum garis bertindak terlampaui.

d. Jam dan waktu.

1) Waktu mulainya fase aktif persalinan. Setiap kotak menyatakan satu jam

sejak dimulainya fase aktif persalinan.

31
2) Waktu aktual saat pemeriksaan atau persalinan. Menyantumkan tanda ‘x’

digaris waspada, saat ibu masuk dalam faseaktif persalinan.

e. Kontraksi uterus. Terdapat lima kotak kontraksi per 10 menit. Nyatakan

lama kontraksi dengan: :Titik-titik di kotak yang sesuai untuk menyatakan

kontraksi yang lamanya 40 detik. f. Obat-obatan dan cairan yang diberikan

1) Oksitosin. Jika tetesan drip sudah dimulai, dokumentasikan setiap 30

menit jumlah unit oksit osin yang diberikan per volume cairan dan

dalam satuan tetes permenit.

2) Obat lain dan caira

IV. Mencatat semua dalam kotak yang sesuai dengan kolom waktunya.

g. Kondisi ibu.

1) Nadi, tekanan darah dan suhu tubuh.

a) Nadi, dicatat setiap 30 menit. Beri tanda titik (•) pada kolom yang

sesuai.

b) Tekanan darah, dicatat setiap 4 jam atau lebih sering jika diduga ada

penyulit. Memberi tanda panah pada partograf pada kolom waktu yang

sesuai.

c) Suhu tubuh, diukur dan dicatat setiap 2 jam atau lebih sering jika

terjadi peningkatan mendadak atau diduga ada infeksi. Mencatat suhu

tubuh padakotak yang sesuai.

2) Volume urine, protein dan aseton. Mengukur dan mencatat jumlah

produksi urine setiap 2 jam (setiap ibu berkemih). Jika

memungkinkan, lakukan pemeriksaan aseton dan protein dalam urin.

32
2. Lembar belakang partograf. Lembar belakang partograf merupakan catatan

persalinan yang berguna untuk mencatat proses persalinan yaitu data dasar, kalaI,

kalaII, kalaIII, kalaIV, bayi baru lahir (Dewi Asri dan Cristine Clervo, 2012).

a. Data dasar. Data dasar terdiri dari tanggal, nama bidan, tempat persalinan, alamat

tempat persalinan, catatan, alasan merujuk, tempat merujuk, pendamping saat

merujuk dan masalah dalam kehamilan/persalinan.

b. KalaI. Terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tentang partograf saat melewati garis

waspada, masalah lain yang timbul, penatalaksanaan, dan hasil

penatalaksanaannya.

c. KalaII. Kala II terdiri dari episiotomi, pendamping persalinan, gawat janin, distosia

bahu dan masalah dan penatalaksanaannya.

d. KalaIII. Kala III berisi informasi tentang inisiasi menyusu dini, lama kala III,

pemberian oksitosin, penegangan tali pusat terkendali, masase fundus uteri,

kelengkapan plasenta, retensio plasenta > 30 menit, laserasi, atonia uteri, jumlah

perdarahan, masalah lain, penatalaksanaan dan hasilnya.

e. Kala IV berisi tentang data tekanan darah, nadi, suhu tubuh, tinggi fundus uteri,

kontraksi uterus, kandung kemih, dan perdarahan.

f. Bayi baru lahir. Bayi baru lahir berisi tentang berat badan, panjang badan, jenis

kelamin, penilaian bayi baru lahir, pemberian ASI, masalah lain dan hasilnya.

33
Gambar 2.1 Pathways

Bobak,2016:Varney, 2013:Prawirorahardjo:2018

34
Gambar 2.2 Pathways

Bobak,2016:Varney, 2013:Prawirorahardjo:2018

35
9. Teori Manajemen Asuhan Kebidanan

Manajemen kebidanan adalah proses pemecahan masalah yang digunakan

sebagai metode untuk mengorganisasikan pikiran dan tindakan berdasarkan teori

ilmiah, temuan, dan keterampilan dalam rangkaian atau tahapan yang logis untuk

mengambil suatu keputusan yang terfokus pada klien (Jannah, 2016:41).

Langkah I : Pengkajian

Pengkajian adalah mengumpulkan data subyektif dan obyektif,berupa data

fokus yang dibutuhkan untuk menilai keadaan ibu sesuaidengan kondisinya,

menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik,penimbangan berat badan, tinggi

badan, dan pemeriksaan laboratorium(Mandriwati, 2016).

a. Data Subjektif.

Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dan lengkap dari

semua yang berkaitan dengan kondisi klien.

1) Identitas mencakup:

a) Nama Ditanyakan nama pada ibu bersalin, agar memudahkan dalam

memberikan pelayanan, dan dapat megetahui identitas pasien.

b) Umur Umur merupakan salah satu faktor penentu apakah usia ibu

termasuk dalam usia produktif atau tidak. Usia reproduktif seorang

wanita adalah lebih dari 20 tahun dan kurang dari 35 tahun. Jika usia ibu

untuk hamil atau melahirkan < 20 tahun dan > 35 tahun, maka itu

dikategorikan sebagai resiko tinggi.

c) Pendidikan Pendidikan seorang ibu hamil dapat mempengaruhi

pegetahuan ibu juga tentang kehamilan.

36
d) Pekerjaan. Masalah utama jika bekerja saat hamil, adalah resiko terkena

pajanan terhadap zat-zat fetotoksik, ketegangan fisik yang berlebihan,

terlalu lelah, pengobatan atau komplikasi yang berhubungan dengan

kehamilan, dan masalah dengan usia kehamilan lanjut.

2) Keluhan utama. Ditanyakan untuk megetahui alasan pasien datang

kefasilitas pelayanan kesehatan dan digunakan agar dapat menegakan

diagnose berdasarkan keluhan yang disampaikan pasien.Keluhan utama

yang dialami ibu bersalin normal adalah: rasasakit karena adannya his

yang datang lebih kuat, sering dan teratur, keluar lendir bercampur darah

yang lebih banyak karenarobekan-robekan kecil pada serviks, kadang

ketuban pecahdengan sendirinnya (Fitriyani, 2017).

3) Riwayat penyakit sekarang seperti kardiovaskuler/jantung, malaria,

hepatitis, penyakit kelamin /HIV/AIDS, diabetes, hipertensi, karena dapat

menyebakan komplikasi pada saat proses persalinan.

4) Riwayat Menstruasi Dikaji untuk mengetahui kapan mulainnya

menstruasi, siklus, banyaknya, lamanya, sifat darah, amenorhea ada atau

tidak.

5) Riwayat kehamilan sekarang.

a) HPHT adalah hari pertama dari masa menstruasi normal terakhir

(membantu saat penghitungan usia kehamilan).

b) HPL (Hari Perkiraan Lahir) untuk mengetahui perkiraan lahir.

c) Keberadaan masalah atau komplikasi seperti perdarahan.

d) Ditanyakan pergerakan janin normal yang lebih dari 10x/hari.

37
e) Jumlah kunjungan kehamilan selama ibu hamil mulai trimester I

kehamilan sampai dengan trimester III sebanyak 4 kali.

f) Imunisasi Tetanus Toksoid pada ibu hamil untuk mencegah terjadinya

penyakit tetanus pada bayi dan ibu yang dimulai pada awal kehamilan

sampai dengan 25 minggu.

6) Riwayat persalinan yang lalu. Jumlah kehamilan, aborsi (spontan atau

dengan obat-obat), jumlah anak yang lahir hidup, keadaan bayi saat lahir,

berat badan lahir 2500 gram – 4000 gram dan komplikasi. Membantu

pemberian asuhan agar waspada terhadap kemungkinan terjadinya

masalah potensial.

7) Riwayat keluarga berencana. Untuk megetahui jenis Kontrasepsi yang

pernah di pakai seperti suntik, Pil, IUD, Implat, dan untuk dapat

menjarangkan kehamilan.

8) Riwayat kesehatan. Apakah ibu menderita penyakit: Hipertensi,

HIV/AIDS, Hepatitis, Diabetes Melitus, Jantung, anemia, yang dapat

membahayakan kesehatan ibu dan menjadi komplikasi pada saat

melahirkan.

9) Keadaan psikologi. Pengkajian psikososial ini membantu untuk

menentukan sikap ibu terhadap kehamilan, kebutuhan akan pendidikan,

sistem pendukung yang memadai untuk ibu, keyakinan budaya dan

agama, status ekonomi, dan keadaan tempat tinggal, serta pekerjaan ibu

setiap hari yang berat, pekerjaan yang baik untuk ibu selama hamila

adalah pekerjaan yang tidak membuat ibu capeh.

38
10) Perilaku kesehatan.

a) Perilaku merokok berhubungan dengan berkurangnya berat badan bayi

yang dilahirkan dan dengan insiden persalinan preterm.

b) Konsumsi alcohol telah dihubungkan dengan deficit neurologic pada bayi

baru lahir dan dengan berat bayi lebih rendah. Peminum berat bisa

mengakibatkan terjadinya sindrom janin alcohol.

11) Riwayat latar belakang budaya. Ditanyakan kebudayaan agar dapat megetahui

pantangan pada saat ibu hamil atau pada saat mau melahirkan seperti tidak

memakan ikan, daging, atau Lombok.

12) Riwayat seksual. Perubahan dalam hasrat seksual adalah hal wajar, dan hasrat

dapat beubah-ubah menurut trimester. Pada trimester pertama, kelelahan, mual,

dan nyeri tekanan pada mammae, mungkin menjadi penyebab terhadap

penurunan hasrat pada beberapa ibu. Di trimester kedua kemungkinan adalah

saat meningkatnya hasrat, sedangkan pada trimester ketiga kemungkinan waktu

menurunya hasrat. Hal yang perlu ditekankan, bahwa hubungan seksual

dikontraindikasikan pada saat terjadinya rupture selaput ketuban, atau

adanyaperdarahan pervaginam, untuk menghindari masuknya infeksi.

13) Riwayat diet/makanan. Menganjurkan makanan sesuai petunjuk asupan

makanan yang dianjurkan untuk meningkatkan banyak nutrient.

14) Riwayat kebersihan diri.

a) Pola mandi: megetahui apakah personal hygiene ibu baik atau tidak.

b) Perawatan payudara: perawatan payudara selama hamil dilakukan setiap hari

agar payudara tetap bersih dan puting susu tidak tengelam, perawatan dan

39
pemijatan payudara menggunakan air bersih, baby oil, atau air sabun dan

membersikan menggunakan kapas.

b. Data Objektif.

1) Pemeriksaan Umum.

a) Keadaan umum: untuk mengetahui keadaan umum ibu yaitu baik, sedang,

buruk.

b) Kesadaran: untuk mengetahui tingkat kesadaran pada ibu yaitu composmentis,

somnolen.

c) TTV: frekuensi nadi dapat sedikit meningkat (80 x/mnt – 100 x/mnt). Tekanan

darah biasanya sedikit menurun, menjelang masa pertengahan kehamilan dan

berangsur-angsur kembali normal. Mengobservasi tekanan darah ibu agar tidak

terjadi hipertensi pada ibu hamil, tekanan darah normal (110/60mmHg130/60

mmHg). Suhu 36,5 º C – 37,5 º C, jika > 36 ºC menandakan dehidrasi dan 145).

d) Tinggi Badan. Tinggi badan normal pada ibu hamil, jika tinggi badan kurang dari

normal (> 145) maka dicurgai panggul ibu sempit atau CPD dan akan

berpengaruh pada poses persalinan

e) Berat Badan. Selama trimester pertama berat badan ibu bertambah sebanyak 7-8

kg, selama trimester kedua dan trimester ketiga berat badan ibu hamil

meningkat sebanyak 0,5 Kg.

f) Lila: Dilakukan pengukuran Lila pada ibu melahirkan untuk megetahui

kecukupan gizi dari ibu hamil dan melahirkan. Lila normal ibu hamil adalah:

23,5 cm. Ibu dengan Lila > 23,5 beresiko mengalami partus lama karena

kekurangan energi yang nantinnya dibutuhkan sebagai sumber tenaga.

40
2) Pemeriksaan fisik.

a) Kepala: pada kepala bersih atu tidak, oedema, bekas luka.

b) Wajah: cloasma gravidarum, oedema.

c) Mata: konjungtiva: merah mudah, sclera: putih, tidak ada oedema.

d) Gigi: bersih, tidak ada caries.

e) Leher: mengkaji tiroid, kemungkinan agak membesar selama kehamilan,

tandai bila ada pembesaran, nodul, dan seterusnya, yang dapat

mengindikasikan hipetiroidisme atau goiter dan dikaji lebih jauh adaya

gangguan.

f) Dada: melakukan inspeksi dan palpasi, dapat dicatat perubahan normal.

Kulit tampak kekuningan dan terabahnya nodul memberi kesan

kemungkinan karsinoma, warna kemerahan mengidentifikasi mastitis.

g) Perut: inspeksi dan palpasi, mengkaji pembesaran abdomen, striae, dan

linea nigra, serta memeriksa TFU untuk megetahui tafsiran berat badan

janin dan kontraksi uterus.

h) Leopold I: untuk menentukan tuanya kehamilan dan bagian apa yang

terdapat dalam fundus.

i) Leopold II: untuk menentukan dimana letaknya punggung anak dan dimana

letak bagian-bagian kecil.

j) Leopold III: untuk menentukan apa yang terdapat dibagian bawah dan

apakah bagian bawah anak ini sudah atau belum terpegang oleh pintu atas

panggul.

41
k) Leopold IV: untuk menentukan apa yang menjadi bagian bawah dan berapa

masuknya bagian bawah kedalam rongga panggul.

l) MC donal dan TBBJ: untuk menentukan tafsiran berat badan janin sesuai

dengan tinggi fundus uteri, dengan menggunakan rumus: TFU – 11 X 155

apabila kepala sudah masuk PAP dengan penurunan kepala 2/5, 1/5, 0/5,

pada pemeriksaan dalam kepala turun hodge III + sampai IV (Divergen),

dan TFU – 12 X 155 apabila kepala belum masuk PAP dan penurunan

kepala 3/5, 4/5, 5/5, pada pemeriksaan dalam kepala turun hodge I, II, dan

III (Konvergen).

m)Ekstremitas: apakah ibu ada cacat bawaan, adanya oedema pada

pergelangan kaki adalah normal dan memeriksa reflex patella.

Hiperrefleksia dapat mengindikasikan hipertensi yang disebabkan oleh

kehamilan.

n) Vulva vagina dan anus: hemoroid. Oedema.

o) Vulva: bentuk normal, labia mayora menutupi labia minora, tidak ada

Infeksi menular seksual, dan kelainan pada vagina atau varices, varices

pada ibu hamil akan mengakibatkan perdarahan pada saat proses

persalinan.

p) Anus: dapat dicatat bila ada ruam, benjolan, dan hemoroid, ibu yang

menderita hemoroid sebaiknya dikaji untuk masalah konstipasi dan

hemoroid dapat menyebabkan perdarahan.

3) Pemeriksaan Dalam Indikasi: Dilakukan pemeriksaan dalam jika ada

indikasi seperti ketuban pecah atau tiap 4 jam melakukan pemeriksaan

42
dalam atau VT. Tujuan: Dilakukan pemeriksaan dalam untuk megetahui

kemajuan persalinan. Vagina Toucher:

a) Vulva/vagina ada kelainan atau tidak.

b) Portio tebal atau tipis lunak.

c) Pembukaan Kala I fase laten pembukaan 1 cm – 4 cm, fase aktif 4 cm –

10 cm.

d) Ketuban (U: ketuban utuh, J: air ketuban sudah pecah dan jernih, M: air

ketuban sudah pecah dan bercampur mekonium, D: air ketuban sudah

pecah dan bercampur darah, K: air ketubantidak ada atau kering).

e) Molase berguna untuk memperkirakan seberapa jauh kepala bisa

menyesuaikan dengan bagian keras panggul.

0 : tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat

dipalpasi.

1 : tulang-tulang kepala janin saling bersentuhan,

2 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tapi masih bisa

dipisahkan,

3 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak bisa dipisahkan.

4) Pemeriksaan Laboratorium.

a) Urine: Untuk mengetahui ada tidaknya protein dalam urine, dikarenakan

terjadinya retensi air dan garam dalam tubuh. Protein + 1 dapat

mengindikasikan hipertensi akibat kehamilan, glikosuria ringan mungkin

didapati pada keadaan normal, tetapi tetap membutuhkan pengkajian

lebih lanjut, keadaan ini bisa mengindikasikan diabetes mellitus.

43
b) Darah:dilakukan pada ibu hamil terutama adalah pemeriksaan kadar Hb

dalam darah dan untuk mendeteksi faktor resiko kehamilan dengan

anemia. Hb normal untuk ibu hamil 10 – 12 % gram. Anemia ringan yaitu

kurang dari 10 % gram, anemia sedang kurang dari 8 % gram, dan anemia

berat kurag dari 6 % gram.

Langkah II : Interpretasi Data

Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau

masalah dan kebutuhan klien terhadap interpretasi yang benar atas data – data yang

dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga

ditemukan masalah atau diagnosa yang spesifik (Hidayat, 2017).

Mencari hubungan antara data atau fakta yang ada untuk menentukan sebab

akibat, menentukan masalah dan diagnosa, menentukan penyebab utama.Pada

langkah ini, data dasar yang sudah dikumpulkan,di interpretasikan menjadi

masalah atau diagnosa spesifik. Keduanya digunakan karena beberapa masalah

yang tidak dapat disesuaikan seperti diagnosa, tetapi membutuhkan penanganan

yang serius yang dituangkan dalam rencana asuhan terhadap klien. Berdasarkan

atas tanda dan gejala serta hasil pemeriksaan yang telah dilaksanakan maka dapat

ditentukan:

1. Diagnosa Kebidanan Ny. X G.. P.. A.. AH.. UK. minggu, janin tunggal, hidup,

intruterin, presentasi kepala, keadaan ibu dan janin baik, inpartu kala 1 fase aktif.

a. Data Subyektif

1) Ibu mengatakan namanya Ny. X

2) Ibu mengatakan nyeri perut bagian bawah menjalar ke pinggang sejak ....

44
3) Ibu mengatakan keluar lendir darah dari jalan lahir sejak....

b. Data Obyektif

1) Ku : Baik, sedang, buruk.

2) TTV: Tensi (Batas normal 90/60 mmHg-130/90 mmHg), nadi (80 x/mnt-100

x/mnt), pernpasan: 12 x/mnt -20 x/mnt), suhu (36,5 º C-37,5 ºC).

3) DJJ normal 120 x/mnt-160 x/mnt.

4) Pemeriksaan Leopold.

5) Pemeriksaan Dalam

2. Masalah

a. Ibu merasa nyeri perut bagian bawah menjalar ke pinggang.

b. Ibu merasa cemas mengadapi persalinannya

3. Kebutuhan: Informasi tentang kemajuan persalinan, penerimaan sikap dan

tingkah laku, relaksasi saat ada his, dukungan moril, nutrisi yang adekuat. Pada

diagnose potensial kita menentukan masalah potensial berdasarkan rangkaian

masalah dan diagnose actual. Langkah ini membutuhkan antisipasi bila

kemungkinan terjadi infeksi, perdarahan, hipertensi, persalinan macet, pusing

yang berlebihan, penglihatan kabur. Pada kasus ini diagnosa potensial yang

mungkin terjadi adalah perdarahan.

a) Siapkan alat dan bahan sesuai saff yakni partus set, heacting set, obat dan alat-

alat lain yang akan dipergunakan selama persalinan.

b) Bimbing ibu meneran saat pembukaan lengkap dan ada kontraksi.

c) Lakukan asuhan persalinan yang aman normal sesuai 60 langkah.

45
Langkah III : Diagnosa Potensial

Diagnosa potensial adalah melakukan identifikasi diagnosis atau masalah

potensial dan mengantisipasi penanganannya. Langkah ini membutuhkan

antisipasi dan bila memungkinkan dilakukan pencegahan. Bidan harus waspada

menghadapi diagnosis atau masalah potensial yang benar – benar akan terjadi.

Langkah ini penting sekali dalam melakukan asuhan yang aman (Jannah, 2016).

Langkah IV : Tindakan Segera

Antipasi adalah mengidentifikasi perlunya tindakan segera bidan atau

dokter dan tau untuk konsultasi atau ditangani bersama dengan anggota tim

kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien (Jannah, 2011).

Mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan yang memerlukan penanganan

segera jika terjadi perdarahan. Tindakan segera yang dilakukan adalah

kolaborasi dengan dokter SpOG dan persiapan pemasangan infus.

Langkah V : Perencanaan

Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh berdasarkan

langkah sebelumnya. Semua perencanaan yang dibuatkan harus berdasarkan

pertimbangan yang tepat (Jannah, 2016).

Rencana asuhan yang diberikan yaitu: a) Informasikan pada ibu dan

keluarga tentang hasil pemeriksaan baikproses persalinan nantinnya dan

kemajuan persalinan. b) Observasi DJJ,his, dan nadi ibu setiap 30 menit, suhu

setiap 2 jam, tekanan darah, pembukaan dan penurunan kepala setiap 4 jam atau

segera bila ada indikasi melalui partograf. c) Berikan dukungan moril. d)

46
Anjurkan ibu tidur dalam posisi miring kiri atau kanan. e) Anjurkan ibu untuk

makan dan minum saat tidak ada kontraksi.

Langkah VI : Pelaksanaan

Pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang diuraikan

pada langkah kelima di atas dilaksanakan secara efisien dan aman (Jannah,

2016).

Langkah VII : Evaluasi

Hal yang dievaluasi meliputi apakah kebutuhan telah terpenuhi dan

mengatasi diagnosis dan masalah yang telah diidentifikasi. Evaluasi pada kasus

ini yaitu:

a. Ibu bersedia untuk istirahat cukup.

b. Ibu merasa tenang karena sudah tahu kondisinnya.

c. Ibu bersedia makan dan minum untuk kekuatan mengedan.

d. Ibu sudah memiliki posisi yang diinginkan.

e. Ibu sudah mengetahui cara meneran yang baik.

f. Bayi lahir normal, menangis kuat, gerak aktif.

g. Keadaan bayi baik, sudah mendapatkan ASI

47
Bagan 1

Kerangka Konsep Manajemen Varney

Pengkajian Pengumpulan
Data Dasar

Diagnosa Masalah dan


Kebutuhan

Mengidentifikasi Diagnosa
dan Masalah Potensial

Manajemen
Identifikasi Tindakan Segera
Varney

Varney Perencanaan

Pelaksanaan

Evaluasi

Sumber : ( Varney, 2013 Dalam Jannah, 2016:42)

48
Data Perkembangan menggunakan SOAP

Dalam (Jannah, 2016:48) memberikan asuhan lanjutan, sebagai catatan

perkembangan, dilakukan asuhan kebidanan SOAP dalam pendokumentasian.

Menurut Varney (2013), sistem pendokumentasian asuhan kebidanan dengan

menggunakan SOAP, yaitu:

a. S (Subyektif): menggambarkan pendokumentasian hasilpengumpulan data klien

melalui anamnesa sebagai langkah I Varney.

b.O (Obyektif): menggambarkan pendokumentasianhasil pemeriksaan fisik

klien,hasil laboratorium dan tes diagnostik lain yang dirumuskan dalam data

fokus untuk mendukung asuhan sebagai langkah I Varney.

c. A (Asessment: menggambarkan pendokumentasian hasil analisis dan interpretasi

data subyektif dandata obyektif dalam suatu identifikasi :

1) Diagnosa atau masalah

2) Anisipasi dan diagnosa masalah

3) Perlunya tindakan segera oleh bidan ataudokter, konsultasi atau

kolaborasi danatau rujukan sebagai langkah II, III, IV

P (Planning): menggambarkan pendokumentasian dari tindakan dan evaluasi,

Perencanaan berdasarkan asessment sebagai langkah V,VI, VII Varney.

49
FORMAT PENDOKUMENTASIAN
ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN (INC)

RS/PKM/RB/PMB/KLINIK: : Hj.Suriyani Pj. Ruangan :


Tanggal/Pukul masuk :
NOMOR RM : Tanggal/Pukul pengkajian :
Mahasiswa : Indah Sari Sumber Informasi tempat pelayanan
NIM : PO71242210021 Teman Orang tua/keluarga
Pembimbing : Nakes : ….. ✓ Sendiri

A ANAMNESSA (DATA SUBJEKTIF)


1 BIODATA
Nama klien/Ibu : Ny. Y Nama suami : Tn. S
Umur : 27 Tahun Umur : 28 Tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : RT. 32 Talang Banjar Alamat : RT. 32 Talang Banjar
No. Telp/HP : 082306418363 No. Telp/HP : 082306418363

Penanggung jawab
Nama : Tn. S
Umur : 28 Tahun
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Alamat : RT. 32 Talang Banjar
No. Telp/HP : 082306418363
Hubungan dengan klien : Suami

KELUHAN UTAMA :
Ibu mengatakan mengatakan nyeri perut bagian bawah dan sudah mengeluarkan lendir bercampur
darah.
2 Riwayat kehamilan persalinan dan nifas yang lalu

No Tgl Tahun Tempat Umur Jenis Penolong Anak Keadaan


Partus Partus Hamil Persalinan Persalinan Penyulit Kel/BB Anak Skrg

1 08-08-2012 Bidan 39-40 Normal Bidan Tidak Ada 3000 gr sehat


minggu
2 Ini
3
4
5

50
3 Riwayat kehamilan saat ini : G2 P 1 A 0 H1

Masalah yang pernah dialami :


Hami muda : ✓ mual ✓ Muntah Pendarahan
Lain-lain : ................................................................
Hamil tua : pusing Sakit kepala Perdarahan
Lain-lain : .tidak ada...................................................................................

Imunisasi :
✓ TT 1 ✓ Hepatitis
Lain-lain

4 Riwayat penyakit keluarga dan atau operasi yang lalu: (jenis penyakit/operasi, dimana dan kapan)
Infentilitas infeksi virus PMS Servisitis kronis Endrometriosis
Myoma Polip servix Kanker kandungan Operasi kandungan
✓ Lain-lain : tidak ada.....................................................................................................................

5 Makan/Minum/Eliminasi
Kapan terakhir kali makan/minum : 05.00 WIB
Jenis makanan/minuman yang sering dikonsumsi :
Nasi, sayur,lauk, buah,air putih, susu
(bila terdapat gangguan pada pola makan minum, hitung secara kuantitas/kualitas di lembar lain, kolaborasi
dengan ahli gizi)

Kapan terakhir BAB/BAK: : 07.30 WIB


6 Psikososial

Psikososial: Penerimaan klien terhadap kehamilan ini : diharapkan

Social support dari : ✓ Suami; ✓ Orang tua; ✓ Mertua; ✓ Keluarga lain

Pengambilan keputusan : Pasien dan suami

51
B DATA OBYEKTIF (PEMERIKSAAN FISIK) :
Keadaan umum :
1 Tanda-tanda vital : TD: 110/70mmHg N :76 x/mnt S : 36,5 0
C

RR : 20 x/mnt

Turgor ✓: baik kurang jelek


Mata : Seklera : ikterus ✓ tdk.ikterus
Konjungtiva : pucat ✓ tdk.Pucat
Penglihatan : ✓ jelas kabur Lain-lain.......................

Muka : Hiperpigmentasi Edema ✓ Tdk. Tampak kelainan


Lain-lain: ........................................................................................

Payudara : Kemerahan Bengkak

Puting susu : Datar ✓ Menonjol Ke dalam Lecet Kotor

Areola mammae : ✓ Bersih Kotor Hiperpigmentasi

Pengeluaran ASI ✓ Kolostrum Tidak tampak

Abdomen :
Bekas operasi : Ada ✓ Tidak ada

Tanda-tanda vital : Varices Edema ✓ Tidak ada

Dingin pucat Kebiruan ✓ Normal

PEMERIKSAAN KHUSUS
PALPASI
- Tinggi fundus : 34 cm - Bagian terdapat dalam Fundus :
- Presentasi : kepala
- Posisi : puka - Penurunan : 2/5
- Pergerakan : aktif
- kontraksi : 3x10’/40’’ - TBJA : 3100 gram

AUSKULTAS
- DJJ : 130 x/mnt ✓. Teratur Tidak teratur ✓ Kuat Lemah
- lain-lain : …………………………………………………….

PERKUSI
Repleks patella : kanan /kiri +/+
Ano-genetalia
- Vulva : ✓ Bersih Kotor Varises Edema
- Pengeluaran : Tdk.ada ✓ darah-lendir keputihan
Air ketuban, karakteristik ………………………………………….
Darah, Karakteristik ……………………………………………….
- Hemorroid : ✓ Tdk.ada Ada, jelaskan ………………………………….
- Lain-lain : tidak ada

52
TOUCHER/PERIKSA DALAM
2
- Tgl : 06-03-2019 Pukul : 09.00 Wib, oleh : Bidan
- Indikasi : tidk ada
⚫ Portio : ✓ tipis Tebal Lembut Kaku
⚫ Pendataran ✓
: 25% 50% 75% 100%
⚫ Pembukaan : 6 cm
⚫ Ketuban : ✓ utuh warna ………………………………….

⚫ Presentase : ✓ kepala, uuk: kecil/kanan/depan/belakang
⚫ Penurunan : HI √ H II H III H IV
⚫ Lain-lain : tidak ada..............................................................................................
3 Pemeriksaan Penunjang
Hb : - CT/BT : …../…… Ht : ……………………
Lain-lain : tidak dilakukan.....................................................................................................................

C Diagnosa atau masalah


Inpartu Kala 1 Fase Aktif

Jambi, 2019
Mahasiswa
Pembimbing Lahan

( ) ( )

Dosen Pembimbing

( )

53
PERENCANAAN

TANGGAL / DIAGNOSA NAMA


PKL DAN PERENCANAAN &
MASALAH PARAF
06-07- 2021/ Inpartu Kala 1 1) Beritau ibu dan keluarga hasil
11.00 Wib Fase Aktif
pemeriksaan
2) Informed consent dengan ibu dan
keluarga atas tindakan yang akan
dilakukan antara bidan dengan klien,.
3) Jelaskan tanda-tanda persalinan
fisiologis
4) Ajarkan ibu teknik relaksasi
5) Anjurkan ibu untuk istirahat senyaman
mungkin
6) Berikan nutrisi dan hidrasi pada ibu
7) Anjurkan ibu untuk tidak menahan
berkemih
8) Beritahu ibu posisi yang nyaman saat
bersalin
9) Berikan dukungan emosional kepada
ibu.
10) Persiapkan ruangan, alat, obat,
perlengkapan ibu dan bayi.
11) Memantau kemajuan

54
CATATAN PELAKSANAAN

NAMA : Ny. Y NO. RM : RUANG :

UMUR : 27 Tahun TANGGAL : 06-07- 2021 KELAS :


Diagnosa/masalah
Inpartu Kala 1 Fase Aktif

TANGGAL / CATATAN PELAKSANAAN NAMA &


PKL PARAF

55
06-07- 2021/ 1) Memberitahu ibu seluruh hasil pemeriksaan bahwa ibu
11.00 Wib sekarang dalam proses persalinan dengan pembukaan 6
cm, ibu belum boleh meneran karena pembukaan belum
lengkap, dan saat ini kondisi janin baik, keadaan ibu dalam
batas normal.
2) Informed consent dengan ibu dan keluarga atas tindakan
yang akan dilakukan antara bidan dengan klien, apabila
ada indikasi maka pihak keluarga bersedia untuk dirujuk.
3) Menjelaskan tanda-tanda persalinan fisiologis yaitu rasa
sakit oleh adanya his yang datangnya lebih kuat dan sering,
teratur, keluar lendir darah yang lebih banyak karena
robekan-robekan kecil pada servik, yang kadang-kadang
ketuban pecah sendirinya, pada pemeriksaan dalam servik
mendatar dan pembukaan telah ada.
4) Mengajarkan ibu teknik relaksasi yaitu dengan cara
mengajarkan teknik bernafas dengan menarik nafas dari
hidung dan mengeluarkan lewat mulut.
5) Menganjurkan ibu untuk istirahat senyaman mungkin
dengan posisi miring ke kiri dan jangan terlalu terlentang
agar sirkulasi darah janin tidak terganggu.
6) Memberikan nutrisi dan hidrasi pada ibu supaya ibu ada
tenaga untuk meneran, selain itu juga agar ibu tidak
dehidrasi.
7) Menganjurkan ibu untuk tidak menahan berkemih karena
bila kandung kemih penuh bisa memperlambat proses
penurunan kepala janin.
8) Memberitahu ibu posisi yang nyaman saat bersalin seperti
jongkok,duduk,berdiri, setengah jongkok dan setengah
duduk. Ibu mengerti dan memutuskan untuk memilih
posisi setengah duduk pada saat proses persalinan nanti.
9) Memberikan dukungan emosional kepada ibu. Ibu berdoa
sesuai keyakinan agar ibu tetap tenang dan sabar sehingga
persalinan berjalan lancar.
10) Mempersiapkan ruangan,alat,obat,perlengkapan ibu dan
bayi.
11) Memantau kemajuan persalinan(pembukaan servik dan
penurunan) 4 jam kemudian atau apabila ada indikasi

56
(ketuban pecah dini, keluar darah semakin banyak). His
dan djj setiap 30 menit sekali.

57
PERENCANAAN

TANGGAL / DIAGNOSA NAMA


PKL DAN PERENCANAAN &
MASALAH PARAF
06-07- 2021/ Inpartu kala II 1) Beritahu ibu dan keluarga hasil
11.00 Wib
pemeriksaan bayi sudah hampir lahir dan
ibu boleh meneran apabila ada dorongan
ingin meneran.
2) Bantu ibu untuk menemukan posisi yang
nyaman untuk meneran dan menganjurkan
suami untuk membantu.
3) Dekatkan alat-alat, obat-obatan,
perlengkapan ibu dan bayi.
4) Anjurkan suami dan keluarga untuk tetap
mendampingi ibu. Suami tampak berada
disamping istrinya sambil memberikan
semangat.
5) Memakai alat perlindungan diri yaitu
memakai celemek dan handscoon.
6) Bimbing ibu untuk meneran pada saat ibu
merasa ada dorongan yang kuat untuk
meneran dengan cara meneran yang benar
yaitu meneran seperti BAB keras pada saat
ada his dengan merangkul kedua paha
dengan tangan dimasukkan kedalam lipatan
siku kaki, kepala diangkat mata melihat ke
perut dan mata jangan dipejamkan dan
berhenti saat tidak ada his, hasilnya ibu
meneran dengan baik dan benar.
7) Berikan dukungan dan pujian kepada ibu.
Puji ibu pada saat meneran dan ibu terlihat
semangat untuk meneran karena di
dampingi oleh suami.
8) Berikan kebutuhan hidrasi kepada ibu
dengan memberikan teh manis hangat.
9) Persiapkan pertolongan kelahiran bayi
setelah kepala tampak 5-6 cm di vulva

58
dengan meletakkan kain diantara kedua
paha ibu. Kain yang kering dan bersih telah
disiapkan diantara kedua paha ibu.
10) Tolong proses kelahiran bayi dengan cara
meletakkan tangan kanan diperinium ibu
dengan menggunakan kain bersih dan
meletakkan tangan kiri diatas simfisis ibu
untuk menahan puncak kepala bayi dan
membantu lahirnya kepala.
11) Anjurkan ibu untuk meneran perlahan atau
bernafas cepat dan dangkal. Setelah kepala
bayi lahir dengan lembut, menyeka muka,
mulut dan hidung bayi dengan kasa steril.
Periksa kemungkinan adanya lilitan tali
pusat, menunggu hingga kepala bayi
melakukan putaran paksi luar secara
spontan. Tidak ada lilitan tali pusat.
12) Lahirkan bahu dengan memegang kepala
bayi secara biparietal, dengan lembut
membawa kepala bayi kearah perineum
untuk melahirkan bahu anterior, dan
menggerakkan kearah simfisis untuk
melahirkan bahu posterior sambil anjurkan
ibu untuk meneran secara perlahan. Bahu
anterior dan posterior telah lahir.
13) Lakukan sanggah susur hingga seluruh
tubuh bayi lahir, menyelipkan jari telunjuk
diantara kedua tungkai kaki bayi lalu
meletakkan bayi diantara kedua paha ibu.

59
CATATAN PELAKSANAAN

NAMA : Ny. Y NO. RM : RUANG :

UMUR : 27 Tahun TANGGAL : 21-06-2018 KELAS :


Diagnosa/masalah
Inpartu kala II

TANGGAL / CATATAN PELAKSANAAN NAMA &


PKL PARAF
06-07-2021/ 1) Memberitahu ibu dan keluarga hasil pemeriksaan bayi sudah
15.00 Wib
hampir lahir dan ibu boleh meneran apabila ada dorongan
ingin meneran.
2) Membantu ibu untuk menemukan posisi yang nyaman untuk
meneran dan menganjurkan suami untuk membantu.
3) Mendekatkan alat-alat, obat-obatan, perlengkapan ibu dan
bayi.
4) Menganjurkan suami dan keluarga untuk tetap mendampingi
ibu. Suami tampak berada disamping istrinya sambil
memberikan semangat.
5) Memakai alat perlindungan diri yaitu memakai celemek dan
handscoon.
6) Membimbing ibu untuk meneran pada saat ibu merasa ada
dorongan yang kuat untuk meneran dengan cara meneran
yang benar yaitu meneran seperti BAB keras pada saat ada
his dengan merangkul kedua paha dengan tangan
dimasukkan kedalam lipatan siku kaki, kepala diangkat mata
melihat ke perut dan mata jangan dipejamkan dan berhenti
saat tidak ada his, hasilnya ibu meneran dengan baik dan
benar.
7) Memberikan dukungan dan pujian kepada ibu. Memuji ibu
pada saat meneran dan ibu terlihat semangat untuk meneran
karena di dampingi oleh suami.
8) Memberikan kebutuhan hidrasi kepada ibu dengan
memberikan teh manis hangat.
9) Mempersiapkan pertolongan kelahiran bayi setelah kepala
tampak 5-6 cm di vulva dengan meletakkan kain diantara
kedua paha ibu. Kain yang kering dan bersih telah disiapkan
diantara kedua paha ibu.

60
10) Menolong proses kelahiran bayi dengan cara meletakkan
tangan kanan diperinium ibu dengan menggunakan kain
bersih dan meletakkan tangan kiri diatas simfisis ibu untuk
menahan puncak kepala bayi dan membantu lahirnya kepala.
11) Menganjurkan ibu untuk meneran perlahan atau bernafas
cepat dan dangkal. Setelah kepala bayi lahir dengan lembut,
menyeka muka, mulut dan hidung bayi dengan kasa steril.
Periksa kemungkinan adanya lilitan tali pusat, menunggu
hingga kepala bayi melakukan putaran paksi luar secara
spontan. Tidak ada lilitan tali pusat.
12) Melahirkan bahu dengan memegang kepala bayi secara
biparietal, dengan lembut membawa kepala bayi kearah
perineum untuk melahirkan bahu anterior, dan
menggerakkan kearah simfisis untuk melahirkan bahu
posterior sambil menganjurkan ibu untuk meneran secara
perlahan. Bahu anterior dan posterior telah lahir.
13) Melakukan sanggah susur hingga seluruh tubuh bayi lahir,
menyelipkan jari telunjuk diantara kedua tungkai kaki bayi
lalu meletakkan bayi diantara kedua paha ibu. Bayi lahir
pukul 20.00 wib, jenis kelamin perempuan.

61
PERENCANAAN

TANGGAL / DIAGNOSA NAMA


PKL DAN PERENCANAAN &
MASALAH PARAF
06-07-2021/ Parturient Kala III 1) Beritahu ibu bahwa bayi sudah lahir,
17.15 Wib
keadaan ibu dalam keadaan baik, dan
placenta akan dilahirkan.
2) Memeriksa fundus untuk memastikan
apakah ada janin kedua atau tidak.
3) Lakukan pemeriksaan kandung kemih.
Kandung kemih kosong.
4) Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik. Ibu
bersedia untuk disuntik.
5) Berikan suntikan oksitosin 10 IU secara IM
di 1/3 paha bagian luar.
6) Lakukan penjepitan dan pemotongan tali
pusat.
7) Lakukan inisiasi menyusu dini (IMD).
8) Lakukan peregangan tali pusat terkendali
dengan memindahkan klem 5-10 cm di
depan vulva, pastikan tanda-tanda plasenta
lepas, perubahan bentuk dan tinggi uterus,
tali pusat memanjang, adanya semburan
darah tiba-tiba, uterus berkontraksi dengan
baik, tangan kiri menahan corpus uteri ke
arah dorso cranial dan tangan kanan
melakukan peregangan tali pusat
terkendali, saat plasenta tampak di introitus
vagina kedua tangan menyambut dan
memutar plasenta searah jarum jam hingga
selaput terpilin.
9) Lahirkan plasenta, plasenta lahir lengkap
dengan selaputnya
10) Lakukan massage fundus uteri agar tidak
terjadi atonia uteri sehingga uterus
berkontraksi (Fundus teraba keras)
kemudian mengajarkan kepada ibu dan

62
keluarga untuk melakukan sendiri.
11) Memeriksa kelengkapan plasenta bagian
maternal dan fetal. Plasenta lahir lengkap.

63
CATATAN PELAKSANAAN

NAMA : Ny. Y NO. RM : RUANG :

UMUR : 27 Tahun TANGGAL : 06-03-2019 KELAS :


Diagnosa/masalah
Parturient Kala III

TANGGAL / CATATAN PELAKSANAAN NAMA &


PKL PARAF
06-07-2021/ 1) Memberitahu ibu bahwa bayi sudah lahir, keadaan
17.15 Wib
ibu dalam
keadaan baik, dan placenta akan dilahirkan.
2) Memeriksa fundus untuk memastikan apakah ada
janin kedua atau tidak.
3) Melakukan pemeriksaan kandung kemih. Kandung
kemih kosong.
4) Memberitahu ibu bahwa ia akan disuntik.
5) Memberikan suntikan oksitosin 10 IU secara IM di
1/3 paha bagian luar.
6) Melakukan penjepitan dan pemotongan tali pusat.
7) Melakukan inisiasi menyusu dini (IMD).
8) Melakukan peregangan tali pusat terkendali dengan
memindahkan klem 5-10 cm di depan vulva,
pastikan tanda-tanda plasenta lepas, perubahan
bentuk dan tinggi uterus, tali pusat memanjang,
adanya semburan darah tiba-tiba, uterus
berkontraksi dengan baik, tangan kiri menahan
corpus uteri ke arah dorso cranial dan tangan kanan
melakukan peregangan tali pusat terkendali, saat
plasenta tampak di introitus vagina kedua tangan
menyambut dan memutar plasenta searah jarum jam
hingga selaput terpilin.
9) Melahirkan plasenta, plasenta lahir lengkap dengan
selaputnya
10) Melakukan massage fundus uteri agar tidak terjadi
atonia uteri sehingga uterus berkontraksi (Fundus

64
teraba keras) kemudian mengajarkan kepada ibu dan
keluarga untuk melakukan sendiri.
11) Memeriksa kelengkapan plasenta bagian maternal
dan fetal. Plasenta lahir lengkap.

65
PERENCANAAN

TANGGAL / DIAGNOSA NAMA


PKL DAN PERENCANAAN &
MASALAH PARAF
06-07-2021/ Parturient Kala IV 1) Beritahu ibu seluruh hasil pemeriksaan
17.15 Wib
bahwa kondisi ibu dalam keadaan baik.
2) Lakukan pemeriksaan pada jalan lahir
dengan menggunakan kassa untuk melihat
adanya laserasi jalan lahir. Pemeriksaan
telah dilakukan dan ditemukan laserasi
derajat II
3) Lakukan penjahitan pada luka robekan
jalan lahir.
4) Lakukan pengecekan ulang dengan
menggunakan kassa untuk melihat adanya
perdarahan atau tidak.
5) Bersihkan ibu dari darah dengan
menggunakan air DTT dan melakukan
dekontaminasi tempat tidur dengan larutan
klorin, merendam alat-alat persalinan ke
dalam larutan klorin 0,5 % selama 10 menit.
6) Observasi tanda-tanda vital, tinggi fundus
uteri, kontraksi uterus, kandung kemih, dan
perdarahan tiap 15 menit pada 1 jam
pertama postpartum dan setiap 30 menit
pada jam kedua postpartum.
7) Berikan nutrisi dan cairan yang cukup pada
ibu.
8) Anjurkan ibu untuk minum obat yang di
berikan yaitu paracetamol, amoxilin, Bcom,
sari asi, sari rapet dan vitamin A 200.000
IU.
9) Ajarkan ibu dan keluarga cara massage
fundus uteri agar tidak terjadi atonia uteri
yaitu dengan cara meletakkan telapak
tangan di fundus dan lakukan massage
dengan gerakan melingkar dengan lembut

66
sehingga uterus berkontraksi (Fundus
teraba keras) dan beritahu ibu jika fundus
teraba lembek menandakan kontraksi
kurang baik dan segera beritahu.
10) Informasikan pada ibu tentang tanda dan
bahaya nifas yaitu uterus tidak
berkontraksi, perdarahan, sakit kepala hebat
dan kejang.
11) Anjurkan ibu untuk menyusui bayinya
sesering mungkin minimal setiap 2 jam
sekali di kedua payudara secara bergantian,
hasilnya ibu mengatakan mau menyusui
bayinya.
12) Lakukan pemantauan kala IV telah
dilakukan selama 1-2 jam post partum dan
hasil pemantauan tidak ditemukan tanda-
tanda kegawatdaruratan pada tabel dibawah
ini.

67
CATATAN PELAKSANAAN

NAMA : Ny. Y NO. RM : RUANG :

UMUR : 27 Tahun TANGGAL : KELAS :


Diagnosa/masalah
Parturient Kala IV

TANGGAL / CATATAN PELAKSANAAN NAMA &


PKL PARAF
06-07-2021 1) Memberitahu ibu seluruh hasil pemeriksaan bahwa kondisi
17.15 Wib
ibu dalam keadaan baik.
2) Melakukan pemeriksaan pada jalan lahir dengan
menggunakan kassa untuk melihat adanya laserasi jalan
lahir. Pemeriksaan telah dilakukan dan ditemukan laserasi
derajat II
3) Melakukan penjahitan pada luka robekan jalan lahir.
4) Melakukan pengecekan ulang dengan menggunakan kassa
untuk melihat adanya perdarahan atau tidak.
5) Membersihkan ibu dari darah dengan menggunakan air
DTT dan melakukan dekontaminasi tempat tidur dengan
larutan klorin, merendam alat-alat persalinan ke dalam
larutan klorin 0,5 % selama 10 menit.
6) Mengobservasi tanda-tanda vital, tinggi fundus uteri,
kontraksi uterus, kandung kemih, dan perdarahan tiap 15
menit pada 1 jam pertama postpartum dan setiap 30 menit
pada jam kedua postpartum.
7) Memberikan nutrisi dan cairan yang cukup pada ibu. Ibu
bersedia minum teh manis dan makan.
8) Menganjurkan ibu untuk minum obat yang di berikan yaitu
paracetamol, amoxilin, Bcom, sari asi, sari rapet dan
vitamin A 200.000 IU. Hasilnya ibu segera meminum
suplemen tambahan yang telah diberikan setelah makan.
9) Mengajarkan ibu dan keluarga cara massage fundus uteri
agar tidak terjadi atonia uteri yaitu dengan cara meletakkan
telapak tangan di fundus dan lakukan massage dengan
gerakan melingkar dengan lembut sehingga uterus
berkontraksi (Fundus teraba keras) dan beritahu ibu jika
fundus teraba lembek menandakan kontraksi kurang baik

68
dan segera beritahu.
10) Menginformasikan pada ibu tentang tanda dan bahaya
nifas yaitu uterus tidak berkontraksi, perdarahan, sakit
kepala hebat dan kejang.
11) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya sesering
mungkin minimal setiap 2 jam sekali di kedua payudara
secara bergantian, hasilnya ibu mengatakan mau menyusui
bayinya.
12) Melakukan pemantauan kala IV telah dilakukan selama 1-
2 jam post partum dan hasil pemantauan tidak ditemukan
tanda-tanda kegawatdaruratan pada tabel dibawah ini.

69
KONTROL HIS
Nama Ibu : Ny.Y
Umur : 27 Tahun
Alamat : RT. 32 Jeramba bolong

Tgl /jam DJJ Ketuban Pembukaan Penurunan His T/D N S Rr Urin


Kepala e
24-07-
2021 135x/i (+) 5 cm H II 3x10’ 110/70 76 36,8 20
11.00 wib 30”

140x/i 3x10’ 78 21
11.30 wib 30”

140x/i 3x10’ 78 21 ±
12.00 wib 30” 200
ml
135x/i 4x10’ 78 20
12.30 wib 30”

140x/i (+) 4x10’ 80 20


13.00 wib 30”

130x/i 4x10’ 80 22
13.30 wib 32”

135x/i (+) 8 cm HIII+ 4x10’


120/70 80 37 22
14.00 wib 32”
80 22
135x/i 5x10’
14.30 wib 35’’
82 22
135x/i 5x10’
15.00 wib 45”
80 22
140x/i 5x10’
15.30 wib 50’’
82 22
140x/i (-) 10 cm HIV 5x10’
16.00 wib 50’’

70
LAPORAN PERSALINAN

Nama Ibu : Ny. Y


Umur : 27 Tahun
Alamat : RT. 32 Talang Banjar
Ibu datang : Tgl : 06-07-2021 Jam : 11 .00 Wib
Keluhan : Ibu mengatakan nyeri perut bagian bawah dan sudah mengeluarkan lendir
bercampur darah.
KALA/JAM KEADAAN IBU

06-07-2021 Ibu mengatakan nyeri perut bagian bawah dan sudah mengeluarkan lendir bercampur
Kala I darah.
fase aktif Melakukan pemeriksaan dengan hasil
11.00 Wib K/U: baik, TD: 110/70 mmHg, S: 36,50C, N: 76 x/menit, RR: 20x/menit, Kontraksi:
3x10’/40’’, DJJ: (+), Frek: 135x/mnt, VT porsio tipis, pembukaan 5 cm, penurunan H
II, presentasi kepala.

Kala II Tanda-Tanda Kala II


16.00 wib Ibu ingin meneran adanya tekanan pada anus, perineum menonjol, vulva dan anus
membuka, K/U: baik, His : 5 x 10’ 50 ” kuat, DJJ 150 x/menit teratur. Pukul : 19.00
wib PD: portio tidak teraba, pembukaan lengkap, ketuban negatif (pecah pukul: 18.45
WIB, warna: jernih), presentasi kepala, penurunan hodge IV +, posisi UUK kiri depan.
Kepala crowning, ibu ingin meneran, tangan kanan menekan perineum, tangan kiri
menahan puncak kepala agar tidak terjadi difleksi dini, maka lahirlah UUK, UUB,
dahi, mata, hidung, mulut, dan dagu bayi, kemudian usap muka bayi, dengan doek
steril, pegang kepala bayi secara biparetal, arahkan kepala bayi keperineum untuk
melahirkan bahu anterior, kemudian arahkan kesimpisis untuk melahirkan bahu
posterior, sanggah bayi dibaian leher dan bahu, dengan tangan kanan, tangan kiri
menelusuri lahirnya punggung, dengan bokong, dan tungkai kaki bayi, sehingga bayi
lahir menghadap kepinggang.

Bayi lahir normal segera menangis, bayi diletakkan diatas perut ibu dan pastikan tidak
16.40 Wib ada janin kedua, jika tidak ada maka suntikkan oksitosin 10 U/IM paha atas ibu bagian
luar, kemudian klem tali pusat ±3-5 cm dari pangkal tali pusat, lalu klem kedua ±2-3
cm dari klem pertama dan potong tali pusat diantara kedua klem, setelah itu anjurkan
ibu untuk segera melakukan IMD pada bayinya.

71
Kala III Melakukan peregangan tali pusat terkendali dengan tangan kanan, tangan kiri menekan
17.05 wib korpus uteri, melihat tanda-tanda pelepasan plasenta telah lepas tarik tali pusat kebawah
dan keatas, sementara tangan kiri menekan korpus uteri kearah dorso cranial, saat
plasenta tampak diintroitus vagina, lahirkan plasenta dengan kedua tangan, putar
plasenta searah jarum jam hingga plasenta dan selaput janin lahir lengkap, lalu lakukan
masase pada fundus uteri secara sirkuler selama 1 detik.
Memeriksa kelengkapan plasenta:
Kotiledon : 20 buah
Panjang tali pusat : ±50 cm
Diameter : 20 cm
Tebal : 2,5 cm
Kontraksi uterus: Baik
Kandung kemih : kosong
Perdarahan : ±200 cc, dan insesri: sentralis, plasenta lengkap.

Kala IV K/u ibu : baik


17.15 Wib TD : 100/70 mmHg, N: 76x/menit, : 36,50C, RR: 20x/menit,
TFU: Sepusat. kontraksi uterus baik, kandung kemih kosong, perdarahan normal +150
cc.

K/u Bayi : baik


PB: 49 cm
BB : 3200 gram
JK : Laki-laki
Anus : +, cacat –
Injek vit K , HB0 dan salap mata pukul 17.25 Wib.

72
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Penalaran deduktif adalah suatu tahap pemikiran dan pembelajaran manusia

untuk menghubungkan antara data dengan fakta yang ada sehingga pada akhirnya

terdapat kesimpulan yg dapat diambil (Etni Dwi Astuti,2018). Berpikir deduktif

adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik

kesimpulan yang bersifat khusus. Sedangkan berpikir induktif merupakan cara

berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus

yang bersifat individual (Aldina Ayunda Insani Et Al,2016).

Berpikir kritis adalah cara berpikir tentang subjek, konten, atau masalah

yang dilakukan oleh pemikir secara aktif dan terampil secara konseptual dan

memaksakan standar yang tinggi atas intelektualitas mereka. Berpikir kritis

merupakan dasar bagi setiap Bidan untuk melakukan manajemen asuhan

kebidanan sehingga tepatnya pembuatan keputusan dan tepatnya asuhan yang

diberikan. Berpikir kritis harus diintergrasikan kepada seluruh profesi Bidan dan

dimulai pada mahasiswa kebidanan untuk setiap manajemen asuhan kebidanan

yang akan dilakukan sehingga menghasilkan asuhan yang tepat dan bermutu.

B. Saran

1. Tenaga kesehatan terutama Bidan diharapkan dapat mengetahui dan mengerti

tentang berpikir kritis, sehingga dapat memberikan pelayanan seoptimal

mungkin.

73
2. Sebagai mahasiswa, kita harus lebih mengupdate ilmu asuhan kehamilan

khususnya tentang berfikir kritis, agar menambah wawasan, selain itu kita

dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Untuk institusi, agar supaya menambah literature terbaru khususnya tentang

materi berfikir kritis dalam asuhan kebidanan persalinan normal.

4. Sebagai Bidan kita harus bida menerapkan manajemen asuhan kebidanan,

sehingga tepat dalam membuat suatu keputusan dan tepat dalam memberikan

asuhan yang diberikan kepada pasien. Berpikir kritis harus diintegrasikan

kepada seluruh profesi Bidan dan dimulai pada mahasiswa kebidanan untuk

setiap manajemen asuhan kebidanan yang akan dilakukan sehingga

menghasilkan asuhan yang tepat dan bermutu.

74
DAFTAR PUSTAKA

Aldina Ayunda Insani,2016.Berpikir Kritis Dasar Bidan Dalam Manajemen Asuhan


Kebidanan.
Dinda Kurnia Putri Etal,2019.Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau Dari
Kemampuan Pemecahan Masalah.
Diah Prawitha Sari,2016.Berpikir Matematis Dengan Metode Induktif, Deduktif,
Analogi, Integr atif dan Abstrak.
Etni Dwi Astuti,2018.Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Kebidanan Paska Praktik
Klinik Kebidanan Continuity Of Care(coc).
Jannah,2016.Asuhan Persalinan Normal Bagi Bidan. Penerbit PT Refika

Aditama.Bandung:1-197hlm.

Kuswanti, 2017.Asuhan Kebidanan II Persalinan.Penerbit CV. Trans Info Media.Jakarta

Timur:205hlm.

Manuaba,2016.Asuhan Kebidanan Komunitas. Penerbit Buku Kedokteran

EGC.Jakarta:235-337hlm.

Mochtar,2018. Pengaruh pendampingan suami terhadap ibu bersalin di BPS Prita Yusita

Stikes Ngudi Waluyo.

Nurasiah,dkk,2016.Asuhan Persalinan Normal Bagi Bidan.Penerbit PT Refika

Aditama.Bandung:1-197.

Palupi Sri Wijayanti,2017.Profil Kemampuan Penalaran Induktif Mahasiswa Pada


Materi Ruang Vektor.
Prawirorahardjo,2018.Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirorahardjo. Penerbit PT Bina

Pustaka Sarwono Prawirorahardjo. Jakarta:xxiv+982hlm.

75
Rohani,2016.Asuhan Kebidanan Persalinan.Penerbit CV Trans Info Media.Jakarta

Timur:205hlm.

Varney, Helen,2013.Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4.Jakarta.EGC.

Wiknjosastro,2015.Pengaruh Pendampingan suami saat persalinan dengan lama

persalinan kala 1. Jurnal kebidanan.

76
Nurse Education Today 33 (2013) 847–852

Contents lists available at ScienceDirect

Nurse Education Today


journal homepage: www.elsevier.com/nedt

Review

Mind maps: Enhancing midwifery education


Maria Noonan ⁎
Department of Nursing and Midwifery, Health Science Building, North Bank Campus, University of Limerick, Limerick, Ireland

a r t i c l e i n f o s u m m a r y

Article history: Educationalists need to think outside the box to facilitate students to learn key information essential for pro-
Accepted 6 February 2012 fessional practice. The use of mind maps incorporated into an assessment strategy and programme is an
innovative way of facilitating students to understand key information. Mind maps have the potential to pro-
Keywords: vide students with a strategy for retaining information, integrating critical thinking and problem solving
Mind maps
skills. This article reviews the current discussion on mind maps and discusses the integration of mind
Assessment
Critical thinking
maps into a component of an assessment strategy.
Problem solving © 2012 Elsevier Ltd. All rights reserved.

Introduction educational programme. Learning outcomes for many of the required


modules of student midwives and nurses are knowledge and skills es-
There is a need for teaching and learning strategies that enable stu- sential for practice and promoting student retention, understanding
dent midwives to retain information, integrate critical thinking and and application of this key information is a challenge for educationalists.
problem solve in clinical practice (Mangena and Chabeli, 2005). Active Widening participation of the population in higher education pro-
learning methods such as case studies, role play, problem-based learn- grammes in Europe, including midwifery and nursing programmes,
ing are recognised strategies used to foster critical thinking in students attracts students from diverse academic backgrounds with a range
(Popil, 2011; Worrell and Profetto-McGrath, 2007). Mind maps may of abilities (Race and Pickford, 2007; Fleming and Holmes, 2005).
be another such strategy to achieve this goal (Zipp et al., 2009; Kern The challenge for educationalists is to continue to develop a diverse
et al., 2006). Buzan and Buzan (2010, p.31) define a mind map as ‘a range of assessment processes and instruments so that fewer stu-
graphic representation of Radiant thinking. Radiant thinking is the pro- dents are repeatedly disadvantaged by over-used assessment formats
cess through which the human brain thinks and generates ideas.’ A (Race and Pickford, 2007). They suggest that making teaching work is
mind map is a visual, non-linear representation of a network of con- much more about making assessment effective and that this is
nected and related concepts (Davies, 2010). The aim of mapping tech- achieved by diversifying the range and scope of assessments used to
niques is to facilitate students to represent or manipulate a complex accredit students’ work. Wellard et al. (2007) agree and argue for
set of relationships in a diagram which facilitates analysis, memorising the development of a range of assessment approaches which reflect
and understanding of those relationships (Davies, 2010). Mollberg et the complexity and diverse forms of practice knowledge and foster
al. (2011) suggests that the ability to understand these relationships learning rather than simply training.
reflects the type of thinking required for clinical practice. This article Race and Pickford (2007) argue that if educationalists are to im-
aims to review the current discussion on mind maps and outlines the pact on student learning then systematic and thoughtful use of as-
integration of mind maps into a component of an assessment strategy. sessments needs to be considered as the principal motivator of
Designing assessment is one of the most significant elements of an student learning. Assessment and associated feedback are key factors
educational programme (Race and Pickford, 2007). It is essential impacting on student retention, motivation and commitment and ul-
that assessment is linked to the learning outcomes and that students timately on their practice (Race and Pickford, 2007). With this aim in
pursuing midwifery and nursing courses see the linkage between out- mind the assessment for a module Midwifery Practice and Normal
comes and assessment. Students usually concentrate on the assessment Birth on the BSc Midwifery programme incorporated a continuous as-
element of a module and Race and Pickford (2007) point out that much sessment work book which required students to complete mind
can be gained by making assessment smarter. Another crucial element maps.
that concerns midwifery and nursing educationalists is that student
midwives and nurses must be deemed fit for purpose at the end of an
The Assessment

⁎ Tel.: + 353 86 8075759. First year midwifery students in the second semester of their BSc
E-mail address: Maria.noonan@ul.ie. Midwifery programme were required to complete a workbook type

0260-6917/$ – see front matter © 2012 Elsevier Ltd. All rights reserved.
doi:10.1016/j.nedt.2012.02.003
848 M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852

Table 1
Articles related to mind maps in health education.

Author(s)/year Purpose Type of article-sample/methods Findings

Boley (2008) To evaluate whether pre-made mind maps A convenience sample of 14 graduate students The MMG consistently outperformed the CG
depicting how the stages of the nursing pro- enrolled in the critical care nursing course The on weekly quiz scores.
cess were applied to critical care scenarios sample was divided into two groups, 9 students in
helped student's achieve measurable im- the mind map group (MMG) and 5 students in the
provements in learning. control group (CG). Outcomes were evaluated by
tracking the average out of seven quiz and test
scores for the MMG and CG.
Burgess-Allen and Owen- Utilised the mind map approach to Perspective article They found that this approach provided a
Smith, 2010. manage the qualitative data from patient graphical format for representing the key
participation focus groups. themes raised during the focus groups,
helped stimulate and focus discussion and
enhanced transparency and group ownership
of the analysis process.
Crowe and Sheppard, To present the argument for using mind Perspective article They suggest that mind maps can be used as a
2011. maps to visualise the complexities and extent strategy to teach, supervise and guide
of research methods. students through the concepts of research
methods and ultimately may facilitate
students to produce more robust research.

D'Antoni et al., 2009. Adapted a scoring system used to grade Quantitative study with 66 first year medical The MMAR was found to have high reliability
concept maps and formed the mind map students (ICC .86). Further realibility and validity
assessment rubric (MMAR). studies are required.
D'Antoni et al., 2010. To investigate whether a relationship existed A quasi-experimental study First-year medical stu- No significant differences in mean scores on
between mind mapping and critical thinking dents (N = 131) were randomly assigned to a stan- both the pre- and post –quizzes between
as measured by the health Science Reasoning dard note taking group or mind map group. note taking groups were idenified.
Test (HSRT).
Farrand et al., 2002. To examine the effectiveness of using the 50 second- and third-year medical undergraduate At one week the factual knowledge in the
‘mind map’ study technique to improve students randomly assigned to ‘self-selected study mind map group was greater by 10%.
actual factual recall from written information technique’ and ‘mind map'group Motivation for the techniques used was
lower in the mind map group.
Evaluated the integration of mind-mapped A summative survey was administered Students on the course reported that the use
care plans (MMCP) as an educational tool in anonymously to students (N = 34) within the final of mind maps helped them demonstrate
the nursing curriculum semester of the nursing curriculum. critical thinking, view the patient holistically,
using creativity in nursing care and
individualising the plan of care.
Mollberg et al., 2011. Discussed the use of mind mapping to Perspective article Mind mapping may be a valuable tool for
understand and potentially guide decision physicians to use to understand and
making and research in the diagnosis and potentially guide decision making and
management of lung cancer. research in the diagnosis and management of
lung cancer.
Mueller et al., 2002. Combined mind mapping and care planning Perspective article Anecdotal data about mind- mapped care
to encourage the use of critical , whole- plans suggest that their use enhances think-
brained, holistic thinking when applying the ing skills: critical thinking, whole brain
nursing process and using nursing diagnoses thinking, comprehensive thinking and
patient-centred thinking
Tattersall et al., 2011. Compared results derived from mind Descriptive The majority of the research themes revealed
mapping with those from interpretive by the traditional method of analysing
phenomenological analysis. Data from a qualitative date were comparable to those
study that explored patients’ and carers’ derived from mind mapping.
perceptions of a new nurse-led service were
analysed separately by three researchers.
Wickramasinghe et al., To evaluate the effectiveness of using mind A quasi-experimental study Seventy-four new entry There was no significant difference between
2007. maps as a self-learning method for new en- medical students were randomly assigned to two the marks of the two groups.
trants to the Faculty of Medicine, University equal groups designated the mind map group and
of Colombo. the self-selected study technique group.
Zipp et al., 2009. Explored whether students perceive that A quantitative post -test survey design. Pilot study. DPT students did not perceive that the mind
mind mapping learning technique enabled Doctor of Physical Therapy (DPT) students (n = 21) mapping learning technique enabled them to
them to better organise, prioritise and better organise, prioritise and integrate
integrate material presented in the course material presented in the course.

assessment for their Module on Midwifery Practice and Normal Birth. Overview of Mind Mapping
The workbook was designed so that students completed a set of ques-
tions on a weekly basis with some of the questions requiring mind Mind mapping has been used in a variety of disciplines including
maps. A detailed explanation of mind maps and what was expected medicine (Davies, 2010; D'Antoni et al., 2010; Mollberg et al., 2011;
of the students in their assessment was discussed on the first two Wickramasinghe et al., 2007; Farrand et al, 2002). Mind maps tech-
weeks of the module. Students are more likely to engage if they un- niques were first proposed and developed by Buzan in 1974 (Buzan
derstand how the assessment fits with their learning outcomes and Buzan, 2003, 2010). The advantages of mind mapping include
(Race and Pickford, 2007). An example of a simple mind map based its “free-form” and unconstrained structure, the generation of unlim-
on material unrelated to midwifery was provided to the students. ited ideas and links, promotion of creativity and encouragement of
M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852 849

“brainstorming” (Davies, 2010. Critical thinking occurs when stu- Disadvantages of Mind Maps
dents possesses both domain knowledge and the capacity to solve
problems and mind maps promote critical thinking by establishing The disadvantages of mind maps include limitation of types of
nonlinear relationship between concepts (Zipp et al., 2009). The mul- links to simple associations, absence of clear links between ideas,
tisensory nature of mind maps which include colour and pictures fa- difficult for a lecturer to read, inconsistent in level of detail and may
cilitate the conversion of information from short to long term be too complex and miss the overall picture (Davies, 2010).
memory (D'Antoni et al., 2010). In order for meaningful learning to
occur adult learners must link new information with their existing Use of Mind Maps in Nursing and Midwifery
knowledge. This position is based on the conceptual framework of
the constructivist learning theory and is the basis of many learning Mind maps can be used by students for note taking, planning for
strategies including mind maps (Zipp et al., 2009). There is now a examinations, assignments, research, reflective practice and midwife-
greater emphasis in universities on the development of transferable ry and nursing practice.
‘life’ skills' (Rust, 2002). Lifelong learning is a key aspect of a midwi-
fe's and nurses professional practice and mapping may be a resource Note Taking
that can be utilised to assist students and future practitioners of mid-
wifery and nursing, learn and organise key information essential for Standard note-taking systems require the use sentences, phrases,
practice. lists and lines and numbers and utilise only the left-cortex memory
Student approaches to learning should influence the assessment (Buzan, 2003). This system omits many important elements involved
strategies in use (Rust, 2002). One means of achieving a deeper in the right-cortex memory such as imagination, association, exagger-
approach to learning is to design assessments that create learning ation, contraction, absurdity, humour, colour, rhythm, the senses,
activity (Rust, 2002). Mind mapping requires more active engage- sexuality and sensuality (Buzan, 2003). The ability to record effective
ment on the part of the learner which may contribute to deeper learn- notes is a central skill necessary to use time in lectures constructively
ing being achieved (Davies, 2010). Maps facilitate “dual coding” (Huxham, 2010). Notes taken in a lecture provide a record that can be
which is the separate encoding of information in memory in both vi- used for review and revision and can support understanding and re-
sual and propositional form (Davies, 2010). Processing information call through ‘encoding’ of knowledge (Huxham, 2010). Educational-
verbally and pictorially facilitates learning by means of using more ists need to consider ways to ‘create opportunities in lessons and
than one modality and enables students to imagine and explore asso- outside, in which thinking can flurish' within lectures (Bligh, 1998,
ciations between concepts (Davies, 2010). p. 65). Buzan (2003) argues that if a student is to make effective
The advantages of using mind maps in nursing and midwifery notes then this requires utilisation of both the left and right cortex
education is that it may benefit students with diverse learning styles as well as the fundamental memory principles. The use of mind
(D'Antoni et al., 2010). Mind maps have the potential to appeal to all maps to make notes may facilitate students to understand, analyse
types of learners from visual and kinaesthetic to high achievers. and think critically about the chosen topic and at the same time the
Buzan (2010) suggests that for visual and kinaesthetic learners student has more time to pay attention to the lecturer or book
mind maps make it easier for them to express their ideas in a non- (Buzan, 2003).
linear, colourful, image filled way. The incorporation of mind maps Huxham (2010) analysed 238 note-sets of first year students under-
into an assessment does not rely on a students’ language level and taking a biology degree for word counts, abbreviations, note-taking
therefore can give a more accurate assessment of the students’ styles and quality of content. He found that only 1% of students in the
knowledge of a topic (Buzan, 2010). study showed non-linear notes such as spider diagrams and mind-
Details of how to make a mind map are described in Box 1. maps which might be expected to support learning and understanding.
Emphasis and association are key factors in improving memory However lecturers cannot expect students to know how to use these
and creativity (Buzan and Buzan, 2010). Mind maps need to be techniques without some instruction on mind maps (Huxham, 2010).
reviewed on a continuous basis to assist the transfer of information Huxham (2010) argues however that formal instruction may have little
into long-term memory (Buzan and Buzan, 2010). effect upon student behaviour and the challenge for educationalists is
identifying techniques to encourage students to reflect on their own
notes. Incorporating mind maps into an assessment strategy could be
one means of achieving this goal. Students introduced to the use of
mind maps for an assessment may go on to continue to use them for
other activities such as note taking. D'Antoni et al. (2010) undertook a
quasi-experimental study to investigate whether a relationship existed
between mind mapping and critical thinking as measured by the health
Science Reasoning Test (HSRT). First-year medical students (N= 131)
were randomly assigned to a standard note taking group or mind map
group. No significant differences in mean scores on both the pre- and
post –quizzes between note taking groups were idenified. D'Antoni et
al. (2010) concluded that mind mapping did not increase short-term
recall domain-based information or critical thinking compared to stan-
dard note taking. However students in the study were only briefly intro-
duced to mind mapping and had very little time to gain proficiency in
the strategy. Further research is required to determine longitudinal ef-
fects of mind map proficiency training on both short and long-term in-
formation and retrieval and critical thinking (D'Antoni et al., 2010).

Examinations
Reprinted with permission from Buzan and Buzan (2010) The
Mind Map Book Unlock your creativity, boost your memory, change Mind maps can assist the student to organise information and to
your life. Pearson, Harlow England. shorten the time spent revising for exams (Buzan and Buzan, 2010).
850 M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852

learning method for new entrants to the Faculty of Medicine, Univer-


Box 1 How to make a mind map sity of Colombo. Seventy-four new entry medical students were ran-
domly assigned to two equal groups designated the mind map
1. Use a blank sheet of unlined paper 11× 17 Inches. Place the group and the self-selected study technique group. The participants
paper sideways. in the mind map group were given a 30 minute lesson on the mind
2. Draw a picture in the middle of the page that summarises the map technique. Both groups were exposed to the study text material
main topic/ central theme (key memory image right brain) for a 45-minute period and were requested to answer four structured
3. Draw thick curved, connected, different coloured lines com-
essay questions based on the study text. There was no significant dif-
ing away from the picture in the middle, one for each of the
ference between the marks of the two groups. The authors conclude
main sub themes/sub topics (ideas and thoughts) on the
that while the mind map technique did not show any superiority
subject. These central branches represent the main sub-
over other conventional study techniques as a short term learning
topics. These main branches act like the chapter headings
of the topic. It is important that one key word is used to de- method the majority of the mind map group perceived it as a useful
scribe the sub theme. This is because one word will create tool for summarising information.
many more connections than two which facilitates the de- Boley (2008) undertook a study to evaluate whether pre-made
velopment of new ideas and thoughts. mind maps depicting how the stages of the nursing process were
4. Name each of these sub themes/sub-topics (left brain) and/or applied to critical care scenarios helped student's achieve measurable
draw a picture of each (right brain). Underline words through- improvements in learning. A convenience sample of 14 graduate
out the mind map. Underlining key words shows their students enrolled in the critical care nursing course in a public insti-
importance. tution in the United Stages were recruited to the study. The sample
5. For each of these sub themes/sub topics draw other con- was divided into two groups, 9 students in the mind map group
nected lines spreading like the branches of a tree. Add infor- (MMG) and 3 students in the control group (CG). Outcomes were
mation for each of these sub themes/sub topics. These evaluated by tracking the average out of seven quiz and test scores
additional branches represent the details. for the MMG and CG. Boley (2008) concluded that the premade
6. Arrows are used to show a relationship between concepts. mind maps seemed to positively impact the learning experience
based on the finding that the MMG consistently outperformed the
Using these guidelines the student builds up a multidimen- CG on weekly quiz scores. The sample is small and further studies
sional, associative, imaginative and colourful mind map on are required. Premade mind maps are not consistent with Buzan's
the topic (Buzan, 2003; Buzan and Buzan, 2010). original intent for mind maps. Buzan emphasises that learning
occurs in the creation of the mind map. Boley (2008) acknowledges
this but found that students benefited from the instructor made
mind maps.

A mind map can condense the main ideas within topics and can assist Assignments
the student to remember the information. Lecturers can guide stu-
dents at the beginning of a semester to create a mind map for each A Mind map can be used to structure assignments. A mind map
subject which will help the student to assimilate the information can help the student to organise the essential parts of an essay. It
and facts and this can be used as a revision sheet for exams. All the in- can be used to develop an introduction, context and conclusion
formation is in one page and students don't have to look through Mind maps can also be integrated into an assessment. (Buzan,
reams of information prior to an exam (Buzan and Buzan, 2010). 2010). Plagiarism has become a major issue in higher education and
Farrand et al. (2002) found that mind maps provided an effective Race and Pickford (2007) argue that there is an increased need to
study technique when applied to written material however they sug- be able to guarantee the authenticity of students’ coursework. Pre-
gest that consideration has to be given towards ways of improving vention of plagiarism is identified as preferable to detection (Race
motivation amongst users. and Pickford, 2007). Mind maps are very individual to each student
A common complaint from students in relation to exams is not and limit the risk of plagiarism.
having enough time to focus their knowledge to answer the question
or forgetting information at critical moments in the exam (Buzan, Mind Maps and Research
2003). Students often cram for exams and much of this information
cannot be accessed during an exam in what is commonly referred to Crowe and Sheppard (2011) used mind maps to visualise the com-
as a ‘mental block’. This information disappears almost immediately plexities and extent of research methods. They suggest that mind
after the exam (Buzan, 2003) and therefore is recognised as an inef- maps can be used as a strategy to teach, supervise and guide students
fective way of preparing students for the demands of practice. In through the concepts of research methods and ultimately may facili-
the exam a student can plan an answer to the questions using a tate students to produce more robust research. Mind maps can be
mind map. This tool assists the student to organise ideas in a short updated as new information is assimilated into the mind maps to re-
time frame and has the potential to improve the student's perfor- alise a deeper understanding of research methods. Aveyard (2010)
mance in exams (Buzan, 2003). also advocate using a mind map as a strategy for developing a re-
Wickramasinghe et al. (2007) undertook a quasi-experimental search topic for a literature review and suggest that a mind map can
study to evaluate the effectiveness of using mind maps as a self- assist the student identify aspects of the chosen topic and how this
relates to the topic area as a whole. Burgess-Allen and Owen-Smith
(2010) utilised the mind map approach to manage the qualitative
data from patient participation focus groups. They found that this ap-
Mind Map Tool Kit proach provided a graphical format for representing the key themes
raised during the focus groups, helped stimulate and focus discussion
• Paper 11x17 Inches and enhanced transparency and group ownership of the analysis
• Coloured pens process. However they did acknowledge that this approach may not
• Your brain achieve the depth or level of interpretation possible with other
approaches to data analysis. Researcher bias is a significant challenge
M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852 851

to researchers when considering that human judgement plays a take time to change to a new method of learning. A students learning
major part in the construction of the mind maps (Burgess-Allen and style or preference in learning may influence the perceived usefulness
Owen-Smith, 2010). Tattersall et al. (2007) suggested that theoreti- of a learning/teaching strategy and this would need to be considered
cally mind mapping had the potential to allow researchers to make when designing a study to evaluate the effectiveness of mind maps
rapid and valid transcriptions of qualitative interviews without the (Zipp et al., 2009). Sand-Jecklin (2007) found that nursing students
need for interviews to be transcribed verbatim. In 2011 Tattersall et showed a preference for passive instruction methodologies and sur-
al. tested this theory. They compared results derived from mind face learning strategies that they had been previously exposed to
mapping with those from interpretive phenomenological analysis. during prior education. Some students were also concerned about
Data from a study that explored patients' and carers' perceptions of their ability to complete the images in what they termed the ‘artistic’
a new nurse-led service were analysed separately by three re- requirement of mind maps. Buzan and Buzan (2010) suggest one rea-
searchers. The majority of the research themes revealed by the tradi- son for the rejection of the use of images is the modern overemphasis
tional method of analysing qualitative date were comparable to those on the word as the primary vehicle of information transmission. The
derived from mind mapping. They concluded that mind mapping other reason is that some people believe that they are not able to
could be used to rapidly analyse simple qualitative audio-recorded in- create images. However they argue that research has shown that any-
terviews but that more research was required to establish the extent one can learn to draw to a good art level.
to which mind mapping can assist qualitative researchers. Tattersall Kern et al. (2006) evaluated the integration of mind-mapped care
et al. (2007) did acknowledge that purists in the use of qualitative plans (MMCP) as an educational tool in the nursing curriculum at
research may find good arguments not to use mind mapping. Mercy College of Health Science. A summative survey was adminis-
tered anonymously to students (N = 34) within the final semester
Mind Maps and Clinical Practice of the nursing curriculum. Over 90% of the students on the course
reported that the use of mind maps helped them view the patient
Mind maps have been used in clinical practice for reflection, care holistically, using creativity in nursing care and individualising the
planning, needs assessment and practice development (Burgess- plan of care. Students expressed a concern relating to the time re-
Allen and Owen-Smith, 2010; Jenkins, 2005; Mueller et al., 2002; quired to complete a MMCP. 91% of the students surveyed reported
Michelini, 2000). The work that midwives and nurses do is rarely that they were satisfied that the use of mind maps helped them
linear in form and involves the sorting of many different tasks simul- demonstrate critical thinking. The sample size is small and further re-
taneously (Picton, 2009) and mind maps capture the non-linear activ- search is required to detect changes in critical thinking with the use of
ity of midwifery and nursing practice (Kern et al., 2006; Mueller et al., MMCP in comparison to traditional written care plans.
2002). Mind maps can be used to illustrate patient pathways and can
encourage reflection on care (Picton, 2009). They can also simplify in- Future Use
formation which reduces the chances of mistakes occurring
and ultimately helps clients/patients (Picton, 2009). Mueller et al. Bailey and Tuohy (2009) suggest that educators must consider
(2002) joined mind mapping and care planning to enhance student modes of assessment that take cognizance of students’ learning re-
critical thinking and to promote a holistic view of the patient. They quirements and preferences for assessment and that support and
found that mind-mapped care plans encouraged students to look at guidance for any new form of assessment is essential. Further prepa-
and visually illustrate the “whole” picture of the client and suggest ratory work is required to assist the students develop more compre-
that this activity enhances thinking skills such as critical thinking hensive mind maps. It is important that as educationalists we look
and client focused thinking. Mollberg et al. (2011) hypothesised at the demands we are making upon students and that we provide
that mind mapping may be a valuable tool for physicians to use to them with support. Practice is required for the memory system to
understand and potentially guide decision making and research in be effective. The assignment was used to assess a small group of stu-
the diagnosis and management of lung cancer and ultimately help dents (20) and consideration would have to be given to the efficacy of
patients in various aspects of lung cancer diagnosis and treatment. using this type of assessment with larger groups.
Michelini (2000) implemented mind maps as a teaching and an eval- Marking criteria specific to a mind map assessment and grading
uation strategy in home care to teach and assess patient and staff bands need to be developed. Currently there are no valid or reliable
understanding of key concepts. Michelini (2000) suggests that mind rubrics available to grade mind maps (D'Antoni et al., 2009). D'Antoni
maps help clarify essential points and illustrate interactions among et al. (2009) adapted a scoring system used to grade concept maps
key concepts and that this teaching strategy can be used to improve and formed the mind map assessment rubric (MMAR). The MMAR
patient outcomes (Table 1). assesses the quality of student mind maps using the concept mapping
assessment (CMA) system. The MMAR consists of the following 7
Student Evaluation of the Use of Mind Maps for the Assignment variables: concept-links, cross-links, hierarchies, examples, invalid com-
ponents, pictures and colours. The MMAR was found to have high reli-
Twenty midwifery students were asked to comment on the use of ability (ICC .86) and is available online at http://www.biomedcentral.
mind maps for their assignment in an end of module evaluation. The com/content/supplementary/1472-6920-9-19-S1.doc.
evaluation form consisted of open ended questions aimed at obtain- For maximum success mind maps need to be integrated through-
ing students’ thoughts on using mind maps as part of their assess- out a curriculum from study skills to their use in assignments. There
ment for the module. Some students saw the benefit of the use of is a plan to incorporate mind maps into learning and assessment
mind maps and felt that it focused their learning and ‘got them think- strategies for the coming year. The possibility of acquiring software
ing’, provided them with a ‘clearer view’ of the topic and they felt that packages that have been developed to organise mind maps will also
they learned a lot and enjoyed completing the mind maps. The maps be considered. It is hoped that some students may continue to use
helped them to visualise the information and this assisted them to mind maps in education and practice.
remember key points reviewed. Buzan and Buzan (2010) identify im-
ages as an important aspect of the mind maps because people primar- Conclusion
ily think with images and their associations. Other students found the
mind maps time consuming and expressed a preference for the tradi- The goal of assessments should be to focus students learning
tional essay type assignment. Students who traditionally have been towards important aspects of a module that are essential for practice.
educated to complete course work using essay type answers will Race and Pickford (2007) suggest that if we want to influence
852 M. Noonan / Nurse Education Today 33 (2013) 847–852

learning we need to consider carefully our assessment strategies. The Fleming, V., Holmes, A., 2005. Basic nursing and midwifery education programmes in Eu-
rope. A report to the World Health Organisation Regional Office for Europe. WHO.
incorporation of mind maps into an assessment strategy offers an op- Huxham, M., 2010. The medium makes the message: effects of cues on students’ lecture
portunity to develop students understanding, memory and may go notes. Active Learning in Higher Education 11, 179. doi:10.1177/1469787410379681.
one step further in providing our future practitioners with a strategy Jenkins, A., 2005. Mind mapping. Nursing Standard 20 (7), 85.
Kern, C.S., Bush, K.L., McCleish, J.M., 2006. Mind-Mapped Care Plans: Integrating an
for lifelong learning. Studies exploring the relationship between mind Innovative Educational Tool as an Alternative to Traditional Care Plans. Journal of
mapping, critical thinking and long term recall of information are re- Nursing Education 45 (4), 112–119.
quired to support the use of mind mapping in medical education Michelini, C.A., 2000. Mind Map: A New Way to Teach Patients and Staff. Home Health-
care Nurse 18 (5), 318–322.
(D'Antoni et al., 2010; Zipp et al., 2009) and this is also true for mid- Mangena, A., Chabeli, M.M., 2005. Strategies to overcome obstacles in the facilitation of
wifery and nursing education. critical thinking in nursing education. Nurse Education Today 25, 291–298.
Mollberg, N., Surati, M., Demchuk, C., Fathi, R., Salama, A.K., Husain, A.N., Hensing, T.,
Salgia, R., 2011. Mind-Mapping for Lung Cancer: Towards a Personalised Therapeu-
References tics Approach. Advances in Therapy 28 (3). doi:10.1007/s12325-010-0103-9.
Mueller, A., Johnston, M., Bligh, D., 2002. Joining Mind Mapping and Care Planning to
Aveyard, H., 2010. Doing a Literature Review in Health and Social Care A practical Enhance Student Critical Thinking and Achieve Holistic Nursing Care. Nursing
Guide, 2nd ed. Open University Press Mc Graw Hill, Berkshire. Diagnosis 13 (1), 24–27.
Bailey, M.E., Tuohy, D., 2009. Student nurses' experiences of using a learning contract as Picton, C., 2009. Editorial Mind Maps: reflecting on nature. Emergency Nurse 17 (2), 3.
a method of assessment. Nurse Education Today 29, 758–762. Popil, I., 2011. Promotion of critical thinking by using case studies as teaching method.
Bligh, D.A., 1998. What's the Use of Lectures? second edn. Intellect, Exeter. Nurse Education Today 31, 204–207.
Boley, D.A., 2008. Use of premade mind maps to enhance simulation learning. Nurse Race, P., Pickford, R., 2007. Making Teaching Work ‘teaching smarter’ in post-compulsory
Educator 33 (5), 220–223. education. Sage, London.
Burgess-Allen, J., Owen-Smith, V., 2010. Using mind mapping techniques for rapid Rust, 2002. The Impact of Assessment on Student Learning : How Can the Research
qualitative data analysis in public participation processes. Health Expectations Literature Practically Help to Inform the Development of Departmental Assess-
13, 406–415. ment Strategies and Learner-Centred Assessment Practices? Active Learning in
Buzan, T., 2003. Use your Memory. BBC Active, Edinburgh. Higher Education 3, 145. doi:10.1177/1469787402003002004.
Buzan, T., 2010. Mind maps for pre and post assessment. ThinkBuzan.com2010accessed Sand-Jecklin, K., 2007. The impact of active/cooperative instruction on beginning nursing
05/07/2011. student learning strategy preference. Nurse Education Today 27, 474–480.
Buzan, T., Buzan, B., 2003. The Mind Map Book. BBC Books, London. Tattersall, C., Powell, J., Stroud, J., 2011. Mind mapping in qualitative research. Nursing
Buzan, T., Buzan, B., 2010. The Mind Map Book Unlock your creativity, boost your memory, Times 107, 18. 20–22.
change your life. Pearson, Harlow. Tattersall, C., Watts, A., Vernon, S., 2007. Mind mapping as a tool in qualitative research.
Crowe, M., Sheppard, L., 2011. Mind mapping research methods. Quality and Quantity. Nursing Times 103 (26), 32-22.
doi:10.1007/s11135-011-9463-8. Wellard, S.J., Bethune, E., Heggen, K., 2007. Assessment of learning in contemporary
Davies, M., 2010. Concept mapping, mind mapping and argument mapping: what are nurse education: Do we need standardised examination for nurse registration?
the differences and do they matter? Higher Education. doi:10.1007/s10734-010- Nurse Education Today 27, 68–72.
9387-6. Wickramasinghe, A., Widanapathirana, N., Kuruppu, O., Liyanage, I., Karunathilake, I.,
D'Antoni, A.V., Pinto Zipp, G., Olson, V.G., 2009. Interrater reliability of the mind map 2007. Effectiveness of mind maps as a learning tool for medical students. South
assessment rubric in a cohort of medical students. BMC Medical Education 9, 19. East Asian Journal of Medical Education Inaugural Issue 1, 30–32.
doi:10.1186/1472-6920-9-19. Worrell, J.A., Profetto-McGrath, J., 2007. Critical thinking as an outcome of context-
D'Antoni, A.V., Pinto Zipp, G., Olson, V.G., Cahill, T.F., 2010. Does the mind map learning based learning among post RN students: A literature review. Nurse Education
strategy facilitate information retrieval and critical thinking in medical students? Today 27, 420–426.
BMC Medical Education 10, 61. http://www.biomedcentral.com/1492-6920/10/61. Zipp, P.G., Maher, C., D'Antoni, A.V., 2009. Mind Maps: Useful Schematic Tool For Orga-
Farrand, P., Hussain, F., Hennessy, E., 2002. The efficacy of the ‘mind map’ study tech- nising And Integrating Concepts Of Complex Patient Care In The Clinic And Class-
nique. Medical Education 36, 426–431. room. Journal of College Teaching and Learning 6 (2), 59–68.
Studiu original J.M.B. nr. 2 - 2018

The Effect of the Critical Thinking Disposition of Critical Thinking


Education in Midwifery Students

Belgin Yildirim1, Şükran Özkahraman-Koç2


1
Adnan Menderes University, Nursing Faculty, Aydin, Turkey,
2
Süleyman Demirel University, Faculty of Health Science, Isparta, Turkey,
Correspondent author: Belgin Yıldırım, email byildirim@adu.edu.tr

Abstract:
Aim: The aim of this “non-matched control group, time-serial designed” research is to implement an
education program for defining and advancing the ability for disposition based critical thinking of midwifery
students.
Method: The population of the study consisted of 64 4th class midwifery students studying at a
university in Turkey. The sample size was 46 students who volunteered to participate in the study. An
education program was conducted in 15 weeks with 11 units, every unit consisting of theoretical knowledge,
scenario studies, exercises, and homework in the content of the clinical course. For data collection, the
Socio-demographic Features Data Form and the California Critical Thinking Disposition Inventory (CCTDI)
were used. The midwifery students kept reflective critical thinking course notes for each clinical day
throughout the semester.
Results: The mean scores for the midwifery students were 202.60±14.23 on the pre-test and
233.86±19.84 on the post-test. The pre-test critical thinking dispositions of the students in the pre-test and
post-test were significantly different (p<0.05).
Conclusion: It is concluded that to improve students’ critical thinking disposition, the course was
helpful. To improve students’ critical thinking disposition regarding theoretical knowledge, scenario studies,
exercises, and homework is suggested.
Key-words: Critical thinking, critical thinking education, midwifery students

Introduction practice their thinking and decision making skills


Critical thinking is a contemporary within a clinical scenario [30, 31]. The emphasis
concept with an ancient history. Socrates on critical thinking, thinking in midwifery
facilitated his students’ learning by directing education is based on the assumption that nurses
their thinking through a series of questions and use critical thinking when solving problems,
dialogues. This process, called Socratic priorities making decisions and making decisions.
Reasoning, was recognized by some In thinking and critical thinking, there are plural
intellectuals such as St. Augustine, Kant, established definition of critical thinking and
Voltaire, John Stuart Mill, William Graham thinking; several authors, theorists have stated
Summer, John Dewey, and Bloom as a superior their own or quoted another’s definition of critical
method of learning. Many educators today, thinking in their work. Dewey (1933) described
however, have continued to use primarily the critical thinking [7] Facione and Facione (1996)
lecture method of teaching [2, 19, 20, 21, 22]. described [12] Alfaro-LeFevre (2004) defined the
Midwifery education have put down wider range [1].
accent on thinking and critical thinking as an One goal of midwifery education is to
answer to the need for leisure problem solving advance the development and enhancement of
and decision-making in the clinical setting. critical thinking disposition, skills. Faculty
As midwifery education has emphasized evaluates the curriculum content and includes
critical thinking, newer teaching methods have strategies that facilitate cognitive development
evolved to promote critical thinking about and an attitude of inquiry while developing a
midwifery concepts and content. Examples broad knowledge base. Therefore, midwifery
include nursing textbooks with critical thinking educators need to develop and implement a
questions and activities, as well as computer- curriculum that promotes meaningful learning
assisted instruction, which allows students to instead of rote learning of facts.
14
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018

Methods transform this inventory into a Turkish version


Study Design: The aim of this „non- because of cultural concerns. Finally, 51 items
matched control group, time-serial designed” with six constructs were kept in the scale. The
research is to implement an education program reliability of the whole scale was .75 in the pre-
for defining and advancing ability in the skill- test and .87 in the post-test [15].
based critical thinking of midwifery students. Sociodemographic data and academic
Question: Does the use of the clinical achievement scores of the students were
course in midwifery education improve the calculated. Students were determined to have a
critical thinking of students? significant difference between the CCTDI scale
Population and Sample: The number of and subscale scores. Data were analyzed using
students in the universe was 64. The sample of numbers, percentages, arithmetic averages, and
the study consisted of 46 volunteered students. t-tests. The research was approved by the school
Disposition and skill-based critical thinking administration. The aim of the research was
education was conducted in 15 weeks with 11 explained to the students comprising the sample.
units. Each unit included theoretical knowledge, Verbal consent was obtained from the students.
exercises, case studies, assignments given in the The principles of volunteering related to
content of the clinical course. participation in research were emphasized.
Data Collection: Sociodemographic
characteristics will include data history, number Results
of siblings, income status and history of parent Table 1 gives socio-demographic
education (Table 1). characteristics. These; age mean, number of
Inventory: CCTDI original scale contains siblings, education level of parents, and
75 items loaded on seven structures. Kökdemir perceived income level.
(2003) carried out an adaptation study to

Characteristics Number %*
Age Mean 21.78±1.05
Number of Siblings
A Sibling 18 39.1
Two Siblings 11 23.9
Three Siblings 12 26.1
Four and more siblings 5 10.9
Mother Education Level
Illiterate 17 36,9
Primary Education 23 50.0
High School 6 13.1
Father Education Level
Illiterate 7 15.2
Primary Education 20 43.5
High School 10 21.7
University 9 19.6
Perceived Income
Low 12 26.1
Medium 34 73.9
Total 46 100.0
*Column Percentage
Table 1. Distribution of socio-demographic characteristics of students (n=46)

15
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018

As a result of the study, pre-test avarage pre-test score of the systematicity subscale was
202.60 ± 14.23 post-test average 233.86 ± 20.36 ± 4.77 and the post-test score was 21.71 ±
19.84. There is a difference between the average 2.13. The pre-test score of the analytical
scores of the students before and after the subscale was 51.50 ± 5.73 and the post-test
training (p<0.05) (Table 2). Tests scores of the score was 57.86 ± 5.53 (Table 2).
students are low (239 points and below). The
Scale Pretest Posttest t* P
X ± SD X ± SD
Truth-seeking 26.04 3.86 30.39 3.86 -5.38 p<0.05
Open mindedness 43.02 4.60 48.78 6.29 -4.39 p<0.05
Analyticity 51.50 5.73 57.86 5.53 -5.26 p<0.05
Systematicity 20.36 4.77 21.71 2.13 -2.38 p<0.05
Self-confidence 27.65 4.77 33.63 4.61 -5.49 p<0.05
İnquisitiveness, 33.47 6.02 40.52 5.51 -7.57 p<0.05
Total 202.60 14.23 233.86 19.84 -10.22 p<0.05
*Parried samples t test
Table 2. Students’ distribution of pretest posttest CCTDI scores

There was an important difference in these 32]. There was a statistically significant difference
subscales before and after the training (p<0.05). in the mean scores between pre- and post-
There was no statistically significant difference education in this subscale (p <0.05). In
between clinical course scores and achievement experimental studies conducted abroad, students'
scores of the students (p>0.05). The pre-intervention scores were found to be low.
demographic characteristics of the students did Post-intervention scores were moderate [9, 23].
not change the mean scores of the scale and the The fact that the students had scores at a low level
mean of the subscale scores (p>0.05). in the pre-test of studies conducted abroad and
that the scores increased in the post-test, resulting
Discussion in a statistically significant difference, is
The research, tests scores of the students compatible with the results of this study. Although
are low (Table 2). The outcome of the the students had low-level scores in this subscale
researches canalize in Turkey and abroad related and the students had low-level scores in the post-
to critical thinking revealed that the critical test in the findings of this study, an increase in
thinking levels of university students were at their scores and the presence of a statistically
low and medium levels, whereas there occurred significant difference were the contributions of the
a significant increase in the critical thinking clinical course to this subscale. “Truth-seeking”
levels of students who had a course and some projects the disposition of evaluating different
training to develop their critical thinking [4, 5, ideas or alternatives. In line with this result in the
6, 8, 9, 10, 11, 14, 15, 16, 17, 30, 32]. study, it may be suggested to arrange the re-
The “truth-seeking” subscale score of the contents of clinical applications and courses.
students was 26.04±3.86 (low level) in the pre-test In the “open-mindedness” subscale, the
and 30.39±3.86 (low level) in the post-test. In pre-test score of the students was 43.02±4.60
descriptive studies conducted on nursing and (medium level), and the score was 48.78±6.29
midwifery students in Turkey, it was determined (close to high level) in the post-test. In Turkey,
that the lowest score was 26.11±5.2 and the where students work on points in mid-level, and
highest score was 44.0±7.0 could not provide have been shown in studies abroad, they receive
experimental data for they did not evaluate the points for low and medium level [3, 8, 27, 29].
subscales. Descriptive studies conducted on In the experimental studies conducted abroad,
students abroad observed that they had the students had scores at a low level in the pre-
30.12±4.06, at the lowest, and 37.60±6.90, at the intervention and at a medium level in the post-
highest, at low levels in this subscale [16, 17, 26, intervention, and as a result, the critical thinking
16
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018

trainings were determined to have contributed to at the medium level after the conference; and
this subscale [9, 23, 24]. In the experimental Pıtts (2001) found that they scored 40.65±5.88
studies conducted abroad, the students had at a medium level in the pre-intervention and
scores at a medium level in the pre-intervention scored 46.78±6.58 at a medium level in the
and at a high level in the post-intervention, and post-intervention and determined a statistically
as a result, the critical thinking trainings were significant difference between them [9, 10, 23].
determined to have contributed to this subscale The above-mentioned international experi-
[30]. There was a statistically significant mental studies demonstrated an increase in the
difference in this subscale before and after the scores of students in the pre-intervention and
training (p<0.05) (Table 2). The fact that the post-intervention and a statistically significant
students had scores at a medium level in the pre- difference between them. Moreover, the
test in this study suggested the contribution of “analyticity” subscale expresses the disposition
the education system, whereas the fact that the of paying attention to the situations that can
students had scores close to a high level in the potentially create problems and reasoning and
post-test suggested the contribution of the using objective evidence even against difficult
“clinical course” to this subscale. The “open- problems. The reason why the students in the
mindedness” subscale expresses a person’s study had scores at the high level in this
tolerance towards different opinions and his subscale was that the subjects discussed in the
sensitivity to his own mistakes. The basic logic education system were supported by
in open-mindedness is a person’s taking not applications and laboratories, the subjects were
only his own ideas but also others’ views and presented to the students from a healthy
ideas into consideration while making a individual to an unhealthy individual in a logical
decision. We are advised on the development of chain, and sample cases were given in the
the features of this subscale in the scenario and subjects, which the students were asked to
the exercises, taking into account the course, solve. An increase in the scores of the students
clinical course and course of critical thinking. in the post-test resulted from works, exercises
In the „analyticity” subscale, the score of and homework, which were given depending on
the students was 51.50±5.73 (high level) in the the theoretical information in the clinical course
pre-test and 57.86±5.53 (high level) in the post- and further developed this subscale.
test. Turkey has been seen in studies of students In the “systematicity” subscale, the score
in middle and high scores they receive from of the students was 20.36±4.77 (low level) in
these subscales. In the studies conducted the pre-test and 21.71±2.13 (low level) in the
abroad, it was found that they received low and post-test. It was observed in studies conducted
intermediate scores [3, 8, 13, 16, 17, 18, 24, 25, in Turkey and abroad that the students had
26, 27, 28, 32]. In experimental studies scores at low and medium levels in this subscale
conducted abroad on nursing students for [35, 36, 45, 48]. While Yıldırım and Özsoy 2011
developing critical thinking disposition and determined that the students had scores at a low
skill, Yıldırım & Özsoy 2011 noted that the level at the beginning and end of the term and
experimental group students had a pre-test score that there was a statistically significant
of 52.05±6.05 and a 61.33±1.97 post-test score difference between the groups (p<0.05),
[30]. A statistically significant difference was Duphorne (2000) found that they had scores at a
determined between the experimental and low level before the conference and at a
control groups in the score means of this medium level after the conference [9, 30]. The
subscale in the post-test (p<0.001). Evancho “systematicity” subscale is the disposition of
(2000) found no statistically significant using a decision-making strategy that is based
difference between the those who had a score of on information and that follows a certain
43.91±40.60 at the beginning of the term and a procedure instead of both an organized, planned
score of 44.46±17.30 at the end of the term at and careful investigation and considering
the medium level; Duphorne (2000) found they different views and using complex reasoning. In
had a score of 37.37±4.97 at the low level the clinical course, it may be suggested that
before the conference and a score of 43.51±6.16 students should be rearranged in order to

17
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018

improve their critical thinking by considering grade point averages did not affect the total
these sub-dimension characteristics. scores and sub scores averages of the students
In the “self-confidence” subscale, the score (p>0.05). Academic achievement grade does not
of the students was 27.65±4.77 (low level) in the affect the scale score in domestic and foreign
pre-test and 33.63±4.61 (low level) in the post- research [9, 10, 15, 23, 30].
test. In our country studies, the lowest is 27.49 ± Socio-demographic characteristics of the
5.36 and the highest is 43.4 ± 6.10 [27, 29]. The students in studies in Turkey have been not
score obtained from this subscale; It is similar to found affect total score mean and the subscale
the work done on this issue in Turkey. There was score means [5, 30, 32]. Working our result was
a statistically significant difference in the mean found to be in parallel with the results of
scores between pre- and post-education in this research conducted in Turkey.
subscale (p <0.05). Yıldırım and Özsoy 2011
determined that the students had scores at a low Conclusion and Recommendations
level before and after the intervention; Pıtts However, the final test score of the
(2001) determined that the students had scores at students was higher than the first test score.
the medium level before and after the Therefore; it is thought that the education
intervention [23, 30]. They also determined that contributed to the students' critical thinking. The
there was a statistically significant difference clinical course did not affect the students'
between them. Although the students’ scores academic achievement. The socio-demographic
were at the same level in the pre-intervention and characteristics of the students did not change the
post-intervention in the experimental studies mean scores of the scale and the mean of the
conducted abroad, it was observed that there was subscale scores. It was observed that the
an increase in the students’ scores. Even though education made by the research contributed to
the CCTDI pre-test and post-test scores were at a the study. It can be said that students' critical
low level in the findings of this study and proves thinking skills can be improved by new
that they have to be developed, a 6 point increase regulations.
for the students showed the contribution of the
clinical course to this subscale. Students' self- Limitations of the study
confidence features were developed. Considering The results obtained in this study can be
the characteristics of this subscale, the generalised only to its sample and are limited by
curriculum may be reviewed again. the scope of the scales used.
In the “inquisitiveness” subscale, the score Acknowledgements
of the students was 33.47±6.02 (low level) in The authors thank the midwifery students
the pre-test and 40.52±5.51 (medium level) in who agreed to participate in this study.
the post-test. Students' scores; Şenturan (2008) Sources of funding
reported a low level of 39.31 ± 6.81; Topçu and None.
Beşer (2005) found an average of 48.65 ± 5.8 Conflicts of interest
[27, 29]. Yıldırım and Özsoy 2011 determined The authors have no conflicts of interest
that the students had scores at a low level in the relevant to this article.
pre-test and a medium level in the post-test; Authors’ contributions
Pıtts (2001) determined that they had scores at a Concept: Belgin Yıldırım, Design: Belgin
medium level in the pre-intervention and at a Yıldırım, Şükran Özkahraman-Koç, Data
high level in the post-intervention [23, 30]. Collection or Processing: Belgin Yıldırım, Analysis
They also found that there was a statistical or Interpretation: Belgin Yıldırım, Şükran
difference. The result shows the contribution of Özkahraman-Koç, Literature Search: Belgin
the clinical course. The “inquisitiveness” Yıldırım, Şükran Özkahraman-Koç, Writing:
subscale shows the disposition of a person in Belgin Yıldırım, Şükran Özkahraman-Koç.
obtaining information and learning new things
without any expectations of gain. Development References:
in the students’ inquisitiveness characteristics is 1. Alfevro-Lefevre R. Critical thinking and clinical
an indicator of the study’s success. The students' judgement: A practical approach 3rd ed.
Phidelphia: W.B. Saunders. 2004
18
Studiu Original J.M.B. nr. 2 - 2018

2. Beck SE, Bennett A, McLeod R, Molyneaux D. Master thesis. Sivas: Cumhuriyet University
Review of research on critical thinking in Health Sciences Institute. 2006.
nursing education. Review of Research in 18. Öztürk C, Karayağız G. The effect of different
Nursing Education. 1992; 5(1): 1-30. educational models on critical thinking skills of
3. Beşer A, Utku M. Determining the critical student nurses. II. Active Training Conference,
thinking tendencies of nursing and engineering DEÜ Publications. İzmir. 2005.
students, II Active Training Conference. DEU 19. Paul RW. Critical thinking: New global
Publications. İzmir. 2005. ımperative. Critical Thinking. 1993; 1(2): 3.
4. Bourdieu P. A social critigue of the judgement of 20. Paul RW. Critical thinking: What every person
taste. Routledge Pres. 1996; 114-122. needs to survive ın a rapidly changing world.
5. Comella TM. The use of clinical journals as a A.J.A. Binker (Eds.). CA. The Foundation For
teaching method to ıncrease critical thinking in Critical Thinking. Santa Rosa. 1992.
second year associate degree nursing students. 21. Paul RW. The critical thinking movement: A
Master thesis. USA: The Graduate School of historical perspective. Phi Kappa Phi Journal,
The University of Wyoming. 1997. 1985; 65(1): 2-3
6. Cotton, K. Teaching thinking skills. Available 22. Paul RW, Adamson KR. The evolution of the
from: http://www.nwrel.org/scpd/sirs/6/cull.html. critical thinking movement: Sonoma’s. Social
7. Dewey J .How we think: A restatement of the Studies Review. 1990; 29(3): 7-10.
relation of reflective thinking to the educative 23. Pıtts LN. Critical thinking skill and disposition
process. Boston.1933. as predictors of success in assocıate degree
8. Dirimeşe E. Examining the critical thinking nursing education. Florida University. 2001.
tendencies of nurses and student nurses. Master 24. Sternberg RJ. Critical thinking: Its nature,
thesis. İzmir: Dokuz Eylül University Health measurement and ımprovement. U.S.
Sciences Institute Surgical Nursing. 2006. department of education, national ınstitute of
9. Duphorne PO. The effect of three computer education. Washington D.C.1986.
conferencing designs on critical thinking skills of 25. Sevil Ü, Ertem G, Bulut S. Investigation of
nursing students at a distance. PhD thesis. New critical thinking levels of nursing students of
Mexico: The University of New Mexico. 2000. health college of Ege University. 3. International
10. Evancho SR. Critical thinking skills and 10 National Nursing Congress. İzmir (2005).
dispositions of the undergraduate baccalaureate 26. Shin K, Jung DY, Shin S, Kim MS. Critical
nursing students. Master thesis. Connecticut. 2000. thinking dispositions and skills of senior nursing
11. Evcen D. Watson-Glaser critical reasoning test students in associate, baccalaureate and RN-
(Form S), Turkish adaptation study. [Master to_BSN programs. Journal of Nursing
thesis]. Ankara University Institute of Education, 2006; 45(6):233-237.
Educational Sciences, Ankara, 2002. 27. Şenturan L, Alpar ŞE. Critical thinking in
12. Facione NC, Facione PA. Externalising the critical nursing students. Cumhuriyet University Journal
thinking in knowledge development and clinical of School of Nursing. 2008; 12(1):22-30.
judgment. Nursing Outlook. 1996; 44: 129-136. 28. Tiwari A, Avery A, Lai P. Critical thinking
13. Ip WY, Lee D, Lee I, Chau JPC, Wootton YSY, disposition of Hong Kong Chinese and
Chang AM. Disposition towards critical Australian nursing students. Journal of
thinking: A study of chinese undergraduate Advanced Nursing. 2003; 44(3):298-307.
nursing students. Journal of Advanced Nursing, 29. Topçu S, Beşer A. Investigation of critical thinking
2000; 32(1):84-90. dispositions of Nine September University
14. Kaya H. Critical reasoning power in university Nursing School students. II Active Training
students. PhD thesis. İstanbul: İstanbul Conference DEÜ Publications. İzmir. 2005.
University Health Sciences Institute. 1998. 30. Yıldırım B, Özsoy SA Nursing student the
15. Kökdemir D. Decision making and problem critical thinking development of the critical
solving in uncertain situations. PhD thesis. thinking. HealthMED. 2011; 5(4): 846-856.
Ankara: Ankara University Social Sciences 31. Yıldırım B, Özkahraman Ş. Critical thinking and
Institute. 2003. education in nursing. Maltepe University Journal
16. McGrath JP. The relationship of thinking skills of Nursing Science and Art. 2011; 4(1): 155-160.
and critical thinking dispositions of baccalaurate 32. Zaybak A, Khorshid L. Investigation of critical
nursing students. Journal of Advanced Nursing, thinking levels of nursing school students in Ege
2003; 43(6): 569-577. University. Journal School Nursing of Ege
17. Öztürk N. Critical thinking levels of nursing University. 2006; 22(2):137-146.
students and factors affecting critical thinking.
19
Strides Dev Med Educ. 2018 December; 15(1):e84987. doi: 10.5812/sdme.84987.

Published online 2018 October 31. Research Article

The Relationship Between Critical Thinking Disposition and


Self-Esteem in Midwifery Students
Farzaneh Rashidi Fakari 1 , Mahin Tafazoli 2, * and Salmeh Dadgar 3
1
Students Research Committee, School of Nursing and Midwifery, Shahid Beheshti University of Medical Sciences, Tehran, Iran
2
Department of Midwifery, School of Nursing and Midwifery, Mashhad University of Medical Sciences, Mashhad, Iran
3
Department of Obstetrics and Gynecology, School of Medicine, Mashhad University of Medical Sciences, Mashhad, Iran
*
Corresponding author: Instructor, Department of Midwifery, School of Nursing and Midwifery, Mashhad University of Medical Sciences, Mashhad, Iran. Email:
tafazolim@mums.ac.ir

Received 2017 June 11; Revised 2017 December 26; Accepted 2017 December 31.

Abstract

Background: Students’ personal characteristics are among the factors influencing the development of their critical thinking. Self-
esteem is a normal influencing personality trait. Self-esteem affects all the aspects of individuals’ lives including the way of their
thinking and performance.
Objectives: Therefore, the current study aimed to determine the relationship between critical thinking disposition and self-esteem
in the midwifery students of Mashhad University of Medical Sciences in 2014.
Methods: This cross sectional study was carried out on all bachelor students (N = 53) of the Mashhad Nursing and Midwifery Faculty.
Data were collected through a personal information form, the Rosenberg’s self-esteem questionnaire, and the California critical
thinking disposition questionnaire. The collected data were analyzed in SPSS through descriptive statistical methods and a Pearson
correlation coefficient test.
Results: The vast majority of students (62.26%) had an unsteady critical thinking disposition. However, 84.90% of them had a mod-
erate level of self-esteem. Pearson correlation test showed no significant relationship between critical thinking disposition and
self-esteem (P > 0.05).
Conclusions: According to the study results, the vast majority of the study cases had a moderate level of self-esteem with an un-
steady critical thinking disposition. There was no significant relationship between critical thinking disposition and self-esteem in
the studied midwifery students.

Keywords: Self Esteem, Critical Thinking, Midwife

1. Background a criterion based on which a judgment is founded. It is


composed of two aspects: Skill and disposition. Skill con-
Midwifery is a functional profession (1) where clini- centrates on cognitive strategies while disposition empha-
cal training constitutes the main part of the undergradu- sizes the perceptual components of thinking, as well as in-
ate midwifery training. The aim of clinical training is to herently sustainable motivations for problem-solving (6,
teach how to use theoretical issues in clinical situations 7). Relying on critical thinking, one should be equipped
and provide an opportunity to institutionalize the role of with this skill against problems. Without a positive dis-
a midwife in midwifery students. Nevertheless, theoreti- position toward critical thinking (the emotional aspect),
cal training is not always manifested in students’ perfor- this type of thinking will not be realized (8). The study by
mance (2) so that in real clinical situations, they are con- Rochester et al. on graduated midwifery students in Sidney
fused and cannot fulfill the task of the patient care (3). As showed that the students lacked the necessary capabilities
individuals who enter medical care systems in the near in real work conditions and faced problems (9). The per-
future, midwifery students should have decision-making sonal characteristics of students are among the essential
and problem-solving skills. The skills are under the influ- factors affecting the development of critical thinking (8).
ence of critical thinking (4, 5).
Critical thinking is a targeted, judgmental, and essen- Self-esteem is an influencing normal personal charac-
tial process that is necessary for the growth and evolu- teristic (10). The extent of self-esteem affects all the as-
tion of any society and organization. However, it includes pects of individuals’ lives including the way of their think-

Copyright © 2018, Strides in Development of Medical Education. This is an open-access article distributed under the terms of the Creative Commons
Attribution-NonCommercial 4.0 International License (http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/) which permits copy and redistribute the material just in
noncommercial usages, provided the original work is properly cited.
Rashidi Fakari F et al.

ing and performance (11). Barkhordari et al. showed that below 15 indicated a high, moderate, and a low level of self-
there was a significant positive relationship between crit- esteem, respectively (8, 15). The content validity of the ques-
ical thinking disposition and self-esteem (8) while a study tionnaires was confirmed in different studies and its relia-
by Iranfar et al. showed that there was a significant nega- bility was confirmed using Cronbach’s alpha (alpha = 0.89)
tive relationship between critical thinking disposition and (8, 15, 16).
self-esteem (12). The results of Abasi et al. on medical stu- The California critical thinking disposition question-
dents showed that there was a direct positive correlation naire included 75 questions. A Likert six-point scale was
between critical thinking and self-esteem (13). A study on used to score the questions (completely disagree, disagree
nursing students concluded that the tendency to critical to some extent, disagree, agree, agree to some extent, and
thinking was low and a positive relationship was observed completely agree). A point between 1 and 6 was allocated
between the tendency to critical thinking and self-esteem to the questions in accordance with the instruction man-
(14). ual of the questionnaire.
The questions were divided into seven subscales of
truth-seeking (12 questions), exceptionable (12 questions),
2. Objectives analytic power (11 questions), data organization power (11
questions), self-confidence (9 questions), the extent of ma-
While this is an important subject, there are a few stud- turity (10 questions), and exploration (10 questions).
ies in this area in Iran. Therefore, this study aimed to deter- The minimum and maximum scores of the question-
mine the extent of the relationship between critical think- naire were 70 and 420, respectively. A score above 350, be-
ing disposition and self-esteem in midwifery students of tween 280 and 350, between 211 and 279, and below 210 in-
the nursing and midwifery faculty, Mashhad University of dicated strong and sustainable disposition, positive mod-
Medical Sciences. erate disposition, unsteady disposition, and completely
negative disposition, respectively. The content validity of
the questionnaires was confirmed through different na-
3. Methods tional and international studies and their reliability was
confirmed using the Cronbach’s alpha test (alpha = 0.75)
This cross sectional (descriptive-analytical) study was (6, 17).
carried out on midwifery students of the nursing and mid- Following the approval of the ethics committee of the
wifery faculty, Mashhad University of Medical Sciences, in university, the study objectives were explained to the par-
2014. The census method was used for recruiting the sam- ticipants and the signed written consent forms were col-
ple. The study cases were all undergraduate midwifery stu- lected. The personal information form, Rosenberg’s self-
dents of semesters 3, 5, and 7 (N = 53) in the first half of the esteem questionnaire, and California critical thinking dis-
academic year 2014 - 2015. position questionnaire were filled out by the cases within
The inclusion criterion was the consent for partici- 30 minutes (during their free times). The collected data
pation in the study. Transferred or guest students, stu- were analyzed by SPSS version 16 using descriptive statis-
dents with medical diseases, confirmed mental diseases, tics and Pearson correlation tests. First, the normal distri-
and background of depression, and experiencing impor- bution of quantitative variables was confirmed using the
tant events including relatives’ death, marriage, preg- Kolmogorov-Smirnov test. In all tests, the confidence and
nancy, childbirth, and accidents during the previous three significance levels were set at 95% and 0.05, respectively.
months were excluded from the study.
Data were collected using a personal information
form, the Rosenberg self-esteem questionnaire, and the 4. Results
California critical thinking disposition questionnaire. The
personal information form included demographic infor- The mean age of the study cases was 23.41 (SD = 1.08)
mation like age, residence status, and marital status. years. They had a mean GPA (grade point average) of 16.31
The Rosenberg self-esteem questionnaire included 10 (SD = 1.05). Of the study cases, 63.6% were single and 45.0%
general statements consisting of five sentences with pos- were living in a dormitory. According to the results, the
itive words and five sentences with negative words. Each vast majority of cases (62.26%) had an unsteady critical
question was scored on a four-point scale of completely thinking disposition. However, 84.90% of them had a mod-
agree, agree, disagree, and completely disagree. The score erate level of self-esteem (Table 1).
of each item ranged from 0 to 3 and the highest attainable The mean scores of critical thinking disposition and
total score was 30. The scores over 25, from 15 to 25, and self-esteem were 260.1 ± 38.18 and 16.54 ± 2.34, respectively.

2 Strides Dev Med Educ. 2018; 15(1):e84987.


Rashidi Fakari F et al.

Table 1. The Frequency of Critical Thinking Disposition in the Studied Midwifery Students in Terms of Self-Esteema

Critical Thinking Disposition Moderate Self-Esteem Low Self-Esteem Total Fischer Exact
Test Result
Positive 12 (22.64) 3 (5.66) 15 (28.30)

Unsteady 28 (52.83) 5 (9.43) 33 (62.26) Exact χ2 = 0.728,


Negative 5 (9.43) 0 (0.0) 5 (9.43) P = 0.557, df = 2

Total 45 (84.90) 8 (15.09) 53 (100)


a
Values are expressed as No. (%).

Pearson correlation test showed no significant relation- high self-esteem and eventually when entering the univer-
ship between critical thinking disposition and self-esteem sity, they believe that their actions or thoughts are better
(P > 0.05). There was no significant relationship between and faster than those of others are. This attitude is wrong
personal (age, marital status, and residence status) and ed- and causes these students to ignore the critical principles
ucational variables, on the one hand, and critical thinking of critical thinking that are focused on the ideas and beliefs
disposition and self-esteem, on the other hand (P > 0.05). of others (12). This is while pride varies with self-esteem.
Self-esteem is the satisfaction of one’s self and having a
sense of worthiness. In fact, the level of harmony and prox-
5. Discussion imity is the ideal and the real self in a person (19).
The results of Barkhordary et al. showed that there was
The results of this study revealed that there was no sig- a significant positive relationship between the tendency
nificant relationship between critical thinking disposition toward critical thinking and self-esteem, which the results
and self-esteem in the midwifery students studied. The of these studies are not consistent with the results of the
vast majority of them had a moderate level of self-esteem present study. It is possible that these results indicate that
with an unsteady critical thinking disposition. In various the current curriculum of nursing education does not use
studies, self-esteem has been mentioned as one of the emo- modern methods of teaching and education, which will
tional factors influencing the tendency to critical thinking, lead to the development of this aspect of critical thinking
but the results of this study indicated there is no meaning- in the students, as well as effective and better learning (8).
ful statistical relationship between the tendency to critical The results of the study by Ip et al. (20) showed that the
thinking and self-esteem (8). The tendency to think crit- tendency to critical thinking in most studied students was
ically emphasizes the attitudinal components of internal unstable, and the results of Abasi et al. showed that the ten-
thinking and motivation for problem-solving. Without a dency to critical thinking in the majority (53.3%) of medi-
positive tendency toward critical thinking, the emotional cal students studied was unstable (13), which is consistent
dimension of this type of thinking does not occur or stands with the results of the present study. The results of Sabouri
below the standard level (8). Critical thinking has emo- Kashani et al. on the medical students of Tehran and Mash-
tional components and mental habits (18). Self-esteem is had Universities of Medical Sciences showed that critical
just one of the psychological dimensions that may affect thinking tendency in students was at the positive and in-
critical thinking, and other psychological variables are in- termediate levels (21).
fluenced by various factors (13). The results of the study by Shin et al. showed that the
The results of the study of Iranfar et al. on 289 medical tendency to critical thinking in nursing students was pos-
students in Kermanshah showed that there was a signifi- itive (22), which may be due to differences in academic
cant negative relationship between the tendency toward discipline, academic level, educational environment, and
critical thinking and self-esteem and increased self-esteem teaching methods.
was associated with decreased tendency toward critical Considering that other factors can affect students’ crit-
thinking; the results that are not consistent with the re- ical thinking and self-esteem, it is suggested that further
sults of the current study. Iranfar et al. reported unusual research is conducted in this regard.
findings in their study that the students’ perspective nat-
urally affects their personality. In our country, students
5.1. Conclusion
are working hard to admit to the university, especially in
the field of medicine and certainly, those who are accepted The results of this study revealed that there was no sig-
in this field are clever and hard working. Therefore, it is nificant relationship between critical thinking disposition
not unexpected that they think they are excellent and have and self-esteem in the studied midwifery students. The vast

Strides Dev Med Educ. 2018; 15(1):e84987. 3


Rashidi Fakari F et al.

majority of the studied cases had a moderate level of self- 8. Barkhordary M, Jalalmanesh S, Mahmoodi M. [The relationship be-
esteem and an unsteady critical thinking disposition. Con- tween critical thinking disposition and self esteem in third and forth
year bachelor nursing students]. Iran J Med Educ. 2009;9(1):13–9. Per-
ducting comprehensive studies for identifying the influen-
sian.
tial factors in positive critical thinking disposition is rec- 9. Rochester S, Kilstoff K, Scott G. Learning from success: Improving un-
ommended in order to find solutions for promoting this dergraduate education through understanding the capabilities of
way of thinking. successful nurse graduates. Nurse Educ Today. 2005;25(3):181–8. doi:
10.1016/j.nedt.2004.12.002. [PubMed: 15795020].
10. Zare N, Daneshpajooh F, Amini M, Razeghi M, Fallahzadeh MH.
[The relationship between self-esteem, general health and academic
Supplementary Material
achievement in students of Shiraz University of Medical Sciences].
Iran J Med Educ. 2007;7(1):59–67. Persian.
Supplementary material(s) is available here [To read
11. Barkhordary M. [Comparing critical thinking disposition in baccalau-
supplementary materials, please refer to the journal web- reate nursing students at different grades and its relationship with
site and open PDF/HTML]. state anxiety]. Iran J Med Educ. 2012;11(7):779–88. Persian.
12. Iranfar S, Sepahi V, Khoshay A, Keshavarzi F. The relationship be-
tween critical thinking disposition and self-esteem. Edu Res Med Sci
Acknowledgments J. 2013;2(2):9–14.
13. Abasi P, Sepahi V, Khoshay A, Iranfar S, Timareh M. [Critical thinking
This study was part of a research plan approved on disposition and its relationship with self-esteem in pre-clinical and
September 11, 2014, in Mashhad University of Medical Sci- clinical medical students of Kermanshah University of Medical Sci-
ences]. Iran J Med Educ. 2013;13(6):498–508. Persian.
ences with code no. 900217, sponsored by the Research 14. Suliman WA, Halabi J. Critical thinking, self-esteem, and state anx-
Deputy of the university. We are very thankful to the re- iety of nursing students. Nurse Educ Today. 2007;27(2):162–8. doi:
spectful vice president of Mashhad University of Medical 10.1016/j.nedt.2006.04.008. [PubMed: 16857300].
Sciences and its Research Council for their support. We are 15. Rosenberg M. Society and the adolescent self-image. Rev ed. Middle-
town, CT, England: Wesleyan University Press; 1989.
very thankful to the respectful students who participated 16. Alizadeh T, Farahani MN, Shahraray M, Alizadegan S. [The relation-
in this study, as well as the honorable employees of the ship between self esteem and locus of control with infertility re-
Mashhad Nursing and Midwifery Faculty. lated stress of no related infertile men and women]. J Reprod Infertil.
2005;6(2):194–204. Persian.
17. Yadollahi A, Fata L, Mirzazadeh A, Soltani A. [Predicting academic
References achievement through critical thinking and sociodemographic vari-
ables]. J Med Educ Dev. 2013;6(11):72–8. Persian.
1. Kordi M, Rashidi Fakari F, Khadivzadeh T, Mazloum SR, Akhlaghi 18. Hasanpour M, Mohammadi R, Dabbaghi F, Oskouie S, Yadavar
F, Tara M. The effect of web-based and simulation-based education Nikravesh M, Salsali M, et al. [The need for change in medical sciences
on midwifery students’ self-confidence in postpartum hemorrhage education: A step towards developing critical thinking]. Iran J Nurs.
management. J Midwifery Reproduc Health. 2015;3(1):262–8. 2006;18(44):39–49. Persian.
2. Heshmati Nabavi F, Vanaki Z, Mohammadi E. [Barrier to forming and 19. Raeisoon M, Mohammadi Y, Abdorazaghnejad M, Sharifzadeh G. [An
implementing academic service partnership in nursing: A qualita- investigation of the relationship between self-concept, self-esteem,
tive study]. Iran J Nurs Res. 2010;5(17):32–46. Persian. and academic achievement of students in the nursing-midwifery fac-
3. Delaram M. [Clinical education from the viewpoints of nursing and ulty in Qaen during 2012-13 academic year]. Mod Care J. 2014;11(3):236–
midwifery students in Shahrekord University of Medical Sciences]. 42. Persian.
Iran J Med educ. 2006;6(2):129–32. Persian. 20. Ip WY, Lee DT, Lee IF, Chau JP, Wootton YS, Chang AM. Disposition to-
4. Tafazzoli M, Rashidi Fakari F, Ramazanzadeh M, Sarli A. The relation- wards critical thinking: A study of Chinese undergraduate nursing
ship between critical thinking dispositions and academic achieve- students. J Adv Nurs. 2000;32(1):84–90. [PubMed: 10886438].
ment in Iranian midwifery students. Nurs Pract Today. 2016;2(3):88–93. 21. Sabouri Kashani A, Faal Ostadzar N, Karimi Moonaghi H, Gharib
5. Arfaei K, Soofi-Abadi Z. [Midwifery students, perspectives about M. [Critical thinking dispositions among medical students in two
their motivation for choosing midwifery as a career]. Iran J Nurs. stages: Basic medical sciences and pre-internship]. Iran J Med Educ.
2010;23(67):23–8. Persian. 2013;12(10):778–85. Persian.
6. Facione PA. Critical thinking: What it is and why it counts. San Jose, CA, 22. Shin KR, Lee JH, Ha JY, Kim KH. Critical thinking dispositions in
USA: The California Academic Press; 2013. baccalaureate nursing students. J Adv Nurs. 2006;56(2):182–9. doi:
7. Fonteyn ME, Cahill M. The use of clinical logs to improve nursing stu- 10.1111/j.1365-2648.2006.03995.x. [PubMed: 17018066].
dents’ metacognition: A pilot study. J Adv Nurs. 1998;28(1):149–54. doi:
10.1046/j.1365-2648.1998.00777.x. [PubMed: 9687142].

4 Strides Dev Med Educ. 2018; 15(1):e84987.


Women and Birth 32 (2019) 119–126

Contents lists available at ScienceDirect

Women and Birth


journal homepage: www.elsevier.com/locate/wombi

Developing reflective capacities in midwifery students: Enhancing


learning through reflective writing
Linda Sweeta,* , Janice Bassb , Mary Sidebothamb,c , Jennifer Fenwickb,c,d , Kristen Grahama
a
College of Nursing and Health Science, Flinders University, Australia
b
School of Nursing and Midwifery, Griffith University, Australia
c
Menzies Health Institute Queensland, Australia
d
Gold Coast University Hospital. Maternity, Newborn and Families Research Collaborative, Australia

A R T I C L E I N F O A B S T R A C T

Article history: Background: Practice-based or clinical placements are highly valued for linking theory to practice and
Received 9 January 2018 enabling students to meet graduate outcomes and industry standards. Post-practicum, the period
Received in revised form 17 May 2018 immediately following clinical experiences, is a time when students have an opportunity to share,
Accepted 5 June 2018
compare and engage critically in considering how these experiences impact on their learning. Reflective
practice has merit in facilitating this process.
Keywords: Aim: This project aimed to optimise the learning potential of practice-based experiences by enhancing
Reflection
midwifery students’ capacity for reflective practice through writing.
reflective practice
midwifery education
Methods: Design-based research was used to implement an educational intervention aimed at developing
competence reflective practice skills and enhance reflective writing. The Bass Model of Holistic Reflection was
midwife introduced to promote the development of reflective capacity in midwifery students. Academics and
midwifery students were provided with guidance and resources on how to apply the model to guide
reflective writing. Students’ written reflections completed before (n = 130) and after the introduction of
the intervention (n = 96) were evaluated using a scoring framework designed to assess sequential
development of reflective capacity.
Findings: The pre-intervention scores ranked poorly as evidence of reflective capacity. All scores
improved post-intervention.
Conclusions: The introduction of a holistic structured model of reflection resulted in improved scores
across all five components of reflective writing; self-awareness, sources of knowledge, reflection and
critical reflection, evidence informed practice and critical thinking. While further work is required the
results show that the implementation process and use of the Bass Model enables students to demonstrate
their capacity to reflect-on-practice through their writing.
© 2018 Australian College of Midwives. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.

What is already known


Statement of significance
Reflection is beneficial in supporting learning from
experience, developing critical thinking, enabling integra-
Problem or issue tion of theory and practice, and the generation of
knowledge in practice.
Reflection in and on practice is valuable pedagogy to
augment the educational worth of practice-based experi-
ences, however it has been shown that when writing What this paper adds
‘reflections’, midwifery students often write descriptively
rather than reflectively. The Bass Model of Holistic Reflection gives structure to
guide and enable students to demonstrate their capacity to
reflect on practice through their writing. Implementation
should be supported with resources for academics to
enable them to promote the effective use of the model by
* Corresponding author at: College of Nursing and Health Sciences, Flinders
students.
University, P.O. Box 2100 Adelaide 5001, Australia.
E-mail address: linda.sweet@flinders.edu.au (L. Sweet).

https://doi.org/10.1016/j.wombi.2018.06.004
1871-5192/© 2018 Australian College of Midwives. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.
120 L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126

1. Introduction experience), (2) the affordances provided by the clinical setting


(by individual clinicians and/or the woman herself), (3) the
Midwifery is a practice-based profession. Education and individual engagement of the student, (4) the practical support
preparation for midwifery practice therefore is strongly embedded provided by the education provider, and (5) the post-practicum
in real world practice. Indeed in many higher education courses, activities required to consolidate learning.5,14,17–19 Differences of
practice-based placements are integral for linking propositional this nature can result in highly variable learning experiences for
occupational knowledge, with the requirements for practice, to students.19–21
enable students to meet graduate outcomes.1 In Australia, the In seeking to address possible variations in experiences, Sweet
Australian Nursing and Midwifery Accreditation Council (ANMAC) and Glover5 argued that there were ‘teaching’ activities that could
regulates the educational requirements of programs that lead to be intentionally enacted to support students, promote agency and
registration as a midwife.2 These standards mandate that maximise learning before, during, and after the COCE had occurred.
education providers be required to incorporate learning activities The central feature of these teaching activities was the ability and
into curricula that encourage the development and application of capacity of the student to reflect in and on practice.5 Indeed, as
critical thinking and reflective practice.2 Therefore, the pedagogi- presented above, being a reflective practitioner is a core compe-
cal instructional activities designed to develop reflective capacities tence for midwifery practice, and as such needs to be integrated
represent a very important consideration. into midwifery curricular and the COCE. Therefore, reflection and
Midwifery education in Australia has a mix of traditional reflective writing has merit in facilitating this process.
placements models in maternity services, and Continuity of Care Reflection is beneficial in supporting learning from experience,9
Experiences (COCE), whereby the students follow women through developing critical thinking,7 enabling integration of theory and
their maternity experience. A COCE refers to an ongoing midwifery practice,22 and for the generation of knowledge in practice.12
relationship between a student and a woman from initial contact in Reflective practice is an essential component of one’s personal and
pregnancy, through to the first six weeks immediately after birth, and professional development as a midwife,23 and learning to
occurs across the interface of community and health care settings.2 undertake critical reflection on practice is considered the
COCE are authentic and pedagogically rich learning experiences.3 cornerstone of being an accountable and autonomous practition-
Reflecting in and on practice is valuable pedagogy to augment the er.2 Reflection is therefore a significant post-practicum activity to
educational worth of COCE, but often midwifery students write enhance learning.
descriptively rather than reflectively.4,5 The Bass Model of Holistic
Reflection was developed to guide the development of critical 3. The research project
reflection and reflexivity with the intent to promote transformative
learning within entry to practice midwifery programs.6 The model is The broad aim of the project was to explore and enhance
informed by the literature7–13 and provides students with a reflection through reflective writing as a mechanism to augment
structured approach on how to reflect in and on practice, moving post-practicum experiences. We were concerned with under-
beyond description to deep personal learning. standing whether improved preparation of midwifery students,
This paper reports on a pre/post implementation study of the through education, and use of a guided structured approach to
introduction of The Bass Model of Holistic Reflection to guide reflect on practice, would improve reflective writing, and thus
students’ written reflection on their COCE experiences at one provide evidence of capacity to reflect on practice-based experi-
Australian university. This is part of a larger program of work ences post-practicum. The specific research objective was to
funded through an Office of Learning and Teaching Program Grant optimise the learning potential of practicum experiences by
that collectively sought to explore post-practicum (after clinical enhancing the midwifery student’s capacity to reflect on their
placement/experience) pedagogic activities to enhance learning. COCE through reflective writing. If achievable, the expected long-
term benefit would be enhanced preparation of students for the
2. Background workplace and the complexity of real world clinical practice as a
registered clinician.
Midwifery students are required to undertake extensive
practice-based experiences within their program. Indeed, across 3.1. Methodology
the health professions considerable institutional and personal
resources are directed at clinical placements as embedded Education design-based research, with its problem resolution
educational activities.1,14 Practice-based placements are highly focus,24 was the method selected to address the research aim and
valued for linking theory to practice, and enabling students to meet objective. Educational design based research process includes
graduate outcomes and industry standards. Billett15 argues that defining a problem, identifying solutions from within the available
regardless of pre-determined requirements and profession specific research knowledge, and applying these solutions in the field to
standards, there needs to be pedagogical consideration as to how refine and define the utility of the solution, aiming for increased
best to develop occupationally specific knowledge, including the global applicability.24–26 Educational design based research does
critical and reflective capacities required of health professionals. not ascribe to any particular methodological approach, but rather
Post-practicum is a time when students have an opportunity to uses an iterative approach to address the problem, through
share, compare and engage critically in considering how these intervention testing in the education setting.24 Therefore, a cross
experiences impact on their learning. sectional study using a pre- and post-intervention design approach
The current evidence suggests the COCE is valuable in providing was used. The intervention consisted of four components including
students with an opportunity to learn, develop and practice skills (a) the introduction of a new model of reflection, (b) education to
that enhance their ability and awareness of woman centred care.3 staff on the use of the new model, (c) education and provision of
Indeed Gray et al.16 reported that students felt the learning they educational materials to students on the use of the new model, and
gained from the COCE was ‘profound’, and for many was the (d) a structured writing template.
highlight of their midwifery education. However, clinical experi-
ences alone do not guarantee learning. The clinical opportunities a 3.1.1. Developmental phase
student has are dependent on several factors, including: (1) the For this study, the problem identified was that much of midwifery
level of program they are in (their prior knowledge and students’ post-practicum writing was descriptive rather than
L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126 121

reflective, providing poor evidence of their reflective capacity.4,5 personal agency and ability to shape the process and outcome of a
Anecdotally, this situation had not improved in recent years. situation in action.6 Reflexivity cultivates self-awareness through
The next step in the design based process was to design a recognising one’s own influence on the environment, and what is
potential solution, and to test the outcomes of the educational learned about the self, including strengths, and areas for
intervention.24 This involved first scoping the reflective practice improvement.6,28 By developing reflexivity, the learner reflects
literature to determine a fit-for-purpose model. Historically, at a deeper personal level on the values, beliefs and assumptions
midwifery academics have drawn from models of reflection that influence experience.6 This is facilitated through deep
predominantly designed for nursing and/or education, to guide personal learning that involves moving beyond descriptive
the development of reflective practice.6 These models do not reflection to critically reflect on personal values and beliefs, and
reflect the woman-centred and holistic philosophy that underpins the wider health care system.6 The underpinning premise of the
midwifery practice.6 At the study university, undergraduate model is that if students can work with, and integrate all four
midwifery students were previously provided with the Gibbs27 concepts into their reflections, then they are much more likely to
reflective cycle as a framework to guide their reflection. This was achieve the ability to perform reflective practice (the outer circle in
presented to them in first year and reiterated in a second-year Fig. 2).
assessment activity. The reporting template for their regular COCE As depicted in Fig. 2 the Bass Model6 incorporates six inter-
reflective writing included open boxes titled “Reflection” and dependant phases embedded within a circular design reflecting
“Learning” with minimal guidance on writing expectations. An both the iterative and vertical dimensions of reflection.12,29 When
example of a COCE reflection using the Gibbs model was provided applying the model each phase is integrated to promote critical
to students. During the development phase of this project the reflection at a deep personal level, contributing to the develop-
research team became aware of the Bass Model of Holistic ment of holistic reflective practice throughout the continuum of
Reflection (henceforth the ‘Bass Model’), designed specifically for the learning cycle. The process embedded in the model promotes
midwifery.6 movement from surface to deep learning, and enables integration
The Bass Model6 integrates midwifery and educational of new learning into practice.22,29,30 Furthermore, the model
philosophy, and was designed to promote transformative learning makes explicit the forms of knowing used to make sense of
at a personal and societal level. The model offers a structured, midwifery practice, including Carpers’8 typology and Habermas’31
scaffolded and staged approach within a holistic continuum emancipatory knowing, and reflects the critical theory continuum
incorporating reflection, critical reflection and reflexivity (see to the development of holistic reflective practice.6
Fig. 1).6 The model was therefore thought to promote reflection at a To identify the level of reflective capacity within students
deeper and more critical level than the Gibbs model previously in written reflections a weighted scoring framework was developed
use. by Bass in consultation with co-authors. The framework represents
an amalgam of concepts that relate to the holistic nature of
3.1.1.1. Brief overview of the Bass Model of Holistic Reflection:. The midwifery practice and the sequential development of reflective
Bass Model6 is premised on the belief that reflective practice capacity across six measurable domains for reflective writing. Each
incorporates self-awareness, reflection, critical reflection and year of the program is linked with a deeper level of critical
reflexivity. This is represented as four inter-related concepts (see reflection that informs and reflects the developing epistemology of
inner circles of Fig. 2), situated within an outer circle of reflective midwifery practice6 (see Table 1).
practice (see Fig. 2). The first concept, self-awareness, is about In year one the student focus is on technical reflection31 based
developing understanding of ones’ own inner state, having on empirical, rational and deductive thinking, to discover what
presence and ability to regulate emotional reactions.6 Next is works in the clinical environment. Students are most concerned
reflection, the process of looking back on an experience or a with reflecting on clinical skills and what knowledge to apply in
situation with the intention of drawing insight that may inform the clinical setting to achieve appropriate outcomes. Reflection at
future practice in positive ways.6 Third, is the concept of critical this level involves evaluation of actions taken based on their
reflection, which is a guided process to aid analysis and increase success or inadequacies in the clinical setting. This includes the
the potential for transforming practice to achieve positive students’ and woman’s feelings, thoughts and perceptions about
outcomes.6 The model involves developing the ability to the experience.
critically examine situations from multiple perspectives. Steps In year two the focus shifts to practical reflection with an
include questioning, defining, reflection, analysis and learning. emphasis on human interaction and communicative action. The
Lastly, is the concept of reflexivity that represents awareness of student is concerned with developing ways of understanding

Fig. 1. Conceptual framework Bass Model of Holistic Reflection Model (Bass et al., [6,p. 230]).
122 L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126

Fig. 2. The Bass Model of Holistic Reflection (Bass et al., [6,p. 231]).

Table 1
Relative weighting of each section of scoring framework by year level.

Self-awareness Evidence of midwifery Reflection and Evidence informed Critical thinking Style, language
& insight knowledge reflexivity practice & integrity
Yr 1 20% 20% 20% 15% 10% 15%
Yr 2 + RN 1 10% 20% 25% 15% 20% 10%
Yr3 + RN 2 5% 20% 30% 15% 25% 5%

human behaviour and the practical aspects of the learning and critically reflects on practice, incorporating ethical and socio-
experience, specifically reflection on the relationship between political ways of knowing. This is motivated by transformative
theoretical principles and the realities of clinical practice. The action and commitment to reflect critically on the socio-political
student is expected to reflect on the relationship between actions and cultural constraints that prevent emancipation.32 Through
and their consequences, and beliefs, as well as the underlying critical reflection and reflexivity, the student begins to explore
rationale for practice. This extends beyond technical-rationality alternatives and plan future actions because of analysis and
into investigating, questioning, and interpreting the end objectives synthesis. To capture the progressive development expected with
and assumptions behind what is happening in the clinical setting. iterative and vertical reflection, different weightings are applied to
This involves the student in discourse and practice conversations final year students to assess their higher level reflective writing
that create opportunities for dialogic reflection.30 The scoring with an increased focus on reflexivity and critical thinking.
framework is therefore adjusted to assess the student’s increasing
ability to (1) interpret the significant factors influencing an 3.1.2. Preparation, implementation and evaluation phase
experience, (2) adopt a dialectical and dialogic approach to
exploration, (3) see the experience differently, and (4) exercise 3.1.2.1. Setting:. At the study setting, the Bachelor of Midwifery
integrative thinking to combine multiple perspectives and ways of has two pathways leading to registration; (1) Pre-registration or
knowing. direct entry for individuals without nursing or midwifery
In year three the focus is on critical and emancipatory experience, and (2) Registered Nurse (RN) entry or post-
reflection. This includes the ability to critically reflect on the registration pathway. During the program all midwifery
factors that impact on women’s choices, including ‘informed’ students are required to present written reflections across all
choices and how they are made. The focus is on what knowledge is years of their program. Whilst there were brief opportunities to do
of value and why, and builds on the interpretive knowledge this on their clinical placement records, the primary sources of
referred to earlier as practical reflection. The student is concerned reflective writing were the COCE records, and one critical reflective
with not only what happens in clinical practice, but also questions essay in second year. Given that students in all year levels, and both
L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126 123

entry pathways, undertake COCE, this form of practicum eighteen-month registered nurse (RN) pathway were shown as RN
experience was selected as the most suitable medium to test 1 or 2. The allocation of being RN 1 or 2 was directly aligned with
the intervention. The COCE also provides multiple episodes of the topics the student was enrolled in and writing for. The RN
practice over time, and therefore are rich experiences that students students do not undertake the clinical topics as year 1 students in
can draw from to reflect upon.3 the pre-registration pathway. If enrolled in the clinical topic also
Prior to the implementation of the Bass model, a series of done by year 2 students of the pre-registration pathway they were
professional development sessions were conducted for staff and identified as RN1 and similarly, when doing the clinical topic also
students on the purpose, and process of using the Bass Model6 by done by year 3 students of the pre-registration pathway, they were
the principal author of the model. To support these sessions, identified as RN2. Writings from the RN pathway students were
webinars and explanatory documents were created and made assessed using the second and third year weighted framework as it
available to staff and students through the university learning was assumed they would have developed a capacity for reflective
management system. practice in their education for, and role as, registered nurses. The
students were not provided the scoring framework, only the model
3.1.2.2. Ethical considerations:. Approval to undertake the project and supporting materials.
was received from the University’s Human Research Ethics
Committee. As data was drawn from reflective writing produced 4. Results
in the normal course of study, individual recruitment or consent
was not required. Taking this approach was considered to reduce The outcome of the reflective writing marking is shown in
the ‘Hawthorne effect’, whereby participants may consciously Table 2. Pre-intervention scores ranked poorly as evidence of
change their behaviour/output knowing they were in a research reflective capacity, with the more experienced students, Yr3 and
study.33 To ensure anonymity all data collected were de-identified RN2, scoring lower than their less experienced student counter-
and allocated a study code prior to distribution to the research parts.
assistant. Following the evaluation and scoring, the study code was All student scores improved post-intervention. Table 3 shows
then matched to the student’s program year level by the chief the per cent variation of scores for each year level.
investigator and the final score calculated with the relative
weightings to minimise potential bias during the evaluation phase. 5. Discussion

3.1.2.3. Data and data analysis:. Data was in the form of the This project set out to investigate whether implementation of a
students’ submitted reflective writings. All students submit their structured, guided and holistic reflective model designed specifi-
written work through the university online learning management cally for midwifery students would enhance their written
system or as a component of their hard copy Midwifery Practice reflections, therefore provide evidence of reflective capacity. The
Portfolio submission. In semester one 2016 a convenience sample importance of introducing midwifery students to the discipline of
of submitted reflections across all year/program pathway groups structured reflection through writing is supported by Collington
were collected. No more than two reflective pieces were sought and Hunt23 who found that students continued to embrace
from any individual student. This resulted in the collection of 130 reflection as part of their continuing midwifery practice upon
reflective pieces, based on the Gibbs model, for analysis pre- registration. Through collection and analysis of academically
intervention. Similarly, post intervention (semester 2 2016) a required reflective pieces we were able to demonstrate that the
convenience sample of 96 reflective pieces based on the Bass intervention improved midwifery students’ capacity to demon-
Model were collected for analysis. strate reflection on practice in their writing. This was achieved
All de-identified data were subjected to assessment using the
Bass reflective writing scoring framework. To ensure correct use of
Table 3
the framework, the research assistant and the author (JB) of the
Percent variation for scores for each year level.
framework independently assessed four papers across each year
group. These were then moderated to reach a consensus on Student level Pre-intervention Post-intervention % Variation
application of the framework. Subsequently any reflections that RN1 59.2 67.3 +14%
were difficult to assess were further moderated. Once all analysis RN2 49.2 67.7 +37%
was completed the scores were entered into an Excel© spread sheet Yr1 59.9 74.0 +24%
Yr2 55.9 69.4 +24%
and grouped by year level. Students undertaking the three-year Yr3 38.8 60.8 +57%
Pre-registration Bachelor program were identified using the
identifier of Year (Yr) 1, 2 or 3 while students enrolled in the

Table 2
Outcome of marking against scoring framework (note relative weightings vary per year level as per Table 1).

Time Student N Self-awareness & Evidence of midwifery Reflection and Evidence Critical Style, language & Total
group insight knowledge reflexivity informed thinking integrity score
practice
Pre-intervention RN 1 16 5.9 11.8 15.9 7.1 11.9 6.6 59.2
RN 2 21 2.2 11.0 15.3 6.4 11.2 3.1 49.2
Yr 1 10 12.4 11.9 12.2 8.2 4.8 10.4 59.9
Yr 2 39 5.4 11.9 14.1 8.1 9.8 6.6 55.9
Yr 3 44 2.1 8.2 12.7 5.0 7.8 3.0 38.8
Post-intervention RN 1 24 6.8 13.4 17.5 9.7 12.8 7.1 67.3
RN 2 33 3.5 14.0 20.1 10.4 15.9 3.8 67.7
Yr 1 11 15.1 14.4 15.7 9.9 6.9 12.0 74.0
Yr 2 24 7.1 14.0 17.9 9.7 13.4 7.3 69.4
Yr 3 4 3.3 12.5 20.8 9.4 11.2 3.6 60.8
124 L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126

without students being aware of the pre-and post-intervention philosophy underpinning the concept of ‘being with women’ in
project, to minimise any chance of their purposefully writing midwifery care.36 This requires the development of a holistic
differently for the study alone. midwifery approach that draws on multiple ways of knowing
Pre-intervention scores across the student cohort were low and gained through experiential, contextual and intuitive knowledge. It
ranked poorly as evidence of reflective capacity. Of note is the may be that the reflective model only speaks to this experience.
identified downward trend in pre-intervention scores as students Alternatively, the increase may simply be that the new structured
progressed through the program. The lowest scores, were achieved writing template, where the expectation was to write something in
by students with the most experience (final year students in both each box and therefore address each aspect of reflection, may have
entry pathways). Furthermore, had both groups of final year prompted students to increase their effort for the non-graded pass.
students’ scores been measured in this way in the curriculum they This result alone may be evidence enough to suggest a structured
would have failed to achieve the standard expected. This is an approach enhances learning and therefore should be introduced.
interesting finding given that it would seem reasonable to assume Another key finding that emerged from the project was the
that as a final year student they should have had a higher level of effectiveness of the scoring framework to assess reflective capacity.
reflective capacity and ability to translate this into reflective The pre- and post-intervention scores demonstrated the utility of
writing, especially as some of the assessed pieces of work were the framework in assessing reflective capacity. The framework was
their final written reflections. In addition, it was expected that the specifically developed to assess the five concepts that underpin the
cohort who were already registered nurses would have developed development of reflective practice, with the inclusion of language
reflective capacity as part of their pre-registration nursing and integrity for professional writing. The ability for students to be
education. This was not the case with final year students in the self-aware, insightful, critically reflective and reflexive within a
RN pathway returning scores lower than first and second year holistic midwifery philosophy that acknowledges midwifery ways
students in the pre-registration pathway. Why this would be the of knowing creates the potential for perspective transformation.
case is difficult to say. The low scores may have been the result of Weighting the concepts to reflect the expected levels of reflection
diminished student effort. For example, the COCE reflections were as the student progresses through the program from technical,
a component of the student’s Midwifery Practice Portfolio practical to emancipatory reflection is important.31,32 Pursuing this
submission, which is a non-graded assessment. As such, minimal approach ensures that each phase of the reflective process is
effort could still have achieved the non-graded pass required. assessed in a holistic and integrative manner, and students are able
Conversely, first-year students may have been more diligent in this to demonstrate development of reflective capacity over time. Each
aspect of their program, being new and enthusiastic, whereas the year of the program is linked with a deeper level of critical
third-year students may have felt pressured with the multiple reflection and reflexivity that informs and reflects the developing
demands of study and practicum, therefore strategically prioritis- epistemology of midwifery practice.6 The framework was able to
ing graded over non-graded work. quantitatively demonstrate students’ strength and weaknesses in
The subsequent improvement in scores across all year groups their reflective writing. The framework will be used in future as a
following the introduction and expectation of use of the Bass marking rubric to further enhance student learning through
Model is an important finding. For example, third-year students’ structured feedback to promote deep personal learning and
writing improved by 57%, despite the activity remaining as a non- development of reflective capacity.
graded pass. It is also noteworthy that students achieved higher In summary, we suggest that when compared to other models
post-intervention score across all criteria used to assess reflective of reflection, the design of the Bass Model has potential for
capacity (self-awareness, evidence of knowledge, reflection and facilitating the development of self-awareness and insight, critical
critical reflection, evidence informed practice, critical thinking, reflection and reflexivity, midwifery ways of knowing and critical
language and integrity). The preparation taken and process of thinking. Whereas Gibb’s iterative reflective cycle emphases
implementing the model is also important to highlight. An learning by doing, and reflection on action,27 the Bass Model6
essential aspect of the project was not only the introduction of incorporates a holistic approach to developing skills of critical
the model of structured reflection to students but to ensure they reflection, involving integration of existing knowledge with new
had access to educational resources to facilitate their learning insights and understanding within a framework of holistic
including guides and a writing template. Taking this approach is midwifery philosophy. The focus of the Bass Model is on the
supported by literature that clearly identifies that if students are to generation of knowledge through reflection on practice experi-
develop the habit of reflecting on actions, and construct meaning ences that occur before, during and after clinical practicum. In this
from those experiences, they need to be taught strategies to help way students can develop insights into what they think they
cultivate reflection.34 Reflection is a specialised form of thinking believe as espoused theory compared to theory in use.37
and learning that challenges routine thinking and action11 and Undertaking this process helps learners avoid ritualistic or routine
does not develop automatically.35 As such health care educators approaches to care as a result of unexamined knowledge and
should look for educational strategies that promote the develop- experience.38
ment of reflective capacity as early as possible in the education Such a model also recognises the complexity of reflection and
process. Low pre-intervention scores were possibly a reflection of the developmental nature of reflective capacity.12,39 Introducing
students being provided with minimal guidance on how to reflection early in pre-registration programs has been shown to
incorporate the Gibbs 22 framework into their COCE reflective develop self-awareness and insights into limitations,40,41 assist in
writing, and not necessarily the model itself. While more work is the generation of individual learning needs,40 develop solution
required the findings do suggest that the Bass Model and its focused thinking,10 and develop sustainable approaches to the
accompanying educational resources assisted students to reflect resolution of feelings and contradictions practitioners frequently
and write in a more holistic manner. face in clinical practice.10 Moreover, introducing reflection to
Having said this, the increased post intervention scores may students early in pre-registration programs has been shown to
have been an artefact of reflecting on the COCE itself, as opposed to have a direct relationship to continued use of reflection upon
another clinical learning experience. The COCE is specially graduation.42 What is evident from our study is that when
designed to help midwifery students understand how to practice scaffolded reflection is also combined with a staged approach to
holistically. Being able to be emotional, physical, spiritual and guide learners, the depth and breadth of reflective capacity is
psychological present in the COCE relationship is central to the enhanced.43 This is an important design feature of any model of
L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126 125

reflection as it recognises that learners require different levels of 2. Australian Nursing and Midwifery Accreditation Council. Midwife accreditation
reflection and a scaffolded learning approach to developing skills standards, 2014. Canberra: ANMAC; 2014.
3. Tierney O, et al. The continuity of care experience in australian midwifery
of reflection.12,13,22 education—what have we achieved? Women Birth 2017;30(3):200–5.
4. Glover P, Sweet L. Developing the language of midwifery though continuity of
6. Limitations care experiences. In: Ortoleva G, Betrancourt M, Billett S, editors. Writing for
professional development. Leiden: Brill; 2016.
5. Sweet L, Glover P. Optimizing the follow through experience for midwifery
The intervention group consisted of students from a single learning. In: Billett S, Henderson A, editors. Promoting professional learning.
tertiary education institution in Australia. The study would have Dordrecht, The Netherlands: Springer; 2011. p. 83–100.
6. Bass J, Fenwick J, Sidebotham M. Development of a model of holistic reflection
been strengthened had it taken a broader sampling approach to facilitate transformative learning in student midwives. Women Birth
across tertiary facilities. Furthermore, assessment of the reflective 2017;30(3):227–35.
pieces was analysed as a cohort group with no attempt to case- 7. Brookfield S. Critical reflection as an adult learning process. In: Lyons N, editor.
Handbook of reflection and reflective inquiry: mapping a way of knowing for
match individual writers’ pre-and post-intervention. This was
professional reflective inquiry. Springer Science+Business Media; 2010. p. 215–
because there was no guarantee that the same student would 36.
submit writings in both collection periods, and students in third 8. Carper B. Fundamental ways of knowing in nursing. Adv Nurs Sci 1978;1:13–23.
year 2016 would have completed the course before the 9. Dewey J. How we think. New York: Prometheus Books; 1933.
10. Johns C. Becoming a reflective practitioner. 2nd ed. Oxford, England: Blackwell
intervention. Furthermore, to minimise bias the students were Science; 2004.
unaware that the comparative study was occurring. Therefore, it 11. Mezirow J. Transformative learning: theory to practice. New Dir Adult Contin
is possible that the writers in the pre-and post-groups were Educ 1997;74:1–8.
12. Schön DA. The reflective practitioner: how professionals think in action. New
different individuals, and the change in score may have been by York: Basic books; 1983.
chance. The collection of data was time limited and dependant on 13. van Manen M. Linking ways of knowing with ways of being practical. Curric Inq
student submissions during the collection timeframe. COCE occur 1977;6(3):205–28.
14. Billett S. Learning through health care work: premises, contributions and
throughout the year and are relatively unpredictable in quantity practices. Med Educ 2016;50(1):124–31.
in any given time-period. Therefore, it was not possible to gather 15. Billett S. Integrating practice-based experiences into higher education. In:
equal numbers of submissions in the data collection period. In Billett S, Harteis C, Gruber H, editors. Professional and practice-based learning.
Dordrecht: Springer; 2015.
addition, it is important to note that the pre-intervention
16. Gray J, Taylor J, Newton M. Embedding continuity of care experiences: an
reflective writing was undertaken with the previous instructions, innovation in midwifery education. Midwifery 2016;33:40–2.
which may have been a limitation in itself to prompt the students 17. Billett S, Sweet L, Glover P. The curriculum and pedagogic properties of
practice-based experiences: the case of midwifery students. Vocat Learn
writing. Despite these limitations, the findings offer important
2013;6(2):237–57.
insights into the components of reflective writing that the 18. McKellar L, et al. Access, boundaries and confidence: the ABC of facilitating
students performed well in and identified areas for potential continuity of care experience in midwifery education. Women Birth 2014;27
improvement. (4):e61–6.
19. Billett S, Sweet L. Understanding and appraising healthcare students’ learning
through workplace experiences: participatory practices at work. In: Cleland J,
7. Conclusion Durning SJ, editors. Researching medical education. New York: John Wiley &
Sons Inc.; 2015. p. 117–27.
20. Gray JE, et al. The ‘follow-through’ experience in three-year Bachelor of
The findings of this project suggest that the intervention Midwifery programs in Australia: a survey of students. Nurse Educ Pract
process, including the implementation of the Bass Model of 2012;12(5):258–63.
Holistic Reflection, education for staff and students on how to 21. McLachlan HL, et al. Exploring the ‘follow-through experience’: a statewide
survey of midwifery students and academics conducted in Victoria, Australia.
write reflectively with the model, provision of resources and a Midwifery 2013;29(9):1064–72.
writing template, collectively enabled midwifery students to 22. Boud D, Keogh R, Walker D. Promoting reflection in learning: a model. In: Boud
demonstrate their capacity to reflect on practice through their D, Keogh R, Walker D, editors. Reflection: turning experience into learning.
London: Kogan Page; 1985.
writing, with improvements in reflective writing noted across all 23. Collington V, Hunt S. Reflection in midwifery education and practice: an
year groups. The collective intervention improved all components exploratory analysis. Evid Based Midwifery 2006;4(3).
of reflective writing incorporating self-awareness and insight, 24. McKenney S, Reeves TC. Conducting educational design research. London:
Routledge; 2012.
holistic midwifery philosophy, critical reflective capacity and
25. Reeves TC, McKenney S, Herrington J. Publishing and perishing: the critical
reflexivity, midwifery ways of knowing, critical thinking and importance of educational design research. Aust J Educ Technol 2011;27:55–65.
language and integrity. The results also demonstrated that, when 26. Anderson T, Shattuck J. Design-based research: a decade of progress in
introduced to students with prior experience of reflection, the education research? Educ Res 2012;41:16–25.
27. Gibbs G. Learning by doing: a guide to teaching and learning methods. London:
intervention showed substantial improvement in reflective Great Britain Further Education Unit; 1988.
capacity. While further research is required, the Bass Model and 28. Fook J, White S, Gardner F. Critical reflection: a review of contemporary
associate intervention activities appears to provide a structured, literature and understandings. In: Fook J, White S, Gardner F, editors. Critical
reflection in health and social care. Berkshire, England: Open University Press;
scaffolded, staged and holistic approach to developing post- 2006. p. 3–22.
practicum reflective capacity in midwifery students. With further 29. Moon J. Reflection in learning and professional development. London: Kogan
testing and adaptation, the Bass Model may also have the potential Page; 1999.
30. Mann K, Gordon J, MacLeod A. Reflection and reflective practice in health
to develop reflective capacity in students and practitioners across a professions education: a systematic review. Adv Health Sci Educ 2009;14
range of health and social care disciplines. (4):595–621.
31. Habermas J. Communication and the evolution of society. Cambridge: Polity
Press; 1979.
Conflict of Interest 32. Taylor B. Reflective practice: a guide for nurses and midwives. 2nd ed. Birkshire,
UK: Open Press University; 2006.
The Deputy Editor, Linda Sweet, played no role in the peer 33. Z. Schneider , et al. Nursing and midwifery research: methods and appraisal for
evidence-based practice 5th ed. Mosby Elsevier Sydney 2016;
review or decision-making processes around teh acceptance of this
34. Costa AL, Kallick B. Learning and leading with habits of mind: 16 essential
manuscript. characteristics for success. Alexandria, USA: ASCD; 2008.
35. Embo M, et al. Relationship between reflection ability and clinical perfor-
References mance: a cross-sectional and retrospective-longitudinal correlational cohort
study in midwifery. Midwifery 2015;31(1):90–4.
36. Hunter B, et al. Relationships: the hidden threads in the tapestry of maternity
1. Billett S., Cain M, Le AH. Augmenting higher education students’ work care. Midwifery 2008;24(2):132–7.
experiences: preferred purposes and processes. Stud High Educ 2016;1–16.
126 L. Sweet et al. / Women and Birth 32 (2019) 119–126

37. Argyris C, Schon D. Theory in practice: increasing professional effectiveness. San 41. Noveletsky-Rosenthal H, Solomon K. Reflections on the use of Johns’ model of
Francisco: Jossey Bass; 1974. structured reflection in nurse-practitioner education. Int J Hum Caring 2001;5
38. Thorpe K. Reflective learning journals: from concept to practice. Reflect Pract (2):21–6.
2004;5(6):327–43. 42. Wright JM. The frameworks: implications for placement learning. In: Smith A,
39. Larrivee B. Development of a tool to assess teachers’ level of reflective practice. McAskill H, Jack K, editors. Developing advanced skills in practice teaching.
Reflect Pract 2008;9(3):341–60. Hampshire: Palgrave Macmillan; 2009.
40. Ekelin M, Kvist LJ, Persson EK. Midwifery competence: content in midwifery 43. Platzer H, Snelling J, Blake D. Promoting reflective practitioners in nursing: a
students’ daily written reflections on clinical practice. Midwifery 2016;32:7– review of theoretical models and research into the use of diaries and journals
13. to facilitate reflection. Teach High Educ 1997;2(2):103–21.
Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi
sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

Imron Mustofa
Sekolah Tinggi Agama Islam YPBWI Surabaya
Email: im.mustof4@gmail.com

Abstrak
Logika memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan
pengetahuan serta pengkajian-pengkajian pengetahuan tertentu.
Sebagai sebuah ilmu pengetahuan ia menjadi dasar yang menentukan
pemikiran agar lurus, tepat dan sehat. Sebab fungsi logika menyelidiki,
merumuskan serta menerapkan hukum-hukum yang ditepati. Logika
merupakan ilmu yang memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti
agar dapat berfikir valid menurut aturan yang berlaku. Ini dikarenakan,
Penalaran ilmiah menghendaki pembuktian kebenaran secara terpadu.
Antara kebenaran rasional dan factual ataupun deduktif dan induktif
yang keduanya menggunakan hipotesa sebagai jembatan
penghubungnya. Baik deduktif dan induktif bukan tanpa cacat,
karenanya perlu sebuah identifikasi lebih jauh, guna mencapai suatu
metode penalaran ilmiah yang mengamini pembuktian terpadu, antara
rasional dan kebenaran factual.

Kata kunci: logika, ilmiah, fikir, deduksi, induksi

Pendahuluan
Semua penalaran yang menggunakan pikiran sudah tentu berpangkal
pada logika. Dengannya, dapat diperoleh hubungan antar pernyataan.
Namun, tidak semua anggapan atau pernyataan berhubungan dengan logika.
Hanya yang bernilai benar atau salahlah yang bisa dihubungkan dengan
logika.1 Sehingga dalam sebuah diskursus keilmuan, kajian seputar logika
memiliki andil yang signifikan terhadap perkembangan hal itu. Terlebih lagi,
kondisi masyarakat yang umumnya cenderung praktis tampaknya telah
menuntun para pelajar melupakan aspek terpenting tersebut dari diskursus
keilmuan. Padahal sebuah konsep dianggap ilmiah jika mampu
membuktikan validitas argumennya,2 tentunya yang terangkai dalam
sistematika yang logis baik menggunakan panca indra ataupun lainnya.
Sehingga di sini antara penjelasan dan bukti-bukti terdapat sebuah benang

1Pernyataan seperti ini disebut proposisi


2Geoge F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York: John Willey &
Son, 1964), 4.

EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam


Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2016
Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

merah yang tidak tergantikan. Maka nampaklah bahwa penyajian yang baik
akan menjadi keyword dari kriteria ilmiah yang paling dasar. Sehingga
ungkapan bahwa Metode berpikir ilmiah memiliki peran penting dalam
mendukung manusia memperoleh cakrawala keilmuan baru dalam menjamin
eksistensi manusia bukanlah sebuah bualan belaka. Dengan menggunakan
metode berfikir ilmiah, manusia terus mengembangkan pengetahuannya.3
Maka sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi dunia keilmuan untuk
menjadikan sebuah diskursus tentang metode berfikir yang cocok dengan
logika sebagai sebuah pembahasan yang mendalam. Sehingga tepat atau
tidaknya penentuan pilihan dari metode atau cara yang mungkin diambil,
akan menentukan hasil akhir dari wacana tersebut. Maka dari itu akhirnya
timbul pertanyaan tentang seperti apa dan kapankan sebuah metode dalam
logika berfikir ilmiah dapat diterima dan digunakan sejalan dengan wacana
tersebut. Pertanyaan itu akhirnya menawarkan sistem induktif dan deduktif
sebagai jawaban, sehingga pada pembahasan selanjutnya hal inilah yang
menjadi pokok pembicaraan dalam wacana kali ini.

Jendela Nalar Ilmiah Bernama Logika


Manusia fitrahnya berkemampuan menalar, yaitu mampu untuk
berpikir secara logis dan analistis, dan diakhiri dengan kesimpulan.4
Kemampuan ini berkembang karena didukung bahasa sebagai sarana
komunikasi verbalnya,5 sehingga hal-hal yang sifatnya abstrak sekalipun
mampu mereka kembangkan, hingga akhirnya sampai pada tingkatan yang
dapat dipahami dengan mudah. Karena hal inilah mengapa dalam istilah
Aristoteles manusia ia sebut sebagai animal rationale.6 Oleh sebab itu
seorang Cendekiawan seharusnya bekerja secara sistematis, berfikir, dan
berlogika serta menghindari diri dari subyektifitas pertimbangannya,
meskipun hal ini tidak mutlak.
Ketidakpuasan atas keilmuan yang dibangun diatas pemikiran awam
terus mendorong berbagai disiplin keilmuan, salah satunya adalah filsafat.
Filsafat mengurai kembali semua asumsi tersebut guna mendapatkan sebuah
pengetahuan yang hakiki.7 Setiap kepala memiliki pemikirannya masing-

3 Baca: The Liang Gie, Dari Administrasi ke Filsafat (Yogyakarta: Supersukses, 1982)
4 Noor Ms Bakry, Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu (Yogyakarta: Liberty,
2001), 55.
5 Maksud bahasa disini ialah bahasa ilmiah yang menjadi sarana komunikasi ilmiah yang

bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berisi pengetahuan, sehingga ia memiliki


syarat-syarat antara lain: terbebas dari unsur emotif, reproduktif, obyektif dan eksplisit. Lihat:
Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2005),
47.
6 Ibid.,1.
7 Fritjop Capra, Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, terj.

M. Thoyibi (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1998)

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 123


Imron Mustofa

masing, begitu pula dengan para ilmuan, setiap individu merujuk pada
filsatat yang sama, yaitu penggunaan metode Ilmiah dalam menyelesaikan
sebuah problematika keilmuan yang mereka hadapi.8 Karena penggunaan
metode ilmiah dalam sebuah wacana keilmuan dapat meringankan ilmuan
dan pengikutnya dalam melacak kebenaran wacana mereka tersebut. Sehigga
akhirnya lahirlah sebuah asumsi bahwa dalam pengetahuan ilmiah semua
kebenaran dapat dipertanggung jawabkan, meskipun hanya atas nama logika.
Karena pada hakekatnya setiap kebenaran ilmiah selalu diperkuat dengan
adanya bukti-bukti empiris maupun indrawi yang mengikutinya.9 Sehingga
dalam proses berfikir ilmiah ataupun sebuah pencapaian pemahaman final
perlu ditopang dengan logika.
Disebut logika bilamana ia secara luas dapat definisikan sebagai
pengkajian untuk berpikir secara benar, yang bermuara pada kesimpulan
yang benar.10 Penarikan kesimpulan dalam berpikir ilmiah dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dengan logika deduktif dan logika induktif. Selain itu
bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah juga sangat berperan penting dalam
melakukan kegiatan berpikir ilmiah. Karena bahasa merupakan alat
komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah serta
media untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Tanpa
bahasa maka manusia tidak akan dapat berpikir secara rumit dan abstrak
seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah.
Karenanya, guna mendukung dan mengembangkan wacana
keilmuan yang selama ini telah berjalan, maka diperlukan sebuah master
plan yang mumpuni. Rencana tersebut haruslah di dalamnya mengandung
langkah-langkah baik logika teoritis, skematis, maupun implementasi, serta
pelaksanaannya. Ia meliputi: persiapan gambaran metodologi yang akan
digunakan, yang diikuti diskursus komprehensif dalam bidang tersebut,
kemudian mengkolaborasikannya dengan wacana keilmuan lain,11 sehingga
didapati sebuah sistem berfikir yang dapat disambut oleh semua belah pihak.
Yang kesemuanya akan kembali bermuara pada proses pembelajaran
terutama dalam wacana keilmuan.
Logika sendiri menurut Aristoteles tidak lepas dari istilah silogistik.
Ia merupakan sebuah penjelasan yang dalam prosesnya mengandung unsur
“abstraksi/premis mayor” dan “difinisi/premis minor” keduanya diperlukan
untuk membangun sebuah konsep yang benar sebelum melangkah menjadi

8 Baca: Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2006),
edisi 3, 13-15.
9 Budi F. Hardiman, Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 2004), lihat juga: Jujun S.

Supriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 215.
10 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, 46.
11 Lihat: Ismail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan

(Washington: International Institute of Islamic Thought, 1982), 38-53.

124 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

proposisi,12 proposisi inilah yang akhirnya akan bermuara pada


kesimpulan.13 Hal ini dikarenakan pengetahuan yang dikumpulkan oleh
manusia bukan hanya sebuah kumpulan koleksi semata, namun ia
merupakan kompilasi dari berbagai macam esensi dari fakta-fakta tersebut.14
Penalaran dalam fungsinya sebagai kegiatan berfikir tentunya
memiliki karakteristik atau ciri-ciri tertentu. Pertama, adanya pola berfikir
yang secara luas (logis), hal inilah yang sering disebut sebagai logika.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa setiap usaha penalaran mempunyai
logikanya tersendiri karena ia merupakan sebuah proses berfikir.15 Sehingga
Berfikir secara logis dapat dimaknai sebagai suatu pola, dan ketentuan
tertentu yang digunakan dalam proses berfikir. Maka dari itu sebuah
kerangka logika dalam satu hal tertentu sangat mungkin dianggap tidak logis
jika ditinjau dari kerangka lainnya. Hal inilah yang menimbulkan adanya
ketidakkonsistenan dalam menggunakan pola pikir, yang akhirnya
melahirkan beberapa motode pendekatan yang bermacam-macam. Kedua,
penalaran harus bersifat analistik, dengan maksud ia merupakan
pencerminan dari suatu proses berfikir yang bersandar pada suatu analisa
dan kerangka berfikir tertentu, dengan logika sebagai pijakannya. Secara
sederhananya poin kedua ini merupakan sebuah proses menganalisa denga n
logika ilmiah sebagai pijakannya. Yang mana analisa sendiri adalah suatu
kegiatan berfikir dengan langkah-langkah yang tertentu. Sehingga kegiatan
berfikir tidak semuanya berlandaskan pada penalaran. Maka dari itu berfikir
dapat dibedakan mana yang menggunakan dasar logika dan analisa, serta
mana yang tanpa menggunakan penalaran seperti menggunakan perasaan,
intuisi, ataupun hal lainnya. Karena hal-hal tersebut bersifat non-analistik,
yang tidak mendasarkan diri pada suatu pola berfikir tertentu.16
Pengetahuan selalu berkembang dengan ukuran-ukuran yang
konkrit, model, dan metodologi, serta observasi. Hingga dalam
perkembangannya model dan cara berfikir yang dianggap kuno telah
memperoleh gugatan. Hal ini dikarenakan, tidak semua ilmu pengetahuan
dapat didekati dengan cara yang sama. Sehingga ditemukannya metode

12 Penalaran deduktif yang diambil poin intinya dan dirumuskan secara singkat, maka
didapatilah bentuk logis pikiran yang disebut silogisme ini. Sehingga penguasaan atas bentuk
logis ini akan sangat membantu memfokuskan langkah-langkah pola pikirsehingga terlihat
hubungan sebelum mencapai suatu kesimpulan. lihat: Mundiri, Logika (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2000), cet.4, 45-46.
13 Ibarat logika adalah suatu bangunan, maka proposisi adalah batu, pasir, dan semen yang

masih tercampur dengan hal-hal lain. Mohammad Muslih, “Problem Keilmuan Kontemporer
dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Pendidikan”, dalam Tsaqafah jurnal Peradaban Islam,
vol.8, Nomor1, April 2012, Gontor, Institu Studi Islam Darussalam (ISID), 30.
14 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, 48.
15 Ibid., 58.
16 Ibid., 52-53.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 125


Imron Mustofa

berfikir ilmiah, secara langsung telah membawa terjadinya perkembangan


dalam ilmu pengetahuan. Manusia bukan saja hidup dalam kondisi
modernisasi yang serba mudah dan praktis. Lebih dari itu, kini manusia
mampu menggapai sesuatu yang sebelumnya seolah tidak mungkin. Manusia
tidak lagi diam, atas apa yang terjadi, sebagai akibat dari perkembangan
logika manusia.
Satu hal dalam logika penalaran, yang menjadi pertimbangan adalah
pernyataan-pernyataan yang ada sebelumnya. Masing-masing hanya dapat
bernilai salah atau benar namun tidak keduanya. Hal inilah yang sebelumnya
disebut sebagai proposisi. Proposisi yang telah dihimpun ini nantinya akan
dapat dievaluasi dengan beberapa cara, seperti: deduksi, dan induksi. Maka
dari itu, poin pembahasan yang relevan dengan topik wacana kali ini, adalah
metode induksi dan deduksi. Yang secara singkat jika metode induksi
diartikan sebagai salah satu cara untuk menarik kesimpulan yang umum
digunakan oleh para ilmuwan. Maka metode deduksi adalah kebalikan dari
metode induksi, karena ia menarik kesimpulan kepada yang lebih khusus,
dan terperinci.
Adapun Tujuan dari penggunaan kedua metode ilmiah ini tiada lain
adalah agar ilmu berkembang dan tetap eksis dan mampu menjawab
berbagai tantangan yang dihadapi. Serta mendapakan sebuah kebenaran dan
kesesuaian antara kajian ilmiah, dengan tanpa terbatas ruang, waktu, tempat
dan kondisi tertentu.17 Namun perlu diwaspadai, bahwa posisi rasio yang
begitu urgen dalam kaitannya dengan logika dapat mendominasi pengesahan
suatu ilmu pengetahuan,18 sehingga batasan-batasan waliyah rasio harus
jelas, dan terarah.

Fase Perkembangan Logika


Inti pembahasan logika tersusun setidaknya ada tiga poin. Pertama:
Konsep atau istilah, yaitu sebuah tangkapan akal manusia mengenai suatu
obyek, baik bersifat material, maupun non-material. Ia juga sering dimaknai
sebagai sebuah makna yang dikandung oleh suatu obyek.19 Sehingga dengan
kata lain, hal ini merupakan penjelmaan atau abstraksi tentang pentafsiran,
ataupun pemaknaan dari suatu obyek, yang masing-masing obyek memiliki
essensi, dan ruang lingkup cakupan makna.20 Kedua: Proposisi atau kalimat
pernyataan, yaitu sebuah pemikiran yang dinyatakan dalam bentuk bahasa,
meskipun tidak semua yang ada dalam pikiran manusia mampu diungkapkan

17 Untuk pembahasan memperdalami pembahasan tujuan ini, baca: Milton D. Hunnex, Peta
filsafat: Pendekatan Kronoligis dan Tematik (Jakarta: Teraju, 2004), 1-9.
18 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

Kritik (Jakarta: Erlangga, t.th.), 65.


19 Noor Ms Bakry, Logika Praktis Dasar Filsafat, 2.
20 Ibid, 4-6.

126 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

dalam kata-kata. Ia dapat pula dinyatakan sebagai sebuah kalimat deklarasi


tentang suatu obyek.21 Di sini kalimat deklaratif sendiri mengandung pilihan
makna antara benar, atau salah. Untuk itu proposisi, ataupun logika secara
umum sejatinya dibangun di atas prinsip, atau kaidah tertentu,22 seperti :
identitas, non-kontradiktif, eksklusi tertii (ketidak bolehan tumpang tindih),
dan prinsip cukup alasan.23 Ketiga: Silogisme (paragraf), atau suatu
penalaran yang terbentuk dari hubungan dua buah proposisi, yang akhirnya
akan menghasilkan sebuah kesimpulan.24 Silogisme inilah yang sering
dimaksudkan sebagai hasil dari suatu penalaran, ataupun logika berfikir.
Logika sendiri tidak semata-mata lahir sebagai sebuah cara berfikir
dalam memandang hidup yang tersusun rapi, namun sejatinya ia mengalami
proses yang dimulai dari logika sebagai metode berfikir. Ia kemudian
bergulis dan berkembang menjadi sebuah landasan pengembangan ilmu dan
akhirnya menjelma sebagai suatu cara pandang terhadap dunia (worldview).
Muncul logika sebagai suatu cara berfikir, tidak bisa begitu saja
terlepas dari pengaruh pemikiran silogisme Aristoteles.25 Walaupun konon
cara berfikir seperti ini sudah ada dua abad sebelum zaman Aristoteles,
sehingga ia hanyalah berperan dalam mendeskripsikan pola cara berfikir
tersebut, namun bukan sebagai pencetus awal pandangan tersebut. Dengan
kata lain, di sini ia terlihat menyandarkan upayanya dalam memperoleh
pengetahuan pada keterikatan sebab, dan akibat yang sistematis.26
Selanjutnya premis-premis dalam logika haruslah merupakan sebuah
pernyataan yang benar, primer, dan diperlukan.27 Maka dari itu, pada
tahapan ini sumber pengetahuan yang mampu dicapai oleh rasio sangatlah
bergantung pada logika ataupun kemampuan akal dalam merasiokan suatu
hal itu sendiri.

21 Ibid., 40-41.
22 Maksud kaidah, di sini adalah suatu pernyataan yang mengandung kebenaran universal.
23
Prinsip identitas menyatakan bahwa suatu benda, adalah benda itu sendiri. Artinya benda
tersebut harus mengandung suatu makna yang sependapat dalam sebuah percakapan, atau
memiliki suatu sifat yang konsisten. adapun prinsip non-kontradiktif menyatakan bahwa tidak
mungkin suatu benda memiliki makna yang saling bertolak belakang, dalam waktu dan
kondisi yang sama. Selanjutnya eksklusi tertii, menyatakan bahwa tidak mungkin sebuah
benda memiliki makna yang berlawan dan keduanya bermakna benar, ataupun keduanya
salah. Dan tidak mungkin menggabungkan keduanya dalam satu waktu. Hal ini kemudian
dilengkapi dengan prinsip cukup alas an, atau adanya suatu benda harus memiliki suatu alasan
yang cukup untuk menerangkan maksud dari eksistensinya. Ibid., 44-47.
24 Ibid.,124.
25 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka

Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Belukar, 2008), 207.


26 Muhammad Abid al-Jabiri, Isykaliyyāt al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’āshir (Beirut: Markas

Dirāsāt al-Wahdiyyah al-‘Arabiyyah, 1994), 59.


27 Oesman Bakar, Hierarki Ilmu (Bandung: Mizan, 1997), 106.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 127


Imron Mustofa

Kemampuan merasio ini berkembang menjadi landasan


pengembangan ilmu. Hal ini tampak jelas pada masa penerjemahan ilmu-
ilmu Yunani kedalam dunia Arab. Pada abad kedua hiriah, logika merupakan
salah satu bagian ilmu pengetahuan yang sangat menggoda minat kaum
muslim.28 Pada awal perkembangan ilmu ini terjadi gejolak perbedaan
pendapat tentang mempelajarinya. Ada yang menentangnya seperti Imam
Nawawi, adapula yang mendukungnya seperti Imam al-Ghazali. Namun
mayoritas ulama’ menganjurkannya bagi mereka yang memiliki kemampuan
yang mumpuni untuk memperlajari ilmu ini.29 Terlepas dari perbedaan
pendapat tersebut al-Kindi, dan al-Farabi mempedalami disiplin ilmu ini.
Mereka mempelajari kaidah-kaidah, serta pola dalam penggunaannya,
kemudian mengujinya dalam kehidupan sehari-hari, guna membuktikan
benar atau salahnya. Hal ini bisa dibilang suatu langkah yang sangat berani,
mengingat ia belum pernah dilakukan sebelumnya.30
Perkembangan selanjutnya dalam rentang waktu abad 13 sampai
abad 15, sebut saja Roger Bacon, Petrus Hispanus, mereka mencoba
menampilkan suatu logika pembacaan yang berbeda dengan apa yang
ditawarkan oleh pendahulu mereka, yaitu Arsitoteles. Logika tersebut
dikenal dengan sebutan Ars Magna. Ia adalah semacam aljabar pengertian
dengan maksud membuktikan kebenaran tertinggi.31 Silogisme, dan Ars
Magna keduanya menjadi bagian dari pola fikir yang turut mewarnai
perkembangan keilmuan di dunia masa itu, sebelum lahir Francis Bacon
yang menawarkan sebuah metode yang diklaim baru yang disebut dengan
metode penalaran induktif, dalam karyanya Novum Organum Scientiarum.
W. Leibniz yang mengenalkan logika aljabar dalam memberi kepastian,
ataupun Kant yang menemukan Logika Transendental.32 Dan masih banyak
lagi nama-nama besar dalam hai ini, seperti Bertrand Russell, G.Frege, dan
lain sebagainya.
Puncak dari perkembangan logika ini berakhir sebagai suatu cara
pandang terhadap dunia (worldview). Meskipun hasil berfikir tidak
semuanya membuahkan tindakan, adakalanya saat hal itu hanya akan
menjadi hanya sebagai buah pikiran belaka. Ini juga tidak menutup
kemungkinan untuk berarkhir dalam sebuah tindakan konkret. Tindakan itu
mungkin dibangun dalam konteks yang spesifik, seperti dalam cabang ilmu
matematika, sebuah game, ataupun sebuah penelitian ilmiah. Namun pada
umumnya cara berfikir ilmiah ini akan berujung pada sebuah tindakan, yang

28 Mundiri, Logika, 2-3.


29 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Ilmu (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 33-35.
30 Ibid., 29-30.
31 Mundiri, Logika., 3-4.
32 Untuk keterangan lebih lanjut lihat: Herbert J. Muller, Science and Criticism (New Haven:

Yale University Press, 1943), 63-68.

128 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

disesuaikan dengan konteks permasalahan yang dihadapi. Ia mengandung


rencana atau rancangan, pilihan, ataupun keputusan yang akan diambil.
Keputusan dari tindakan inilah yang kemudian hari akan berkonsekuensi
yang akan dirasakan oleh masyarakat global. Hal ini sangat mungkin
bersenggolan dengan beberapa elemen, seperti: nilai, ide, sistem, keyakinan
dasar, dan elemen lainnya, yang kesemuanya tidak terjadi begitu saja dalam
sebuah kekosongan. Manusia kini dituntut untuk dapat hidup secara global,
maka orang lain, ataupun lingkungan akan selalu terimbas dampak dari
berbagai tindakan yang lahir dari inisiatif, ataupun keputusan yang dibuat
oleh individu. Artinya semua tindakan, baik yang kita komunikasikan secara
eksplisit, ataupun implisit akan memunculkan akibat bagi masyarakat luas.33
Pola pikir atau yang biasa didengungkan dengan logika adalah salah
satu faktor yang paling mendasar yang mempengaruhi tindakan manusia.
Sehingga komunikasi antara pikiran dan perbuatan sudah menjadi sebuah
paket yang tidak terpisahkan.34 Orang yang sudah terbiasa berfikir logis,
maka ia memandang segala sesuatu secara logis. Karenanya peran logika
adalah sebagai salah satu sentral perkembangan ilmu pengetahuan, yang
mana ilmu inilah yang memperngaruhi cara manusia dalam memandang
hakekat dunia, atau worldview. Sehingga worldview tersebutlah yang akan
membangun peradaban manusia.

Hubungan Logika dengan Filsafat


Ilmu sering diartikan sebagai suatu alat untuk mengetahui segala hal
yang belum diketahui, baik ia bersifar riil, ataupun abstrak, dengan
keyakinan yang berdasar, entah ia sesuai dengan kenyataan ataupun tidak.35
Adapun logika sering diartikan sebagai suatu cara bernalar secara sistematis,
atau tepatnya cara untuk mencari jalan, guna tercapainya ilmu yang benar.36
Karena kedua hal tersebut tidaklah mungkin dapat dispisahkan, karena
keduanya saling melengkapi satu sama lainnya. Jadi logika, ialah jalan untuk
mencapai pengetahuan yang benar, dan ilmu yang benar membutuhkan
logika.
Dalam hidup, panca indra manusia pastilah akan sering terbentur
dengan banyak hal, terlebih lagi apa yang belum ia ketahui. Karenanya ia
sangatlah memerlukan bantuan dari akal, ilmu, serta cara bernalar yang
benar. Sehingga dengan alat tersebut, maka akhirnya sesuatu yang tadinya

33 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Roshda Karya, 2005), vii.
34 A Muis, Komunikasi Islami (Bandung: Remaja Roshda Karya, 2001), 38.
35 Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi (T.t.: Mizan Pustaka,

2005), 113.
36 Lembaga untuk Transformasi Sosial Indonesia, Wacana (T.t.: Yayasan Obor Indonesia,

2006), 192. lihat juga: Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, Asas-Asas Penalaran Sistematis
(Yogyakarta: Kanisius, t.th.), 18.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 129


Imron Mustofa

tidak mungkin diketahui manusia, menjadi bukan lagi sebuah kemustahilan


untuk dicapai olehnya. Sehingga sesuatu yang tadinya asing, akan dapat di
mengerti dan dipahami dengan segala sifat dan karaktersitiknnya.37 Lebih
jauh lagi, jika dikaitkan dengan disiplin keilmuan lain, maka indentifikasi
terhadap karakteristik suatu ilmu pengetahuan, adalah inti pola pemikiran
filsafat.38
Filsafat sendiri tidak dapat didefinisikan secara pasti, karena ia
berkaitan dengan masing-masing filsuf yang berkaitan dengannya. Seperti
Plato, yang menyatakan filsafat sebagai ilmu yang berusaha meraih sebuah
kebenaran yang murni. Adapun menurut Aristoteles, ia adalah suatu ilmu
pengetahuan yang berusaha mencari prinsip-prinsip dan penyebab dari
adanya suatu realitas.39 Namun secara singkat kita dapat mendefinisikannya
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang berusaha memahami hakekat alam,
dan realitas, serta membawa manusia untuk menelusuri batas-batas
kemanusiaan, dan mengimani batas-batas ketuhanan, yang artinya ia sangat
berkaitan dengan rasio dalam menalar dan iman dalam meyakini.
Dalam perkembangannya filsafat sering dikatakan sebagai kakak
kandung dari logika, maka dari itu ia harus lebih “pintar” dari logika itu
sendiri. Hal ini dikarenakan bahwa inti dari filsafat adalah membentuk
sebuah pola pikir, bukan sekedar mengisi kepada dengan fakta-fakta.
Sehingga kelebihan filsafat itu sendiri dapat dikatakan mampu melengkapi
manusia dalam banyak bidang non akademis, bahkan ia juga diplot mampu
membawa perubahan kemandirian intelektual, dan dogmatis.40 Maka dari itu,
berfilsafat berarti menyusun dan mempertanyakan keyakinan-keyakinan
seseorang dengan menggunakan argumentasi rasional.41
Maka jika dikatakan bahwa filsafat merupakan penyempurnaan dari
logika, lantas perlu diketahui beberapa faktor minus dari logika yang
dilengkapi, atau ditambal oleh filsafat, di antaranya adalah beberapa
pandangan berikut:
A. Logika sebagai “Instrumentalisme.”
Logika di sini dianggap sebagai sebuah sarana atau instrument,42
sehingga ia dianggap hanya akan menciptakan hal yang sebenarnya. Karena
apabila manusia menitik pusatkan alam, maka ia akan memberikan kepastian
yang jalas, dan dalam cakupan yang lebih luas. Namun tidak demikian jika
pusatnya adalah kehidupan, sebab hidup hanya membawa kepada
37 Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu (T.t.: Mizan, 2005), 108.
38 Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika Dalam Islam (T.t.: Narasi, t.th.), 64.
39 Jan Hendrik Rapar, Pustaka Filsafat Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, t.th.), 14-

15.
40 Mark B. Woodhouse, Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 49.
41 Ibid., 55.
42 M. Sastrapratedja, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hkm Kodrat Th. Aquinas

(Yogyakarta: Kanisius, 2002), 13.

130 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

ketidakpastian.43 Hal inilah yang setidaknya menurut Joseph S. Wu


membedakan antara orang Barat, yang menitik beratkan kepada Alam, dan
orang Timur kepada Kehidupan.44
Pada umumnya, logika dianggap sebagai instrumen untuk membuat
intelligen tindakan yang terlibat rekonstruksi situasi problematik. Tindakan
tersebut akan melahirkan sebuah proses, yang simbolisasi dan proposional.45
Proposisi-proposisi ini pada umumnya merupakan alat-alat logis, yang
merupakan serangkaian keputusan yang diambil. Dan karena instrumen
tersebut adalah berupa ide, maka kebenaran ataupun nilainya ditentukan
seperti menentukan kebaikan sebuah alat, dengan cara menggunakannya
dalam praktek, ataupun dalam memecahkan masalah.46 Artinya tingkat
kebenaran alat tersebut akan ditentukan dengan bagaimana keadaan, dan
hasil darinya ketika ia digunakan dalam sebuah praktek dalam memecahkan
permasalahan.
B. Logika sebagai “Formalisme.”
Anggapan bahwa dengan mengikuti hukum-hukum pikir maka
seseorang dapat mencapai sebuah kebenaran. Sehingga kontradiksi antara
suatu komitmen pada aturan-aturan secara mekanis dapat diterapkan sebagai
suatu bentuk penyelesaian perselisihan yang tepat.47 Artinya logika diplot
sebagai sebuah track yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah
probelmatika, karena ia bersifat skematis, dan teratur..
Dalam perkembangannya, sketimatisme logika, keterlibatan, dan
keterarurannya yang dipegang secara teguh tanpa kompromi, mendapatkan
sentilah cukup kerat dari beberapa tokoh filsafat, salah satunya Jascues
Derrida. Ia menawarkan sebuah paradigma dekonstruksi untuk konstruksi-
konstruksi yang beku yang akan berakibat pada kematian inspirasi-inspirasi
yang lahir dari batin yang telah mati sebagai akibat dari formalisme ini.48
Baginya, manusa tidak bisa selamanya untuk tunduk sepenuhnya pada
rasionya, namun ada batasannya saat di mana ia harus mempertimbangkan
bisikan batinnya.
C. Logika sebagai “Universalisme.”
Keyakinan yang mengatakan bahwa pengetahuan yang merupakan
hasil dari pekerjaan logika bisa mencapai derajat kebenaran universal
(kehidupan universal). Hal inilah yang dikenal dalam istilah John Stuart Mill
sebagai Universal Postulates of All Reasoning.49 Ia mejadi hukum dasar
43 Archie J. Bahm, Filsafat Perbandingan (Yogyakarta: Kanisius, t.th.), 41-42.
44 Ibid.
45 Haninah, Agama Pragmatis (T.t.: Indonesia Tera, 2001), 51-52.
46 Ibid.
47 Richard A. Epstein, Skeptisisme dan Kebebasan (T.t.: Yayasan Obor Indonesia, t.th.), 45.
48 Mudji Sutrisno, Oase Estetis: Estetika Dalam Kata dan Sketza (Yogyakarta: Kanisius,

2006), 138.
49 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, 18.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 131


Imron Mustofa

logika, untuk mencapai hal inilah mengapa dalam silogisme Aristoteles,


sebuah proposisi yang bersifat universal selalu didahulukan sebelum
menyebutkan hal-hal yang bersifat khusus.50 Maka dari itu walaupun logika
bersifat universal namun ia mengandung implikasi parsial yang kesemuanya
akan mengantarkan kepada adanya keterbatasan manusia.51
Pemahaman bahwa pengetahuan produk logika bersifat universal,
telah mendapat kritikan yang tidak ringan. Kant salah satunya, ia melihat
logika tidak mungkin untuk dapat digunakan dalam semua lini kehidupan
manusia. Ia juga mencontohkan bahwa untuk menilai sebuah tingkat
keindahan yang menimbulkan kesenangan ataupun kenikmatan tidak
mungkin dilakukan dengan logika. Keindahan menurutnya bukanlah sebuah
konsep penilaian mengenai sebuah obyek, dan penilaian terhadap rasa bukan
pula suatu hal yang kognitif, ia bersifat personal, subyektif, dan tidak
rasional.52 Sehingga perasaan individu manusia tidak logis pun memiliki
universalitas penilaian, khususnya dalam bidang yang bersifat apriori.
D. Logika sebagai “Saintisme”
Suatu anggapan yang mengatakan bahwa suatu pengetahuan yang
ada pada derajat keilmiahan tertinggi adalah sains. Adapun posisi logika
merupakan alat control, dan baca ilmu pengetahuan, namun ia tidak
sepenuhnya mutlak sebagai dasar dari sains yang ada. Dalam pandangan ini
filsafat, dinilai menolak untuk menerima apapun yang tidak bisa diketahui
secara jelas, dan terpilah-pilah.53 Sehingga suatu ilmu pengetahuan haruslah
merupakan suatu hal yang diafirmasi oleh bukti-bukti yang nyata, dan dapat
dipertanggung jawabkan secara rasional.
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwasanya peran
filsafat adalah memeriksa prinsip-prinsip yang digunakan oleh para pemikir
dalam mengolah data, analisis, dan pengambilan kesimpulan teoritis dari
sebuah penelitian.54 Dengan kata lain, filsafat menilai proses kerja, dan
logika internal dalam dunia penelitian saintifik.55 Selain itu, ia juga
memungkinkan uttuk memeriksa efek-efek dari suatu ilmu pengetahuan dan
dampaknya terhadap eksistensi kehidupan manusia.
Sampai di sini dapat kita simpulkan bahwa dalam dalam
menanggapi suatu permaslahan, seorang ilmuwan bukan hanya berpijak di
satu jalan pikiran saja namun juga harus mengalir dengan pola-pola yang
teratur, serta mengkaji dengan teliti segenap materi yang ia miliki. 56 Ia tidak
50 Jan Hendrik Rapar, Pustaka Filsafat, 105-106.
51 Muhammad Muhyidin, Berani Hidup Siap Mati (T.t.: Mizan Publika, t.th.), 67.
52 Mudji Sutrisno, Teks-teks Kunci Estetika: Filsafat Seni (T.t.: Galangpress Group, 2005), 19.
53 Reza AA Wattimena, Filsafat & Sains (Sebuah Pengantar) (T.t.: Grasindor, t.th.), 95.
54 Ibid., 96.
55 Tommy F. Awuy, Problem filsafat moderen dan dekonstruksi (T.t.: Lembaga Studi Filsafat,

1993), 89.
56 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu,243.

132 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

menerima ataupun menolak sesuatu begitu saja tanpa pemikiran yang cermat
dan mendalam. Di sinilah kelebihan seorang ilmuan dibanding orang awam.
Walaupun demikian tidak sedikit ilmuan yang tergelincir dalam asumsi yang
kurang tepat, seperti halnya tidak sedikit orang yang terbius pendapat Hitler
yang menilai bahwa Jerman adalah bangsa Aria, sedangkan Yahudi adalah
pencemarnya, sehingga terjadilah apa yang telah terjadi. Hal ini tiada lain
merupakan sebuah jalan pikiran yang keliru ataupun materi yang tidak benar.
Di sinilah letak kenapa logika memerankan peran yang sangat krusial
sebagai sebuah metode bernalar.
Metode ini merupakan suatu rangkaian langkah yang harus
ditempuh sesuai hirarki tertentu guna mendapatkan suatu pengetahuan. Ia
adalah prosedur tata cara, dan tehnik-tehnik tertentu guna memperoleh
pengetahuan, serta mampu membuktikan benar salahnya sebuah hipotesis
yang telah ada sebelumnya.57 Sehingga jika metode ilmiah adalah sebuah
prosedur yang digunakan ilmuwan dalam mencari suatu kebenaran baru,
maka ia perlu dijalankan secara sistematis dan ditinjau kembali dari
kacamata pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Secara singkat metode
bernalar dapat digolongkan kedalam dua bentuk yang tampak saling bertolak
belakang namun saling melengkapi, yaitu induksi dan deduksi.

Penalaran Deduktif (Rasionalisme/Logika Minor)


Penalaran Deduktif adalah suatu kerangka atau cara berfikir yang
bertolak dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk
mencapai sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus. Ia sering pula
diartikan dengan istilah logika minor, dikarenakan memperdalami dasar-
dasar pensesuaian dalam pemikiran dengan hukum, rumus dan patokan-
patokan tertentu.58 Pola penarikan kesimpulan dalam metode deduktif
merujuk pada pola berfikir yang disebut silogisme. Yaitu bermula dari dua
pernyataan atau lebih dengan sebuah kesimpulan. Yang mana kedua
pernyataan tersebut sering disebut sebagai premis minor dan premis mayor.
Serta selalu diikuti oleh penyimpulan yang diperoleh melalui penalaran dari
kedua premis tersebut. Namun kesimpulan di sini hanya bernilai benar jika
kedua premis dan cara yang digunakan juga benar, serta hasilnya juga
menunjukkan koherensi data tersebut.59 Contoh dari penggunaan premis
dalam deduksi: Premis Mayor: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah
dosa. Premis Minor: Menipu merugikan orang lain. Kesimpulan: Menipu
adalah dosa. Selain itu, matematika sebagai salah satu disiplin keilmuan

57 Julia Branner, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (Samarinda: Pustaka
Pelajar, 2002)
58 Mundiri, Logika., 14
59 Maksud koheren di sini adalah konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap

benar. Lihat: Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, 55-57.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 133


Imron Mustofa

yang yang menerapkan prinsip koherensi di dalam pembuktian


kebenarannya.
Penalaran deduktif merupakan salah satu cara berfikir logis dan
analistik, yang tumbuh dan berkembang dengan adanya pengamatan yang
semakin intens, sistematis, dan kritis. Juga didukung oleh pertambahan
pengetahuan yang diperoleh manusia, yang akhirnya akan bermuara pada
suatu usaha untuk menjawab permasalahan secara rasional sehingga dapat
dipertanggung jawabkan kandungannya, tentunya dengan mengesampingkan
hal-hal yang irasional. Adapun penyelesaian masalah secara rasional
bermakna adanya tumpuan pada rasio manusia dalam usaha memperoleh
pengetahuan yang benar. Dan paham yang mendasarkan dirinya pada proses
tersebut dikenal dengan istilah paham rasionalisme. Metode deduktif dan
paham ini saling memiliki keterikatan yang saling mewarnai, karena dalam
menyusun logika suatu pengetahuan para ilmuan rasionalis cenderung
menggunakan penalaran deduktif.
Lebih jauh lagi deduksi sering lahir dari sebuah persangkaan
mayoritas orang. Sehingga hampir bisa dikatakan bahwa setiap keputusan
adalah deduksi, Dan setiap deduksi diambil dari suatu generalisasi yang
berupa generalisasi induktif yang berdasar hal-hal khusus yang diamati.
Generalisasi ini terjadi karena adanya kesalahan dalam penafsiran terhadap
bukti yang ada. Generalisasi induktif sering terjadi dari banyaknya tumpuan
pada pengamatan terhadap hal-hal khusus yang kenyataanya tidak demikian.
seperti halnya kesalahan dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien, hal ini
terjadi karena tanda-tandanya sama namun bisa jadi ada penyakit lain
dengan tanda-tanda seperti itu, ataupun kasus polisi yang menyelidiki barang
bukti di tempat tindakan kriminal.
Ada beberapa teori yang sering dikaitkan dengan penalaran deduktif.
Di antaranya “teori koherensi”, serta “teori kebenaran pragmatis.”60 Hal
yang disebut terakhir merupakan sebuah proses pembuktian secara empiris
dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta real yang mendukung semua
pernyataan sebelumnya. Adapun pencetus teori ini adalah Charles S. Pierce
dalam sebuah makalah dengan judul “how to make our ideas clear?” yang
terbit pada tahun 1878. Bagi seorang penggiat pragmatisme, kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan ada tidaknya fungsional hal tersebut dalam
kehidupan praktis. Dengan kata lain, sebuah pernyataan bernilai benar jika
berkonsekuensi dengan adanya kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia.61 Sehingga penalaran deduktif juga sering diartikan sebagai sebuah
metode eksperimen.

60Ibid.
61Seperti halnya dengan kepercayaan kaum pragmatis terhadap sistem demikrasi, karena ia
merupakan bentuk fungsional dalam menentukan consensus masyarakat luas. Lihat: Jujun S.
Supriasumantri, Filsafat Ilmu,59

134 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

Kelebihan model ini adalah terletak pada faktor kebutuhan fokus


yang intens dalam menganalisa suatu pengertian dari segi materinya,
sehingga penggunaan waktu bisa lebih efisien. Bahkan dari segi lain
keterampilan yang digunakan bisa tersusun lebih rapi, hal ini bisa terjadi
karena poin-poin yang ingin dicapai sudah jelas. Terlebih pendekatan ini
sesuai untuk digunakan dalam proses pembelajaran, seperti halnya guru
memberikan penerangan sebelum memulai pembelajaran. Selain itu pada
deduksi, kesimpulannya merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-
premisnya. Sehingga pada suatu penalaran yang baik, kesimpulan dapat
menjadi benar manakala premis-premisnya benar. Adapun kelemahannya
terletak pada aktifitas penarikan kesimpulan yang dibatasi pada ruang
lingkup tertentu. Serta jika salah satu dari kedua premisnya, atau bahkan
keduanya salah maka kesimpulan yang didapat berdasarkan premis tersebut
akan salah pula. Kelemahan lainnya adalah kesimpulan yang diambil
berdasarkan logika deduktif tak mungkin lebih luas dari premis awalnya,
sehingga sulit diperoleh kemajuan ilmu pengetahuan jika hanya
mengandalkan logika deduktif. Selain itu manakala argumennya diuji
kebenarannya, maka yang mungkin teruji hanya bentuk atau pola
penalarannya tapi bukan materi premisnya, jadi benar salahnya premis
tersebut tidak dapat diuji.

Penalaran Induktif (Empirisme/Logika Mayor)


Penalaran induktif adalah cara berfikir untuk menarik kesimpulan
dari pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular kedalam gejala-gejala
yang bersifat umum atau universal. Sehingga dapat dikatakan bahwa
penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat terbatas dan khusus lalu
diakhiri dengan statemen yang bersifat komplek dan umum. 62 Generalisasi
adalah salah satu ciri yang paling khas dalam metode induksi. Hanya saja,
generalisasi di sini tidak berarti dengan mudahnya suatu proposisi yang
diangkat dari suatu individu dibawa untuk digeneralisasikan terhadap suatu
komunitas yang lebih luas. Justru, melalui metode ini, diberikan suatu
kemungkinan untuk disimpulkan. Dalam artian, bahwa ada kemungkinan
kesimpulan itu benar tapi tidak berarti bahwa itu pasti benar, sehingga
akhirnya disinilah lahir probabilitas.63
Penalaran model ini dipublikasikan secara massive oleh Francis
Bacon (1561-1626), Bacon yang merasa tidak puas dengan penalaran
deduktif, merasa kecewa kenapa, misalnya masalah jumlah gigi kuda saja

62 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika: Asas-asas Penalaran Sistematis (Yogyakarta:


Kanisius, t.th.), 86.
63 Maksud probabilitas disini adalah Pernyataan yang muatannya suatu hipotesa atau

“ramalan” dengan suatu tingkat keyakinan tertentu tentang akan terjadinya suatu kejadian
dimasa yang akan datang. Lihat: Mundiri, Logika., 183.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 135


Imron Mustofa

harus berdebat habis-habisan, bukannya dengan menggunakan logika


induktif pemecahannya sangat mudah? buka saja mulut-mulut kuda lalu
dihitung jumlah giginya. Dalam satu sisi, walaupun Bacon dianggap sebagai
pencetus penalaran ini namun pada hakekatnya telah berhutang budi pada
sarjana muslim yang telah mengenalkan metode ini, dalam kurun waktu
antara abad 9-12 masehi.64 H.G. Wells menyimpulkan bahwa semangat
pencarian kebenaran ini dimulai oleh para pemikir Yunani, dan kembali
dikobarkan oleh pemikir Muslim.65 Sehingga estafet penalaran ini dimulai
dari pemikir Yunani, disesuaikan oleh Muslim, dan ditiru oleh Bacon.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, induksi merupakan sebuah cara
berfikir yang memiliki andil besar dalam perkembangan peradaban manusia.
Maka dari itu setiap pola berfikir memiliki identitasnya masing-masing.
Ciri khas dari penalaran induktif adalah generalisasi. Generalisasi
dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama, yang dikenal
dengan istilah induksi lengkap, yaitu generalisasi yang dilakukan dengan
diawali hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu
peristiwa yang diteliti. Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap
rumah di desa ada pohon kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan
pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki pohon kelapa.” Maka
generalisasi macam ini tidak bisa diperdebatkan dan tidak pula ragukan.66
Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau
bahkan dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang biasa
disebut dengan induksi tidak lengkap.67 Dalam penalaran induksi atau
penelitian ilmiah sering kali tidak memungkinkan menerapkan induksi
lengkap, oleh karena itu yang lazim digunakan adalah induksi tidak lengkap.
Induksi lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya
telah diteliti dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua premis
itu diamati dengan teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah
diambil suatu kesimpulan umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap.68
Bahkan manakala seseorang seusai mengamati hal-hal partikular kemudian
mengeneralisasikannya, maka sadar atau tidak, ia telah menggunakan
induksi. Generalisasi di sini mungkin benar mungkin pula salah, namun yang
lebih perlu dicermati adalah agar tidak terjadi sebuah kecerobohan
generalisasi. Misalnya “sarjana luar negeri lebih berkualitas daripada sarjana

64 JIka ingin memperdalam pembahasan ini, silahkan baca: Saleh Iskandar Poeradisastra,
Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern (Jakarta: Girimukti Pasaka, 1981)
65 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, 113.
66 Protasius Hardono Hadi, dan Kenneth T. Gallagher, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan

(Yogyakarta: Kanisius, 1994), 135.


67 Jan Hendrik Rapar, Pengantar Logika, 86.
68 Protasius Hardono Hadi, dan Kenneth T. Gallagher Epistemologi, 135.

136 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

dalam negeri.” Jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering kita dapati.
Alasanya sederhana, keterbatasan manusia.
Induksi sering pula diartikan dengan istilah logika mayor, karena
membahas pensesuaian pemikiran dengan dunia empiris, ia menguji hasil
usaha logika formal (deduktif), dengan membandingkannya dengan
kenyataan empiris.69 Sehingga penganut paham empirme yang lebih sering
mengembangkan pengetahuan bertolak dari pengalaman konkrit. Yang
akhirnya mereka beranggapan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah
yang diperoleh langsung dari pengalaman nyata. Dengan demikian secara
tidak langsung penggiat aliran inilah yang sering menggunakan penalaran
induktif. Karena Penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi indrawi
atau empiris. Dengan kata lain penalaran induktif adalah proses penarikan
kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat individual nyata menjadi
kesimpulan yang bersifat umum.70 Inilah alasan atas eratnya ikatan antara
logika induktif dengan istilah generalisasi, serta empirisme.
Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada
suatu dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati sampai
mengerucut pada suatu kesimpulan yang general.71 Sebagai contohnya jika
kita ingin mengetahui berapa rata-rata tinggi badan anak umur 9 tahun di
Indonesia tentu cara paling logis adalah dengan mengukur tinggi seluruh
anak umur 9 tahun di Indonesia. Proses tersebut tentu akan memberikan
kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan namun pelaksanaan dari
proses ini sendiri sudah menjadi dilema yang tidak mudah untuk
ditanggulangi.
Di samping itu, guna menghindari kesalahan yang disebabkan
karena generalisasi yang terburu, Bacon menawarkan empat macam idola
atau godaan dalam berfikir: Pertama, idola tribus, yaitu menarik
kesimpulan, tanpa dasar yang cukup. Artinya, kesimpulan diperoleh darik
pengamatan yang kurang mendalam, dan memadai, sehingga ia diambil dari
penelitian yang masih dangkal. Kedua, idola spesus, yakni, kesimpulan yang
dihasilkan bukan berdasarkan pengamatan yang cukup, namun lebih sebagai
hasil dari prasangka belaka. Ketiga, idola fori, poin ketiga ini cukup
menarik, karena kesimpulan lahir hanya sebatas mengikuti anggapan
ataupun opini public secara umum. Dan terakhir, idola theari, anggapan
bahwa dunia ini hanyalah sebatas panggung sandiwara, makanya kesimpulan
yang diambil hanya berdasarkan mitos, doktrin, ataupun lainnya.72 Jika
seandainya keempat idola ini dapat dihindari oleh seorang peneliti, maka

69 Mundiri, Logika, 14.


70 Jujun S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu, 46.
71 Ibid., 216.
72 Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu, 104-105.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 137


Imron Mustofa

kasimpulan yang dihasilkan dapat dikategorikan sebagai sebuah hasil yang


valid.
Seperti halnya hal yang lain, Pengambilan kesimpulan secara
induktif juga tidak luput dari kekeliruan. Ia juga tidak bisa menghindari
adanya error seperti adanya ketidak telitian dalam pengamatan. Yang
dipengaruhi banyak faktor, sebut saja alat atau panca indra yang tidak
sempurna.73 Hal yang sama juga terjadi pada statistika, ia notabennya
bertujuan memperingan kerja penggiat penalaran induktif dengan metode
pengambilan samplenya, namun akhirnya kesadaran statistika yang
menganggap kebenaran absolut tidak mungkin dapat dicapai walaupun ada
kemungkinan bahwa kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan dapat
dicapai,74 telah membawa manusia kedalam suatu sikap relativis.
Terlepas dari itu semua, kegiatan ilmiah mutlak memerlukan sebuah
pengujian atas hipotesis yang ada. Pengujian ini dilakukan dengan melihat
pada fakta ilmiah yang ada. Maka disinilah diperlukan sebuah metode
induktif. Umpamanya, untuk menguji hipotesis bahwa “Mahasiswa
pascasarjana semester 2 ISID lebih antusias pada mata kuliah filsafat ilmu,
dari pada statistika” diperlukan pengumpulan fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut. Yaitu dengan mengadakan wawancara kepada seluruh
ataupun sebagian mahasiswa tersebut, sebagai representif dan obyektif dari
keseluruhan populasi mereka.
Penalaran ini diadobsi oleh banyak penggiatnya, karena ia
dipandang dapat memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang ragam pengetahuan
yang akan dituju. Sehingga lebih mudah menemukan pola-pola tertentu
suatu ilustrasi yang ada. Ia juga dinilai efektif untuk memicu keterlibatan
yang lebih mendalam dalam suatu proses pencapaian kesimpulan. Sebabnya
tiada lain adalah adanya kasus awal yang tepat. Adapun kelemahan dari
proses ini antara lain, Penalaran induktif, sesuai dengan sifatnya, yaitu tidak
memberikan jaminan bagi kebenaran kesimpulannya. Meskipun, premis-
premisnya semua benar, tidak otomatis membawa kebenaran pada
kesimpulan yang diperoleh, selalu saja ada kemungkinan terdapat sesuatu
yang tidak sama sebagaimana di amati. Serta pada induksi, kesimpulannya
bukan merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya. Sehingga
pada suatu penalaran yang baik, kesimpulan tidak dapat menjadi benar 100%
manakala premis-premisnya benar. Atau dengan kata lain kelengkapan
kesimpulannya hanya dapat menjadi bersifat tidak lebih dari “mungkin
benar” manakala kesemua premis-premisnya benar. Sehingga kesimpulan
penalaran induktif tidak 100 % pasti. Selain itu besarnya ada kemungkinan
ketidaktelitian di dalam pengamatan atau human error, yang dipengaruhi
banyak faktor, sebut saja fasilitas ataupun panca indra yang tidak
73 Ibid., 218.
74 Ibid., 220.

138 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

sempurna.75 Maka di sini perlunya ketersediaan tenaga pembimbing yang


terampil. Serta model ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang
diamati, dengan kata lain perlunya sebuah kondisi yang benar-benar
kondusif dalam proses observasi, serta penyimpulannya. Serta waktu yang
dibutuhkan cenderung lebih lama dari pada model deduktif, serta persiapan
menuju proses ini terkesan lebih banyak karena harus siap menghadapi
kondisi seperti apapun.
Baik penalaran induktif ataupun deduktif kesemuanya memiliki
kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Yang mana keduanya telah
ikut memberikan corak cara berfikir ilmiah modern saat ini. Jika berpijak
pada induktif semata maka ilmu pengetahuan akan berada dalam suatu
“kegelapan ilmiah” begitu pula jika hanya pada deduktif belaka maka ia
tidak akan maju. Maka dari itu dengan berkaca pada aspek positif dan
negatif dari keduanya, orang kemudian mencoba mengkolaborasikan,
memodifikasi, dan mengembangkan keduanya menjadi sebuah sistem
penalaran ilmiah modern saat ini (scientific method), atau dalam istilah John
Dewey dikenal dengan berpikir reflektif (reflective thinking).76 Dan yang
oleh Anderson dirumuskanlah langkah-langkah metode ilmiah tersebut, yang
meliputi: 1) Perumusan masalah. 2) Penyusunan hipotesis. 3) Melakukan
eksperimen/pengujian hipotesis. 4) Pengumpulan dan pengolahan data. 5)
pengambilan kesimpulan. Artinya, lahirlah ilmu yang memiliki kerangka
penjelasan yang masuk serta mencerminkan kenyataan yang sebenarnya.77

Penutup
Penalaran atau metode berfikir ilmiah menghendaki pembuktian
kebenaran secara terpadu antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual,
serta mengggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan
menggunakan asumsi dasar atau hipotesa sebagai jembatan penghubungnya.
Induksi dan deduksi sebagai penalatan atau metode ilmiah bukan
tanpa kekurangan, karena itu tugas kita adalah mencoba identifikasi apa
kelebihan dan kekurangan metode ilmiah ini. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan metode penalaran ilmiah yang menghendaki pembuktian
kebenaran secara terpadu antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual,
menggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan menggunakan
hipotesis sebagai jembatan penghubungnya. Sehingga dari sini diharapkan
dapat melahirkan alur penalaran ilmiah yang baik dan benar.

75 Ibid., 218.
76 D. Van Dalen, Understanding Educational Research (New York: Mc Graw Hill Book,
1973), 13.
77 R.D. Anderson, Developing Children Thinking through Science (New Jersey: Prentice Hall,

1970), 5. Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan,15.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 139


Imron Mustofa

Perumusan Masalah

Khazanah Deduksi Penyusunan Kerangka


Pengetahuan Ilmiah Koherensi Berfikir

Perumusan Kerangka
Berfikir

Induksi
Korespondens
Pragmatisme i

Diterima Pengujian Hipotesis Ditolak

Daftar Rujukan
Anderson, R.D. Developing Children Thinking through Science. New Jersey:
Prentice Hall, 1970.
Awuy, Tommy F. Problem filsafat moderen dan Dekonstruksi. T.t.:
Lembaga Studi Filsafat, 1993.
Bagir, Zainal Abidin. Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi. T.t.:
Mizan Pustaka, 2005.
Bahm, Archie J. Filsafat Perbandingan. Yogyakarta: Kanisius, t.th.
Bakar, Oesman. Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan, 1997.
Bakry, Noor Ms. Logika Praktis Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu.
Yogyakarta: Liberty, 2001.
Branner, Julia. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.
Samarinda: Pustaka Pelajar, 2002.
Capra, Fritjop. Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan
Kebudayaan, terj. M. Thoyibi. Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1998.
Dalen, D. Van. Understanding Educational Research. New York: Mc Graw
Hill Book, 1973.
Epstein, Richard A. Skeptisisme dan Kebebasan. T.t.: Yayasan Obor
Indonesia, t.th.
Faruqi (al), Ismail Raji. Islamization of Knowledge: General Principles and
Work Plan. Washington: International Institute of Islamic Thought,
1982.

140 Jurnal El-Banat


Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah

Gie, Teh Liang. Dari Administrasi ke Filsafat. Yogyakarta: Supersukses,


1982.
Hadi, Protasius Hardono et al. Epistemologi, Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Hanafi, A. Pengantar Filsafat Ilmu. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Haninah. Agama Pragmatis. T.t.: Indonesia Tera, 2001.
Hardiman, Budi F. Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia, 2004.
Supriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Sinar Harapan, 1985.
Hunnex, Milton D. Peta filsafat: Pendekatan Kronoligis dan Tematik.
Jakarta: Teraju, 2004.
Jabiri (al), Muhammad Abid. Isykaliyyāt al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’āshir.
Beyrut: Markas Dirāsāt al-Wahdiyyah al-‘Arabiyyah, 1994.
Kneller, Geoge F. Introduction to the Philosophy of Education. New York:
John Willey & Son, 1964.
Lembaga untuk Transformasi Sosial Indonesia, Wacana. T.t.: Yayasan Obor
Indonesia, 2006.
Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2006.
Muhyidin, Muhammad. Berani Hidup Siap Mati. T.t.: Mizan Publika, t.th.
Muis, A. Komunikasi Islami. Bandung: Remaja Roshda Karya, 2001.
Muller, Herbert J. Science and Criticism. New Haven: Yale University
Press, 1943.
Mundiri, Logika. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Muslih, Mohammad. “Problem Keilmuan Kontemporer dan Pengaruhnya
Terhadap Dunia Pendidikan”, Tsaqafah jurnal Peradaban Islam.
vol. 8, no. 1, April 2012
______ Filsafat Ilmu, Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka
Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2008.
Poeradisastra, Saleh Iskandar. Sumbangan Islam kepada Ilmu dan
Kebudayaan Modern. Jakarta: Girimukti Pasaka, 1981.
Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional
hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, t.th.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Roshda
Karya, 2005.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Logika, Asas-Asas Penalaran Sistematis.
Yogyakarta: Kanisius, t.th.
______ Pustaka Filsafat Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, t.th.
Sastrapratedja, M. Etika Dan Hukum: Relevansi Teori Hkm Kodrat Th.
Aquinas. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Sholikhin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam. T.t.: Narasi,
t.th.

El-Banat Vol. 6. No. 2, Juli-Desember 2016 141


Imron Mustofa

Suhartono, Suparlan. Sejarah Pemikiran Filsafat Modern. Yogyakarta: Ar


Ruzz Media, 2005.
Sutrisno, Mudji. Oase Estetis: Estetika Dalam Kata dan Sketza. Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
______ Teks-teks kunci estetika: Filsafat Seni. T.t.: Galangpress Group,
2005.
Wattimena, Reza A.A. Filsafat & Sains (Sebuah Pengantar). T.t.: Grasindor,
t.th.
Woodhouse, Mark B. Berfilsafat: Sebuah Langkah Awal. Yogyakarta:
Kanisius, 2000.

142 Jurnal El-Banat


INSPIRAMATIKA | Jurnal Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Matematika
Volume 3, Nomor 2, Desember 2017, ISSN 2477-278X, e-ISSN 2579-9061

PROFIL KEMAMPUAN PENALARAN DEDUKTIF MAHASISWA


PADA MATERI RUANG VEKTOR

Palupi Sri Wijayanti


Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UPY
Jl. PGRI I Sonosewu No. 117, Yogyakarta, palupi@upy.ac.id

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil kemampuan penalaaran deduktif mahasiswa pada
materi ruang vektor. Kemampuan penalaran deduktif mahasiswa perlu dikembangkan untuk
memberikan pengalaman dalam membuktikan suatu teorema yang sering ditemukan dalam
perkuliahan matematika. Penalaran deduktif adalah proses berfikir yang berawal dari pembuktian
pernyataan-pernyataan khusus untuk diambil suatu kesimpulan secara general. Jenis penelitian ini
adalah deskriptif kuantitatif dan kualititatif. Penelitian dilakukan pada semester gasal di program
studi pendidikan matematika Universitas PGRI Yogyakarta. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah soal tes penalaran deduktif. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif dengan dua macam
yaitu kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan mencari rata-rata,
modus, dan persentase kelulusan kompetensi mahasiswa. pengolahan data kualitatif dilakukan
dengan mengkonversi data kuantitatif ke indikator penalaran deduktif sehingga diperoleh
kategosisasi kemampuan penalaran deduktif mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
profil kemampuan penalaran deduktif mahasiswa pada materi ruang vektor adalah 21% berada
pada kategori rendah, 46% berkategori sedang, dan 33% berkategori tinggi.
Kata Kunci : profil kemampuan, penalaran deduktif, ruang vektor.

ABSTRACT

The aim of this is to determine the profile of students’ deductive reasoning ability on vector space
chapter. Students’ deductive reasoning abilities must develop to enhance students’ experiences to
prove a theorem that is often found in mathematics teaching and learning. Deductive reasoning is a
process of reasoning that begins with the proof of specific statements to take a general conclusion.
The type of this research is descriptive quantitative and qualitative. The research was conducted in
the first of the year grade in mathematics education study program, PGRI University of
Yogyakarta. The instruments of this research use a deductive reasoning test. Analysis of data use
descriptive analysis in qualitative and quantitative. The quantitative data is used to find the mean,
mode, and percentage of students' competencies. The qualitative data is used to show the
categorization of students deductive reasoning ability. The results of this study is the profile of
students deductive reasoning ability on vector space chapter is 21% is in low category, 46% is
moderate category, and 33% high category.
Keywords: skills profile, deductive reasoning, vector space.

75
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82

PENDAHULUAN mahasiswa. Langkah-langkah


Kegunaan pembelajaran pembuktikan yang runtut dan sesuai
matematika yang diperoleh mahasiswa di teorema atau aksioma mengajarkan
kelas dapat dirasakan secara langsung kepada mahasiswa untuk dapat mematuhi
berupa pengembangan proses bernalar. aturan dan memutar pikirian untuk
Proses bernalar dapat disamakan dengan membuktikan kebenaran akisoma dan
proses berfikir seseorang. Terdapat teorema. Pengalaman untuk mengubah-
beberapa macam jenis proses bernalar ubah simbol dan mengolah operasi yang
yaitu: berfikir abstrak, berfikir induktif, bersesuaian dengan teorema dan prinsip
berfikir deduktif, berfikir analogi, dan himpunan bilangan menambah
berfikir integratif (Sari, 2016). kemampuan dan pengalaman mahasiswa
Perkuliahan matematika merupakan dalam memanggil memori, mengaitkan
proses pembelajaran yang juga prinsip, serta fakta yang ada pada
menggunakan proses penalaran. Pada matematika yaitu ruang vektor.
pembuktian suatu pernyataan yang belum Pembelajaran matematika pada
diketahui nilai kebenarnnya dapat mata kuliah aljabar linear dalam materi
diselesaikan dengan salah satu metode ruang vektor mengajarkan mahasiswa
penalaran yaitu penalaran deduktif. untuk mengembangkan proses bernalar
Penalaran deduktif cenderung deduktif. Proses bernalar deduktif yang
mengandalkan logika dalam dikembangkan dilakukan dengan
membuktikan kebenaran suatu mengajak mahasiswa untuk mencari
pernyataan (Hernadi, 2008). Menurut kebenaran suatu pernyataan. Pernyataan
Soedjadi, dalam pembelajaran yang diberikan merupakan permasalahan
matematika pola pikir deduktif sangatlah ruang vektor yang harus dibuktikan
penting dan merupakan salah satu tujuan apakah benar pernyataan tersebut adalah
bersifat formal yang memberikan tekanan ruang vektor atau bukan.
kepada penataan nalar (Sukayasa, 2009). Pada materi ruang vektor umum
Penalaran deduktif yang terdapat pernyataan bahwa semua benda
dilatihkan pada mahasiswa saat u, v, w pada V dan oleh semua skalar k
perkuliahan akan memberikan dampak dan l, maka akan dikatakan V sebagai
yang baik bagi perkembangan logika suatu ruang vektor (vector space) dari

76
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82

semua benda pada V apabila memenuhi yang mengajarkan dalam melogika di


sepuluh aksioma (Anton, 1987). setiap langkah penyelesaian pembuktian
Permasalahan yang diperoleh mahasiswa dapat melatih kemampuan penalaran
dilanjutkan untuk membuktikan suatu mahasiswa untuk menunjukkan
ruang vektor yang harus menunjukkan terpenuhinya aksioma secara empiris dan
terpenuhinya aksioma-aksioma sebagai logis dalam menarik kesimpulan general.
syarat ruang vektor. Metode pembuktian Menurut Sternberg, penalaran
ini disebut sebagai metode penalaran deduktif merupakan proses penalaran
deduktif. Jacobs menyatakan bahwa yang bertujuan untuk mencapai tujuan
“deductive reasoning is a method of tertentu berkaitan dengan satu atau lebih
drawing conclusions from facts that we pernyataan umum mengenai apa yang
accept as true by using logic (penalaran diketahui. Sebanding dengan pernyataan
deduktif adalah suatu cara penarikan Sumaryono yang mengemukakan bahwa
kesimpulan dari pernyataan atau fakta- penalaran deduktif menunut penarikan
fakta yang dianggap benar dengan kesimpulan yang berasal dari hal-hal
menggunakan logika) (Sukayasa, 2009). yang bersifat umum kepada hal-hal yang
Pembuktian sepuluh aksioma bersifat khusus. Tim PPPG juga
ruang vektor umum yang telah dilakukan menyatakan hal yang sejalan bahwa
mahasiswa terkadang tidak semua penalaran deduktif adalah penarikan
jawaban ataupun langkah pembuktian kesimpulan yang prosesnya melibatkan
yang benar sehingga menyebabkan teori atau rumus matematika lainnya yang
penarikan kesimpulan tidak sesuai sebelumnya sudah dibuktikan
dengan definisi ruang vektor. Hal ini kebenarannya (Nike K, 2015).
sering dialami mahasiswa dan terkadang Dengan demikian penalaran
pula sudah benar mengoperasikan deduktif adalah penalaran yang
simbol-simbol pada operasi yang menunjukkan langkah logis suatu bukti
bersesuaian namun belum tepat untuk pengambilan kesimpulan yang
menentukan kesimpulan apakah aksioma bersifat umum. Pengambilan kesimpulan
terpenuhi atau tidak sehingga kesimpulan didasarkan pada bukti-bukti beberapa
umum yang dibuat juga keliru. Oleh empiris secara khusus yang kemudian
karena itu, pembelajaran matematika digeneralkan. Indikator kemampuan

77
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82

penalaran deduktif dalam pembelajaran macam yaitu kualitatif dan kuantitatif.


matematika yaitu: (1) melaksanakan Pengolahan data kuantitatif dilakukan
perhitungan berdasarkan rumus/aturan dengan mencari rata-rata, modus, dan
matematika yang berlaku, (2) menarik persentase kelulusan kompetensi
kesimpulan berdasarkan aturan inferensi, mahasiswa. pengolahan data kualitatif
(3) membuktikan secara langsung, (4) dilakukan dengan mengkonversi data
membuktikan secara tidak langsung, (5) kuantitatif ke indikator penalaran
membuktikan dengan induksi matematik
deduktif sehingga diperoleh kategosisasi
(Sumarno, 2016). Pada materi ruang vektor,
kemampuan penalaran deduktif
indikator kemampuan penalaran deduktif
mahasiswa.
yang diigunakan adalah membuktikan secara
Prosedur penelitian yang
langsung karena akan mengajarkan untuk
dilakukan adalah tahap awal, inti, dan
membuktikan terpenuhinya sepuluh aksioma.
Indikator jawaban yang digunakan untuk akhir. Tahap awal memuat langkah
menentukan perolehan skor antara lain: pengkondisian kelas sampel dengan
penggunaan simbol matematika, operasi yang mengasumsikan kompetensi awal ruang
bersesuaian dengan aksioma, kelengkapan vektor yang dimiliki mahasiswa adalah
sifat aksioma, dan pernyataan kembali untuk homogen. Pada tahap inti dilakukan
menginterpretasikan ke masalah semula. dengan mempersiapkan penyajian materi
dan instrumen pengambilan data. Tahap
METODE PENELITIAN akhir yaitu pengolahan data kuantitatif
Penelitian ini termasuk dalam dan data kualitatif. Pengolahan data
jenis penelitian deskriptif kuantitatif dan kuantitatif didasarkan pada rubrik
kualitatif. Waktu dan lokasi pelaksanaan penskoran kemampuan penalaran
penelitian adalah pada tahun 2017 deduktif sebagai berikut.
semester gasal di program studi Tabel 1. Rubrik Skor Penalaran Deduktif
pendidikan matematika Universitas PGRI Indikator jawaban skor
Yogyakarta. Populasi penelitian adalah
(A) Tidak ada jawaban 0
mahasiswa angkatan 2016 dan sampel (B) Menyatakan data/pernyataan 0 – 3
yang akan dibuktikan dalam
penelitian adalah kelas A1. Instrumen
bentuk simbol matematika.
penelitian yang digunakan adalah soal tes (C) Menyusun model matematika 0 – 3
masalah dan pernyataan yang
penalaran deduktif. Pengolahan data
akan dibuktikan berdasarkan
dilakukan secara deskriptif dengan dua kelengkapan sifat aksioma

78
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82

(D) Mengidentifikasi aksioma 0–3


Tinggi Sedang Rendah
yang menjadi syarat ruang
vektor umum.
(E) Melaksanakan operasi-operasi 0–3
matematika yang relevan 21%
disertai dengan 33%
penjelasan/alasan untuk
memperoleh pernyataan bukti
terpenuhi 46%
(F) Menyatakan kembali bukti ke 0–3
dalam bentuk kalimat biasa
yang menunjukkan
generalisasi Gambar 1. Diagram prosentase profil
Total 15 kemampuan penalaran
deduktif mahasiswa

Pengolahan data kualitatif


Skor minimum sebagai standar
didasarkan pada kriteria kategori
kelulusan kompetensi di Program Studi
kemampuan dalam hasil belajar karena
Pendidikan Matematika UPY adalah 60.
kemampuan penalaran deduktif termasuk
Batas minimum memperoleh skor
dari bagian dari kemampuan dalam hasil
tertinggi adalah 80. Berdasarkan hasil
belajar yang telah dimodifikasi.
penilaian yang diperoleh mahasiswa
Tabel 2. Kategori perolehan skor
menunjukkan selisih yang tidak terlalu
Skor (s) Tingkat kemampuan
besar antara prosentase kategori tinggi,
s ≥ 80 Tinggi
60 ≤ s < 80 Sedang sedang, maupun rendah yaitu sekitar 13-
s < 60 Rendah 18%. Hal ini dapat dianalisis dan ditarik
suatu kesimpulan bahwa tingkat
HASIL DAN PEMBAHASAN
pemahaman mahasiswa yang masih
Setelah dilakukan analisis
rendah bisa ditingkatkan dengan
deskriptif kualitatif dan kuantitatif profil
memberikan waktu tambahan dan tugas
kemampuan penalaran deduktif yang
tambahan sebagai pengulangan dalam
diperoleh mahasiswa kelas A1 disajikan
memperdalam materi pembuktian ruang
berdasarkan grafik berikut.
vektor umum.
Profil kemampuan penalaran
deduktif mahasiswa pada materi ruang
vektor juga dilakukan berdasarkan

79
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82

analisis yang dilihat dari setiap indikator menguasai kompetensi tersebut. Hal ini
jawaban pada rubrik skor. Berikut data ditunjukkan dari jawaban mahasiswa
perolehan skor penalaran deduktif dengan yang telah mampu mengambil suatu
aspek membuktikan secara langsung premis yang sesuai dengan pernyataan
berdasarkan indikator jawaban pada soal yang diberikan. Mahasiswa
mahasiswa dengan skor 0, 1, 2, dan 3.. telah dapat menunjukkan premis tersebut
40 menggunakan simbol matematika sesuai
Banyaknya mahasiswa

30 dengan prinsip matematika yang berlaku


0
20 seperti ruang vektor Rn, Mmxn, P(x),
1
10
2 ataupun yang lain. Sedangkan perolehan
0
A B C D E F 3 skor 2 untuk indikator B hanya terdapat 2
Tipe Indikator jawaban mahasiswa yang memperoleh skor 2
tersebut.
Gambar 2. Diagram perolehan skor
yang disesuaikan dengan Hal di atas menunjukkan bahwa
indikator jawaban hanya ada sedikit mahasiswa yang belum
sempurna menggunakan simbol
Berdasarkan Gambar 2
matematika berdasarkan operasi yang
menunjukan bahwa banyaknya
diminta pada persoalan yang sedang
mahasiswa yang tidak menjawab
dihadapi. Perolehan skor 1 dan 0 tidak
(indikator A) pada soal pembuktian ruang
ada satupun mahasiswa yang
vektor umum adalah tidak ada seorang
memperolehnya sehingga ini dapat
pun. Ini menunjukkan bahwa
menjelaskan bahwa pemahaman
pemahaman mahasiswa tentang ruang
mahasiswa sebagian besar telah baik
vektor sudah ada dan sudah memahami
hanya masih bingung dalam menentukan
konsep dasar ruang vektor. Pada tipe
pilihan simbol yang baik digunakan.
indikator jawaban B yang menyatakan
Kejadian yang hampir sama juga
data/pernyataan yang akan dibuktikan
ditunjukkan pada indikator jawaban tipe
dalam bentuk simbol matematika,
D yaitu mengidentifikasi aksioma yang
banyaknya mahasiswa yang telah
menjadi syarat ruang vektor umum.
menguasai kompetensi ini ada 37
Seluruh mahasiswa telah mengetahui
mahasiswa yang menunjukkan hampir
terdapat sepuluh aksioma yang aharus
sebagian besar mahasiswa telah

80
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82

dibuktikan namun terkadang ada satu dari kurang lengkapnya sifat aksioma
atau dua langkah yang masih terlupakan yang bijektif. Sedangkan mahasiswa yang
untuk dibuktikan. memperoleh skor 1 disebabkan oleh
Berdasarkan Gambar 2, indikator terlambatnya mengikuti perkuliahan atau
tipe C dan E menunjukkan hasil yang sering tidak hadir sehingga saat latihan di
hampir bersesuaian. Pada indikator C kelas tidak mengikuti bahkan tugas
yang melihat kemampuan penalaran pendukung terkadang tidak memenuhi.
deduktif mahasiswa dari proses Walaupun demikian, terlambatnya
melaksanakan operasi-operasi mengikuti perkuliahan masih mendapat
matematika yang relevan disertai dengan sedikit pengalaman yang tidak komplit
penjelasan/alasan untuk memperoleh sehingga saat membuktikan tidak genap
pernyataan bukti terpenuhi. Dengan sepuluh aksioma terlaksana.
melihat Gambar 2, perolehan skor 3 pada Pada indikator jawaban tipe F
indikator ini lebih dari 30 mahasiswa yaitu menyatakan kembali bukti ke dalam
yang menunjukkan bahwa mahasiswa bentuk kalimat biasa yang menunjukkan
dapat mengoperasikan hal-hal khusus generalisasi masih banyak yang tidak
berdasarkan teorema ataupun aturan yang melakukan. Sehingga penilaian untuk
telah berlaku. kemampuan penalaran deduktif yang
Selain itu, kemampuan penalaran dilihat dari penarikan kesimpulan untuk
deduktif mahasiswa yang dilihat dari generalisasi masih cenderung terlupakan
kompetensi menyusun model matematika setelah aksioma-aksioma ditunjukkan
masalah dan pernyataan yang akan terpenuhi. Menginterpretasikan kembali
dibuktikan berdasarkan kelengkapan sifat hasil analisis khusus untuk dilakukan
aksioma telah dikuasai sebagian besar kesimpulan umum perlu ditekankan
mahasiswa. Terbukti hanya ada sedikit kepada mahasiswa karena bentuk umum
atau hanya terdapat kurang dari 10 yang akan dibuktikan harus sesuai
mahasiswa yang memperoleh skor 2 dan dengan permasalahan yang sedang
ini juga dapat menunjukkan skor dihadapi.
mahasiswa yang hampir sempurna.
Permasalahan yang menyebabkan
kekurangsempurnaan tersebut terlihat

81
INSPIRAMATIKA, Volume 3, Nomor 2, pp 75-82

KESIMPULAN DAN SARAN Sukayasa. (2009). Penalaran dan


Pemecahan Masalah dalam
Berdasarkan hasil penelitian dan
Pembelajaran Geometri. Seminar
pembahasan, kesimpualan yang dapat Nasional Penelitian, Pendidikan
dan Penerapan MIPA.
diperoleh yaitu profil kemampuan
Yogyakarta: 16 Mei.
penalaran deduktif mahasiswa pada
Sumarno, U. (2016). Pedoman Pemberian
materi ruang vektor adalah 21% berada
Skor Pada Beragam Tes
pada kategori rendah, 46% berkategori Kemampuan Matematik. Diakses
dari utari-sumarmo.dosen.
sedang, dan 33% berkategori tinggi.
stkipsiliwangi.ac.id/files/2016/05/
Rekomendasi yang dapat diberikan untuk Pedoman-Pemberian-Skor-Tes-
Kemampuan-Berpikir-Matematik-
pengembangan kemampuan penalaran
dan-MPP-2016-
deduktif mahasiswa adalah pemberian 1.pdfopen_in_new [20
waktu tambahan di luar jam perkuliahan November 2017]

untuk menambah pengalaman dalam


menguraikan langkah-langkah
pembuktian secara deduktif.

DAFTAR PUSTAKA

Anton, H. (1987). Aljabar Linear


Elementer. Jakarta: Erlangga.

Sari, D.P. (2016). Berpikir Matematis


dengan Metode Induktif,
Deduktif, Analogi, Integratif dan
Abstrak. Jurnal Matematika dan
Pendidikan Matematika. Vol. 5
(1), pp. 79-89.

Hernadi, J. (2008). Metode Pembuktian


Matematika. Jurnal Pendidikan
Matematika. Vol 2 (1), pp 1-13.

Nike K, M.T. (2015). Penalaran Deduktif


dan Induktif Siswa dalam
Pemecahan Masalah Trigonometri
ditinjau dari Tingkat IQ. Jurnal
Apotema. Vol 1 (2), pp 65-75.

82
CORE Metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
Provided by Portal E-Journal Universitas Khairun

Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X


Vol. 5, No. 1, April 2016

BERPIKIR MATEMATIS DENGAN METODE INDUKTIF, DEDUKTIF,


ANALOGI, INTEGRATIF DAN ABSTRAK

Diah Prawitha Sari


Prgram Studi Pendidikan Matematika Universitas Khairun Ternate
Email : dyahprawitha@yahoo.com

ABSTRAK
Makalah ini membahas tentang berpikir matematika dengan metode
induktif, deduktif, analogi, integratif, dan abstrak. Uraian didasarkan atas
analisis terhadap: (1) berpikir induktif merupakan suatu proses berpikir
yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu
kesimpulan (inferensi); (2) Berpikir deduktif adalah proses pengambilan
kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis yang keberadaannya
telah ditentukan; (3) Berpikir analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
berlainan, yang satu bukan yang lain, tetapi dua hal yang berbeda itu
dibandingkan satu dengan yang lain.; (4) Melalui penerapan integratif
proses pengajaran menjadi lebih kompleks, hal ini melibatkan komponen
internal dan eksternal; (5) Kemampuan berpikir abstrak tidak terlepas dari
pengetahuan tentang konsep, karena berpikir memerlukan kemampuan
untuk membayangkan atau menggambarkan benda dan peristiwa yang
secara fisik tidak selalu ada.

Kata Kunci: Berpikir Matematis, Metode Induktif, Deduktif, Analogi, Integratif, dan
Abstrak.

PENDAHULUAN
Karakteristik berpikir matematis dibagi menjadi empat karakteristik yaitu fokus
kepada himpunan, berpikir bergantung pada tiga variabel, pemahaman denitatif dan
berpikir matematis sebagai kekuatan pendorong dibelakang pengatahuan dan
keterampilan. Karakteristik berpikir matematis ini merupakan cara yang mendasar
dalam memahami jenis berpikir matematis yang ada. Melalui pemahaman tentang
karakteristik berpikir matematis, seseorang dapat dikatakan memiliki pemahaman
matematik yang kuat. Berpikir matematis digunakan dalam kegiatan matematika,
karena itu berpikir matematis erat kaitannya dengan isi dan metode matematika itu
sendiri. Misalnya, berbagai metode yang berbeda diterapkan ketika aritmatika atau
matematika digunakan untuk melakukan kegiatan belajar matematika, bersama
dengan berbagai jenis isi matematika. Lebih tepatnya bahwa semua metode dan
jenis isinya adalah jenis berpikir matematis.
Katagiri (2004) membagikan empat kategori logis dalam berpikir matematika
yaitu sebagai berikut: a) Sikap matematika; mencoba untuk memahami masalah sendiri

79
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

atau tujuan, substansi dengan jelas oleh diri sendiri, mencoba untuk mengambil
tindakan logis, mencoba untuk mengekspresikan materi dengan jelas dan ringkas, dan
mencoba untuk mencari hal yang lebih baik; b) Berpikir matematika terkait dengan
metode matematika; berpikir induktif, berpikir analogis, berpikir deduktif, berpikir
integratif, berpikir abstraktif; c) Berpikir matematika terkait dengan isi matematika;
memperjelas objek himpunan untuk dipertimbangkan dan objek untuk dikeluarkan
dari himpunan, mengklarifikasi kondisi untuk dimasukkan (ide himpunan), fokus pada
elemen dan ukuran serta hubungan (Ide unit), mencoba untuk berpikir berdasarkan
prinsip-prinsip dasar ekspresi (Ide ekspresi), memperjelas dan memperluas
makna suatu hal dan operasi dan mencoba untuk berpikir berdasarkan ide operasi,
mencoba untuk merumuskan metode operasi (Ide dari algoritma), mencoba untuk
memahami gambaran besar dari objek dan operasi, dan menggunakan hasilnya
untuk pemahaman (Ide dari pendekatan), fokus pada aturan dasar dan sifat (Ide dari sifat
dasar); d) Mencoba untuk fokus pada apa yang ditentukan oleh keputusan seseorang,
menemukan aturan hubungan antara variabel, dan menggunakan sesuatu hal yang sama
(Berpikir Fungsional), mencoba untuk mengekspresikan proposisi dan hubungan
sebagai formula, dan untuk mengetahui tujuan (Ide formula).

PEMBAHASAN
Berpikir matematis digunakan dalam kegiatan matematika, karena itu erat
hubungannya berpikir matematis dengan isi dan metode aritmatika serta matematika.
1. Berpikir Induktif
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dengan mengikuti jalan pemikiran tertentu
agar sampai pada sebuah kesimpulan yaitu berupa pengetahuan (Suriasumantri, 1997:
1). Oleh karena itu, proses berpikir memerlukan sarana tertentu yang disebut dengan
sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah merupakan alat yang membantu kegiatan
ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Pada langkah tertentu biasanya
diperlukan sarana tertentu pula. Tanpa penguasaan sarana berpikir ilmiah kita tidak akan
dapat melaksanakan kegiatan berpikir ilmiah yang baik. Untuk dapat melakukan
kegiatan berpikir ilmiah dengan baik diperlukan sarana berpikir ilmiah berupa : bahasa
ilmiah, logika dan matematika, serta logika dan statistika (Tim Dosen Filsafat Ilmu.
1996: 68). Bahasa ilmiah merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh
proses berpikir ilmiah. Bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk

80
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

menyampaikan jalan pikiran dari seluruh proses berpikir ilmiah kepada orang lain.
Logika dan statistika mempunyai peran penting dalam berpikir induktif untuk mencari
konsep-konsep yang berlaku umum.
Berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal
khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut
Herbert L. Searles (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996 : 91-92), diperlukan proses penalaran
sebagai berikut:
1) Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus.
Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen.
Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk
membuat atau mengganti obyek yang harus dipelajari.
2) Langkah kedua adalah perumusan hipotesis.
Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan
pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis
ilmiah harus memenuhi syarat, diantaranya dapat diuji kebenarannya, terbuka dan
sistematis sesuai dengan dalil-dalil yang dianggap benar serta dapat menjelaskan
fakta yang dijadikan fokus kajian.
3) Langkah ketiga adalah mengadakan verifikasi.
Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus
dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga dibandingkan dengan
fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu
langkah atau cara untuk membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil
yang sebenarnya. Verifikasi juga mencakup generalisasi untuk menemukan dalil
umum, sehingga hipotesis tersebut dapat dijadikan satu teori.
4) Langkah keempat adalah perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil
verifikasi.
Hasil akhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah adalah terbentuknya hukum
ilmiah. Persoalan yang dihadapi oleh induksi adalah untuk sampai pada suatu dasar
yang logis bagi generalisasi tidak mungkin semua hal diamati, atau dengan kata lain
untuk menentukan pembenaran yang logis bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal
untuk diterapkan bagi semua hal. Maka, untuk diterapkan bagi semua hal harus
merupakan suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi.
Induktif adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah
fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Metode berpikir

81
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke umum. Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas
fenomena yang ada. Hal ini disebut sebagai sebuah corak berpikir yang ilmiah karena
perlu proses penalaran yang ilmiah dalam penalaran induktif.
Pada pembelajaran matematika, pola pikir induktif digunakan guru jika dalam
menyampaikan materi pembelajaran dimulai dari hal-hal yang khusus menuju ke hal
yang lebih umum. Dalam mengenalkan konsep bangun datar, misalnya persegi, guru
dapat menunjukkan berbagai bangun geometri atau gambar datar kepada para siswa, dan
mengatakan “ini namanya persegi.” Selanjutnya menunjuk bangun lain yang bukan
persegi dengan mengatakan “ini bukan persegi.” Setelah guru memberikan kasus khusus
misalnya contoh-contoh, siswa mengamati, membandingkan, mengenal karakteristik,
dan berusaha menyerap berbagai informasi yang terkandung dalam kasus khusus
tersebut untuk digunakan memperoleh kesimpulan atau sifat yang umum.
Proses berpikir induktif meliputi pengenalan pola, dugaan dan pembentukan
generalisasi. Ketepatan sebuah dugaan atau pembentukan generalisasi dalam pola
penalaran ini sangatlah tergantung dari data dan pola yang tersedia. Semakin banyak
data yang diberikan atau semakin spesifik pola yang diberikan, maka akan
menghasilkan sebuah dugaan atau generalisasi yang semakin mendekati kebenaran.
Sebaliknya, semakin sedikit data yang diberikan atau semakin kurang spesifiknya pola
yang disediakan, maka dugaan atau generalisasi bisa semakin jauh dari sasaran, dan
bahkan bisa memunculkan dugaan atau generalisasi ganda.
Misalkan diberikan sebuah barisan bilangan 2, 5, 8, 11, 14, 17, 20, ..., maka
pengenalan pola dimaksudkan sebagai suatu identifikasi tentang tata aturan penulisan
barisan tersebut. Dari contoh ini dapat dilihat bahwa untuk mendapatkan bilangan
berikutnya, maka sebuah bilangan dalam barisan tersebut harus ditambah dengan 3.
Setelah mengetahui polanya, selanjutnya dapat dilakukan dugaan-dugaan tentang
bilangan-bilangan yang akan muncul pada urutan yang lebih tinggi, misalnya dugaan
tentang 3 bilangan yang akan muncul pada urutan ke 8, 9 dan 10. Selanjutnya hasil dari
proses pengenalan pola dan pendugaan tersebut dapat digunakan untuk membentuk
sebuah generalisasi, yakni dengan menyusun formula untuk menentukan bilangan yang
akan muncul pada urutan ke n.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa penalaran induktif merupakan proses
penyimpulan secara umum dari hasil observasi yang terbatas. Hasil kesimpulan yang
diperoleh bisa jadi kurang valid atau bisa mengakibatkan kesalahan penafsiran apabila

82
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

data yang dipergunakan kurang lengkap atau pola yang diamati kurang spesifik.
Sementara itu konsep-konsep dalam matematika tidak pernah mengalami perubahan,
jikalaupun ada itu sifatnya hanyalah penambahan karena adanya temuan-temuan baru
dan tidak sampai merubah konsep yang sudah ada sebelumnya. Hal ini karena sistem
yang ada dalam matematika merupakan sistem-sistem deduktif, dimana kebenaran suatu
konsep didasarkan pada konsep-konsep sebelumnya. Oleh karenanya sistem penalaran
yang paling banyak berperan dalam matematika adalah penalaran deduktif.

2. Berpikir Deduktif
Berpikir deduktif adalah proses pengambilan kesimpulan yang didasarkan
kepada premis-premis yang keberadaannya telah ditentukan. Secara deduktif
matematika menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu.
Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah konsekuensi dari pernyataan-
pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya.
Matematika dikenal dengan ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan
matematika harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi
berdasarkan pengamatan (induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian deduktif.
Meskipun demikian untuk membantu pemikiran pada tahap-tahap permulaan seringkali
kita memerlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
Perlu diketahui bahwa baik isi maupun metode mencari kebenaran dalam
matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam, apalagi dengan ilmu pengetahuan
umum. Metode mencari kebenaran yang dipakai oleh matematika adalah ilmu deduktif,
sedangkan ilmu pengetahuan alam adalah metode induktif atau eksperimen. Namun
dalam matematika mencari kebenaran itu bisa dimulai dengan cara induktif, tetapi
seterusnya generalisasi yang benar untuk semua keadaan harus bisa dibuktikan secara
deduktif. Dalam matematika suatu generalisasi, sifat, teori atau dalil itu belum dapat
diterima kebenarannya sebelum dapat dibuktikan secara deduktif. Sebagai contoh,
dalam ilmu biologi berdasarkan pada pengamatan, dari beberapa binatang menyusui
ternyata selalu melahirkan. Sehingga kita bisa membuat generalisasi secara induktif
bahwa setiap binatang menyusui adalah melahirkan.
Generalisasi yang dibenarkan dalam matematika adalah generalisasi yang telah
dapat dibuktikan secara deduktif. Contoh: untuk pembuktian jumlah dua bilangan ganjil
adalah bilangan genap. Pembuktian secara deduktif sebagai berikut: andaikan m dan n
sembarang dua bilangan bulat maka 2m + 1 dan 2n + 1 tentunya masing-masing

83
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

merupakan bilangan ganjil. Jika kita jumlahkan (2m + 1) + (2n + 1) = 2(m + n + 1).
Karena m dan n bilangan bulat maka (m+n+1) bilangan bulat, sehingga 2(m + n + 1)
adalah bilangan genap. Jadi jumlah dua bilangan ganjil selalu genap.
Hal ini untuk membiasakan siswa berpikir deduktif dalam belajarnya
dikarenakan matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak dan penalarannya
deduktif. Guru dapat mendesain kegiatan pembelajaran yang mampu mengungkap
penggunakan pola pikir deduktif. Namun bagi siswa penggunaan pola pikir deduktif ini
sering dipandang berat, misalnya pembuktian dengan pola pikir deduktif. Penggunaan
pola pikir deduktif dapat diperkenalkan melalui penggunaan definisi atau teorema dalam
pemecahan masalah Hudojo (2005).
Dapat disimpulkan bahwa pengertian deduktif adalah pengambilan kesimpulan
untuk suatu atau beberapa kasus khusus yang didasarkan kepada suatu fakta umum.
Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan
operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus
memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian
di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori
merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.Sebagai contoh:
Premis 1: Jika ada 2 garis sejajar, maka sudut-sudut yang dibentuk kedua garis sejajar
tersebut dengan garis yang ketiga adalah sama.
Premis 2: Jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180 derajat.
Pada intinya, pembuktian dengan penalaran induktif seperti ditunjukkan di atas
belum dapat meyakinkan orang lain, termasuk para pembaca naskah ini, bahwa rumus
atau pernyataan tersebut akan benar untuk seluruh nilai n. Untuk itu, alternatif
pembuktian secara deduktif akan dikomunikasikan seperti ditunjukkan dengan Tabel
1. Langkah pertamanya adalah dengan memisalkan bilangan yang dipilih adalah x
pada cara II dan suatu persegi pada cara I yang mewakili atau melambangkan suatu
bilangan sembarang dari anggota semesta pembicaraannya.

84
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

Tabel 1. Contoh Pembuktian Secara Deduktif


Langkah/Perintah Cara I Cara II
Dimasukkan yang
1. Pilih suatu Dimasukkan bilangan
dipilih adalah:
bilangan sebarang yang dipilih adalah x

2. Tambahkan 3 x+3

3. Kalikan dengan 2
2(x + 3) = 2x + 6
(dilipat duakan)

4. Kurangi dengan 4 2x + 2

5. Bagi dengan 2 x+1

6. Kurangi dengan
bilangan yang 1
anda pilih semula
7. Sebutkan hasilnya “satu” “satu”

Jelaslah bahwa jika pada pembuktian secara induktif digunakan bilangan-


bilangan dari anggota semestanya, maka pada pembuktian secara deduktif, langkah
pertamanya adalah memisalkan bilangan yang dipilih dengan variabel x ataupun
persegi yang dapat diganti untuk mewakili setiap anggota semestanya. Melalui cara
seperti ini, jika memang benar bahwa hasil terakhirnya adalah 1 maka dapat
disimpulkan bahwa hasil terakhir berupa bilangan 1 tersebut akan berlaku untuk
semua bilangan sembarang pada semesta pembicaraannya. Dengan mengikuti ketujuh
langkah yang ditentukan, ternyata hasilnya 1, dapat disimpulkan bahwa untuk semua
bilangan sembarang yang dipilih, termasuk bilangan negatif, pecahan, dan bentuk akar,
hasilnya akan selalu 1.
3. Berpikir Analogi
Analogi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai persamaan atau
persesuaian antara dua hal yang berbeda. Menurut Soekadijo (1999: 139) analogi adalah

85
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, tetapi dua hal yang
berbeda itu dibandingkan satu dengan yang lain. Dalam analogi yang dicari adalah
keserupaan dari dua hal yang berbeda, dan menarik kesimpulan atas dasar keserupaan
itu. Dengan demikian analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelas atau sebagai dasar
penalaran.
Analogi secara mendalam, yaitu: (1) mampu belajar dan melakukan apa yang
diinginkan secara mandiri, (2) menerapkan teknik pemecahan masalah dalam berbagai
bidang, (3) mampu menstrukturkan masalah dengan teknik formal, seperti matematika,
dan menggunakannya untuk memecahkan masalah, (4) dapat mematahkan pendapat
yang tidak relevan serta merumuskan intisari, (5) terbiasa menanyakan sudut pandang
orang lain untuk memahami asumsi serta implikasi dari sudut pandang tersebut, (6)
peka terhadap perbedaan.
Salah satu metode untuk bernalar adalah dengan menggunakan analogi.
Soekardijo (1999: 27) analogi adalah berbicara tentang suatu hal yang berlainan, dan
dua hal yang berlainan lalu dibandingkan. Selanjutnya, jika dalam perbandingan hanya
diperhatikan persamaan saja tanpa melihat perbedaan, maka timbullah analogi. Diane
(Setyono, 1996: 3) mengatakan bahwa dengan analogi suatu permasalahan mudah
dikenali, dianalisis hubungannya dengan permasalahan lain, dan permasalahan yang
kompleks dapat disederhanakan. Secara umum, Mundiri (2000: 26) mengemukakan
bahwa terdapat dua analogi yaitu:
1) Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif adalah analogi yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang
belum diketahui atau masih sama, dengan menggunakan hal yang sudah dikenal.
Contoh : Menjelaskan angka 16

2) Analogi Induktif
16 8 8
Analogi induktif adalah analogi yang disusun berdasarkan persamaan prinsip
dari dua hal yang berbeda, selanjutnya ditarik kesimpulan bahwa apa yang terdapat pada
hal pertama terdapat pula hal yang kedua. Contoh:

86
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

Persegi panjang dua buah segitiga

3) Berpikir Integratif
Melalui penerapan pendidikan integratif proses pengajaran menjadi lebih
kompleks, hal ini melibatkan komponen internal dan eksternal. Dua komponen itu
berporos dalam satu kesatuan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. (1) Komponen
Internal. Terdiri atas tujuan, materi pelajaran, metode, media dan evaluasi (2)
Komponen eksternal. Mencakup guru, orang tua dan masyarakat sekelilingnya.
Beberapa definisi mengenai pendidikan integratif secara metodologi proses
pembentukan ilmu pengetahuan dalam diri manusia bertahap dari yang bersifat konkret,
semi abtrak sampai pada ilmu pengetahuan yang bersifat sangat abstrak. “Suatu konsep
belajar keseluruhan yang diterapkan di sekolah sebagi hasil riset sistematis di bidang
ilmu syarat, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu alam “bahwa mata pelajaran masih
terkesan terkotak-kotak”, sehingga semua pelajaran dapat dijadikan satu yang bersifat
integral.

4) Berpikir Abstrak
Berpikir abstrak adalah salah satu jenis kemampuan yang merupakan atribut
inteligensi. Menurut Termen (Winkel, 1996:139) kemampuan berpikir abstrak ini
adalah suatu aspek yang penting dari inteligensi, tetapi bukan satu-satunya aspek. Aspek
yang ditekankan dalam kemampuan berpikir abstrak adalah penggunaan efektif dari
konsep-konsep serta simbol-simbol dalam menghadapi berbagai situasi khusus dalam
menyelesaikan sebuah problem.
Kemampuan berpikir abstrak tidak terlepas dari pengetahuan tentang konsep,
karena berpikir memerlukan kemampuan untuk membayangkan atau menggambarkan
benda dan peristiwa yang secara fisik tidak selalu ada. Orang yang memiliki
kemampuan berpikir abstrak baik akan dapat mudah memahami konsep-konsep abstrak
dengan baik. Jadi kemampuan berpikir abstrak adalah kemampuan menemukan
pemecahan masalah tanpa hadirnya objek permasalahan itu secara nyata, dalam arti
siswa melakukan kegiatan berpikir secara simbolik atau imajinatif terhadap objek

87
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

permasalahan itu. Untuk menyelesaikan masalah yang bersifat abstrak akan mudah
dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan berpikir abstrak yang tinggi.
Kemamuan ini dapat dicapai oleh anak yang sudah mencapai tahap operasional formal
yang baik.
Sebagai contoh misalnya penggambaran sebuah garis di dalam matematika
“seharusnya” tanpa lebar/tebal (ketebalannya = 0) dan tanpa putus (kontinu) tetapi
keadaan nyata susah untuk menggambar yang demikian. Bila digambar demikian maka
nyaris garis itu tidak dapat terlihat bahkan oleh mokroskop yang paling canggih
sekalipun. Umumnya visualisasi yang dapat menggambarkan sebuah garis dengan
menggunakan alat tulis apapun akan menghasilkan garis yang “tidak ideal” menurut
matematika. Misalnya menggambar garis dengan menggunakan sebuah spidol akan
dihasilkan garis yang terlihat dan tidak mungkin garis tersebut tidak memiliki lebar.

SIMPULAN
1. Berpikir induktif, merupakan kebalikan dari berpikir deduktif yaitu proses
pengambilan keputusan dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus menuju umum.
Istilah ini dikenal dengan generalisasi.
2. Berpikir deduktif merupakan proses berpikir yang dimulai dari hal-hal yang bersifat
umum menuju pada hal-hal yang bersifat khusus. Dalam logika, berpikir deduktif
disebut dengan silogisme.
3. Berpikir analogis, yatiu berpikir untuk mencari hubungan antarperistiwa atas dasar
kemiripannya.
4. Berpikir integratif terdapat dua komponen yaitu internal dan eksternal. Internal
terdiri atas tujuan, materi pelajaran, metode, media dan evaluasi. Komponen
eksternal mencakup guru, orang tua dan masyarakat sekelilingnya.
5. Berpikir abstrak, yaitu berpikir dalam ketidakberhinggaan, sebab bisa dibesarkan
atau disempurnakan keluasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas. 2006. Mata Pelajaran Matematika Sekolah Atas. (SMA) dan Mad- rasah
Aliyah (MA). Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang.
Hudojo, Herman.(2005). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
UM Press: Malang.

88
Delta-Pi: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika ISSN 2089-855X
Vol. 5, No. 1, April 2016

Katagiri, Shigeo. (2004). Mathematical Thinking and How To Teach It.


Tokyo:Meijitosyo Publishers (CRICED, University of Tsukuba).
Sasanti, Ririn Diyanita. 2005. Pembelajaran dengan Analogi untuk Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Kritis. Skripsi UNESA Surabaya: Tidak Diterbitkan.
Soekardijo. 1999.logika dasar . Jakarta: Gramedia.
Suriasumantri,Jujun S. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Liberty,
1996.
______.“Pembuktian melalu ideduksi” http://id.wikipedia. org/wiki/ Pembuktian
lalui_deduksi. Diakses [9 November 2011]
______.“Metodologi Penenlitian Bisnis”. http://usupress.usu.ac.id/
files/Metode%20Penelitian%20Bisnis%20Edisi%202_Normal_.pdf bab %201.
Diakses tanggal [9 November 2011]
Ilmu dalam Perspektif, Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu,
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1997.

89
International Journal of Elementary Education.
Volume 3, Number 3, Tahun 2019, pp. 351-357 LOGO Jurnal
P-ISSN: 2579-7158 E-ISSN: 2549-6050
Open Access: https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/IJEE

Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau dari Kemampuan


Pemecahan Masalah

Dinda Kurnia Putri1*, Joko Sulianto2, Mira Azizah3


123Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FIP, Universitas PGRI Semarang, Indonesia

ARTICLEINFO ABSTRAK
Article history:
Received 18 May 2019 Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan pelaksanaan
Received in revised form
30 June 2019
pembelajaran matematika dan mendeskripsikan klasifikasi kemampuan
Accepted 15 July 2019 penalaran matematis ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah
Available online 25 August siswa. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif.
2019 Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu
melalui tes, observasi, wawancara, angket, dan dokumentasi. Hasil
Kata Kunci:
Pembelajaran Matematika,
penelitian yang diperoleh dari pembelajaran matematika termasuk
Kemampuan Penalaran, dalam kategori baik dengan presentase 78%, sedangkan data klasifikasi
Pemecahan Masalah penalaran matematika didapatkan presentase sebesar 70% pada aspek
memahami pengertian dalam kategori tinggi, aspek berpikir logis
Keywords: termasuk dalam kategori tinggi dengan presentase 53,3%, aspek
Mathematics Learning,
Reasoning Ability, Problem memahami contoh negatif termasuk dalam kategori sangat tinggi
Solving dengan presentase 76,7%, aspek berpikir sistematis dan menentukan
strategi termasuk dalam kategori tinggi dengan presentase 73,3%,
berpikir konsisten termasuk dalam kategori tinggi dengan presentase
66,7%, aspek membuat alasan termasuk dalam kategori rendah dengan
presentase 33,3%, aspek berpikir deduksi termasuk dalam kategori
rendah dengan presentase 36,7%, aspek menentukan metode
termasuk dalam kategori sangat tinggi dengan presentase 80%,
sedangkan pada aspek menarik kesimpulan termasuk dalam kategori
tinggi dengan presentase 60%. Secara keseluruhan didapatkan hasil
presentase sebesar 62,3% teramasuk dalam kategori tinggi.

ABSTRACT

The purpose of this study is to describe the implementation of mathematics learning and
describe the classification of mathematical reasoning abilities in terms of students' problem solving
abilities. This research uses descriptive qualitative research methods. Data collection techniques used
in this study are through tests, observations, interviews, questionnaires, and documentation. The
results of the study obtained from mathematics learning are included in both categories with a
percentage of 78%, while the classification of mathematical reasoning data obtained a percentage of
70% in understanding aspects of understanding in the high category, logical thinking aspects included
in the high category with a percentage of 53.3%, aspects of understanding negative examples
included in the category of very high with a percentage of 76.7%, aspects of systematic thinking and
determining strategies included in the high category with a percentage of 73.3%, thinking consistently
included in the high category with a percentage of 66.7%, aspects of making reasons included in the
category low with a percentage of 33.3%, deduction thinking aspects included in the category of low
with a percentage of 36.7%, aspects determining the method included in the category of very high with
a percentage of 80%, while the aspect of drawing conclusions included in the high category with a
percentage of 60%. Overall the percentage of results obtained by 62.3% included in the high category.

Copyright © Universitas Pendidikan Ganesha. All rights reserved.

1
Corresponding author.
E-mail addresses: dindaaputrii97@gmail.com (Dinda Kurnia Putri)
International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357. 352

1. Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu proses dimana dapat merubah pola pikir melalui pengajaran
dan pelatihan untuk menambah wawasan agar siswa lebih aktif untuk mengembangkan pola pikirnya.
Mata pelajaran matematika merupakan salah satu pelajaran yang dapat mengembangkan pola pikir siswa.
Matematika adalah suatu ilmu pengetahuan yang tergolong ilmu dasar serta mempunyai peranan penting
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Astut, 2017). Menurut Munirah (2015) sistem
pendidikan di Indonesia dewasa ini tampak ada kesenjangan antara kenginan dan realita. Secara makro
dapat dilihat dalam aspek pengelolaan, peran pemerintah dan masyarakat, kurikulum atau materi ajar,
pendekatan dan metodologi pembelajaran, sumber daya manusia, lingkungan kampus atau sekolah, dana,
dan akreditasi. Kesenjangan dalam sistem pendidikan tersebut disebabkan karena faktor politik, ekonomi,
sosial-budaya dan sebagainya yang selalu berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Matematika merupakan ilmu dasar yang memiliki peran penting dalam perkembangan kehidupan
manusia. Menurut Wanti (2017) Matematika merupakan proses bernalar, pembentukan karakter dan pola
pikir, pembentukan sikap objektif, jujur, sistematis, kritis dan kreatif serta sebagai ilmu penunjang dalam
pengambilan suatu kesimpulan. Begitu banyak dan beragam profesi yang bisa dipilih sebagai bidang
profesi berlandaskan pengetahuan dan keterampilan matematika. Misalnya: guru, ekonom, insinyur, ahli
statistik, peneliti, dokter, apoteker, dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Susanto (2013:185)
matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan
beragumentasi, memberikan kontribusi dalm penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja,
serta memberikan dukungan dalam dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. BSNP (2006) menyatakan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan
kepada semua siswa mulai sekolah dasar untuk membekali siswa dengan kemampuan berfikir logis,
analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Matematika terbentuk sebagai hasil
pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran (Ruseffendi ET dalam Suherman
dkk, 2001: 18). Pembelajaran matematika di sekolah dasar bertujuan untuk memberi bekal siswa tidak
hanya memiliki kemampuan dalam berhitung saja tetapi juga dapat membentuk pola pikir dalam suatu
pemahaman yang berhubungan dengan penalaran.
Pembelajaran matematika di sekolah menurut NCTM (2000) mempunyai enam prinsip dasar yaitu
prinsip ekuitas, prinsip kurikulum, prinsip pengajaran, prinsip belajar, prinsip penilaian, dan prinsip
teknologi. Pembelajaran mtematika mencakup lima kemampuan dasar matematis yang merupakan lima
standar proses menurut NCTM (2000) yaitu pemecahan masalah (Problem Solving), penalaran
(reasoning), komunikasi (communication), koneksi (connection) dan representasi (representation).
Hasil Programme for International Student Asseseement (PISA) tahun 2015 dalam Sulianto, dkk
(2018: 1), menunjukkan adanya peningkatan kemampuan siswa Indonesia. Dibandingkan dengan hasil
PISA tahun 2012. Kemampuan membaca siswa Indonesia telah meningkat dari 337 menjadi 350,
kemampuan matematika meningkat dari 318 menjadi 335, dan kemampuan sains meningkat pesat dari
327 poin pada tahun 2012, menjadi 359 di tahun 2015. Peningkatan ini menunjukkan adanya pertinggian
kualitas pembelajaran di Indonesia, namun kemampuan siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata
dibandingkan 72 negara lainnya. National Center for Educational Statistics, mempulikasikan kemampuan
siswa Indonesia mengacu pada hasil PISA tahun 2012 bahwa hampir semua siswa Indonesia hanya
menguasai materi pelajaran sampai level 4 saja, sementara negara lain telah banyak yang mencapai level 5
dan 6. Organization for Economic Cooperation and Development (2016) memaparkan bahwa pada tahun
2015 menunjukkan bahwa kemampuan berpikir pada level 5 dan 6 siswa Indonesia hanya 0,8% dari 8%
partisipan. Sebaliknya, dari 20% partisipan yang berada level 2. Artinya, kemampuan berpikir siswa
Indonesia masih didominasi pada low order thingking (LOT).
Nilai matematika yang rendah dalam hasil survei PISA menunjukkan bahwa tujuan mata pelajaran
matematika belum sepenuhnya tercapai. Rendahnya nilai matematika tersebut berhubungan dengan
kemampuan penalaran siswa, karena salah satu tujuan dari mata pelajaran matematika yang dinyatakan
oleh Depdiknas 2006 dalam Susanto (2013: 190) yaitu siswa dapat menggunakan penalaran pada pola,
sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
Ball, Lewis & Thamel (dalam Suprihatin, dkk., 2018: 9) menyatakan, “mathematical reasoning is the
foundation for the construction of mathematical knowledge”. Hal ini berarti kemampuan penalaran
matematis adalah fondasi untuk mendapatkan pengetahuan matematika. Kemampuan penalaran sangat
berhubungan dengan pola berfikir logis, analitis, dan kritis. Melalui penalaran yang baik, seseorang akan
dapat mengambil kesimpulan atau keputusan yang berhubungan dengan kehidupannya sehari-hari. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sulianto (2011: 456) menyatakan penalaran merupakan suatu kegiatan, suatu
proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu pernyataan yang

IJEE. P-ISSN: 2579-7158 E-ISSN: 2549-6050


International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357 353

kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya. Seseorang dengan kemampuan penalaran
yang rendah akan selalu mengalami kesulitan dalam menghadapi berbagai persoalan, karena
ketidakmampuan menghubungkan fakta-fakta untuk sampai pada suatu kesimpulan. Oleh karena itu,
sudah seharusnya penalaran perlu dikembangkan pada setiap individu. Secara garis besar penalaran
terbagi menjadi dua, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif (Sumartini, 2015: 4). Penalaran
deduktif merupakan penarikan kesimpulan dari hal yang umum menuju hal yang khusus berdasarkan
fakta-fakta yang ada. Sedangkan penalaran induktif merupakan suatu proses berpikir dengan mengambil
keputusan yang bersifat umum atau membuat suatu pernyataan baru dari kasus-kasus yang khusus.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas IV di SDN Sendangmulyo 01 Seamarang yaitu
Bapak Prima Martha Miarzha, S.Pd.Sd. di peroleh data bahwa kemampuan penalaran matematis siswa
dalam menyelesaikan soal berbasis pemecahan masalah di sekolah tersebut masih tergolong rendah. Hal
itu dikarenakan siswa masih belum terbiasa mengerjakan soal berbasis pemecahan masalah dengan
logika dan penalaran masing-masing. Soal yang dikerjakan siswa dari penyelesaiannya tidak berbeda jauh
dengan apa yang dicontohkan oleh guru di depan kelas. Hal ini membuat pengetahuan yang dimiliki oleh
siswa hanya terbatas dengan apa yang diajarkan oleh guru saja. Oleh karena itu, kemampuan penalaran
yang seharusnya berkembang dalam diri siswa menjadi tidak berkembang secara optimal.
Salah satu solusi untuk mengatasi masalah siswa di SD tersebut yaitu diperlukan adanya
peningkatan kemampuan penalaran yang ditinjau dari pemecahan masalah, yang dapat ditemukan dalam
pembelajaran matematika, dan siswa akan dihadapkan dengan pemecahan masalah. Menurut Susanto
(2013: 195) pemecahan masalah (problem solving) merupakan proses menerapkan pengetahuan
(knowledge) yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi yang baru. Kemampuan pemecahan
masalah merupakan kecakapan atau potensi yang dimiliki siswa dalam menyelesaikan permasalahan dan
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Polya dalam Gunantara, dkk: 2014: 4). Salah satu solusi
dari permasalahan tersebut dengan menggunakan langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya
(1973) dalam bukunya “How To Solve It” yaitu understanding the problem (memahami masalah), devising a
plan (menyusun rencana penyelesaian), carrying out the plan (melaksanakan rencana penyelesaian), dan
looking back (memeriksa kembali solusi yang diperoleh). Azizah (2018: 61) menyatakan dalam
pelaksanaan pembelajaran matematika tidak cukup hanya memberikan informasi berupa teori atau
konsep yang bersifat hafalan saja, tetapi perlu juga berorientasi pada pengembangan keterampilan-
keterampilan yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah.
Menurut Tukaryanto (2018) Pentingnya kemampuan penalaran matematik sangatlah bepengaruh
dengan proses pembelajaran matematika yang mereka ikuti. Karena siswa yang mempunyai kemampuan
penalaran yang baik akan mudah memahami materi matematika dan sebaliknya siswa yang kemampuan
penalaran matematikanya rendah akan sulit memahami materi matematika. Kemampuan penalaran
matematis merupakan kemampuan yang sangat penting dan harus dimiliki siswa dalam memecahkan
masalah matematika (Hidayati dan Widodo, 2015: 132). Hal tersebut dikarenakan bahwa setiap
permasalahan matematika harus diselesaikan dengan proses bernalar, dan bernalar dapat dipahami serta
dilatih dengan memecahkan masalah matematika. Guru dapat mengkaji kemampuan penalaran siswa
dengan mengamati cara siswa memecahkan masalah matematika. Melalui jawaban siswa yang bervariasi
guru dapat membedakan atau mengklasifikasi jawaban siswa, sehingga diperoleh gambaran sejauh mana
kemampuan penalaran siswa dalam memecahkan masalah matematika. Untuk mengukur kemampuan
penalaran matematis siswa diberikan soal yang berpedoman pada aspek penalaran yaitu asek memahami
pengertian, berpikir logis, memahami contoh negatif, berpikir sistematis, berpikir konsisten, membuat
alasan, menentukan strategi, berpikir deduksi, menentukan metode serta menarik kesimpulan (Sulianto,
2011: 454). Menurut Setiadi (2012) menyatakan bahwa penalaran dapat secara langsung meningkatkan
hasil belajar peserta didik, yaitu jika peserta didik diberi kesempatan untuk menggunakan keterampilan
bernalarnya dalam melakukan pendugaan-pendugaan berdasarkan pengalaman sendiri, sehingga peserta
didik akan lebih mudah memahami konsep. Menurut Agustin (2016) Penalaran matematika tidak hanya
penting untuk melakukan pembuktian atau pemeriksaan program, tetapi juga untuk inferensi dalam suatu
sistem kecerdasan buatan. Pada dasarnya setiap penyelesaian soal matematika memerlukan kemampuan
penalaran. Melalui penalaran, mahasiswa diharapkan dapat melihat bahwa matematika merupakan kajian
yang masuk akal atau logis. Dengan demikian mahasiswa merasa yakin bahwa matematika dapat
dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dapat dievaluasi. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematika mahasiswa adalah
kemampuan atau kesanggupan mahasiswa dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Sulistiawati (2014),
rendahnya kemampuan penalaran matematis siswa, salah satunya disebabkan oleh pembelajaran
matematika yang kurang melibatkan siswa. Apabila dilihat dari kenyataan dilapangan, metode mengajar
yang digunakan oleh guru secara umum cenderung guru yang lebih aktif dan siswa pasif menerima

Dinda Kurnia Putri / Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357. 354

informasi yang disampaikan oleh guru. Penelitian ini bertujuan untuk: menelaah kualitas kemampuan
penalaran matematis siwa pada materi segitiga dan segiempat.
Seperti halnya sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumartini (2015) yang menyimpulkan
bahwa kemampuan penalaran matematis siswa mengalami peningkatan setelah mendapatkan
pembelajaran berbasis masalah karena lebih sering memecahkan masalah matematika dibandingkan
dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran secara konvensional. Kemudian berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Hadi dan Radiyatul (2014) menyimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan
bagian dari pembelajaran matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran atau
penyelesaiannya siswa dapat memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki.
Salah satunya yaitu siswa dapat menggunakan metode pemecahan masalah menurut Polya. Hal ini dapat
dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa lebih tinggi
pada setiap pertemuan dan hasil belajar siswa yang menggunakan metode pemecahan masalah menurut
Polya berada pada kualifikasi sangat baik.
Beradasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penelitian dengan judul “Kemampuan Penalaran
Matematis Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah Siswa Kelas IV SDN Sendangmulyo 01
Semarang”. Penelitian ini dilakukan karena peneliti tertarik untuk mengetahui tentang kemampuan
penalaran matematis yang ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa di sekolah dasar.

2. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif. Lokasi dalam penelitian di SDN Sendangmulyo 01 Semarang.
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, angket, dokumentasi dan untuk
pengumpulan data kemampuan penalaran matematis siswa menggunakan soal tes. Keabsahan data
dilakukan dengan cara triangulasi teknik.

3. Hasil dan Pembahasan

Data hasil penelitian pada pelaksanaan pembelajaran matematika diperoleh dari angket yang
diberikan pada dua responden yaitu guru kelas IV ditampilkan pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Data Hasil Penelitian Pelaksanaan Pembelajaran Matematika

No Aspek Presentase Katagori


1 Aspek Pembelajaran 78 % Baik
2 Aspek Pendekatan Saintifik 80 % Baik
3 Aspek Penalaran Siswa 77 % Baik

Berdasarkan data pada Tabel 1 hasil dari pemerolehan penilaian skor pada aspek pembelajaran
diperoleh hasil presentase sebesar 78% termasuk dalam kategori baik, aspek pendekatan saintifik
diperoleh hasil presentase sebesar 80% dalam kategori baik, sedangkan pada aspek penalaran siswa
diperoleh hasil presentase sebesar 77% dalam kategori baik. Secara keseluruhan hasil temuan dari data
angket yang diperoleh yaitu sebesar 78% termasuk dalam kategori baik.
Data hasil penelitian dilihat dari kemampuan penalaran siswa dapat diperoleh dari uji tes yang
dilakukan pada kelas IV ditampilkan pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Data Hasil Penelitian Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Kelas IV

Presentase Jawaban
No Aspek Penalaran Kategori
Benar
1 Memahami pengertian 70% Tinggi
2 Berpikir logis 53,3% Tinggi
3 Memahami contoh negatif 76,7% Sangat Tinggi
4 Berpikir sistematis 73,3% Tinggi
5 Berpikir konsisten 66,7% Tinggi
6 Membuat alasan 33,3% Rendah
7 Menentukan strategi 73,3% Tinggi
8 Berpikir deduksi 36,7% Rendah

IJEE. P-ISSN: 2579-7158 E-ISSN: 2549-6050


International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357 355

9 Menentukan metode 80% Sangat Tinggi


10 Menarik kesimpulan 60% Tinggi

Berdasarkan data pada Tabel 2 data hasil penelitian aspek penalaran matematis didapatkan hasil
presentase sebesar 70% pada aspek memahami pengertian dalam kategori tinggi, pada aspek berpikir
logis termasuk dalam kategori tinggi dengan hasil presentase sebesar 53,3%, aspek memahami contoh
negatif mendapatkan hasil presentase sebesar 76,7% dengan kategori sangat tinggi, aspek berpikir
sistematis dan menentukan strategi termasuk dalam kategori tinggi dengan mendapatkan hasil
presentase yang sama yaitu 73,3%, aspek berpikir konsisten termasuk dalam kategori tinggi dengan hasil
presentase sebesar 66,7%, aspek membuat alasan mendapatkan hasil presentase sebesar 33,3% termasuk
dalam kategori rendah, aspek berpikir deduksi termasuk dalam kategori rendah dengan presentase yang
diperoleh sebesar 36,7%, aspek menentukan metode termasuk dalam kategori tinggi dengan hasil
presentase sebesar 80%, serta pada aspek yang terakhir yaitu aspek menarik kesimpulan termasuk dalam
kategori tinggi dengan presentase sebesar 60%. Secara keseluruhan didapatkan hasil presentase sebesar
62,3%. Artinya dalam kemampuan penalaran matematis ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah
siswa kelas IV di SDN Sendangmulyo 01 Semarang sudah termasuk dalam kategori tinggi.
Dilihat dari hasil presentase pada tabel 2 dari masing-masing soal mengalami naik turun
presentase pada masing-masing butir soal dengan total soal keseluruhan sebanyak 10 butir soal. Dari
beberapa soal didapatkan hasil presentase yang sama yaitu sebesar 73,3% ditunjukkan pada butir soal
nomor empat yaitu aspek penalaran berpikir sistematis dan butir soal nomor tujuh yaitu aspek penalaran
menentukan strategi termasuk dalam kategori tinggi. Secara keseluruhan didapatkan hasil presentase
terendah yaitu sebesar 33,3% ditunjukkan pada butir soal nomor enam yaitu aspek penalaran membuat
alasan dan hasil peresentase tertinggi sebesar 80% ditunjukkan pada butir soal nomor sembilan yaitu
aspek penalaran menentukan metode.
Perbedaan hasil presentase pada masing-masing butir soal bisa diakibatkan oleh faktor tingkatan
soal pada setiap aspek penalaran dan kurangnya pemahaman siswa terhadap butir soal. Sehingga siswa
merasa kesulitan dalam mengerjakan, menentukan strategi, menentukan rumus untuk memecahkan
masalah dari persoalan yang ada. Faktor yang disebabkan dari pemerolehan hasil siswa di atas, hal
tersebut juga sama dengan pendapat Wasliman dalam Susanto (2013: 12) yaitu hasil belajar yang dicapai
peserta didik merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi, baik faktor internal
maupun eksternal. Faktor yang dapat mempengaruhi hasil peserta didik termasuk dalam faktor internal
dimana faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta didik yang dapat
mempengaruhi kemampuan belajarnya. Adanya pemerolehan hasil presentase dengan nilai yang
diperoleh, itu bearti siswa dapat memahami bentuk dan maksud soal serta bagaimana cara siswa untuk
memecahkan masalah pada soal dengan kemampuan penalaran yang dimiliki siswa.
Hasil tes penalaran matematis siswa yang diperoleh menunjukkan bahwa naik turunnya hasil
presentase, secara keseluruhan kemampuan penalaran sudah termasuk dalam kategori tinggi dengan
presentase di atas 50% yaitu 62,3%. Artinya kemampuan penalaran siswa kelas IV di SDN Sendangmulyo
01 Semarang sudah maksimal.

4. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan
bahwa: 1) Hasil analisis terkait pelaksanaan pembelajaran matematika di SDN Sendangmulyo 01
Semarang sudah terlaksana dengan baik. Pada pelaksanaanya antara guru dan siswa tercipta interaksi
yang baik meskipun pada kegiatan pembelajaran guru tidak menggunakan media pembelajaran. Pada
proses pengamatan, guru menyampaikan materi dengan bahasa lisan yang mudah dipahami siswa. Selain
itu, dilihat dari aspek pembelajaran didapatkan hasil presentase sebesar 78%, aspek pendekatan saintifik
didapatkan hasil presentase sebesar 80% serta pada aspek penalaran siswa didapatkan hasil presentase
sebesar 77%. Secara keseluruhan hasil temuan dari ketiga aspek tersebut didapatkan hasil presentase
sebesar 78%. Presentase dari keseluruhan hasil tersebut termasuk dalam kategori baik. 2) Kemampuan
penalaran matematis siswa kelas IV SDN Sendangmulyo 01 Semarang ditinjau dari aspek penalaran serta
pemecahan masalah dengan materi segi banyak dan bangun datar terdapat dalam 10 soal penalaran dari
10 aspek penalaran matematis. Jika didapatkan hasil presentase di bawah 50% artinya penalaran
matematis siswa dikategorikan masih rendah. Secara keseluruhan didapatkan hasil presentase sebesar
62,3%. Artinya kemampuan penalaran matematis ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah siswa
kelas IV di SDN Sendangmulyo 01 Semarang sudah termasuk dalam kategori tinggi.
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan yang telah diuraikan, maka saran yang
dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1) Bagi siswa, dalam proses pembelajaran sebaiknya siswa

Dinda Kurnia Putri / Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357. 356

mengikuti proses belajar dengan baik agar dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru sehingga
dalam mengerjakan soal ketika ulangan siswa bisa mengerjakan soal tanpa menemui kesulitan dan bila
merasa ada soal yang sulit dipahami sebaiknya ditanyakan kepada guru kelas. 2) Bagi guru, kemampuan
penalaran matematis dalam pemecahan masalah matematika siswa kelas IV sebaiknya diajarkan secara
berkelanjutan, karena kemampuan penalaran matematis dapat terus berkembang seiring dengan
banyaknya latihan soal pemecahan masalah yang dikerjakan. Maka diperlukan peran guru untuk
membantu dan membiasankan siswa dalam mempelajari dan mengerjakan latihan soal yang dapat
mengembangkan kemampuan penalaran matematis siswa dalam pemecahan masalah. 3) Bagi peneliti,
berikutnya diharapkan dapat berinovasi dengan mengembangkan model penelitian, mengembangkan
instrumen serta perangkan lainnya yang lebih menarik serta dapat mendukung dalam peningkatan
kemampuan penalaran matematis yang dimiliki siswa.

Daftar Rujukan

Agustin, Ririn Dwi.2016. Kemampuan Penalaran Matematika Mahasiswa Melalui Pendekatan Problem
Solving. Volume. 5, No. 2, Hal. 179-188. Tersedia Pada: http://www.ojs.umsida.ac.id/.

Astuti, Erni Puji. 2017. Penalaran Matematis Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Siswa SMP. Jurnal
Pendidikan Surya Edukasi (JPSE), Volume: 3, Nomor: 2, Hal. 83-91. Tersedia Pada:
http://ejournal.umpwr.ac.id/index.php/surya/article/download/4341/4040.

Azizah, Mira. Joko Sulianto dan Nyai Cintang. 2018. Analisis Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Sekolah
Dasar Pada Pembelajaran Matematika Kurikulum 2013. Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol.35.
Nomor 1.

BSNP. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan
Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. Jakarta.

Gunantara, Md Suarjana dan Pt. Nanci Riastini. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based
Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas V. Jurnal
Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 2. No. 1.

Hidayati, Anisatul dan Suryo Widodo. 2015. Proses Penalaran Matematis siswa dalam Memecahkan
Masalah Matematika pada Materi Pokok Dimensi Tiga Berdasarkan Kemampuan Siswa di SMA
Negeri 5 Kediri. Jurnal Math Educator Nusantara. Volume 01. No. 02.

Munirah. 2015. Sistem Pendidikan di Indonesia: antara keinginan dan realita. Auladuna, Vol. 2 No. 2 Hal.
233-245. Tersedia Pada: http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/auladuna/article/view/879.

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. The National Council of Teachers of
Mathematics. Virginia.

Polya, G. 1973. How To Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Princeton University Pres,
Princeton, New Jersey.

Setiadi, dkk. (2012). Kemampuan Matematika Siswa SMP Indonesia Menurut Benchmark Internasional
TIMSS 2011. Jakarta: Kemdikbud.

Suherman, Erman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA- Universitas
Pendidikan Indonesia (UPI).

Sulianto, Joko. 2011. Keefektifan Model Pembelajaran Kontekstual dengan Pendekatan Open Ended dalam
Pemecahan Masalah. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 17. No. 6.

Sulianto, Joko, Nyai Cintang dan Mira Azizah. 2018. Higher Order Thinking Skills (HOTS) Siswa Pada Mata
Pelajaran Matematika di Sekolah Dasar Pilot Project Kurikulum 2013 di Kota Semarang. Semarang:
LPPM Universitas PGRI Semarang.

IJEE. P-ISSN: 2579-7158 E-ISSN: 2549-6050


International Journal of Elementary Education, Vol. 3, No. 3, 2019, pp. 351-357 357

Sulistiawati. (2014). “Analisis Kesulitan Belajar Kemampuan Penalaran Matematis Siswa pada Materi Luas
Permukaan dan Volume Limas”. Proceeding Seminar Nasioanal Pendidikan Matematika, Sains, dan
TIK STKIP Surya 2014.

Sumartini, Tina Sri. 2015. Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa Melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah. Jurnal Pendidikan Matematika. Vol. 5 No. 1.

Suprihatin, Tri Roro. Rippi Maya dan Eka Senjayawati. 2018. Analisis Kemampuan Penalaran Matematis
Siswa SMP pada Materi Segitiga dan Segiempat. Jurnal Kajian Pembelajaran Matematika. Volume 2.
No. 1.

Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajara dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta: Prenadamedia Group.

Tukaryanto, Putriaji Hendikawati, Sugeng Nugroho. 2018. Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematik
dan Percaya Diri Siswa Kelas X Melalui Model Discovery Learning. PRISMA, Prosiding Seminar
Nasional Matematika. Tersedia Pada: https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/prisma/.

Wanti, Nopia, Juariah, Ehda Farlina, Hamdan Sugilar, Rahayu Kariadinata. 2017. Pembelajaran Induktif
Pada Kemampuan Penalaran Matematis dan Self-Regulated Learning Siswa. Jurnal Analisa Vol. 3
No. 1 Hal. 56-69. Tersedia Pada: http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/analisa/index.

Dinda Kurnia Putri / Kemampuan Penalaran Matematis Ditinjau dari Kemampuan Pemecahan Masalah
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.540
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMK
DENGAN MODEL KOOPERATIF TIPE THREE STEP INTERVIEW

Ani Aisyah1, Jarnawi Afgani Dahlan2, Bambang Avip Priatna3


Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI, Jl. Dr. Setia Budhi No. 229,
Bandung
ani.aisyahmath@gmail.com , afgani_lan@yahoo.com2, dan bambangavip@yahoo.com2
1

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan kemampuan penalaran induktif


siswa SMK melalui pembelajaran dengan model kooperatif tipe three step interview.
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen, dengan desain nonequivalent conttol
group design, yang melibatkan dua kelas yang dipilih secara acak dengan teknik cluster
random sampling. Populasi pada penelitian adalah siswa kelas XI pada salah satu SMK di
Kota Bandung. Sampel yang terpilih adalah siswa kelas XI-A dan siswa kelas XI-B.
Instrumen yang digunakan adalah tes, lembar observasi dan jurnal harian. Intrumen tes
berupa soal uraian sesuai dengan indikator dari kemampuan penalaran induktif memiliki
reliabilitas dengan kategori sangat tinggi. Data yang digunakan untuk menganalisis
peningkatan kemampuan penalaran induktif adalah gain ternormalisasi dengan bantuan
software SPSS 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran
induktif siswa SMK yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe three step
interview lebih tinggi secara signifikan dibandingkan peningkatan penalaran induktif siswa
SMK yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Kata Kunci: Kemampuan Kemampuan Penalaran Induktif, Model Kooperatif Tipe Three Step
Interview.

A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan SMK semakin pesat di Indonesia. Peminatnya semakin banyak dari
tahun ke tahun, pertumbuhan ini disebabkan semakin banyak orang yang
menyadari pentingnya keberadaan SMK untuk menciptakan tenaga-tenaga terampil
siap kerja. Salah satu kelompok SMK yang mengalami pertumbuhan yang signifikan
adalah SMK kelompok kesehatan dalam hal ini adalah SMK Farmasi. Pesatnya
pertumbuhan SMK Farmasi disebabkan perkembangan industri bidang farmasi
merupakan salah satu bidang yang menjanjikan di Indonesia.

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.541
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran adaptif di SMK memiliki proporsi jam
pelajaran terbanyak kedua bersama bahasa inggris setelah mata pelajaran produktif.
Hal ini memberikan indikasi bahwa peran mata pelajaran matematika di tingkat
sekolah menengah kejuruan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejalan dengan itu
salah satu butir Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran matematika SMK
di semua kelompok kejuruan (BNSP, 2012) adalah menerapkan matematika sebagai
dasar penguasaan kompetensi produktif dan pengembangan diri.

Melalui matematika peserta didik dilatih dan dibekali untuk memiliki kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mampu bekerjasama
(Permendiknas, 2006). Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk
bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif

Salah satu kemampuan matematis berdasarkan tujuan pembelajaran di SMK yang


harus dimiliki siswa adalah kemampuan penalaran. Penalaran merupakan tahapan
berpikir tingkat tinggi yang mencakup kemampuan berpikir logis dan sistematis
berdasarkan fakta dan sumber yang mendukung untuk mencapai kesimpulan. Hal
ini sejalan dengan Shuter dan Pierce (Dahlan, 2004) menyatakan bahwa penalaran
(reasoning) merupakan suatu proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta
dan sumber yang relevan. Keraf (Shadiq, 2004) mendefiniskan penalaran sebagai
proses berfikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-
evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Sedangkan Santrock
(Bani, 2011) mengemukakan bahwa penalaran adalah pemikiran logis yang
menggunakan logika induksi dan deduksi untuk menghasilkan kesimpulan.

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai kemampuan penalaran tersebut terlihat


bahwa kemampuan penalaran secara umum berperan dalam pembentukan
kemampuan berpikir logis dan sistematis yang merupakan salah satu tujuan
pemberian mata pelajaran matematika ditingkat SMK. Namun kenyataan dilapangan
kemampuan penalaran siswa SMK masih tergolong rendah, hal ini ditunjukan dari
hasil penelitian Wijaya (Yuliana, 2013) di SMK menyatakan bahwa meskipun rataan
skor postes kemampuan penalaran kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas
kontrol akan tetapi hasil yang diperoleh belum maksimal, artinya indikator
penalaran yang masih kurang pencapaiannya. Berdasarkan hasil penelitian Yuliana
(2013) siswa masih kesulitan dalam menemukan pola atau hubungan untuk
menganalisis suatu situasi matematis untuk membuat generalisasi dan siswa masih

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.542
kesulitan dalam memperkirakan solusi dari permasalahan yang diberikan. Kedua
indikator ini termasuk ke dalam kemampuan penalaran induktif.

Pentingnya pengembangan kemampuan penalaran induktif bagi siswa SMK dalam


hal ini adalah siswa SMK Farmasi antara lain ketika siswa mempelajari materi-materi
kefarmasian di kelas dan ketika siswa sudah terjun ke lapangan pekerjaan sebagai
tenaga teknis kefarmasian. Materi kefarmasian yang berkaitan dengan kemampuan
penalaran induktif yang harus dimiliki siswa adalah materi ilmu resep. Dalam
materi ilmu resep siswa diharapkan akan memiliki kemampuan dalam
melaksanakan peracikan obat, mengidentifikasi resep dan memberikan etiket atau
pemberian aturan pakai pada obat. Dalam melakukan peracikan obat,
mengidentifikasi resep dan memberikan etiket maka siswa harus memiliki
kemampuan membaca resep, menentukan dosis, mengenali bahan-bahan obat
disesuaikan dengan fungsi dan kegunaan, dalam proses ini maka prinsip-prinsip
dalam kemampuan penalaran induktif dibutuhkan.

Kemampuan penalaran induktif yang masih rendah untuk siswa SMK diduga
karena siswa masih kurang dilibatkan untuk lebih aktif ketika proses pembelajaran.
Sehingga untuk dapat mengembangkan kemampuan penalaran induktif sebaiknya
keterlibatan siswa ketika proses pembelajaran lebih ditingkatkan.

Model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran adalah


model pembelajaran kooperatif. Artz dan Newman (Huda, 2012) mendefinisikan
pembelajaran kooperatif sebagai kelompok kecil pembelajar/siswa yang bekerjasama
dalam tim untuk mengatasi suatu masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau
mencapai suatu tujuan bersama.

Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah tipe three step interview atau
tiga langkah proses wawancara. Tipe three step interview ini merupakan pembelajaran
kooperatif yang dapat menghidupkan suasana belajar dan mengaktifkan siswa
untuk bertanya ataupun menjawab. Ketika siswa melakukan aktivitas bertanya
ataupun menjawab, dalam proses tersebut siswa dilatih untuk dapat
mengembangkan kemampuan penalaran mereka. Hal ini sejalan dengan Kilpatrik
(Hillen, 2006) yang menyatakan bahwa salah satu cara terbaik untuk siswa
mengembangkan penalaran mereka adalah dengan menjelaskan atau membenarkan
solusi kepada orang lain.

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.543
Tahapan proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dalam model
pembelajaran kooperatif tipe three step interview adalah (Robertson et al, 2007) sebagai
berikut:
1. Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat orang misalkan A,
B, C dan D.
2. Langkah pertama (step one) siswa A mewawancara siswa B, dan siswa C
mewawancara siswa D. Siswa A dan siswa C mendengarkan, bertanya dan
menguraikan atau mencatat jawaban tapi tidak saling menjelaskan atau membagi
data pribadi yang diperoleh.
3. Langkah kedua (step two) berganti peran siswa B mewawancara siswa A, dan
siswa D mewawancara siswa C. Siswa B dan D melakukan hal yang sama dengan
siswa A dan C pada langkah pertama.
4. Langkah ketiga (step three) keempat siswa saling berdiskusi dan membagi
informasi atau data yang diperoleh dari hasil wawancara.
5. Beberapa siswa menyampaikan kesimpulan di depan kelas.

Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis


peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa SMK melalui pembelajaran
dengan model kooperatif tipe three step interview.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang menerapkan model
pembelajaran kooperarif tipe three step interview untuk meningkatkan kemampuan
penalaran induktif siswa SMK. Desain penelitian adalah nonequivalent control group
design yang melibatkan dua kelas yang dipilih secara acak dengan teknik cluster
sampling. Kelas pertama adalah kelas eksperimen merupakan kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe three step interview sedangkan kelas
kedua adalah kelas kontrol yaitu kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran
konvesional.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMKF Bumi Siliwangi.
Kemudian untuk sampelnya terpilih dua kelas, yaitu kelas XI B terdiri dari 40 siswa
sebagai kelas kontrol dan kelas XI A terdiri dari 36 siswa sebagai kelas eksperimen.
Instrumen utama yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat soal tes
untuk mengukur kemampuan penalaran induktif siswa berdasarkan indikator yang
telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan instrumen pendukung pada penelitian ini
adalah lembar observasi dan jurnal harian, lembar observasi dimaksudkan untuk
memberikan gambaran aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran dengan
Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603
©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.544
model kooperatif tipe three step interview dan jurnal harian dimaksudkan untuk
mengetahui pendapat serta kesulitan siswa selama memperoleh pembelajaran
dengan model kooperatif tipe three step interview.

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif diperoleh dari hasil
tes dan data kualitatif diperoleh dari lembar observasi dan jurnal harian. Data
kuantitatif diolah dengan bantuan program Microsoft Excel dan Software SPSS versi 20
for Windows. Data kualitatif yang terkumpul ditulis dan dirangkum, data ini
selanjutnya digunakan sebagai bahan masukan bagi peneliti dalam melakukan
pembahasan secara deskriptif.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


C.1. Hasil Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan mendapatkan hasil data dari pretes dan postes
kemampuan penalaran induktif. Kemudian dihitung nilai gain ternormalisasi atau
N-gain untuk mengetahui peningkatan mana yang lebih tinggi dan kualitas
peningkatan mana yang lebih baik dari kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Tabel 1. Statistika Deskriptif Kemampuan Penalaran Induktif


Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Skor
n 𝑥̅ s xmin xmaks n 𝑥̅ s xmin xmaks
Pretes 36 3,44 1,58 2 9 40 3,83 1,80 1 8
Postes 36 12,17 2,73 7 17 40 9,68 2,82 5 16
N-gain 36 0,53 0,16 0,28 0,83 40 0,37 0,14 0,11 0,75

Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata skor kemampuan penalaran induktif awal


siswa masih tergolong rendah, akan tetapi selisih rata-rata skor pretes kelas
eksperimen dan kelas kontrol tidak terlalu besar, yaitu hanya 0,39. Selisih yang tidak
terlalu besar menunjukkan bahwa kemampuan penalaran induktif siswa sebelum
mendapat perlakuan relatif tidak berbeda. Rata-rata skor postes kedua kelas
menunjukkan perbedaan dan mengalami peningkatan dari rata-rata skor pretes,
selisih rata-rata skor postes dan skor pretes kelas eksperimen lebih besar
dibandingkan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen selisih mencapai 1,5 kali lebih
besar dibandingkan selisih pada kelas kontrol. Adanya perbedaan perolehan rata-
rata N-gain pada kedua kelas penelitian dapat diartikan bahwa kemampuan
penalaran induktif siswa kelas eksperimen lebih meningkat daripada siswa kelas
kontrol meskipun dengan kategori peningkatan yang sama, yaitu pada kategori
sedang.

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.545
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Peningkatan kemampuan
penalaran induktif siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe Three Step
Interview lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Untuk menjawab hipotesis penelitian dilakukan analisis
terhadap rata-rata nilai N-gain yang diperoleh.

Hal pertama yang dilakukan adalah uji normalitas dan homogenitas, hasil uji
normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-wilk menunjukkan bahwa data N-gain
berdistribusi normal dan hasil uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene
menunjukan bahwa data N-gain bervariansi homogen. Selanjutnya dilakukan uji
hipotesis menggunakan uji parametrik yaitu uji Independent Sample T-test. Hasil uji
parametrik Independent Sample T-test disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2. Hasil Uji Parametrik Independent Sample T-Test


t-test for Eguality of Means
t df Sig. (2-tailed) Sig. (1-tailed)
4,650 74 0,000 0,000

Berdasarkan uji parametrik Independent Sample T-test, diperoleh nilai Sig. (1-tailed) =
0,000 < 0,05 = α. Hal ini menunjukan bahwa H0 ditolak, artinya peningkatan
kemampuan penalaran induktif siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif
tipe Three Step Interview lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.

Hasil analisis terhadap lembar observasi terdiri dari analisis terhadap aktivitas guru
dan analisis terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Hasil analisis
terhadap aktivitas guru dapat disimpulkan bahwa guru telah melaksanakan
fungsinya dengan sangat baik, baik dalam kegiatan pendahuluan, kegiatan inti
maupun kegiatan penutup. Meskipun pada awal pertemuan, observer memberikan
catatan bahwa guru masih kesulitan dalam pengaturan waktu pada keguatan inti.
Hal ini dapat dipahami karena model pembelajaran yang digunakan adalah sesuatu
yang baru dan siswa belum bisa beradaptasi secara baik terhadap model
pembelajaran tersebut. Hasil analisis terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa,
aktivitas siswa untuk setiap pertemuannya mengalami peningkatan. Rata-rata
persentase aktivitas siswa selama 6 kali pertemuan memiliki persentase sangat baik
yaitu sebesar 83,7%, hal ini menunjukkan bahwa siswa nampak semakin antusias
dan semakin terbiasa dalam proses tahapan pembelajaran dalam model
pembelajaran kooperatif tipe three step interview.
Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603
©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.546
Hasil analisis terhadap jurnal harian menunjukkan bahwa siswa sudah memiliki
tingkat konsentrasi dan kesungguhan dalam proses pembelajaran, pendapat siswa
terhadap model pembelajaran yang dilakukan untuk setiap pertemuannya semakin
baik, adapun kesulitan yang paling sering siswa hadapi ketika pelaksanaan
pembelajaran adalah ketikan proses interview. Siswa masih kesulitan ketika
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada temannya, selain itu siswa masih
kurang percaya diri ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh temannya.

C.2. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran induktif
siswa di kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada di kelas kontrol.
Hasil ini memberikan gambaran bahwa pembelajran dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Three Step Interview memberikan kontribusi yang positif dalam
meningkatkan kemampuan penalaran induktif siswa, sehingga model pembelajaran
ini mempunyai peranan yang lebih baik terhadap peningkatan kemampuan
penalaran induktif siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Model pembelajaran kooperatif tipe three step interview memberikan ruang kepada
siswa untuk mengeksplorasi kemampuan berpikirnya dalam memahami konsep,
siswa dituntut untuk lebih mandiri dalam memperoleh pengetahuan, memanfaatkan
sumber-sumber informasi yang ada, melakukan proses analisis dan sintesis dari
informasi yang diperoleh melalui proses interview.

Pada langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe three step interview indikator-


indikator kemampuan penalaran induktif dapat terfasilitasi. Pada saat siswa sebagai
pewawancara siswa harus dapat mengumpulkan informasi atau data dari proses
penyelesaian LKS yang telah dilakukan temannya, dari data atau informasi yang
diperoleh siswa dilatih untuk dapat menemukan pola, menganalisis suatu situasi,
memperkirakan jawaban yang diberikan oleh temannya berdasarkan data-data yang
diperoleh dari pertanyaan yang diajukan dan pada akhirnya melakukan proses
generalisasi.

Hasil temuan peneliti sejalan dengan hasil penelitian Granstrom (Samuelson, 2010)
yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran yang berbeda di kelas
mempengaruhi hasil bagi siswa dalam cara yang berbeda.

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.547
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peningkatan kemampuan penalaran
induktif siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe Three Step Interview
lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Dengan demikian model pembelajara ini dapat menjadi salah satu
alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan guru di kelas dalam rangka
mengembangkan kemampuan penalaran induktif.

DAFTAR PUSTAKA

BNSP. 2012. Standar Kompetemsi Lulusan. [Online]. Tersedia: http://bnsp-


indonesia.org/id/?page_id=63/ [7 Desember 2013].
Dahlan, J. A. 2004. Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik
Siswa Sekolah Lanjutan Pertama Melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Enden.
Disertasi Pendidikan Matematika UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Hillen, K. 2006. Discourse and Cooperative Learning in the Math Classroom. [Online].
Tersedia:
http://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1015&context=math
midsummative [10 Desember 2013]
Huda, M. 2012. Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur dan Model Penerapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
Jakarta, 2006.
Robertson, L., Davidson, N., and Dees, L. R. 2007. Cooperative Learning to Support
Thinking, Reasoning, and Communicating in Mathematics. [Online]. Tersedia:
http://www.dm.unipi.it/perfezionamento/documenti/ApprendimentoCooperati
vo/CLandMathematics.pdf [7 Desember 2013]
Shadiq, F. 2004. Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi Dalam Pembelajaran
Matematika. Makalah pada kegiatan penulisan modul paket pembinaan
penataran. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG)
Matematika.
Samuelsson, J. (2010). The Impact of Teaching Approaches on Students’ Mathematical
Proficiency in Sweden. [Online]. Tersedia: http://www.iejme.com/022010/full.pdf
[7 Desember 2010].

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.540
PENINGKATAN KEMAMPUAN PENALARAN INDUKTIF SISWA SMK
DENGAN MODEL KOOPERATIF TIPE THREE STEP INTERVIEW

Ani Aisyah1, Jarnawi Afgani Dahlan2, Bambang Avip Priatna3


Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI, Jl. Dr. Setia Budhi No. 229,
Bandung
ani.aisyahmath@gmail.com , afgani_lan@yahoo.com2, dan bambangavip@yahoo.com2
1

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peningkatan kemampuan penalaran induktif


siswa SMK melalui pembelajaran dengan model kooperatif tipe three step interview.
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen, dengan desain nonequivalent conttol
group design, yang melibatkan dua kelas yang dipilih secara acak dengan teknik cluster
random sampling. Populasi pada penelitian adalah siswa kelas XI pada salah satu SMK di
Kota Bandung. Sampel yang terpilih adalah siswa kelas XI-A dan siswa kelas XI-B.
Instrumen yang digunakan adalah tes, lembar observasi dan jurnal harian. Intrumen tes
berupa soal uraian sesuai dengan indikator dari kemampuan penalaran induktif memiliki
reliabilitas dengan kategori sangat tinggi. Data yang digunakan untuk menganalisis
peningkatan kemampuan penalaran induktif adalah gain ternormalisasi dengan bantuan
software SPSS 20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran
induktif siswa SMK yang memperoleh pembelajaran dengan model kooperatif tipe three step
interview lebih tinggi secara signifikan dibandingkan peningkatan penalaran induktif siswa
SMK yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Kata Kunci: Kemampuan Kemampuan Penalaran Induktif, Model Kooperatif Tipe Three Step
Interview.

A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan SMK semakin pesat di Indonesia. Peminatnya semakin banyak dari
tahun ke tahun, pertumbuhan ini disebabkan semakin banyak orang yang
menyadari pentingnya keberadaan SMK untuk menciptakan tenaga-tenaga terampil
siap kerja. Salah satu kelompok SMK yang mengalami pertumbuhan yang signifikan
adalah SMK kelompok kesehatan dalam hal ini adalah SMK Farmasi. Pesatnya
pertumbuhan SMK Farmasi disebabkan perkembangan industri bidang farmasi
merupakan salah satu bidang yang menjanjikan di Indonesia.

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.541
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran adaptif di SMK memiliki proporsi jam
pelajaran terbanyak kedua bersama bahasa inggris setelah mata pelajaran produktif.
Hal ini memberikan indikasi bahwa peran mata pelajaran matematika di tingkat
sekolah menengah kejuruan tidak bisa dipandang sebelah mata. Sejalan dengan itu
salah satu butir Standar Kompetensi Lulusan (SKL) mata pelajaran matematika SMK
di semua kelompok kejuruan (BNSP, 2012) adalah menerapkan matematika sebagai
dasar penguasaan kompetensi produktif dan pengembangan diri.

Melalui matematika peserta didik dilatih dan dibekali untuk memiliki kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta mampu bekerjasama
(Permendiknas, 2006). Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat
memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk
bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif

Salah satu kemampuan matematis berdasarkan tujuan pembelajaran di SMK yang


harus dimiliki siswa adalah kemampuan penalaran. Penalaran merupakan tahapan
berpikir tingkat tinggi yang mencakup kemampuan berpikir logis dan sistematis
berdasarkan fakta dan sumber yang mendukung untuk mencapai kesimpulan. Hal
ini sejalan dengan Shuter dan Pierce (Dahlan, 2004) menyatakan bahwa penalaran
(reasoning) merupakan suatu proses pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta
dan sumber yang relevan. Keraf (Shadiq, 2004) mendefiniskan penalaran sebagai
proses berfikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau evidensi-
evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan. Sedangkan Santrock
(Bani, 2011) mengemukakan bahwa penalaran adalah pemikiran logis yang
menggunakan logika induksi dan deduksi untuk menghasilkan kesimpulan.

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai kemampuan penalaran tersebut terlihat


bahwa kemampuan penalaran secara umum berperan dalam pembentukan
kemampuan berpikir logis dan sistematis yang merupakan salah satu tujuan
pemberian mata pelajaran matematika ditingkat SMK. Namun kenyataan dilapangan
kemampuan penalaran siswa SMK masih tergolong rendah, hal ini ditunjukan dari
hasil penelitian Wijaya (Yuliana, 2013) di SMK menyatakan bahwa meskipun rataan
skor postes kemampuan penalaran kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas
kontrol akan tetapi hasil yang diperoleh belum maksimal, artinya indikator
penalaran yang masih kurang pencapaiannya. Berdasarkan hasil penelitian Yuliana
(2013) siswa masih kesulitan dalam menemukan pola atau hubungan untuk
menganalisis suatu situasi matematis untuk membuat generalisasi dan siswa masih

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.542
kesulitan dalam memperkirakan solusi dari permasalahan yang diberikan. Kedua
indikator ini termasuk ke dalam kemampuan penalaran induktif.

Pentingnya pengembangan kemampuan penalaran induktif bagi siswa SMK dalam


hal ini adalah siswa SMK Farmasi antara lain ketika siswa mempelajari materi-materi
kefarmasian di kelas dan ketika siswa sudah terjun ke lapangan pekerjaan sebagai
tenaga teknis kefarmasian. Materi kefarmasian yang berkaitan dengan kemampuan
penalaran induktif yang harus dimiliki siswa adalah materi ilmu resep. Dalam
materi ilmu resep siswa diharapkan akan memiliki kemampuan dalam
melaksanakan peracikan obat, mengidentifikasi resep dan memberikan etiket atau
pemberian aturan pakai pada obat. Dalam melakukan peracikan obat,
mengidentifikasi resep dan memberikan etiket maka siswa harus memiliki
kemampuan membaca resep, menentukan dosis, mengenali bahan-bahan obat
disesuaikan dengan fungsi dan kegunaan, dalam proses ini maka prinsip-prinsip
dalam kemampuan penalaran induktif dibutuhkan.

Kemampuan penalaran induktif yang masih rendah untuk siswa SMK diduga
karena siswa masih kurang dilibatkan untuk lebih aktif ketika proses pembelajaran.
Sehingga untuk dapat mengembangkan kemampuan penalaran induktif sebaiknya
keterlibatan siswa ketika proses pembelajaran lebih ditingkatkan.

Model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses pembelajaran adalah


model pembelajaran kooperatif. Artz dan Newman (Huda, 2012) mendefinisikan
pembelajaran kooperatif sebagai kelompok kecil pembelajar/siswa yang bekerjasama
dalam tim untuk mengatasi suatu masalah, menyelesaikan sebuah tugas, atau
mencapai suatu tujuan bersama.

Salah satu tipe model pembelajaran kooperatif adalah tipe three step interview atau
tiga langkah proses wawancara. Tipe three step interview ini merupakan pembelajaran
kooperatif yang dapat menghidupkan suasana belajar dan mengaktifkan siswa
untuk bertanya ataupun menjawab. Ketika siswa melakukan aktivitas bertanya
ataupun menjawab, dalam proses tersebut siswa dilatih untuk dapat
mengembangkan kemampuan penalaran mereka. Hal ini sejalan dengan Kilpatrik
(Hillen, 2006) yang menyatakan bahwa salah satu cara terbaik untuk siswa
mengembangkan penalaran mereka adalah dengan menjelaskan atau membenarkan
solusi kepada orang lain.

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.543
Tahapan proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa dalam model
pembelajaran kooperatif tipe three step interview adalah (Robertson et al, 2007) sebagai
berikut:
1. Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil yang terdiri dari empat orang misalkan A,
B, C dan D.
2. Langkah pertama (step one) siswa A mewawancara siswa B, dan siswa C
mewawancara siswa D. Siswa A dan siswa C mendengarkan, bertanya dan
menguraikan atau mencatat jawaban tapi tidak saling menjelaskan atau membagi
data pribadi yang diperoleh.
3. Langkah kedua (step two) berganti peran siswa B mewawancara siswa A, dan
siswa D mewawancara siswa C. Siswa B dan D melakukan hal yang sama dengan
siswa A dan C pada langkah pertama.
4. Langkah ketiga (step three) keempat siswa saling berdiskusi dan membagi
informasi atau data yang diperoleh dari hasil wawancara.
5. Beberapa siswa menyampaikan kesimpulan di depan kelas.

Berdasarkan uraian di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis


peningkatan kemampuan penalaran induktif siswa SMK melalui pembelajaran
dengan model kooperatif tipe three step interview.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang menerapkan model
pembelajaran kooperarif tipe three step interview untuk meningkatkan kemampuan
penalaran induktif siswa SMK. Desain penelitian adalah nonequivalent control group
design yang melibatkan dua kelas yang dipilih secara acak dengan teknik cluster
sampling. Kelas pertama adalah kelas eksperimen merupakan kelompok siswa yang
memperoleh pembelajaran model kooperatif tipe three step interview sedangkan kelas
kedua adalah kelas kontrol yaitu kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran
konvesional.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMKF Bumi Siliwangi.
Kemudian untuk sampelnya terpilih dua kelas, yaitu kelas XI B terdiri dari 40 siswa
sebagai kelas kontrol dan kelas XI A terdiri dari 36 siswa sebagai kelas eksperimen.
Instrumen utama yang digunakan pada penelitian ini adalah seperangkat soal tes
untuk mengukur kemampuan penalaran induktif siswa berdasarkan indikator yang
telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan instrumen pendukung pada penelitian ini
adalah lembar observasi dan jurnal harian, lembar observasi dimaksudkan untuk
memberikan gambaran aktivitas siswa dan guru selama pembelajaran dengan
Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603
©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.544
model kooperatif tipe three step interview dan jurnal harian dimaksudkan untuk
mengetahui pendapat serta kesulitan siswa selama memperoleh pembelajaran
dengan model kooperatif tipe three step interview.

Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data kuantitatif diperoleh dari hasil
tes dan data kualitatif diperoleh dari lembar observasi dan jurnal harian. Data
kuantitatif diolah dengan bantuan program Microsoft Excel dan Software SPSS versi 20
for Windows. Data kualitatif yang terkumpul ditulis dan dirangkum, data ini
selanjutnya digunakan sebagai bahan masukan bagi peneliti dalam melakukan
pembahasan secara deskriptif.

C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


C.1. Hasil Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan mendapatkan hasil data dari pretes dan postes
kemampuan penalaran induktif. Kemudian dihitung nilai gain ternormalisasi atau
N-gain untuk mengetahui peningkatan mana yang lebih tinggi dan kualitas
peningkatan mana yang lebih baik dari kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Tabel 1. Statistika Deskriptif Kemampuan Penalaran Induktif


Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Skor
n 𝑥̅ s xmin xmaks n 𝑥̅ s xmin xmaks
Pretes 36 3,44 1,58 2 9 40 3,83 1,80 1 8
Postes 36 12,17 2,73 7 17 40 9,68 2,82 5 16
N-gain 36 0,53 0,16 0,28 0,83 40 0,37 0,14 0,11 0,75

Tabel 1 memperlihatkan bahwa rata-rata skor kemampuan penalaran induktif awal


siswa masih tergolong rendah, akan tetapi selisih rata-rata skor pretes kelas
eksperimen dan kelas kontrol tidak terlalu besar, yaitu hanya 0,39. Selisih yang tidak
terlalu besar menunjukkan bahwa kemampuan penalaran induktif siswa sebelum
mendapat perlakuan relatif tidak berbeda. Rata-rata skor postes kedua kelas
menunjukkan perbedaan dan mengalami peningkatan dari rata-rata skor pretes,
selisih rata-rata skor postes dan skor pretes kelas eksperimen lebih besar
dibandingkan kelas kontrol. Pada kelas eksperimen selisih mencapai 1,5 kali lebih
besar dibandingkan selisih pada kelas kontrol. Adanya perbedaan perolehan rata-
rata N-gain pada kedua kelas penelitian dapat diartikan bahwa kemampuan
penalaran induktif siswa kelas eksperimen lebih meningkat daripada siswa kelas
kontrol meskipun dengan kategori peningkatan yang sama, yaitu pada kategori
sedang.

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.545
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Peningkatan kemampuan
penalaran induktif siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe Three Step
Interview lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional. Untuk menjawab hipotesis penelitian dilakukan analisis
terhadap rata-rata nilai N-gain yang diperoleh.

Hal pertama yang dilakukan adalah uji normalitas dan homogenitas, hasil uji
normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-wilk menunjukkan bahwa data N-gain
berdistribusi normal dan hasil uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene
menunjukan bahwa data N-gain bervariansi homogen. Selanjutnya dilakukan uji
hipotesis menggunakan uji parametrik yaitu uji Independent Sample T-test. Hasil uji
parametrik Independent Sample T-test disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2. Hasil Uji Parametrik Independent Sample T-Test


t-test for Eguality of Means
t df Sig. (2-tailed) Sig. (1-tailed)
4,650 74 0,000 0,000

Berdasarkan uji parametrik Independent Sample T-test, diperoleh nilai Sig. (1-tailed) =
0,000 < 0,05 = α. Hal ini menunjukan bahwa H0 ditolak, artinya peningkatan
kemampuan penalaran induktif siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif
tipe Three Step Interview lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.

Hasil analisis terhadap lembar observasi terdiri dari analisis terhadap aktivitas guru
dan analisis terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Hasil analisis
terhadap aktivitas guru dapat disimpulkan bahwa guru telah melaksanakan
fungsinya dengan sangat baik, baik dalam kegiatan pendahuluan, kegiatan inti
maupun kegiatan penutup. Meskipun pada awal pertemuan, observer memberikan
catatan bahwa guru masih kesulitan dalam pengaturan waktu pada keguatan inti.
Hal ini dapat dipahami karena model pembelajaran yang digunakan adalah sesuatu
yang baru dan siswa belum bisa beradaptasi secara baik terhadap model
pembelajaran tersebut. Hasil analisis terhadap aktivitas siswa menunjukkan bahwa,
aktivitas siswa untuk setiap pertemuannya mengalami peningkatan. Rata-rata
persentase aktivitas siswa selama 6 kali pertemuan memiliki persentase sangat baik
yaitu sebesar 83,7%, hal ini menunjukkan bahwa siswa nampak semakin antusias
dan semakin terbiasa dalam proses tahapan pembelajaran dalam model
pembelajaran kooperatif tipe three step interview.
Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603
©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.546
Hasil analisis terhadap jurnal harian menunjukkan bahwa siswa sudah memiliki
tingkat konsentrasi dan kesungguhan dalam proses pembelajaran, pendapat siswa
terhadap model pembelajaran yang dilakukan untuk setiap pertemuannya semakin
baik, adapun kesulitan yang paling sering siswa hadapi ketika pelaksanaan
pembelajaran adalah ketikan proses interview. Siswa masih kesulitan ketika
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada temannya, selain itu siswa masih
kurang percaya diri ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh temannya.

C.2. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kemampuan penalaran induktif
siswa di kelas eksperimen lebih tinggi secara signifikan daripada di kelas kontrol.
Hasil ini memberikan gambaran bahwa pembelajran dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Three Step Interview memberikan kontribusi yang positif dalam
meningkatkan kemampuan penalaran induktif siswa, sehingga model pembelajaran
ini mempunyai peranan yang lebih baik terhadap peningkatan kemampuan
penalaran induktif siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Model pembelajaran kooperatif tipe three step interview memberikan ruang kepada
siswa untuk mengeksplorasi kemampuan berpikirnya dalam memahami konsep,
siswa dituntut untuk lebih mandiri dalam memperoleh pengetahuan, memanfaatkan
sumber-sumber informasi yang ada, melakukan proses analisis dan sintesis dari
informasi yang diperoleh melalui proses interview.

Pada langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe three step interview indikator-


indikator kemampuan penalaran induktif dapat terfasilitasi. Pada saat siswa sebagai
pewawancara siswa harus dapat mengumpulkan informasi atau data dari proses
penyelesaian LKS yang telah dilakukan temannya, dari data atau informasi yang
diperoleh siswa dilatih untuk dapat menemukan pola, menganalisis suatu situasi,
memperkirakan jawaban yang diberikan oleh temannya berdasarkan data-data yang
diperoleh dari pertanyaan yang diajukan dan pada akhirnya melakukan proses
generalisasi.

Hasil temuan peneliti sejalan dengan hasil penelitian Granstrom (Samuelson, 2010)
yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran yang berbeda di kelas
mempengaruhi hasil bagi siswa dalam cara yang berbeda.

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Jurnal Euclid, vol.3, No.2, p.547
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, peningkatan kemampuan penalaran
induktif siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif tipe Three Step Interview
lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional. Dengan demikian model pembelajara ini dapat menjadi salah satu
alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan guru di kelas dalam rangka
mengembangkan kemampuan penalaran induktif.

DAFTAR PUSTAKA

BNSP. 2012. Standar Kompetemsi Lulusan. [Online]. Tersedia: http://bnsp-


indonesia.org/id/?page_id=63/ [7 Desember 2013].
Dahlan, J. A. 2004. Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematik
Siswa Sekolah Lanjutan Pertama Melalui Pendekatan Pembelajaran Open-Enden.
Disertasi Pendidikan Matematika UPI. Bandung: Tidak diterbitkan.
Hillen, K. 2006. Discourse and Cooperative Learning in the Math Classroom. [Online].
Tersedia:
http://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1015&context=math
midsummative [10 Desember 2013]
Huda, M. 2012. Cooperative Learning Metode, Teknik, Struktur dan Model Penerapan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
Jakarta, 2006.
Robertson, L., Davidson, N., and Dees, L. R. 2007. Cooperative Learning to Support
Thinking, Reasoning, and Communicating in Mathematics. [Online]. Tersedia:
http://www.dm.unipi.it/perfezionamento/documenti/ApprendimentoCooperati
vo/CLandMathematics.pdf [7 Desember 2013]
Shadiq, F. 2004. Penalaran, Pemecahan Masalah dan Komunikasi Dalam Pembelajaran
Matematika. Makalah pada kegiatan penulisan modul paket pembinaan
penataran. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG)
Matematika.
Samuelsson, J. (2010). The Impact of Teaching Approaches on Students’ Mathematical
Proficiency in Sweden. [Online]. Tersedia: http://www.iejme.com/022010/full.pdf
[7 Desember 2010].

Jurnal Euclid, ISSN 2355-1712, vol.3, No.2, pp. 474-603


©Prodi Pendidikan Matematika Unswagati Cirebon
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

Proses Berpikir Induktif dan Deduktif dalam Mempelajari Matematika

Rochmad
Dosen Jurusan Matematika FMIPA UNNES

Abstrak
Salah satu ciri utama dalam mempelajari matematika adalah menerapkan penalaran deduktif yaitu
kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran
sebelumnya, sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan matematika bersifat konsisten. Namun
demikian, pembelajaran matematika dengan fokus pada pemahaman konsep dapat diawali dengan
pendekatan induktif melalui pengalaman khusus yang dialami siswa. Dalam pembelajaran
matematika, pola pikir induktif dapat digunakan untuk memahami definisi, pengertian, dan aturan
matematika. Kegiatan pembelajaran dapat dimulai dengan menyajikan beberapa contoh atau fakta
yang teramati, membuat daftar sifat-sifat yang muncul, memperkirakan hasil yang mungkin, dan
kemudian siswa dengan menggunakan pola pikir induktif diarahkan menyusun suatu generalisasi.
Selanjutnya, jika memungkinkan siswa diminta membuktikan generalisasi yang diperoleh tersebut
secara deduktif.

Kata kunci: Pembelajaran matematika, pola pikir induktif, pola pikir deduktif.

A. Pendahuluan jumlahkan dan hasilnya 45. Jadi tiga bilangan


Dalam pembelajaran matematika asli berututan tersebut adalah 14, 15 dan 16.
seorang guru memberi soal kepada siswanya Jawaban dari beberapa siswa lainnya, mirip
sebagai berikut: "tiga bilangan asli berurutan seperti itu. Karena itu, guru menyimpulkan
jumlahnya 45, berapakah bilangan-bilangan para siswanya menjawab dengan cara
itu?" Ternyata dengan cara “mencoba-coba” mencoba-coba atau menebak-nebak.
beberapa anak kelas V sekolah dasar Ada siswa yang memecahkan masalah
menemukan bahwa bilangan-bilangan itu 14, dengan menggunakan pendekatan sebagai
15 dan 16; sebab ketiga bilangan tersebut berikut. Misalnya salah satu bilangan asli
adalah bilangan asli berurutan dan jumlahnya tersebut A. Tiga bilangan asli berurutan yang
14 + 15 + 16 = 45. Guru memberi penguatan ditanyakan dapat dinyatakan dengan A, A+1,
dengan melontarkan pujian: “Bagus!” benar dan A + 2. Diketahui A + (A + 1) + (A + 2) =
jawaban kalian. Guru ingin mengetahui 45, didapat 3A + 3 = 45. Jadi 3A = 42 dan A
bagaimana cara mereka memperoleh ketiga = 14. Kemudian siswa tersebut
bilangan asli tersebut. Kepada beberapa menyimpulkan: “Jadi bilangan-bilangan itu
siswa guru mengajukan pertanyaan: 14, 15, dan 16.” Pemecahan masalah seperti
“Bagaimana anda dapat menemukan jawaban ini menggunakan pendekatan deduktif.
tersebut?” Dua pendekatan dalam memecahkan
Berkaitan dengan soal di atas, ada masalah matematika tersebut di atas berkaitan
beberapa siswa menjelaskan sebagai berikut: dengan proses berpikir siswa, apakah
mula-mula saya memilih tiga bilangan asli 6, menggunakan penalaran induktif atau
7, dan 8 lalu dijumlahkan hasilnya 21, deduktif. Pada pendekatan yang pertama,
ternyata kurang dari 45; lalu saya memilih siswa memecahkan masalah dengan cara
20, 21, 22 jumlahnya 63, lebih dari 45. mencoba-coba, “trial and error,” dan
Kemudian saya berpikir, saya pilih tiga menemukan jawabannya. Pendekatan seperti
bilangan asli 14, 15 dan 16, lalu saya ini termasuk dalam pendekatan induktif. Cara

107
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

memecahkan masalah dengan mencoba-coba B. Pembahasan


atau menebak-nebak sering dilakukan oleh a. Pola Pikir Induktif
siswa. Cara seperti ini kadang memerlukan Menurut Piaget (dalam Copeland,
waktu yang lama untuk menemukan 1974), siswa belajar memahami objek-objek
jawabannya. Siswa kebanyakan kesulitan jika di lingkungan kehidupannya dengan cara
soalnya dikembangkan. mengklasifikasikan menjadi suatu kategori
Misalnya "Tiga bilangan berurutan tertentu yang berbeda dengan objek lainnya,
jumlahnya 69693, berapakah bilangan- berbasis karakteristik tertentu atau sifatnya.
bilangan itu?" Dengan mencoba-coba Misalnya jika disajikan beberapa gambar
memilih tiga bilangan asli yang jumlahnya berbagai binatang, siswa mengklasifikasikan
69693 bukanlah pekerjaan yang mudah bagi gambar-gambar tersebut ke dalam kelompok
siswa, meskipun ia telah memiliki burung, ayam, dan hewan berkaki empat.
pengalaman menjawab soal yang pertama. Dengan cara seperti ini siswa belajar konsep
Karena itu, kemampuan memecahkan himpunan dan keanggotaan suatu himpunan.
masalah dengan menggunakan metode Ide dari klasifikasi, berbasis pada
mencoba-coba kurang dapat diandalkan. relasi. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya
Dalam kasus pemecahana masalah ini, siswa seorang siswa mengatakan: ”Para siswa
yang menggunakan cara kedua yakni sedang bermain bola milik Anton.” Kata
menggunakan pendekatan deduktif, akan ”milik” merupakan relasi, dan karena relasi
lebih mudah dalam memecahkan masalah inilah bola tersebut kemudian dikembalikan
tersebut. kepada Anton. Dengan demikian, dapat
Berkaitan dengan pembelajran, terjadi siswa dalam mengamati objek-objek
kebanyakan guru dalam melaksanakan berupaya mengklasifikasikan atau
pembelajaran matematika dengan pendekatan merelasikan dengan berbagai cara. Misalnya:
induktif, bermula dari contoh-contoh menuju lebih berat, lebih luas, dan memiliki warna
ke generalisasi. Kegiatan belajar ini sangat sama. Dalam geometri, siswa
penting dalam belajar matematika. Namun mengklasifikasikan objek-objek dengan
para guru diharapkan tidak melupakan relasi, misalnya: ”bangun datar yang memiliki
pentingnya penalaran deduktif dalam belajar tiga sisi;” ”bangun datar yang memiliki
matematika. Guru yang hanya menggunakan empat sisi;” dan ”bangun datar yang
pendekatan induktif membangun kemampuan memiliki empat sisi yang sama panjang.”
siswa dalam bernalar induktif, namun jika Selanjutnya, dengan melakukan
kurang memberi tekanan dalam membangun klasifikasi terhadap objek-objek yang ada di
kemampuan bernalar deduktif, maka lingkungan sekitar, siswa diharapkan dapat
dikhawatirkan kemampuan matematika siswa menulis suatu definisi. Sebagaimana yang
kurang berkembang secara optimal. Berikut dikemukakan Copeland (1974: 53):
ini disajikan argumentasi pentingnya
mengkombinasikan penalaran induktif dan From such classification will later
deduktif dalam pembelajaran matematika. come definition such as ”a triangle
Penulisan artikel ini dimaksudkan agar para is ...,“ “a family is …,” “a mother
guru matematika menyadari pentingnya is …,” and “a river is ….”
melatih siswa menggunakan penalaran
induktif dan deduktif dalam belajar Artinya, dari klasifikasi seperti itu akhirnya
matematika. menjadi definisi seperti “segitiga adalah …,”
“keluarga adalah …,” “ibu adalah …,” dan
“sungai adalah ….”

108
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

Dalam geometri jika pembelajaran Artinya model Klauer dikembangkan dalam


dimulai dengan suatu definisi, misalnya domain isi yang terlalu umum dan kurang
segitiga adalah bangun datar yang dibatasi jelas apakah dapat diterapkan dalam
oleh tiga ruas garis. Kemudian menggunakan matematika.
pengertian tersebut untuk mengindentifikasi Christou dan Papageorgiou (2006: 57)
dari berbagai bangun datar sederhana dan memandang penting penalaran induktif dalam
memilih mana yang berupa segitiga, maka matematika dan perlu kerangka proses
pendekatan pembelajarannya disebut kognitif yang dapat digunakan untuk
pendekatan deduktif. Menurut pendapat para mendorong kecakapan penalaran induktif
ahli, pendekatan yang lebih baik bagi anak- siswa dalam belajar matematika. Proses
anak dalam belajar matematika adalah induktif dari kesamaan (similarity),
pendekatan induktif dari pada pendekatan ketidaksamaan (disimilarity), dan integrasi
deduktif. Copeland (1974: 204) menyatakan: (integration).
Contoh kepada siswa diajukan
A better approach (inductive) in pertanyaan: (1) “Carilah sifat umum dari
teaching children is to show them sekelompok bilangan 4, 16, 8, 32, 20, 100,
several triangles and ask them 40;” (2) “Carilah bilangan yang belum ditulis
what the figures have in common dalam 3/6 = 5/? “ Dalam masalah (1) siswa
and from this experience to form a diminta mencari kesamaan (similarity) dari
definition or generalization. sekelompok bilangan, dengan cara
menemukan satu predikat P(x) yang berarti
Artinya, pendekatan yang lebih baik setiap bilangan (x) memiliki atribut P, yaitu
(induktif) dalam mengajar siswa dengan semua bilangan dalam kelompok bilangan
menunjukkan beberapa segitiga kepada tersebut kelipatan empat. Masalah (2)
mereka dan menanyakan apakah kesamaan merupakan masalah perbandingan sederhana,
dari bangun-bangun tersebut dan kemudian siswa diminta mempertimbangkan dua
dari pengalaman tersebut membangun suatu predikat P’(x,y). Dalam kasus ini siswa
definisi atau generalisasi. pertama-tama perlu menyadari bahwa
Model Klauer (Christou dan bilangan x berkaitan dengan y dalam
Papageorgiou, 2006) mengelompokkan tiga perbandingan yang pertama dengan relasi P’,
kelas kesamaan (similarity), ketidaksamaan yaitu y dua kali x; dan menerapkan relasi ini
(dissimilarity), dan ketidaksamaan dan dalam rasio yang kedua.
kesamaan (dissimilarity and similarity) dari Contoh ketidaksamaan (dissimilarity),
penalaran induktif meliputi atribut misalnya siswa diminta mencari bilangan
generalisasi (generalization), perbedaan yang tidak cocok dengan bilangan-bilangan
(discrimination), dan klasifikasi silang (cross dari sekelompok bilangan 9, 21, 12, 15, 3, 5
clasification). Model Klauer ini dikritik oleh dan 9 dalam hal ini siswa mencari atribut
Christou dan Papageorgiou (2006: 57), sehingga menemukan bilangan yang
mereka menyatakan: dimaksud misalnya 5, sebab 5 bukan bilangan
kelipatan 3. Berkaitan dengan relasi misalnya
“Klauer’s model has been kepada siswa diberi pertanyaan: “Keluarkan
developed in a general content bilangan yang mengganggu dalam barisan
domain, and it is not clear wether bilangan 1 1 2 3 5 8 12,” dalam hal ini
it is applicable to mathematics.” siswa memperhatikan relasi antara bilangan
dengan bilangan sebelumnya, yaitu bilangan
dalam barisan itu diperoleh dengan cara

109
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

menjumlahkan dua bilangan sebelumnya. melibatkan sekelompok karakteristik untuk


Bilangan 12 dikeluarkan dari kelompok ditemukan ekuivalensi atau
bilangan karena seharusnya 13. ketidaksamaannya dari relasi-relasi tersebut.
Contoh integrasi, misalnya siswa Minimal terdapat dua relasi sehingga
diminta menempatkan bilangan 24 dari kesamaan atau ketidaksamaan dapat
matriks berikut. diverifikasi.
6, 18, 12 16, 4, 8 Dalam pembelajaran matematika, pola
pikir induktif digunakan oleh guru jika dalam
15, 9, 3 7, 5, 25 menyampaikan materi pembelajaran dimulai
dari hal-hal yang khusus menuju ke hal yang
Atribut dalam tugas di atas adalah tugas lebih umum. Misalnya dalam mengenalkan
mengklasifikasi yang disajikan dengan konsep persegi, guru dapat menunjukkan
matriks 2x2. Contoh integrasi berkaitan berbagai bangun geometri atau gambar
dengan relasi misalnya kepada siswa diberi bangun datar kepada para siswa, dan
soal: “Lengkapilah sel dengan bilangan yang mengatakan “ini namanya persegi.”
cocok,” dari matriks 3x3 berikut. Selanjutnya menunjuk bangun lain yang
bukan persegi dengan mengatakan “ini bukan
8 4 2 persegi.” Dengan demikian siswa dapat
24 12 6 menangkap pengertian secara intuitif
72 36 sehingga siswa dapat membedakan mana
bangun yang berupa persegi dan mana yang
Tiga proses kognitif kesamaan, bukan. Ini merupakan langkah induktif atau
ketidaksamaan dan integrasi pada prinsipnya mengikuti pola pikir induktif (Soedjadi,
mengacu pada operasi-operasi dan 2000).
pemecahan masalah, misalnya berkaitan Dalam pembelajaran matematika,
dengan klasifikasi, barisan, deret, matriks, meskipun pada akhirnya siswa diharapkan
bentuk-bentuk gambar yang dapat digunakan mampu berpikir deduktif, namun dalam
untuk mengantarkan siswa bernalar secara proses pembelajaran matematika dapat
induktif. Kesamaan siswa mengidentifikasi digunakan pola pikir induktif. Pembelajaran
kesamaan-kesamaan atribut-atribut dari matematika terutama di jenjang SD/MI dan
berbagai objek yang berbeda, misalnya SMP/MTs masih sangat diperlukan
bilangan-bilangan atau bangun-bangun, dan penggunaan pola pikir induktif. Ini berarti
pada tingkat relasi dilakukan dengan dalam penyajian matematika di kedua jenjang
mengidentifikasi kesamaan-kesamaan antara pendidikan tersebut perlu dimulai dari hal-hal
bilangan-bilangan atau objek-objek. Pada yang khusus, misalnya contoh-contoh, secara
tingkatan atribut siswa mencatat bertahap menuju suatu simpulan atau sifat
ketidaksamaan antara atribut-atribut; yang umum. Simpulan dapat berupa suatu
kemungkinan kesamaan atau ketidaksamaan definisi atau teorema-teorema yang diangkat
dapat terjadi dalam menyelidiki atribut- dari hal-hal khusus tersebut (Soedjadi, 2000).
atributnya, alternatif solusinya adalah Sampai saat ini teori pembelajaran
menentukan atribut-atribut yang sama atau Bruner masih berpengaruh dalam dunia
berbeda. Pada tingkat relasi siswa menyadari pendidikan. Secara teoritis pembelajaran
adanya perbedaan dalam relasi. Integrasi pada menurut teori Bruner (dalam Materney, 1999)
tingkat atribut melibatkan masalah yang mengikuti langkah: enaktif (enactive) –
menuntut siswa mempertimbangkan minimal ikonik (iconic) – simbolik (symbolic) yakni
dua objek secara serentak; pada tingkat relasi pembelajaran yang bermula dari hal-hal

110
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

konkret menuju abstrak. Sebagai ilustrasi cara menunjukkan berbagai gambar bangun
guru matematika dalam menanamkan konsep geometri datar sebagai berikut.
”persegi” kepada para siswanya (menerapkan
teori Bruner dari ikonik ke simbolik) dengan

A B C
D

G
E F

Gambar 1. Bangun geometri datar

Kemudian guru menjelaskan: Gambar A dan pembelajaran yang lebih penting adalah guru
F adalah gambar persegi. Gambar B adalah memfasilitasi siswa aktif belajar matematika
lingkaran, Gambar C adalah persegi panjang, dengan cara mengkonstruksi matematika,
gambar D dan E adalah segitiga, dan Gambar memberi kesempatan siswa berfikir dan
G adalah segi lima. Selanjutnya, guru membangun generalisasi. Kemungkinan
meminta siswa menulis definisi persegi diperoleh jawaban siswa yang berbeda-beda.
dengan bahasa siswa sendiri: “Tulislah Misalnya ada siswa yang menjawab: ”Persegi
dengan bahasa kalian sendiri definisi adalah bangun datar yang dibatasi empat sisi,
persegi.” sisi-sisi yang berhadapan sama panjang,”
Untuk dapat menulis definisi persegi siswa lainnya menjawab: ”Persegi adalah
dengan bahasa sendiri siswa mengamati, segiempat yang keempat sisinya sama
membandingkan, mengenal karakteristik, dan panjang dan salah satu sudutnya siku-siku,”
berusaha menyerap berbagai informasi yang dan kemungkinan masih banyak ragam
terkandung dalam kasus-kasus khusus jawaban siswa. Jawaban siswa dapat benar
tersebut untuk digunakan memperoleh dapat pula kurang tepat atau salah. Karena
kesimpulan atau sifat yang umum. Dengan itu guru, misalnya melalui diskusi kelas,
menyerap berbagai informasi pada kasus- membuat ’kesepakatan’ mengenai definisi
kasus khusus tersebut, siswa membangun persegi. Definisi inilah yang selanjutnya
suatu generalisasi. Ini merupakan bagian dipakai dalam pembelajaran matematika
kegiatan yang penting dalam mengkonstruksi selanjutnya.
pengetahuan matematika yang melibatkan Pembelajaran dengan melibatkan pola
penggunaan pola pikir induktif. pikir induktif efektif untuk mengajarkan suatu
Dengan menggunakan pola pikir konsep matematika, dan memberi peluang
induktif siswa mengkonstruk konsep persegi kepada siswa untuk memahami konsep atau
berdasar hasil pengamatan pada kasus-kasus memperoleh generalisasi dengan cara yang
khusus yang diberikan. Dalam pelaksanaan lebih bermakna. Siswa memperoleh

111
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

pengalaman ketika melakukan pengamatan hukum tertentu yang segera dapat


secara cermat pada kasus-kasus khusus yang dipergunakan untuk menemukan jawaban
diberikan guru. Dalam mengkonstruk pertanyaan tersebut. Pertanyaan itu dapat juga
matematika ini siswa terlibat dengan proses terselinap dalam suatu situasi sehingga situasi
adaptasi dan organisasi, sehingga itu sendiri perlu mendapat penyelesaian.
mempelajari konsep matematika dengan cara Masalah dapat dipecahkan dengan
seperti ini dipandang lebih bermakna dari menggunakan pola pikir induktif atau
sekedar menghapalkannya (Marpaung, 2003). deduktif.
Polya (1973) menyatakan pemecahan Contoh pemecahan suatu masalah
masalah sebagai usaha jalan keluar dari suatu dengan menggunakan pola pikir induktif
kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak sebagai berikut. Di bawah ini terdapat tiga
segera dapat dicapai. Terdiri dari masalah gambar, Gambar 1, 2, dan 3. Gambar 4 belum
untuk menemukan (problem to find) dan diketahui dan siswa diminta melengkapi
masalah untuk membuktikan (problem to Gambar 4 dengan cara memilih salah satu
prove). Hudojo (2003: 148) menyatakan suatu gambar A, B, C atau D yang disajikan di
pertanyaan akan merupakan masalah hanya bawahnya.
jika siswa tidak mempunyai aturan atau

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4

A B C D

Untuk menyelesaikan masalah di atas Gambar 3 titik hitam muncul lagi, dan muncul
siswa terlibat belajar memecahkan masalah gambar persegi di dalam persegi kecil.
dengan menggunakan pola pikir induktif, Siswa dalam memilih jawaban A, B,
ilustrasinya sebagai berikut. Suatu C atau D melakukan pengamatan dan analisis
pendekatan untuk memecahkan masalah pada serangkaian gambar yang diberikan.
secara sistematik adalah dengan melihat Misalnya pilihan untuk Gambar 4 adalah A,
bentuk-bentuk gambar yang diberikan dan pilihan ini tidak benar sebab titik hitam
perubahan bentuk dari gambar yang satu ke mestinya tidak ada dalam gambar. Melalui
lainnya. Pada Gambar 1 suatu persegi analogi, disimpulkan pilihan C juga salah.
diberikan, dengan titik hitam di tengahnya. Pilihan jawaban tinggal B dan D. Pilihan
Pada Gambar 2 persegi masih di tempat yang jawaban bukan B, sebab persegi kecilnya
sama, tetapi titik hitam lenyap, dan muncul tidak ada. Jadi jawabannya adalah D.
persegi kecil di dalam persegi mula-mula. Pada

112
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

Contoh lainnya, misalnya seorang Misalnya dalam memecahkan masalah yang


guru meminta siswa mencari rumus suku ke-n dihadapinya, siswa tersebut membuat daftar
suatu barisan bilangan genap sebagai berikut.
2, 4, 6, 8, ...

Suku ke Bilangan Pola


1 2 2=1x2
2 4 4=2x2
3 6 6=3x2

M M M

n 2n nx2

Kemudian siswa membuat kesimpulan logika (logical reasoning). Penalaran logika


sebagai berikut: “Rumus suku ke-n barisan merupakan aspek dasar dalam mempelajari
bilangan 2, 4, 6, 8, … adalah 2n untuk n matematika. Bila kemampuan bernalar tidak
bilangan asli.” Melalui pemecahan masalah dikembangkan pada diri siswa, maka bagi
ini, siswa mengkonstruksi pengetahuan siswa matematika hanya akan menjadi
matematika: “Barisan bilangan genap jika materi yang mengikuti serangkaian prosedur
dan hanya jika rumus suku ke-n adalah 2n dan siswa hanya meniru contoh-contoh tanpa
untuk n bilangan asli” mengetahui maknanya. NCTM (2000)
Dalam memecahkan masalah menyatakan bahwa program pembelajaran
tersebut siswa menggunakan pola pikir matematika dari prasekolah (pre-
induktif sebagai berikut. Mula-mula ia kindergarten) sampai grade-12 harus
menyusun daftar suku ke-1 adalah 2, suku memberi kesempatan kepada semua siswa:
ke-2 adalah 4, suku ke-3 adalah 6, suku ke-4 mengenal penalaran dan pembuktian sebagai
adalah 8, …. Selanjutnya siswa tersebut aspek dasar matematika; menggali dan
melihat hubungan 2 = 2 x 1, 4 = 2 x 2, 6 = 3 membuat konjektur-konjektur matematika;
x 2, 8 = 4 x 2, … dan melakukan mengembangkan dan menilai argumen-
generalisasi bahwa suku ke-n adalah n x 2, argumen matematika; dan memilih serta
dan n x 2 = 2n. Dalam hal ini proses berpikir menggunakan berbagai tipe penalaran dan
siswa mulai dengan mengamati kasus-kasus metode pembuktian. NCTM (2000)
khusus menuju ke umum, yaitu adanya suatu menyatakan bahwa pada semua tingkatan
proses penarikan kesimpulan dari hal-hal pendidikan siswa bernalar secara induktif
khusus dan diperoleh suatu generalisasi, berdasar pola-pola dan kasus-kasus khusus,
“rumus suku ke-n barisan 2, 4, 6, 8, … meningkat sesuai tingkatannya, mereka juga
adalah 2n.” harus belajar membuat argumen-argumen
deduktif yang efektif berdasar kebenaran
b. Pola Pikir Deduktif matematika yang ditetapkan di kelas.
Ross (dalam Lithner, 2000)
menyatakan bahwa salah satu tujuan At all levels, students will reason
terpenting dari pembelajaran matematika inductively from patterns and
adalah mengajarkan kepada siswa penalaran spesific cases. Increasingly over

113
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

the grades, they should also learn Jika guru memulai pembelajaran
to make effective deductive dengan menyampaikan generalisasi atau
arguments based on the definisi, misalnya untuk setiap bilangan
mathematical truths they are bulat a dan b berlaku a + b = b + a,
establishing in class (NCTM, kemudian baru memberi contoh, maka guru
2000: 59). tersebut menggunakan pendekatan pola pikir
deduktif. Dalam pembelajaran geometri,
Ciri utama matematika adalah jika guru memulai pembelajaran dengan
penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu menyampaikan definisi, misalnya segitiga
konsep atau pernyataan diperoleh sebagai adalah bangun datar bersisi tiga, kemudian
akibat logis dari kebenaran sebelumnya dilanjutkan dengan memberi contoh-contoh
sehingga kaitan antar konsep atau maka guru tersebut menggunakan
pernyataan matematika bersifat konsisten. pendekatan pola pikir deduktif. Menurut
Namun demikian, pembelajaran dengan Copeland (1974) pendekatan pembelajaran
fokus pada pemahaman konsep dapat yang lebih baik bagi siswa (setingkat SD
diawali secara induktif melalui pengalaman atau SMP) adalah dengan pendekatan pola
peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif- pikir induktif. Misalnya dalam
deduktif dapat digunakan untuk mempelajari menyampaikan konsep segitiga, guru
konsep matematika. Kegiatan dapat dimulai seyogyanya memulai pembelajaran dengan
dengan beberapa contoh atau fakta yang menyajikan contoh-contoh segitiga, siswa
teramati, membuat daftar sifat-sifat yang mencoba mencari sifat-sifat sekutu apa yang
muncul (sebagai gejala), memperkirakan ditemukan, dan kemudian siswa mencoba
hasil baru yang diharapkan, yang kemudian menyusun definisi atau generalisasinya.
dibuktikan secara deduktif. Dengan Para siswa dalam belajar matematika
demikian, cara belajar induktif dan deduktif akan lebih bermakna jika mereka berdasar
dapat digunakan dan sama-sama berperan pengalamannya mengkonstruk sendiri
penting dalam mempelajari matematika konsep-konsep dan struktur-struktur
(Depdiknas, 2004). matematika yang sedang dipelajarinya.
Pola pikir deduktif secara sederhana Dalam kegiatan mempelajari matematika,
dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal siswa diharapkan tidak sekedar menghafal
dari hal yang bersifat umum diterapkan atau aturan-aturan matematika tetapi siswa
diarahkan kepada hal yang bersifat khusus”. berupaya memahaminya. Dalam kurikulum
Pola pikir deduktif merupakan salah satu 2004 mata pelajaran matematika, salah satu
tujuan yang bersifat formal dan memberi hal yang perlu diperhatikan dalam
tekanan pada penataan nalar. Meskipun pola melaksanakan pembelajaran matematika
pikir deduktif amat penting, namun dalam adalah mengkondisikan siswa untuk
pembelajaran matematika terutama di menemukan kembali rumus, konsep atau
sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat prinsip dalam matematika melalui
pertama masih diperlukan pola pikir bimbingan guru agar siswa terbiasa
induktif. Ini berarti pembelajaran melakukan penyelidikan dan menemukan
matematika pada kedua jenjang pendidikan sesuatu (Depdiknas, 2004). Visi matematika
tersebut perlu dimulai dengan contoh- sekolah dalam NCTM (2000) berbasis pada
contoh, yaitu hal-hal yang khusus, pembelajaran matematika dengan
selanjutnya secara bertahap menuju kepada pemahaman (understanding) dan pada abad-
suatu simpulan atau sifat yang umum. 21 semua siswa diharapkan memahami dan
Simpulan itu dapat saja berupa suatu definisi dapat menerapkan matematika.
atau teorema yang diangkat dari contoh- Karena pentingnya pola pikir
contoh tersebut (Soedjadi, 2000) deduktif dalam belajar matematika, maka

114
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

dalam rangka merancang pembelajaran guru dalam pembuktian dengan penalaran


perlu memikirkan kegiatan yang melibatkan deduktif (deductive reasoning) dan
siswa aktif belajar menggunakan pola pikir representasinya menggunakan bahasa
deduktif. Tetapi yang perlu dipertimbangkan fungsional demontrasi (functional language
adalah banyak siswa SMP/MTs yang of demonstration).
kesulitan dalam memecahkan masalah Secara umum dalam pemecahan
pembuktian (problem to prove). Karena itu, masalah siswa terlibat bukan hanya sekedar
untuk membiasakan siswa belajar mengaplikasikan pengertian, konsep, rumus
matematika dengan menggunakan pola pikir dan aturan-aturan matematika, tetapi juga
deduktif dapat melalui masalah untuk mengandung pengertian tentang abtraksi dan
menemukan (problem to find), misalnya generalisasi matematika. Di samping itu,
menggunakan rumus atau teorema. Hal ini kadang siswa dalam memecahkan masalah
sebagaimana yang dikemukakan Soedjadi berpikir menggunakan pola pikir induktif
(2000, 46) bahwa pola pikir deduktif dapat dan deduktif secara bergantian (Hudojo,
diperkenalkan melalui penggunaan definisi 2003).
atau teorema dalam pemecahan masalah. Contoh lain pengunaan pola pikir
Dalam menyelesaikan masalah di deduktif dalam pemecahan masalah untuk
atas, kebanyakan para siswa SMP/MTs menemukan, misalnya penggunaan rumus
menggunakan pola pikir induktif bukan pola Pythagoras untuk mencari panjang sisi suatu
pikir deduktif. Dengan demikian dapat segitiga siku-siku jika panjang dua sisi
disimpulkan bahwa bagi siswa SMP/MTs lainnya diketahui. Misalnya panjang sisi
penggunaan pola pikir deduktif tergolong miringnya (sisi dihadapan sudut siku-siku)
’sulit.’ Kesulitan dalam menggunakan pola adalah c, dan panjang kedua sisi lainnya
pikir deduktif ini juga dialami oleh berturut-turut a dan b. Maka berlaku rumus
mahasiswa di perguruan tinggi. Menurut Pythagoras c2 = a2 + b2. Dalam hal ini, jika
penelitian yang dilakukan Recio dan Godino siswa dalam mencari panjang salah satu sisi
(2002) dapat disinyalir bahwa masih banyak yang ditanyakan tersebut dengan
mahasiswa di tingkat pertama perguruan menggunakan rumus Pythagoras, maka ia
tinggi yang berpikir sebagaimana pada tahap memecahkan masalah dengan menggunakan
operasi konkret dengan penalaran induktif. pola pikir deduktif, yakni siswa menerapkan
Masih banyak mahasiswa yang kurang rumus Pythagoras c2 = a2 + b2 untuk
mampu belajar matematika dengan memecahkan suatu masalah yang
menggunakan pola pikir deduktif. dihadapinya.
Contoh siswa yang menyelesaikan Kadang siswa dalam memecahkan
masalah di atas dengan menggunakan pola masalah menggunakan pola pikir induktif
pikir deduktif sebagai berikut. Misalkan dan dilanjutkan dengan menggunakan pola
ketiga bilangan asli berurutan tersebut pikir deduktif. Sebagai contoh diberikan
adalah n, n + 1 dan n + 2 untuk n bilangan ilustrasi berikut. Misalnya masalah diberikan
asli. Jumlah ketiga bilangan tersebut adalah kepada siswa: “buktikan bahwa rumus
n + (n + 1) + (n + 2) = n + n + 1 + n + 2 = umum suku ke-n barisan bilangan asli ganjil
3n + 3 = 3(n + 1) untuk n bilangan asli. adalah 2n – 1.” Misalnya siswa menjawab
Dengan demikian disimpulkan bahwa dengan menggunakan proses berpikir
jumlah tiga bilangan asli berurutan adalah sebagai berikut. Barisan bilangan tersebut
tiga kali bilangan tengahnya. Miyazaki adalah 1, 3, 5, 7, ...; dan kemudian
(2000) mengklasifikasikan pembuktian ini menyusun tabel sebagaimana di bawah ini.

Suku ke Bilangan ganjil Pola


1 1 2x1-1

115
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

Suku ke Bilangan ganjil Pola


2 3 2x2-1
3 5 2x3-1
M M M
n 2n - 1 2xn-1

Kemudian siswa menyimpulkan: ”jadi proses kognitif yang dapat digunakan untuk
rumus umum suku ke-n barisan bilangan asli mendorong kecakapan penalaran induktif
ganjil adalah 2n-1.” Dalam memecahkan siswa dalam belajar matematika adalah
masalah ini, proses berpikir yang digunakan kesamaan (similarity), ketidaksamaan
siswa adalah dengan pola pikir induktif. (disimilarity), dan integrasi (integration).
Selanjutnya, misalnya siswa diminta Ciri utama matematika adalah penalaran
menentukan suku ke-200 dari barisan deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau
bilangan tersebut dan siswa mengerjakan pernyataan diperoleh sebagai akibat logis
dengan cara sebagai berikut: untuk suku ke- dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan
200, berarti n = 200. Jadi suku ke-200 adalah antar konsep atau pernyataan matematika
2n – 1 = 2.200 – 1 = 399; maka dalam bersifat konsisten. Namun demikian,
memecahkan masalah ini proses berpikir pembelajaran dengan fokus pada
yang digunakan siswa adalah dengan pola pemahaman konsep dapat diawali secara
pikir deduktif. induktif melalui pengalaman peristiwa nyata
Atau sebaliknya, misalnya siswa atau intuisi.
diminta menentukan n jika diketahui suku
ke-n barisan bilangan tersebut adalah 2001. b. Saran
Misalnya siswa menyelesaikan masalah ini Guru matematika yang hanya
sebagai berikut: rumus barisan bilangan mengandalkan penalaran induktif atau
tersebut 2n-1, sehingga 2n – 1 = 2001. Oleh menggunakan pendekatan induktif saja
karena itu 2n = 2002. Jadi n = 1001; maka menjadikan siswanya kurang memahami
dalam memecahkan masalah ini proses pendekatan deduktif dalam belajar
berpikir yang digunakan siswa adalah matematika. Dikhawatirkan guru yang
dengan pola pikir deduktif. mengajar dengan pendekatan induktif saja
tidak begitu mengenal pendekatan deduktif.
C. Penutup Oleh karen itu disarankan dalam
a. Simpulan pembelajaran matematika guru diharpkan
Penalaran induktif dalam belajar mendesain pembelajaran yang melibatkan
matematika sangat diperlukan. Kerangka penggunaan pola pikir induktif dan deduktif.

DAFTAR PUSTAKA

Copeland, R.W. 1974. How Children Learn Mathematics: Teaching Implications of Piaget’s
Theory. New York: Macmillan Publishing Co. Inc.
Cristou, C dan Papageorgiou, E. 2007. A Frame Work of Mathematics Inductive Reasoning.
Learning and Instruction 17 (2007) 55-56. University of Cypurs, Cyprus. www.
Elsevier.com.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Depdiknas.

116
Rochmad – Proses Berpikir Induktif

Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Jakarta:


IMSTEP.
Hudojo, H. 2003. Guru Matematika Kontruktivis (Contructivist Mathematics Teacher). Makalah
disajikan pada Seminar Nasional, 27-23 Maret 2003 di Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Hudojo, H. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas
Negeri Malang (UM Press).
Lithner, K. 2000. Mathematical Reasoning in Task Solving. Educational Studies in Mathematics
41: 165 – 190, 2000. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
Matherne, B. 1999. The Process of Education. Reader Journal. Book Review by Bobby Matherne.
Cambrige: Havard University Press.
Marpaung, Y. 2003. Perubahan Paradigma Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika di Universitas Sanata
Darma. Tanggal 27-28 Maret 2003. Yogyakarta: Universitas Sanata Darma.
Matlin, M.W. 1998. Cognition. New York: Harcout Brace College Publishers.
Miyazaki, M. 2000. Levels of Proof in Lower Secondary School Mathematics. Educational
Studies in Mathematics 41: 47 - 68, 2000. Netherlands: Kluwer Academic Publisher.
NCTM. 2000. Principle and Standard for School Mathematics. Reston: The National Council of
Teacher Mathematics, Inc.
NCTM. 1998. Qualitative Research Methods in Mathematics Education. Anne R. Teppo (Ed.).
Reston: The National Council of Teacher Mathematics, Inc.
Polya, G. 1973. How To Solve It. Princeton: Princeton University Press.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon.
Soedjadi, R. 2003. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan dalam Pembelajaran Matematika.
Soedjadi, R. 2000a. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia: Konstatasi Keadaan Masa Kini
Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Depdiknas.
Soedjadi, R. 2000b. Rancangan Pembelajaran Nilai dalam Matematika Sekolah. Makalah
Disajikan dalam Seminar Nasional Matematika, Pengajaran dan Problematikanya
Memasuki Milenium III, di FMIPA UNNES Semarang, 12 Agustus 2000.
Recio, A.M dan Godino, J.D. 2002. Institutional and Personal Meanings of Mathematical Proof.
Educational Studies Mathematics 48: 83 – 99. Netherlands: Kluwer Academic
Publisher.

117
21

“BERPIKIR KRITIS” DASAR BIDAN DALAM MANAJEMEN ASUHAN KEBIDANAN


Aldina Ayunda Insani, Ayu Nurdiyan, Yulizawati, Lusiana Elsinta B, Detty Iryani,
Fitrayeni
Prodi S1 Kebidanan FK-UNAND, Jln. Niaga No.56 Kota Padang, 25127, Indonesia

INFORMASI ARTIKEL:

Riwayat Artikel :
Tanggal diterima : Mei 2016
Tanggal direvisi : Oktober 2016
Tanggal Publikasi : Desember 2016

ABSTRAK ABSTRACT

Manajemen asuhan kebidanan merupakan suatu Management of midwifery care is a problem-solving


proses pemecahan masalah dalam kasus kebidanan process in the case of maternity done systematically.
yang dilakukan secara sistematis. Sebagai seorang For that a midwife profession should do critical
profesi bidan harus memanfaatkan kompetensinya, thinking to establish a diagnosis of midwifery in
sumber daya pikirnya untuk berpikir kritis agar order to achieve appropriate decision making and
menegakkan suatu diagnosa kebidanan yang tepat produce quality care. This review aims to analyze
sehingga tercapai pengambilan keputusan dan one of the midwife’s competency is critical thinking.
menghasilkan asuhan yang bermutu. Kajian ini Method used in this review was by doing analysis
bertujuan untuk menganalisis salah satu and review of some references. Then that references
kemampuan yang harus dimiliki seorang profesi quoted and reviewed, and then the analysis was
bidan yaitu berpikir kritis. Metode yang digunakan made in narration that related to the topic. Critical
dalam kajian ini adalah dengan melakukan analisis thinking is an art, illustration attitude as a midwife
dan kajian pustaka terhadap beberapa referensi in analyzing, evaluating something she sees,
yang mendukung. Beberapa referensi dikutip dan clarifying that in the hearing, the method of
dikaji kemudian dibuat analisisnya terkait dengan knowledge for logical thinking and arguing as well
topic kajian ini. Berpikir kritis merupakan seni, as the application of science to understand to make
gambaran sikap sebagai bidan dalam menganalisis, an informed decision and decide something after
mengevaluasi sesuatu yang ia lihat, mengklarifikasi that she believed.. After the decision making process
yang di dengar, metode pengetahuan untuk berfikir have been done, so the midwife can be continuous to
logis dan berargumen serta aplikasi dari ilmu yang action in the management of midwifery care. Every
dipahami untuk membuat suatu keputusan dan action of midwifery care management, a
memutuskan sesuatu setelah hal tersebut ia yakini. professional midwife always think critically and
Setelah keputusan terbentuk maka bidan dapat explain the purpose of each of these actions
bejalan ketahap tindakan dalam manajemen asuhan
kebidanan. Setiap melakukan tindakan manajemen Key word : Critical Thinking, Midwife, Management
asuhan kebidanan, seorang profesi bidan selalu Of Midwifery Care
berpikir kritis dan menjelaskan tujuan dari setiap
tindakan tersebut.

Kata kunci: Berpikir Kritis, Bidan, Manajemen


Asuhan Kebidanan

PENDAHULUAN didapatkan diagnosa kebidanan aktual dan


Manajemen asuhan kebidanan potensial, masalah dan kebutuhan, adanya
merupakan suatu proses pemecahan masalah perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi
dalam kasus kebidanan yang dilakukan secara (Varney, 2004)
sistematis, diawali dari pengkajian data (data Manajemen asuhan kebidanan yang
subjektif dan objektif) dianalisis sehingga dilakukan akan dipertanggungjawabkan melalui


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
22

sistem dokumentasi Subjektif, Objektif, beberapa referensi yang mendukung seperti


Assesment, Planning (SOAP) serta catatan dasar teori berpikir kritis dan berpikir kritis
perkembangan. Seorang profesi bidan, sangat dalam pegambilan keputusan. Beberapa
penting untuk mempertajam proses berpikir referensi dikutip dan dikaji kemudian di buat
kritis untuk mengantisipasi diagnosa dan analisisnya. Analisis dibuat dengan mengetahui
masalah potensial sehingga tercapainya asuhan langkah-langkah manajemen asuhan kebidanan
yang berkualitas dan tepat sasaran.. dan dikaji satu persatu yang berkaitan dengan
Penyebab kematian ibu cukup kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang
kompleks, dapat digolongkan atas penyebab profesi bidan yaitu berpikir kritis sehingga
langsung (faktor- faktor reproduksi, komplikasi menghasilkan suatu keputusan yang rasional dan
obstetric) dan tidak langsung (3 terlambat, tepat.
pengetahuan, sosio-ekonomi). Salah satu bagian
3 terlambat yaitu terlambat mendapatkan HASIL DAN PEMBAHASAN
pertolongan yang juga bisa disebabkan oleh
penolong atau tenaga kesehatan. Perlu adanya Manajemen Asuhan Kebidanan
tindakan awal yang bersifat preventif agar Manajemen asuhan kebidanan merupakan
meminimalkan kasus tersebut, salah satunya suatu proses pemecahan masalah dalam kasus
adalah membiasakan diri bagi seorang bidan kebidanan yang dilakukan secara sistematis,
atau tenaga kesehatan untuk berpikir kritis, diawali dari pengkajian data (data subjektif dan
rasional terhadap setiap tindakan yang objektif) dianalisis sehingga didapatkan
dilakukan, setiap melakukan manajemen asuhan diagnosa kebidanan aktual dan potensial,
kebidanan. masalah dan kebutuhan, adanya perencanaan,
Proses manajemen kebidanan tersebut pelaksanaan hingga evaluasi tindakan (Varney,
merupakan proses yang khas, terdiri dari 2004).
tindakan perencanaan, pengorganisasian
pengarahan dan pengendalian yang dilakukan Manajemen asuhan kebidanan menurut
untuk menentukan serta mencapai sasaran- Varney, 2004, terdapat tujuh langkah langkah
sasaran yang telah ditentukan melalui pertama adalah pengumpulan data dasar. Pada
pemanfaatan sumberdaya manusia dan sumber- langkah ini dilakukan pegumpulan informasi
sumber lainnya. yang akurat dan lengkap dari semua sumber
Pilar seorang bidan yang terdapat pada yang berkaitan dengan kondisi klien. Untuk
kerangka kerja menurut ICM (2015) adalah memperoleh data dilakukan dengan cara
pengetahuan, keahlian dalam melaksanakan anamnesis (biodata, riwayat menstruasi, riwayat
pelayanan asuhan kepada bayi baru lahir, kesehatan, riwayat kehamilan, persalinan dan
wanita, keluarga sepanjang kehidupannya. nifas, biopsikospiritual serta pengetahuan
Pengetahuan yang ada bisa menjadi pondasi klien), pemeriksaan fisik (data fokus),
untuk melakukan suatu keahlian jika dilakukan pemeriksaan khusus (inspeksi, palpasi,
sesuai tujuan dan setiap bertindak harus diiringi auskultasi, perkusi) dan pemeriksaan penunjang
dengan berpikir kritis dengan menjawab setiap (pemeriksaan laboratorium)
pertanyaan “mengapa” dan “kenapa” saat Langkah kedua adalah interpretasi data
bertindak. dasar. Identifikasi terhadap diagnosa atau
Oleh karena itu data pasien menjadi masalah berdasarkan interpretasi atas data-data
dasar informasi untuk dmenegakkan dignosa yang telah dikumpulkan. Data dasar yang telah
yang akan mempengaruhi pola piker bidan untuk dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat
berencana, melaksanakan dan evaluasi. merumuskan diagnosa dan masalah yang
METODE PENELITIAN spesifik. Pada langkah ini bidan harus berpikir
kritis agar diagnosa yang ditegakkan benar-
Penelitian ini merupakan kajian pustaka. benar tepat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini Langkah ketiga adalah mengidentifikasi
adalah melakukan analisis dengan data diagnosa dan masalah potensial. Hal ini
sekunder, yaitu kajian pustaka terhadap berdasarkan rangkaian masalah dan diagnosa


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
23

yang sudah diidentifikasi. Langkah ini dilaksanakan secara efisien dan aman.
membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan Perencanaan ini biasa dilakukan seluruhnya oleh
dilakukan pencegahan, pada langkah ini bidan bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan
juga melakukan pikiran kritis sehingga bersiap- sebagian lagi oleh klien, atau anggota tim
siap bila diagnosa/masalah potensial benar-benar kesehatan yang lain. Jika bidan tidak melakukan
terjadi. sendiri ia tetap memikul tanggung jawab untuk
Langkah keempat yaitu mengidentifikasi mengarahkan pelaksanaannya (misalnya:
kebutuhan dan tindakan segera. memastikan agar langkah-langkah tersebut
Mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh benar-benar terlaksana).
bidan atau dokter dan/atau untuk dikonsultasikan Bidan berkolaborasi dengan dokter, untuk
atau ditangani bersama dengan anggota tim menangani klien yang mengalami komplikasi,
kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. maka keterlibatan bidan dalam manajemen
Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari asuhan bagi klien adalah bertanggung jawab
proses manajemen kebidanan. terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama
Manajemen bukan hanya selama asuhan yang menyeluruh tersebut. Manajemen yang
primer periodik atau kunjungan prenatal saja, efisien akan menyingkat waktu dan biaya serta
tetapi juga selama wanita tersebut bersama bidan meningkatkan mutu dari asuhan klien.
namun berkelanjutan atau terus-menerus. Langah ketujuh yaitu evaluasi. Pada langkah
Langkah kelima yaitu perencanaan. Pada ketujuh ini dilakukan evaluasi keefektifan dari
langkah ini direncanakan asuhan yang asuhan yang sudah diberikan meliputi
menyeluruh, ditentukan oleh langkah-langkah pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah
sebelumnya. Pada langkah ini informasi/data benar-benar telah terpenuhi sesuai dengan
dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi. kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi di
Rencana asuhan yang menyeluruh tidak dalam masalah dan diagnosa. Rencana tersebut
hanya meliputi apa yang sudah teridentifikasi dapat dianggap efektif jika memang benar
dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang efektif dalam pelaksanaanya. Ada kemungkinan
berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman bahwa sebagian rencana tersebut telah efektif
antisipasi terhadap wanita tersebut seperti apa sedang sebagian belum efektif.
yang diperkirakan akan terjadi berikutnya, Pola pikir yang digunakan oleh bidan dalam
apakah dibutuhkan penyuluhan, konseling, dan asuhan kebidanan mengacu kepada langkah
apakah perlu merujuk klien bila ada masalah- Varney dan proses dokumentasi manajemen
masalah yang berkaitan dengan sosial-ekonomi, asuhan kebidanan menggunakan Subjectif,
kultural atau masalah psikologis. Objectif, Assesment, Planning (SOAP) dengan
Asuhan terhadap wanita tersebut sudah melampirkan catatan perkembangan.
mencakup setiap hal yang berkaitan dengan Subjectif merupakan hasil dari anamnesis,
semua aspek asuhan. Setiap rencana asuhan baik informasi langsung dari klien maupun dari
haruslah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu keluarga. Anamnesis yang dilakukan harus
oleh bidan dan klien, agar dapat dilaksanakan secara terperinci sehingga informasi yang
dengan efektif karena klien merupakan bagian diharapkan benar-benar akurat. Pada langkah ini,
dari pelaksanaan rencana tersebut. Oleh karena diharapkan bidan menggunakan daya nalarnya
itu, pada langkah ini tugas bidan adalah terkait informasi yang didapatkan.
merumuskan rencana asuhan sesuai dengan hasil Objectif merupakan hasil dari pemeriksaan
pembahasan rencana bersama klien, kemudian yang dilakuan oleh bidan. Pemeriksaan tersebut
membuat kesepakatan bersama sebelum meliputi pemeriksaan keadaan umum,
melaksanakannya. pemeriksaan tanda-tanda vital, pemeriksaan fisik
Pada langkah ini pikiran kritis dari bidan secara head to toe, pemeriksaan penunjang
untuk meyakinkan klien sangatlah diperlukan (pemeriksaan laboratorium baik darah, urin, tinja
karna akan menentukan langkah selanjutnya. atau cairan tubuh). Data hasil kegiatan subjectif
Langkah keenam adalah pelaksanaan. Pada dan objectif akan beriringan. Hal ini meyakinkan
langkah keenam ini rencana asuhan menyeluruh bidan untuk melakukan langkah selanjutnya
seperti yang telah diuraikan pada langkah ke 5 yaitu assessment.


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
24

Pada langkah assessment, bidan akan berargumen serta aplikasi dari ilmu yang
melakukan 3 poin pokok, yaitu menegakkan dipahami untuk membuat suatu keputusan dan
diagnosa kebidanan baik aktual maupun memutuskan sesuatu setelah hal tersebut ia
potensil, menentukan masalah (aktual dan yakini, (Glaser dalam Alec Fisher, 2001;
potensial) dan menentukan kebutuhan. Diagnosa OU,2008).
kebidanan mengacu kepada nomenklatur, artinya Berpikir kritis dan penalaran klinis
diagnosa yang ditegakkan merupakan diagnosa adalah bentuk hipotetis-deduktif. Berpikir dan
hasil anamnesis dan pemeriksaan yang penalaran yang berfokus pada fakta-fakta
merupakan kasus kebidanan, kasus yang biofisik sehingga memastikan bahwa keputusan
menjadi hak, kewajiban dan wewenang bidan diagnostik dan pengobatan nantinya didasarkan
untuk memberikan asuhan kebidanan. pada pemikiran logis (Jefford, et al., 2011).
Pada langkah planning atau perencanaan, Berpikir kritis memungkinkan bagi
bidan akan merencanakan asuhan kebidanan bidan untuk memanfaatkan potensi dirinya
yang akan diberikan kepada klien sesuai dengan melihat, memecahkan masalah dan menciptakan
diagnosa kebidanan yang telah ditegakkan, suatu hal baru dalam manajemen asuhan
sesuai dengan kebutuhan yang telah disusun kebidanan.
pada langkah assessment. Pada langkah Berpikir kritis meningkatkan
perencanaan ini, bidan mempertimbangkan kemampuan verbal dan analitik yang sistematis
seluruh kebutuhan baik fisik maupun psikologis sehingga mengeksplorasikan gagasan-gagasan,
klien. Tindakan apa yang akan dilakukan, menganalisis masalah hingga memahami
mengapa tindakan tersebut dilakukan, kapan masalah khususnya dalam manajemen asuhan
tindakan tersebut dilakukan, siapa yang kebidanan.
melakukan dan bagaimana caranya tindakan Berpikir kritis meningkatkan kreatifitas.
tersebut dilakukan. Untuk menghasilkan solusi kreatif terhadap
Tahap perencanaan ini terdapat beberapa suatu masalah tidak hanya memerlukan gagasan
analisis yang dilakukan oleh bidan meliputi baru namun dengan berpikir kritis dapat
tahap prioritas, mempertimbangkan apakah klien mengevaluasi gagasan lama dan baru, memilih
dan keluarga diikutsertakan dalam tindakan yang terbaik dan memodifikasi bila perlu.
kebidanan, apakah intervensi yang direncanakan Berpikir kritis merupakan upaya refleksi
dan dilakukan sesuai dengan permasalahan dan diri, evaluasi diri terhadap nilai, keputusan yang
penyakit klien, membuat rasional tindakan dan diambil sehingga hasil refleksi dapat diterapkan
dokumentasi. Setelah tahap perencanaan dalam kehidupan sehari-hari. (Lai Emily, 2011;
dilakukan oleh bidan maka bidan melanjutkan Jefford et al, 2011)
kegiatan pemberian asuhan. Penelitian yang dilakukan oleh Fenech
Kegiatan asuhan yang diberikan oleh bidan, (2015) pada bidan dan perawat yang melakukan
dilakukan dokumentanya dalam bentuk catatan refleksi praktik dengan Protection Motivation
perkembangan. Pada catatan ini, bidan secara Theory (PMT) diyakini bahwa bidan akan dapat
terperinci membuat asuhan yang diberikan bekerja dalam kemitraan dengan dokter
dengan melampirkan hari, tanggal, waktu, tanda kandungan untuk memberikan perawatan yang
tangan dan nama petugas yang melaksanakan. aman dan efektif dalam lingkup praktek dan
Setiap asuhan yang diberikan harus tidak adanya rasa takut.
melampirkan hal tersebut. Bidan sebagai praktisi maupun dalam
pendidikan harus menggunakan unsur-unsur
dasar dalam berpikir kritis agar asuhan
kebidanan yang akan diberikan berkualitas.
Berpikir Kritis Unsur pertama dalam berpikir kritis adalah
Berpikir kritis merupakan seni (Paul and konsep. Seorang bidan harus memahami konsep
Linda Elder, 2006) gambaran sikap seseorang dasar manajemen asuhan kebidanan, konsep-
dalam menganalisis, mengevaluasi sesuatu yang konsep dasar kebidanan baik definisi, aturan
ia lihat, mengklarifikasi yang di dengar, metode yang mengikat atau etika profesi dan prinsip-
pengetahuan untuk berfikir logis dan prinsip dari konsep kebidanan tersebut.


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
25

Unsur kedua adalah asumsi, yaitu Asuhan kebidanan diberikan kepada


dugaan sementara oleh bidan terhadap kasus wanita mulai prakonsepsi, kehamilan, persalinan
kebidanan yang ditangani. asumsi akan menjadi hingga nantinya tumbuh dan berkembang
diagnosa nyata setelah bidan melakukan menjadi dewasa. Manajemen asuhan kebidanan
pengumpulan da subjektif dan objektif secara yang diberikan kepada sasaran tersebut akan
akurat dan diolah dengan berpikir kritis, analisis terkait dengan semua konsep diatas. Manajemen
dan logis. tersebut diberikan sesuai dengan masalah yang
Unsur ketiga adalah implikasi dan ada pada sasaran dan cara nya pun akan berbeda
konsekuensi. Bidan melakukan suatu tindakan sehingga menuntut bidan untuk selalu
dan bertanggungjawab untuk setiap konsekuensi memikirkan hal-hal baru agar tata cara yang
yang timbul dari masing-masing tindakan yang diberikan akan berbeda-beda.
telah dilakukan karena setiap tindakan memiliki Kualitas suatu pelayanan dapat dinilai
alasan atau rasionalnya. dengan cara bagaimana seorang profesi bidan
Unsur keempat adalah tujuan. tersebut memberikan suatu asuhan yang
Manajemen asuhan kebidanan harus jelas tujuan sistematis dan komprehensif, suhan kebidanan
dan rasional. Unsur kelima adalah pertanyaan yang tepat guna, sesuai dengan masalah dan
atas isu yang ada. Bidan dalam melakukan kebutuhan dari kondisi klien. Untuk tercapainya
manajemen asuhan kebidanan harus ini semua, maka sebagai seorang profesi bidan
memecahkan semua pertanyaan atau isu yang harus mampu menganalisis dan menggunakan
ada. Unsur keenam adalah informasi akurat, pikiran untuk kritis disetiap langkah kegiatan
yaitu manajemen asuhan kebidanan harus asuhan.
didapat dari data yang akurat, jelas sumber, fakta Seorang bidan yang professional harus
ataupun melakukan observasi langsung. memiliki karakteristik dalam berpikir kritis. Hal
Unsur ketujuh adalah interpretasi dan ini meliputi seorang bidan mampu
inferensi. Manajemen asuhan kebidanan akan mempertimbangkan sesuatu sesuai dengan
memberikan hasil akhir sehinggadapat alasan yang rasional dan logis, bersifat reflektif,
mengambil keputusan terhadap asuhan mampu menganalisis, mensintesis, mengevaluasi
kebidanan yang diberikan. bukti-bukti yang ada terkait masalah yang akan
Beberapa ahli penelitian menyatakan dipecahkan, memiliki kemampuan pemecahan
bahwa berpikir kritis memiliki keterkaitan masalah (problem solvig). Karakteristik lainnya
dengan konsep lain, diantaranya metakognitif, menurut beberapa ahli adalah seorang bidan
motivasi dan kreatifitas. Menurut Kuhn (1999), mampu membuat suatu kesimpulan dari
Van Gelder (2005) dan Willingham (2007) berbagai informasi yang diperoleh, dari berbagai
menyatakan bahwa berpikir kritis termasuk hasil pemeriksaan yang telah dikumpulkan
didalamnya adalah metakognitif (berfikir dengan adanya bukti, membuat argument yang
tentang dasar pengetahuan), mengetahui meta- beralasan untuk mendukung kesimpulan dan
strategi (berfikir bagaiman prosedur dalam menjelaskan pola fikir yang telah terbentuk dari
suatu pengetahuan) serta mengetahui hasil kegiatan langkah-langkah karakteristik
epistemologi (berfikir bagaimana pengetahuan sebelumnya.
tersebut dihasilkan) sehingga harus benar Cara untuk meningkatkan kemampuan
komponen waktu, strategi dan kondisi (Kuhn & berpikir kritis diantaranya pertama adalah
Dean, 2004; Schraw et al, 2006). membaca dengan kritis. Untuk berpikir secara
Kreatifitas dalam berpikir kritis kritis, seorang profesi bidan harus bisa membaca
merupakan proses menemukan sesuatu yang dengan kritis pula. Semua informasi yang
baru dan memerlukan suatu rangsangan dari didapat dari berbagai sumber harus dipikirkan
lingkungan. Sebagai bidan, dinyatakan berpikir secara kritis, disesuaikan dengan kondisi klien
kreatif jika seorang bidan mampu menemukan disaat memberikan suatu asuhan. Membaca
hal baru dengan mempertimbangkan manfaat, kritis berarti menerapkan keterampilan-
tujuan dan melahirkan atau menata kembali ide keterampilan berpikir kritis seperti mengamati,
yang lama membentuk suatu ide yang baru. menghubungkan teks dengan konteksnya,
mengevaluasi teks dari logika dan


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
26

kredibilitasnya, merefleksika kandungan teks berpikir kritis dapat dipengaruhi oleh usia, lama
dengan pendapat sendiri dan membandingkan pendidikan dengan peningkatan jenjang
tes yang satu dengan yang lainnya yang pendidikan, filsafat (Brown, 2001; Schin, 2006).
memiliki keterkaitan (OU, 2008) Berpikir kritis berdampingan dengan
Cara kedua adalah menulis dengan berpikir kreatif, artinya kemampuan berpikir
kritis. Seorang profesi bidan yang telah seorang bidan untuk membuat hubungan yang
melakukan membaca dengan kritis harus baru dan yang lebih berguna dari informasi yang
menuliskan semua pemahaman yang ada dalam sebelumnya sudah diketahui oleh bidan. Bidan
bentuk tulisan. Salah satu contohnya adalah melakukannya dengan cara membangkitkan
dokumentasi dalam manajemen asuhan sejumlah besar ide-ide, menerima hal yang baru
kebidanan. Dokumentasi tersebut merupakan dan tidak cepat mengambil keputusan. Semua
suatu media bagi profesi bidan untuk informasi yang didapatkan diolah dengan
menuangkan semua asuhan yang telah diberikan membuat suatu hubungan sebab akibat dengan
dan menjadi acuan untuk asuhan berikutnya. teknik brainstorming, idea writing, mind
Cara ketiga adalah meningkatkan mapping, forcing new connections and relaxers.
analisis dari yang dibaca dan ditulis. Asuhan Berpikir kritis yang dilakukan seorang
kebidanan yang telah dituliskan dapat menjadi bidan tidak terpisah dari clinical reasoning,
bahan diskusi untuk dievaluasi atau mencari artinya seorang bidan memusatkan pikirannya
penyelesainan masalah atau mendiskusikan hal kea rah diagnosa kebidanan yang
terburuk yang mungkin terjadi. memungkinkan berdasarkan campuran pola
Cara keempat adalah mengembangkan pengenalan dan penalaran deduktif hipotetik.
kemampuan observasi. Observasi atau Para ahli mengorganisasikan pengetahuan
mengamati suatu kondisi klien akan melalui tiga fase, yaitu akumulasi pengetahuan
memudahkan seorang profesi bidan untuk dasar, proses penggabungan pengetahuan dasar
menarik kesimpulan dari kondisi klien yang dengan kasus nyata dan proses menggunakan
diamati. Pengamatan tersebut dikritisi dan script yang sesua untuk menangani kasus yang
pengamatan yang ia dapatkan bisa menjadi baru.
acuan untuk menarik kesimpulan yang Fase pertama merupakan proses
berdampak pada pembuaan keputusan. akumulasi pengetahuan dasar tentang penyakit,
Cara kelima yaitu meningkatkan rasa dapat dicontohkan bidan seperti patofisiologi
ingin tahu, kemampuan bertanya dan dan patogenesis. Patofisiologi persalinan,
refleksi.Pengajuan pertanyaan yang bermutu patofisiologi seorang perempuan hamil dengan
yaitu pertanyaan yang tidak memiliki jawaban penyakit asma, potogenesis suatu penyakit. Fase
benar atau salah atau pertanyaan yang kedua adalah proses penggabungan pengetahuan
mengharuskan seorang profesi bidan dasar dengan kasus nyata melalui pengalaman
menjelaskan sehingga memperbanyak berpikir. menangani klien atau dikenal dengan istilah
Berpikir kritis memungkinkan perawat illness script. Fase ketiga merupakan proses
dan atau bidan untuk memenuhi kebutuhan klien menggunakan script yang sesuai untuk
sesuai dengan data yang ia dapatkan, mampu menangani kasus yang baru.
mempertimbangkan alternatif, sehingga asuhan Strategi clinical reasoning menggunakan
kebidanan dan perawatan klien berkualitas tinggi logika induktif dan deduktif untuk membuat
dan berpikir reflektif berarti bidan bukan hanya kesimpulan atau dikenal metode analitik
menerima laporan dan tugas melakukan asuhan hipotetico-deductive. Strategi reasoning data dan
kebidanan lanjutan tanpa pemahaman yang informasi yang diperoleh dari klien
signifikan dan evaluasi (Mottola, 2001) digeneralisasikan menjadi hipotesis sebagai
Praktisi terampil dapat berpikir kritis diagnosis banding. Diagnosis banding yang
karena mereka memiliki keterampilan kognitif dihasilkan digunakan sebagai dasar untuk
dengan mencari informasi, diskriminasi, menentukan data yang masih diperlukan,
menganalisis, mengubah pengetahuan, membedakan berbagai penyakit dalam
prediksi/asumsi, menerapkan Standar, dan hipotesisnya. Data yang dikumpulkan akan
alasan-alasan logis. Kemampuan bidan untuk


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
27

diinterpretasikan untuk menetapkan diagnosis daya ingat menunjukan seberapa efektifnya


kebidanan yang pasti. pengetahuan yang dimiliki untuk digunakan
Strategi clinical reasoning yang dalam mempelajari atau merumuskan suatu
dijalankan oleh bidan terkait dengan masalah.
keterampilan bidan untuk menginterpretasi data Representation atau mental
untuk memahami argument dan pendapat orang representative menunjukan representasi masalah
lain. Bidan dituntukt memiliki kompetensi utuk yang dihadapi di dalam pikiran yang biasanya
mengevaluasi secara kritis argumentasu dan selalu terkait dengan pengetahuannya. Para
pendapat serta mengembangkan dan pemula biasanya memiliki representasi masalah
mempertahankan argumentasi yang dibuat secara naïf atau terlalu menyederhanakan.
dengan landasan yang kuat. Kualitas perumusan masalah, para ahli
Ada beberapa aspek penalaran klinis mengatakan bahwa lima puluh persen masalah
yang harus diaplikasikan oleh seorang bidan dapat diselesaikan apabila tercapai keberhasilan
dalam menjalankan manajemen asuhan dalam melakukan perumusan masalah
kebidanan. diantaranya adalah pertama, Hasil penalaran, berpikir kritis, clinical
penalaran berdasarkan pengetahuan atau ilmiah reasoning dari manajemen asuhan kebidanan
Penalaran ilmiah digunakan untuk mengerti akan dilakukan pencatatan dan pelaporan.
suatu kondisi yang sedang terjadi pada Pencatatan atau dokumentainya memeiliki
seseorang dan memutuskan untuk beberapa metode, diantaranya
mengintervensinya. Ini merupakan proses logis pendokumentasian naratif dan
yang sejalan dengan permintaan ilmiah. pendokumentasian ceklist.
Kedua adalah penalaran naratif . Bentuk naratif merupakan pencatatan
Penalaran naratif artinya melibatkan cara tradisional dan bertahan paling lama serta
berpikir dalam bentuk narasi. Penalaran naratif merupakan sistem pencatatan yang fleksibel.
memahami arti kondisi atau penderitaan tersebut Karena suatu catatan naratif dibentuk oleh
bagi penderita atau klien. sumber asal dari dokumentasi maka sering
Ketiga adalah penalaran pragmatik. dirujuk sebagai dokumentasi berorientasi pada
Penalaran klinis merupakan ‘kegiatan’ dalam sumber. Sumber atau asal dokumentasi dapat
praktek klinis sehari-hari, maka isu-isu yang siapa saja dari petugas kesehatan yang
ditemukan tiap hari harus dapat teridentifikasi bertanggung jawab untuk memberikan
atau dibuktikan kebenarannya dan hal ini akan informasi. Setiap narasumber memberikan, hasil
mempengaruhi proses terapi. Ini meliputi observasinya, menggambarkan aktifitas dan
pembaharuan di dalam sumber daya, kultur evaluasinya yang unik.
organisasi, kekuatan hubungan antar anggota Cara penulisan ini mengikuti dengan
tim, dan kegiatan ilmiah. ketat urutan kejadian/kronologis. Biasanya
Keempat adalah penalaran etis. Proses kebijakan institusi menggariskan siapa
penalaran klinis lebih sering berakhir dalam mencatat/melaporkan apa, bagaimana sesuatu
keputusan etis, daripada berdasarkan ilmu akan dicatat dan harus dicatat dimana. Ada
pengetahuan, dan etika alami merupakan tujuan lembaga yang menetapkan bahwa setiap jenis
akhir dari penalaran klinis secara keseluruhan. petugas kesehatan harus mencatat di formulir
Bidan dalam mengaplikasikan yang telah dirancang khusus, misalnya catatan
penalaran, berpikir kritis, dipengaruhi oleh dokter, catatan perawat atau fisioterapi atau
beberapa faktor, yaitu knowledge base, memory petugas gizi. Ada juga institusi yang membuat
atau daya ingat, representation atau mental rancangan format yang dapat dipakai untuk
representative dan kualitas perumusan masalah. semua jenis petugas kesehatan dan semua
Knowledge Base atau landasan catatan terintegrasi dalam suatu catatan.
pengetahuan adalah awal mula dari interpretasi Berhubung sifat terbukanya catatan naratif
dari suatu masalah, semakin bervariasi (orientasi pada sumber data) sehingga dapat
pengetahuan yang berkaitan dengan gejala- digunakan pada setiap kondisi klinis. Tidak
gejala tersebut makin memungkinkan adanya struktur yang harus diakui
merumuskan masalah lebih akurat. Memory atau memungkinkan bidan atau perawat


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
28

mendokumentasikan hasil observasinya yang sheet lebih sering digunakan di unit gawat
relevan dan kejadian secara kronologis. darurat, terutama data fisiologis.
Keuntungan catatan naratif diantaranya Lembar alur yang unik, berupa
adalah memudahkan penafsiran secara berurutan kesimpulan penemuan , termasuk flowsheet
dari kejadian dari asuhan/tindakan yang instruksi dokter/perawat, grafik, catatan
dilakukan, memberi kebebasan kepada bidan pendidikan dan catatan pemulangan klien.
untuk mencatat menurut gaya yang disukainya Rangkaian informasi dalam sistem pendekatan
dan format menyederhanakan proses dalam orientasi masalah. Catatan ini dirancang dengan
mencatat masalah, kejadian perubahan, format khusus pendokumentasian informasi
intervensi, reaksi klien dan outcomes. mengenai setiap nomor dan judul masalah yang
Kelemahan catatan naratif diantaranya sudah terdaftar. Flow sheet sendiri berisi hasil
adalah cenderung untuk menjadi kumpulan data observasi dan tindakan tertentu. Beragam format
yang terputus-putus, tumpang tindih dan mungkin digunakan dalam pencatatan walau
sebenarnya catatannya kurang berarti, sulit demikian daftar masalah, flowsheet dan catatan
mencari informasi tanpa membaca seluruh perkembangan adalah syarat minimal untuk
catatan atau sebagian besar catatan tersebut. dokumentasi pasien yang adekuat/memadai.
Mengabdikan sistem menguburkan pesanan Berpikir kritis dalam manajemen asuhan
dimana mencatat masalah pasien secara kebidan menggambarkan bahwa seorang bidan
suferpisial/dangkal daripada mengupasnya tersebut memiliki basis pengetahuan dan
secara mendalam. Beberapa penulis juga kemampuan untuk menganalisis dan
menyatakan bahwa dalam pencatatan secara mengevaluasi pengetahuan terbaru,
naratif juga memiliki kekurangan diantaranya mengaplikasikan logika dan rasionalnya untuk
perlu meninjau catatan dari seluruh sumber mengambil sutu keputusan klinis. Berpikir kritis
untuk mengetahui gambaran klinis pasien secara diiringi pengalaman bidan maka akan
menyeluruh, membuang banyak waktu karena meminimalkan atau tidak adanya kesalahan,
format yang polos menuntun pertimbangan hati- bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain akan
hati untuk menentukan informasi yang perlu menjadikan bidan lebih memahami kebutuhan
dicatat setiap klien, kronologis urutan peristiwa klien.
dapat mempersulit interpretasi karena informasi Bidan menerapkan setiap kegiatan
yang bersangkutan mungkin tidak tercatat pada manajemen asuhan kebidanan selalu
tempat yang sama dan harus mengikuti menggunakan penalaran, berpikir kritis. Hal ini
perkembangan klien yang bisa menyita banyak dapat dilakukan evaluasi. Evaluasi merupakan
waktu. proses pengukuran pencapaian tujuan yang
Flow sheet atau lembaran ceklist diinginkan dengan menggunakan metode yang
memungkinkan bidan untuk mencatat hasil teruji validitas dan reliabilitasnya. Beberapa
observasi atau pengukuran yang dilakukan penelitian mengevaluasi kemampuan
secara berulang yang tidak perlu ditulis secara berpikir kritis dari aspek ketrampilan
naratif, termasuk data klinik klien tentang tanda- intelektual seperti ketrampilan menganalisis,
tanda vital (tekanan darah, nadi, pernafasan, mensintesis, dan mengevaluasi dengan
suhu), berat badan, jumlah masukan dan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang
keluaran cairan dalam 24 jam dan pemberian berbasis taxonomi Bloom. Sedangkan tujuan
obat. Flow sheet yang biasanya dipakai adalah pengajaran berpikir kritis meliputi ketrampilan
catatan klinik, catatan keseimbangan cairan dan strategi kognitif, serta sikap.
dalam 24 jam, catatan pengobatan catatan harian Colucciello menggabungkan berbagai
tentang asuhan keperawatan. Flow sheet elemen yang digunakan dalam penelitian dan
merupakan cara tercepat dan paling efisien komponen pemecahan masalah keperawatan
untuk mencatat informasi. Selain itu tenaga serta kriteria yangdigunakan dengan
kesehatan akan dengan mudah mengetahui komponen ketrampilan dan sikap berpikir
keadaan klien hanya dengan melihat grafik yang kritis. Elemen tersebut antara lain
terdapat pada flow sheet. Oleh karena itu flow menentukan tujuan, menyusun pertanyaan
atau membuat kerangka masalah, menunjukkan


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
29

bukti, menganalisis konsep, interpretasi, asumsi, uploads/documents/Dissemination/140508%


perspektif yang digunakan, keterlibatan, dan 20Dissemination%20ICM%20V06.pdf
kesesuaian. Dengan kriteria antara lain: Jefford, E., Kathleen Fahy & Deborah Sundin.
kejelasan, ketepatan, ketelitian, keterkaitan, 2011. Decision-making Theories and their
keluasan, kedalaman, dan logika. usefulness to the midwifery profession both
in terms of midwifery practice and the
KESIMPULAN education of midwifes. International Journal
Berpikir kritis merupakan dasar bagi of Nursing Practice, 17 (3), pp. 246-253
setiap bidan untuk melakukan manajemen Kuhn, D., & Dean, D. 2004. A bridge between
asuhan kebidanan, sehingga tepatnya pembuatan cognitive psychology and educational
keputusan dan tepatnya asuhan yang diberikan. practice. Theory into Practice, 43(4).pp.
Berpikir kritis harus diintegrasikan 268–273. Available at
kepada seluruh profesi bidan dan dimulai pada https://www.researchgate.net/publication/232
mahasiswa kebidanan untuk setiap manajemen 869320_Metacognition_A_Bridge_Between_
asuhan kebidanan yang akan dilakukan sehingga Cognitive_Psychology_and_Educational_Pra
menghasilkan asuhan yang tepat dan bermutu. ctice
Lai, Emily.R. 2011. Critical Thinking : a
Literature Review Research Report. Pearson.
UCAPAN TERIMA KASIH Available at
http://images.pearsonassessments.com/image
Ucapan terima kasih diberikan kepada s/tmrs/CriticalThinkingReviewFINAL.pdf
Program Studi S1 Kebidanan Fakultas Mottola CA, Murphy P. 2001. Antidote
Kedokteran Universitas Andalas yang selalu dilemma—an activity to promote critical
memberikan dukungan dan dorongan di setiap thinking. Journal of Continuing Education in
kegiatan penelitian yang dilakukan. Nursing 32(4).pp.161-164.

Paul, Richard and Linda Elder. 2006. Critical


DAFTAR PUSTAKA Thinking “Concepts and Tools. The
Foundation for Critical Thinking. Available
Brown JM, Alverson EM, Pepa CA. 2001. The at
influence of a baccalaureate program on https://www.criticalthinking.org/files/Concep
traditional, RN-BSN, and accelerated ts_Tools.pdf
students’ critical thinking abilities. Holist Schraw, G., Crippen, K. J., & Hartley, K. 2006.
Nurs Pract 15(3).pp. 4-8. Available at Promoting self-regulation in science
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12120 education: Metacognition as part of a broader
110 perspective on learning. Research in Science
Fenech, Giliane, 2016. Critical reflection in Education, 36 (1).pp. 111–139. Available at
midwifery practice: the protection motivation http://link.springer.com/article/10.1007/s111
theory. Journal Reflective Practice, 17(3). 65-005-3917-8
Available at Schin S, Ha J, Shin K, et al. 2006. Critical
http://dx.doi.org/10.1080/14623943.2016.116 thinking ability of associate, baccalaureate
4680 and RN-BSN senior students in Korea. Nurs
Fisher, Alec. 2001. Critical Thinking An Outlook 54(6).pp.328-333. Available at
Introduction. United Kingdom; Cambridge http://www.nursingoutlook.org/article/S0029
University Press. Pp.1-14 -6554(06)00253-3/abstract
ICM. 2014. The International Confederation of The Open University. 2008. Thinking Critically.
Midwives Dissemination Pack. Global United Kingdom : Thanet Press. Available at
Standard, Competencies and Tools. Available https://www.openpolytechnic.ac.nz/assets/Le
at arning-Central/Critical-thinking-Open-
http://www.internationalmidwives.org/assets/ University.pdf


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
30

Varney Helen., Jan.M Krie & Carolyn L.Gegor. www.uripsantoso.wordpress.com//2008/08/23/ca


2004. Varney’s Midwifery. Journal of ra-berpikir-cerdik-kritis-danilmiah
Midwifery & Women’s Health 49(1), pp 62- http://yusufalamromadhon.blogspot.com/200
63 available at 8/06/persepsi-pemilik-blog-tentang
http://www.sciencedirect.com/science/article/ kinerja.htm
pii/S1526952303004203 http://re-searchengines.com/1007arief3.html...//
www.fk.undip.ac.id/pengembangan-
pendidikan//77-pembelajaran-kemampuan-
berpikir-kritis.html..//


Telepon : 085274991855. Alamat E-mail: aldinaayundainsani@ymail.com
Jurnal Kebidanan 10 (02) 103 - 205
Jurnal Kebidanan
http : /www.journal.stikeseub.ac.id

KEMAMPUAN BERFIKIR KRITIS MAHASISWA KEBIDANAN PASKA


PRAKTIK KLINIK KEBIDANAN CONTINUITY OF CARE (COC)

Yanti 1), Etni Dwi Astuti 2)


1), 2)
Program Studi D3 Kebidanan STIKES Estu Utomo Boyolali
E-mail: yanti_eub@yahoo.co.id
ABSTRAK
Pendahuluan. Bidan memiliki peranan penting sebagai mitra perempuan dan tenaga kesehatan
profesional strategis dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Bidan harus mampu
memberikan asuhan kebidanan berkualitas yang berfokus pada perempuan, dilakukan secara rutin
dan berkelanjutan sejak dalam pendidikan klinik selama jadi mahasiswa. Pembelajaran menuntut
kekuatan dalam berpikir kritis karena belajar membutuhkan interpretasi dan integrasi pengetahuan
baru dan penerapan praktis serta tepat dalam menghadapi situasi baru, kondisi masalah dan
peluang inovatif. Setelah diterapkannya Pembelajaran Klinik Kebidanan CoC maka dilakukan
evaluasi terhadap kemampuan mahasiswa dalam berfikir kritis yang terkait dengan pengalaman
belajar mereka selama di klinik. Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan studi kasus. Sampel diambil dengan teknik purpossive sampling. Informan
adalah mahasiswa D III Kebidanan semester VI Stikes Estu Utomo Boyolali berjumlah 6 orang.
Teknik pengumpulan data dengan analisis dokumen dan indepth interview. Analisa data
menggunakan analisa tematik. Hasil dan pembahasan. Hasil penelitian menemukan 9 tema, 7
tema menjawab critical thinking cognitive, yaitu pengumpulan data yang sesuai, mampu
mengidentifikasi penyimpangan normal selama asuhan, kurangnya kemampuan menganalisis
kasus dalam asuhan kebidanan, evaluasi berkelanjutan yang baik, penyimpulan kasus yang sesuai
dengan asuhan, lemahnya kemampuan menjelaskan dan ketepatan pengaturan waktu. 2 tema
menjawab critical thinking affective, yaitu pendekatan intensif ke klien dan ketrampilan
berkomunikasi dengan klien. Simpulan : Seluruh tema yang ditemukan sangat penting untuk
ditingkatkan karena sangat berpengaruh dalam kemampuan pengambilan keputusan klinis pada
asuhan kebidanan.
Kata kunci: Pembelajaran klinik kebidanan, Continuity of Care, Critical Thinking

STUDENTS CRITICAL THINKING THROUGH COC CLINICAL LEARNING


MODEL IN MIDWIFERY EDUCATION
ABSTRACT
Introduction. Midwives have an important and strategic role as women partners as a health
professionals in improving maternal and child health in Indonesia. Midwives must be able to
provide quality midwifery care that focuses on women, carried out routinely and continuously
since clinical education while being a student. Learning requires strength in critical thinking
because learning requires interpretation and integration of new knowledge and practical and
appropriate applications in dealing with new situations, problem conditions and innovative
opportunities. After the implementation of CoC Midwifery Clinical Learning model, an evaluation
of the ability of students to think critically is related to their learning experience while in the
clinic. Research method. This study uses qualitative methods with a case study approach. Samples
were taken by purposive sampling technique. The informants were the sixth semester Midwifery
Diploma III students at the Stikes Estu Utomo Boyolali. Data collection techniques with document
analysis and in-depth interviews. Data analysis using thematic analysis. Result and discussion.
The results of the study found 9 themes, 7 themes answering cognitive thinking critical, which is
appropriate data collection, able to identify normal deviations during care, lack of ability to
analyze cases in midwifery care, good ongoing evaluation, conclusion of cases that are
appropriate to care, poor ability to explain and accuracy of timing. 2 themes answer affective
critical thinking, which is an intensive approach to clients and communication skills with clients.
Conclusion. All themes that found in this study are very important to improve because they are
very influential in the ability of clinical decision making in midwifery care.

Keywords: Midwifery clinical learning, Continuity of Care, Critical Thinking.

Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018 171


PENDAHULUAN oleh filosofi kebidanan yang berpusat
Bidan sebagai tenaga kesehatan pada wanita, kontinuitas asuhan
mempunyai peranan penting dalam keperawatan dan prinsip perawatan
rangka mempercepat penurunan angka kesehatan primer (Tickle, Sidebotham,
kematian ibu (AKI) dan angka kematian Fenwick, & Gamble, 2016).
bayi (AKB) (Kepmenkes RI, 2010). Penelitian Yanti, 2015 ditemukan
Untuk itu dibutuhkan tenaga bidan yang bahwa model pembelajaran klinik
terampil melakukan prosedural klinis Continuity of Care (CoC) meningkatkan
dengan kemampuan analisis, kritis, dan pemahaman mahasiswa tentang filosofi
tepat dalam penatalaksanaan asuhan pelayanan kebidanan dibandingkan
kebidanan. Untuk memberikan pelayanan dengan model asuhan yang
kebidanan yang profesional dan terfragmentasi. Temuan ini menunjukkan
berkualitas, dibutuhkan pengembangan bahwa mereka lebih mengerti bagaimana
kemampuan pribadi yang meliputi memberikan asuhan kebidanan yang
pengetahuan keterampilan, sikap profesi lebih baik selama praktik di lahan dengan
(Pusdiknakes, 2002). asuhan CoC. International Confederation
Survey Demografi Kesehatan of Midwife (ICM) 2013 menyatakan
Indonesia (SDKI) pada tahun 2012, bahwa program pendidikan kebidanan
menunjukkan Angka Kematian Ibu perlu melakukan metode evaluasi
(AKI) di Indonesia sebesar 359/100.000 terhadap mahasiswanya dengan
kelahiran hidup. Berdasarkan hasil Survei menggunakan penilaian formatif dan
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 sumatif untuk mengukur ketrampilan
AKI menunjukkan penurunan menjadi mahasiswa dan kemajuan proses
305/100.000 kelahiran hidup pembelajaran yang terkait dengan
(Kementerian Kesehatan RI, 2016). Hasil pengetahuan, perilaku, ketrampilan
data menunjukkan bahwa bidan memiliki praktik, pemikiran kritis dan
peranan penting sebagai mitra perempuan pengambilan keputusan serta ketrampilan
dan tenaga kesehatan professional komunikasi interpersonal (Thompson,
strategis dalam peningkatan kesehatan Fullerton, & Sawyer, 2011).
ibu dan anak di Indonesia (IBI dan Kemampuan reflektif dalam
AIPKIND, 2012). mempertimbangkan sesuatu sangat
Standar pendidikan oleh dibutuhkan sehingga kemampuan
Australian Nursing and Midwifery berpikir kritis dan pola pikir (kebiasaan
Council (ANMC) menyatakan bahwa pikiran) merupakan hal yang sangat
kurikulum kebidanan harus didukung penting (Insight Assessment, 2016).

172 Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018


Penelitian mengenai kemampuan kasus pada informan yang lain. Pada
critical thinking mahasiswa kebidanan penelitian ini informan penelitian
dengan penerapan model pembelajaran berjumlah 6 orang. Teknik pengumpulan
klinik Continuity of Care (CoC) data dengan analisis dokumen dan
dilakukan untuk melihat kemampuan indepth interview. Analisa data
berpikir kritis dalam aspek menggunakan analisa tematik.
interpretation, analysis, evaluation,
inference, explanation dan self HASIL DAN PEMBAHASAN
regulation. PKK CoC dilakukan selama tiga
bulan dengan target melakukan asuhan
METODE kebidanan pada 3 klien mulai dari masa
Metode penelitian yang digunakan kehamilan, persalinan, nifas, perawatan
adalah metode kualitatif dengan Bayi Baru Lahir (BBL) dan perencanaan
pendekatan studi kasus. Kasus yang metode kontrasepsi yang akan dipakai.
dikaji merupakan kasus tunggal yang Selama praktik, mahasiswa tinggal di
intensif, terinci dan mendalam yaitu Bidan praktik pada wilayah tempat
Pembelajaran Klinik pada Praktik Klinik tinggal klien. Selama 3 bulan mahasiswa
Kebidanan CoC pada lembaga melakukan asuhan CoC dengan
pendidikan D III Kebidanan dalam pendampingan 24 jam (melalui
mengembangkan nilai-nilai critical kunjungan rumah, pemantauan via WA
thinking yang dilihat dari bagaimana ataupun saat klien melakukan kunjungan
asuhan kebidanan CoC yang telah ulang di tempat Bidan), dengan
diberikan sehingga diperoleh penanggungjawab bidan klinik
pengetahuan lebih lanjut dan mendalam (Pembimbing Lahan).
tentang peristiwa tersebut secara ilmiah. Model pembelajaran klinik PKK-CoC di
Kasus tersebut dibatasi dalam suatu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Estu
ruang lingkup tingkatan semester akhir di Utomo dilaksanakan dalam tiga siklus,
Stikes Estu Utomo Boyolali. yaitu:
Sampel pada penelitian ini diambil a. Siklus I, asuhan kebidanan kehamilan
dengan teknik purpossive sampling. yang terbagi menjadi 4 tahap, yaitu
Teknik ini dilakukan dengan tujuan tahap rekrutmen kasus (ibu hamil),
peneliti bisa menemukan informasi tahap pelaksanaan asuhan kebidanan
yang general dari informan yang kehamilan, tahap evaluasi kompetensi
terpilih dan informasi kasus yang asuhan kebidanan kehamilan dan
diperoleh dari informan ini mewakili tahap tri-partite meeting I.

Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018 173


b. Siklus II, asuhan kebidanan persalinan Tri-partite meetings merupakan
yang terbagi menjadi 4 tahap, yaitu pertemuan antara 3 pihak yaitu
tahap feedback, tahap pelaksanaan mahasiswa, dosen dan bidan. Hasil
asuhan kebidanan persalinan, tahap Tri-partite meetings I merupakan
evaluasi kompetensi asuhan umpan balik pelaksanaan model
kebidanan persalinan dan tahap tri- PKK-CoC sebagai masukan dan
partite meeting II. perbaikan dari pelaksanaan siklus II.
c. Siklus III, asuhan kebidanan nifas Dengan demikian tahap I pada
yang terbagi menjadi 4 tahap, tahap siklus II merupakan kelanjutan
feedback, tahap pelaksanaan asuhan dari siklus I dan tahap I pada siklus
kebidanan nifas, tahap evaluasi III merupakan kelanjutan dari siklus II
kompetensi asuhan kebidanan nifas dengan pengelolaan kasus yang sama
dan tahap tri-partite meeting III. (Yanti, Claramita, Emilia, & Hakimi,
2015).

Hasil penelitian memunculkan beberapa tema dan secara skematis ditunjukkan dengan
skema berikut:

Berikut beberapa kutipan hasil 1. Interpretation


wawancara mendalam untuk memperoleh Beberapa informan mengungkapkan
informasi pendukung hasil studi bahwa dalam merumuskan diagnosa
dokumen laporan asuhan kebidanan kebidanan, mereka dapat
terhadap ke-6 aspek critical thinking : mengidentifikasi data yang diperlukan

174 Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018


untuk menjadi dasar dalam “... keluhan sering kencing pada
merumuskan diagnosa kebidanan. malam hari ... penkes tentang cara
“... yang pertama kita lakukan mengurangi keluhan ... evaluasi ...
anamnesa ... data yg kita perlukan minggu depanya kita tanyakan ...
untuk menunjang diagnosa tersebut ... keluhanya sudah berkurang atau
melakukan pemeriksaan fisik atau belum ...” (IU- 2)
yang biasa disebut data objektif ...” 4. Inference
(IU- 1) Berdasarkan laporan asuhan
2. Analysis kebidanan CoC, keenam informan
Hasil wawancara yang menunjukkan mampu memberikan kesimpulan
kurangnya kemampuan analisis antara sesuai dengan data yang ada dari
lain sebagai berikut: keseluruhan pengkajian yang telah
“... keluhan biasa ... sering pipis, diberikan. Hasil analisis dokumen
pegal-pegal, kenceng-kenceng pada tersebut dikonfirmasi dengan hasil
trimester 3 ... usia-usia trimester 3 wawancara berikut:
mendekati hari HPL ... iya kita “Heem jadi cara saya menyimpulkan
berikan penkes ... ketidak nyamanan” jenis kasus berdasarkan pengkajian
(IU- 3) yang telah dilakukan, berarti kembali
Hal ini ditunjukkan dengan cara lagi ke diagnose yang tadi di awal.”
menjawab yang tidak yakin atau (IU- 4)
masih ragu-ragu baik dilihat dari 5. Explanation
jawaban yang diberikan ataupun dari Pada laporan asuhan kebidanan,
mimik wajah yang terlihat pada saat sebagian besar informan sudah
menjawab pertanyaan dari peneliti. memberikan penjelasan yang sesuai
“Ada sih buk tapi saya lupa ya ... Ee, dengan kebutuhan ibu hamil. Kutipan
ini untuk apa misalnya ... oh maaf dalam laporan asuhan kebidanan
maksud saya ... ehmmm gimana ya bu, tersebut di atas didukung dengan
lupa saya teori apa ... “ analisis hasil wawancara mengenai
3. Evaluation pengalaman mahasiswa dalam
Dari hasil wawancara didapatkan hasil pendekatan dengan klien.
yang sesuai dengan pencatatan “... kebetulan pasien saya bukan tipe
laporan asuhan kebidanan yaitu orang yang gampang untuk diajak
mahasiswa mampu melakukan komunikasi ... dia itu lebih dewasa
evaluasi yang berkelanjutan. dari saya ... lebih berpengalaman

Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018 175


daripada saya ... jadi saya itu awal komunikasi kemudian mulai curhat ini
awalnya juga susah gimana ini, itu mulai terbuka.” (IU- 2)
takutnya kan nanti kalau saya kasih 6. Self regulation
asuhan ibuknya ngga percaya atau Pada laporan asuhan kebidanan CoC,
mungkin, ngiranya ih soktau bener pengaturan waktu keenam informan
masih anak kecil kan gitu terus emm selama kegiatan PKK dapat dilihat
waktu kehamilan saya bener bener dari lampiran bagian log book dan
merasakan yang sulit banget ... bisa lembar konsul. Dokumen tersebut
berkomunikasi atau jadi temen curhat didukung dengan hasil wawancara
lah istilahnya biar ngga terlalu yang dilakukan kepada semua
gimana yaa terlihat bgt kalau saya ini informan:
mahasiswa terus masih kaku gitu loh “sebelum dateline sudah selesai bu ...
buk. ... seminggu terakhir mau lahiran sering-sering ngerjain aja biar cepet
mulai deket sama saya mulai mau selesai, cepet konsul.” (IU- 2).

Data dari laporan asuhan kebidanan CoC disajikan dalam bentuk tabel tema sebagai
berikut:

No
Aspek
Indikator dalam PKK CoC Tema
Critical thinking

1 Interpretation 1. Mengidentifikasi data Mahasiswa mampu


pendukung yang sesuai dalam menginterpretasikan data
merumuskan diagnosa kebidanan. dengan baik dilihat dari
2. Mengemukakan dasar-dasar ketepatan dalam penentuan
yang relevan dalam merencanakan diagnosa kebidanan
askeb (rasional tindakan).
3. Mengidentifikasi variasi normal
selama kehamilan sesuai data yang
diperoleh.
4. Mengidentifikasi penyimpangan
dari normal selama kehamilan.

2 Analysis 1. Menjelaskan hubungan antara Mampu menganalisis kasus


temuan kasus dengan teori. asuhan kebidanan dengan
2. Menjelaskan kesenjangan antara baik ditunjukkan dengan
kenyataan yang terjadi pada klien kejelasan dalam memberikan
dengan teori. alasan sesuai dengan teori
3. Menjelaskan hubungan rencana dari setiap temuan kasus.
asuhan yang akan diberikan dengan
teori.

176 Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018


3 Evaluation 1. Mengidentifikasi tingkat Mampu mengevaluasi setiap
keberhasilan asuhan yang diberikan pengkajian dengan baik
kepada klien.
2. Menyusun rencana ulang asuhan
berdasarkan evaluasi.
3. Mengidentifikasi ketepatan
asuhan dengan evaluasi.

4 Inference 1. Menyimpulkan jenis kasus Penyimpulan kasus yang


berdasarkan pengkajian yg telah dilaporkan belum bisa
dilakukan. mewakili keseluruhan asuhan
2. Menyimpulkan batas tindakan yang diberikan ke
kewenangan klien.
bidan dalam askeb berdasarkan
kasus yg dihadapi.

5 Explanation 1. Informasi yang dituliskan dalam Mampu menjelaskan setiap


laporan asuhan kebidanan lengkap asuhan yang diberikan
sesuai kebutuhan ibu hamil. sehingga ada keterkaitan
2. Asuhan kebidanan yang antara data dasar, diagnosa,
diberikan kepada klien dapat penatalaksanaan dan evaluasi
diterima klien
6 Self regulation 1. Pengaturan waktu selama Mahasiswa memiliki
kegiatan PKK tanggungjawab yang baik.
2. Penyelesaian laporan askeb
sesuai jadwal yang ditentukan

Tema-tema dari analisis hasil wawancara secara skematis ditampilkan secara keseluruhan
sebagai berikut :

Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018 177


Hasil analisis data mentah yang inference, evaluation, explanation dan
telah dikelompokkan menjadi kategori self regulation sangatlah menentukan
dan sub kategori memperlihatkan keberhasilan mahasiswa dalam
beberapa tema yang muncul dan penyelesaian praktik di lahan dan
menjawab tujuan penelitian. Sembilan menentukan keberhasilan proses
tema didapatkan dari hasil analisis, tujuh pendidikan. Model pembelajaran praktik
tema menjawab tujuan penelitian dan dua klinik kebidanan CoC merupakan model
tema lainnya merupakan tema tambahan praktik klinik yang belum diterapkan
yang melengkapi dan mendukung hasil secara menyeluruh oleh institusi- institusi
penelitian. pendidikan kebidanan di Indonesia dan
Sesuai dengan penelitian yang diaplikasikan pertama kali oleh STIKES
dilakukan oleh Simpson dan Courtney Estu Utomo Boyolali diikuti beberapa
bahwa ketrampilan berpikir kritis institusi-institusi lain sehingga penelitian
kognitif aspek interpretasi adalah ini tergolong penelitian baru di
aspek yang secara akurat Indonesia.
menginterpretasikan masalah serta Penelitian ini memunculkan
data obyektif dan subyektif indikator-indikator penting dalam asuhan
berdasarkan sumber informasi umum kebidanan sehingga bisa dijadikan
yang terkait dengan asuhan yang pedoman bagi dosen untuk menilai
diberikan ke klien (Simpson & Courtney, kualitas dari laporan asuhan kebidanan
2002). Kemampuan analisis menjadi yang dibuat oleh mahasiswanya.
salah satu domain penting menurut
Australian Nursing and Midwifery PENUTUP
Council, 2010, yaitu mengenai standar Hasil penelitian menunjukkan 7
nasional yang berlaku untuk praktik, tema yang berkaitan dengan critical
dimana standar ini memiliki fungsi thinking cognitive pada mahasiswa D III
sebagai kerangka kerja untuk menilai Kebidanan semester VI di STIKES Estu
kompetensi. Keempat domain tersebut Utomo, yaitu: Interpretation : mampu
yaitu praktik yang profesional, pemikiran mengidentifikasi data yang sesuai dengan
kritis dan analisis, penyediaan dan diagnosa kebidanan dan mampu
adanya koordinasi dalam memberikan mengidentifikasi penyimpangan normal
asuhan dan praktik kolaboratif dan selama memberikan asuhan kebidanan.
terapeutik. (Anema and Marion G, 2010) Analysis : kemampuan menganalisis
Aspek-aspek critical thinking kasus dalam asuhan kebidanan masih
yang meliputi interpretation, analysis, kurang. Evaluation : mampu

178 Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018


mengevaluasi dengan baik dari setiap Boyolali yang telah berkenan menjadi
pengkajian asuhan kebidanan. Inference : mitra dalam pembelajaran klinik
mampu menyimpulkan kasus sesuai kebidanan CoC selama 3 bulan dengan
dengan asuhan kebidanan dari memberikan ijin anggotanya (bidan di
keseluruhan pengkajian. Explanation : lahan praktik) sebagai pembimbing
penjelasan yang disampaikan belum bisa klinik.
mewakili keterkaitan keluhan, diagnosa, Ucapan terimakasih secara
penatalaksanaan dan evaluasi dan. Self mendalam juga disampaikan seluruh
regulation : mampu mengatur waktu mahasiswa tingkat akhir dari Program
dengan penuh tanggungjawab. Studi D-3 Kebidanan Sekolah Tinggi
Selain 7 tema yang menjawab Ilmu Kesehatan Estu Utomo yang telah
tujuan penelitian, ditemukan dua tema bersedia terlibat dalam penelitian ini
tambahan di luar tujuan penelitian namun dengan mengimplementasikan model
dapat mendukung dan melengkapi hasil pembelajaran klinik kebidanan CoC
analisis penelitian yaitu kemampuan dalam waktu yang cukup lama di lahan
pendekatan intensif ke klien dan praktik.
ketrampilan inter personal yang baik
dengan klien. Hal ini merupakan bagian DAFTAR PUSTAKA
dari kemampuan critical thinking Aune I., Dahlberg U., Ingebrigtsen O.
Relational continuity as a model of
affective.
care in practical midwifery studies.
Seluruh tema yang ditemukan British Journal of Midwifery 2011,
19 (8): 515-523.
sangat penting untuk ditingkatkan
Australian College of Midwives (ACM).
berkaitan dengan pola pikir mahasiswa ACM Philosophy for Midwifery.
(Internet). 2007. (cited 2012 maret
karena sangat berpengaruh dalam
21). Availabel from:
kemampuan pengambilan keputusan http://www.midwives.org.au/Abou
tUs/ACMPhilosophyforMidwifery/
klinis pada asuhan kebidanan. Kurangnya
tabid/256/Default.aspx
kemampuan dalam menganalisis kasus Burns, I. & Paterson, I.M. Clinical
practice and placement support:
merupakan aspek kritis yang sangat
Supporting learning in practice.
berpengaruh dalam ketepatan Nursing Education in Practice.
2005; 5(1):3-9.
pengambilan keputusan klinis, sehingga
Depkes RI. Kurikulum Pendidikan D-III
perlu diperhatikan. kebidanan. Jakarta: Depkes RI.
2002.
UCAPAN TERIMAKASIH
Howarth, A. The portfolio as an
Ucapan terimakasih yang assessment tool in midwifery
education. British Journal of
sebesar-besarnya disampaikan kepada
Midwifery. 1999; 7(4):.327-329.
IBI (Ikatan Bidan Indonesia) Cabang

Jurnal Kebidanan, Vol. IX, No. 02, Desember 2017 179


Insight Assessment. (2016). California Practice, 8(2), 89–98.
Critical Thinking Skills Test, (650), https://doi.org/10.1046/j.1440-
91. 172x.2002.00340.x
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Sofyan, Mustika. 50 Tahun Ikatan Bidan
Profil Kesehatan Indonesia 2015. Indonesia Bidan Menyongsong
https://doi.org/351.077 Ind Masa Depan, PP-IBI. Jakarta.
Kolb D.A., 1984. Experiental Learning: 2006.
Experience as The Source of Tickle, N., Sidebotham, M., Fenwick, J.,
Learning and Development, & Gamble, J. (2016). Women‟s
Prentice Hall, New Jersey. experiences of having a Bachelor
Licqurish, S. & Seibold, C. Bachelor of of Midwifery student provide
Midwifery students’ experiences continuity of care. Women
of achieving competencies: The and Birth, 29(3), 245–251.
role of the midwife preceptor. https://doi.org/10.1016/j.wombi.20
Midwifery. 2008; 24(4): 480-489. 15.11.002
Myrick, F. & Yonge, O. Enhancing Ullrich, S. First birth Stories of student
critical thinking in the midwives: Keys to professional
preceptorship experience in affective socialisation. Journal of
nursing education. Journal of Midwifery & Women’s Health.
Advanced Nursing. 2004; 45(4): 2004; 49(5): 390-397.
371-380. Yanti, Claramita M., Emilia O., Hakimi
Rawnson S., Fry J., Lewis P. Student M., 2015. Students’ Understanding
caseloading: embedding the of Women-Centred Care
concept within education. BJM. Philosophy in Midwifery Care
2008; 16(10): 636–41. through Continuity of Care (CoC)
Simpson, E., & Courtney, M. (2002). Learning Model a quasi-
Critical thinking in nursing experimental study. BMC Nursing
education: Literature review. 2015; DOI 10.1186/s12912-015-
International Journal of Nursing 0072-z.

180 Jurnal Kebidanan, Vol. X, No. 02, Desember 2018


MAKALAH

PENALARAN DEDUKTIF DAN INDUKTIF DALAM


PERSALINAN NORMAL

DISUSUN OLEH :
INDAH SARI
PO71242210021

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI


JURUSAN KEBIDANAN PROGRAM STUDI
PROFESI BIDAN
2021/2022
Apa itu Penalaran ?

Penalaran atau reasoning merupakan suatu


konsep yang paling umum menunjuk pada
salah satu proses pemikiran untuk sampai
pada suatu kesimpuan sebagai pernyataan
baru dari beberapa pernyataan lain yang telah
diketahui. Dalam pernyataan-pernyataan itu
terdiri dari pengertia-pengertian sebagai
unsurnya yang antara pengertian satu dengan
yang lain ada batas-batas tertentu untuk
menghindarkan kekabutan arti (Palupi Sri
Wijayanti Et Al,2017).
ADA DUA JENIS
PENALARAN
PENALARAN DEDUKTIF PENALARAN INDUKTIF
Penalaran deduktif adalah Penalaran induktif adalah
suatu tahap pemikiran dan penalaran yang bertolak dari
pembelajaran manusia pernyataan – pernyataan
untuk menghubungkan yang khusus dan
antara data dengan fakta menghasilkan kesimpulan
yang ada sehingga pada yang umum. Dengan kata lain
kesimpulan, yang diperoleh
akhirnya terdapat tidak lebih khusus daripada
kesimpulan yg dapat pernyataaan (premis) (Diah
diambil (Etni Dwi Prawitha Sari Et Al,2016).
Astuti,2018).
Apa itu persalinan normal ?
• Persalinan adalah proses pengeluaran hasil
konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus
melalui vagina ke dunia luar (Kuswanti, 2017).
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta
dan selaput ketuban keluar dari uterus ibu.
Persalinan dianggap normal jika prosesnya
terjadi pada usia kehamilan cukup bulan
(setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya
penyulit (Nurasiah, 2016).
Mekanisme
Persalinan
1) Engagement (fiksasi) = masuk Ialah masuknya kepala dengan lingkaran terbesar
(diameter Biparietal) melalui PAP.
2) Descensus = penurunan Ialah penurunan kepala lebih lanjut kedalam panggul. Faktor–
faktor yang mempengaruhi descensus : tekanan air ketuban, dorongan langsung fundus
uteri padabokong janin, kontraksi otot– otot abdomen, ekstensi badan janin.
3) Fleksi Ialah menekannya kepala dimana dagu mendekati sternum sehingga lingkaran
kepala menjadi mengecil .
4) Putaran Paksi Dalam (internal rotation) Ialah berputarnya oksiput ke arah depan,
sehingga ubun -ubun kecil berada di bawah symphisis (HIII).
5) Defleksi Ialah mekanisme lahirnya kepala lewat perineum.
• 6) Putaran paksi luar (external rotation) Ialah berputarnya kepala menyesuaikankembali
dengan sumbu badan (arahnya sesuai dengan punggung bayi).
• 7) Expulsi (Lahirnya Seluruh Badan Bayi).
Gambar 2.1 Mekanisme Persalinan Normal (Presentase
Kepala).
Ada 4 Tahap Persalinan Normal

Kala 1
Kala 2
Terjadinya kontraksi dan dilatasi serviks
dimulai ketika pembukaan serviks sudah
untuk menyiapkan jalan lahir bagi janin. Kala
lengkap (10 cm) dan berakhir dengan
ini dimulai saat persalinan mulai sampai
lahirnya bayi.
pembukaan lengkap (10 cm).

Kala 4
Berakhirnya Plasenta lahir dan 2 Jam setelah
Kala 3 itu Pemantauan Selama 2 jam pertama
pascapersalinan : Pantau tekanan darah,
dimulai segera setelah bayi lahir sampai
nadi, tinggi fundus, kandung kemih dan
lahirnya plasenta, yang berlangsung tidak
perdarahan yang terjadi setiap 15 menit
lebih dari 30 menit (Prawirohardjo,2018).
dalam satu jam pertama dan setiap 30 menit
dalam satu jam kedua kala IV
(Prawirohardjo, 2018).
7 Langkah Manajemen Varney
1. Pengkajian
Pengkajian adalah mengumpulkan data subyektif dan obyektif,berupa data fokus yang dibutuhkan untuk
menilai keadaan ibu sesuaidengan kondisinya, menggunakan anamnesis, pemeriksaan fisik,penimbangan
berat badan, tinggi badan, dan pemeriksaan laboratorium(Mandriwati, 2016).
2. Intrepetasi Data
Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar terhadap diagnosa atau masalah dan kebutuhan klien
terhadap interpretasi yang benar atas data – data yang dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan
diinterpretasikan sehingga ditemukan masalah atau diagnosa yang spesifik (Hidayat, 2017).
3. Diagnosa potensial adalah melakukan identifikasi diagnosis atau masalah potensial dan mengantisipasi
penanganannya.
4. Tindakan segera adalah mengidentifikasi perlunya tindakan segera bidan atau dokter dan tau untuk
konsultasi atau ditangani bersama dengan anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien
(Jannah, 2011).
5. Perencanaan Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh berdasarkan langkah sebelumnya.
6. Pelaksanaan pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang diuraikan pada langkah kelima di
atas dilaksanakan secara efisien dan aman (Jannah, 2016).
7. Evaluasi Hal yang dievaluasi meliputi apakah kebutuhan telah terpenuhi dan mengatasi diagnosis dan
masalah yang telah diidentifikasi.
Gambar 2.1 PATHWAY
Bobak,2016:Varney,2013:Prawirorahardjo:2018
BAB III KASUS
Kesimpulan
• Berpikir kritis adalah cara berpikir tentang subjek, konten, atau
masalah yang dilakukan oleh pemikir secara aktif dan terampil secara
konseptual dan memaksakan standar yang tinggi atas intelektualitas
mereka. Berpikir kritis merupakan dasar bagi setiap Bidan untuk
melakukan manajemen asuhan kebidanan sehingga tepatnya
pembuatan keputusan dan tepatnya asuhan yang diberikan. Berpikir
kritis harus diintergrasikan kepada seluruh profesi Bidan dan dimulai
pada mahasiswa kebidanan untuk setiap manajemen asuhan
kebidanan yang akan dilakukan sehingga menghasilkan asuhan yang
tepat dan bermutu.

Anda mungkin juga menyukai