Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“Bernalar Ilmiah”

Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr.,


SpBS(K)

Kelompok 13:

Anto Wiryo 011918196305


Arival Yanuar Riswanto 011918026313
Ira Yunita 011918046301
Ishak Kristian Kartorahardjo 011918056302
Maya Qurota 011918136302
Stephanie Natasha Djuanda 011918146302
Rosandi Febrianto 011918066304
Thomas Jatiman 011918236305
Yayu Dwinita Jasin 011918116308

MKDU 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dalam kehidupan sehari-hari, sebagai manusia tentunya kita mengalami berbagai


macam peristiwa, masalah, dan pilihan yang harus dicari jalan keluarnya. Untuk mencapai
itu, kita membutuhkan informasi dari berbagai macam sumber, baik secara lisan maupun
tulisan. Sebagai dokter kita seharusnya dapat membedakan informasi mana yang merupakan
informasi ilmiah, mana yang tidak berdasarkan ilmiah. Sayangnya, hingga sekarang masih
banyak di antara kita yang masih percaya terhadap fenomena/ informasi yang belum tentu
kebenarannya, sehingga jalan keluar yang diperoleh pun tidak sesuai dengan yang
seharusnya.
Untuk menghindari hal tersebut, kita membutuhkan penalaran sebagai bagian dari
proses berpikir. Sebab dengan penalaran, kita dapat berpikir secara logis dan sistematis
sehingga kita dapat menarik kesimpulan yang dapat diperoleh melalui fakta, informasi,
pengalaman, atau pendapat para ahli. Aplikasi penalaran dalam proses inkuiri ilmiah dikenal
sebagai penalaran ilmiah (scientific reasoning) (Bao et al, 2009). Penalaran ilmiah ini
mencakup kegiatan pengembangan, pengujian dan proses revisi suatu hipotesis (Zimmerman,
2000).
Dalam penalaran ilmiah, dikenal ada dua metode, yaitu metode penalaran deduktif
dan induktif. Penalaran deduktif merupakan cara berpikir yang bertolak dari sebuah asumsi
atau pernyataan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan dengan makna yang lebih
khusus, sebaliknya penalaran induktif adalah cara berpikir untuk menarik kesimpulan dari
hal-hal yang bersifat khusus yang kemudian digunakan untuk menarik kesimpulan yang
bersifat lebih umum (Mustofa, 2016).
Karena kami menyadari pentingnya bernalar secara ilmiah dan masih banyak yang
belum kami ketahui secara benar mengenai penalaran ilmiah ini, maka di dalam makalah ini,
kami mencoba membahas lebih dalam tentang penalaran ilmiah. Hal tersebut mencakup
definisi, ciri-ciri penalaran ilmiah, berbagai macam metode yang digunakan untuk dapat
menarik sebuah kesimpulan dengan contoh-contohnya, serta kesalahan apa saja yang sering
terjadi dalam proses penalaran ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan penalaran ilmiah?
1.2.2 Bagaimanakah ciri suatu pemikiran yang dapat disebut sebagai penalaran ilmiah?
1.2.3 Apa saja jenis-jenis penalaran ilmiah?
1.2.4 Apa yang dimaksud dengan penalaran deduktif?
1.2.5 Apa yang dimaksud dengan penalaran induktif?
1.2.6 Kesalahan apa sajakah yang dapat terjadi pada proses penalaran ilmiah?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
memahami lebih dalam mengenai penalaran ilmiah

1.3.2 Tujuan Khusus


a. Mengetahui definisi dari penalaran ilmiah
b. Mengetahui ciri-ciri penalaran ilmiah
c. Dapat membedakan antara jenis – jenis penalaran, yaitu penalaran deduktif
dan induktif disertai dengan contohnya
d. Mengetahui macam-macam kesalahan yang dapat terjadi pada proses
penalaran ilmiah
BAB 2
DEFINISI PENALARAN ILMIAH

2.1 Definisi Penalaran Ilmiah


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penalaran (dari kata dasar nalar) memiliki arti
yaitu suatu proses mental dalam mengembangkan pemikiran yang logis dari beberapa fakta
atau prinsip untuk mencapai sebuah kesimpulan (KBBI, 2019). Sedangkan kata ilmiah
memiliki arti bersifat ilmu atau memiliki syarat-syarat kaidah ilmu pengetahuan (KBBI,
2019). Sehingga yang dimaksud dengan penalaran ilmiah adalah suatu proses mental dalam
mengembangkan pemikiran yang logis berdasarkan fakta atau prinsip sesuai kaidah ilmu
pengetahuan untuk mencapai sebuah kesimpulan. Bahan pengambilan kesimpulan itu dapat
berupa fakta, informasi, pengalaman atau pendapat ahli (otoritas).

2.2 Ciri-Ciri Penalaran Ilmiah

Penalaran ilmiah memiliki ciri-ciri yaitu:


1. Logis : suatu penalaran harus memenuhi unsur logis, artinya pemikiran yang ditimbang
secara objektif dan didasarkan pada data yang shahih.
2. Analitis, berarti bahwa kegiatan penalaran tidak terlepas dari daya imajinatif seseorang
dalam merangkai, menyusun, atau menghubungkan petunjuk-petunjuk akal pikirannya ke
dalam suatu pola tertentu.
3. Rasional, artinya adalah apa yang sedang dinalar merupakan suatu fakta atau kenyataan
yang memang dapat dipikirkan secara mendalam.
BAB 3
METODE PENALARAN ILMIAH

3.1 Metode Penalaran Deduktif


3.1.1 Definisi Metode Pelanaran Deduktif

Penalaran deduktif adalah penalaran tidak langsung dengan cara mengambil


kesimpulan khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Bentuk penalaran
deduktif umum disebut dengan silogisme. Pada penalaran deduktif, proposisi universal
terdapat pada premis mayor dan proposisi khusus terdapat pada premis minor.
Kebenaran dalam penalaran deduktif dianggap mutlak apabila premis mayor bernilai
dan langkah pengambilan kesimpulan benar. Premis mayor dalam penalaran deduktif
merupakan premis teoretis sehingga kebenaran yang didapatkan dari metode penalaran ini
merupakan kebenaran teoretis atau rasional. Alur berpikir yang runut dalam pengambilan
kesimpulan pada metode ini membuat kebenaran yang didapatkan dari penalaran deduktif
disebut sebagai kebenaran koherensi.
3.1.2 Contoh Metode Penalaran Deduktif
Pada penalaran deduktif, jenis dan derajat kebenaran dari kesimpulan tergantung dari
derajat kebenaran premis dan langkah pengambilan kesimpulan. Premis dapat berasal tidak
hanya dari fakta tetapi juga dari teori ilmiah, mitos, maupun tradisi.

Contoh proses penarikan kesimpulan pada metode penalaran deduktif:


 Premis mayor: Semua mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) wajib mengikuti kuliah mata kuliah dasar
umum (MKDU).
Premis minor: Natasha adalah mahasiswa PPDS FK Unair.
Kesimpulan: Natasha wajib mengikuti kuliah MKDU.
 Premis mayor: Semua pasien demam tifoid wajib tirah baring.
Premis minor: Sepuluh pasien mengalami demam tifoid.
Kesimpulan: sepuluh pasien tersebut wajib tirah baring. (Suhartono, 2010)
3.2 Metode Penalaran Induktif
3.2.1 Definisi Penalaran Induktif

Penalaran Induktif merupakan cara berfikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat khusus.
Arsitoteles menyatakan bahwa proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual
kepada yang bersifat universal, disebut sebagai pola penalaran induksi.
Metode induksi adalah metode dominan yang digunakan dalam ilmu-ilmu empiris yang
berobjekkan alam yang berubah-ubah. Sudah diketahui bahwa hukum alam berkembang dari
hipotesis yang mendasarkan diri pada realitas atau fakta yang riil. Dalam metode ini kita
bertolak dari sejumlah proporsi particular menuju kesimpulan yang lebih umum atau berlaku
umum.

3.2.2 Bentuk Penalaran Induktif


1. Generalisasi
Generalisasi adalah penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum
dari premis-premis yang berupa proporsi empirik.

Macam-macam generalisasi
a. Generalisasi sempurna : penyelidikan secara saksama atas seluruh fenomena yang
menjadi dasar penyimpulan. Disini kita akan memperoleh suatu kesimpulan yang sangat
kuat. Tapi ini tidak praktis dan tidak ekonomis.
b. Generalisasi tak sempurna : penyimpulan yang diperoleh berdasarkan sebagian
fenomena. Kesimpulan seperti ini tidak sampai pada tingkat kuat atau pasti. Ilmu-ilmu
justru berkembang dari generalisasi tak sempurna ini. Tugas ilmu bukan menjanjikan
kebenaran mutlak, melainkan kebenaran yang mungkin.

2. Analogi
Analogi adalah proses penalaran yang berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang
satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang
lain, dengan mengidentifikasi mencari persamaan.
Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai
penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan Jadi analogi induksi tidak hanya
menunjukkan persamaan di antara dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik kesimpulan atas
dasar persamaan itu.

Tiga unsur utama dalam penyimpulan analogi


1. Peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi
2. Kesamaan principal sebagai pengikat
3. Fenomena yang hendak kita analogikan

3. Hubungan kausal
Sejak zaman kuno orang tahu bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa sebab (nihil fit
sine causa), demikian ungkap Leucippus. Di sini lebih dimaksudkan dengan sebab efisien,
yakni ada-tidaknya sebab ini akan menentukan ada dan tidaknnya akibat.

Induksi yang mendasarkan diri pada aksioma sebab dapat dirumuskan sebagai berikut :
tak ada sesuatu disebut sebab bagi suatu akibat, bila ia tidak ditemukan pada saat akibat
terjadi. Dan tidak ada sesuatu yang disebut sebab bagi suatu akibat, bila ia dijumpai pada saat
tidak terjadi akibat.
BAB 4
KESALAHAN PENALARAN ILMIAH

4.1 Kelemahan Pola Pikir Ilmiah

Kelemahan Pola Pikir Ilmiah


Sebagai suatu metode, pola pikir ilmiah mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan pola berpikir ilmiah adalah antara lain:
1. Karena bersifat factual, maka untuk memecahkan masalah kehidupan bersifat lebih
operasional
2. Karena sistematikanya jelas dan terstruktur, maka lebih mudah disebarkan dan
dikaji ulang
3. Karena makin terspesialisasi, kajianny menjadi semakin dalam.

Kelemahannya antara lain:


1. Karena ilmu makin terspesialisasi, maka sudut pandangnya menjadi semakin
sempitdan sektoral,
2. Kesimpulan ditarik dari kondisi eksperimental yang bersifat artifisial atau buatan
sehingga situasinya tidak mewakili situasi kehidupan nyata dan bisa timbul bias pada
tahap aplikasi
3. Sedalam-dalamnya kajian ilmu, kajiannya masih pada tataran gejala atau fakta
sehingga secara sendirian tidak akan pernah secara tuntas memecahkan masalah
kehidupan. (Putra S T, 2010)

4.2 Pengertian Sesat Pikir

Sumaryono (1999:9) memberikan pengertian sesat pikir adalah proses penalaran atau
argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan, suatu gejala berpikir
yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan
relevansinya.
Surajiyo (2009:105) mengatakan kesesatan penalaran dapat terjadi pada siapa saja,
bukan karena kesesatan dalam fakta-fakta, tetapi dari bentuk penarikan kesimpulan yang
sesat karena tidak dari premis-premis yang menjadi acuannya.
Sesat pikir dapat terjadi ketika menyimpulkan sesuatu lebih luas dari dasarnya.
Contoh:
Kucing berkumis.
Ali berkumis.
Jadi, Ali Kucing.
Silogisme di atas, merupakan sesat pikir dalam menyimpulkan, karena Ali dikatakan
kucing. Konklusi ini menyesatkan dan bisa marah yang bersangkutan kepada yang
mengatakannya. Ali yang bersangkutan dikatakan kucing yang bukan kucing melainkan
orang atau manusia yang memiliki martabat, bisa emosi dan memukul kepada yang
menyampaikannya karena merasa diturunkan martabatnya.
Bentuk sesat pikir berdasar pembagian, yaitu: musim menurut kegiatannya dapat dibagi
menjadi: musim tanam, musim kemarau, musim menyiangi, musim hujan, dan musim panen.
Dalam pembagian ini ada yang sesat pikir, yaitu musim kemarau dan musim hujan karena
kedua musim itu bukan kegiatan.
Sesat pikir dalam bentuk lain, misalnya Natsir mengatakan Bambang sangat mencintai
istrinya, lalu disambung oleh Dahri dengan kata “dan saya juga”. Ucapan Dahri mengatakan
“dan saya juga” merupakan sesat pikir, yaitu dapat diartikan bahwa Dahri juga mencintai
istrinya Said. Pada hal yang ia maksudkan adalah Dahri juga mencintai istrinya sendiri.
Dari pengertian dengan tiga contoh sesat pikir yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan sesat pikir sebagai proses penalaran atau argumentasi yang tidak ketemu, atau
salah arah pada sasaran yang dimaksudkan. Walaupun proses berpikir semacam ini
menyesatkan, tetap juga hal ini sering dilakukan. Atas dasar inilah maka dipandang perlu
untuk mengetahui lebih lanjut, sumber, jenis-jenis dan latar belakang terjadinya proses sesat
pikir tersebut.

4.3 Fenomena Sesat Pikir

Sumaryono (1999:9) term “kepalsuan” dapat dipergunakan dalam berbagai


kemungkinan. Yang paling lazim, term tersebut dipergunakan untuk menggambarkan
gagasan yang keliru atau keyakinan yang salah. Dalam logika, term tersebut dipergunakan
dalam arti yang lebih sempit, yaitu palsu berarti keliru dalam menalar atau dalam
berargumen.
Motivasi pokok seseorang menyusun sebuah argumen adalah untuk membuktikan
bahwa kesimpulan yang ia peroleh dalam menalar adalah benar. Sebuah argumen ada
kemungkinan gagal dalam memanuhi tujuan tersebut. Ada dua kemungkinan kegagalan
argumen.
4. Kegagalan dapat terjadi karena suatu argumen membuat premis yang terbentuk dari
proposisi yang keliru. Jika sebuah argumen memuat satu premis yang keliru, maka
argumen tersebut akan gagal dalam menempatkan kebenaran konklusinya

Contoh:
Premis 1: ABRI harus menjalankan dwifungsi sipil-militer
Premis 2: Tentara bayaran tidak memperhatikan fungsi sipil
Konklusi: Jadi, ABRI tanpa dwifungsi akan sama dengan tentara bayaran
5. Kegagalan dapat terjadi karfena suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang
tidak berhubungan deengan konklusi yang akan dicari. Di sini logika berperanan penting.
Sebuah argumentasi yang premis-premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulannya
merupakan argumen yang “sesat” sekalipun semua premisnya itu mungkin benar. Di
dalam jenis kegagalan yang kedua inilah terdapat apa yang disebut sesat pikir.

Contoh:
Premis 1: Sifat Tuhan adalah kekal abadi
Premis 2: Pancasila memuat nilai-nilai yang kekal abadi
Konklusi: Tuhan dan Pancasila adalah identik
Selanjutnya dalam sumber yang sama, Sumaryono mengemukakan ada banyak jenis
kekeliruan yang dilakukan orang dalam melaksanakan penalaran atau dalam berargumen.
Setiap kekeliruan dalam menalar itu merupakan argumen yang salah.

4.4 Sumber-sumber Kesesatan

Surajiyo (2009:107) mengemukakan sumber kesesatan dapat terjadi di dalam logika


deduktif, dan logika induktif. Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah memperoleh
kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata yang memiliki banyak
arti yang didalam logika disebut kesalahan semantik atau bahasa. Kesalahan semantik itu
dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai
cara, misalnya menunjukkan langsung adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan
konotasi sejati. Memilih kata-kata yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian
yang tepat, apakah konotasi subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang bersifat
universal atau partikular. Dapat juga dengan konotasi subjektif yang berlaku khusus atau
objektif yang bersifat komprehensif.
Kesesatan di dalam logikan induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi,
pengamatan yang tidak lengkapatau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan
karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun masih campur aduk.
Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan dan
bertentangan dengan fakta. Kemudian yang berkaitan dengan sebab adalah post hoc propler
hoc, anteseden yang tidak cukup, dan analisis yang perbedaannya tidak cukup meyakinkan.
Tidak cukupnya perbedaan itu menjadikan-nya suatu kecenderungan homogen, masihj pula
terdapat kebersamaan yang sifatnya kebetulan. Kesesatan juga terjadi karena generalisasi
yang tergesa-gesa, atau analogi yang keliru.

4.5 Berbagai Jenis Sesat Pikir

Rapart (1996:92) mengemukakan pada umumnya sesat pikir di bagi ke dalam tiga jenis,
yaitu sesat pikir karena semantik (bahasa), sesat pikir formal, dan sesat pikir material.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Sesat Pikir Karena Bahasa

Sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan semantik (bahasa), sebagai
berikut:
a. Menggunakan term ekuivokal

Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak dapat
berarti ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat juga berarti pohon yang
sering ditanam sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar. Sesat pikir yang
disebabkan oleh penggunaan term ekuivokal disebut sesat pikir ekuivokasi (fallacy
of equivocation).
b. Menggunakan term metaforis

Term metaforis adalah kata atau sekelompok kata yang digunakan bukan dalam arti
yang sebenarnya. Misalnya: Pemuda adalah tulang punggung negara. Sesat pikir
yang disebabkan oleh penggunaan term metaforis disebut sesat pikir metaforisasi
(fallacy of metaphorization)
c. Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata
Ada kata-kata yang apabila aksennya diubah akan memiliki arti yang berbeda.
Misalnya: apel: jika tekanan tgerletak pada huruf “a” artinya ialah pohon/buah apel,
tetapi jika tekanan terletak pada suku kata “pel”, artinya ialah apel bendera, dan
sebagainya. Sesat pikir yang terjadi karena aksen disebut sesat pikir aksen (fallacy of
accent)
d. Menggunakan kontruksi kalimat bermakna ganda

Kalimat yang bermakna ganda disebut amfiboli (amphyboly). Amfiboli terjadi


apabila sebuah kalimat disusun sedemikian rupa sehingga arti kalimat itu dapat
ditafsirkan secara berbeda-beda. Contoh: Ali mencintai kekasihnya dan demikian
pula saya! Kalimat itu bisa berarti: Ali mencintai kekasihnya dan saya juga
mencintai kekasih ali. Atau bisa juga berarti: Ali mencintai kekasihnya dan saya
mencintai kekasih saya

2. Sesat Pikir Formal

Sesat pikir formal terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi bentuk
(form) penalaran yang sahih. Jenis-jenis sesat pikir formal adalah sebagai berikut.
a. Sesat pikir empat term (fallacy of for terms)

Bentuk silogisme yang sahih ialah silogisme yang hanya memiliki tiga term yang
masing-masing disebut dua kali. Apabila dalam sebuah silogisme terdapat empat
term, benntuk silogisme itu tidak sahih. Hal itu melanggar ketentuan pertama
mengenai term-term silogisme (lihat ketentuan mengenai term-term silogisme)
b. Sesat pikir proses tak sah (fallacy of illicit process)

Sesat pikir yang terjadi karena term premis tidak berdistribusi tetapi term konklusi
berdistribusi. Hal ini melanggar ketentuan keempat mengenai term-term silogisme
(lihat ketentuan mengenai term-term silogisme)
c. Sesat pikir term tengah tak berdistribusi (fallacy of undistributed)

Sesat pikir yang terjadi karena term tengah tiedak berdistribusi, padahal untuk
memeperoleh konklusi yang benar term tengah sekurang-kurang satu kali
berdistribusi. Hal ini melanggar ketentuan ketiga mengenai term-term silogisme (lihat
ketentuan mengenai term-term silogisme)
d. Sesat pikir dua premis negatif (fallacy of two negative premises)
Sesat pikir ini terjadi karena menarik konklusi dari dua buah premis negatif pada hal
dari dua premis negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar. Hal itu melanggar
ketentuan kedua dari ketentuan-ketentuan menganai premis-premis (lihat ketentuan
premis)

3. Sesat Pikir Material


Sesat pikir material ialah sesat pikir yang terjadi bukan karena bahasa atau bentuk penalaran
yang tidak sahih, melainkan yang terjadi pada materi atau isi penalaran itu sendiri. Surajiyo
(2009:111) menyebutnya sebagai kesesatan relevansi. Sesat pikir macam ini sering kali
disengaja guna membangkitkan emosi atau mengalihkan perhatian seseorang ataupun
sekelompok orang dari masalah yang dipersoalkan. Hal seperti ini sering dipergunakan untuk
memperdayakan lawan bicara. Cara penyajiannya yang sering meyakinkan, tetapi faktanya
justru sangat kabur ataupun bukan yang sedang dibahas. Jadi, kesesatan relevansi timbul
kalau orang menurunkan suatu kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya, artinya
secara logis kesimpulan tidak terkandung atau tidak merupakan implikasi dari premisnya.
Jenis-jenis sesat pikir material adalah sebagai berikut:
a. Argumen terhadap orangnya (Argumentum ad hominem)
Sesat pikir ini terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan yang
sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi orang yang menjadi lawan bicara
b. Argumen untuk mempermalukan (Argumentum ad verecundiam)
Sesat pikir ini terjadi karena agumentasi yang diberikan memang sengaja tidak terarah kepada
persoalan yang sesungguhnya, tetapi dibuat sedemikian rupa untuk membangkitkan perasaan
malu si lawan bicara. Contoh: “Jika Anda benar-benar seorang pembela kebenaran, Anda
pasti akan membenarkan saya karena apa yang saya katakan selalu benar!” Hal itu sering pula
dilakukan oleh pemasang iklan Misalnya: “Orang yang benar-benar bijaksana adalah orang
yang selalu menggunakan produk kami!”
c. Argumen berdasarkan kewibawaan (Argumentum auctoritatis)
Dalam suatu diskusi, tiba-tiba seseorang mengatakan demikian: “Saya yakin apa yang
dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang beliau,
seorang tokoh yang sangat dihormati dan seorang doktor yang jenius!” Jelas terlihat bahwa
argumen yang dikemukakan oleh orang tersebut tidak berdasarkan penalaran sebagaimana
mestinya, tetapi didasarkan pada kewibawaan si pembicara terdahulu. Sesat pikir seperti itu
yang perlu dihindari.
d. Argumen ancaman (Argumentum ad baculum)
Argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan
bahwa jika menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan.
e. Argumen belas kasihan (Argumentum ad misericordiam)
Sesat pikir ini sengaja terarah untuk membangkitkan rasa belas kasihan si lawan bicara
dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan
f. Argumen demi rakyat (Argumentum ad populum)
Argumen ini dibuat untuk menghasut massa, rakyat, kelompok untuk membakar emosi
mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi suatu usul atau program
adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri. Argumen ini bertujuan untuk
memperoleh dukungan aatau membenarkan tindakan si pembicara.
g. Argumen ketidaktahuan (Argumentum ad ignorantiam)
Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak mengetahu apa pun
juga mengenai sesuatu itu, hal itu adalah sesat pikir. Belum tentu bahwa apa yang tidak
diketahui itu benar-benar tidak ada. Sesat pikir yang demikian disebut argumentum ad
ignorantiam
E. Strategi Menghindari Sesat Pikir
Istilah strategi adalah suatu akal pikiran untuk mencapai sesuatu yang dimaksud. Strategi di
sini, diartikan sebagai suatu akal pikiran untuk menghindari penalaran yang tidak logis atau
salah arah, menjadi penalaran untuk mencapai sesuatu yang dimaksud.
Salah satu strategi menghindari sesat pikir, yaitu dengan menghindari sumber penyebabnya.
Sumaryono (1999:21) dan Surajiyo (2009:115) mendeskripsikan sesat pikir pada hakikatnya
merupakan jebakan bagi proses penalaran kita. Seperti halnya rambu-rambu lalu lintas
dipasang sebagai peringatan bagi para pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan
kecelakaan, maka rambu-rambu sesat pikir ditawarkan kepada kita agar kita jeli dan cermat
terhadap kesalahan-kesalahan dalam menalar, juga agar kita mampu mengidentifikasi dan
menganalisis kesalahan-kesalahan tersebut sehingga mungkin kita akan selamat dari
penalaran palsu
Oleh Karena itu, untuk menghindari kesesatan penalaran dengan berhati-hati terhadap
sumber-sumber sesat pikir misalnya dengan menghindari kesalahan semantik atau bahasa,
senantiasa melakukan penyimpulan sesuai ketentuan silogisme yang benar, dan bersikap
kritis terhadap setiap argumen. Dalam hal ini, peneliti terhadap peranan bahasa dan
penggunaannya merupakan hal yang sangat menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan
keanekaragaman penggunaan bahasa dapat dimanfaatkan untuk memperoleh konklusi yang
benar dari sebuah argumen.
Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi secara sangat “halus”. Banyak kata
yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak kata yang memiliki rasa dan makna
yang berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya sesat pikir tersebut, kita harus
mengupayakan agar setiap kata atau kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu
kita harus dapat mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan dan Saran

Penalaran atau metode berpikir ilmiah menghendaki pembuktian kebenaran secara


terpadu antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual, serta menggabungkan penalaran
dedukatif dan induktif dengan menggunakan asumsi dasar atau hipotesa sebagai jembatan
penghubungnya.
Induksi dan deduksi sebagai penalaran atau metode ilmiah bukan tanpa kekurangan,
karena itu tugas kita adalah mencoba identifikasi apa kelebihan dan kekurangan metode
ilmiah ini. Tujuannya adalah untuk mendapatkan metode penalaran ilmiah yang menghendaki
pembuktian kebenaran secara terpadu antara kebenaran rasional dan kebenaran faktual,
menggabungkan penalaran deduktif dan induktif dengan menggunakan hipotesis sebagai
jembatan penghubungnya. Sehingga dari sini diharapkan dapat melahirkan alur penalaran
ilmiah yang baik dan benar.
REFERENSI

Adib, Muhammad. 2009. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi,Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Bao L, Cai T, Koenig K, et al. 2009. Learning and scientific reasoning. Science 323: 586-7.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. https://kbbi.web.id/nalar-2 diakses pada tanggal 20
Juli 2019
Kebung, Konrad. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta. PT. Prestasi Pustakarya
Musofa I. 2016. Jendela logika dalam berfikir: deduksi dan induksi sebaga dasar penalaran
ilmiah. El-Banat 6(2): 122-42.
Putra ST, 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press
Rapar HJ, 1996. Pengantar Logika : asas-asas penalaran sistematis. Yogyakarta : Kanisius
Suhartono T. P., Harjanto, 2010, Filsafat Ilmu Kedokteran, Surabaya: Airlangga University
Press.

Sumaryono E, 1999. Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius


Surajiyo, 2009. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Suriasumantri, Junjun S. 2009. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta.Yayasan Obor Indonesia
Zimmerman C. 2000. The development of scientific reasoning skills. Developmental Review
20: 99-149.

Anda mungkin juga menyukai