Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“Bernalar Ilmiah”
Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr., SpBS(K)

OLEH :
MKDU Kelompok 15
Mohammad Haedar Faraby, dr 519222005
Pradivo Luigi Akbar, dr 519222002
Anti Mangi Mangampa, dr 519222008
Wahyudi Eko Prasetyo, dr 502222023
Mega Agung Raskosa, dr 502222024
Mita Erna Wati, dr 511222005
Tyas Maslakhatien Nuzula, dr 511222006
Bona F. P. Banjarnahor, dr 507222009
Paullya Dwi Prasetyorini, dr 507222010
Abraham Fajar Wirawan, dr 505222005
Franky Santoso, dr 505222006

MATA KULIAH DASAR UMUM PPDS I

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2023
DAFTAR ISI

BAB I.....................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah dan Tujuan.................................................................................................2
BAB II....................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
A. Definisi.....................................................................................................................................3
B. Prinsip dan Dasar Bernalar Ilmiah............................................................................................4
C. Jenis penalaran Ilmiah.............................................................................................................5
D. Metode Ilmiah (Scientific Method)...........................................................................................8
1. Metode observasi....................................................................................................................9
E. Metode Berfikir Ilmiah...........................................................................................................12
F. Logika.....................................................................................................................................15
G. Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran non Ilmiah.........................................................................19
H. Kesalahan Penalaran..............................................................................................................21
1) Kelemahan Pola Pikir Ilmiah...................................................................................................21
BAB III.................................................................................................................................30
PENUTUP.............................................................................................................................30
A. Kesimpulan............................................................................................................................30
B. Saran......................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................31

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menalar, yaitu
kemamampuan untuk berpikir secara logis dan analistis, dan pada akhirnya menghasilkan
kesimpulan. Kemampuan ini berkembang dengan dukungan bahasa sebagai sarana
komunikasi verbal, sehingga hal-hal yang bersifat abstrak sekalipun mampu
dikembangkan pada taraf yang dapat mudah dipahami. Inilah mengapa dalam istilah
Aristoteles manusia disebut sebagai animal rationale. Oleh sebab itu, seorang
Cendekiawan hendaknya melakukan pekerjaannya secara sistematis, berpikir, dan
berlogika serta menghindari diri dari subjektifitas pertimbangannya.
Bernalar secara ‘ilmiah’ dapat dipahami menjadi dua. Pertama, penalaran
berkaitan dengan isi dari suatu ilmu. Seseorang akan terlibat dalam pemikiran ilmiah
apabila memikirkan tentang suatu entitas dan proses seperti atom, molekul, energi, massa,
gaya, astrofisika, atau geologi, dan sebagainya. Kedua, yaitu penalaran yang mencakup
serangkaian proses penalaran dalam bidang sains: induksi, deduksi, desain eksperimental,
sebab akibat, pembentukan konsep, pengujian hipotesis dan sebagainya. Proses penalaran
tersebut pada hakikatnya hamper sama dengan proses berpikir sehari-hari, hanya saja
prosesnya menggunakan suatu definisi konsep dan kesimpulan yang lebih tepat, bahan
eksperimental yang lebih rinci dan sistematik, serta logis. Pendapat di atas juga didukung
oleh pernyataan bahwa suatu penemuan yang hebat terletak pada hal-hal yang ditemukan,
bukan berdasarkan caranya.
Bagi para mahasiswa, bernalar ilmiah merupakan suatu alat bantu untuk mencari
ilmu. Oleh karena itu, bernalar ilmiah akan menjadi sebuah ketrampilan yang dapat
membantu mereka dalam pengembangkan dan peningkatkan ilmu dan teknologi. Bernalar
ilmiah akan melatih individu agar menjadi terampil dalam pemecahan masalah yang
melibatkan proses menghasilkan, menguji, dan merevisi hipotesis atau teori, serta
mengobservasi dan merefleksikan proses perolehan pengetahuan dan perubahan
pengetahuan dengan penyajian hasil data yang objektif dan argumen-argumen yang tepat.

1
2

Individu yang bernalar ilmiah diharapkan akan dapat mengembangkan ide dan ilmu
pengetahuan lebih banyak lagi.

B. Rumusan Masalah dan Tujuan


1. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah yang dimaksud dengan bernalar ilmiah?
b. Apa saja ciri/karakteristik dari bernalar ilmiah?
c. Apa saja jenis penalaran ilmiah?
d. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari bernalar ilmiah?

2. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengertian dari bernalar ilmiah
b. Untuk mengetahui ciri/karakteristik dari bernalar ilmiah
c. Untuk mengetahui jenis-jenis penalaran ilmiah
d. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan bernalar ilmiah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Proses berpikir sebenarnya melibatkan empat unsur penting, yaitu otak yang sehat,
panca indera, informasi atau pengetahuan sebelumnya, dan fakta. Oleh karena itu, definisi
dari akal, pemikiran, dan proses berpikir adalah mengindra fakta melalui panca indera ke
dalam otak untuk menafsirkan fakta yang diperoleh dari informasi sebelumnya (Adib, 2015).
Bernalar memiliki arti berpikir secara logis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016),
sementara penalaran mengacu pada cara menggunakan nalar dalam memikirkan atau
mengembangkan sesuatu tanpa melibatkan perasaan atau pengalaman, serta proses mental
dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip (KBBI, 2019).
Secara umum, bernalar secara 'ilmiah' dapat dijelaskan dengan dua cara. Pertama,
bernalar mengenai isi dari suatu ilmu, yang melibatkan pemikiran tentang entitas dan proses
ilmiah seperti gaya, massa, energi, atom, radiasi, geologi, astrofisika, dan sejenisnya. Kedua,
bernalar melalui serangkaian proses penalaran dalam bidang sains, termasuk induksi,
deduksi, desain eksperimental, sebab-akibat, pembentukan konsep, pengujian hipotesis, dan
lainnya. Meskipun sama-sama melibatkan proses berpikir, bernalar secara ilmiah
menggunakan definisi konsep dan kesimpulan yang lebih tepat, bahan eksperimental yang
lebih rinci dan sistematik, serta logis. Namun, pada akhirnya, suatu penemuan yang hebat
lebih bergantung pada hal-hal yang ditemukan, bukan hanya pada cara penalarannya
(Dunbar, 2012).
Pola pikir penalaran memiliki karakteristik yang logis, sistematik, dan analitik. Pola
pikir logis dalam penalaran melibatkan penggunaan alur dan urutan yang jelas dan koheren
untuk mencapai suatu kesimpulan yang dapat diterima secara rasional. Sedangkan pola pikir
analitik dalam penalaran melibatkan kemampuan untuk memecah masalah menjadi bagian-
bagian yang lebih kecil, mempertimbangkan faktor-faktor yang terlibat dalam suatu
masalah, dan mengajukan pertanyaan kritis untuk memahami masalah secara lebih
mendalam. Proses penalaran dalam kegiatan berpikir dimulai dari suatu premis atau pangkal
pikir yang kemudian digunakan untuk menarik kesimpulan. (Putra, 2010).
3
4

Sikap ilmiah merupakan perilaku yang berguna untuk membangun pola pikir dan
komunikasi ilmiah secara efektif yang terdiri dari: (Putra, 2010)
1. Selalu ingin mencari tahu atau curious
2. Rasional yakni logis dan kritis (analitik)
3. Independen, yang artinya berorientasi pada kebenaran dan bukan pada individu
4. Faktual yakni berdasarkan fakta atau evidence based
5. Objektif
6. Jujur dalam menyampaikan kebenaran
7. Terbuka dan hormat terhadap pendapat lain yang berbeda
8. Etis dalam berkomunikasi
9. Berorientasi pada kepentingan kemanusiaan
10. Skeptis dan pragmatis yaitu kebenaran ilmiah bersifat sementara sampai terdapat
kebenaran baru yang lebih terpercaya.
11. Sabar dan ulet untuk menemukan kebenaran
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir ilmiah merupakan pola pikir berdasarkan
fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip-prinsip analisis, menggunakan hipotesis,
menggunakan ukuran objektif, dan menggunakan teknik kuantifikasi yang prosesnya
menggunakan pola pikir ilmiah secara logis (lewat pengetahuan yang didapatkan dengan
cara berpikir kritis) maupun empiris (lewat pengalaman). (Adib 2015)

B. Prinsip dan Dasar Bernalar Ilmiah


Prinsip dalam penulisan ilmiah melibatkan penggunaan bahasa yang tepat dan logis
dalam membahas fakta secara sistematis. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan menalar
secara ilmiah untuk menghasilkan sebuah karya yang didasari oleh pemikiran penalaran
yang tepat. Proses penalaran tersebut dapat menghasilkan kesimpulan yang logis
berdasarkan fakta yang relevan, sehingga penting untuk memiliki dasar yang kuat dalam
menarik kesimpulan yang tepat. Terdapat empat prinsip penalaran, tiga di antaranya berasal
dari Aristoteles dan satu prinsip lainnya dari George Leibniz (Surajiyo, 2015).
a. Prinsip Identitas:
5

Prinsip Identitas atau Principium Identitatis berbunyi: “sesuatu hal adalah sama dengan
halnya sendiri”. Dengan kata lain “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang
dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.
b. Prinsip Kontradiksi (principium contradictionis):
Prinsip Kontradiksi atau Principum Contradictionis berbunyi: “sesuatu tidak dapat
sekaligus merupakan hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuai pernyataan tidak
mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain,
“sesuatu tidaklah mungkin secara bersama merupakan p dan non p”.
c. Prinsip ekslusi tertii (principium exclusi tertii):
Prinsip Ekslusi Tertii atau Principium Exclusi Tertii berbunyi: “sesuatu jika dinyatakan
sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang
merupakan jalan tengah”. Dengan kata lain “sesuatu x mestilah p dan non p tidak ada
kemungkinan ketiga”. Hanya salah satu sifat yang dimiliki (p atau non p) dari dua sifat
yang berlawanan penuh, tidak mungkin keduanya dimiliki.
Leibniz, seorang filsuf Jerman, menambahkan Prinsip Cukup Alasan atau Principium
Rationis Sufficientis sebagai tambahan untuk prinsip identitas. Dalam kutipan yang
disebutkan oleh Surajiyo (2015), prinsip ini menyatakan bahwa "suatu perubahan yang
terjadi pada suatu objek tertentu haruslah memiliki alasan yang cukup, tidak mungkin
terjadi secara tiba-tiba tanpa sebab yang mencakupinya". Dengan kata lain, "keberadaan
suatu objek haruslah memiliki alasan yang cukup, demikian pula ketika terjadi perubahan
pada keadaannya".

C. Jenis penalaran Ilmiah


Salah satu karakteristik sains yang paling mendasar adalah asumsi para ilmuwan bahwa
alam semesta tempat kita hidup mengikuti aturan yang dapat diprediksi. Alasan ilmuwan
menggunakan berbagai strategi berbeda untuk membuat penemuan ilmiah baru. Tiga jenis
strategi penalaran yang sering digunakan para ilmuwan adalah penalaran induktif, abduktif,
dan deduktif ( Dunbar & Klahr, 2013).
1. Induktif
Penalaran induktif merupakan cara berpikir untuk menarik kesimpulan dari
pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular menjadi hal yang umum atau universal.
6

Dapat diartikan bahwa penalaran ini berlandaskan pada kenyataan yang bersifat terbatas
dan khusus lalu disimpulkan ke dalam pernyataan yang bersifat kompleks dan umum
(Mustofa, 2016). Mengeneralisasi atau membuat umum suatu hal dari kasus-kasus yang
pernah kita lihat atau alami untuk menarik kesimpulan merupakan esensi dari penalaran
induktif (Sobur, 2015).
Penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang
bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Generalisasi dapat
dilakukan dengan dua metode (Mustofa, 2016):
a. Induksi lengkap
Generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal partikular yang mencakup
keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti. Contoh: penelitian di depan
setiap rumah di desa ada pohon kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan
pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki pohon kelapa”.
b. Induksi tidak lengkap
Dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau hanya sebuah hal khusus.
Dalam sebuah penelitian seringkali tidak memungkinkan untuk menggunakan
induksi lengkap, dalam hal ini digunakanlah induksi tidak lengkap. Induksi lengkap
dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti dan diamati
secara mendalam. Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan teliti, atau ada
yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka
diperolehlah induksi tidak lengkap. Contoh: sarjana luar negeri lebih berkualitas
daripada sarjana dalam negeri.”
Kelebihan dari metode penalaran induktif (Mustofa, 2016) :
a. Dipandang dapat memberikan berbagai ilustrasi tentang ragam pengetahuan yang
akan dituju
b. Lebih mudah menemukan pola-pola suatu ilustrasi yang ada
c. Efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam suatu proses
pencapaian kesimpulan
Kelemahan dari metode ini adalah (Mustofa, 2016) (Sobur, 2015):
a. Tidak memberikan jaminan kebenaran dari kesimpulannya. Meskipun premis-
premisnya semua benar tidak otomatis membawa kebenaran pada kesimpulan yang
7

diperoleh. Kesimpulannya bukan merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-


premisnya karena berbagai faktor oleh karena itu diperlukan ketersediaan
pembimbing yang terampil
b. Sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang diamati, sehingga dibutuhkan
kondisi yang benar-benar kondusif dalam proses observsi, serta penyimpulannya
c. Waktu yang dibutuhkan cenderung lebih lama dari pada model deduktif dan
persiapan pelaksanaannya terkesan lebih banyak karena harus siap menghadapi
kondisi seperti apa pun.

2. Deduktif
Penalaran deduktif merupakan sebuah kerangka atau cara berpikir yang
berlandaskan dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai
sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus (Mustofa, 2016). Pola penarikan
kesimpulan dalam metode deduktif bermula dari dua pernyataan atau lebih yang biasa
disebut sebagai premis mayor dan premis minor kemudian mengambil sebuah
kesimpulan (Sobur, 2015).
Contoh dari penggunaan premis dalam deduksi:
Premis Mayor : Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa
Premis minor : Menipu merugikan orang lain
Kesimpulan : Menipu adalah dosa
Kelebihan jenis ini, yaitu fokus yang intens dalam menganalisa suatu pengertian
dari segi materinya, sehingga lebih efisien dalam penggunaan waktu. Selain itu
keterampilan yang digunakan bisa tersusun lebih rapi karerna poin-poin yang ingin
dicapai sudah jelas. Kelemahannya terletak pada aktifitas penarikan kesimpulan yang
dibatasi pada ruang lingkup tertentu. Selain itu yang dapat diuji kebenarannya hanaya
pada bentuk atau pola penalarannya bukan pada materi premisnya sehingga benar
salahnya premis (Mustofa, 2016)
8

3. Abduktif
Abduktif merupakan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang
mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan kejadian
yang kita amati (Sobur, 2015).
Penalaran abduktif adalah bentuk penalaran penting yang digunakan para
ilmuwan ketika mereka berusaha untuk mengusulkan penjelasan untuk peristiwa seperti
temuan tak terduga. Dalam kasus penalaran abduktif, penalar mencoba untuk
menghasilkan penjelasan bentuk “jika situasi X telah terjadi, dapatkah itu dihasilkan
bukti saat ini yang saya coba tafsirkan?” ( Dunbar & Klahr, 2013).

D. Metode Ilmiah (Scientific Method)

Dalam pembicaraan mengenai masalah ilmu pengetahuan, yang dimaksudkan

dengan metode adalah cara-cara penyelidikan yang bersifat keilmuan yang sering disebut

metode ilmiah (scientific methods). Metode ini perlu agar tujuan keilmuan yang berupa

kebenaran objektif dan dapat dibuktikan bisa tercapai. Dengan metode ilmiah kedudukan

pengatahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan yaitu menjadi lebih khusus dan terbatas

lingkup studinya (Suhartono, S. 2016).

Pada dasarnya didalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin ilmu apapun,

baik ilmu-ilmu humaniora, sosial maupun ilmu-ilmu alam masing-masing menggunakan

metode yang sama. Jika ada perbedaan, hal itu tergantung pada jenis, sifat dan bentuk

objek materi dan objek forma yang tercakup didalamnya pendekatan (approach), sudut

pandang (point of view), tujuan dan ruang lingkup masing masing disiplin ilmu

(Suhartono, 2016).

Metode dapat dipahami sebagai suatu proses atau prosedur yang sistematik

berdasarkan prinsip-prinsip dan tehnik-tehnik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin

(bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Jadi ia dapat dikatakan sebagai cara kerja
9

ilmiah. Sedangkan metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode-

metode, aturan-aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika

dibandingkan antara metode dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode

lebih bersifat khusus(Suhartono, 2016).

Menurut Peter R. Senn, metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu

yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi adalah suatu

pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut. Seperti

dijelaskan dalam pembahasan tentang objek, ilmu pengetahuan bertujuan untuk

memperoleh kebenaran ilmiah yaitu suatu kebenaran yang pasti tentang suatu objek

penyelidikan. Oleh sebab itu metode ilmiah yang dipergunakan mempunayi latar belakang

yaitu keterkaitannya dengan tujuan yang tercermin di dalam ruang lingkup ilmu

pengetahuan. Dengan adanya latar belakang yang demikian itu, maka metode ilmiah juga

cenderung bermacam-macam tergantung pada bahan atau problem yang diselidiki

menunjukkan beberapa indikasi antara lain: ada yang bersifat observasi (menurut

pengamatan ilmiah dengan menggunakan pengindraan untuk mengambil kesimpulan

tentang hubungan sebab dan akibat, serta arti situasi); ada yang secara trial dan eror

(melakukan percobaaan-percobaan untuk memperoleh keberhasilan); adapula yang

eksperimental (peniliti menggunakan tehnik mengontrol keadaan); dan ada yang dengan

cara statistik dan sampling (dengan mennetukan sampel, peneliti mengumpulkan data-data

untuk dianalisis dan diklasifikasikan untuk kepentingan induksi) (Salam, 2015).

1. Metode observasi
Diantara beberapa jenis metode itu, metode observasi sering dipakai oleh jenis

ilmu pengetahuan apapun. Observasi yang dimaksud adalah tentu saja yang bersifat

ilmiah. Artinya observasi harus tetap didalam konteks objektivitas. Dalam hal ini, kita
10

harus menyadari bahwa observasi tidak bisa disamakan begitu saja dengan

pengamatan biasa. Van Peursen menjelaskan perbedaan antara observasi dan

pengamatan. Dikatakan antara lain bahwa didalam observasi, subjektivitas diri perlu

dikesampingkan, sedangkan didalam pengamatan sehari-sehari amat bersifat

emosional (hal-hal seperti prasangka, pilih kasih dan sebagainya). Untuk pengamat

perlu membersihkan diri, melupakan apa yang sudah diketahui dan seolah-olah

melakukan pengamatan dengan mata baru (Salam, 2015).

Jika demikian halnya, observasi adalah langkah pertama yang menjamin derajat

ilmiah objektif. Agar objektivitas terjaga dengan baik, pengamat perlu menyadari

bahwa situasi pengamatan selalu tidak menentu (pengaruh keadaan subjek dan

kondisi objek itu sendiri). Seperti disarankan oleh Van Peursen, keadaan ini

mengharuskan untuk menemukan suatu kerangka teori observasi (berfungsi sebagai

alat pengukuran), peralatan observasi (untuk mempertajam pengamatan), pendidikan

ilmiah observasi (melatih kepekaan penangkapan gejala dan ketrampilan

menggunakan alat-alat observasi) dan mengingat bahwa setiap ilmu pengetahuan

memilki sifat khas yang berbeda-beda sehingga perlu menetukan suatu metode yang

tetap atau teori observasi yang sesuai dengan susunan menyeluruh dari ilmu

pengetahun tertentu agar observasi selalu terarah (Salam, 2015).

2. Metode trial dan error


Metode trial dan eeror atau metode trial and success telah dikenal secara

universal dan tidak memerlukan penjelasan secara panjang lebar. Karena sifatnya

yang universal, metode ini kurang dipergunakan secara popular oleh para ilmuwan

dalam kegiatan penelitian. Namun demikian khususnya untuk menguji kebenaran


11

hipotesis, metode trial error ada pula manfaatnya. Bagi ahli filsafat, metode ini

dipergunakan untuk menguji ide-ide atau system pemikiran sejauh mana tingkat

koherensi dan konsistensinya baik secara faktual maupun secara logika. Dengan

demikian metode ini cara kerjanya amat sederhana yaitu belajar sambil mengerjakan

(learning by doing) (Salam, 2015).

3. Metode eksperimen
Metode eksperimen berdasarkan pada prinsip metode penemuan sebab akibat

dan pengujian hipotesis. Agar pengamatan menjadi semakin teliti dan menjamin

kebutuhan akan objektivitas maka metode eksperimen berperan penting. Adapun cara

kerjanya adalah pengamat mengontrol kondisi atau keadaan, mengganti suatu faktor

pada suatu waktu dan membiarkan faktor-faktor lain tetap tanpa perubahan dan

mencatat hasilnya apakah ada perbedaan dalam hasil eksperimen. Metode ini lebih

sering dipakai dalam sains (Salam, 2015).

4. Metode statistik
Metode statistik lazim digunakan dalam ilmu pengetahuan pada umumnya.

Statistik dalam bahasa inggris statistic berarti a single term or datum in collection of

statistics. Jadi menyangkut masalah pengumpulan data. Bagaimana cara

mengumpulkan data, berhubungan erat dengan pengetahuan analisis dan cara-cara

klasifikasi. Dengan statistik memungkinkan kita melihat berbagai proses yang tidak

mungkin dapat kita lihat hanya melalui penggunaan alat indra saja. Statistik

memungkinkan kita untuk menjelaskan sebab akibat dan pengaruhnya, terhadap

fenomena-fenomena dan kita dapat membuat perbandingan-perbandingan dengan

menggunakan tabel dan grafik. Statistik juga meramalkan kejadian- kejadian yang

akan datang dengan tingkat ketepatan tinggi (Salam, 2015).


12

5. Metode sampling
Metode sampling terjadi apabila kita mengambil beberapa anggota atau

bilangan tertentu dari suatu kelas atau kelompok sebagai wakil dari keseluruhan

kelompok tersebut yaitu dengan tujuan satu sampel tersebut dapat mewakili secara

keseluruhan atau tidak. Dalam metode sampling hal yang paling penting di dalamnya

adalah bagaimana menetukan suatu contoh yang tepat sehingga dapat mewakili

keseluruhan. Persoalannya adalah pada objek yang sifatnya homogen sampel yang

dipilih secara acak pun memberikan akurasi tinggi, tetapi pada objek yang heterogen

maka peneliti harus berhati-hati. Banyak faktor yang harus diperhatikan sehingga

contoh-contoh dapat diambil dan ditentukan secara tepat dan bisa mewakili

keseluruhan (Salam, 2015).

E. Metode Berfikir Ilmiah

1. Paham Rasionalisme
Sejarah berpikir manusia menjelaskan perkembangan pola berpikir ilmiah dari

berpikir secara rasional. Paham rasionalisme menganggap bahwa akal adalah alat

pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal atau dinalar

dengan logis, kemudian diukur dengan akal apakah temuan tersebut logis atau tidak.

Benar bila logis dan salah bila tidak logis. Paham ini mengutamakan akal sebagai

sumber pengetahuan (Tafsir, 2001). Kelemahan metode ini adalah:

a. Pengetahuan yang didapat tidak selalu sesuai dengan kenyataan;

b. Tidak selalu memberikan informasi yang akurat;

c. Belum tentu diterima oleh orang lain (Pratisti and Yuwono, 2018).

Contoh kelemahan rasionalisme adalah “Aristoteles menyatakan secara logika


13

bahwa benda yang lebih berat akan jatuh lebih dahulu daripada benda yang lebih

ringan bila dijatuhkan dari ketinggian yang sama”. Secara logika, pendapat tersebut

tampak masuk akal (logis) dan diterima oleh sebagian besar orang. Namun, setelah

melalui percobaan pembuktian ternyata pendapat tersebut tidak benar (Pratisti and

Yuwono, 2018).

Berpikir secara rasionalisme, seperti yang kita tahu, tidak selalu menghasilkan

temuan yang sesuai dengan kenyataannya. Meskipun demikian, rasionalisme

digunakan peneliti dalam merangkai dan menghubungkan teori-teori yang ada dan

selanjutnya digunakan sebagai landasan dalam menyusun hipotesis yang akan diuji

dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan itulah yang digunakan untuk membuktikan

kebenaran yang diperoleh dari berpikir melalui metode rasionalisme (Pratisti and

Yuwono, 2018).

2. Paham Empirisme
Paham empirisme berkembang karena keresahan akan paham rasionalisme

yang lebih mengutamakan akal dan kurang peka terhadap bukti-bukti atau pengalaman

empiris. Paham empirisme mengajarkan bahwa yang benar adalah yang logis dan ada

bukti empirisnya (Tafsir, 2001; Pratisti and Yuwono, 2018). Namun, pada paham ini

bukti empirisnya bersifat umum yang tidak terukur dan bergantung dari perantara

indera. Indera manusia memiliki keterbatasan dan kadang menipu, karena dipengaruhi

oleh hal-hal yang bersifat subjektif (persepsi, motivasi, atau pengalaman sebelumnya).

Sehingga, kebenaran empirisme juga tidak selalu benar atau sesuai kenyataan (Pratisti

and Yuwono, 2018).

Contoh paham empirisme adalah “John Locke melakukan percobaan dengan

menggunakan 3 ember berisi air. Ember pertama berisi air hangat, ember ketiga berisi
14

air dingin, dan ember kedua berisi campuran air hangat dan air dingin. Locke meminta

seorang subjek memasukkan tangan kanannya pada ember pertama dan tangan kirinya

pada ember ketiga. Setelah itu, Locke meminta subjek untuk memasukkan kedua

tangannya pada ember kedua secara bersamaan. Menurut subjek, tangan kanannya

merasakan sejuk sedangkan tangan kirinya merasakan hangat, padahal keduanya

berada pada ember yang sama dengan kondisi air yang sama.” Percobaan yang

dilakukan oleh Locke membuktikan bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh

pengalaman sebelumnya. Percobaan tersebut sekaligus membuktikan bahwa temuan

empirisme tidak selalu benar atau sesuai kenyataan. Sifat bukti yang ada tidak terukur

dan hanya

melalui penginderaan. Namun begitu, empirisme sangat dibutuhkan dalam ilmu

pengetahuan sebagai sarana pengumpulan data secara ilmiah (Pratisti and Yuwono,

2018).

3. Paham positivisme
Ketidakpuasan akan paham rasionalisme dan empirisme melahirkan paham

positivisme. Paham ini menggabungkan penalaran secara deduktif (rasionalisme) dan

induktif (empirisme) dengan pembuktian fakta empiris yang dapat diukur. Bernalar

ilmiah mengikuti konsep dari positivisme, yaitu kebenaran atau pengetahuan

diperoleh melalui metode yang ilmiah, melalui langkah-langkah logico-hypothetico-

verificatif (Tafsir, 2006; Supriyanto, 2013).

Langkah pertama adalah meragu-ragukan dan menguji secara rasional suatu

anggapan atau pernyataan. Setelah merumuskan suatu masalah, dilakukan perenungan

untuk menguji secara rasional (logis) bahan-bahan yang dapat diterima sebagai hal

yang benar dan menolak bahan yang tidak cukup kebenarannya (Kattsoff, 1992).
15

Dengan kata lain, langkah pertama adalah menguji apakah pernyataan atau teori yang

ada itu logis. Setelah bahan-bahan tersebut disajikan menjadi suatu kerangka pikir,

kerangka pikir yang dibentuk akan menunjang perumusan suatu hipotesis dan

mengukuhkannya (Kattsoff, 1992).

Hipotesis adalah pernyataan yang sudah benar secara logika, namun belum ada

bukti empirisnya. langkah selanjutnya adalah menguji hipotesis dengan melakukan

pengumpulan dan pengamatan empiris atau melakukan suatu eksperimen. Kemudian

dari bukti-bukti yang ada dilakukan penarikan kesimpulan. Verifikasi merupakan

proses agar suatu penalaran dapat membawa kita pada kesimpulan yang dapat diterima.

Penalaran yang logis yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperkirakan benar dapat

membawa kita pada kesimpulan yang benar. Pada dasarnya hanya ada dua metode

untuk melakukan verifikasi, yaitu observasi dan hukum kontradiksi. Observasi yaitu

melakukan pengamatan terhadap fakta-fakta dari suatu pernyataan untuk dilakukan

verifikasi. Suatu pernyataan yang dapat diuji dengan pengalaman/fakta yang dapat

diulangi kembali baik oleh yang menggunakan pernyataan tersebut maupun oleh orang

lain, maka pernyataan tersebut lulus dalam uji pengamatan. Sedangkan, metode

kontradiksi yaitu mencoba membuktikan bahwa fakta-fakta dari suatu pernyataan

bertentangan dengan pernyataan itu sendiri ataupun dengan pernyataan-pernyataan

lainnya (Kattsoff, 1992).

F. Logika
1. Definisi Logika
Menurut Bahasa (Etimologi)
Logika berasal dari kata Yunani Kuno yaitu (Logos) yang artinya hasil pertimbangan
akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa (Amsal, 2004).
16

“Logika” diturunkan dari kata sifat “Logike” (Bahasa Yunani) yang berhubungan
dengan kata benda “Logos” yang artinya fikiran. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara fikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa.
Berfikir adalah suatu kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan. Logika adalah
pengetahuan dari bidang filsafat yang mempelajari tentang teknik, aturan, dan hukum
– hukum penalaran/berfikir dengan semestinya/seharusnya agar dapat memperoleh
kesimpulan yang benar (Afraniati, 2002)
Menurut para ahli
a. Irving M.Copy > Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum –
hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran
yang salah.).
b. M.Sommer > Logika adalah ilmu pengetahuan tentang karya – karya akal budi
untuk membimbing menuju yang benar > Ilmu Pengetahuan : dasar dari logika,
Karya Akal Budi : sasaran logika, Membimbing menuju yang benar : tujuan
logika.
c. The Liang Gie > Logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan filsafat
yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan penalaran yang betul.

2. Tipe Tipe Logika


Logika dalam arti sempit adalah searti dengan logika deduktif atau logika
formal, sedangkan dalam arti luas pemakaian logika terkait tentang sistem-sistem.
Yaitu mencakup asas-asas paling umum mengenai pembentukan pengertian, inferensi
dan tatanan (logika formal atau logika simbolik).
a. Sifat dasar dan syarat pengetahuan dengan objek yang diketahui, ukuran
kebenaran, kaidah-kaidah pembuktian (epistemologi).
b. Metode-metode untuk mendapatkan pengetahuan dalam penyelidikan-
penyelidikan ilmiah (metodologi).
Logika Deduktif dan Logika Induktif
Logika deduktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas
penalaran yang bersifat deduktif, yaitu penalaran yang merumuskan suatu kesimpulan
sebagai kemestian dari pangkal pikiran sehingga bersifat betul menurut bentuk dan
17

bekerjanya akal, yakni runtutannya serta kesesuaiannya dengan langkah-langkah dan


aturan-aturan yang berlaku sehingga penalaran yang terjadi adalah tepat.
Sedangkan logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari
asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah kesimpulan umum.
Logika Formal dan Logika Material
Logika formal adalah mempelajari asas aturan atau hukum-hukum berfikir yang
harus ditaati agar orang dapat berfikir dengan benar mencapai kebenaran.
Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil
logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis sesungguhnya. Logika
material mempelajari sumber-sumber dan asalnya pengetahuan, proses terjadinya
pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu
Logika Murni dan Logika Terapan
Logika murni merupakan suatu pengetahuan mengenai asas-asas dan aturan-
aturan logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari pernyataan-
pernyataan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam sesuatu cabang ilmu dari istilah
yang dipakai dalam pernyataan-pernyataan yang dimaksudkan.
Logika terapan adalah pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang
ilmu, bidang-bidang filsafat dan juga dalam pembicaraan yang menggunakan bahasa
sehari-hari.

Logika Filsafat dan Matematik


Logika filsafat dipertentangkan dengan logika matematik. Logika filsafat
(Philosophical Logic) merupakan ragam logika yang masih berhubungan erat dengan
pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban (Deontic Logic) dengan
etika atau logika arti (Intentional Logic) dengan metafisika.
Logika Matematika merupakan ragam logika yang menelaah penalaran yang
benar dengan menggunakan metode-metode matematik serta bentuk-bentuk,
lambang-lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda atau
kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa. Logika jenis ini sangat teknis dan dan
ilmiah. Logika matematika yang juga dianggap searti dengan logika simbolik disebut
dengan Technical Logic Scientific Logic. (Afraniati. 2009)

3. Tujuan Belajar Logika


18

Tujuan logika adalah sebagai studi ilmiah untuk memberikan prinsip – prinsip dan
hukum – hukum berpikir yang benar, antara lain (Afraniati, 2002) :
a. Logika menyatakan, menjelaskan dan mempergunakan prinsip – prinsip
abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan.
b. Pelajaran logika menambah daya berpikir abstrak dengan demikian melatih dan
menggembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual.
c. Logika mencegah kita tersesat dalam berfikir.
d. Menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi yang
tepat.
e. Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat dan teratur untuk
mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan

4. Logika dan Penalaran Ilmiah


Penalaran merupakan proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera
(pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan
pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis,
berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang
menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah
yang disebut menalar.
Logika mempelajari masalah penalaran dan tidak semua kegiatan berpikir itu
adalah sebuah penalaran. Kegiatan penalaran dalam logika disebut juga dengan penalaran
logis. Penalaran adalah proses dari akal manusia yang berusaha untuk menimbulkan suatu
keterangan baru dari beberapa keterangan yang sebelumnya sudah ada. Dalam logika,
keterangan yang mendahului disebut premis, sedangkan keterangan yang diturunkannya
disebut kesimpulan. Penalaran dianggap sebagai konsep kunci yang menjadi pembahasan
dalam logika. Penalaran adalah suatu corak pemikiran khas yang dimiliki manusia untuk
memecahkan suatu masalah.
Penalaran merupakan proses berpikir untuk mendapatkan pengetahuan. Supaya
pengetahuan yang didapat benar maka penarikan kesimpulan harus dilakukan dengan
benar atau mengikuti pola tertentu. Cara penarikan kesimpulan disebut logika. Ada dua
cara penarikan kesimpulan yaitu logika induktif dan logika deduktif.
19

Induksi merupakan cara berpikir dengan melakukan penarikan kesimpulan yang


bersifat umum/general berdasarkan kasus-kasus individu/spesifik. Kentungan kesimpulan
yang bersifat umum ini yang pertama adalah ekonomis. Dan yang ke 2 bahwa kesimpulan
umum ini memungkinkan proses penalaran berikutnya baik induktif maupun deduktif.
Dengan demikian memungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan secara sistematis
Deduksi merupakan cara berpikir untuk melakukan penarikan kesimpulan dari
peryataan umum menjadi pernyataan khusus. Penalaran deduktif menggunakan pola
berpikir silogisme. Dari premis mayor dan premis minor kemudian ditarik suatu
kesimpulan.
Contoh :
Semua mahluk memiliki mata - premis mayor
Si A adalah makhluk - premis minor
Jadi Si A memiliki mata – kesimpulan
Ketepatan penarikan kesimpulan bergantung pada kebenaran premis mayor,
kebenaran premis minor dan cara/keabsahan penarikan kesimpulan. Baik logika deduktif
maupun induktif menggunakan pengetahuan sebagai premis-premisnya berupa
pengatahuan yang dianggapnya benar. Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif
untuk menyusun pengetahuannya. Premis yang digunakannya berasal dari ide yang
menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. (Akhadiah, 2011)

G. Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran non Ilmiah


Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non Ilmiah Ilmu dikembangkan oleh manusia
untuk menemukan suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran
ilmiah. Kebenaran ilmiah terlihat dari bagaimana ilmu dapat menyadarkan dirinya
kepada salah satu teori yang berkaitan dengan kebenaran yaitu: (Maslihah dan Susapti,
2013)
a. Koherensi.
Teori kebenaran yang menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu
pengetahuan, pendapat, kejadia, atau informasi) akan dianggap benar jika memiliki
hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga benar serta
dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.
20

b. Korespondensi.
Korespondensi merupakan teori kebenaran bahwa suatu pengetahuan itu shahih jika
proposisi telah sesuai dengan realitas yang menjadi objek pengetahaun itu.
Keshahihan korespondensi itu memiliki hubungan yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi.
c. Positivistik.
Positivisme adalah cara pandang untuk memahami dunia berdasarkan sains.
Positivisme merupakan perkembangan Empirisme yang ekstrem, merupakan
pandangan yang menganggap bahwa sesuatu yang dapat diselidiki atau dipelajari
hanyalah “data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif
d. Pragmatistik.
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria
tentang fungsi atau tidaknya suatu penyataan dalam lingkup ruang dan waktu
tertentu.
e. Esensialitik.
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah berkembang sejak awal peradaban umat manusia.
f. Konstruktivistik.
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
g. Religiusitik.
Teori Religiusisme memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluk
jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah teori religius
ini yang kebenarannya secara ontologis dan asksiologis bersumber dari sabda
Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa
terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah yakni:
- Kebenaran ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,
yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian
rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan
21

normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga


memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
- Kebenaran non ilmiah adalah yang masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa
pengetahuan hasil serapan inderawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah
lama maupun baru didapat. Di samping itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau
di luar kesadaran seperti ilham, intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh nabi) (Kadri,
2018).
Kebenaran non-ilmiah sendiri dapat ditemukan dengan berbagai cara, yakni melalui
enemuan secara kebetulan dan penemuan “coba dan ralat” (trial and error) (Kasmadi,
1990). Sedangkan kebenaran ilmiah menurut muhtar (2017), senantiasa diperkuat bukti-
bukti empirik dan indrawi, bahkan sesuatu kebenaran tersebut telah teruji. Kebenaran
ilmiah yang meskipun dikuasai oleh relativitasnya, selalu berpatokan kepada beberapa hal
mendasar, yaitu:
1. Adanya teori yang dijadikan dalil utama dalam mengukur fakta-fakta aktual.
2. Adanya data-data yang berupa fakta atau realitas senyatanya dan realitas dalam
dokumen tertentu.
3. Adanya pengelompokkan fakta dan data yang signifikan.
4. Adanya uji validitas
5. Adanya penarikan kesimpulan yang operasional
6. Adanya fungsi timbal balik antara teori dan realitas.
7. Adanya pengembangan dialektika terhadap teori yang sudah teruji.
8. Adanya pembatasan wilayah penelitian yang proporsional.

H. Kesalahan Penalaran
1) Kelemahan Pola Pikir Ilmiah
Sebagai suatu metode, pola pikir ilmiah mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan pola berpikir ilmiah adalah antara lain:
a. Karena bersifat faktual, maka untuk memecahkan masalah kehidupan bersifat lebih
operasional
22

b. Karena sistematikanya jelas dan terstruktur, maka lebih mudah disebarkan dan
dikaji ulang
c. Karena makin terspesialisasi, kajianny menjadi semakin dalam.
Kelemahannya antara lain:
a. Karena ilmu makin terspesialisasi, maka sudut pandangnya menjadi semakin sempit
dan sektoral.
b. Kesimpulan ditarik dari kondisi eksperimental yang bersifat artifisial atau buatan
sehingga situasinya tidak mewakili situasi kehidupan nyata dan bisa timbul bias
pada tahap aplikasi
c. Sedalam-dalamnya kajian ilmu, kajiannya masih pada tataran gejala atau fakta
sehingga secara sendirian tidak akan pernah secara tuntas memecahkan masalah
kehidupan. (Putra S T, 2010)
2) Pengertian Sesat Pikir
Sumaryono (1999:9) memberikan pengertian sesat pikir adalah proses penalaran
atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan, suatu
gejala berpikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika
tanpa memperhatikan relevansinya.
Surajiyo (2009:105) mengatakan kesesatan penalaran dapat terjadi pada siapa
saja, bukan karena kesesatan dalam fakta-fakta, tetapi dari bentuk penarikan
kesimpulan yang sesat karena tidak dari premis-premis yang menjadi acuannya. Sesat
pikir dapat terjadi ketika menyimpulkan sesuatu lebih luas dari dasarnya.
Contoh:
Kucing berkumis.
Ali berkumis.
Jadi, Ali Kucing
Silogisme di atas, merupakan sesat pikir dalam menyimpulkan, karena Ali
dikatakan kucing. Konklusi ini menyesatkan dan bisa marah yang bersangkutan
kepada yang mengatakannya. Ali yang bersangkutan dikatakan kucing yang bukan
kucing melainkan orang atau manusia yang memiliki martabat, bisa emosi dan
memukul kepada yang menyampaikannya karena merasa diturunkan martabatnya.
23

Bentuk sesat pikir berdasar pembagian, yaitu: musim menurut kegiatannya


dapat dibagi menjadi: musim tanam, musim kemarau, musim menyiangi, musim
hujan, dan musim panen. Dalam pembagian ini ada yang sesat pikir, yaitu musim
kemarau dan musim hujan karena kedua musim itu bukan kegiatan.
Sesat pikir dalam bentuk lain, misalnya Natsir mengatakan Bambang sangat
mencintai istrinya, lalu disambung oleh Dahri dengan kata “dan saya juga”. Ucapan
Dahri mengatakan “dan saya juga” merupakan sesat pikir, yaitu dapat diartikan bahwa
Dahri juga mencintai istrinya Said. Pada hal yang ia maksudkan adalah Dahri juga
mencintai istrinya sendiri.
Dari pengertian dengan tiga contoh sesat pikir yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan sesat pikir sebagai proses penalaran atau argumentasi yang tidak ketemu,
atau salah arah pada sasaran yang dimaksudkan. Walaupun proses berpikir semacam
ini menyesatkan, tetap juga hal ini sering dilakukan. Atas dasar inilah maka dipandang
perlu untuk mengetahui lebih lanjut, sumber, jenis-jenis dan latar belakang terjadinya
proses sesat pikir tersebut.
3) Fenomena Sesat Pikir
Sumaryono (1999:9) term “kepalsuan” dapat dipergunakan dalam berbagai
kemungkinan. Yang paling lazim, term tersebut dipergunakan untuk menggambarkan
gagasan yang keliru atau keyakinan yang salah. Dalam logika, term tersebut
dipergunakan dalam arti yang lebih sempit, yaitu palsu berarti keliru dalam menalar
atau dalam berargumen.
Motivasi pokok seseorang menyusun sebuah argumen adalah untuk
membuktikan bahwa kesimpulan yang ia peroleh dalam menalar adalah benar. Sebuah
argumen ada kemungkinan gagal dalam memanuhi tujuan tersebut. Ada dua
kemungkinan kegagalan argumen.

a. Kegagalan dapat terjadi karena suatu argumen membuat premis yang terbentuk
dari proposisi yang keliru. Jika sebuah argumen memuat satu premis yang keliru,
maka argumen tersebut akan gagal dalam menempatkan kebenaran konklusinya
Contoh:
Premis 1: ABRI harus menjalankan dwifungsi sipil-militer
24

Premis 2: Tentara bayaran tidak memperhatikan fungsi sipil


Konklusi: Jadi, ABRI tanpa dwifungsi akan sama dengan tentara bayaran

b. Kegagalan dapat terjadi karena suatu argumen ternyata memuat premis-premis


yang tidak berhubungan deengan konklusi yang akan dicari. Di sini logika
berperanan penting. Sebuah argumentasi yang premis-premisnya tidak
berhubungan dengan kesimpulannya merupakan argumen yang “sesat” sekalipun
semua premisnya itu mungkin benar. Di dalam jenis kegagalan yang kedua inilah
terdapat apa yang disebut sesat pikir.
Contoh:
Premis 1: Sifat Tuhan adalah kekal abadi
Premis 2: Pancasila memuat nilai-nilai yang kekal abadi
Konklusi: Tuhan dan Pancasila adalah identik
Selanjutnya dalam sumber yang sama, Sumaryono mengemukakan ada banyak
jenis kekeliruan yang dilakukan orang dalam melaksanakan penalaran atau dalam
berargumen. Setiap kekeliruan dalam menalar itu merupakan argumen yang salah.
4) Sumber-sumber Kesesatan
Surajiyo (2009:107) mengemukakan sumber kesesatan dapat terjadi di dalam
logika deduktif, dan logika induktif. Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah
memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata yang disebut homonim, yaitu kata
yang memiliki banyak arti yang didalam logika disebut kesalahan semantik atau
bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun untuk
menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukkan langsung
adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan konotasi sejati. Memilih kata-kata
yang hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat, apakah konotasi
subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang bersifat universal atau partikular.
Dapat juga dengan konotasi subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang bersifat
komprehensif.
Kesesatan di dalam logikan induktif dapat dikemukakan seperti prasangka
pribadi, pengamatan yang tidak lengkapatau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau
penggolongan karena penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun
25

masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis
bersifat meragukan dan bertentangan dengan fakta. Kemudian yang berkaitan dengan
sebab adalah post hoc propler hoc, anteseden yang tidak cukup, dan analisis yang
perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu menjadikan-
nya suatu kecenderungan homogen, masihj pula terdapat kebersamaan yang sifatnya
kebetulan. Kesesatan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi
yang keliru.
Berbagai Jenis Sesat Pikir
Rapar (1996:92) mengemukakan pada umumnya sesat pikir di bagi ke dalam
tiga jenis, yaitu sesat pikir karena semantik (bahasa), sesat pikir formal, dan sesat pikir
material. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Sesat Pikir Karena Bahasa
Sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan semantik (bahasa),
sebagai berikut:
i. Menggunakan term ekuivokal
Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak
dapat berarti ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat juga berarti
pohon yang sering ditanam sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar.
Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term ekuivokal disebut sesat
pikir ekuivokasi (fallacy of equivocation).
ii. Menggunakan term metaforis
Term metaforis adalah kata atau sekelompok kata yang digunakan bukan
dalam arti yang sebenarnya. Misalnya: Pemuda adalah tulang punggung
negara. Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term metaforis disebut
sesat pikir metaforisasi (fallacy of metaphorization)
iii. Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata
Ada kata-kata yang apabila aksennya diubah akan memiliki arti yang berbeda.
Misalnya: apel: jika tekanan tgerletak pada huruf “a” artinya ialah
pohon/buah apel, tetapi jika tekanan terletak pada suku kata “pel”, artinya
ialah apel bendera, dan sebagainya. Sesat pikir yang terjadi karena aksen
disebut sesat pikir aksen (fallacy of accent)
26

iv. Menggunakan kontruksi kalimat bermakna ganda


Kalimat yang bermakna ganda disebut amfiboli (amphyboly). Amfiboli
terjadi apabila sebuah kalimat disusun sedemikian rupa sehingga arti kalimat
itu dapat ditafsirkan secara berbeda-beda. Contoh: Ali mencintai kekasihnya
dan demikian pula saya! Kalimat itu bisa berarti: Ali mencintai kekasihnya
dan saya juga mencintai kekasih ali. Atau bisa juga berarti: Ali mencintai
kekasihnya dan saya mencintai kekasih saya
b. Sesat Pikir Formal
Sesat pikir formal terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku
bagi bentuk (form) penalaran yang sahih. Jenis-jenis sesat pikir formal adalah
sebagai berikut.
i. Sesat pikir empat term (fallacy of for terms)
Bentuk silogisme yang sahih ialah silogisme yang hanya memiliki tiga term
yang masing-masing disebut dua kali. Apabila dalam sebuah silogisme
terdapat empat term, benntuk silogisme itu tidak sahih. Hal itu melanggar
ketentuan pertama mengenai term-term silogisme (lihat ketentuan mengenai
term-term silogisme)
ii. Sesat pikir proses tak sah (fallacy of illicit process)
Sesat pikir yang terjadi karena term premis tidak berdistribusi tetapi term
konklusi berdistribusi. Hal ini melanggar ketentuan keempat mengenai term-
term silogisme (lihat ketentuan mengenai term-term silogisme)
iii. Sesat pikir term tengah tak berdistribusi (fallacy of undistributed)
Sesat pikir yang terjadi karena term tengah tiedak berdistribusi, padahal untuk
memeperoleh konklusi yang benar term tengah sekurang-kurang satu kali
berdistribusi. Hal ini melanggar ketentuan ketiga mengenai term-term
silogisme (lihat ketentuan mengenai term-term silogisme)
iv. Sesat pikir dua premis negatif (fallacy of two negative premises)
Sesat pikir ini terjadi karena menarik konklusi dari dua buah premis negatif
pada hal dari dua premis negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar. Hal
itu melanggar ketentuan kedua dari ketentuan-ketentuan menganai premis-
premis (lihat ketentuan premis)
27

c. Sesat Pikir Material


Sesat pikir material ialah sesat pikir yang terjadi bukan karena bahasa atau bentuk
penalaran yang tidak sahih, melainkan yang terjadi pada materi atau isi penalaran
itu sendiri. Surajiyo (2009:111) menyebutnya sebagai kesesatan relevansi. Sesat
pikir macam ini sering kali disengaja guna membangkitkan emosi atau
mengalihkan perhatian seseorang ataupun sekelompok orang dari masalah yang
dipersoalkan. Hal seperti ini sering dipergunakan untuk memperdayakan lawan
bicara. Cara penyajiannya yang sering meyakinkan, tetapi faktanya justru sangat
kabur ataupun bukan yang sedang dibahas. Jadi, kesesatan relevansi timbul kalau
orang menurunkan suatu kesimpulan yang tidak relevan dengan premisnya,
artinya secara logis kesimpulan tidak terkandung atau tidak merupakan implikasi
dari premisnya. Jenis-jenis sesat pikir material adalah sebagai berikut:
i. Argumen terhadap orangnya (Argumentum ad hominem).
Sesat pikir ini terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada
persoalan yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi orang yang
menjadi lawan bicara
ii. Argumen untuk mempermalukan (Argumentum ad verecundiam).
Sesat pikir ini terjadi karena agumentasi yang diberikan memang sengaja
tidak terarah kepada persoalan yang sesungguhnya, tetapi dibuat sedemikian
rupa untuk membangkitkan perasaan malu si lawan bicara. Contoh: “Jika
Anda benar-benar seorang pembela kebenaran, Anda pasti akan
membenarkan saya karena apa yang saya katakan selalu benar!” Hal itu
sering pula dilakukan oleh pemasang iklan Misalnya: “Orang yang benar-
benar bijaksana adalah orang yang selalu menggunakan produk kami!”
iii. Argumen berdasarkan kewibawaan (Argumentum auctoritatis).
Dalam suatu diskusi, tiba-tiba seseorang mengatakan demikian: “Saya yakin
apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang
pemimpin yang beliau, seorang tokoh yang sangat dihormati dan seorang
doktor yang jenius!” Jelas terlihat bahwa argumen yang dikemukakan oleh
orang tersebut tidak berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, tetapi
28

didasarkan pada kewibawaan si pembicara terdahulu. Sesat pikir seperti itu


yang perlu dihindari.
iv. Argumen ancaman (Argumentum ad baculum)
Argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu
dengan alasan bahwa jika menolak akan membawa akibat yang tidak
diinginkan.
v. Argumen belas kasihan (Argumentum ad misericordiam).
Sesat pikir ini sengaja terarah untuk membangkitkan rasa belas kasihan si
lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan
vi. Argumen demi rakyat (Argumentum ad populum).
Argumen ini dibuat untuk menghasut massa, rakyat, kelompok untuk
membakar emosi mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang
melatarbelakangi suatu usul atau program adalah demi kepentingan rakyat
atau kelompok itu sendiri. Argumen ini bertujuan untuk memperoleh
dukungan aatau membenarkan tindakan si pembicara.
vii. Argumen ketidaktahuan (Argumentum ad ignorantiam).
Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak
mengetahu apa pun juga mengenai sesuatu itu, hal itu adalah sesat pikir.
Belum tentu bahwa apa yang tidak diketahui itu benar-benar tidak ada. Sesat
pikir yang demikian disebut argumentum ad ignorantiam.

5) Strategi Menghindari Sesat Pikir

Istilah strategi adalah suatu akal pikiran untuk mencapai sesuatu yang
dimaksud. Strategi di sini, diartikan sebagai suatu akal pikiran untuk menghindari
penalaran yang tidak logis atau salah arah, menjadi penalaran untuk mencapai
sesuatu yang dimaksud. Salah satu strategi menghindari sesat pikir, yaitu dengan
menghindari sumber penyebabnya. Sumaryono (1999:21) dan Surajiyo
(2009:115) mendeskripsikan sesat pikir pada hakikatnya merupakan jebakan bagi
proses penalaran kita. Seperti halnya rambu-rambu lalu lintas dipasang sebagai
peringatan bagi para pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan kecelakaan,
maka rambu-rambu sesat pikir ditawarkan kepada kita agar kita jeli dan cermat
29

terhadap kesalahan-kesalahan dalam menalar, juga agar kita mampu


mengidentifikasi dan menganalisis kesalahan-kesalahan tersebut sehingga
mungkin kita akan selamat dari penalaran palsu
Oleh Karena itu, untuk menghindari kesesatan penalaran dengan berhati-
hati terhadap sumber-sumber sesat pikir misalnya dengan menghindari kesalahan
semantik atau bahasa, senantiasa melakukan penyimpulan sesuai ketentuan
silogisme yang benar, dan bersikap kritis terhadap setiap argumen. Dalam hal ini,
peneliti terhadap peranan bahasa dan penggunaannya merupakan hal yang sangat
menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan keanekaragaman penggunaan
bahasa dapat dimanfaatkan untuk memperoleh konklusi yang benar dari sebuah
argumen.

Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi secara sangat
“halus”. Banyak kata yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak
kata yang memiliki rasa dan makna yang berbeda-beda. Untuk menghindari
terjadinya sesat pikir tersebut, kita harus mengupayakan agar setiap kata atau
kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita harus dapat
mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan menalar, yaitu mampu untuk
berpikir secara logis dan analistis, dan diakhiri dengan kesimpulan. Kemampuan ini
berkembang karena didukung bahasa sebagai sarana komunikasi verbalnya, sehingga hal-
hal yang sifatnya abstrak sekalipun mampu mereka kembangkan, hingga akhirnya sampai
pada tingkatan yang dapat dipahami dengan mudah. Untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran
Induktif.
Dalam proses bernalar, agar hasilnya baik, dibutuhkan logika dalam berpikir dan
langkah strategis melalui metode Ilmiah. Metode ilmiah merupakan suatu cara sistematis
yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Metode
ilmiah menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Adapun
pelaksanaannya ada beberapa tahap, yakni merumuskan masalah, mengumpulkan
keterangan, menyusun hipotesis, menguji hipotesis, mengolah data dan menguji
kesimpulan. Hal ini dilakukan untuk menghindri terjadinya salah nalar.

B. Saran
Bernalar ilmiah merupakan suatu proses berpikir dalam upaya mendapatkan
kesimpulan. Untuk memperoleh kesimpulan yang benar, diperlukan proses berpikir logis
dan sistematis agar terhindar dari kesalahan nalar.

30
DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. 2015. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemiologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Edisi ke-3 (revisi), Cetakan I Maret. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bernalar. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 05 Sep 2020, dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/religiositas
Dunbar, K. & Klahr, D. 2012. Scientific Thinking and Reasoning. The Oxford Handbooks of
Thinking and Reasoning. doi: 10.1093/oxfordhb/9780199734689.001.0001
Dunbar, K., & Klahr, D.2013. The Oxford Handbook of Thinking and Reasoning. Oxford
University Press.
Kattsoff, L. O. 1992. Pengantar Filsafat. Terjemahan. Edited by S. Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Mustofa, I. 2016. Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran
Ilmiah. EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, 6, 122
Pratisti, W. D. and Yuwono, S. 2018. Psikologi Eksperimen: Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Putra ST. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press
Putra, S. T. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran, Edisi I, cetakan I. Surabaya: Airlangga University
Press.
Rapar HJ. 1996. Pengantar Logika : Asas-Asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta : Kanisius
Salam B. 2015. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sobur, H. 2015. Logika dan Penalaran dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan. TAJDID, XIV, 387.
Suhartono S. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Persolan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan.
Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sumaryono E. 1999. Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Supriyanto, S. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka
Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. 2015. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara

31
Tafsir, A. 2006. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

32

Anda mungkin juga menyukai