“Bernalar Ilmiah”
Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr., SpBS(K)
OLEH :
MKDU Kelompok 15
Mohammad Haedar Faraby, dr 519222005
Pradivo Luigi Akbar, dr 519222002
Anti Mangi Mangampa, dr 519222008
Wahyudi Eko Prasetyo, dr 502222023
Mega Agung Raskosa, dr 502222024
Mita Erna Wati, dr 511222005
Tyas Maslakhatien Nuzula, dr 511222006
Bona F. P. Banjarnahor, dr 507222009
Paullya Dwi Prasetyorini, dr 507222010
Abraham Fajar Wirawan, dr 505222005
Franky Santoso, dr 505222006
SURABAYA
2023
DAFTAR ISI
BAB I.....................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah dan Tujuan.................................................................................................2
BAB II....................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
A. Definisi.....................................................................................................................................3
B. Prinsip dan Dasar Bernalar Ilmiah............................................................................................4
C. Jenis penalaran Ilmiah.............................................................................................................5
D. Metode Ilmiah (Scientific Method)...........................................................................................8
1. Metode observasi....................................................................................................................9
E. Metode Berfikir Ilmiah...........................................................................................................12
F. Logika.....................................................................................................................................15
G. Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran non Ilmiah.........................................................................19
H. Kesalahan Penalaran..............................................................................................................21
1) Kelemahan Pola Pikir Ilmiah...................................................................................................21
BAB III.................................................................................................................................30
PENUTUP.............................................................................................................................30
A. Kesimpulan............................................................................................................................30
B. Saran......................................................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................31
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya memiliki kemampuan untuk menalar, yaitu
kemamampuan untuk berpikir secara logis dan analistis, dan pada akhirnya menghasilkan
kesimpulan. Kemampuan ini berkembang dengan dukungan bahasa sebagai sarana
komunikasi verbal, sehingga hal-hal yang bersifat abstrak sekalipun mampu
dikembangkan pada taraf yang dapat mudah dipahami. Inilah mengapa dalam istilah
Aristoteles manusia disebut sebagai animal rationale. Oleh sebab itu, seorang
Cendekiawan hendaknya melakukan pekerjaannya secara sistematis, berpikir, dan
berlogika serta menghindari diri dari subjektifitas pertimbangannya.
Bernalar secara ‘ilmiah’ dapat dipahami menjadi dua. Pertama, penalaran
berkaitan dengan isi dari suatu ilmu. Seseorang akan terlibat dalam pemikiran ilmiah
apabila memikirkan tentang suatu entitas dan proses seperti atom, molekul, energi, massa,
gaya, astrofisika, atau geologi, dan sebagainya. Kedua, yaitu penalaran yang mencakup
serangkaian proses penalaran dalam bidang sains: induksi, deduksi, desain eksperimental,
sebab akibat, pembentukan konsep, pengujian hipotesis dan sebagainya. Proses penalaran
tersebut pada hakikatnya hamper sama dengan proses berpikir sehari-hari, hanya saja
prosesnya menggunakan suatu definisi konsep dan kesimpulan yang lebih tepat, bahan
eksperimental yang lebih rinci dan sistematik, serta logis. Pendapat di atas juga didukung
oleh pernyataan bahwa suatu penemuan yang hebat terletak pada hal-hal yang ditemukan,
bukan berdasarkan caranya.
Bagi para mahasiswa, bernalar ilmiah merupakan suatu alat bantu untuk mencari
ilmu. Oleh karena itu, bernalar ilmiah akan menjadi sebuah ketrampilan yang dapat
membantu mereka dalam pengembangkan dan peningkatkan ilmu dan teknologi. Bernalar
ilmiah akan melatih individu agar menjadi terampil dalam pemecahan masalah yang
melibatkan proses menghasilkan, menguji, dan merevisi hipotesis atau teori, serta
mengobservasi dan merefleksikan proses perolehan pengetahuan dan perubahan
pengetahuan dengan penyajian hasil data yang objektif dan argumen-argumen yang tepat.
1
2
Individu yang bernalar ilmiah diharapkan akan dapat mengembangkan ide dan ilmu
pengetahuan lebih banyak lagi.
2. Tujuan Umum
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengertian dari bernalar ilmiah
b. Untuk mengetahui ciri/karakteristik dari bernalar ilmiah
c. Untuk mengetahui jenis-jenis penalaran ilmiah
d. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan bernalar ilmiah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Proses berpikir sebenarnya melibatkan empat unsur penting, yaitu otak yang sehat,
panca indera, informasi atau pengetahuan sebelumnya, dan fakta. Oleh karena itu, definisi
dari akal, pemikiran, dan proses berpikir adalah mengindra fakta melalui panca indera ke
dalam otak untuk menafsirkan fakta yang diperoleh dari informasi sebelumnya (Adib, 2015).
Bernalar memiliki arti berpikir secara logis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016),
sementara penalaran mengacu pada cara menggunakan nalar dalam memikirkan atau
mengembangkan sesuatu tanpa melibatkan perasaan atau pengalaman, serta proses mental
dalam mengembangkan pikiran dari beberapa fakta atau prinsip (KBBI, 2019).
Secara umum, bernalar secara 'ilmiah' dapat dijelaskan dengan dua cara. Pertama,
bernalar mengenai isi dari suatu ilmu, yang melibatkan pemikiran tentang entitas dan proses
ilmiah seperti gaya, massa, energi, atom, radiasi, geologi, astrofisika, dan sejenisnya. Kedua,
bernalar melalui serangkaian proses penalaran dalam bidang sains, termasuk induksi,
deduksi, desain eksperimental, sebab-akibat, pembentukan konsep, pengujian hipotesis, dan
lainnya. Meskipun sama-sama melibatkan proses berpikir, bernalar secara ilmiah
menggunakan definisi konsep dan kesimpulan yang lebih tepat, bahan eksperimental yang
lebih rinci dan sistematik, serta logis. Namun, pada akhirnya, suatu penemuan yang hebat
lebih bergantung pada hal-hal yang ditemukan, bukan hanya pada cara penalarannya
(Dunbar, 2012).
Pola pikir penalaran memiliki karakteristik yang logis, sistematik, dan analitik. Pola
pikir logis dalam penalaran melibatkan penggunaan alur dan urutan yang jelas dan koheren
untuk mencapai suatu kesimpulan yang dapat diterima secara rasional. Sedangkan pola pikir
analitik dalam penalaran melibatkan kemampuan untuk memecah masalah menjadi bagian-
bagian yang lebih kecil, mempertimbangkan faktor-faktor yang terlibat dalam suatu
masalah, dan mengajukan pertanyaan kritis untuk memahami masalah secara lebih
mendalam. Proses penalaran dalam kegiatan berpikir dimulai dari suatu premis atau pangkal
pikir yang kemudian digunakan untuk menarik kesimpulan. (Putra, 2010).
3
4
Sikap ilmiah merupakan perilaku yang berguna untuk membangun pola pikir dan
komunikasi ilmiah secara efektif yang terdiri dari: (Putra, 2010)
1. Selalu ingin mencari tahu atau curious
2. Rasional yakni logis dan kritis (analitik)
3. Independen, yang artinya berorientasi pada kebenaran dan bukan pada individu
4. Faktual yakni berdasarkan fakta atau evidence based
5. Objektif
6. Jujur dalam menyampaikan kebenaran
7. Terbuka dan hormat terhadap pendapat lain yang berbeda
8. Etis dalam berkomunikasi
9. Berorientasi pada kepentingan kemanusiaan
10. Skeptis dan pragmatis yaitu kebenaran ilmiah bersifat sementara sampai terdapat
kebenaran baru yang lebih terpercaya.
11. Sabar dan ulet untuk menemukan kebenaran
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir ilmiah merupakan pola pikir berdasarkan
fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip-prinsip analisis, menggunakan hipotesis,
menggunakan ukuran objektif, dan menggunakan teknik kuantifikasi yang prosesnya
menggunakan pola pikir ilmiah secara logis (lewat pengetahuan yang didapatkan dengan
cara berpikir kritis) maupun empiris (lewat pengalaman). (Adib 2015)
Prinsip Identitas atau Principium Identitatis berbunyi: “sesuatu hal adalah sama dengan
halnya sendiri”. Dengan kata lain “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang
dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.
b. Prinsip Kontradiksi (principium contradictionis):
Prinsip Kontradiksi atau Principum Contradictionis berbunyi: “sesuatu tidak dapat
sekaligus merupakan hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuai pernyataan tidak
mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain,
“sesuatu tidaklah mungkin secara bersama merupakan p dan non p”.
c. Prinsip ekslusi tertii (principium exclusi tertii):
Prinsip Ekslusi Tertii atau Principium Exclusi Tertii berbunyi: “sesuatu jika dinyatakan
sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang
merupakan jalan tengah”. Dengan kata lain “sesuatu x mestilah p dan non p tidak ada
kemungkinan ketiga”. Hanya salah satu sifat yang dimiliki (p atau non p) dari dua sifat
yang berlawanan penuh, tidak mungkin keduanya dimiliki.
Leibniz, seorang filsuf Jerman, menambahkan Prinsip Cukup Alasan atau Principium
Rationis Sufficientis sebagai tambahan untuk prinsip identitas. Dalam kutipan yang
disebutkan oleh Surajiyo (2015), prinsip ini menyatakan bahwa "suatu perubahan yang
terjadi pada suatu objek tertentu haruslah memiliki alasan yang cukup, tidak mungkin
terjadi secara tiba-tiba tanpa sebab yang mencakupinya". Dengan kata lain, "keberadaan
suatu objek haruslah memiliki alasan yang cukup, demikian pula ketika terjadi perubahan
pada keadaannya".
Dapat diartikan bahwa penalaran ini berlandaskan pada kenyataan yang bersifat terbatas
dan khusus lalu disimpulkan ke dalam pernyataan yang bersifat kompleks dan umum
(Mustofa, 2016). Mengeneralisasi atau membuat umum suatu hal dari kasus-kasus yang
pernah kita lihat atau alami untuk menarik kesimpulan merupakan esensi dari penalaran
induktif (Sobur, 2015).
Penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang
bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Generalisasi dapat
dilakukan dengan dua metode (Mustofa, 2016):
a. Induksi lengkap
Generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal partikular yang mencakup
keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti. Contoh: penelitian di depan
setiap rumah di desa ada pohon kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan
pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki pohon kelapa”.
b. Induksi tidak lengkap
Dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau hanya sebuah hal khusus.
Dalam sebuah penelitian seringkali tidak memungkinkan untuk menggunakan
induksi lengkap, dalam hal ini digunakanlah induksi tidak lengkap. Induksi lengkap
dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti dan diamati
secara mendalam. Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan teliti, atau ada
yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka
diperolehlah induksi tidak lengkap. Contoh: sarjana luar negeri lebih berkualitas
daripada sarjana dalam negeri.”
Kelebihan dari metode penalaran induktif (Mustofa, 2016) :
a. Dipandang dapat memberikan berbagai ilustrasi tentang ragam pengetahuan yang
akan dituju
b. Lebih mudah menemukan pola-pola suatu ilustrasi yang ada
c. Efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam suatu proses
pencapaian kesimpulan
Kelemahan dari metode ini adalah (Mustofa, 2016) (Sobur, 2015):
a. Tidak memberikan jaminan kebenaran dari kesimpulannya. Meskipun premis-
premisnya semua benar tidak otomatis membawa kebenaran pada kesimpulan yang
7
2. Deduktif
Penalaran deduktif merupakan sebuah kerangka atau cara berpikir yang
berlandaskan dari sebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai
sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus (Mustofa, 2016). Pola penarikan
kesimpulan dalam metode deduktif bermula dari dua pernyataan atau lebih yang biasa
disebut sebagai premis mayor dan premis minor kemudian mengambil sebuah
kesimpulan (Sobur, 2015).
Contoh dari penggunaan premis dalam deduksi:
Premis Mayor : Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa
Premis minor : Menipu merugikan orang lain
Kesimpulan : Menipu adalah dosa
Kelebihan jenis ini, yaitu fokus yang intens dalam menganalisa suatu pengertian
dari segi materinya, sehingga lebih efisien dalam penggunaan waktu. Selain itu
keterampilan yang digunakan bisa tersusun lebih rapi karerna poin-poin yang ingin
dicapai sudah jelas. Kelemahannya terletak pada aktifitas penarikan kesimpulan yang
dibatasi pada ruang lingkup tertentu. Selain itu yang dapat diuji kebenarannya hanaya
pada bentuk atau pola penalarannya bukan pada materi premisnya sehingga benar
salahnya premis (Mustofa, 2016)
8
3. Abduktif
Abduktif merupakan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang
mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan kejadian
yang kita amati (Sobur, 2015).
Penalaran abduktif adalah bentuk penalaran penting yang digunakan para
ilmuwan ketika mereka berusaha untuk mengusulkan penjelasan untuk peristiwa seperti
temuan tak terduga. Dalam kasus penalaran abduktif, penalar mencoba untuk
menghasilkan penjelasan bentuk “jika situasi X telah terjadi, dapatkah itu dihasilkan
bukti saat ini yang saya coba tafsirkan?” ( Dunbar & Klahr, 2013).
dengan metode adalah cara-cara penyelidikan yang bersifat keilmuan yang sering disebut
metode ilmiah (scientific methods). Metode ini perlu agar tujuan keilmuan yang berupa
kebenaran objektif dan dapat dibuktikan bisa tercapai. Dengan metode ilmiah kedudukan
pengatahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan yaitu menjadi lebih khusus dan terbatas
Pada dasarnya didalam ilmu pengetahuan dalam bidang dan disiplin ilmu apapun,
metode yang sama. Jika ada perbedaan, hal itu tergantung pada jenis, sifat dan bentuk
objek materi dan objek forma yang tercakup didalamnya pendekatan (approach), sudut
pandang (point of view), tujuan dan ruang lingkup masing masing disiplin ilmu
(Suhartono, 2016).
Metode dapat dipahami sebagai suatu proses atau prosedur yang sistematik
berdasarkan prinsip-prinsip dan tehnik-tehnik ilmiah yang dipakai oleh suatu disiplin
(bidang studi) untuk mencapai suatu tujuan. Jadi ia dapat dikatakan sebagai cara kerja
9
ilmiah. Sedangkan metodologi adalah pengkajian mengenai model atau bentuk metode-
metode, aturan-aturan yang harus dipakai dalam kegiatan ilmu pengetahuan. Jika
dibandingkan antara metode dan metodologi, maka metodologi lebih bersifat umum dan metode
Menurut Peter R. Senn, metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu
memperoleh kebenaran ilmiah yaitu suatu kebenaran yang pasti tentang suatu objek
penyelidikan. Oleh sebab itu metode ilmiah yang dipergunakan mempunayi latar belakang
yaitu keterkaitannya dengan tujuan yang tercermin di dalam ruang lingkup ilmu
pengetahuan. Dengan adanya latar belakang yang demikian itu, maka metode ilmiah juga
menunjukkan beberapa indikasi antara lain: ada yang bersifat observasi (menurut
tentang hubungan sebab dan akibat, serta arti situasi); ada yang secara trial dan eror
eksperimental (peniliti menggunakan tehnik mengontrol keadaan); dan ada yang dengan
cara statistik dan sampling (dengan mennetukan sampel, peneliti mengumpulkan data-data
1. Metode observasi
Diantara beberapa jenis metode itu, metode observasi sering dipakai oleh jenis
ilmu pengetahuan apapun. Observasi yang dimaksud adalah tentu saja yang bersifat
ilmiah. Artinya observasi harus tetap didalam konteks objektivitas. Dalam hal ini, kita
10
harus menyadari bahwa observasi tidak bisa disamakan begitu saja dengan
pengamatan. Dikatakan antara lain bahwa didalam observasi, subjektivitas diri perlu
emosional (hal-hal seperti prasangka, pilih kasih dan sebagainya). Untuk pengamat
perlu membersihkan diri, melupakan apa yang sudah diketahui dan seolah-olah
Jika demikian halnya, observasi adalah langkah pertama yang menjamin derajat
ilmiah objektif. Agar objektivitas terjaga dengan baik, pengamat perlu menyadari
bahwa situasi pengamatan selalu tidak menentu (pengaruh keadaan subjek dan
kondisi objek itu sendiri). Seperti disarankan oleh Van Peursen, keadaan ini
memilki sifat khas yang berbeda-beda sehingga perlu menetukan suatu metode yang
tetap atau teori observasi yang sesuai dengan susunan menyeluruh dari ilmu
universal dan tidak memerlukan penjelasan secara panjang lebar. Karena sifatnya
yang universal, metode ini kurang dipergunakan secara popular oleh para ilmuwan
hipotesis, metode trial error ada pula manfaatnya. Bagi ahli filsafat, metode ini
dipergunakan untuk menguji ide-ide atau system pemikiran sejauh mana tingkat
koherensi dan konsistensinya baik secara faktual maupun secara logika. Dengan
demikian metode ini cara kerjanya amat sederhana yaitu belajar sambil mengerjakan
3. Metode eksperimen
Metode eksperimen berdasarkan pada prinsip metode penemuan sebab akibat
dan pengujian hipotesis. Agar pengamatan menjadi semakin teliti dan menjamin
kebutuhan akan objektivitas maka metode eksperimen berperan penting. Adapun cara
kerjanya adalah pengamat mengontrol kondisi atau keadaan, mengganti suatu faktor
pada suatu waktu dan membiarkan faktor-faktor lain tetap tanpa perubahan dan
mencatat hasilnya apakah ada perbedaan dalam hasil eksperimen. Metode ini lebih
4. Metode statistik
Metode statistik lazim digunakan dalam ilmu pengetahuan pada umumnya.
Statistik dalam bahasa inggris statistic berarti a single term or datum in collection of
klasifikasi. Dengan statistik memungkinkan kita melihat berbagai proses yang tidak
mungkin dapat kita lihat hanya melalui penggunaan alat indra saja. Statistik
menggunakan tabel dan grafik. Statistik juga meramalkan kejadian- kejadian yang
5. Metode sampling
Metode sampling terjadi apabila kita mengambil beberapa anggota atau
bilangan tertentu dari suatu kelas atau kelompok sebagai wakil dari keseluruhan
kelompok tersebut yaitu dengan tujuan satu sampel tersebut dapat mewakili secara
keseluruhan atau tidak. Dalam metode sampling hal yang paling penting di dalamnya
adalah bagaimana menetukan suatu contoh yang tepat sehingga dapat mewakili
keseluruhan. Persoalannya adalah pada objek yang sifatnya homogen sampel yang
dipilih secara acak pun memberikan akurasi tinggi, tetapi pada objek yang heterogen
maka peneliti harus berhati-hati. Banyak faktor yang harus diperhatikan sehingga
contoh-contoh dapat diambil dan ditentukan secara tepat dan bisa mewakili
1. Paham Rasionalisme
Sejarah berpikir manusia menjelaskan perkembangan pola berpikir ilmiah dari
berpikir secara rasional. Paham rasionalisme menganggap bahwa akal adalah alat
pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal atau dinalar
dengan logis, kemudian diukur dengan akal apakah temuan tersebut logis atau tidak.
Benar bila logis dan salah bila tidak logis. Paham ini mengutamakan akal sebagai
c. Belum tentu diterima oleh orang lain (Pratisti and Yuwono, 2018).
bahwa benda yang lebih berat akan jatuh lebih dahulu daripada benda yang lebih
ringan bila dijatuhkan dari ketinggian yang sama”. Secara logika, pendapat tersebut
tampak masuk akal (logis) dan diterima oleh sebagian besar orang. Namun, setelah
melalui percobaan pembuktian ternyata pendapat tersebut tidak benar (Pratisti and
Yuwono, 2018).
Berpikir secara rasionalisme, seperti yang kita tahu, tidak selalu menghasilkan
digunakan peneliti dalam merangkai dan menghubungkan teori-teori yang ada dan
selanjutnya digunakan sebagai landasan dalam menyusun hipotesis yang akan diuji
dalam penelitian. Penelitian yang dilakukan itulah yang digunakan untuk membuktikan
kebenaran yang diperoleh dari berpikir melalui metode rasionalisme (Pratisti and
Yuwono, 2018).
2. Paham Empirisme
Paham empirisme berkembang karena keresahan akan paham rasionalisme
yang lebih mengutamakan akal dan kurang peka terhadap bukti-bukti atau pengalaman
empiris. Paham empirisme mengajarkan bahwa yang benar adalah yang logis dan ada
bukti empirisnya (Tafsir, 2001; Pratisti and Yuwono, 2018). Namun, pada paham ini
bukti empirisnya bersifat umum yang tidak terukur dan bergantung dari perantara
indera. Indera manusia memiliki keterbatasan dan kadang menipu, karena dipengaruhi
oleh hal-hal yang bersifat subjektif (persepsi, motivasi, atau pengalaman sebelumnya).
Sehingga, kebenaran empirisme juga tidak selalu benar atau sesuai kenyataan (Pratisti
menggunakan 3 ember berisi air. Ember pertama berisi air hangat, ember ketiga berisi
14
air dingin, dan ember kedua berisi campuran air hangat dan air dingin. Locke meminta
seorang subjek memasukkan tangan kanannya pada ember pertama dan tangan kirinya
pada ember ketiga. Setelah itu, Locke meminta subjek untuk memasukkan kedua
tangannya pada ember kedua secara bersamaan. Menurut subjek, tangan kanannya
berada pada ember yang sama dengan kondisi air yang sama.” Percobaan yang
empirisme tidak selalu benar atau sesuai kenyataan. Sifat bukti yang ada tidak terukur
dan hanya
pengetahuan sebagai sarana pengumpulan data secara ilmiah (Pratisti and Yuwono,
2018).
3. Paham positivisme
Ketidakpuasan akan paham rasionalisme dan empirisme melahirkan paham
induktif (empirisme) dengan pembuktian fakta empiris yang dapat diukur. Bernalar
untuk menguji secara rasional (logis) bahan-bahan yang dapat diterima sebagai hal
yang benar dan menolak bahan yang tidak cukup kebenarannya (Kattsoff, 1992).
15
Dengan kata lain, langkah pertama adalah menguji apakah pernyataan atau teori yang
ada itu logis. Setelah bahan-bahan tersebut disajikan menjadi suatu kerangka pikir,
kerangka pikir yang dibentuk akan menunjang perumusan suatu hipotesis dan
Hipotesis adalah pernyataan yang sudah benar secara logika, namun belum ada
proses agar suatu penalaran dapat membawa kita pada kesimpulan yang dapat diterima.
Penalaran yang logis yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperkirakan benar dapat
membawa kita pada kesimpulan yang benar. Pada dasarnya hanya ada dua metode
untuk melakukan verifikasi, yaitu observasi dan hukum kontradiksi. Observasi yaitu
verifikasi. Suatu pernyataan yang dapat diuji dengan pengalaman/fakta yang dapat
diulangi kembali baik oleh yang menggunakan pernyataan tersebut maupun oleh orang
lain, maka pernyataan tersebut lulus dalam uji pengamatan. Sedangkan, metode
F. Logika
1. Definisi Logika
Menurut Bahasa (Etimologi)
Logika berasal dari kata Yunani Kuno yaitu (Logos) yang artinya hasil pertimbangan
akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa (Amsal, 2004).
16
“Logika” diturunkan dari kata sifat “Logike” (Bahasa Yunani) yang berhubungan
dengan kata benda “Logos” yang artinya fikiran. Hal ini menunjukkan adanya
hubungan antara fikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa.
Berfikir adalah suatu kegiatan jiwa untuk mencapai pengetahuan. Logika adalah
pengetahuan dari bidang filsafat yang mempelajari tentang teknik, aturan, dan hukum
– hukum penalaran/berfikir dengan semestinya/seharusnya agar dapat memperoleh
kesimpulan yang benar (Afraniati, 2002)
Menurut para ahli
a. Irving M.Copy > Logika adalah ilmu yang mempelajari metode dan hukum –
hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dan penalaran
yang salah.).
b. M.Sommer > Logika adalah ilmu pengetahuan tentang karya – karya akal budi
untuk membimbing menuju yang benar > Ilmu Pengetahuan : dasar dari logika,
Karya Akal Budi : sasaran logika, Membimbing menuju yang benar : tujuan
logika.
c. The Liang Gie > Logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan filsafat
yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan penalaran yang betul.
Tujuan logika adalah sebagai studi ilmiah untuk memberikan prinsip – prinsip dan
hukum – hukum berpikir yang benar, antara lain (Afraniati, 2002) :
a. Logika menyatakan, menjelaskan dan mempergunakan prinsip – prinsip
abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan.
b. Pelajaran logika menambah daya berpikir abstrak dengan demikian melatih dan
menggembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual.
c. Logika mencegah kita tersesat dalam berfikir.
d. Menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi yang
tepat.
e. Logika membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat dan teratur untuk
mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan
b. Korespondensi.
Korespondensi merupakan teori kebenaran bahwa suatu pengetahuan itu shahih jika
proposisi telah sesuai dengan realitas yang menjadi objek pengetahaun itu.
Keshahihan korespondensi itu memiliki hubungan yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi.
c. Positivistik.
Positivisme adalah cara pandang untuk memahami dunia berdasarkan sains.
Positivisme merupakan perkembangan Empirisme yang ekstrem, merupakan
pandangan yang menganggap bahwa sesuatu yang dapat diselidiki atau dipelajari
hanyalah “data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif
d. Pragmatistik.
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria
tentang fungsi atau tidaknya suatu penyataan dalam lingkup ruang dan waktu
tertentu.
e. Esensialitik.
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah berkembang sejak awal peradaban umat manusia.
f. Konstruktivistik.
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
g. Religiusitik.
Teori Religiusisme memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluk
jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah teori religius
ini yang kebenarannya secara ontologis dan asksiologis bersumber dari sabda
Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai
dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa
terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah yakni:
- Kebenaran ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,
yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian
rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan
21
H. Kesalahan Penalaran
1) Kelemahan Pola Pikir Ilmiah
Sebagai suatu metode, pola pikir ilmiah mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Kelebihan pola berpikir ilmiah adalah antara lain:
a. Karena bersifat faktual, maka untuk memecahkan masalah kehidupan bersifat lebih
operasional
22
b. Karena sistematikanya jelas dan terstruktur, maka lebih mudah disebarkan dan
dikaji ulang
c. Karena makin terspesialisasi, kajianny menjadi semakin dalam.
Kelemahannya antara lain:
a. Karena ilmu makin terspesialisasi, maka sudut pandangnya menjadi semakin sempit
dan sektoral.
b. Kesimpulan ditarik dari kondisi eksperimental yang bersifat artifisial atau buatan
sehingga situasinya tidak mewakili situasi kehidupan nyata dan bisa timbul bias
pada tahap aplikasi
c. Sedalam-dalamnya kajian ilmu, kajiannya masih pada tataran gejala atau fakta
sehingga secara sendirian tidak akan pernah secara tuntas memecahkan masalah
kehidupan. (Putra S T, 2010)
2) Pengertian Sesat Pikir
Sumaryono (1999:9) memberikan pengertian sesat pikir adalah proses penalaran
atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan, suatu
gejala berpikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika
tanpa memperhatikan relevansinya.
Surajiyo (2009:105) mengatakan kesesatan penalaran dapat terjadi pada siapa
saja, bukan karena kesesatan dalam fakta-fakta, tetapi dari bentuk penarikan
kesimpulan yang sesat karena tidak dari premis-premis yang menjadi acuannya. Sesat
pikir dapat terjadi ketika menyimpulkan sesuatu lebih luas dari dasarnya.
Contoh:
Kucing berkumis.
Ali berkumis.
Jadi, Ali Kucing
Silogisme di atas, merupakan sesat pikir dalam menyimpulkan, karena Ali
dikatakan kucing. Konklusi ini menyesatkan dan bisa marah yang bersangkutan
kepada yang mengatakannya. Ali yang bersangkutan dikatakan kucing yang bukan
kucing melainkan orang atau manusia yang memiliki martabat, bisa emosi dan
memukul kepada yang menyampaikannya karena merasa diturunkan martabatnya.
23
a. Kegagalan dapat terjadi karena suatu argumen membuat premis yang terbentuk
dari proposisi yang keliru. Jika sebuah argumen memuat satu premis yang keliru,
maka argumen tersebut akan gagal dalam menempatkan kebenaran konklusinya
Contoh:
Premis 1: ABRI harus menjalankan dwifungsi sipil-militer
24
masih campur aduk. Kesesatan juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis
bersifat meragukan dan bertentangan dengan fakta. Kemudian yang berkaitan dengan
sebab adalah post hoc propler hoc, anteseden yang tidak cukup, dan analisis yang
perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu menjadikan-
nya suatu kecenderungan homogen, masihj pula terdapat kebersamaan yang sifatnya
kebetulan. Kesesatan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi
yang keliru.
Berbagai Jenis Sesat Pikir
Rapar (1996:92) mengemukakan pada umumnya sesat pikir di bagi ke dalam
tiga jenis, yaitu sesat pikir karena semantik (bahasa), sesat pikir formal, dan sesat pikir
material. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Sesat Pikir Karena Bahasa
Sesat pikir karena bahasa dapat terjadi karena kesalahan semantik (bahasa),
sebagai berikut:
i. Menggunakan term ekuivokal
Term ekuivokal adalah term yang memiliki makna ganda, misalnya jarak
dapat berarti ruang sela antara benda atau tempat, tetapi dapat juga berarti
pohon yang sering ditanam sedemikian rupa dan berfungsi sebagai pagar.
Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term ekuivokal disebut sesat
pikir ekuivokasi (fallacy of equivocation).
ii. Menggunakan term metaforis
Term metaforis adalah kata atau sekelompok kata yang digunakan bukan
dalam arti yang sebenarnya. Misalnya: Pemuda adalah tulang punggung
negara. Sesat pikir yang disebabkan oleh penggunaan term metaforis disebut
sesat pikir metaforisasi (fallacy of metaphorization)
iii. Menggunakan aksen yang membedakan arti suatu kata
Ada kata-kata yang apabila aksennya diubah akan memiliki arti yang berbeda.
Misalnya: apel: jika tekanan tgerletak pada huruf “a” artinya ialah
pohon/buah apel, tetapi jika tekanan terletak pada suku kata “pel”, artinya
ialah apel bendera, dan sebagainya. Sesat pikir yang terjadi karena aksen
disebut sesat pikir aksen (fallacy of accent)
26
Istilah strategi adalah suatu akal pikiran untuk mencapai sesuatu yang
dimaksud. Strategi di sini, diartikan sebagai suatu akal pikiran untuk menghindari
penalaran yang tidak logis atau salah arah, menjadi penalaran untuk mencapai
sesuatu yang dimaksud. Salah satu strategi menghindari sesat pikir, yaitu dengan
menghindari sumber penyebabnya. Sumaryono (1999:21) dan Surajiyo
(2009:115) mendeskripsikan sesat pikir pada hakikatnya merupakan jebakan bagi
proses penalaran kita. Seperti halnya rambu-rambu lalu lintas dipasang sebagai
peringatan bagi para pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan kecelakaan,
maka rambu-rambu sesat pikir ditawarkan kepada kita agar kita jeli dan cermat
29
Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi secara sangat
“halus”. Banyak kata yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak
kata yang memiliki rasa dan makna yang berbeda-beda. Untuk menghindari
terjadinya sesat pikir tersebut, kita harus mengupayakan agar setiap kata atau
kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita harus dapat
mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya manusia memiliki kemampuan menalar, yaitu mampu untuk
berpikir secara logis dan analistis, dan diakhiri dengan kesimpulan. Kemampuan ini
berkembang karena didukung bahasa sebagai sarana komunikasi verbalnya, sehingga hal-
hal yang sifatnya abstrak sekalipun mampu mereka kembangkan, hingga akhirnya sampai
pada tingkatan yang dapat dipahami dengan mudah. Untuk memperoleh pengetahuan
ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran
Induktif.
Dalam proses bernalar, agar hasilnya baik, dibutuhkan logika dalam berpikir dan
langkah strategis melalui metode Ilmiah. Metode ilmiah merupakan suatu cara sistematis
yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Metode
ilmiah menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Adapun
pelaksanaannya ada beberapa tahap, yakni merumuskan masalah, mengumpulkan
keterangan, menyusun hipotesis, menguji hipotesis, mengolah data dan menguji
kesimpulan. Hal ini dilakukan untuk menghindri terjadinya salah nalar.
B. Saran
Bernalar ilmiah merupakan suatu proses berpikir dalam upaya mendapatkan
kesimpulan. Untuk memperoleh kesimpulan yang benar, diperlukan proses berpikir logis
dan sistematis agar terhindar dari kesalahan nalar.
30
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. 2015. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemiologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Edisi ke-3 (revisi), Cetakan I Maret. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bernalar. 2016. Pada KBBI Daring. Diambil 05 Sep 2020, dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/religiositas
Dunbar, K. & Klahr, D. 2012. Scientific Thinking and Reasoning. The Oxford Handbooks of
Thinking and Reasoning. doi: 10.1093/oxfordhb/9780199734689.001.0001
Dunbar, K., & Klahr, D.2013. The Oxford Handbook of Thinking and Reasoning. Oxford
University Press.
Kattsoff, L. O. 1992. Pengantar Filsafat. Terjemahan. Edited by S. Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya.
Mustofa, I. 2016. Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran
Ilmiah. EL-BANAT: Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam, 6, 122
Pratisti, W. D. and Yuwono, S. 2018. Psikologi Eksperimen: Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Putra ST. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press
Putra, S. T. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran, Edisi I, cetakan I. Surabaya: Airlangga University
Press.
Rapar HJ. 1996. Pengantar Logika : Asas-Asas Penalaran Sistematis. Yogyakarta : Kanisius
Salam B. 2015. Pengantar Filsafat. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sobur, H. 2015. Logika dan Penalaran dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan. TAJDID, XIV, 387.
Suhartono S. 2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Persolan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan.
Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Sumaryono E. 1999. Hermeneutik. Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Supriyanto, S. 2013. Filsafat Ilmu. Jakarta: Prestasi Pustaka
Surajiyo. 2009. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
Surajiyo. 2015. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara
31
Tafsir, A. 2006. Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
32