Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“Bernalar Ilmiah”

Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr., SpBS(K)

Penulis:
dr. Andi Gita Fitri Martasiyah Dala 011918186302
dr. Deddy Aryanda Putra 011918076305
dr. Dewi Rochmawati 011918156302
dr. Farahdila Adline 011918016309
dr. Haykal Hermatyar Fatahajjad 011918196302
dr. Hendarto Arif Budiman 011918026310
dr. Olivier Maron S 021728016304
dr. Radhitio Adi Nugroho 011918116305
dr. Ryan Prasdinar Pratama Putra 011918236302
dr. Trivani Yusuf Rawit 011918066301

UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA
2019
DAFTAR ISI

Sampul............................................................................................................................1
DAFTAR ISI..................................................................................................................2
Bab 1 PENDAHULUAN...............................................................................................3
Bab 2 PEMBAHASAN..................................................................................................5
2.1 Pengertian.........................................................................................................5
2.2 Ciri Berpikir dalam Penalaran..........................................................................6
2.3 Jenis Penalaran.................................................................................................6
2.3.1 Penalaran Ilmiah Deduktif.......................................................................7
2.3.2 Penalaran Ilmiah Induktif........................................................................9
2.4 Karakteristik Berpikir Ilmiah.........................................................................12
2.5 Kelebihan dan Kelemahan Berpikir Ilmiah....................................................13
2.6 Kesalapahaman Penalaran..............................................................................14
Bab 3 PENUTUP..........................................................................................................16
3.1 Kesimpulan dan Saran....................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................17

2
BAB 1

PENDAHULUAN

Penalaran ilmiah mencakup keterampilan penalaran dan pemecahan masalah


yang terlibat di dalamnya menghasilkan, menguji dan merevisi hipotesis atau teori,
dan dalam kasus yang dikembangkan sepenuhnya keterampilan, merefleksikan proses
akuisisi pengetahuan dan perubahan pengetahuan yang dihasilkan dari kegiatan
penyelidikan tersebut. Ilmu pengetahuan, sebagai institusi budaya, mewakili ciri khas
pencapaian intelektual spesies manusia dan pencapaian ini didorong oleh keduanya
penalaran individu dan kognisi kolaboratif (Bradley,2012).

Penalaran ilmiah yang efektif membutuhkan keterampilan deduktif dan


induktif. Individu harus memahami bagaimana menilai apa yang saat ini diketahui
atau dipercaya, mengembangkan pertanyaan yang dapat diuji, menguji hipotesis, dan
menarik kesimpulan yang sesuai dengan mengoordinasikan bukti empiris dan teori.
Alasan seperti itu juga membutuhkan kemampuan untuk memperhatikan informasi
secara sistematis dan menarik kesimpulan yang masuk akal dari pola yang diamati.
Selanjutnya, itu membutuhkan kemampuan untuk menilai penalaran seseorang pada
setiap tahap dalam proses (Bradley,2012).

Mekanistik dari pengembangan penalaran ilmiah mencakup informasi tentang


proses dimana perubahan ini terjadi, dan bagaimana proses ini mengarah pada
perubahan dari waktu ke waktu. Mekanisme dapat dijelaskan pada berbagai tingkat
(mis., Neurologis, kognitif, interpersonal) dan berbagai skala waktu. Misalnya,
neurologis mekanisme (mis., penghambatan) beroperasi pada skala waktu milidetik
sementara mekanisme pembelajaran dapat beroperasi selama beberapa menit
(mis.,menghambat informasi yang tidak relevan selama penyelesaian masalah).
Banyak proses dan mekanisme kognitif yang menjelaskan pembelajaran dan
pemecahan masalah melintasi berbagai domain penting untuk pengembangan
keterampilan penalaran ilmiah dan akuisisi pengetahuan sains. Banyak mekanisme
kognitif telah diidentifikasi sebagai alasan ilmiah yang mendasari dan kognisi tingkat
tinggi lainnya (mis., analogi, statistic pembelajaran, kategorisasi, peniruan,
penghambatan). Namun karena ruang keterbatasan yang kami fokuskan pada apa yang
kami perdebatkan adalah

3
dua mekanisme paling kritis - penyandian dan pengembangan strategi - untuk
menggambarkan pentingnya kemampuan kognitif tingkat individu (Priti,2017).

Keterampilan Penalaran Ilmiah yang dibawa siswa untuk belajar dan


pemecahan masalah dapat diharapkan untuk membantu mereka dalam membuat
kemajuan dalam berbagai cara. Kemampuan bernalar ilmiah ‘meliputi alasan dan
keterampilan pemecahan masalah yang terlibat dalam menghasilkan, menguji dan
merevisi hipotesis atau teori, dan dalam hal keterampilan yang dikembangkan
sepenuhnya, yang merefleksikan proses perolehan pengetahuan dan perubahan
pengetahuan yang dihasilkan dari kegiatan inkuiri tersebut. Penalaran ilmiah berbeda
dari keterampilan lain yang dibutuhkan sumber daya kognitif tambahan serta integrasi
alat budaya. Lebih lanjut, ilmiah penalaran muncul dari interaksi antara faktor internal
(mis., kognitif dan perkembangan metakognitif) dan faktor budaya dan kontekstual.
Pola penalaran ilmiah didefinisikan sebagai strategi mental, rencana, atau aturan yang
digunakan untuk itu memproses informasi dan memperoleh kesimpulan yang
melampaui pengalaman langsung. Dalam hal yang serupa, penalaran ilmiah
melibatkan kemampuan untuk membangun argumen yang kuat untuk tindakan peserta
didik. Dengan demikian, kemampuan terkait dengan kognitif kemampuan seperti
pemikiran kritis dan penalaran yang membantu siswa dalam menghasilkan
pengetahuan selama pemecahan masalah melalui penalaran berbasis bukti. Mengingat
keterhubungan antara generasi pengetahuan melalui argumen dan alasan yang
mendukung argumen ini, siswa dengan level penalaran yang lebih tinggi dapat
diharapkan menjadi pemecah masalah yang unggul (Priti,2017)

4
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN

Sejatinya proses berpikir melibatkan empat unsur yakni otak yang sehat, panca
indera, informasi atau pengetahuan sebelumnya, dan fakta. Sehingga dari empat unsur
tersebut dapat dirangkai bahwa definisi bagi akal, pemikiran, proses berpikir adalah
pemindahan pengindraan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak untuk
menafsirkan fakta yang didapatkan dari informasi terdahulu. (Adib, 2015)

Penalaran merupakan proses berpikir berupa ilmu pengetahuan yang ditarik


sebagai suatu kesimpulan. Kegiatan berpikir yang memiliki ciri tertentu dan bukan
merupakan kegiatan perasaan juga disebut penalaran. Pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi membutuhkan kekuatan atas kemampuan untuk menalar.
Definisi berpikir secara umum adalah kegiatan yang bertujuan untukmenemukan
pengetahuan yang benar. Definisi berpikir secara khusus adalah kegiatan menemukan
kebenaran ilmiah sehingga digunakan istilah penalaran. (Adib, 2015)

Pola pikir penalaran adalah pola berpikir yang logis atau sistematik, dan
analitik. Sedangkan logis adalah memiliki alur yang jelas serta runtut atau memiliki
koherensi sehingga antara komponennya terdapat keselarasan. Analitik artinya proses
yang dilakukan secara kritis dengan cara mengajukan pertanyaan. Pertanyaan yang
bisa diajukan dapat berupa pertanyaan tentang apa, untuk apa, mengapa, bagaimana,
dan terus apa (pertanyaan perspektif)/ kegiatan berpikir penalaran dimuai dari suatu
pangkal pikir atau premis. Pangkal pikir atau premis adalah suatu pernyataan atau
proposisi dari premis tersebut kemudian dilakukan penarikan suatu pernyataan
kesimpulan.(Putra, 2010)

Sedangkan sikap ilmiah merupakan perilaku yang berguna untuk membangun


pola pikir dan komunikasi ilmiah secara efektif yang terdiri dari : (Putra, 2010)

1. Selalu ingin mencari tahu atau curious


2. Rasional yakni logis dan kritis (analitik)
3. Independen, yang artinya berorientasi pada kebenaran dan bukan pada individu

5
4. Faktual yakni berdasarkan fakta atau evidence based
5. Objektif
6. Jujur dalam menyampaikan kebenaran
7. Terbuka dan hormat terhadap pendapat lain yang berbeda
8. Etis dalam berkomunikasi
9. berorientasi pada kepentingan kemanusiaan
10. Skeptis dan pragmatis yaitu kebenaran ilmiah bersifat sementara
sampai terdapat kebenaran baru yang lebih terpercaya.
11. Sabar dan ulet untuk menemukan kebenaran

Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir ilmiah merupakan pola pikir berdasarkan
fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip-prinsip analisis, menggunakan
hipotesis, menggunakan ukuran objektif, dan menggunakan teknik kuantifikasi yang
prosesnya menggunakan pola pikir ilmiah secara logis (lewat pengetahuan yang
didapatkan dengan cara berpikir kritis) maupun empiris (lewat pengalaman). (Adib,
2015)

2.2 CIRI BERPIKIR DALAM PENALARAN

Ciri berpikir dalam penalaran terdapat dua ciri yakni berpolapikir luas (logika)
dan berpola pikir analitik. Ciri penalaran yang berpola pikir luas disebut sebagai
logika sehingga kegiatan penalaran dapat juga diartikan sebagai proses berpikir yang
logis yakni pengkajian untuk berpikir secara sahih. Berdasarkan pola pikir yang luas
yakni logika yang digunakan, maka penalaran dibagi menjadi logika induktif dan
logika deduktif. Sedangkan pola pikir bersifat analitik adalah berpikir logis berdasar
atas langkah tertentu. Sehingga penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan yang
menggunakan logika ilmiah. (Putra, 2010)

2.3 JENIS PENALARAN

Cara penalaran individu ditentukan oleh cara penarikan kesimpulan. Terdapat


dua jenis penalaran yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran
induktif adalah penalaran yang didasarkan pada cara berpikir yang bertujuan menarik
kesimpulan umum secara analitis dari sesuatu yang bersifat khusus atau individual.
Sedangkan penalaran deduktif adalah penalaran yang didasarkan pada cara berpikir

6
yang bertujuan menarik kesimpulan khusus secara sintesis dari sesuatu yang bersifat
umum. Pengembangan penalaran deduktif didasarkan atas kebenaran korespondensi
yang berarti memerlukan bukti empiris dalam pembenarannya. (Putra, 2010)

Sedangkan jenis penalaran menurut langkahnya terdapat dua jenis pola pikir
penalaran yakni penalaran langsung maupun tidak langsung. Penalaran langsung
merupakan pola berpikir yang premisnya terdiri dari suatu proposisi yang kemudian
diikuti dengan suatu kesimpulan. Penalaran tidak langsung adalah pola berpikir yang
premisnya terdiri lebih dari satu proposisi dimana kedua proposisinya terdapat bagian
pembanding yang bertujuan guna membentuk kesimpulan dari proposisi lain. (Putra,
2010)

2.3.1 Penalaran Ilmiah Deduktif

Deduksi adalah proses dalam nalar kita untuk menyimpulkan pengetahuan dari
yang “lebih umum” menuju “lebih khusus”. Pengetahuan yang lebih khusus itu sudah
terkandung dalam pengetahuan yang lebih umum tersebut, tetapi belum dengan tegas
dan jelas dapat dilihat dan dirumuskan. Jadi, masih bersifat potensial (Hadi, 2006).
Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang
dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan, premis mayor
dan premis minor, dan sebuah kesimpulan. Contohnya:

- Semua makhluk mempunyai mulut

- Aiman adalah seorang makhluk

- Jadi Aiman mempunyai mulut

Ketepatan penarikan kesimpulan bergantung dari tiga hal yakni kebenaran


premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan penegambilan keputusan.
Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka
kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun
secara deduktif. Karena pada hakikatnya, kesimpulan yang berupa pengetahuan baru
bukan dalam arti sebenarnya melainkan sekedar konsekuensi dari pengetahuan yang
sudah kita ketahui sebelumnya (Suriasumantari, 2013).

7
Proses deduktif dalam penelitian ilmiah harus berhenti dengan prediksi dalam
bentuk jika-maka. Ini berarti hasil dari pengujian tidak diketahui atau belum diketahui.
Seorang ilmuwan harus bertanya apakah peristiwa A disebabkan X, Y, Z, B. jika
hipotesisi benar, maka prediksi dapat diajukan. Tetapi belum ada pemeriksaan yang
serius mengenai hasil-hasil eksperimen, ia harus tetap mempertanyakan kebenaran
dari hipotesisnya. Hasil-hasil eksperimen itu disebut prediksi, bukan karena hasil
eksperimennya terjadi di masa depan, tetapi karena pengetahuan tentang prediksi itu
mendahului pembuktian kebenarannya. Jadi fase deduktif berakhir dengan perumusan
prediksi yang ditarik secra logis dari hipotesis eksplanatoris (Keraf, 2001).

Pada dasarnya silogisme dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

1. Silogisme kategoris

Silogisme kategoris ialah silogisme yang premis-premisnya dan


kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Contoh dari silogisme kategoris
banyak sekali kita temui dalam percakapan sehari-hari. Orang biasanya
menyatakan hasil-hasil pemikiran dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi
biasanya hasil pemikiran itu tidak dirumuskan dalam bentuk silogisme. Contoh
bila kita ditanya “Mengapa korupsi itu tidak baik?” maka jawabannya adalah
“Karena korupsi itu jahat.” Apabila kita uraikan contoh tersebut ke dalam bentuk
silogisme adalah sebagai berikut:

- Segala tindak kejahatan adalah tidak baik

- Korupsi adalah salah satu tindak kejahatan

- Jadi korupsi itu tidak baik

Bentuk deduksi seperti inilah yang disebut silogisme dan silogisme ini dalam
logika tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran deduktif.
Silogisme terdiri dari atas tiga proporsi kategorik (Soekadijo, 2001). Dua proporsi
yang pertama berfungsi sebagau premis sedang yang ketiga berfungsi sebagai
konklusi. Contoh di atas memiliki tiga term yaitu “kejahatan”, “sikap tidak baik”,
dan “korupsi”. Ketiga term tersebut digunakan dua kali. Kata “korupsi” digunakan

8
dua kali sebagai subyek, sekali di premis dan sekali di konklusi. Kata “sikap tidak
baik” berfungsi dua kali sebagai predikat, sekali di premis sekali di konklusi.

2. Silogisme hipotesis

Silogisme hipotesis adalah silogisme yang mengandung satu premis atau lebih
yang berupa keputusan hipotesis. Adapun contoh dari silogisme hipotesis adalah
sebagai berikut:

- Jika kamu makan nasi (antecedens), maka kamu kenyang (konsekuens)

- Kamu makan nasi

- Jadi kamu kenyang

Dalam silogisme hipotesis berlaku hukum, jika antecedens, keputusan


kondisional yang mengandung syarat, benar dan hubungannya sah, maka
kesimpulan akan benar pula. Namun, jika kesimpulannya salah (dan hubungannya
sah) maka antecedens salah pula.

3. Silogisme dalam kehidupan sehari-hari

Dalam komunikasi sehari-hari banyak terjadi penyimpangan karena unsur


porporsinya hiper lengkap, lebih dari tiga. Di samping itu banyak silogisme yang
menyimpang karena unsur proporsinya tidak lengkap dan ada juga silogisme yang
premisnya lebih dari dua proporsi bahkan lebih.

2.3.2 Penalaran Ilmiah Induktif

Penalaran induktif juga adalah proses penalaran dari fakta-fakta atau


observasi-observasi spesifik untuk mencapai kesimpulan yang dapat menjelaskan
fakta-fakta tersebut secara koheren (Sternberg: 2006). Penarikan kesimpulan yang
bertolak dari hal-hal yang khusus atau spesifik ke hal-hal yang bersifat umum juga
dikemukakan oleh Sumaryono (1999) dan Santrock (2004). Demikian juga dengan
Tim PPPG (Shadiq, 2004) mengemukakan bahwa penalaran induktif merupakan suatu
kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau
membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum berdasar pada beberapa

9
pernyataan khusus yang diketahui benar. Dengan demikian penalaran induktif
diartikan sebagai suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau
membuat suatu pernyataan baru yang bersifat umum berdasarkan pada beberapa
pernyataan khusus yang diketahui benar.

Keuntungan Menggunakan Penalaran Induktif:

1. Pernyataan yang bersifat umum ini bersifat ekonomis


2. Dari pernyataan yang bersifat umum dimungkinkan proses penalaran
selanjutnya baik secara induktif maupun deduktif.
Jenis penalaran induktif antara lain:
- Generalisasi: Pernalaran yang mengandalkan beberapa pernyataan yang
mempunyai sifat tertentu untuk mendapatkan simpulan yang bersifat umum.
Contoh:
Jika dipanaskan, besi memuai. Jika
dipanaskan, tembaga memuai. Jika
dipanaskan, emas memuai.
Jadi, jika dipanaskan, logam memuai (Arifin, 2004).

- Analogi: Cara penarikan pernalaran dengan membandingkan dua hal yang


mempunyai sifat yang sama.

Contoh:
Nina adalah lulusan akademi A.
Nina dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Ali adalah lulusan akademi A.
Oleh sebab itu, Ali dapat menjalankan tugasnya dengan baik (Arifin, 2004).

- Hubungan kausal: Pernalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling


berhubungan. Dalam kaitannya dengan hubungan kausal ini, tiga hubungan
antar masalah yaitu sebagai berikut:

a. Sebab akibat
Sebab akibat memiliki pola A menyebabkan B. Di samping itu, hubungan
ini dapat pula berpola A menyebabkan B, C, D dan seterusnya. Jadi, efek
dari suatu peristiwa yang dianggap penyebab kadang-kadang lebih dari
satu (Arifin, 2004).
Contoh:

10
Angin hujan lemparan mangga jatuh.
(A) (B) (C) (D)
Angin, hujan mangga tidak
jatuh
(A) (B) (D)
Oleh sebab itu, lemparan anak menyebabkan mangga jatuh.
(C) (E)

Pola-pola seperti itu sesuai pula dengan metode agreement. Jika dua
kasus atau lebih dalam satu gejala mempunyai satu dan hanya satu kondisi
yang dapat mengakibatkan sesuatu, kondisi itu dapat diterima sebagai
penyebab sesuatu tersebut.

Contoh:
Teh, gula, garam menyebabkan kedatangan semut.
(P) (Q) (R) (Y)
Gula, lada, bawang menyebabkan kedatangan semut.
(Q) (S) (U) (Y)
Jadi, gula menyebabkan kedatangan semut.
(Q) (Y) (Arifin, 2004).

b. Akibat-sebab

Hubungan akibat-sebab dapat kita lihat pada peristiwa seseorang yang


pergi ke dokter.Ke dokter merupakan akibat dan sakit merupakan sebab,
jadi mirip dengan entimen.Akan tetapi, dalam pernalaran jenis akibat-
sebab ini, peristiwa sebab merupakan simpulan

c. Akibat-akibat

Hubungan akibat-akibat merupakan suatu pernalaran yang menyiratkan


penyebabnya. Peristiwa akibat langsung disimpulkan pada suatu akibat yang
lain (Arifin, 2004)

Contoh:
Hujan menyebabkan tanah becek.
(A) (B)
Hujan menyebabkan kain jemuran basah.
(A) (C)

Dalam proses pernalaran “akibat-akibat”, peristiwa tanah becek (B)


merupakan data, dan peristiwa kain jemuran basah (C) merupakan simpulan.

11
Jadi, karena tanah becek, pasti kain jemuran basah.
(B) (C) (Arifin, 2004)

2.4 KARAKTERISTIK BERPIKIR ILMIAH

Metode ilmiah merupakan prosedur yang bertujuan mendapatkan ilmu


pengetahuan dengan syarat rasional dan teruji.metode ilmiah adalah ekspresi cara
kerja penalaran utuk menghasilkan pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan yang
konsisten dan koheren sehingga ilmu pengetahuan dapat memberi penjelasan tentang
objek yang berada dalam fokus kajian secara rasional. Metode ilmiah yang bertujuan
untuk mendapatkan kebenaran dari suatu peristiwa berdasarkan fakta yang didapatkan
secara empirik kemudian digabungkan dengan analisis rasional juga umumnya disebut
sebagai kerangka konseptual.penalaran ilmiah bertujuan menjawab pertanyan tentang
apa fakta atau buktinya dan bagaimana penjelasannya. Dari penjelasan tersebut
disimpulkan karakteristik berpikir ilmiah yakni : (Putra, 2010)

1. Sumber ilmiah adalah acuan pernyataan

Apabila sumbernya bersifat teori maka syaratnya harus merupakan teori ilmiah
yang sahih yakni berasal dari kepustakaan ilmiah. Apabila sumbernya adalah
suatu fakta maka seharusnya merupakan fakta ilmiah yakni fakta yang
dihimpun dan diolah sesuai dengan kaidan metode ilmiah.

2. Sistematik dan runtut

Sistematik adalah sesuai dengan kaidan penalaran yang sahih, sedangkan


runtut artinya antar komponen terdapat keselarasan.

3. Objektif

Objektif merupakan kesimpulan yang diambil berdasarkan pada objeknya dan


bukan hasil tafsiran subjektif dari orang yang menyimpulkan.

4. Skeptik

12
Skeptik adalah pola pikir yang menganggap benar suatu kebenaran yang
bersifat relatif serta pragmatis, sampai ditemukan kesimpulan baru yang
dianggap lebih benar secara sahih.

5. Bersifat apa adanya

Apa adanya artinya usaha untuk menemukan kebenaran apa adanya yang
manfaat baik maupun keburukannya diserahkan pada pihak pemangku
kepentingan atau stake holder seperti pakar, filosof, agamawan, serta
pemangku kepentingan lain.

6. Bersifat probabilistik

Bersifat probabilistik dapat diartikan juga bersifat peluang pada kebenaran


ilmiah karena mengandung unsur induktif.

7. Universal

Universal diartikan sebagai suatu hasil kesimpulan yang harus berlaku secara
umum tanpa membeda-bedakan atau diskriminasi.

2.5 KELEBIHAN DAN KELEMAHAN POLA PIKIR ILMIAH

Sama dengan metode lainnya, pola pikir ilmiah juga merupakan suatu metode
yang memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Kelebihan pola pikir ilmiah antara lain
yakni (1) bersifat lebih operasional karena bersifat faktual untuk memecahkan masalah
kehidupan, (2) lebih mudah disebar dan dikaji ulang karena sistematikanya jelas dan
terukur, (3) kajian semakin dalam karena makin terspesialisasi. Sedangkan kelemahan
pola pikir ilmiah antara lain yakni (1) sudut pandang semakin sempit dan sektoral
karena ilmu makin terspesialisasi, (2) situasi tidak mewakili situasi di kehidupan nyata
dan bisa timbul bias pada tahap aplikasi karena kesimpulan ditarik dari kondisi
eksperimental yang bersifat artifisal atau buatan, (3) sedalam-dalamnya kajian ilmu,
kajiannya masih pada tataran gejala atau fakta sehingga jika ilmunya berdiri sendiri
maka tidak akan pernah secara tuntas memecahkan masalah kehidupan. (Putra, 2010)

13
2.6 KESALAHAN PENALARAN

Kesalahan penalaran (reasoning atau logical fallacy) adalah gagasan, perkirann


atau simpulan yang keliru atau sesat dalam proses berfikir karena keliru menafsirkan
atau menarik kesimpulan. Kekeliruan ini dapat terjadi karena faktor emosional,
kecerobohan atau ketidaktahuan. Kesalahan atau kesesatan terjadi karena dua hal,
yaitu ketidaktepatan bahasa dan ketidaktepatan relevansi. Seorang psikolog dan ahli
filsafat, John Locke, mengidentifikasi beberapa kekeliruan atau kesesatan berfikir
akhirnya termanifestasi dalam perilaku yang juga sesat seperti subjek jarang berfikir
sendiri, tidak menggunakan rasionya sendiri dengan baik dan tidak terbuka untuk
melihat persoalan secara komprehensif (Adib, 2015).

Salah nalar dapat dibedakan atas 4 (empat) macam :

1. Generalisasi yang terlalu luas


Kesalahan penalaran ini terjadi karena kurangnya data, malas mengumpulkan
dan menguji data yang memadai, sikap menggampangkan, atau ingin cepat
meyakinkan orang lain dengan bahan yang terbatas. Paling tidak ada dua
kesalahan generalisasi yang muncul :
a. Generalisasi sepintas
Penulis mengeneralisasi berdasarkan data atau evidensi yang sangat
sedikit.
b. Generalisasi apriori
Penulis mengeneralisasi berdasarkan data yang belum diuji
kebenarannya atau kesalahannya. Biasanya didasarkan atas prasangka
terhadap suatu anggota dari kelompok, keluarga, ras atau suku, agama,
organisasi,dan pekerjaan yang melakukan kesalahan atau kekeliruan
maka semua anggota kelompok tersebut dianggap sama.
2. Kerancuan analogi
Kesalahan penaralan ini terjadi karena penggunaan anologi yang kurang tepat.
Kedua hal yang dibandingkan tidak memiliki kesamaan esensial (pokok).
3. Kekeliruan kausalitas (sebab akibat)
Kesalahan penalaran ini terjadi karena kekeliruan menentuan sebab.
Generalisasi induktif sering disusun berdasarkan pengamatan sebab dan
akibat,

14
tetapi kita kadang-kadang tidak menilai dengan tepat sebab suatu peristiwa
atau hasil kejadian.
4. Kesalahan relevansi
Kesalahan penalaran ini terjadi apabila bukti yang diajukan tidak berhubungan
atau tidak menunjang kesimpulan. Kesalahan ini dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu : pengabaian persoalan, penyembunyian persolan, dan kurang
memahami persoalan.
5. Penyandaran terhadap prestise seseorang
Kesalahan penalaran ini terjadi karena penulis menggunakan pendapat
seseorang yang terkenal namun bukan ahlinya (Adib, 2015)

15
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Seseorang dikatakan berpikir ilmiah jika dapat berpikir secara logis dan
empiris. Logis adalah masuk akal, dan empiris adalah dibahas secara mendalam
berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan. Kemudian menggunakan akal
budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkannya.
Penalaran sebagai salah satu langkah menemukan titik kebenaran. Di dalam
prosesnya ditemukan logika. logika melahirkan deduksi dan induksi, yang merupakan
suatu proses pemikiran untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang benar didasarkan
pada pengetahuan yang dimiliki.
Suatu proses pemikiran dapat dituangkan dalam pembuatan metode ilmiah dan
pembuktian penalaran, yang melahirkan logika sehingga terciptalah pengetahuan yang
baru. Dengan metode berpikir ilmiah lah pengetahuan akan dianggap sah.

3.2 SARAN
Diharapkan pembaca dapat melatih pola berpikir secara logis dan sistematis
dalam setiap proses mendalami berbagai macam pengetahuan. Hal ini penting
mengingat filsafat ilmu adalah akar berbagai keilmuan yang terus berkembang pesat
seiring waktu.

16
DAFTAR PUSTAKA

Adib M., 2015. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemiologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, Edisi ke-3 (revisi), Cetakan I Maret 2015. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arifin, Zaenal dan Amran Tasai. 2004. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo

Bradley J. Morris, Steve Croker, Amy M. Masnick. 2012. The Emergence of Scientific
Reasoning. Kent State University

Hadi, AS 2006, Logika filsafat berfikir, UNS Press, Surakarta.

Keraf, AS 2001, Ilmu pengetahuan sebuah tujuan filosofis, Kanisius, Yogyakarta.

Priti Shah, Audrey Michalx, Amira Ibrahim. 2017. What Makes Everyday Scientific
Reasoning So Challenging?. Elsevier Inc.

Putra S.T., 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran, Edisi I, cetakan I. Surabaya: Airlangga
University Press.

Santrock, John W. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. Yogyakarta:


Widyaiswara PPPG Matematika.

Soekadijo, RG 2001, Logika dasar, tradisional, simbolik dan induktif, Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

Sternberg, Robert J. 2006. Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sumaryono, E. 1999. Dasar-dasar Logika. Yogyakarta: Kanisius.

Suriasumantari, JS 2013, Filsafat ilmu, sebuah pengantar popular, Pustaka Sinar


Harapan, Jakarta.

17
PENALARAN
ILMIAH

Kelompok 10
dr. Andi Gita Fitri Martasiyah Dala dr. Hendarto Arif Budiman
dr. Deddy Aryanda Putra drg. Olivier Maron S
dr. Dewi Rochmawati dr. Radhitio Adi Nugroho
dr. Farahdila Adline dr. Ryan Prasdinar Pratama Putra
dr. Haykal Hermatyar Fatahajjad dr. Trivani Yusuf Rawit
Pendahuluan
Penalaran ilmiah mencakup keterampilan
penalaran dan pemecahan masalah yang
terlibat di dalamnya menghasilkan, menguji
dan merevisi hipotesis atau teori

2
Pendahuluan
Penalaran ilmiah yang efektif
membutuhkan keterampilan deduktif
daninduktif

Individu harus memahami bagaimana menilai apa


yang saat ini diketahui atau dipercaya,
mengembangkan pertanyaan yang dapat diuji,
menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan
yang sesuai dengan mengoordinasikan bukti empiris
dan teori 3
Pengertian
Pola pikir penalaran adalah pola berpikir yang
logis atau sistematik, dan analitik.

Logis  alur yang jelas serta runtut atau


memiliki koherensi

Analitik  dilakukan secara kritis


Sikap Ilmiah
Selalu ingin mencari tahu atau curious

Rasional yakni logis dan kritis (analitik)

Independen, yang artinya berorientasi pada kebenaran dan bukan pada in

Faktual yakni berdasarkan fakta atau


evidence based
Sikap Ilmiah
Objektif

Jujur dalam menyampaikan kebenaran

Terbuka dan hormat terhadap pendapat lain yang berb

Etis dalam berkomunikasi


Sikap Ilmiah
berorientasi pada kepentingan kemanusiaan

Skeptis dan pragmatis yaitu kebenaran ilmiah bersifat sementara sampai terdapat ke

Sabar dan ulet untuk menemukan kebenaran


Ciri Berpikir dalam Penalaran
Berdasarkan pola pikir yang luas yakni
logika yang digunakan, maka penalaran
dibagi menjadi logika induktif dan
logika deduktif.
Penalaran Ilmiah Deduktif
proses dalam nalar kita untuk
menyimpulkan pengetahuan dari yang
“lebih umum” menuju “lebih
khusus”
Deduksi

- Semua makhluk mempunyai mulut

- Aiman adalah seorang makhluk

- Jadi Aiman mempunyai mulut


Penalaran Ilmiah Deduktif
o Proses deduktif dalam penelitian ilmiah
harus berhenti dengan prediksi dalam
bentuk jika-maka.

o Jadi fase deduktif berakhir dengan


perumusan prediksi yang ditarik secra
logis dari hipotesis eksplanatoris
Deduksi Kategoris

Segala tindak kejahatan adalah tidak baik

Korupsi adalah salah satu tindak kejahatan Jadi

korupsi itu tidak baik


Penalaran Ilmiah Deduktif
SILOGISME HIPOTESIS

Deduksi Hipotesis
Jika kamu makan nasi (antecedens), maka
kamu kenyang (konsekuens)
Kamu makan nasi

Jadi kamu kenyang


Penalaran Ilmiah Induktif
Penarikan kesimpulan yang bertolak dari hal-
hal yang khusus atau spesifik ke
hal-hal yang bersifat umum

Keuntungan

Pernyataan yang bersifat umum ini bersifat ekonomis

Dari pernyataan yang bersifat umum dimungkinkan proses penalaran


selanjutnya baik secara induktif maupun deduktif.
Penalaran Ilmiah Induktif
o suatu proses atau aktivitas berpikir untuk
menarik kesimpulan atau membuat suatu
pernyataan baru yang bersifat umum
berdasarkan pada beberapa pernyataan
khusus yang diketahui benar.
Penalaran Ilmiah Induktif
Generalisasi
Generalisasi
Jika dipanaskan, besi memuai.

Jika dipanaskan, tembaga memuai.

Jika dipanaskan, emas memuai.

Jadi, jika dipanaskan, logam


memuai
Penalaran Ilmiah Induktif
Analogi
Analogi
Nina adalah lulusan
akademi A.
Nina dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Ali adalah lulusan akademi A.

Oleh sebab itu, Ali dapat menjalankan


tugasnya dengan baik
Penalaran Ilmiah Induktif
Kausal
Sebab Akibat
Angin hujan lemparan mangga jatuh. (ABCD)

Angin,hujan mangga tidak jatuh (ABD)

Oleh sebab itu, lemparan anak menyebabkan


mangga jatuh (CE).
Penalaran Ilmiah Induktif
Kausal
Akibat Sebab
Seorang pergi ke dokter

Seseorang Sakit.

Ke dokter merupakan akibat dan sakit


merupakan sebab.
Penalaran Ilmiah Induktif
Kausal
Akibat Akibat
Hujan menyebabkan tanah becek

Hujan menyebabkan kain jemuran basah

Jadi, karena tanah becek, pasti kain jemuran


basah (BC).
Karakteristik Berpikir Ilmiah
Sumber Ilmiah adalah Acuan Pernyataan

Sistematik dan Runtut

Objektif

Skeptik
Karakteristik Berpikir Ilmiah
Bersifat Apa Adanya

Bersifat Probabilistik

Universal
Kelebihan Pola Pikir Ilmiah

Bersifat lebih operasional karena bersifat faktual


untuk memecahkan masalah kehidupan

Lebih mudah disebar dan dikaji ulang karena


sistematikanya jelas dan terukur

Kajian semakin dalam karena makin


terspesialisasi
Kelebihan Pola Pikir Ilmiah

Sudut pandang semakin sempit dan sektoral


karena ilmu makin terspesialisasi,

Situasi tidak mewakili situasi di kehidupan nyata


dan bisa timbul bias pada tahap aplikasi

masih pada tataran gejala atau fakta sehingga jika


ilmunya berdiri sendiri maka tidak akan pernah
secara tuntas memecahkan masalah kehidupan.
Kesalahan Penalaran
Generalisasi yang Terlalu Luas

Kerancuan Analogi

Kekeliruan Kausalitas

Kesalahan Relevansi

Penyadaran terhadap Prestise


Kesimpulan
Berpikir ilmiah adalah berpikir secara logis
dan empiris.
Penalaran sebagai salah satu langkah
menemukan titik kebenaran. Di dalam
prosesnya ditemukan logika. logika
melahirkan deduksi dan induksi, yang
merupakan suatu proses pemikiran untuk
menghasilkan suatu kesimpulan yang benar
25

didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki.


Saran
Diharapkan pembaca dapat melatih pola
berpikir secara logis dan sistematis dalam
setiap proses mendalami berbagai macam
pengetahuan. Hal ini penting mengingat
filsafat ilmu adalah akar berbagai keilmuan
yang terus berkembang pesat seiring
waktu.

26
TERIMA KASIH
Daftar Referensi
Adib M., 2015. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemiologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan, Edisi ke-3 (revisi), Cetakan I Maret
2015. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arifin, Zaenal dan Amran Tasai. 2004. Cermat Berbahasa Indonesia
untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akademika Pressindo
Bradley J. Morris, Steve Croker, Amy M. Masnick. 2012. The
Emergence of Scientific Reasoning. Kent State University
Hadi, AS 2006, Logika filsafat berfikir, UNS Press, Surakarta.
Keraf, AS 2001, Ilmu pengetahuan sebuah tujuan filosofis, Kanisius,
Yogyakarta.
Priti Shah, Audrey Michalx, Amira Ibrahim. 2017. What Makes
Everyday Scientific Reasoning So Challenging?. ElsevierInc.
Daftar Referensi
Putra S.T., 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran, Edisi I, cetakan I. Surabaya:
Airlangga University Press.
Santrock, John W. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta:Kencana.
Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran, dan
Komunikasi. Yogyakarta: Widyaiswara PPPG Matematika.
Soekadijo, RG 2001, Logika dasar, tradisional, simbolik dan induktif,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sternberg, Robert J. 2006. Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Sumaryono, E. 1999. Dasar-dasar Logika. Yogyakarta: Kanisius.
Suriasumantari, JS 2013, Filsafat ilmu, sebuah pengantar popular,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai