Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“Bernalar Ilmiah”
Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr., SpBS(K)

Gusti Pindo Asa Anindito, dr 012128066310


Ardea Ramadhanti Perdanakusuma, dr 012128246304

Nurul Hanifah, dr 012128166310

Gabriella Tandipayuk, dr 012128116305

Sekarlia Wiarsi Fristiari, dr 012128016309

Bagus Satrio Nurwito, dr 012128026301

Yosua Hendriko Manurung, dr 012128136304

Rr. Fara Lutfita, dr 012128086311

Errory Ramadiansyah, dr 012128126305

Muhammad Anugerah Perdana, dr 012128146301


Auliya Ashar, dr 012128156304

Mata Kuliah Dasar Umum


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER/DOKTER SPESIALIS I
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA

1
DAFTAR ISI

1. Pendahuluan...............................................................................................2

2. Tinjauan Pustaka.......................................................................................4

2.1 Penalaran Ilmiah......................................................................4

2.2 Penalaran Deduktif..................................................................7

2.3 Penalaran Induktif...................................................................9

2.4 Sarana Penalaran Ilmiah.........................................................12

3. Kesimpulan..................................................................................................15

4. Daftar Referensi..........................................................................................16

2
BAB 1
PENDAHULUAN

Di Era globalisasi saat ini khususnya di Indonesia, upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia terus dikembangkan salah satunya melalui bidang pendidikan. Karena
pendidikan memiliki peran penting sehingga perlu ikut berperan aktif dalam meningkatkan
kualitas juga kuantitas pola berpikir peserta didik. Dalam meningkatkan pola berpikir peserta
didik, perlu didukung melalui proses pembelajaran yang tepat, agar kemampuan atau
keterampilan peserta didik dapat berkembang dengan baik (Rahmawati, 2018). Salah satu
kemampuan berpikir yang penting dikuasai oleh peserta didik adalah kemampuan berpikir
tingkat tinggi (High Order Thinking). Berpikir tingkat tinggi (HOTS) dalam pembelajaran
penting dikuasai oleh peserta didik karena HOTS merupakan salah satu tuntutan pendidikan
abad-21 (Madang et al., 2019). Salah satu karakteristik pada keterampilan abad 21 yaitu
menuntut sumber daya manusia yang mampu berpikir dan bernalar secara ilmiah untuk
menyelesaikan berbagai macam permasalahan (Zulfaidhah, Z., Palenewen, E., & Hardoko, A,
2018). Karakteristik keterampilan abad 21 yang harus dimiliki oleh peserta didik antara lain
yaitu: penalaran (reasoning), pemecahan masalah (problem solving), komunikatif dan
kolaboratif (Hakim, N. 2015).
Salah satu keterampilan abad 21 yang perlu di latihkan yaitu keterampilan penalaran
ilmiah (Scientific reasoning). (Saad et al., 2017). Penalaran ilmiah dimaksudkan sebagai
kemampuan berpikir sistematis dan logis untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan
metode ilmiah, meliputi proses mengevaluasi fakta, membuat prediksi dan hipotesis,
menentukan dan mengontrol variabel, merancang dan melakukan eksperimen, mengumpulkan
data, menganalisis data dan mengambil kesimpulan. Penalaran ilmiah sangat penting untuk
dilatihkan karena merupakan landasan dari proses penemuan dan juga menjadi dasar bagi
perkembangan keterampilan lain seperti keterampilan berpikir kritis (berpikir tingkat tinggi)
dan pemecahan masalah (Nugraha, M. G., Kirana, K. H., Utari, S., Kurniasih, N., Nurdini, N.,
& Sholihat, F. N, 2017)
Saptono S et al. (2013) menyebut bahwa penalaran ilmiah merupakan salah satu
keterampilan yang diharapkan dapat diajarkan di kelas sains sebagai upaya untuk
mempersiapkan peserta didik agar mereka berhasil dalam menghadapi tantangan globalisasi.
Untuk mengakomodasi hal ini pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan aspek
pengembangan kemampuan problem solving, reasoning, konseptualisasi dan analisis. Koenigh
et al. (2012) menyatakan bahwa penalaran ilmiah berhubungan dengan kemampuan yang
3
digunakan saat praktik ilmiah dan berhubungan dengan pengumpulan serta analisis bukti.
Untuk meningkatkan keterampilan penalaran ilmiah, dibutuhkan strategi pembelajaran dan
perangkat pembelajaran yang memadai dan pendidik benar-benar menciptakan situasi belajar
agar peserta didik dapat berperan aktif selama proses pembelajaran.
Karena masih banyak yang belum kami ketahui mengenai penalaran ilmiah dan bagaimana
cara bernalar secara ilmiah, maka dengan makalah ini kami mencoba membahas lebih dalam
lagi tentang materi penalaran ilmiah.
Rumusan Masalah:

• Apakah yang dimaksud dengan penalaran ilmiah?


• Apa saja jenis penalaran ilmiah?
• Apa yang dimaksud dengan penalaran deduktif?
• Apa yang dimaksud dengan penalaran induktif?

Tujuan
1. Tujuan Umum

• Mengetahui dan memahami pengertian bernalar ilmiah

2. Tujuan Khusus

• Mengetahui definisi bernalar ilmiah


• Mengetahui jenis penalaran ilmiah

4
BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

Penalaran ilmiah

Penalaran ilmiah (Scientific reasoning) dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir


sistematis dan logis untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan metode ilmiah
meliputi tahap mengevaluasi fakta, membuat prediksi dan hipotesis, menentukan dan
mengontrol variabel,merancang dan melakukan eksperimen, mengumpulkan
data,menganalisis data dan mengambil kesimpulan (Purwana, 2016; Koenig, 2012;
Zimmerman, 2007; Ammer, 2005). Pengembangan pembelajaran meningkatkan penalaran
ilmiah (Fitriyati, I., Hidayat, A., & Munzil, M, 2017).

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik)
yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis
juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang
diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya
tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang
dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya
disebut dengan konklusi (consequence). Hubungan antara premis dan konklusi disebut
konsekuensi.

Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Ciri pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan
sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu.
Ciri yang kedua adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Menurut Jujun Suriasumantri,
Penalaran adalah suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berfikir penalaran memiliki ciri- ciri tertentu. Ciri
pertama adalah proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir
menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Ciri yang kedua adalah
sifat analitik dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya
suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir
berdasarkan langkah-langkah tertentu.

5
Penalaran disini adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis
berdasarkan fakta yang relevan. Dengan kata lain, penalaran adalah proses penafsiran fakta
sebagai dasar untuk menarik kesimpulan. Menurut tim balai pustaka (dalam Shofiah, 2007 :
14) istilah penalaran mengandung tiga pengertian diantaranya:

1. Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara berfikir logis.;


2. Hal mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan perasaan
atau pengalaman;
3. Proses mental dalam mengembangkan atau mengendalikan pikiran dari beberapa fakta
atau prinsip.

Sementara Penalaran mempunyai ciri-ciri yaitu:

1. Dilakukan dengan sadar;


2. Didasarkan oleh sesuatu yang sudah di ketahui;
3. Sistematis;
4. Terarah dan bertujuan;
5. Menghasilkan kesimpulan yang dapat berupa pengetahuan, keputusan dan sikap
terbaru;
6. Sadar tujuan;
7. Premis berupa pengalaman, pengetahuan, ataupun teori yang di dapatkan;
8. Pola pemikiran tertentu; dan
9. Sifat empiris nasional

Syarat-syarat kebenaran dalam penalaran

Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tentu adalah untuk menemukan kebenaran.
Kebenaran dapat dicapai jika syarat – syarat dalam menalar dapat dipenuhi.
1. Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan
sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
2. Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi
semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara
formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat,
diturunkan dari aturan-aturan berpikir yang tepat sedangkan material berarti isi atau
bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.

6
Ciri – Ciri atau Karakteristik Penalaran Ilmiah

Penalaran ilmiah memiliki ciri-ciri yaitu :

1. Sumber ilmiah adalah acuan pernyataan

Apabila sumbernya bersifat teori maka syaratnya harus merupakan teori ilmiah
yang sahih yakni berasal dari kepustakaan ilmiah. Apabila sumbernya adalah
suatu fakta maka seharusnya merupakan fakta ilmiah yakni fakta yang
dihimpun dan diolah sesuai dengan kaidan metode ilmiah.

2. Sistematik dan runtut

Sistematik adalah sesuai dengan kaidan penalaran yang sahih, sedangkan runtut
artinya antar komponen terdapat keselarasan

3. Objektif

Objektif merupakan kesimpulan yang diambil berdasarkan pada objeknya dan


bukan hasil tafsiran subjektif dari orang yang menyimpulkan.

4. Skeptik

Skeptik adalah pola pikir yang menganggap benar suatu kebenaran yang
bersifat relatif serta pragmatis, sampai ditemukan kesimpulan baru yang
dianggap lebih benar secara sahih.

5. Bersifat apa adanya

Apa adanya artinya usaha untuk menemukan kebenaran apa adanya yang
manfaat baik maupun keburukannya diserahkan pada pihak pemangku
kepentingan atau stake holder seperti pakar, filosof, agamawan, serta pemangku
kepentingan lain.

6. Bersifat probabilistik

Bersifat probabilistik dapat diartikan juga bersifat peluang pada kebenaran


ilmiah karena mengandung unsur induktif.

7. Universal

Universal diartikan sebagai suatu hasil kesimpulan yang harus berlaku secara
umum tanpa membeda-bedakan atau diskriminasi.

7
Jenis Penalaran

Cara penalaran individu ditentukan oleh cara penarikan kesimpulan. Terdapat dua jenis
penalaran yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.

Penalaran Deduktif

Deduksi diambil dari bahasa inggris, Deduction. Deduksi merupakan cara berpikir dari
pernyataan umum ditarik kesimpulan menjadi khusus (Fuadah, 2019; Mustofa, 2016; Rijal et
al., 2017; Sari, 2019; Suyitno, 2018; Wibowo, 2022). Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh
Ramon B (1991) menyatakan bahwa deductive reasoning, therefore, is a process of going down
to a particular spesific truth on the basis of a universal truth. Dikuatkan oleh Mundiri dalam
Rijal (2017) menyatakan bahwa penalaran deduktif adalah suatu kerangka atau cara berpikir
yang bertolak dari sebah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai sebuah
kesimpulan yang bermakna lebih khusus. Penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir lawan
dari penalaran induktif. (Rijal et al., 2017; Sari, 2019).

Penalaran deduktif juga sering kali diartikan sebagai logika minor. Hal tersebut
dikarenakan adanya pendalaman dasar dasar penyesuaian dalam hukum, rumus, dan patokan
tertentu (Mustofa, 2016). Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola
berpikir silogismus(Mustofa, 2016). Silogisme terdiri dari dua buah pernyataan dan sebuah
kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus disebut premis yang kemudian dapat
dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Pengetahuan yang didapat dari penalaran
deduktif adalah hasil kesimpulan berdasarkan kedua premis tersebut.

Adapun contohnya adalah sebagaimana berikut:

Semua ikan bernafas dengan insang [premis mayor] ------ Landasan [1]

Mujair adalah ikan [premis minor] ------- Landasan [2]

Jadi mujair bernafas dengan insang [kesimpulan] ---------- Pengetahuan

Kesimpulan yang diambil bahwa mujair bernafas dengan insang adalah pengetahuan
yang sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis
yang mendukungnya. Jika kebenaran dari kesimpulan/pengetahuan dipertanyakan maka harus
dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang
mendukungnya adalah benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga

8
benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, karena cara
penarikan kesimpulannya tidak sah. Contoh :

Semua ikan bernafas dengan insang [premis mayor] ------ Landasan [1]

Mujair bukan ikan [premis minor] ------- Landasan [2]

Jadi mujair bernafas dengan insang [kesimpulan] ---------- Pengetahuan

Jadi ketepatan penarikan kesimpulan dalam penalaran deduktif bergantung dari tiga
hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan pengambilan
kesimpulan. Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak terpenuhi maka
kesimpulan yang ditariknya akan salah (Suyitno, 2018).
Penalaran deduktif merupakan analisis yang berkembang dengan adanya pengamatan
sistematis dan kritis yang berhubungan dengan pengetahuan sehingga dapat saling
menghubungkan solusi sebuah masalah. Penyelesaian secara rasional untuk mempertanggung
jawabkan kebenaran merupakan suatu metode yang penting bagi para ilmuwan.

9
Ada beberapa teori yang sering dikaitkan dengan penalaran deduktif:
1. Teori koherensif: teori yang berhubungan dan dapat dibuktikan oleh fakta-fakta realita
2. Teori kebenaran pragmatis: Kebenaran suatu pernyataan jika berkonskuensi dengan
adanya kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Sehingga penalaran deduktif sering diartikan sebagai metode eksperimen. Bersifat
faktual dimana konsekuensinya dapat diuji nyata oleh panca indera ataupun alat-alat yang
menggunakan panca indera tersebut (Rijal et al., 2017).
Adapun kelebihannya adanya faktor kebutuhan fokus yang intens dalam menganalisa
suatu materi, keterampilan yang digunakan lebih tersusun rapi karena berupan hirarki poin-
poin tujuan. Sedangkan kelemahannya kesimpulan yang diambil dalam logika deduktif tidak
mungkin lebih luas dari premisnya, sehingga inovasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan sulit
tercapai jika hanya mengandalkan logika ini (Mustofa, 2016).
Penalaran Induktif

Penalaran induktif adalah cara berpikir untuk menarik sebuah kesimpulan berdasarkan
pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular menjadi sesuatu yang bersifat umum atau
universal. Sehingga dapat dikatakan bahwa penalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat
terbatas dan khusus lalu diakhiri dengan statement yang bersifat komplek dan umum (Rapar,
1996).

Ciri khas penalaran induktif adalah generalisasi. Generalisasi di sini bukan berarti suatu
proporsi yang diangkat dari suatu individu dibawa untuk digeneralisasikan terhadap suatu
komunitas yang lebih luas. Justru melalui metode ini, diberikan suatu kemungkinan untuk
disimpulkan, dalam artian bahwa bila ada kemungkinan kesimpulan itu benar tapi tidak berarti
bahwa itu pasti benar, sehingga di sinilah lahir probabilitas. Generalisasi dapat dilakukan
dengan dua metode yang berbeda. Pertama yang dikenal dengan istilah induksi lengkap, yaitu
generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan
jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti. Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap
rumah di desa ada pohon kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan pernyataan umum “setiap
rumah di desa memiliki pohon kelapa.” Maka generalisasi macam ini tidak bisa diperdebatkan
dan tidak pula ragukan (Hadi & Gallagher, 1 994). Kedua, yang dilakukan dengan hanya
sebagian hal partikular, atau bahkan dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang
biasa disebut dengan induksi tidak lengkap (Rapar, 1996).

10
Dalam penalaran induksi atau penelitian ilmiah sering kali tidak memungkinkan
menerapkan induksi lengkap, oleh karena itu yang lazim digunakan adalah induksi tidak
lengkap. Induksi lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti
dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan teliti, atau
ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka diperolehlah
induksi tidak lengkap. Jenis induksi tidak lengkap ini yang sering kita dapati. Alasannya
sederhana, keterbatasan manusia (Hadi & Gallagher, 1994).

Contoh penalaran induktif adalah:

Premis 1 : Hari ini matahari terbit dari timur

Premis 2 : Besok matahari terbit dari timur

Premis 3 : Lusa matahari terbit dari timur

Kesimpulan : Matahari selalu terbit dari timur.

Induksi sering pula diartikan dengan istilah logika mayor, karena membahas
pensesuaian pemikiran dengan dunia empiris, ia menguji hasil usaha logika formal (deduktif),
dengan membandingkannya dengan kenyataan empiris. Penarikan kesimpulan secara induktif
menghadapkan kita kepada suatu dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati
sampai mengerucut pada suatu kesimpulan yang general. Sebagai contoh, jika kita ingin
mengetahui berapa rata-rata tinggi badan anak umur 9 tahun di Indonesia tentu cara paling logis
adalah dengan mengukur tinggi seluruh anak umur 9 tahun di Indonesia. Proses tersebut tentu
akan memberikan kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan namun pelaksanaan dari
proses ini sendiri sudah menjadi dilema yang tidak mudah dilakukan.

Bentuk penalaran induktif adalah:

 Prediksi : Bentuk penalaran induktif yang menyimpulkan sebuah klaim mengenai apa
yang akan terjadi di masa depan, berdasaran observasi masa lalu atau saat ini
 Generalisasi : Bentuk penalaran induktif di mana kesimpulan diambil mengenai suatu
kelompok berdasarkan pengetahuan mengenai beberapa kasus dalam kelompok
tersebut
 Sebab-akibat : Bentuk penalaan induktif di mana kesimpulan mengenai suatu akibat
dari suatu keadaan dibuat berdasarkan sebab yang diketahui (atau sebaliknya)

11
 Analogi : Bentuk penalaran induktif di mana kesimpulan mengenai sesuatu (kejadian,
orang, objek) karena kemiripannya dengan benda-benda lain.

Berpikir induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak dari sejumlah hal khusus
untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, menurut Herbert L. Searles
(Tim Dosen Filsafat Ilmu, 1996 : 91-92), diperlukan proses penalaran sebagai berikut:

1. Langkah pertama: mengumpulkan fakta-fakta khusus.

Pada langkah ini, metode yang digunakan adalah observasi dan eksperimen. Observasi
harus dikerjakan seteliti mungkin, sedangkan eksperimen dilakukan untuk membuat
atau mengganti obyek yang harus dipelajari.

2. Langkah kedua: perumusan hipotesis.

Hipotesis merupakan dalil atau jawaban sementara yang diajukan berdasarkan


pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Hipotesis
ilmiah harus memenuhi syarat, di antaranya dapat diuji kebenarannya, terbuka dan
sistematis sesuai dengan dalil-dalil yang dianggap benar serta dapat menjelaskan fakta
yang dijadikan fokus kajian.

3. Langkah ketiga: mengadakan verifikasi.

Hipotesis merupakan perumusan dalil atau jawaban sementara yang harus dibuktikan
atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga dibandingkan dengan fakta-fakta lain
untuk diambil kesimpulan umum. Proses verifikasi adalah satu langkah atau cara untuk
membuktikan bahwa hipotesis tersebut merupakan dalil yang sebenarnya. Verifikasi
juga mencakup generalisasi untuk menemukan dalil umum, sehingga hipotesis tersebut
dapat dijadikan satu teori.

4. Langkah keempat: perumusan teori dan hukum ilmiah berdasarkan hasil verifikasi.

Seperti halnya hal yang lain, pengambilan kesimpulan secara induktif juga tidak luput
dari kekeliruan. Ia juga tidak bisa menghindari adanya error seperti adanya ketidak telitian
dalam pengamatan yang dipengaruhi banyak faktor, sebut saja alat atau panca indra yang tidak
sempurna. Penalaran induktif, sesuai dengan sifatnya, yaitu tidak memberikan jaminan bagi
kebenaran kesimpulannya. Meskipun, premis premisnya semua benar, tidak otomatis
membawa kebenaran pada kesimpulan yang diperoleh, selalu saja ada kemungkinan terdapat
sesuatu yang tidak sama sebagaimana diamati. Serta pada induksi, kesimpulannya bukan

12
merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya. Sehingga pada suatu penalaran
yang baik, kesimpulan tidak dapat menjadi benar 100% manakala premis-premisnya benar.
Atau dengan kata lain kelengkapan kesimpulannya hanya dapat menjadi bersifat tidak lebih
dari “mungkin benar” manakala kesemua premis-premisnya benar. Sehingga kesimpulan
penalaran induktif tidak 100 % pasti. Selain itu model ini sangat bergantung pada kondisi
lingkungan yang diamati, dengan kata lain perlunya sebuah kondisi yang benar-benar kondusif
dalam proses observasi, serta penyimpulannya. Serta waktu yang dibutuhkan cenderung lebih
lama dari pada model deduktif, serta persiapan menuju proses ini terkesan lebih banyak karena
harus siap menghadapi kondisi seperti apapun.

Baik penalaran induktif ataupun deduktif kesemuanya memiliki kekurangan dan


kelebihannya masing-masing, di mana keduanya telah ikut memberikan corak cara berfikir
ilmiah modern saat ini. Jika berpijak pada induktif semata maka ilmu pengetahuan akan berada
dalam suatu “kegelapan ilmiah” begitu pula jika hanya pada deduktif belaka maka ia tidak akan
maju. Maka dari itu dengan berkaca pada aspek positif dan negatif dari keduanya, orang
kemudian mencoba mengkolaborasikan, memodifikasi, dan mengembangkan keduanya
menjadi sebuah sistem penalaran ilmiah modern saat ini (scientific method), atau dalam istilah
John Dewey dikenal dengan berpikir reflektif (reflective thinking) (Mustofa, 2016).

Sarana Penalaran Ilmiah


Untuk melakukan kegiatan ilmiah diperlukan suatu sarana pola pikir. Ketersediaan
fasilitas ini memungkinkan dilakukannya studi ilmiah secara teratur dan cermat. Alat ilmiah
pada dasarnya adalah alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai tahapan dilaluinya,
untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah diperlukan sarana berupa bahasa, logika,
matematika, statistika (Suriasumantri, 2013).

Peran Bahasa
Bahasa dapat digambarkan sebagai rangkaian bunyi, simbol-simbol di mana rangkaian
bunyi ini membentuk makna tertentu. Urutan suara ini, yang kita sebut kata-kata, mewakili
objek tertentu. Bahasa mengalami perkembangan oleh karena disebabkan pengalaman dan
pemikiran manusia yang juga berkembang. Dengan bahasa manusia dapat berpikir secara
teratur dan juga dapat mengkomunikasikan apa yang mereka pikirkan kepada orang lain. Tanpa
Bahasa mustahil bisa berpikir secara teratur dan dengan bahasa kita dapat mewariskan nilai-
nilai kepada generasi selanjutnya. Berbahasa dengan jelas berarti makna yang terkandung
dalam kata-kata harus diungkapkan dengan jelas, menghindari pemberian makna lain.

13
Berbahasa dengan jelas juga berarti mengungkapkan pendapat dan pikiran dengan jelas
(Suriasumantri, 2013). John W.Santrock menyatakan bahwa bahasa adalah suatu bentuk
komunikasi yang didasarkan pada sistem simbolik, baik lisan, tulisan maupun bahasa isyarat
(Depdiknas, 2003).
Bahasa pada hakikatnya memiliki dua fungsi utama, yaitu:
a. Sebagai sarana komunikasi antar manusia
b. Sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan
bahasa tersebut
Ada dua klasifikasi Bahasa yang umum dibedakan :
a. Bahasa alamiah adalah bahasa yang umum digunakan untuk mengungkapkan sesuatu,
bahasa ini berkembang di bawah pengaruh lingkungan alam. Bahasa alami dibagi
menjadi dua, yaitu: bahasa isyarat dan bahasa biasa
b. Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan
dari akar pikiran untuk tujuan tertentu. Bahasa buatan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
bahasa istilah dan bahasa antifisial atau bahasa simbolik. Bahasa buatan ini dikenal
sebagai bahasa ilmiah.

Peran Logika
Logika adalah cara berpikir yang sistematis, valid, dan dapat dijelaskan. Logika adalah
seperangkat aturan yang memberikan cara berpikir yang rapi dan teratur sehingga kebenaran
dapat diterima oleh orang lain. Logika akan memberikan suatu ukuran (norma) yakni suatu
tanggapan tentang benar dan salah terhadap suatu kebenaran (Bakhtiar, 2009)
Sebagai sarana berpikir ilmiah, logika mengarahkan manusia untuk berpikir benar
menurut kaidah-kaidah berpikir yang benar. Dengan logika manusia, seseorang dapat berpikir
sistematis dan dapat menafsirkan kebenaran.
Terdapat dua cara penarikan kesimpulan melalui cara kerja logika. Dua acara itu adalah
induktif dan deduktif. Logika induktif adalah cara menarik kesimpulan dari kasus-kasus faktual
individu menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan rasional. Logika deduktif adalah cara
penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum rasional menjadi kasus-kasus yang
bersifat khusus berdasarkan fakta faktual (Sumarna, 2008).

14
Peran Matematika
Matematika merupakan bahasa yang mewakili rangkaian makna dari kalimat-kalimat
yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial yang baru
mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya (Suriasumantri, 2013).
Bahasa verbal memiliki beberapa kelemahan yang dapat menimbulkan interferensi.
Sehingga, matematika dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan bahasa verbal.
Matematika adalah bahasa yang dirancang untuk menghilangkan sifat bahasa verbal yang tidak
jelas, kompleks, dan emosional.
Matematika memiliki keunggulan dari bahasa verbal karena matematika
mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita melakukan pengukuran secara
kuantitatif. Dengan bahasa verbal, hanya kalimat kualitatif yang dapat diungkapkan. Sifat
kuantitatif matematika meningkatkan daya prediksi dan pengendalian Ilmu. Ilmu memberikan
jawaban yang lebih eksak yang memungkinkan pemecahan masalah yang lebih tepat dan
cermat. Matematika bertindak sebagai alat untuk berpikir. Matematika secara garis besarnya
merupakan pengetahuan yang disusun secara konsisten berdasarkan logika deduktif. Ada
beberapa aliran filsafat matematika, antara lain: aliran logistik (Immanuel Kant), aliran intuitif
(Jan Brouwer) dan aliran formal (David Hilbert) (Suriasumantri, 2013).

Peran Statistika
Dasar dari teori statistik adalah probabilitas. Konsep statistik sering dikaitkan dengan
distribusi variabel yang dipelajari dalam suatu populasi, statistik dapat memberikan cara
kuantitatif seberapa akurat kesimpulan yang diambil. Pada dasarnya berdasarkan prinsip
sederhana, yaitu semakin besar sampel, semakin tinggi ketepatan penarikan kesimpulan.
Statistik juga memungkinkan kita untuk mengetahui apakah hubungan kausal antara dua faktor
adalah acak atau memang terkait dalam hubungan empiris. Sebagai bagian dari metode ilmiah,
statistik membantu kita menggeneralisasi dan menyimpulkan ciri-ciri suatu peristiwa dengan
lebih pasti daripada kebetulan (Suriasumantri, 2013).

15
BAB 3

KESIMPULAN

Kesimpulan

Berpikir yang ilmiah adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar dengan logika
yang benar. Keduanya harus terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang benar walaupun logikanya
benar, hasilnya salah. Demikian juga berpikir dengan ilmu yang benar tapi logikanya salah,
hasilnya juga salah. Dari berbagai penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa penalaran dalam
prosesnya ada 2 macam, yaitu penalaran Deduktif dan penalaran Induktif. Penalaran Deduktif
adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu, untuk seterusnya
diambil kesimpulan yang khusus. Penalaran Induktif adalah metode yang digunakan dalam
berpikir dengan bertolak dari bentuk penalaran deduktif. Yakni menarik suatu kesimpulan dari
fakta- fakta yang sifatnya khusus, untuk kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya umum.
Selain itu, kita juga bisa menggunakannya sebagai alat untuk menggali ilmu pengetahuan,
sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang akan semakin dinamis.

16
Daftar Referensi

 Fuadah, ahlisna. (2019). Penalaran Deduktif dan Induktif.


 Mustofa, I. (2016). Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar
Penalaran Ilmiah Imron Mustofa. Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam, 6(2).
 Rijal, M., Sere, I., Fakultas, D., Tarbiyah, I., Keguruan, D., & Ambon, I. (2017).
SARANA BERFIKIR ILMIAH. Jurnal Biology Science, 6(2), 176.
 Sari, A. P. I. (2019). Analisis Penalaran Deduktif Atau Induktif siswa Dalam
Menyelesaikan Masalah Matematika Ditinjau Dari Adversity Quotient.
 Suyitno, A. (2018). Induksi Deduksi dan Abduksi.
 Wibowo, A. (2022). DEDUKTIF KETRAMPILAN.
 Achmadi, asmori, 2001 , Filsafat umum, Jakarta : Rajawali Pers
 Achmad, sanusi (1998), Filsasfat Ilmu, Toeri keilmuan dan Metode Penelitian,
Bandung : Program Pasca Sarjana IKIP Bandung
 Arifin, E Zaenal dan Tasai, S. Amran. 2006. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Akademika Pressindo
 Arifin, E.Z. & Tasai, A.S. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia . Jakarta: Akademika
Pressindo.
 Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
 Candra, D.W., Mahmudi., & Ngalimun. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi
.Yogyakarta: Aswaja Pressindo
 Hadi AS. 2006. Logika Filsafat Berfikir. Surakarta : LPP UNS
 Keraf AS & Dua M.2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta
 Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan pemikiran filosofi,
(terjemahanAchamda Bimadja, PH.D ) , Bandung : ITB Bandung.
 Kemendikbud. 2015. Pedoman Penalaran Bahasa Indonesia. Jakarta : Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud. 2011.Penalaran Induktif Bahasa
Indonesia. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

17
18
FILSAFAT ILMU
BERNALAR ILMIAH
KELOMPOK K
PENDAHULUAN

• penalaran ilmiah merupakan salah satu keterampilan yang diharapkan dapat


diajarkan di kelas sains sebagai upaya untuk mempersiapkan peserta didik
agar mereka berhasil dalam menghadapi tantangan globalisasi. Untuk
mengakomodasi hal ini pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan
aspek pengembangan kemampuan problem solving, reasoning,
konseptualisasi dan analisis.
RUMUSAN MASALAH

• Apakah yang dimaksud dengan penalaran ilmiah?


• Apa saja jenis penalaran ilmiah?
• Apa yang dimaksud dengan penalaran deduktif?
• Apa yang dimaksud dengan penalaran induktif?
TUJUAN

• 1. Tujuan Umum
• Mengetahui dan memahami pengertian bernalar ilmiah
• 2. Tujuan Khusus
• Mengetahui definisi bernalar ilmiah
• Mengetahui jenis penalaran ilmiah
DEFINISI PENALARAN ILMIAH

• Penalaran ilmiah (Scientific reasoning) dapat diartikan sebagai kemampuan


berpikir sistematis dan logis untuk menyelesaikan masalah dengan
menggunakan metode ilmiah meliputi tahap mengevaluasi fakta, membuat
prediksi dan hipotesis, menentukan dan mengontrol variabel,merancang dan
melakukan eksperimen, mengumpulkan data,menganalisis data dan
mengambil kesimpulan
KEBENARAN DALAM PENALARAN

• Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang


akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
• Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis.
Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang
benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki
bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan-aturan berpikir yang tepat
sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis
tepat.
CIRI – CIRI PENALARAN ILMIAH

• Sumber ilmiah adalah acuan pernyataan


• Sistematik dan runtut
• Objektif
• Skeptik
• Apa adanya
• Probabilistik
• Universal
PENALARAN
DEDUKSI
Khusus

• Deduksi merupakan cara berpikir


dari pernyataan umum ditarik
kesimpulan menjadi khusus
(Fuadah, 2019; Mustofa, 2016;
Rijal et al., 2017; Sari, 2019;
Suyitno, 2018; Wibowo, 2022).

Umum
CONTOH

• Semua ikan bernafas dengan insang [premis


mayor] ------ Landasan [1]
• Mujair adalah ikan [premis minor] -------
Landasan [2]
• Jadi mujair bernafas dengan insang [kesimpulan] --
-------- Pengetahuan

• Kesimpulan yang diambil bahwa mujair bernafas


dengan insang adalah pengetahuan yang sah menurut
penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara
logis dari dua premis
PENALARAN DEDUKTIF

KELEBIHAN KEKURANGAN
• kesimpulan yang diambil dalam logika
• faktor kebutuhan fokus yang intens
deduktif tidak mungkin lebih luas dari
dalam menganalisa suatu materi,
premisnya, sehingga inovasi untuk
keterampilan yang digunakan lebih
kemajuan ilmu pengetahuan sulit
tersusun rapi karena berupan hirarki
tercapai jika hanya mengandalkan
poin-poin tujuan. (Mustofa, 2016)
logika ini (Mustofa, 2016)
PENALARAN INDUKTIF
DEFENISI

• Cara berpikir untuk menarik sebuah


kesimpulan berdasarkan
Penalaran
Induktif pengamatan terhadap hal yang
bersifat partikular menjadi sesuatu
yang bersifat umum atau universal

Rapar, 1996
• Ciri khas penalaran induktif: Generalisasi

Induksi lengkap:
generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal partikular
yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang
diteliti
Metode
generalisasi

Induksi tidak lengkap:


generalisasi yang dilakukan dengan diawali hanya sebagian
hal partikular, atau bahkan dengan hanya sebuah hal khusus
CONTOH PENALARAN INDUKTIF

• Premis 1 : Hari ini matahari terbit dari timur


• Premis 2 : Besok matahari terbit dari timur
• Premis 3 : Lusa matahari terbit dari timur
Kesimpulan : Matahari selalu terbit dari timur.
BENTUK PENALARAN INDUKTIF
• Bentuk penalaran induktif yang menyimpulkan sebuah klaim mengenai apa yang akan
Prediksi terjadi di masa depan, berdasaran observasi masa lalu atau saat ini

• Bentuk penalaran induktif di mana kesimpulan diambil mengenai suatu kelompok


Generalis berdasarkan pengetahuan mengenai beberapa kasus dalam kelompok tersebut
asi

• Bentuk penalaan induktif di mana kesimpulan mengenai suatu akibat dari suatu keadaan
Sebab dibuat berdasarkan sebab yang diketahui (atau sebaliknya)
akibat

• Bentuk penalaran induktif di mana kesimpulan mengenai sesuatu (kejadian, orang, objek)
karena kemiripannya dengan benda-benda lain.
Analogi
PROSES PENALARAN ILMIAH BERDASARKAN
PEMIKIRAN INDUKTIF

Perumusan
Mengumpulkan teori dan
fakta khusus Perumusan Melakukan hokum ilmiah
melalui
observasi dan hipotesis verifikasi berdasarkan
eksperimen hasil
verifikasi
KELEMAHAN PENALARAN INDUKTIF

• Tidak bisa menghindari adanya error seperti adanya ketidak telitian dalam pengamatan yang
dipengaruhi banyak faktor
• Tidak memberikan jaminan bagi kebenaran kesimpulannya
• Kesimpulannya bukan merupakan suatu konsekuensi logis dari premis-premisnya: kesimpulan
tidak 100% pasti
• Sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang diamati, dengan kata lain perlunya sebuah
kondisi yang benar-benar kondusif dalam proses observasi, serta penyimpulannya
• Waktu yang dibutuhkan cenderung lebih lama dari pada model deduktif,
SARANA PENALARAN ILMIAH

• Peran Bahasa
• Peran Matematika
• Peran Logika
• Peran Statistika
SARANA PENALARAN ILMIAH

• Untuk melakukan kegiatan ilmiah diperlukan suatu sarana pola pikir.


Ketersediaan fasilitas ini memungkinkan dilakukannya studi ilmiah
secara teratur dan cermat. Alat ilmiah pada dasarnya adalah alat
yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai tahapan dilaluinya,
untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah diperlukan sarana
berupa bahasa, logika, matematika, statistika.
SARANA PENALARAN ILMIAH

1.BAHASA
2.LOGIKA
3.MATEMATIKA
4.STATISTIKA
1. BAHASA

• Bahasa dapat digambarkan sebagai rangkaian bunyi, simbol-simbol di mana


rangkaian bunyi ini membentuk makna tertentu.

• Dengan bahasa manusia dapat berpikir secara teratur dan juga dapat
mengkomunikasikan apa yang mereka pikirkan kepada orang lain. Tanpa
Bahasa mustahil bisa berpikir secara teratur dan dengan bahasa kita dapat
mewariskan nilai-nilai kepada generasi selanjutnya.
FUNGSI UTAMA BAHASA :

a.Sebagai sarana budaya


yang mempersatukan
a.Sebagai sarana
kelompok manusia yang
komunikasi antar manusia
mempergunakan bahasa
tersebut
KLASIFIKASI BAHASA :
A. Bahasa alamiah adalah bahasa yang umum digunakan untuk mengungkapkan
sesuatu, bahasa ini berkembang di bawah pengaruh lingkungan alam. Bahasa alami
dibagi menjadi dua, yaitu: bahasa isyarat dan bahasa biasa

B. Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan


pertimbangan dari akar pikiran untuk tujuan tertentu. Bahasa buatan dibagi menjadi
dua bagian, yaitu: bahasa istilah dan bahasa antifisial atau bahasa simbolik. Bahasa
buatan ini dikenal sebagai bahasa ilmiah.


2. LOGIKA

• Logika adalah cara berpikir yang sistematis, valid, dan dapat dijelaskan. Logika
adalah seperangkat aturan yang memberikan cara berpikir yang rapi dan teratur
sehingga kebenaran dapat diterima oleh orang lain. Logika akan memberikan
suatu ukuran (norma) yakni suatu tanggapan tentang benar dan salah terhadap
suatu kebenaran.
• Terdapat dua cara penarikan kesimpulan melalui cara kerja logika:

1. Logika induktif

Cara menarik kesimpulan dari kasus-kasus faktual individu menjadi kesimpulan yang bersifat umum

dan rasional

2. Logika deduktif

Cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum rasional menjadi kasus-kasus yang

bersifat khusus berdasarkan fakta faktual


3. MATEMATIKA

• Matematika merupakan bahasa yang mewakili rangkaian makna dari kalimat-kalimat


yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial yang baru
mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya.

• Bahasa verbal memiliki beberapa kelemahan yang dapat menimbulkan interferensi.


Sehingga, matematika dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan bahasa verbal.
Matematika adalah bahasa yang dirancang untuk menghilangkan sifat bahasa verbal yang
tidak jelas, kompleks, dan emosional.
• Matematika memiliki keunggulan dari bahasa verbal karena matematika
mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita melakukan
pengukuran secara kuantitatif. Dengan bahasa verbal, hanya kalimat kualitatif
yang dapat diungkapkan.
4. STATISTIKA

• Dasar dari teori statistik adalah probabilitas. Konsep statistik sering dikaitkan dengan distribusi
variabel yang dipelajari dalam suatu populasi, statistik dapat memberikan cara kuantitatif seberapa
akurat kesimpulan yang diambil.

• Pada dasarnya berdasarkan prinsip sederhana, yaitu semakin besar sampel, semakin tinggi
ketepatan penarikan kesimpulan.

• Statistik juga memungkinkan kita untuk mengetahui apakah hubungan kausal antara dua faktor
adalah acak atau memang terkait dalam hubungan empiris. Sebagai bagian dari metode ilmiah,
statistik membantu kita menggeneralisasi dan menyimpulkan ciri-ciri suatu peristiwa dengan lebih
pasti daripada kebetulan.
KESIMPULAN

• Berpikir yang ilmiah adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar
dengan logika yang benar. Keduanya harus terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu
yang benar walaupun logikanya benar, hasilnya salah. Demikian juga berpikir
dengan ilmu yang benar tapi logikanya salah, hasilnya juga salah.
DAFTAR PUSTAKA

• Fuadah, ahlisna. (2019). Penalaran Deduktif dan Induktif.


• Mustofa, I. (2016). Jendela Logika dalam Berfikir: Deduksi dan Induksi sebagai Dasar Penalaran Ilmiah Imron
Mustofa. Jurnal Pemikiran Dan Pendidikan Islam, 6(2).
• Rijal, M., Sere, I., Fakultas, D., Tarbiyah, I., Keguruan, D., & Ambon, I. (2017). SARANA BERFIKIR ILMIAH. Jurnal
Biology Science, 6(2), 176.
• Sari, A. P. I. (2019). Analisis Penalaran Deduktif Atau Induktif siswa Dalam Menyelesaikan Masalah
Matematika Ditinjau Dari Adversity Quotient.
• Suyitno, A. (2018). Induksi Deduksi dan Abduksi.
• Wibowo, A. (2022). DEDUKTIF KETRAMPILAN.
• Achmadi, asmori, 2001 , Filsafat umum, Jakarta : Rajawali Pers
• Achmad, sanusi (1998), Filsasfat Ilmu, Toeri keilmuan dan Metode Penelitian, Bandung : Program Pasca Sarjana IKIP Bandung
• Arifin, E Zaenal dan Tasai, S. Amran. 2006. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo
• Arifin, E.Z. & Tasai, A.S. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia . Jakarta: Akademika Pressindo.
• Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
• Candra, D.W., Mahmudi., & Ngalimun. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi .Yogyakarta: Aswaja Pressindo
• Hadi AS. 2006. Logika Filsafat Berfikir. Surakarta : LPP UNS
• Keraf AS & Dua M.2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta
• Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan pemikiran filosofi, (terjemahanAchamda Bimadja, PH.D ) , Bandung : ITB Bandung.
• Kemendikbud. 2015. Pedoman Penalaran Bahasa Indonesia. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud.
2011.Penalaran Induktif Bahasa Indonesia. Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai