Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH FILSAFAT ILMU

“Bernalar Ilmiah”

Dosen Mata Kuliah: Rahadian Indarto Susilo, dr., SpBS(K)

TIM PENYUSUN
Aliefio Japamadisaw, dr 011918126304
Berliaana Kurniawati Nur Huda, dr 011918046306
Dian Retno Mumpuni, dr 011918066308
Faris Aziz Pridianto, dr 011918086303
I Nengah Bagus Surianta, dr 011918166302
Medisa Primasari, dr 011918246303
Raisa Eunike Rondonuwu, dr 011918026317
Reynaldo Binsar Hutajulu, dr 011918026301
Sondang Jasmine Mustikasari, dr 011918036306
Vania Dwi Andhani, dr 011918056306

MATA KULIAH DASAR UMUM


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER / DOKTER GIGI SPESIALIS I
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Penalaran Ilmiah”
ini dengan baik tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu tugas dalam mata
kuliah Ilmu Filsafat Kedokteran, pada perkuliahan MKDU PPDS/PPDGS Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.

Kami menyampaikan rasa terima kasih yag sedalam-dalamnya kepada guru kami dr.
Rahadian Indarto S, SpBS (K), dan juga tidak lupa kepada rekan rekan satu kelompok yang
telah memberikan kontribusinya sehingga karya ilmiah ini bisa terselesaikan dengan baik.

Kami menyadari bahwa dalam peulisan makalah ini tidaklah sempurna. Kami
mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi tersusunnya karya ilmiah lain
yang lebih baik di masa yang akan datang. Akhir kata, kami berharap agar karya ilmiah ini
dapat memberikan banyak manfaat.

Surabaya, 22 Juli 2019

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

Seorang manusia yang berjuang untuk bertahan hidup pasti akan mengembangkan
kebiasaan berpikir dan bereaksi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Berpikir merupakan
ciri utama yang membedakannya dengan makhluk hidup lain. Dengan berpikir, manusia
dapat mengubah dunia. Berpikir merupakan proses bekerjanya akal, manusia dapat berpikir
karena manusia berakal. Akal merupakan salah satu unsur kejiwaan manusia untuk mencapai
kebenaran di samping rasa dan kehendak, dan untuk mencapai kebaikan. Dengan demikian,
ciri utama dari berpikir yaitu abstraksi. Berpikir dapat diartikan secara luas ialah bergaul
dengan abstraksi-abstraksi, dan secara sempit berpikir ialah meletakkan atau mencari
hubungan atau pertalian antara abstraksi-abstraksi (1).
Di dalam buku Mukhtar Latif juga dijelaskan bahwa berpikir ilmiah yaitu berpikir
yang logis dan empiris. Logis yaitu masuk akal, dan empiris adalah dibahas secara mendalam
berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, selain itu juga menggunakan akal budi
untuk mempertimbangkan, memutuskan, dan mengembangkan (2).
Secara garis besar berpikir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berpikir alamiah dan
ilmiah. Berpikir alamiah, ialah pola penalaran yang berdasarkan kebiasaan sehari-hari dari
pengaruh alam sekelilingnya (misalnya, es itu dingin, api itu panas). Berpikir ilmiah Ialah
pola penalaran berdasarkan sasaran tertentu secara teratur dan cermat (misalnya, Awan
mendung menyebabkan hujan). Berpikir ilmiah digunakan sebagai alat untuk
mengembangkan pengetahuan berdasarkan metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah diperoleh
menggunakan penalaran induktif dan dedukti, berupa: bahasa, logika, matematika dan
statistika (1).
Kemampuan bernalar sangat erat kaitannya dengan bagaimana manusia-manusia
mencapai kesimpulan-kesimpulan tertentu baik dari pernyataan langsung maupun tidak
langsung. Penalaran adalah proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan (1).
Penalaran matematis merupakan kemampuan dasar matematika yang harus dikuasai
paling tidak oleh siswa sekolah menengah. Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran,
yaitu penalaran induktif yang disebut pula induksi dan penalaran deduktif. Deduksi dan
induksi adalah argumen yang mempunyai struktur, terdiri dari beberapa premis dan satu
kesimpulan. Perbedaan antara deduksi dan induksi pada dasar penarikan kesimpulan yang
diturunkan (3).
Dijelaskan dalam sumber lain penalaran adalah proses berpikir yang sistematis untuk
memperoleh kesimpulan atau pengetahuan yang bersifat ilmiah dan tidak ilmiah. Bernalar
akan membantu manusia berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan
kebenaran dan menghindari kekeliruan. Dalam segala aktifitas berpikir dan bertindak,
manusia mendasarkan diri atas prinsip penalaran. Bernalar mengarah pada berpikir benar,
lepas dari berbagai prasangka emosi dan keyakinan seseorang, karena penalaran mendidik
manusia bersikap objektif, tegas, dan berani, suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala
kondisi (4).
Penalaran adalah suatu proses berpikir yang logis dengan berusaha menghubung-
hubungkan fakta untuk memperoleh suatu kesimpulan. Fakta adalah kenyataan yang dapat
diukur dan dikenali. Untuk dapat bernalar, kita harus mengenali fakta dengan baik dan benar.
Fakta dapat dikenali melalui pengamatan, yaitu kegiatan yang menggunakan panca indera,
melihat, mendengar, membaui, meraba, dan merasa. Dengan mengamati fakta, kita dapat
menghitung, mengukur, menaksir, memberikan ciri-ciri, mengklasifikasikan, dan
menghubung-hubungkan. Jadi, dasar berpikir adalah klasifikasi (5).
BAB II

ISI

1. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan atau science dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang bersifat
sistematis atau terstruktur yang telah diuji secara kritis dan tanpa keraguan, dan oleh
karenanya merupakan suatu pernyataan ilmiah atau scientific inquiry. Seorang ilmuwan
menggunakan penalaran ilmiah untuk mendapatkan pernyataan ilmiah (6). Pernyataan ilmiah
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu ilmu empiris dan non empiris. Ilmu empiris
berusaha untuk menggali, mendeskripsikan, menjelaskan dan memprediksi kejadian di dunia
tempat kita tinggal (7).
Menurut Carl Hempel, pernyataan dari ilmu empiris harus dicocokkan berdasarkan
fakta dari pangalaman, dan dapat diterima hanya jika hal tersebut didukung oleh bukti
empiris. Proses pemeriksaan suatu pernyataan ilmiah dapat melalui experiment, observasi
sistematis, wawancara, uji klinis atau psikologis, pemeriksaan terperinci terhadap dokumen,
prasasti, relief arkeologi, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan non-empiris meliputi logika
dan matematika dimana telah terbukti tanpa temuan empiris (6).

2. Definisi Penalaran Ilmiah


Penalaran merupakan suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah
dengan pengumpulan fakta-fakta dan data, menentukan alternatif yang matang untuk
mengambil suatu tindakan yang tepat. Dalam melakukan suatu penalaan tidak lepas dari
pemikiran-pemikiran logis. Logika adalah suatu prinsip yang digunakan untuk membedakan
penalaran yang benar atau yang salah. Ketika seseorang membuat suatu penilaian yang dapat
diandalkan harus didasari dengan penalaran yang benar dengan menggunakan metode-
metode yang logis (8).
Dalam melakukan penalaran terdapat unsur-unsur yang harus diketahui terlebih dahulu,
diantaranya adalah proposisi, argument dan kesimpulan. Proposisi adalah suatu pernyataan
yang biasanya dinyatakan dengan menggunakan kalimat deklaratif yang belum diketahui
benar atau salah. Argument merupakan sekelompok proposisi yang saling berkaitan dan
saling mendukung. Kesimpulan adalah sekelompok proposisi yang saling mendukung disertai
dengan alasan yang logis sehingga dapat diterima (8).
3. Prinsip Penalaran Ilmiah
Prinsip-prinsip penalaran ada empat yang terdiri atas tiga prinsip dari Aristoteles dan satu
prinsip dari George Leibniz (9). Prinsip penalaran dari Aristoteles adalah :

a. Prinsip Identitas. Prinsip ini dalam istilah latin ialah principium identitatis. Prinsip
identitas berbunyi : “sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri”. Dengan kata
lain, “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan
yang lain”.
b. Prinsip kontradiksi (principium contradictionis). Prinsip kontradiksi berbunyi :
“sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang
bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan
tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain, “sesuatu tidaklah mungkin secara
bersamaan merupakan p dan non p”.
c. Prinsip ekslusi tertii (principium exclusi tertii). Prinsip ekslusi tertii, yakni prinsip
penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip ekslusi
tertii berbunyi :” sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu
maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah”. Dengan kata lain,
“sesuatu x mestilah p atau non p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari prinsip ini
ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh, secara mutlak tidak mungkin kedua-
duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya,
sifat p atau non p.
Disamping tiga prinsip yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas, seorang filsuf
Jerman Leibniz menambah satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi
prinsip identitas, yaitu prinsip cukup alasan (principium rationis sufficientis), yang berbunyi :
“suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu haruslah berdasarkan alasan yang
cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencangkupi”. Dengan kata
lain, “adanya sesuatu itu mestilah mempuunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada
perubahan pada keadaan sesuatu” (9).

4. Unsur-unsur Penalaran

Penalaran merupakan suatu konsep yang paling umum merujuk pada salah satu proses
pemikiran untuk sampai pada kesimpulan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan
lain yang telah diketahui. Dalam pernyataan itu terdiri atas pengertian sebagai unsurnya yang
antara pengertian satu dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan
kekaburan arti. Dalam proses pemikiran ini perlu dipelajari terlebih dahulu unsur-unsur dari
penalaran pada umumnya yang bertitik tolak pada materi yang dibicarakan. Unsur disini
bukan bagian yang menyusun suatu penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai prinsip yang
harus diketahui terlebih dahulu, karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis
tergantung pada pangkal pikirnya (10).

5. Jenis Penalaran Ilmiah


Dalam bernalar ilmiah, kita membuat suatu pernyataan yang premisnya merupakan dasar
kebenaran dari terbentuknya kesimpulan. Namun ada dua cara yang sangat berbeda, dimana
kesimpulan dapat didukung oleh premisnya. Berdasarkan prosesnya, penalaran dibagi
menjadi dua jenis, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif (8).

5.1 Penalaran Deduktif


Penalaran deduktif muncul ketika kita bergerak dari premis universal menuju ke
kesimpulan yang khusus (6). Dalam praktek sehari hari jenis penalaran deduktif yang biasa
dilakukan adalah penalaran silogisme. Penalaran silogisme adalah sebuah penalaran dimana
kedua premis yang disebutkan saling mendukung untuk ditarik sebuah kesimpulan (11).
Sebagai contoh:
Semua manusia adalah fana
Socrates adalah manusia
Oleh karenanya, Socrates adalah fana
Penalaran deduktif bersifat pasti, menunjukkan berhasil atau tidaknya terdapat
hubungan antara premis dan kesimpulannya. Bila premis universalnya benar atau valid, tidak
ada premis tambahan yang dapat menambahkan kekuatan validitas dari hasil bernalar
tersebut. Seperti contoh di atas, Socrates adalah fana, kesimpulan ini mengikuti premis
sebelumnya, tidak dipengaruhi oleh ada hal lain yang benar di dunia, dan kesimpulan ini
tidak berubah dengan adanya tambahan informasi (6).
Apabila terdapat tambahan informasi bahwa Socrates itu jelek, atau sapi
menghasilkan susu, atau keabadian adalah beban, tidak satupun dari temuan ini
mempengaruhu kebenaran dari kesimpulan tersebut. Kesimpulan yang mengikuti kebenaran
dari premis universalnya dalam proses penalaran deduktif adalah sama benarnya walaupun
terdapat temuan temuan lain yang ditambahkan. Sehingga, pada penalaran deduktif,
kebenaran / validitas dari kesimpulannya tidak dapat dipengaruhi oleh apapun (10). Pada
penalaran deduktif, premis universal memberikan dukungan 100% terhadap kesimpulan,
sehingga apabila premis universal diterima, kita tidak dapat menolak kesimpulan (6).
Penarikan kesimpulan melalui silogisme dapat dibedakan menjadi 3 diantaranya
adalah (11):
1. Silogisme kategorial
Silogisme ini mempunyai premis mayor berupa kategori yang dijadikan sebagai
predikat dalam kalimat kesimpulan.
Contoh: Semua mahasiswa mengerjakan tugas
Andi adalah mahasiswa
Andi mengerjakan tugas
2. Silogisme alternatif
Silogisme ini memiliki ciri bahwa premis mayor merupakan pernyataan berupa
pilihan
Contoh: Saya duduk di bangku barisan depan atau di belakang
Saya duduk di depan
Saya tidak duduk di belakang
3. Silogisme hipotesis
Silogisme ini mempunyai ciri bahwa premis mayor merupakan argumentasi atau
pendapat.
Contoh: Jika hari ini hujan saya tidak akan pergi ke kampus
Hari ini hujan
Hari ini hujan dan saya tidak pergi ke kampus

Ada bentuk lain dari penalaran deduktif yang dipakai untuk menarik kesimpulan
selain dengan cara silogisme. Bentuk seperti ini disebut dengan entimem. Entimem atau
Enthymeme berasal dari bahasa Yunani “en” artinya di dalam dan “thymos” artinya pikiran
adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah,
tetapi untuk menimbulkan keyakinan dalam sebuah entimem, penghilangan bagian dari
argumen karena diasumsikan dalam penggunaan yang lebih luas, istilah “enthymeme”
kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan argumen yang tidak lengkap dari bentuk selain
silogisme
Contoh :
Mahasiswa yang baik tidak mau mencontek.
Budi adalah mahasiswa yang baik
Budi tidak tidak mau mencontek
Entimem dari contoh diatas adalah Budi tidak mau mencontek karena ia mahasiswa
yang baik(11).

5.2 Penalaran Induktif


Penalaran induktif bergerak dari premis khusus ke kesimpulan universal (6). Sebagai
contoh:
Setiap kuda yang diobservasi memiliki jantung
Oleh karenanya, semua kuda memiliki jantung
Apabila terdapat tambahan informasi yang berbeda, kesimpulan dari penalaran induktif ini
dapat menjadi kurang tepat.
Contoh yang lainnya:
Hitler adalah seorang diktator dan kejam
Stalin adalah seorang diktator dan kejam
Castro adalah seorang diktator, maka kemungkinan Castro adalah kejam
Pada penalaran induktif, premis memberikan kemungkinan dukungan terhadap
kesimpulan. Dukungan premis terhadap kesimpulan mulai dari nol hingga 99%, sehingga
apabila premis khusus diterima, kita dapat saja menolak kesimpulannya. Hal ini kontras
dengan penalaran deduktif (10).
Menurut Dunbar dan Klahr, terdapat proses penalaran induktif dengan cara
generalisasi dan kategorikal. Penalaran induksi dengan generalisasi terlihat pada beberapa
penelitian yang salah satunya dilakukan oleh Marshall dan Warren yang mana
memperhatikan bahwa hampir semua pasien dengan gastric enteritis ditemukan bakteri spiral
dalam usus mereka, dan dia membentuk suatu generalisasi yang mana bakteri tersebut
merupakan penyebab dari ulkus gaster/usus (11).

Jenis penalaran induktif yang umum lainnya adalah memetakan fitur dari satu bagian
kategori ke bagian kategori yang lain. Ini disebut induksi kategorikal. Jenis induksi ini
adalah cara memproyeksikan sesuatu yang diketahui dari satu item ke item lain yang berasal
dari kategori yang sama. Dengan demikian, mengetahui bahwa virus Rous Sarcoma adalah
retrovirus yang menggunakan RNA daripada DNA, seorang ahli biologi mungkin berasumsi
bahwa virus lain yang dianggap retrovirus juga menggunakan RNA daripada DNA.
Sementara penelitian tentang jenis induksi ini biasanya belum dibahas dalam pemikiran
ilmiah, jenis induksi ini biasa terjadi dalam sains (11).
Sebuah ilustrasi berikut ini akan membantu membedakan proses penalaran induktif
dari deduktif. Peneliti di bidang medis menggunakan metode induktif untuk mempelajari
penyebab dari suatu penyakit ataupun transmisi penyakit infeksius. Penyakit menular seksual
(PMS) seperti acquired immune deficiency syndrome (AIDS), mendapat perhatian yang
serius oleh karena penyebarannya diseluruh dunia. Apakah kita dapat mempelajari
penyebarannya secara induktif? Ya, kita dapat (8).
Pada tahun 2006, Institut Kesehatan Nasional di Uganda dan Kenya mengumumkan
studi skala besar tentang penyebaran AIDS secara signifikan lebih rendah pada pria yang
disirkumsisi dibandingankan dengan pria yang tidak disirkumsisi. Sirkumsisi tentu saja
bukanlah terapi dari PMS tersebut. Namun, dari hasil studi ini kita dapat mengetahui dengan
cara menganalisa pengalaman dari sangat banyak subyek penelitian (3000 subyek di Uganda,
5000 subyek di Kenya yang dibagi menjadi kelompok yang disirkumsisi dan tidak
disirkumsisi), bahwa resiko terkena human immunodeficiency virus (HIV) pada heterosexual
sex akan berkurang setengahnya pada pria yang disirkumsisi. Resiko wanita terkena HIV juga
berkurang 30% apabila pasangan prianya di sirkumsisi. Penemuan ini bergerak dari penalaran
induktif yang menmberikan sumbangsih yang besar. Hubungan antara sirkumsisi dan HIV
tidak dapat diketahui pasti, sebagaimana pada proses penalaran deduktif. Namun dengan
adanya penalaan induktif, kita menjadi tahu tingkat probabilitasnya (8).
Penalaran induktif lebih lemah dibandingkan dengan penalaran deduktif, oleh karena
kesimpulannya yang tidak 100% pasti, sehingga sebutan valid atau tidak valid tidak berlaku
pada penalaran induktif. Semakin tinggi probabilitas dari kesimpulan pada penalaran induktif,
maka semakin besar manfaat dari pernyataan tersebut. Sehingga kita dapat menyatakan
pernyataan induktif dapat lebih baik, lebih buruk, kuat, lemah, dan lain sebagainya.
Pernyataan yang disampaikan dalam studi tentang sirkumsisi di atas sangat kuat,
probabilitasnya sangat tinggi. Andaikata semua premisnya benar, dan memberikan dukungan
kuat terhadap kesimpulan, namun tetap saja, kesimpulannya tidak ditampilkan dengan 100%
pasti (8).

6. Penalaran Ilmiah Jenis Lain


6.1 Penalaran Abduktif
Jenis lain dari penalaran ilmiah yang tidak sesuai dengan penalaran induktif atau deduktif
adalah penalaran abduktif. Penalaran abduktif biasanya dimulai dengan serangkaian
pengamatan yang tidak lengkap dan berlanjut ke penjelasan yang paling mungkin untuk
kelompok pengamatan, menurut Butte College. Ini didasarkan pada pembuatan dan pengujian
hipotesis menggunakan informasi terbaik yang tersedia. Seringkali memerlukan menebak
secara terpelajar setelah mengamati suatu fenomena yang tidak ada penjelasan yang jelas.
Misalnya, seseorang berjalan ke ruang tamu dan menemukan kertas-kertas yang robek di
lantai. Anjing orang itu sendirian di kamar sepanjang hari. Orang tersebut menyimpulkan
bahwa anjing itu merobek kertas karena itu adalah skenario yang paling mungkin. Sekarang,
saudara perempuan orang itu mungkin telah dibawa oleh keponakannya dan dia mungkin
telah merobek-robek kertas, atau itu mungkin dilakukan oleh tuan tanah, tetapi teori anjing
adalah kesimpulan yang lebih mungkin.(12)
Penalaran abduktif digunakan ilmuwan saat mereka berusaha untuk mengajukan
penjelasan pada peristiwa seperti temuan-temuan yang tak terduga. Tentu saja, seperti dalam
induksi klasik, penalaran seperti itu dapat menghasilkan pernyataan yang masuk akal yang
masih belum benar. Namun, abduksi memang melibatkan generasi pengetahuan baru, dan
dengan demikian juga terkait dengan penelitian tentang kreativitas (11). Penalaran abduktif
berguna untuk membentuk hipotesis yang akan diuji. Penalaran abduktif sering digunakan
oleh dokter yang membuat diagnosis berdasarkan hasil tes dan oleh juri yang membuat
keputusan berdasarkan bukti yang disajikan kepada mereka(12).

6.2 Analogi
Salah satu proses penalaran yang paling banyak disebutkan dalam sains adalah analogi.
Ilmuan menggunakan analogi untuk menghubungkan apa yang sudah mereka ketahui dengan
apa yang sedang mereka coba untuk jelaskan, pahami dan selidiki. Kenyataannya, banyak
ilmuan yang menyatakan bahwa penggunaan analogi tertentu merupakan alat bantu bagi
mereka dalam melakukan sebuah penelitian ilmiah, dan hampir semua otobiografi dan
biografi ilmiah menampilkan suatu analogi tertentu yang dibahas secara mendalam.
Ditambah dengan fakta-fakta yang mengungkapkan banyaknya program penelitian terhadap
pemikiran dan penalaran-penalaran analogis (11).

Analogi tradisional mempunyai dua komponen dalam penalaran analogis yaitu, target dan
sumber (13). Target adalah konsep atau masalah yang coba dipecahkan atau dijelaskan oleh
seorang ilmuan. Sumber adalah pengetahuan dari referensi yang telah ada yang digunakan
ilmuan tersebut untuk memahami target atau untuk memberikan penjelasan mengenai target
kepada orang lain. Apa yang dilakukan ilmuan ketika mereka membuat sebuah Analogi
dalam suatu penelitian adalah untuk memetakan tampilan/sifat/karakter dari sumber untuk
disandingkan dengan tampilan dari target. Dengan memetakan tampilan dari sumber ke
target, tampilan baru dari target mungkin akan ditemukan, atau tampilan dari target dapat
diatur ulang, dengan demikian sebuah konsep baru telah ditemukan dan sdbuah penemuan
ilmiah telah tercipta. Sebagai contoh, sebuah Analogi umum yg digunakan dalam komputer
untuk menggambarkan sebuah software yang berbahaya, dianalogikan menjadi virus
komputer. Ketika sebuah software dianalogikan menjadi virus, maka orang akan
membayangkan/memetakan tampilan dari virus biologi, seperti ukurannya yang kecil, mudah
tersebar, dapat mereplikasi, dan menyebabkan kerusakan. Dalam hal ini orang tidak hanya
memetakan tampilan individu dari source ke target, tapi juga sistem hubungan. Sebagai
contoh, bila virus komputer memiliki persamaan dengan virus biologi, maka sistem imun
untuk komputer dapat diciptakan untuk melindungi komputer dari varian virus serupa yang
akan muncul di masa depan(11).

Salah satu alasan mengapa analogi ilmiah mempunyai kekuatan adalah karena analogi
ilmiah memungkinkan untuk ditemukannya pengetahuan baru, seperti terciptanya sistem
imun dalam komputerisasi yang memiliki banyak tampilan seperti sistem imun sesungguhnya
dalam biologi. Analogi ini juga telah menimbulkan prediksi bahwa akan ada virus komputer
yg terus dibaharui yang setara dengan retrovirus, kurang DNA atau instruksi standar yang
akan kebal dengan sistem imun komputer. Proses dari membuat Analogi melibatkan beberapa
langkah penting; pengambilan sumber dari memory, mensejajarkan tampilan dari sumber
dengan yang dimiliki target, memetakan tampilan sumber dengan yang dimiliki target, dan
kemungkinan untuk mengambil kesimpulan baru mengenai target (11).

Apakah analogi ilmiah selalu berguna? Terkadang analogi dapat membawa ilmuan dan
pelajar tersesat. Sebagai contohnya, analogi antara tata surya (sumber) dan struktur atom
(target) telah terbukti berpotensi menyesatkan para pelajar di bidang fisika atau kimia.
Analogi tata surya memiliki beberapa ketidakselarasan dengan struktur atom(14). Walaupun
analogi merupakan alat yang ampuh dalam sains, sama seperti semua bentuk induksi,
konklusi yang tidak tepat dapat diperoleh (11).

7. Sesat Pikir

Sesat pikir dapat terjadi ketika menyimpulkan sesuatu lebih luas daripada dasarnya (latius
hos). Contoh: Kucing berkumis. Candra berkumis. Jadi, Candra kucing. Sesat pikir juga dapat
terjadi dalam berbagai hal, antara lain sebagai berikut. Dalam membuat definisi yang tidak
memperjelas (kata-katanya sulit, abstrak, negative, dan mengulang). Dalam membuat
penggolongan: dasar penggolongan tidak jelas, tidak konsisten, tidak lengkap karena tidak
bisa menampung seluruh fenomena yang ada (10).

Sesat pikir juga terjadi karena bentuknya tidak tepat, atau tidak sahih. Kesesatan
demikian itu adalah kesesatan formal. Kesesatan formal terjadi karena pelanggaran terhadap
kaidah –kaidah logika. Penalaran juga dapat sesat karena tidak ada hubungan logis antara
premis dan konklusi. Kesesatan demikian itu adalah kesesatan relevansi mengenai materi
penalaran. Akan tetapi, banyak juga kesesatan terjadi karena sifat bahasa. (10)
BAB III
PENUTUP

Ilmu merupakan pengetahuan yang sudah dikelompokkan, disistematisasi, dan


diinterpretasikan sehingga menghasilkan suatu kebenaran objektif serta sudah diuji
kebenarannya secara ilmiah. Selain itu, ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi
juga merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat
secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.

Bernalar adalah suatu kegiatan untuk menarik kesimpulan dan digunakan sebagai
salah satu langkah menemukan titik kebenaran. Didalam proses penalaran didapatkan dua
cara yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran induktif sifatnya lebih lemah
dibandingkan dengan penalaran deduktif, oleh karena kesimpulannya yang tidak pasti.
Sedangkan penalaran deduktif lebih bersifat pasti. Dalam proses bernalar juga bisa
didapatkan sesat pikir. Sesat pikir ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, seperti
dasar yang tidak jelas, tidak konsisten dan berbagai macam hal lainnya.

Dalam hakikatnya manusia merupakan sosok pemikir. Sehingga dalam proses


berpikirnya diperlukan ilmu pengetahuan yang luas dan kemampuan bernalar yang baik.
Dengan ilmu pengetahuan dan kemampuan bernalar yang baik ini, diharapkan manusia dapat
menghasilkan kesimpulan yang benar dan dapat dibuktikan kebenarannya dengan metode-
metode ilmiah yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

1. Puswanti, M. Ngalim. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


2. Mukhtar Latif, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Kencana, 2014). Hal. 144.
3. Yanto Permana, Utari Sumarmo. 2007. Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan
Koneksi Matematik Siswa SMA Melalui Pembelajaran Berbasiss Masalah. Jurnal
pendidikan vol.1 No 2/Juli 2007. ISSN:1907-8838.
4. Daldiyono.2006. Bagaimana Dokter Berpikir dan Bekerja. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
5. Rahayu, Minto. 2007. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Jakarta : Grasindo.
6. Oyeshile OA. 1999. The Nature of Scintific Reasoning. In: Irele D, editor. Philosophy,
Logic and Scientific Reasoning. Ibadan: New Horn Ltd Press. Hal 103.
7. C. G. Hempel. 1966. Philosopy of Natural Science. Prentice Hall Inc. Hal 1.
8. M.Copi I, Cohen C, McMahon K. 2015. Introduction to Logic (14th edition). Vol. 1, The
effects of brief mindfulness intervention on acute pain experience: An examination of
individual difference. Hal. 1689–1699
9. Surajiyo. 2015. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia: Suatu Pengantar.
Jakarta: Bumi Aksara.
10. Surajiyo. 2017. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
11. Dunbar,K.,& Klahr,D.(2012).Scientific Thinking and Reasoning. The Oxford Handbooks of
Thinking and Reasoning. doi: 10.1093/oxfordhb/9780199734689.001.0001
12. Thagard, Paul and Cameron Shelley. "Abductive reasoning: Logic, visual thinking, and
coherence." Waterloo, Ontario: Philosophy Department, Univerisity of Waterloo, 1997. June 2,
2005. < http://cogsci.uwaterloo.ca/Articles/Pages/%7FAbductive.html>
13. Gentner, D. (2010). Bootstrapping the mind : Analogical processes and symbol systems.
Cognitive Science, 54, 752-775.
14. Fischler, H.,& Lichtfeldt, M. (1992). Modern physics and students conceptions. International
Journal of Science Education, 54, 181-190.
PENALARAN ILMIAH

Mata Kuliah Dasar Umum


Kelompok 1
Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan (Science)
Pengetahuan yang bersifat sistematis/
terstruktur dan telah teruji secara kritis tanpa
keraguan, oleh karenanya merupakan
pernyataan ilmiah (Scientific inquiry)

Penalaran ilmiah membentuk pernyataan


ilmiah
Latar Belakang
Pernyataan Ilmiah:

• Empiris: dicocokkan berdasarkan fakta dan


pengalaman, serta didukung bukti (observasi,
wawancara, uji klinis)
• Non- empiris: meliputi logika dan matematika
tanpa temuan empiris
Penalaran Ilmiah
Definisi
Pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah
dengan pengumpulan fakta fakta dan data -> untuk mengambil
tindakan yang tepat

Unsur-unsur
• Preposisi: Pernyataan yang belum diketahui kebenarannya
• Argumen: sekelompok proposisi yang saling berkaitan dan
saling mendukung
• Kesimpulan: sekelompok proposisi yang saling mendukung
disertai dengan alas an yang logis sehingga dapat diterima
Penalaran Ilmiah
Prinsip:
a. Prinsip Identitas (principium identitatis)
“Suatu hal adalah sama dengan hal itu sendiri” (Aristoteles)

b. Prinsip Kontradiksi (principium contradictionis)


“Sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada
saat yang bersamaan” (Aristoteles)

c. Prinsip Elusi Tertii (principium exclusi tertii)


“Sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu dan bukan hal tertentu maka
tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah” (Aristoteles)

d. Prinsip Cukup Alasan (principium rationis sufficientis)


“Sesuatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu haruslah
berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin berubah tanpa sebab yang
mencukupi” (George Leibniz)
Penalaran Ilmiah
Proses Penalaran

• Penalaran Deduktif (Penalaran Silogisme):


Premis universal -> khusus
Semua manusia adalah fana. Socrates adalah manusia. Maka
Socrates adalah fana.
Premis universal memberi dukungan 100% terhadap kesimpulan

• Penalaran Induktif:
Premis khusus -> universal
Hitler adalah seorang diktator dan kejam. Stalin adalah seorang
diktator dan kejam. Castro adalah seorang diktator, maka
kemungkinan Castro adalah kejam.
Dukungan premis terhadap kesimpulan mulai dari nol hingga 99%
(tidak akan 100%)
Sesat Pikir

Menyimpulkan sesuatu lebih luas daripada


dasarnya (latius hos)
Kucing berkumis. Candra berkumis. Maka
Candra adalah kucing.

Penalaran dapat sesat karena tidak ada hubungan


logis antara premis dan konklusi
(kesesatan relevansi mengenai materi penalaran)
Kesimpulan
• Ilmu: pengetahuan yang sudah dikelompokkan, disistematisasi, dan
diinterpretasikan, dan diuji secara ilmiah sehingga menghasilkan suaru
kebenaran objektif.
• Bernalar: kegiatan menarik kesimpulan dan digunakan sebagai langkah
menemukan titik kebenaran (dengan penalaran induktif dan deduktif)

Kesimpulan
Ilmu Kemampuan
yang benar dan
pengetahuan bernalar yang
dapat
yang luas baik
dibuktikan
Terima Kasih
Tim Penyusun

Aliefio Japamadisaw, dr
Berliana Kurniawati Nur Huda, dr
Dian Retno Mumpuni, dr
I Nengah Bagus Surianta, dr
Medisa Primasari, dr
Raisa Eunike Rondonuwu, dr
Reynaldo Binsar Hutajulu, dr
Sondang Jasmine Mustikasari, dr
Vania Dwi Andhani, dr

Anda mungkin juga menyukai