Anda di halaman 1dari 10

Journal Reading

Dental Autopsy Recommendations


in SARS-CoV-2 Infected Cases

Emilio Nuzzolese, Hemlata Pandey, Francesco Lupariello

Oleh:

Imam Surkani 1840312451


Firhod Purba 1940312102
Fanni August Br Ginting 1940312103
Frisya Martha 1940312145

Preseptor :
Dr. dr. Rika Susanti, Sp.F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL RSUP


DR M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2020
Dental Autopsy Recommendations in SARS-CoV-2 Infected Cases

ABSTRAK
Manusia yang tidak teridentifikasi dengan riwayat pengobatan yang tidak diketahui selalu dapat
menyebabkan bahaya biologis kepada ahli patologi forensik dan odontologis seperti infeksi
hepatitis C, HIV, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), virus hemorragic fever seperi
virus ebola, meningitis dan sekarang Sars-Cov2. Pandemi pada penyakit baru coronavirus
(Covid-19) telah menyebar hingga 185 negara dengan peningkatan jumlah kematian. Patologi
forensik dan odontology mungkin berpikir untuk melakukan identifikasi autopsy untuk kasus
konfirmasi positif atau tersangka pada kematian karena Sars-Cov2. Dengan menaati seluruh
rekomendasi dan peraturan risiko pencegahan yang universal maka risiko dapat diminimalisir,
dan praktik terbaik dalam identifikasi manusia adalah menjaga hak korban yang meninggal.
Artikel berikut berupa ringkasan rekomendasi untuk melakukan otopsi gigi dan manajemen
kasus tersangka COVID-19.

Pendahuluan
Coronavirus merupakan kelompok/family zoonosis dari RNA betacoronavirus yang
sebagian besar hidup dan memiliki inang di tikus, babi, kelelawar dan unggas [1], tetapi telah
diketahui sejak tahun 1960 bahwa virus tersebut dapat juga menginfeksi manusia. Mereka
termasuk ordo coronaviridae dan memiliki keragaman genetik selama replikasi virus,
menghasilkan RNA sub-genomik yang mengarah pada peningkatan spesies coronavirus. [2)
Begitu juga ketika terjadi penularan dari manusia ke manusia.[3]
Novel Virus berhubungan dengan wabah yang terjadi pada manusia. Sudah diketahui
bahwa terdapat tujuh coronavirus yang dapat menginfeksi manusia: OC43, SARS (Severe Acute
Respiratory Syndrome), HKU1, 229E, NL63, dan MERS (Middele East Respiratory Syndrome).
[4,5] Virus yang ketujuh muncul di China, awal endemi di Wuhan, pada tangggal 12 Desember
2019 dari pasar seafood lokal. [1] dan disebut sebagai Severe Respiratory Syndrome Coronavirus
2 (SARS-CoV2) yang menyebabkan penyakit coronavirus 19, COVID 19. [3, 6]
Cadaver/mayat selalu dapat menyebarkan paparan bahaha biologis pada ilmuwan
forensik termasuk Infeksi hepatitis C, HIV, MERS (Middele East Respiratory Syndrome), virus
hemorragic fever seperi virus ebola, meningitis dan sekarang Sars-Cov2. Pandemi penyakit
coronavirus yang baru yang pada 14 April 2020 telah menyebar ke 85 negara dengan jumlah
1.920.918 kematian.[7] Menurut pengetahuan yang kami ketahui, tidak ada kasus yang
dilaporkan tentang petugas medis yang terinfeksi setelah melakukan otopsi pasien COVID-19 [8]
dan tidak ada identifikasi otopsi yang dilaporkan pada pasien yang meninggal dengan suspek
atau terkonfirmasi positif SARS-CoV2.
Namun, mengingat wabah COVID-19 dan deklarasi pandemic pada 11 Maret 2020 oleh
badan WHO dan meningkatnya jumlah kematian, kami beranggapan bahwa adanya potensi
risiko terinfeksi untuk ahli patologi dan odontologi.
Laporan singkat ini memberikan rekomendasi kepada forensik odontologi dalam hal
praktik keamanan dan pengendalian infeksi selama pengumpulan data post-mortem dari gigi
manusia tanpa riwayat medis yang diketahui.

Rekomendasi Otopsi Gigi


Otopsi gigi harus dilakukan ketika identitas korban tidak diketahui, dengan jumlah
pekerja pada ruang otopsi yang terbatas pada 3 orang yaitu 3 odontologist atau 2 odontologist
dan 1 dental hygienist dengan latara belakang forensik. Alternatif lain, seorang patologi forensik
juga dapat melakukan otopsi gigi. Orang dengan immunocompromised atau berisiko tinggi
terinfeksi tidak boleh ikut. Para pakar menyarankan odontologist untuk selalu mendiskusikan
kasus tersebut dengan patologi forensik yang bertanggungjawab sebelum memulai otopsi gigi.
Sifat kasus infeksi harus ditentukan sebelum pengumpulan data gigi post mortem, mulai
dari riwayat yang tersedia yang diberikan oleh polisi tentang keadaan pemulihan tubuh dan
sesuai dengan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit 2020, pengumpulan oleh pemeriksa
medis spesimen untuk pengujian SARS-CoV-2: swab nasofaring dan orofaring [ 9 ]
Telah diketahui bahwa infeksi dapat disebarkan melalui aerosol atau langsung melalui
luka dan luka tusukan. Ketika kasus-kasus seperti itu tidak terduga atau tidak didiagnosis
sebelum kematian, itu bisa berbahaya bagi ahli patologi forensik, odontolog, teknisi, dan
personel lain yang hadir di kamar mayat. Aspek yang paling penting dari perlindungan bagi
personel otopsi gigi adalah penggunaan peralatan pelindung diri dan pelatihan yang benar
sebelum melakukan otopsi dan otopsi gigi [ 9 - 12 ] APD lengkap dan peralatan yang diperlukan
harus diberikan untuk menghindari kontak dengan mereka. Ini adalah tindakan pencegahan
universal dan APD yang direkomendasikan:
- Pakai seragam bedah
- Memakai baju tahan air atau lengan panjang untuk melindungi dada, lengan dan kaki
- Celemek sekali pakai yang menutupi dada dan kaki di atas gaun tahan air
- Sarung tangan bukan steril ganda (lebih disukai sarung tangan nitril); sarung tangan harus
diperluas untuk menutupi pergelangan tangan; sarung tangan nitrile kedua dapat sering diganti,
jika perlu
- Kenakan sarung tangan tugas berat di atas sarung tangan nitril pertama (jika pengumpulan data
gigi post mortem melibatkan pemeriksaan pemotongan
- Pertimbangkan untuk menggunakan setelan seluruh tubuh
- Gunakan kacamata dan pelindung wajah dari plastik atau masker wajah untuk melindungi
wajah, mata, hidung, dan mulut
- Kelas 3 atau Kelas 2 masker wajah (certified respirator N-95 sekali pakai atau lebih tinggi,
FFP2, FFP3). Masker bedah tidak memberikan perlindungan yang memadai tetapi dapat
dikenakan di atas FFP2 mask, tetapi masker FFP3 lebih disukai
- Sepatu bot karet dan pelindung sepatu kedap air
- Topi bedah.
Tindakan pencegahan yang tercantum di atas dapat membantu kemampuan fasilitas
forensik yang kurang staf atau kewalahan. Dalam hal ini, odontolog forensik harus melindungi
setidaknya mata, mulut dan tangan dengan dua penghalang fisik (dua pasang sarung tangan;
googles atau kacamata dan pelindung wajah; dan masker). Jika tidak ada APD, otopsi gigi tidak
boleh dilakukan dan ditunda.
Untuk mencegah paparan mukosa mata oleh percikan yang tidak disengaja, kacamata
atau pelindung wajah harus sesuai wajah pengguna . Telinga, hidung dan luka, seperti lubang
trakeostomi, harus ditutup menggunakan kapas atau kain kasa yang dengan disinfektan [ 13 , 14 ]
Percikan air atau cairan harus dihindari secara ketat saat melakukan otopsi gigi. Bila perlu,
bersihkan pelindung dengan kain kasa basah untuk meningkatkan visibilitas. Autopsi gigi tidak
memiliki prosedur yang menghasilkan aerosol, tetapi membutuhkan instrumen, peralatan
fotografi dan radiografi. Perhatian harus dilakukan saat menggunakan instrumen tajam, dan
hanya satu odontologis harus diizinkan untuk melakukan pemotongan pada sisa-sisa manusia.
Radiografi gigi dengan peralatan portabel harus dilakukan tetapi harus membatasi potensi
paparan staf terhadap COVID19 [ 15 ] Untuk mengurangi waktu otopsi gigi, rontgen periapikal
dibatasi untuk menentukan perkiraan usia, gigi yang dirawat, gigi dengan pembusukan, daerah
edentulous dan setiap daerah dengan keunikan yang ditenemukan. Semua peralatan fotografi dan
radiografi harus ditutup dengan bahan kedap air seperti lembaran plastik untuk meminimalkan
kontaminasi. Disinfeksi peralatan semacam itu adalah terpenting.
Sarung tangan harus diganti sebelum menggunakan peralatan fotografi atau Xray apa
pun. Untuk membuat proses ini nyaman, sangat disarankan agar personil yang dilindungi APD
yang bersih (tidak terkontaminasi) membantu dalam fotografi dan radiografi. Ini akan
memungkinkan odontolog untuk menyelesaikan pemeriksaan gigi tanpa istirahat selama proses,
juga meminimalkan risiko kontaminasi kulit saat melepas dan mengenakan sarung tangan
beberapa kali. Ketika kasusnya adalah SARS-Cov-2 confirmed sangat dianjurkan untuk
menghindari pengumpulan spesimen gigi, kecuali diminta sebaliknya oleh pemeriksa medis
untuk sampel DNA.
Setelah otopsi gigi, jaga ventilasi tetap aktif dan lepaskan semua APD sebelum
meninggalkan ruang otopsi, kemudian ikuti persyaratan pembuangan limbah yang sesuai. Setelah
melepas APD, tangan dan permukaan kulit yang terkontaminasi harus dicuci secara menyeluruh
dengan sabun dan air selama 20 detik untuk menghindari percikan, setiap kali mengganti sarung
tangan dan sebelum meninggalkan ruang otopsi. Jika air tidak tersedia, pembersih tangan
berbahan dasar alkohol yang mengandung alkohol 60 -95% harus digunakan dan hindari
menyentuh wajah dengan tangan yang tidak dicuci.
Sesuai pedoman yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan & Kesejahteraan
Keluarga India, 2020 [ 14 ], pakaian yang dapat digunakan kembali dapat dilepas dari ruang
otopsi dan akan dicuci sesuai dengan prosedur rutin. Selain mencuci dan membersihkan
instrumen otopsi gigi lainnya, semua permukaan, dan troli pengangkut harus didesinfeksi dengan
baik dengan sabun dan air, dan kemudian didesinfeksi dengan desinfektan setidaknya selama 20
menit dengan konsentrasi Larutan natrium hipoklorit 0,5%-1% harus diikuti dengan otoklaf
instrumen. Disinfektan rumah sakit umum lainnya yang efektif adalah etanol (62 - 71%) atau
hidrogen peroksida (0,5%). Kamera, telepon, laptop, dan perangkat portabel sinar-X harus tetap
diperlakukan seolah-olah terkontaminasi dan ditangani dengan sarung tangan. Semua barang ini
harus dibersihkan dengan disinfektan yang sesuai.
3. Diskusi
Diketahui bahwa SARS-CoV-2 bertahan di permukaan selama berhari-hari [ 16 ], dan
bertahan di rongga hidung selama 3 hari setelah kematian [ 17 ] dan untuk alasan ini mungkin
bahwa virus tetap ada pada tubuh orang yang meninggal juga. Akibatnya, identifikasi jenazah
manusia harus ditangani dengan aman selama transportasi, penyimpanan, otopsi, dan penguburan
/ kremasi [ 18 ] Harus ditekankan bahwa otopsi orang yang meninggal karena COVID-19 harus
dilakukan hanya untuk alasan forensik [ 19 ]. Di sisi lain, proses identifikasi kasus COVID-19
harus selalu mengikuti prinsip manajemen dan kemanusiaan yang tepat, mengadopsi seluruh
rangkaian tindakan pencegahan universal dan rekomendasi yang diuraikan. Menghormati
tindakan pencegahan keselamatan dapat meminimalkan risiko, dan tidak etis untuk menolak
melakukan otopsi gigi jika diminta oleh pemeriksa medis, kecuali jika tidak ada APD yang
tersedia atau ahli odontologi sendiri berisiko tinggi karena masalah kesehatan. Proses identifikasi
tidak hanya bergantung pada data postmortem gigi tetapi juga pada koleksi DNA, yang telah
dikumpulkan oleh ahli patologi forensik. Dua identitas utama DNA dan gigi, keduanya harus
dipertimbangkan ketika melakukan otopsi, tetapi ketika otopsi gigi terlalu berisiko, DNA dapat
dianggap sebagai pengganti yang lebih kuat untuk identifikasi.[ 20 ]
Mengingat penyebaran COVID-19 saat ini, semua prosedur otopsi, termasuk otopsi gigi,
harus mengasumsikan sisa-sisa manusia berpotensi terinfeksi [ 21 ] Odontolog harus menyadari
bahwa APD akan mengurangi kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik dan jika ada
kekurangan saat pelatihan kurang memadai, pengumpulan post mortem gigi harus dilakukan oleh
yang lebih berpengalaman.
Proses identifikasi gigi forensik yang dicurigai atau positif mengandung COVID-19 harus
menyeimbangkan perlindungan personel yang terlibat dan kebutuhan untuk memastikan sisa-sisa
manusia, tetapi praktik terbaik dalam identifikasi manusia memerlukan pengumpulan data gigi
[22,23]
dan radiologi . Odontolog forensik dan ahli kesehatan gigi yang terlibat dalam prosedur
otopsi dari sisa-sisa manusia tak dikenal yang terinfeksi COVID-19 harus dilatih dengan baik
dalam praktik pengendalian infeksi dan untuk tugas mengelola orang mati dalam keadaan yang
menantang [12,14].
Persiapan tubuh untuk pemakaman akhirnya harus didiskusikan dengan pemeriksa medis
yang bertugas, juga mempertimbangkan praktik budaya dan agama. Ini harus sejalan dengan
arahan yang dikeluarkan oleh badan pengelola di negara terkait. Dianjurkan agar sisa-sisa
manusia yang diproses harus dibuang tanpa pembalseman dan lebih baik secepatnya dilakukan
langsung dari kamar mayat hingga penguburan atau kremasi. Untuk pengelolaan sisa-sisa
manusia yang terbaik, penguburan tunggal harus dipilih untuk dikremasi [12].
4. Kesimpulan
Penyebaran COVID-19 saat ini pada semua prosedur otopsi, termasuk otopsi gigi, harus
mengasumsikan bahwa sisa-sisa manusia berpotensi terinfeksi. Namun risiko tidak boleh
mencegah kita menerapkan praktik terbaik dalam identifikasi manusia melalui pengumpulan
pengidentifikasi utama seperti, sidik jari, DNA, dan data gigi. Untuk menyeimbangkan
keselamatan dan penghormatan terhadap hak asasi orang mati, protokol infeksi dan keselamatan
yang ketat harus diterapkan melalui perencanaan, pelatihan, persiapan, dan pengalaman semua
personel yang memasuki ruang otopsi. Odontolog forensik dan ahli kesehatan gigi yang terlibat
dalam prosedur otopsi dari sisa-sisa manusia yang menular harus selalu dilatih dengan baik
dalam praktik pengendalian infeksi dan pengelolaan orang mati dalam situasi yang menantang.
Sumber pendanaan
Penelitian ini tidak menerima hibah khusus dari lembaga pendanaan di sektor publik,
komersial, atau nirlaba.
Deklarasi kepentingan yang bersaing
Para penulis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan keuangan yang
bersaing atau hubungan pribadi yang bisa mempengaruhi pekerjaan yang dilaporkan dalam
makalah ini.
Pernyataan kontribusi kredit pengarang
Emilio Nuzzolese: Konseptualisasi, Metodologi, Sumber Daya, Penulisan - review &
editing, Pengawasan. Hemlata Pandey: Sumber Daya, Penulisan - konsep asli. Francesco
Lupariello: Sumber Daya, Visualisasi, Pengawasan.
Daftar Pustaka

1. H. Naji, The emerging of the novel coronavirus 2019-nCoV, Eur. J. Med. Health Sci. 2
(2020) 1e4, https://doi.org/10.24018/ejmed.2020.2.1.169.
2. E.J. Lefkowitz, D.M. Dempsey, R.C. Hendrickson, R.J. Orton, S.G. Siddell, D.B. Smith,
Virus taxonomy: the database of the international committee on taxonomy of viruses
(ICTV), Nucleic Acids Res. 46 (2018) D708eD717, https:// doi.org/10.1093/nar/gkx932.
3. R. Lu, X. Zhao, J. Li, P. Niu, B. Yang, H. Wu, et al., Genomic characterisation and
epidemiology of 2019 novel coronavirus: implications for virus origins and receptor
binding, Lancet 395 (2020) 565e574, https://doi.org/10.1016/S0140- 6736(20)30251-8.
4. V.M. Corman, D. Muth, D. Niemeyer, C. Drosten, Hosts and sources of endemic human
coronaviruses, Adv. Virus Res. 100 (2018) 163e188, https://doi.org/
10.1016/bs.aivir.2018.01.001.
5. A.M. Zaki, S. van Boheemen, T.M. Bestebroer, A.D. Osterhaus, R.A. Fouchier, Isolation of
a novel coronavirus from a man with pneumonia in Saudi Arabia, N. Engl. J. Med. 367
(2012) 1814e1820, https://doi.org/10.1056/ NEJMoa1211721.
6. L.L. Ren, Y.M. Wang, Z.Q. Wu, Z.C. Xiang, L. Guo, T. Xu, et al., Identification of a novel
coronavirus causing severe pneumonia in human: a descriptive study, Chin. Med. J. (2020),
https://doi.org/10.1097/CM9.0000000000000722.
7. Coronavirus Resource Center, Johns Hopkins University. https://coronavirus.
jhu.edu/map.html, 2020 accessed on 14 April 2020.
8. W. Sriwijitalai, V. Wiwanitkit, Corrigendum to “COVID-19 in forensic medicine unit
personnel: Observation from Thailand” [J Forensic Legal Med 72 May 2020, 101964], J.
Forensic Leg. Med. (2020) 101964, https://doi.org/10.1016/ j.jflm.2020.101967.
9. Collection and submission of postmortem specimens from deceased persons with known or
suspected COVID-19, March 2020 (interim guidance), Centers for disease control and
prevention. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019- ncov/hcp/guidance-postmortem-
specimens.html accessed on 14 April 2020.
10. Istituto Superiore di Sanit a, Recommendations to perform autopsies in patients with SARS-
CoV-2 infection. ISS Working group on causes of death assessment COVID-19 2020 (in
Italian), ii, 7 pp. Rapporti ISS COVID-19 n. 6, http://www.quotidianosanita.it/iss_docs/
8edcab746276b9eb8a5d5080095e88b52b8bcd8f.pdf, 2020. accessed on 14 April 2020.
11. M. Osborn, S. Lucas, R. Stewart, B. Swift, E. Youd, Briefing on COVID-19: Autopsy
Practice Relating to Possible Cases of COVID-19 (2019-nCov, Novel Coronavirus from
China 2019/20), The Royal College of Pathologists, London, 2020.
http://refhub.elsevier.com/S2589-871X(20)30030-9/sref9. accessed on 14 April 2020.
12. O. Finegan, S. Fonseca, P. Guyomarch, M.D. Morcillo Mandez, J.R. Gonzalez, et al.,
International committee of the red cross (ICRC): general guidance for the management of
the dead related to COVID-19, Forensic Sci. Int.: Synergy 2 (2020) 129e137,
https://doi.org/10.1016/j.fsisyn.2020.03.007.
13. O. Erdeve, M. Çetinkaya, A.Y. Bas € ¸ , N. Narh, N. Duman, et al., The Turkish Neonatal
Society proposal for the management of COVID-19 in the neonatal intensive care unit, Turk
Pediatri. Ars. 55 (2) (2020) 86e92. https://www. journalagent.com/tpa/pdfs/TPA-43788-
REVIEW-ERDEVE.pdf. accessed on 20 April 2020.
14. Ministry of Health & Family Welfare, COVID19 Guidelines on Dead Body Management,
Directorate General of health service, Government of India, 2020.
https://www.mohfw.gov.in/pdf/1584423700568_COVID19GuidelinesonDeadbodymanagem
ent.pdf. accessed on 14 April 2020.
15. Infection Prevention and Control for the Safe Management of a Dead Body in the Context of
COVID-19, World Health Organization, 25 January 2020. WHO/ 2019-
nCoV/lPC_DBMgmt/2020.1.
16. N. van Doremalen, T. Bushmaker, D.H. Morris, M.G. Holbrook, A. Gamble, B.N.
Williamson, et al., Aerosol and surface stability of SARS-CoV-2 as compared with SARS-
CoV-1, N. Engl. J. Med. (2020), https://doi.org/10.1056/ NEJMc2004973.
17. D. Mao, N. Zhou, D. Zheng, J. Yue, Q. Zhao, B. Luo, et al., Guide to Forensic Pathology
Practice for Death Cases Related to Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) (Trial Draft),
Forensic Sciences Research, 2020, https://doi.org/ 10.1080/20961790.2020.1744400.
18. European Centre for Disease Prevention and Control ECDC, Infection Prevention and
Control for COVID-19 in Healthcare Settings, ECDC, Stockholm, 2020.
https://www.ecdc.europa.eu/sites/default/files/documents/Infectionprevention-control-for-
the-care-of-patients-with-2019-nCoV-healthcare-settings_update-31-March-2020.pdf.
accessed on 12 April 2020.
19. B. Hanley, S.B. Lucas, E. Youd, B. Swift, M. Osborn, Autopsy in suspected COVID-19
cases, J. Clin. Pathol. (2020), https://doi.org/10.1136/jclinpath2020-206522. Mar 20.
20. M. Prinz, A. Carracedo, W.R. Mayr, N. Morling, T.J. Parsons, et al., DNA commission of
the International Society for Forensic Genetics, Recommendations regarding the role of
forensic genetics for disaster victim identification, Forensic Sci. Int.: Genetics 1 (1) (March
2007) 3e12.
21. V. Fineschi, A. Aprile, I. Aquila, A. Arcangeli, A. Asmundo, et al., Management of the
corpse with suspect, probable or confirmed COVID-19 respiratory infection e Italian interim
recom- mendations for personnel potentially exposed to material from corpses, including
body fluids, in morgue structures and during autopsy practice, Pathologica (2020),
https://doi.org/10.32074/1591-951X13-20. Epub 2020 Mar 26.
22. E. Nuzzolese, Missing people, migrants, identification and human rights, J. Forensic
Odonto-Stomatology 30 (2020) 47e59. http://www.iofos.eu/ Journals/JFOS
%20sup1_Nov12/IDEALS%206-96.pdf.
23. E. Nuzzolese, F. Lupariello, P. Ricci, Human Identification and Human Rights through
Humanitarian Forensic Odontology, Int. J. Forensic Odontol. (2020). In press.

Anda mungkin juga menyukai