Anda di halaman 1dari 15

EVALUASI ATRIBUT SURVAILANS MALARIA DI DINAS KESEHATAN

KABUPATEN SUMBA TIMUR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR


Margaretha Domingga,S.Kep1, Dr. Atik Choirul Hidajah,dr.M.Kes2
1
Program Magister of Epidemiology, Faculty of Public Health, Universitas Airlangga,
Surabaya, East Java, Indonesia
2
Department of Epidemiology, Faculty of Public Health, Universitas Airlangga, Surabaya,
East Java, Indonesia
Email: ethadomingga@yahoo.com

ABSTRACT
Introduction. Malaria adalah penyakit infeksi disebabkan oleh nyamuk malaria
(Anopheles). Jumlah kasus malaria di Kabupaten Sumba Timur(Dinkes Kab. Sumba Timur,
2017a) mengalami peningkatan yang cukup signifikan dimana API tahun 2015 sebanyak 9,39
meningkat menjadi 30,9 per 1000 penduduk di tahun 2017, angka SPR dari 16,23% tahun 2015
menjadi 17,95% di tahun 2017. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi masih tingginya
kasus malaria adalah kinerja survailans malaria karena mempunyai andil dalam menanggulangi
dan mencegah penyakit, maka perlu dilakukan evaluasi pelaksanaan surveilans malaria
Objective: mendeskripsikan pelaksanaan surveilans malaria berdasarkan pendekatan sistem
(input, proses, output) dan evaluasi atribut surveilans, mengidentifikasi permasalahan dan
menentukan alternatif solusi Methods: Rancang bangun penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan rancang studi evaluasi. Results: Identifikasi masalah pada input yaitu tidak
ada tenaga analis, sarana dan prasarana lab yang kurang, keterbatasan dana, belum ada kerja
sama lintas program dan sektor. Pada proses data yang masuk dari Puskesmas ke Kabupaten
tidak tepat waktu yaitu 68,18% dari target 80% dan tidak lengkap sebesar 77,27% dari target
90%. Pada output telah dilakukan desiminasi informasi pada pertemuan berkala. Hasil evaluasi
atribut survailans dimana atribut kesederhanaan menjadi tidak sederhana. Atribut fleksibiltas
adalah tidak fleksibel. Atribut kualitas data, akseptibiltas, senistivitas, representatif, ketepatan
waktu adalah rendah Dan atribut stabilitas tinggi. Alternatif solusi adalah peningkatan
kapasitas pengelola survailans malaria dan analis kesehatan dengan memberikan pelatihan
tentang proses pencatatan dan pelaporan, pengolahan data analisis dan intepretasi data sehingga
memperkuat sistem survailans dari tingkat Puskesmas sampai ke Dinas Kesehatan.
Keywords: Malaria, Sumba Timur, API, atribut survailans, E-Sismal

Pendahuluan
Malaria adalah penyakit infeksi disebabkan oleh parasit plasmodium yang hidup dan
berkembang biak dalam sel darah manusia yang ditularkan oleh nyamuk malaria (Anopheles),
dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok resiko tinggi yaitu bayi, anak balita,
ibu hamil. (Kemenkes RI, 2017e). Disadari bahwa penyebaran malaria tidak mengenal batas
wilayah administrasi, oleh karena itu upaya pengendalian malaria memerlukan komitmen
nasional, regional bahkan global (Kemenkes RI, 2017b).
Data dunia diketahui bahwa sejak tahun 2000 kematian akibat malaria secara global telah
menurun sekitar 60%, dimana 65% terjadi pada anak usia Balita. Sekitar 3,2 milyar penduduk
(setengah dari populasi dunia) tinggal di daerah beresiko tertular malaria. Pada tahun 2015,
diperkirakan terdapat 214 juta kasus malaria, dimana 400 ribu kasus diantaranya meninggal
dunia (Kemenkes RI, 2017a).
Penyakit ini masih endemis di sebagian besar wilayah Indonesia (Kemenkes RI,
2011)(Kemenkes RI, 2011). Kerugian ekonomis akibat sakit malaria selama satu tahun di
Indonesia dapat mencapai Rp366.576.409.496,- (Purba, Hadi and Hakim, 2016). Pada tahun
2017, Sebanyak 247 kabupaten/kota di Indonesia telah menerima sertifikat eliminasi malaria
dan dalam tahap pemeliharaan/ bebas penularan malaria. Total kabupaten/kota dengan Annual
Parasite Insidence (API) < 1 per 1000 penduduk meningkat dari 379 menjadi 413
kabupaten/kota (Kemenkes RI, 2017e)
Data Profil Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2017
menggambarkan bahwa API mengalami penurunan yang signifikan dimana tahun 2014
sebanyak 13,69, tahun 2015 menurun menjadi 7,06, tahun 2016 menjadi 5,78 dan tahun 2017
menjadi 3,77 per 1000 penduduk (Dinkes Propinsi NTT, 2017).
Jumlah kasus malaria sesuai dengan Laporan P2M Dinkes Kabupaten Sumba Timur
(Dinkes Kab. Sumba Timur, 2017a) mengalami peningkatan yang cukup signifikan dimana
kasus malaria positif tahun 2015 sebanyak 2.177 meningkat menjadi 7.625 orang di tahun 2017
dan data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1 (satu) sebagai berikut :
Tabel 1. Distribusi Malaria Kabupaten Sumba Timur Tahun 2015-2017
Uraian Tahun
2015 2016 2017
Diagnosis : 13.413 22.964 42.463
 Mikroskopis 12.132 19.093 28.709
 RDT 1281 3.871 13.754
Klinis 266 54 2
Malaria positif termasuk ibu hamil 2.177 3.964 7.625
Malaria berdasarkan jenis parasit 2.177 3.964 7.625
 PF 1904 3.475 5.518
 PV 209 230 772
 PM 11 0 22
 PO 0 0 2
 Mix 53 259 1.311
Screning ibu hamil 873 1.057 1.618
Malaria positif pada ibu hamil 18 38 84
Pengobatan 2.117 3.906 7.627
Sumber : Kasie P2M Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur, 2017

Profil Dinkes Kabupaten Sumba Timur tahun 2017 menunjukkan bahwa Sumba Timur
merupakan daerah dengan endemisitas tinggi dimana angka API mengalami peningkatan pada
tahun 2015 - 2017 (Dinkes Kab. Sumba Timur, 2017b) dapat dilihat pada gambar 1.
Trend Annual Parasite Incidence Kabupaten
Sumba Timur Tahun 2015-2017
40
API

30
20 30.9
10 9.39 16.16
0
2015 2016 2017
TAHUN

Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur Tahun 2017


Gambar 1. Trend API/1000 penduduk di Kabupaten Sumba Timur, 2015-2017

Laporan Seksi P2M Dinkes Kabupaten Sumba Timur tahun 2017 menggambarkan
bahwa dari 158 desa yang terdapat pada 22 Puskesmas dapat diketahui desa dengan indikator
API rendah sebanyak 18 desa (11,39%), sedang sebanyak 35 desa (22,15%) dan tinggi
sebanyak 105 (66,46%) (Dinkes Kab. Sumba Timur, 2017a) yang dapat dilihat pada peta
berikut.

Sumber : Kasie P2M Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur Tahun 2017
Gambar 2. Cakupan API per desa di Kabupaten Sumba Timur, 2017

Pola musim penularan dengan pola maksimum minimum berfungsi menentukan periode
puncak penularan, puncak kasus dan penentuan waktu yang tepat untuk melakukan kegiatan
pengendalian malaria, yang dapat dihitung dengan menghimpun data per unit waktu bulanan
selama minimal 5 tahun (Kemenkes RI, 2007), dengan melihat kasus terendah dan tertinggi
kemudian dibuat grafik dan membandingkan dengan pola malaria tahun berikutnya (Binti
Mahfudhoh, 2015). Adapun pola musim penularan malaria di Kabupaten Sumba Timur selama
5 tahun terakhir (2012-2016) dapat dilihat pada grafik berikut.

Sumber : Kasie P2M Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur Tahun 2017
Gambar 3. Pola Maksimum, Median, Minimum dan Rata-Rata Kasus Malaria
di Kabupaten Sumba Timur, 2012-2016

Kondisi di atas menggambarkan bahwa puncak kasus malaria terjadi pada bulan
Desember dan Maret atau pada musim penghujan dan menurun pada bulan Juli dan Agustus
pada saat musim kemarau.
Kasus malaria yang dicatat pada register malaria akan dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan Rapid Diagnostic Test (RDT) atau pemeriksaan darah dengan giemsa untuk
memastikan adanya parasite dalam darah (Joseph A., Patrick N., Lawrence N., Lilian O., 2014).
Hasil cakupan SPR dan ABER Puskesmas se-Kabupaten Sumba Timur tahun 2015-2017 dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 2. Cakupan SPR dan ABER Puskesmas se-Kabupaten Sumba Timur
No Indikator Target Tahun
2015 2016 2017
1 SPR < 5% 16,23 17,00 17,95
2 ABER >10% 5,56 10,88 17,24
Sumber : Kasie P2M Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur Tahun 2017

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi masih tingginya kasus malaria adalah
kinerja survailans malaria, dimana sistem survailans dikatakan bermanfaat bila sistem tersebut
mempunyai andil dalam menanggulangi dan mencegah peristiwa kesehatan yang tidak
dikehendaki (Weraman Pius, 2010). Survailans epidemiologi adalah rangkaian proses
pengamatan yang terus menerus dalam pengumpulan, analisa dan intepretasi data kesehatan
yang bertujuan mendeteksi trend penyakit, mendeteksi KLB, memperkirakan besarnya
morbiditas dan mortalitas, mengidentifikasi faktor resiko, memungkinkan melakukan
penelitian terhadap tindakan pencegahan, dan meningkatkan tindakan praktik klinis dalam
sistem survailans (Ditjen P2M-PL, 2003). Oleh sebab itu diperlukan evaluasi tentang
pelaksanaan surveilans malaria di Dinkes Kabupaten Sumba Timur berdasarkan atribut
survailans secara periodik dan menghasilkan rekomendasi untuk peningkatan kualitas, efisiensi
dan kemanfaatan.
Tujuan dari penelitian ini yaitu mendeskripsikan pelaksanaan surveilans malaria
berdasarkan pendekatan sistem (input, proses, output) dan mengevaluasi atribut surveilans,
mengidentifikasi adanya permasalahan serta menentukan alternatif solusi sebagai bahan
pertimbangan dalam penentuan kebijakan pembuatan program pengendalian, penanggulangan
dan pemberantasan penyakit malaria selanjutnya.

Metode
Kegiatan evaluasi sistem survailans malaria dilaksanakan di Dinkes Kabupaten Sumba
Timur terhitung dari Juli – Agustus 2018. Rancang bangun penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan rancang studi evaluasi. Subjek dalam penelitian ini adalah komponen sistem
survailans malaria yang terdiri dari input, proses, output dengan atribut survailans yang terdiri
dari kesederhanaan, fleksibilitas, kualitas data, akseptabilitas, sensitivitas, nilai prediktif
positif, kereprensetatifan, ketepatan waktu dan stabilitas. Informan penelitian adalah pengelola
program Malaria di Dinas Kesehatan dan pengelola program di 22 Puskesmas pada Dinkes
Kabupaten Sumba Timur.
Teknik pengambilan data secara primer melalui wawancara atau interview kepada
responden dengan menggunakan kuesioner dan observasi. Sedangkan pengumpulan data
sekunder diperoleh melalui studi dokumen atau arsip data survailans malaria di Dinkes
Kabupaten Sumba Timur dan Puskesmas. Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan
petunjuk teknis yang berhubungan dengan malaria yang diterbitkan oleh Kementerian
Kesehatan RI dan Guideliness for Evaluating Surveillance Systems dari Center for Disease
Control and Prevention Tahun 2001 (Centers for Diseases Control, 2001).

Hasil
Evaluasi pelaksanaan program malaria di tingkat Puskesmas dapat dilihat berdasarkan
input, proses dan output yang dapat dijabarkan sebagai berikut :
A. Sistem Survailans
1. Input
a. Man
Sumber daya manusia yang berperan dalam pelayanan program malaria adalah
bagian pendaftaran, dokter/perawat/bidan di Pustu/Polindes, Poli umum dan Poli KIA,
tenaga analisis di laboratorium, tenaga apoteker di apotik, pengelola program malaria
dan Kepala Puskesmas. Hasil wawancara diketahui permasalahan yang dihadapi
adalah kurangnya tenaga analis di laboratorium, dari 22 (dua puluh dua) Puskesmas
yang memiliki tenaga analis hanya 6 (enam) atau 27,27% Puskesmas yaitu Puskesmas
Waingapu, Lewa, Mangili, Melolo, Kataka, Kawangu, sementara Puskesmas lain
yang bekerja adalah perawat/karyawan yang dilatih dan tidak mempunyai kompetensi
dalam bidang laboratorium sehingga mempengaruhi hasil pemeriksaan. Jumlah
tenaga yang lain masih cukup.
b. Machine
Pelaksanaan sistem survailans Program Malaria sudah didukung oleh media
atau perlengkapan yang memadai seperti komputer, printer, telepon, ATK serta
perangkat KIE, fasilitas kesehatan sesuai standar dalam menyelenggarakan pelayanan
malaria. Hasil wawancara diketahui setiap Puskesmas sudah mempunyai komputer,
ATK tersedia, telah ada aplikasi e-SISMAL pada tingkat nasional (Supriyadi, 2017)
yang mempermudah sistem pencatatan dan pelaporan di Puskesmas, tapi aplikasi ini
belum diuji coba di Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya di Kabupaten Sumba
Timur, sehingga pencatatan dan pelaporan masih menggunakan excel biasa sehingga
data tidak valid dalam melakukan penginputan misalnya jumlah pasien positif malaria
per jenis kelamin dan usia hasilnya tidak sama dengan jumlah pasien dengan jenis
plasmodium malaria yang dilaporkan. Pencatatan dan pelaporan masih menggunakan
lembaran kertas sehingga data mudah hilang dan membutuhkan tempat untuk
penyimpanan arsip laporan.
c. Money
Pendanaan untuk survailans berasal dari DAU, alokasi dana BOK dan alokasi
dana DAK Pusat. Untuk Kabupaten Sumba Timur pernah mendapatkan bantuan dan
hibah dari Global Fund namun saat ini telah dihentikan, sementara alokasi dari
Pemerintah belum mencukupi kegiatan program. Pengelola program mengatakan
masih adanya kekurangan dana operasional untuk kegiatan malaria.
d. Methode
Pelaksanaan sistem survailans malaria di Dinkes Kabupaten Sumba Timur
didukung oleh ketersediaan buku pedoman penanggulangan malaria yang dibuat oleh
Kementerian Kesehatan antara lain Permenkes No. 042/Menkes/SK/I/2007 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Malaria (Depkes RI, 2007), Keputusan Dirjen
P2P No. HK.02.02/IV/1813/2017 tanggal 17 Juli 2017 tentang Petunjuk Teknis
Penilaian Eliminasi Malaria (Kemenkes RI, 2017c), Petunjuk Teknis Penyelidikan
Epidemiologi Malaria dan Pemetaan Wilayah Fokus (Kemenkes RI, 2017d), dan
beberapa buku pedoman lainnya.
e. Market
Hasil wawancara diketahui bahwa laporan yang telah dianalisa, disebarluaskan
melalui laporan berkala ke tingkat kabupaten sampai pusat, disampaikan juga pada
forum pertemuan yang melibatkan lintas sektor di tingkat Kecamatan yang dihadiri
oleh Camat, para Kepala Desa, tokoh agama dan tokoh masyarakat, pada saat
pertemuan minilokakarya. Pemerintah Daerah sangat mendukung pelayanan
kesehatan namun untuk program Malaria masih kurang dimana belum terbentuknya
Tim Penanggulangan Malaria baik di tingkat Kabupaten dan Kecamatan, belum
adanya Perda tentang upaya penanggulangan penyakit malaria, pembiayaan kegiatan
malaria dibantu oleh dana Global Fund, namun telah dihentikan sehingga alokasi dana
Pemerintah masih sedikit. Belum ada kemitraan Pemerintah dan Swasta khususnya
RS Swasta, Klinik, dokter Praktek, apotik swasta dalam penanggulangan malaria baik
untuk penemuan kasus, penegakkan diagnosa, dan pemberian terapi dan follow up
pengobatan sehingga penemuan dan pengobatan penderita belum terdata dengan baik.

2. Proses
a. Pengumpulan Data
Sumber data malaria adalah hasil pelayanan program malaria yang dicatat pada
kartu status pasien berbasis kertas, dimasukkan ke register malaria dan direkap oleh
petugas Pustu/Polindes/Poskesdes dan Poli Umum Puskesmas. Laporan dengan
menggunakan format berupa laporan bulanan penemuan penderita malaria di
Pustu/Polindes, laporan error rate pemeriksaan laboratorium. Frekuensi pengumpulan
laporan dari Pustu/Polindes tergantung kesepakatan Puskesmas dan biasanya pada
akhir bulan disamakan dengan rapat rutin bulanan Puskesmas. Sedangkan rekapan
laporan bulanan dari Puskesmas dikirim ke Dinkes paling lambat setiap tanggal 5
(lima) dalam bulan.
Data yang masuk dari Puskesmas ke Kabupaten Sumba Timur tahun 2017 tidak
tepat waktu yaitu hanya 15 dari 22 Puskesmas (68,18%) dari target 80% dan laporan
yang lengkap hanya 18 dari 22 Puskesmas (77,27%) dari target 90%. Pengisian format
pelaporan tidak lengkap dan tidak tepat cara pengisiannya seperti pada jumlah pasien
positif menurut kelompok usia dan jenis kelamin termasuk bumil hasilnya tidak akan
sama dengan jumlah pasien positif berdasarkan jenis parasit.
b. Pengolahan dan Analisis Data
Pencatatan pada register malaria kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk
table, grafik, di tingkat Puskesmas. Data agregat yang dibuat dalam bentuk laporan
dikirim juga ke Dinkes dan akan dilakukan pengolahan dan analisa setiap bulannya
oleh Pengelola Program Kabupaten. Validasi data akan dilakukan setiap 3 (tiga) bulan
sekali bersama pengelola program Puskesmas. Analisis data secara deskriptif dengan
menggunakan indikator Annual Parasite Incidence (API), Slide Positivity Rate (SPR)
dan Annual Blood Examination Rate (ABER). Indikator tersebut digunakan untuk
sebagai evaluasi perkembangan program di Dinas Kesehatan. Indikator akan
dibandingkan dengan target yang mengacu pada program Nasional P2 Malaria
Kemenkes RI. Dari hasil analisis ditemukan bahwa angka API, SPR belum mencapai
target sedangkan ABER sudah mencapai target
c. Intepretasi Data
Intepretasi data merupakan pemberian deskripsi atau narasi pada suatu hasil
analisis data agar data tersebut menjadi bermakna dan menghasilkan informasi
epidemiologi. Dengan dasar informasi epidemiologi, pengelola dapat melakukan
berbagai upaya penanggulangan malaria. Petugas yang melakukan intepretasi data
adalah pengelola program malaria. Bentuk intepretasi data disajikan dalam profil
kesehatan Kabupaten Sumba Timur dan disimpan dalam file komputer.
Data yang diintepretasi adalah analisis perbandingan yaitu membandingkan
data capaian dengan target program, analisis cakupan program yaitu data program
malaria di seluruh Puskesmas dan analisis kecenderungan adalah analisis
kecenderungan penderita malaria berdasarkan umur dan ibu hamil. Intepretasi data
menggunakan indikator API sebesar 30,9 per 1000 penduduk dari target < 1 per 1000
penduduk. Angka SPR masih tinggi sebesar 17,95% dari target < 5 % dan ABER
sudah mencapai target sebesar 17,24% dari target > 10%.

3. Output
Pencapaian kinerja Program Malaria dapat dilihat pada capaian indikator baik API,
SPR dan ABER dan beberapa indikator lain. Hasil wawancara diketahui data yang telah
dikumpulkan, diolah, dianalisis dan diintepretasi, kemudian akan dilakukan penyebaran
informasi baik berupa laporan dari Kabupaten ke jenjang yang lebih tinggi maupun
umpan balik ke Puskesmas. Hasil cakupan indikator didesiminasi juga pada saat
pertemuan berkala baik di lintas program saat pertemuan evaluasi program, rapat rutin
Dinas Kesehatan maupun lintas sektor pada saat pertemuan minilokakarya namun belum
dibuat dalam bentuk buletin, publikasi ilmiah maupun penulisan dalam website.

B. Sistem Survailans

1. Kesederhanaan
Indikator yang digunakan untuk menilai kesederhanaan adalah kemudahan untuk
mengimplementasikan sistem survailans Malaria. Beberapa indikator yang terkait
diantaranya adalah alur pelaporan, menurut responden alur pelaporan survailans malaria
yang ada saat ini sudah sederhana (72,73%), karena pengisian register dan laporan
bulanan malaria cukup sederhana, namun sisanya (27,27%) menyatakan kesulitan dalam
pelaksanaan survailans malaria karena penentuan diagnosa malaria tidak hanya dengan
gejala klinis tapi harus melalui pemeriksaan laboratorium.
Tenaga pengelola program malaria di Puskesmas, merupakan lulusan D3 (81,82%)
dan lulusan S1(18,18%). Sebagian responden menyatakan pernah mengikuti pelatihan
survailans malaria (72,73%). Semua responden mempunyai tugas ganda selain menjadi
pengelola malaria (90,91%). Mayoritas pengelola program di Puskesmas adalah bidan
dan perawat. Tenaga analis yang ada hanya 5 (lima) tenaga analis dr 22 Puskesmas
(22,73%) yaitu Puskesmas Melolo, Nggongi, Kataka, Kambaniru dan Lewa, sedangkan
Puskesmas lainnya (77,37%) adalah tenaga perawat atau karyawan yang dilatih
pemeriksaan malaria. Hampir semua Puskesmas mempunyai buku pedoman malaria
(90,91%).
Hampir seluruh Puskesmas mempunyai sarana dan prasarana untuk menunjang
kegiatan survailans malaria di Puskesmas yaitu alat komunikasi (86,36%) walaupun
masih ada Puskesmas (13,64%) yang masih mengalami kesulitan komunikasi karena
ketiadaan signal. Ketersediaan formulir (100%), sarana komputer (100%), dan
transportasi untuk pengelola program malaria berupa kendaraan roda dua (100%) dengan
pembiayaan dari dana Global Fund dan APBD II, namun sebagian akses transportasi di
wilayah Puskesmas cukup sulit karena pegunungan dan akses jalan yang masih rusak.
Untuk pemeriksaan malaria, persediaan logistik laboratorium seperti giemsa, kaca slide,
alat dan bahan laboratorium cukup lengkap. Persediaan RDT untuk Pustu/Polindes tidak
cukup dan terkadang persediaan kosong sehingga penentuan diagnosa tidak dapat
dilakukan segera dan harus menunggu pemeriksaan laboratorium di Puskesmas.
Dapat disimpulkan bahwa hasil penilaian kesederhanaan dalam pelaksanaan
survailans malaria di puskesmas di Kabupaten Sumba Timur adalah tidak sederhana
karena dibutuhkan konfirmasi uji laboratorium untuk penegakkan diagnosa.
2. Fleksibilitas
Pelaksanaan survailans malaria dengan strategi akselerasi pada Kabupaten Sumba
Timur yang merupakan daerah dengan endemisitas tinggi yaitu melakukan penemuan
dini, pengobatan tepat dan komplikasi, perluasan layanan; kegiatan kampanye kelambu
berinsektisida secara massal, kegiatan penyemprotan/IRS (Indoor Residual Spraying) di
desa dengan API >20%. Cara penemuan penderita adalah dengan (1) survey yaitu Mass
Fever Survey (MFS), Mass Blood Survey (MBS), dan Survailans migrasi, (2) penemuan
secara aktif (Active Case Detection) dengan cara survai kontak dan Malariometrik Survey
(MS), (3) kegiatan penemuan melalui Pos Malaria Desa (Posmaldes) dan (4) penemuan
secara pasif (Passive Case Detection).
Dapat disimpulkan bahwa sistem survailans malaria pada penemuan penderita
sudah fleksibel dengan keterbatasan tenaga, waktu dan biaya, namun menjadi tidak
fleksibel jika kegiatan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan diagnosa pada gejala
klinis tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana alat yang memadai.
3. Kualitas data
Berdasarkan hasil observasi, hampir seluruh Puskesmas mengisi tidak dengan
lengkap sebesar 77,27% pada laporan program malaria seperti jumlah pasien positif
malaria per jenis kelamin dan golongan umur kadang tidak sama dengan jumlah
plasmodium malaria yang dilaporkan. Puskesmas jarang melakukan validasi data dengan
petugas Pustu/Polindes/Poskesdes pada saat rapat rutin bulanan Puskesmas karena
keterbatasan waktu. Dapat dikatakan bahwa kualitas data di Kabupaten Sumba Timur
adalah rendah.
4. Akseptabilitas
Penilaian yang digunakan untuk atribut akseptabilitas adalah keikutsertaan
petugas, organisasi dalam sistem tersebut. Beberapa indikator dapat termasuk
keikutsertaan pengelola program malaria dan partisipasi dari luar seperti pemerintah,
lintas program dan lintas sektor bersedia membantu pelaksanaan program. Hasil
wawancara diketahui pemerintah daerah belum optimal memberikan kontribusi dalam
penanggulangan malaria, ketepatan laporan Puskesmas di Kabupaten Sumba Timur
masih rendah 68,18%. Dapat disimpulkan bahwa tingkat akseptabilitas survailans
malaria di Kabupaten Sumba Timur masih rendah.
5. Sensitivitas
Hampir seluruh responden menyatakan bahwa sistem survailans malaria mampu
menganalisis kejadian malaria (90,91%), mampu menganalisis trend API, SPR dan
ABER setiap tahun (86,36%), namun karena data yang terkumpul tidak valid maka dapat
disimpulkan bahwa sensitivitas menjadi tidak sensitive.
6. Nilai Prediktif Positif
Nilai prediktif positif atau kemampuan alat skrining untuk menemukan yang benar-
benar sakit atau positif di antara orang yang diduga sakit atau positif, maka berdasarkan
hasil pemeriksaan laboratorium tingkat Kabupaten Sumba Timur, ditemukan dari
pengiriman slide dari bulan Januari - Juni 2018 dari 9 Puskesmas yang ada yaitu
Puskesmas Kanantang, Ngadu Ngala, Baing, Kawangu, Kataka, Kombapari, Malahar,
Nggoa dan Tanaraing diketahui sebanyak 482 slide positif yang diperiksa dari total 1226
slide baik positif maupun negatif terdapat nilai NPP sebanyak 100% dari seluruh
Puskesmas, berarti tidak ada kesalahan pembacaan dan orang yang ditemukan positif
malaria adalah benar-benar mengalami sakit malaria.
7. Kerepresentatifan
Responden menyatakan telah melakukan analisis kasus berdasarkan variabel
orang, tempat dan waktu (90,91%), dan penyajian dilakukan pada saat minilokarya
triwulan dan disajikan pula pada data dinding Puskesmas. Berdasarkan hasil observasi
diketahui hampir semua Puskesmas (90,91%) telah melakukan visualisasi data, namun
jika dilihat dari kevalidan data 72,73% maka dapat disimpulkan bahwa sistem survailans
malaria di Kabupaten Sumba Timur tidak representatif.
8. Ketepatan waktu
Responden menyatakan bahwa sebanyak 68,18% Puskesmas belum tepat waktu
mengirimkan laporan ke Dinas Kesehatan walaupun telah dilakukan absensi laporan
setiap bulan pada Rapat Rutin Dinas Kesehatan, sehingga dapat disimpulkan bahwa
atribut survailans ketepatan waktu di tingkat Puskesmas belum tepat waktu.
9. Stabilitas
Responden menyatakan telah menggunakan komputer dan arsip laporan untuk
melakukan pengolahan dan penyimpanan (86,36%), sedangkan sisanya (13,64%) hanya
menggunakan formulir atau komputer saja. Untuk sifat peralatan, responden menyatakan
mudah untuk memperoleh dan mengoperasikan computer sebanyak 95,45% dan hanya
sekitar 4,55% menyatakan tidak mudah untuk memperoleh dan mengoperasikan
computer dengan baik sehingga dapat disimpulkan bahwa stabilitas data yang ada di
tingkat Puskesmas tinggi.

PEMBAHASAN
Evaluasi sistem survailans Program Malaria di Kabupaten Sumba Timur berdasarkan
Guideliness for Evaluating Surveillance Systems dari Center for Disease Control and
Prevention, bertujuan mendeskripsikan pelaksanaan survailans malaria, yang berkaitan dengan
angka kesakitan, kematian, diagnosis dan pengobatan. Salah satu tujuan utama dari sistem
surveilans ini adalah untuk mendeteksi wabah malaria melalui analisis dan pelaporan data
secara berkala.
Angka penemuan malaria yang ditunjukkan dengan indikator API selama 3 tahun
(2015-2017) menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan sampai tahun 2017 menjadi
30,9 dari target <1 per 1000 penduduk dan menempatkan Kabupaten Sumba Timur sebagai
daerah endemis malaria pada tahap pemberantasan dengan tujuan mengurangi tingkat
penularan malaria di satu wilayah dengan pokok kegiatan (1) penemuan dan tata laksana
pendeita dengan meningkatkan cakupan penemuan dengan konfirmasi lab mengobati penderita
dan memantau efikasi obat (2) pencegahan dan penanggulangan faktor resiko dengan survei
vektor, distribusi kelambu, penyemprotan rumah (3) survailans epidemiologi dan
penanggulangan wabah dengan meningkatkan cakupan dan kualitas pelaporan, melakukan
pemetaan daerah endemis (4) peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi dengan
meningkatkan peran aktif masyarakat, meningkatkan promosi kesehatan, kerja sama lintas
program dan sektor (5) meningkatkan sumber daya manusia dengan menyelenggarakan
pelatihan tenaga mikroskopis, sosialisasi tata laksana penderita dan pelatihan tenaga pengelola
malaria dalam bidang teknis dan manajemen (Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia,
2010).
Penegakan diagnosa malaria menggunakan pemeriksaan mikroskopis dan RDT, tetapi
masih menjadi masalah di Kabupaten Sumba Timur karena hanya 27,27% Puskesmas yang
mempunyai tenaga analis, sedangkan Puskesmas lain menggunakan tenaga yang dilatih
sehingga mempengaruhi hasil cakupan. Ketersediaan logistik seperti reagen, giemsa, kaca slide
dan mikroskop masih cukup tetapi masih kurang tersedianya RDT yang menyebabkan
pemeriksaan kasus malaria di Pustu/Polindes/Poskesdes tidak bisa dilakukan sehingga pada
hasil cakupan masih terdapat penegakkan diagnose secara klinis, pada tahun 2015 sebanyak
266 orang, tahun 2016 sebesar 54 orang dan 2017 sebesar 2 orang. Penentuan diagnosis malaria
perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikroskopik untuk meningkatkan validitas diagnosis
sehingga penatalaksanaannya dapat dilakukan dengan tepat. Hal ini dimaksudkan untuk
pemberian obat yang rasional sehingga dapat mengurangi kejadian resistensi obat anti malaria
dan mencegah penularan (Arsin, Paerunan and Syatriani, 2016).
Salah satu indikator pemeriksaan malaria yang tinggi yaitu SPR dimana tahun 2017
sebesar 17,95% dari target < 5%, Indikator SPR merupakan jumlah slide malaria positif
dibandingkan jumlah seluruh sediaan darah yang dikonfirmasi dari penemuan penderita di
suatu wilayah. SPR menunjukkan besarnya tingkat infeksi pada kelompok populasi, biasanya
terjadi pada daerah dengan angka API yang tinggi dan merupakan daerah endemis (Kemenkes
RI, 2007). Perhitungan SPR sebaiknya dilakukan setiap bulan, bukan hanya pada akhir tahun
karena dapat membantu mengidentifikasi transmisi local penyakit malaria dibandingkan
dengan jumlah kasus malaria mentah. Perhitungan ini dapat membandingkan cakupan per
Puskesmas dengan target nasional, menilai kemajuan program dari waktu ke waktu dan dapat
disebarluaskan pada lintas sektor yang peduli dengan pemberantasan penyakit malaria (Nicola,
Sonam and Dukpa, 2016).
Pola maksimal dan minimal suatu penyakit menggambarkan pola penyakit selama
beberapa periode waktu. Jika melihat grafik pola maksimum minimum di Kabupaten Sumba
Timur tahun 2012-2016 diketahui bahwa puncak kasus malaria terjadi pada bulan Desember
dan Maret atau pada musim penghujan, sehingga dapat diperkirakan puncak kepadatan nyamuk
terjadi sekitar bulan November dan Pebruari dan menurun pada bulan Juli dan Agustus pada
saat musim kemarau. Hal ini diakibatkan karena curah hujan yang cukup tinggi dan menjadi
tempat perindukan nyamuk pada genangan air dan kolam yang stagnan. Ini merupakan
predisposisi terjadinya ancaman serangan nyamuk dan endemisitas malaria. Dengan gambaran
pola maksimum dan minimum ini dapat diketahui waktu yang efektif untuk kegiatan
pengendalian vektor malaria dapat dilakukan pada bulan Oktober dan Januari (Joseph A.,
Patrick N., Lawrence N., Lilian O., 2014).
Evaluasi sistem survailans dilihat dari atribut survailans berdasarkan Center for Disease
Control adalah sebagai berikut :
1. Kesederhanaan
Kesederhanaan berarti struktur sederhana dan mudah dioperasikan, tetapi tetap
dapat mencapai tujuan. Hal ini berkaitan erat dengan ketepatan waktu dan dapat
mempengaruhi besarnya biaya operasional yang dibutuhkan untuk melaksanakan sistem
tersebut (CDC, 2001). Untuk alur alur pelaporan dinilai oleh responden sederhana
Petugas menyatakan bahwa alur pelaporan sederhana karena alur pelaporan malaria
diawali dari laporan dari Pustu, polindes ke tingkat Puskesmas dan Kabupaten. Sebuah
sistem dapat dikatakan sederhana dimana definisi kasus mudah diterapkan dan seseorang
yang mengidentifikasi kasus adalah orang yang menganalisis dan menggunakan
informasi tersebut (Romaguera, German and Klaucke, 2000).
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan (Kemenkes RI,
2003a), menyatakan bahwa sumber daya survailans epidemiologi terdiri dari tenaga ahli
dan terampil epidemiologi, jabatan fungsional (epidemiologi, entomologi, sanitarian)
termasuk sumber daya manusia laboratorium. Berdasarkan hasil observasi, pelaksana
surveilans malaria di puskesmas, seluruhnya terdapat 1 orang tenaga pengelola malaria
tetapi kurangnya tenaga analis menjadikan atribut survailans menjadi tidak sederhana
karena
Ketersediaan sarana yang ada di Puskesmas di Kabupaten Sumba Timur
berdasarkan hasil observasi diketahui alat komunikasi ada (86,36 % ), namun menjadi
tidak sederhana karena sekitar 13,64% Puskesmas yang tidak mempunyai jaringan
seluler. Semua Puskesmas mempunyai alat transportasi (100%) namun sebagian akses
transportasi di wilayah Puskesmas cukup sulit karena pegunungan dan akses jalan yang
masih rusak. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan, indikator sarana yang diperlukan untuk terlaksananya
penyelenggaraan surveilans epidemiologi kesehatan di puskesmas yaitu 1 paket
komputer, 1 paket alat komunikasi (telepon, faksimili, SSB), 1 paket kepustakaan, 1
paket pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi komputer, 1
paket formulir, 1 paket peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi dan 1 roda dua.
Menurut (Romaguera, German and Klaucke, 2000), sebuah sistem dikatakan
kompleks bila membutuhkan uji laboratorium untuk konfirmasi kasusnya, kontak telepon
atau kunjungan rumah oleh petugas untuk mengumpulkan data tambahan. Pada
pelaksanaan surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur, penegakkan
diagnosa dilakukan dengan pemeriksaan malaria di Puskesmas dengan laboratorium,
tetapi persediaan RDT di Pustu/Polindes tidak cukup dan terkadang kosong sehingga
penentuan diagnosa tidak dapat dilakukan dan dapat disimpulkan bahwa atribut
survailans tidak sederhana. Rancangan sistem survailans sederhana jika memiliki
defenisi kasus yang mudah diterapkan dan tidak membutuhkan sistem yang kompleks.
2. Fleksibilitas
Fleksibilitas berarti suatu sistem yang mampu menyesuaikan diri terhadap
perubahan informasi atau keadaan lapangan dengan keterbatasan waktu, personil dan
anggaran. Selain itu mudah terintegrasi dengan sistem lain (CDC, 2001). Pelaksanaan
survailans malaria di Kabupaten Sumba Timur yang merupakan daerah dengan
endemisitas tinggi yaitu melakukan penemuan dini, pengobatan tepat dan komplikasi,
perluasan layanan dengan kegiatan kampanye kelambu berinsektisida secara massal,
kegiatan penyemprotan/IRS (Indoor Residual Spraying) di desa dengan API >20%. Cara
penemuan penderita dengan survey, penemuan secara aktif, penemuan melalui Pos
Malaria Desa (Posmaldes) dan penemuan secara pasif namun menjadi tidak fleksibel
karena penemuan penderita harus melalui pemeriksaan laboratorium yang tidak
didukung dengan sarana dan prasarana yang cukup. Pada umumnya, makin sederhana
suatu sistem, maka makin fleksibel untuk diterapkan pada penyakit/masalah kesehatan
dan lebih sedikit komponen yang diubah.
3. Kualitas Data
Kualitas data menggambarkan kelengkapan dan validitas data yang terekam pada
sistem surveilans. Hal tersebut diukur dengan mengetahui persentase data yang unknown
(tidak jelas) dan data yang blank (tidak lengkap) yang ada pada form surveilans (CDC,
2001). Hampir seluruh Puskesmas mengisi dengan lengkap dan jelas pada laporan
bulanan penemuan program malaria namun datanya tidak valid(77,27%) misalnya
jumlah pasien positif malaria per jenis kelamin dan golongan umur kadang tidak sama
dengan jumlah plasmodium malaria yang dilaporkan. Diketahui pula bahwa Puskesmas
jarang melakukan validasi data dengan petugas Pustu/Polindes/Poskesdes pada saat rapat
rutin bulanan Puskesmas karena keterbatasan waktu dan dapat disimpulkan kualitas data
survailans malaria Puskesmas di Kabupaten Sumba Timur adalah rendah. Untuk
mendapatkan kualitas data yang baik, perlu adanya pertemuan monev malaria berkala
setiap triwulan di tingkat Puskesmas, pelatihan sistem survailans malaria yang
membahas khusus tentang pencatatan dan pelaporan Puskesmas, adanya umpan balik
laporan dari tingkat Kabupaten ke Puskesmas secara berkala sehingga dapat
memperbaiki kesalahan. Dengan kualitas data yang tinggi, dilengkapi informasi tepat
waktu, dapat mendeteksi penyakit secara dini dan mempercepat respons pelayanan
kesehatan (B.E, Maharani., 2014).
4. Akseptabilitas
Akseptabilitas atau tingkat penerimaan sistem dapat dilihat dari keinginan individu
maupun organisasi untuk ikut serta dalam sistem yang dapat dilihat dari jumlah
partisipan, kelengkapan wawancara atau angka penolakan jawaban, kelengkapan
laporan, angka pelaporan dari fasilitas kesehatan, dan ketepatan waktu pelaporan (CDC,
2001). Hasil wawancara diketahui bahwa pemerintah daerah belum optimal memberikan
kontribusi dalam penanggulangan malaria dimana belum adanya Perda tentang Program
Pemberantasan Penyakit Malaria baik di tingkat Kabupaten, Kecamatan atau Desa,
belum ada alokasi dana yang cukup, kurang kerja sama lintas sektor dalam upaya
penggerakan sasaran, sehingga dapat disimpulkan bahwa akseptabilitas di Kabupaten
Sumba Timur masih rendah. Untuk mengatasinya, perlu adanya integrasi dengan
program lain dalam pelayanan masyarakat seperti pembagian kelambu dan pengobatan
penderita. Perlu koordinasi dengan pemerintah daerah, swasta, LSM, organisasi profesi,
lembaga internasional dan donor lainnya terutama dalam penyediaan dana operasional
pemberantasan, meningkatkan peran aktif masyarakat melalui pembentukan Pos Malaria
Desa (Posmaldes) di daerah terpencil dan meningkatkan promosi kesehatan tentang
upaya pencegahan penyakit malaria
Salah satu penilaian akseptabilitas juga adalah kelengkapan laporan masih rendah
sebanyak 77,27% lebih kecil dari target > 90% sesuai dengan Permenkes No.
1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Survailans
Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu (Kemenkes RI,
2003b), maka upaya yang dilakukan adalah melakukan pelatihan tentang survailans
malaria termasuk sistem pencatatan dan pelaporan program, perlu adanya reward bagi
Puskesmas dengan sistem survailans malaria yang baik, karena atribut akseptabilitas
sangat subjektif mencakup kemauan pribadi dari orang-orang yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan sistem untuk menyediakan data akurat, lengkap dan tepat waktu.
5. Sensitivitas
Sensitivitas dimaksudkan dengan kemampuan sistem untuk dapat menjaring data
informasi yang akurat, melalui dua level yaitu level pelaporan (mengacu pada proporsi
kasus yang dapat dideteksi oleh sistem surveilans) dan level kemampuan dalam
mendeteksi KLB (CDC, 2001). Hasil wawancara diketahui, sistem survailans malaria
mampu menganalisis kejadian malaria (90,91%), mampu menganalisis trend API, SPR
dan ABER setiap tahun (86,36%), namun karena data yang terkumpul tidak lengkap
(77,27%) maka disimpulkan bahwa survailans program tidak sensitive, karena
kelengkapan data berpengaruh terhadap proporsi kasus yang akan dianalisa. Secara
praktis dikatakan sensitivitas diasumsi dengan kasus yang dilaporkan sebagian besar
diklasifikasikan dengan benar untuk mengestimasi proporsi dari jumlah kasus.
6. Nilai Prediktif Positif
Nilai Prediktif Positif (NPP) adalah proporsi orang-orang yang teridentifikasi
sebagai kasus yang sesungguhnya, berhubungan dengan kejelasan dan ketepatan definisi
kasus serta tingkat sensitivitas dan spesifisitas dari definisi kasus tersebut (CDC, 2001).
Nilai prediktif positif dari 9 Puskesmas yang mengirimkan slide yaitu Puskesmas
Kanatang, Ngadungala, Baing, Kawangu, Kataka, Kombapari, Malahar, Nggoa,
Tanaraing sebanyak 482 slide positif dan sudah dilakukan pemeriksaan oleh Analis Dinas
Kesehatan Kabupaten Sumba Timur, tidak ditemukan kesalahan pemeriksaan yang
menunjukkan NPP mencapai 100% yang berarti semua kasus yang dilacak benar
merupakan kasus malaria. Hal ini disebabkan karena para pengelola lab Puskesmas baru
saja mengikuti pelatihan laboratorium malaria pada bulan November 2017 yang bekerja
sama dengan Sumba Foundation, salah satu LSM yang bekerja sama untuk mengurangi
angka kejadian malaria di Sumba. Diharapkan Puskesmas mampu mempertahankan dan
meningkatkan capain ini.
7. Kerepresentatifan
Kerepresentatifan berarti dapat menguraikan dengan tepat berbagai kejadian atau
peristiwa kesehatan sepanjang waktu termasuk penyebarannya dalam populasi menurut
waktu dan tempat (CDC, 2001). Responden menyatakan telah melakukan analisis kasus
berdasarkan variabel orang, tempat dan waktu, penyajian dilakukan pada saat
minilokarya dan disajikan pada data dinding Puskesmas. Jika dilihat dari kelengkapan
data (77,27%) maka dapat disimpulkan bahwa representatif pada sistem survailans
malaria di Dinkes Kabupaten Sumba Timur menjadi tidak representatif karena pada
rendahnya validitas dan kelengkapan data.
8. Ketepatan Waktu
Ketepatan waktu berarti tingkat kecepatan atau keterlambatan di antara langkah
yang harus ditempuh dalam suatu sistem surveilans untuk mengetahui kecenderungan
(trend), outbreak, atau menilai pengaruh dari upaya penanggulangan (CDC, 2001).
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa ketepatan pelaporan
ke Dinas Kesehatan hanya 68,18% dari target 80% sesuai dengan Permenkes No.
1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Survailans
Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu (Kemenkes RI,
2003b), maka dapat disimpulkan bahwa atribut survailans tidak tepat waktu. Untuk
meningkatkan atribut ketepatan waktu, maka perlu memperkuat sistem informasi dengan
pelaporan data berbasis elektronik yaitu menggunakan aplikasi E-Sismal, yang belum
diterapkan di Kabupaten Sumba Timur bahkan di seluruh Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Setiap Puskesmas sudah mempunyai komputer yang namun perlu adanya penambahan
dana untuk kegiatan pelatihan aplikasi dan memperluas akses internet aplikasi. Beberapa
negara telah membangun sistem pelaporan berbasis elektronik dan mencapai
keberhasilan seperti Srilangka, karena dengan pelaporan berbasis elektronik,
mempersingkat waktu, mengurangi tingkat kesalahan perhitungan, mencegah
pengulangan suatu variabel dan memperkecil ruang penyimpanan karena tidak
menggunakan format dalam bentuk lembaran kertas (Nicola, Sonam and Dukpa, 2016).
9. Stabilitas
Stabilitas berkenaan dengan reliabilitas dan ketersediaan sistem surveilans.
Reliabilitas yaitu kemampuan untuk mengumpulkan, mengatur, dan menyediakan data
secara tepat tanpa kesalahan. Sedangkan ketersediaan yakni kemampuan untuk
dioperasikan ketika dibutuhkan (CDC, 2001). Responden menyatakan telah
menggunakan komputer dan arsip laporan untuk melakukan pengolahan dan
penyimpanan (86,36%), untuk sifat peralatan, mudah untuk memperoleh dan
mengoperasikan computer sebanyak 95,45% sehingga dapat disimpulkan bahwa
stabilitas data yang ada di tingkat Puskesmas tinggi. Puskesmas diharapkan mampu
mempertahankan dan meningkatkan capain ini, namun jika ada pergantian pengelola
perlu dilakukan pelatihan ulang tentang sistem survailans malaria.

Kesimpulan
Malaria adalah penyakit infeksi disebabkan oleh nyamuk malaria (Anopheles), dapat
menyebabkan kematian terutama pada kelompok resiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu
hamil. Jumlah kasus malaria di Kabupaten Sumba Timur(Dinkes Kab. Sumba Timur, 2017a)
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dimana API tahun 2015 sebanyak 9,39
meningkat menjadi 30,9 per 1000 penduduk di tahun 2017, angka SPR dari 16,23% tahun 2015
menjadi 17,95% di tahun 2017. Kinerja survailans mempengaruhi tingginya kasus malaria
karena mempunyai andil dalam menanggulangi dan mencegah penyakit, maka perlu dilakukan
evaluasi berdasarkan pendekatan sistem (input, proses dan output) dan berdasarkan atribut
survailans. Hasil evaluasi atribut survailans dimana atribut kesederhanaan menjadi tidak
sederhana. Atribut fleksibiltas adalah tidak fleksibel. Atribut kualitas data, akseptibiltas,
senistivitas, representatif, ketepatan waktu adalah rendah Dan atribut stabilitas tinggi.
Permasalahan dalam pelaksanaan survailans di Puskesmas yaitu kurangnya kerja sama
lintas sektor, ketersediaan tenaga dan sarana dan prasarana laboratorium yang kurang,
rendahnya kualitas data, akseptabilitas, sensitivitas, dan kerepresentatifan dan alternatif solusi
yang dapat dilakukan adalah peningkatan kerja sama lintas sektor, penambahan dana
operasional, peningkatan kapasitas pengelola survailans malaria dan analis kesehatan dengan
memberikan pelatihan tentang proses pencatatan dan pelaporan, pengolahan dan intepretasi
data, sehingga memperkuat sistem survailans dari tingkat Puskesmas sampai ke Dinas
Kesehatan.

Saran
Perlu adanya kebijakan dari Pemerintah Provinsi dan Pusat untuk mengoptimalkan sistem
pencatatan dan pelaporan dengan menggunakan aplikasi software e-SISMAL yang sudah
diterapkan pada beberapa provinsi di Indonesia dapat diterapkan juga di Provinsi Nusa
Tenggara Timur pada umumnya dan Kabupaten Sumba Timur pada khususnya, sehingga
mempercepat proses pencatatan dan pelaporan serta validasi data yang tepat agar pelaksanaan
survailans malaria dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Perlu dibentuknya Tim
penanggulangan malaria baik di tingkat Kabupaten maupun Puskesmas, dan perlu adanya
regulasi hukum dari Pemerintah Daerah sebagai wujud nyata dalam upaya penanggulangan
malaria sehingga malaria tidak hanya menjadi masalah orang kesehatan. Perlu adanya kerja
sama juga dengan pihak swasta baik RS, dokter praktek swasta, klinik swasta, apotik, dalam
upaya penemuan, pengobatan penderita dan upaya pencegahan malaria. Perlu adanya
penambahan tenaga analisis, pengadaan sarana prasarana, pelatihan malaria dan penambahan
biaya operasional pelaksanaan survailans malaria di Puskesmas dan Kabupaten Sumba Timur,

DAFTAR PUSTAKA

Arsin, A. A., Paerunan, H. and Syatriani, S. (2016) ‘Konfirmasi Pemeriksaan Mikroskopik


terhadap Diagnosis Klinis Malaria’, Kesmas: National Public Health Journal, 6(6), p.
277. doi: 10.21109/kesmas.v6i6.82.
B.E, Maharani., A. H. (2014) ‘Penilaian atribut surveilans campak berdasarkan persepsi
petugas surveilans puskesmas di Surabaya’, Berkala Epidemiologi, 2(2), pp. 171–183.
Binti Mahfudhoh (2015) ‘Komponen sistem surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) di
Dinas Kesehatan Kota Kediri’, 3(2015), pp. 95–108.
Centers for Diseases Control (2001) ‘Updated Guidelines for Evaluating Public Health
Surveillance Systems Recommendationstions’, Morbidity and mortality weekly report,
50(RR-13).
Depkes RI (2007) ‘Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan
Penanggulangan KLB Malaria.pdf’. Indonesia: Kemenkes RI. Available at:
http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk422007.pdf.
Dinkes Kab. Sumba Timur (2017a) Laporan P2M Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur.
Waingapu.
Dinkes Kab. Sumba Timur (2017b) Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur Tahun
2017. Waingapu.
Dinkes Propinsi NTT (2017) Profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun
2017. Kupang.
Ditjen P2M-PL, D. R. (2003) Panduan Praktis Survailans Epidemiologi Penyakit. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (2010) ‘Pedoman Eliminasi Malaria di
Indonesia’, -. Available at: www.ismki.org.
Joseph A., Patrick N., Lawrence N., Lilian O., O. A. (2014) ‘Evaluation of Malaria
Surveillance System in Ebonyi state, Nigeria, 2014’, Annals of Medical and Health
Sciences Research, 7(1), pp. 101–104. Available at:
https://www.amhsr.org/articles/evaluation-of-malaria-surveillance-system-in-ebonyi-
state-nigeria-2014.pdf.
Kemenkes RI (2003a) ‘Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan’.
Indonesia. doi: 10.16309/j.cnki.issn.1007-1776.2003.03.004.
Kemenkes RI (2003b) ‘Permenkes No.1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sistem Survailans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak
Menular Terpadu’. Indonesia.
Kemenkes RI (2007) ‘Pedoman Surveilans Malaria’, Kemenkes RI, pp. 1–66. Available at:
http://www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk2752007.pdf.
Kemenkes RI (2011) ‘Epidemiologi Malaria di Indonesia’, Buletin Data dan Informasi
Kesehatan. doi: 10.1128/AAC.02513-17.
Kemenkes RI (2017a) Lembra Fakta Hari Malaria Sedunia, 25 April 2017. Indonesia.
Kemenkes RI (2017b) ‘Panduan Pemeliharaan Eliminasi Malaria’, pp. 1–28.
Kemenkes RI (2017c) ‘Petunjuk teknis penilaian eliminasi.pdf’. Indonesia: Kemenkes RI.
Kemenkes RI (2017d) Petunjuk Teknis Penyelidikan Epidemiologi Malaria dan Pemetaan
Wilayah Fokus. Indonesia: Kemenkes RI.
Kemenkes RI (2017e) ‘Situasi Terkini Perkembangan Program Pengendalian Malaria di
Indonesia Tahun 201’, Fatsheet 2017.
Nicola, W., Sonam, G. and Dukpa, S. (2016) ‘An Evaluation of the National Malaria
Surveillance System of Bhutan, 2006–2012 as It Approaches the Goal of Malaria
Elimination’, Frontiers in Public Health, 4(August), pp. 1–10. doi:
10.3389/fpubh.2016.00167.
Purba, I. E., Hadi, U. K. and Hakim, L. (2016) ‘Analisis Pengendalian Malaria Di Provinsi
Nusa Tenggara Timur Dan Rencana Strategis Untuk Mencapai Eliminasi Malaria the
Analysis of Malaria Control in East Nusa Tenggara Province and the Strategic Plan To
Achieve’, Spirakel, 8(2), pp. 18–26.
Romaguera, R., German, R. R. and Klaucke, D. N. (2000) Evaluating Public Health
Surveillance. New York: Oxford University Press.
Supriyadi, D. (2017) ‘Sistem Informasi Survailans Malaria (SISMAL v.2)’.
Weraman Pius (2010) Dasar Survailans Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Gramata Publishing.

Anda mungkin juga menyukai