Anda di halaman 1dari 27

TUGAS REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


 
Pertussis

Oleh :

Unggul Guligah

1820221068

Pembimbing:

dr. Supriyanto, Sp.A

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2019
Pendahuluan
Sebelum vaksin tersebar luas pada tahun 1950, pertussis adalah
satu satunya penyakit yang paling sering terjadi pada anak-anak
di dunia. Pada era sebelum adanya vaksin di Amerika, 80% kasus
penyakit pertusis diderita oleh anak-anak usia < 5 tahun, dan
kurang dari 5% kasus adalah kelompok usia >15 tahun.

Di negara-negara berkembang dari seluruh dunia,


sekitar 6% anak-anak yang belum di imunisasi, jika
terinfeksi penyakit pertussis, risiko untuk terjadi
komplikasi seperti bronkopneumonia lebih tinggi pada
bayi muda.
Pendahuluan

Pertusis merupakan salah satu penyakit


yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80% sampai
100% pada penduduk yang rentan.
Definisi
•Pertusis adalah suatu penyakit menular yang menyerang saluran napas yang disebabkan oleh
Bordetella pertussis, yaitu bakteri yang hidup di mulut, hidung, dan tenggorokan.
•Istilah ‘pertusis’ pertama kali digunakan oleh Thomas Syndenham pada tahun 1670 , yang
berarti “intense cough”.
•Istilah ini digunakan karena pertusis ditandai oleh gejala yaitu batuk yang bersifat spasmodik
dan paroksismal disertai nada yang meninggi, karena pasien berupaya keras untuk menarik
napas sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas.
Epidemiology
•Kejadian pertusis tersebar di seluruh dunia dan menyebabkan 300.000 mortalitas atau kematian
pada anak tiap tahunnya, terutama terjadi pada negara berkembang.
•Angka kejadian pertusis terbanyak terdapat pada usia 1-5 tahun, dan berdasarkan jenis
kelaminnya laki-laki lebih banyak dibanding perempuan.
•Semakin muda usia bayi yang terinfeksi penyakit pertusis, maka semakin berbahaya tingkat
perburukan penyakitnya.
Etiologi
•Etiologi penyakit pertussis adalah Bordetella pertussis atau Haemophilus
pertussis
•Bordetella pertussis adalah suatu bakteri kecil, tidak bergerak, Gram negatif, dan
didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertussis
dan kemudian ditanam pada agar media Bordet-Gengou.
Bordetella pertussis Pewarnaan gram
•Organisme Bordetella pertussis memiliki 4
jenis virus tipe virulen fase I, fase II, III, dan IV.
•Tipe virulen fase I berperan untuk penularan
penyakit dan juga dapat dimanfaatkan untuk
menghasilkan vaksin.
•Bordetella pertussis mati dengan pemanasan
pada suhu 50ºC selama setengah jam, tetapi
dapat bertahan pada suhu rendah (0º – 10ºC).
•Pada pewarnaan toluidin biru dapat terlihat granula
bipoler metakromatik dan memiliki kapsul.
Sumber: Jules Bordet Institute, 2005
•Untuk melakukan biakan B. pertussis, diperlukan suatu
media pembenihan yang disebut Bordet-Gengou
(potato-blood-glycerol agar) + Penisilin G.
Bordetella pertussis
Bahan-bahan akif tersebut B. pertussis
adalah :
1. sitotoksin trakea,
2. adenilat siklase, dan
3. TP (toksin pertusis).
Faktor risiko dan penyebaran
Faktor Risiko :
- Bayi Prematur
- Pasien Imunokompromais
-Pasien yang menderita penyakit jantung, paru-paru, otot atau neuromuscular

Cara Penularan Pertusis:


- Kontak dengan penderita pertusis
- Secara droplet
- Memegang benda yang terkontaminasi dengan sekret nasofaring
Patofisiologi
Pasien terinfeksi kuman Bordetella pertussis secara inhalasi droplet
Terikat di silia epitel saluran pernapasan seperti bronkus, bronkiolus, trakea, laring dan nasofaring
Kuman multiplikasi disertai pengeluaran toksin ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan
Terjadi reaksi inflamasi
Mukosa mengalami kongesti dan Hiperplasia dari jaringan limfoid peribronkial
infiltrasi limfosit dan sel PMN diikuti proses nekrosis yang terjadi pada lapisan
leukosit basal dan pertengahan epitel bronkus
Emfisema
Eksudasi mukopurulen
Atelektasis
Patofisiologi
PERTUSIS TOXIN:
- Toxin mediated adenosine diphosphate : mengatur sintesis protein di dalam membran
sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target termasuk limfosit
(menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, dan memiliki
efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah
- Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin : menyebabkan kontraksi otot polos
pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea
- Sitotoksin : bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan
kematian sel
NB: Proses perlekatan B.pertussis pada silia diperantarai oleh Filamentous
hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF) atau pertusis toxin (PT) dan protein
69 Kd
Gejala Klinis
- Masa Inkubasi Pertusis 6-20 hari (rata-rata 7 hari), penyakit ini berlangsung 6-8 minggu/lebih
- Perjalanan pertussis 3 stadium:
1. Stadium Kataralis (prodromal, preparoksismal)  berlangsung 1-2 minggu, gejala ISPA
seperti pilek berlendir cair dan jernih, injeksi konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, demam
tidak begitu tinggi, batuk ringan pada malam hari dan semakin lama bertambah berat, serak,
anoreksia
2. Stadium Akut Paroksismal (paroksismal, spasmodik)  berlangsung 2-4 minggu, batuk
semakin memberat terjadi paroksismal berupa batu—batuk khas, berkeringat, pembuluh
darah leher dan wajah melebar, serangan batuk panjang dan tidak ada inspirasi diantaranya
dan diakhiri dengan whoop (tarikan nafas panjang dan dalam, berbunyi melengking), muka
merah dan sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivas.
3. Stadium Konvalesens  berlangsung kira-kira 2 minggu sampai pasien sembuh, batuk
berkurang, nafsu makan kembali membaik
Gejala Klinis
Gejala Klinis
Diagnosis
Anamnesis  tanyakan apakah ada riwayat kontak dengan pasien pertussis, serangan khas yaitu
paroksismal dan bunyi whoop yang jelas, sudah imunisasi atau belum, Diagnosis dapat diduga
bila dengan obat batuk, batuk yang mula-mula timbul pada malam hari tidak mereda, namun
meningkat menjadi siang dan malam serta bisa diketahui apabila terdapat kontak dengan
penderita pertusis
Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis yang didapat dari pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.
Pemeriksaan Penunjang
◦ Darah Lengkap  Leukositosis dengan limfositosis absolut pada akhir stadium kataralis dan selama
stadium spasmodic
◦ Isolasi bakteri
◦ Tes serologi terhadap antibodi toksin petusis (ELISA)
◦ Foto Thoraks  Infiltrat perihilar, atelectasis atau emfisema
Diagnosis Banding
Batuk Spasmodik pada Bayi: DD Penyakit Pertusis:
- Bronkiolitis A. Asma Bronchiale
- Pneumonia bacterial B. Obstruksi benda asing di trakea
- Sistik Fibrosis C. Infeksi B.parapertussis,
B.bronkiseptika, dan adenovirus dapat
- Tuberculosis menyerupai sindrom klinis B.pertussis
- Penyakit lain yang menyebabkan D. Infeksi Chlamydia trachomatis pada
limfadenopati dengan penekanan bayi menyebabkan pneumonia
diluar trakea dan bronkus
Komplikasi
Sistem Pernapasan dan Pendengaran
Otitis Media (sering pada bayi), Bronkitis, Bronkopneumonia,
Atelektasis, Bronkiektasis, Tuberkulosis yang memberat
Sistem Pencernaan
Muntah-Muntah, Prolapsus rectum, Hernia, Ulkus pada lidah atau
frenulum linguae, Stomatitis
Sistem Saraf
Kejang, Kongesti dan edema otak, perdarahan otak
Epistaksis, Hemoptisis, Perdarahan Subkonjungtiva
Tatalaksana
Tujuan Terapi: Pengobatan Supportif:
- Membatasi jumlah paroksismal - Hindari faktor-faktor yang menimbulkan
serangan batuk
- Mengamati keparahan batuk
- Mengatur hidrasi dan nutrisi
Tujuan Rawat Inap spesifik:
- Pemberian oksigen pada distress pernapasan
- Untuk menilai perkembangan penyakit dan akut atau kronik
kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa
pada puncak penyakit - Pengisapan lendir terutama pada bayi dengan
pneumonia dan distress pernapasan
- Untuk mencegah atau mengobati komplikasi
- monitor frekuensi jantung, frekuensi
- Untuk memberi edukasi kepada orang tua pernapasan, oksimetri pulse
penderita untuk perawatan yang akan diberikan
di rumah.
Tatalaksana
Antibiotik:
- Eritromisin, 40-50 mg/kgbb/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24
jam) selama 14 hari
- Eritromisin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis
- Eritromicin etilsuksinat diberikan dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis,
dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi tiga dosis
Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampisin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif

Kortikosteroid dan Salbutamol (jika perlu)


Imunoglobulin
Ekspektoransia dan mukolitik
Prognosis
Prognosis penyakit tergantung pada ada tidaknya komplikasi atau
penyulit, terutama komplikasi paru dan susunan saraf yang sangat
berbahaya terutama pada bayi dan anak kecil.
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis
lebih baik.
Sekitar 0,5-1% kematian pada bayi disebabkan ensefalopati.
Pada observasi jangka panjang, apabila terjadi apnea atau kejang
akan menyebabkan gangguan intelektual di kemudian hari.
Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi.
Melalui PPI (Program Pengembangan Imunisasi), Indonesia telah melaksanakan
imunisasi pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus).
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.
IMUNISASI PASIF: diberikan human hyperimmune globulin. Pada anak dibawah
umur 2 tahun yang belum pernah divaksinasi dapat diberikan immunoglobulin
pertusis sebanyak 1,5 mL secara intramuscular dan diulang setelah 3 – 5 hari
IMUNISASI AKTIF: Diberikan vaksin pertusis dari kuman B. pertussis yang telah
dimatikan untuk mendapatkan kekebalan aktif. Imunisasi pertusis diberikan
bersama-sama dengan vaksin difteria dan tetanus. Dosis imunisasi 0,5ml.
Kesimpulan
Pertusis merupakan penyakit paling menular dengan tingkat penularannya yang tinggi di daerah
padat penduduk dan paling sering terjadi di negara-negara berkembang, karena penularan
penyakit terjadi melalui kontak langsung melalui udara apabila penderita batuk dan memegang
benda yang terkontaminasi sekret nasofaring dari penderita.
Pertusis dapat mengenai segala usia, terutama pada anak usia 1-5 tahun, bayi yang tidak
mendapat kekebalan pasif dari ibunya lebih rentan terinfeksi, dan semakin muda usia anak-anak
yang menderita maka tingkat keparahan manifestasi klinis yang muncul semakin berat.
Cara membedakan batuk spasmodik yang disebabkan oleh infeksi B. Pertussis, B. parapertussis,
B. bronchiseptica, dan adenovirus adalah melalui biakan dan kenaikan titer antibodi pada
adenovirus.
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit pertusis adalah dengan melaksanakan imunisasi
pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus).
Daftar Pustaka
World Health Organization. 2018. ‘Pertussis’, diakses 26 Februari 2019.
https://www.who.int/immunization/diseases/pertussis/en/
Kliegman, R., Stanton, B., St. Geme, J. W., Schor, N. F., Behrman, R. E. 2016. Nelson Textbook of
Pediatrics 20th Edition. Philadelphia, PA: Elsevier.
Hassan, Rusepno. Husein Alatas. 2007. Buku Kuliah 2: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ‘Pertusis’ Bab 21.
h: 564-568.
Jules Bordet Institute. “Biography: Jules Bordet”.  2005.  Diakses 26 Februari 2019. 
http://www.bordet.be/en/presentation/history/bordet/life.htm 
Law, Barbara J. 1998. Kendig’s: Disorders of Respiratory Tract in Children 6th Edition. Philadelphia,
USA: WB Saunders. ‘Pertussis’ Chapter 62. h:1018-1023
Daftar Pustaka
Shehab, Ziad M. 1999. Taussig-Landau: Pediatrics Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. ‘Pertussis’
Chapter 42. h: 693-699.
Crowcroft N. S., Pebody RG. 2006. ‘Recent Developments in Pertussis’. Lancet Volume 367. DOI:
10.1016/S0140-6736(06)68848-X. Diakses 1 Maret 2019.
https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-6736(06)68848-X/fulltext#secd168950260e390
Irawan, Hindra. Sri Rezeki. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatrik Tropis Edisi 2 Cetakan I. Jakarta: Penerbit
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. h: 331–337.
Cherry, James D. Seema Mattoo. 2005. ‘Molecular Pathogenesis, Epidemiology, and Clinical Manifestations of
Respiratory Infections Due to Bordetella pertussis and Other Bordetella Subspecies’. April 2005. American
Society for Microbiology Journals Vol. 18 No.2. Diakses 2 Maret 2019.
https://cmr.asm.org/content/18/2/326/article-info
Rampengan, T. H , Laurents I. R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak Edisi 1 Cetakan III. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. h: 20-33.
Daftar Pustaka
Todar, Kenneth. 2012. ‘Todar’s Online Textbook of Bacteriology’. Diakses 2 Maret 2019.
http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html
Garna, Harry. Azhali M.S. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung: Fakultas
Kedokteran Unpad. h: 80-86.
World Health Organization, 2016. ‘Pertussis’, diakes 6 Maret 2019.
https://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/WHO_SurveillanceVa
ccinePreventable_16_Pertussis_R1.pdf?ua=1
World Health Organiation, 2015. “Weekly Epidemiological Record”, diakses 6 Maret 2019.
https://www.who.int/wer/2015/wer9035.pdf?ua=1
Marcdante, Karen J. Kliegman, Robert M. Jenson, Hal B. Behrman, Richard E. “Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Esensial Edisi Update Keenam”, Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017

Anda mungkin juga menyukai