Anda di halaman 1dari 84

BAB I

KELAINAN GENETIK DAN KONGENITAL


1. ANODONTIA
a. Definisi
Anodontia atau anodontia vera (complete anodontia) merupakan kelainan yang
secara umum digambarkan dengan keadaan tidak tumbuhnya semua gigi, dan sangat
jarang terjadi dalam bentuk kelainan tunggal tanpa abnormalitas lain. Kelainan lain
yang jarang terjadi namun lebih umum daripada anodontia vera adalah anodontia
parsial yang terdiri dari hipodontia dan oligodontia. Kondisi ini dapat melibatkan gigi
sulung dan gigi permanen, namun kebanyakan kasus hanya terjadi pada gigi permanen.
Fenomena ini sering dikaitkan dengan sindroma non-progresif kulit dan saraf yang
disebut ectodermal dysplasia. Anodontia, khususnya, sering menjadi bagian dari gejala
sindroma tersebut dan jarang terjadi sebagai satu kondisi tunggal (Institute of Dental
and Craniofacial Research, 2011).

b. Klasifikasi

Hypodontia

Oligodontia

Anodontia
Gambar 1.1. Perbedaan Hypodontia, Oligodontia, dan Anodontia
1) Hipodontia adalah keadaan dimana benih gigi yang tidak terbentuk berjumlah
antara 1-6 gigi. Pada hipodontia, gigi-gigi yang paling sering tidak terbentuk
adalah gigi premolar dua rahang bawah, insisif dua rahang atas, dan premolar
dua rahang atas.
2) Oligodontia adalah keadaan dimana benih gigi yang tidak terbentuk berjumlah
lebih dari 6 gigi.
3) Anodontia adalah kelainan kongenital dimana semua gigi tidak tumbuh
disebabkan tidak terdapatnya folikel gigi. Anodontia dibagi menjadi:
a) Anodontia total adalah keadaan dimana pada rahang tidak ada gigi susu
maupun gigi tetap.
b) Anodontia parsial adalah keadaan dimana pada rahang terdapat satu atau
lebih gigi yang tidak tumbuh dan lebih sering terjadi pada gigi permanen
daripada gigi susu.
(Ramil, 2010).
c. Etiologi
Penyebab anodontia, baik complete maupun partial anodontia, secara garis
besar disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan dan genetik. Kegagalan
proliferasi sel basal gigi dari lamina dental dapat disebabkan oleh infeksi (misal:
rubella, osteomielitis), trauma, obat-obatan (misal: thalidomide), kemoterapi atau
radioterapi. Mutasi beberapa gen, seperti Msx1 atau Pax9 diketahui menyebabkan
tidak tumbuhnya gigi permanen. Anodontia sering terlihat sebagai bagian gejala dari
sebuah sindroma, terutama yang melibatkan anomali ektodermal (seperti sindroma
ectodermal dysplasia Agenesis gigi kemungkinan disebabkan oleh defek beberapa
gen, yang secara sendiri-sendiri atau bersamaan menyebabkan munculnya gejala
(Wu, 2007).
2

d. Patogenesis
Gigi berasal dari dua jaringan embrional, ektoderm, yang membentuk enamel,
dan mesoderm yang membentuk dentin, sementum, pulpa, dan juga jaringan-jaringan
penunjang. Perkembangan gigi geligi pada masa embrional dimulai pada minggu ke6 intrauterin ditandai dengan proliferasi epitel oral yang berasal dari jaringan
ektodermal membentuk lembaran epitel yang disebut dengan primary epithelial
band. Primary epithelial band yang sudah terbentuk ini selanjutnya mengalami
invaginasi ke dasar jaringan mesenkimal membentuk 2 pita pada masing-masing
rahang yaitu pita vestibulum yang berkembang menjadi segmen bukal yang
merupakan bakal pipi dan bibir serta pita lamina dentis yang akan berperan dalam
pembentukan benih gigi.
Pertumbuhan dan perkembangan gigi dibagi dalam 3 tahap, yaitu
perkembangan, kalsifikasi, dan erupsi. Tahap perkembangan gigi dibagi lagi menjadi
inisiasi, proliferasi, histodiferensiasi, morfodiferensiasi, dan aposisi. Penderita
anodontia mengalami halangan pada proses pembentukan benih gigi dari epitel
mulut, yakni pada tahap inisiasi (De Muynckd, 2004).

e. Diagnosis
Diagnosa anodontia biasanya membutuhkan pemeriksaan radiografik untuk
memastikan memang semua benih gigi benar-benar tidak terbentuk. Pada kasus
hypodontia, pemeriksaan radiografik panoramik berguna untuk melihat benih gigi
mana saja yang tidak terbentuk (Ramil, 2010).
f. Terapi
Terapi yang diberikan oleh dokter gigi adalah pembuatan dan pemasangan gigi
prostetik (Ramil, 2010).

2. IMPACTED TEETH
a. Definisi
Impacted teeth atau impaksi gigi adalah keadaan dimana gigi tidak dapat
erupsi seluruhnya atau sebagian karena tertutup oleh tulang atau jaringan lunak atau
kedua-duanya. Pengertian gigi impaksi telah banyak didefinisikan oleh para ahli.
Menurut Grace, gigi impaksi adalah gigi yang mempunyai waktu erupsi yang
terlambat dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk erupsi secara klinis dan
radiografis. Menurut Londhe, gigi impaksi adalah keadaan dimana terhambatnya
erupsi gigi yang disebabkan karena terhambatnya jalan erupsi gigi atau posisi ektopik
dari gigi tersebut. Menurut Sid Kirchheimer, gigi impaksi adalah gigi yang tidak
dapat erupsi seluruhnya atau sebagian karena tertutup oleh tulang, jaringan lunak atau
kedua-duanya. (Irfan, 2011).

b. Gambar

Gambar 2.1. Impacted teeth

Gambar 2.2. Foto Panoramic Impacted Teeth

c. Etiologi

Gigi impaksi dapat disebabkan oleh banyak faktor. Menurut Berger, penyebab
gigi terpendam antara lain sebagai berikut:
1) Kausa Lokal
Faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya gigi impaksi adalah:
a) Posisi gigi yang abnormal
b) Tekanan dari gigi tetangga pada gigi tersebut
c) Penebalan tulang yang mengelilingi gigi tersebut
d) Kekurangan tempat untuk gigi tersebut bererupsi
e) Persistensi gigi desidui (tidak mau tanggal)
f) Pencabutan prematur pada gigi
g) Inflamasi kronis penyebab penebalan mukosa disekitar gigi
h) Penyakit yang menimbulkan nekrosis tulang karena inflamasi atau abses
i) Perubahan-perubahan pada tulang karena penyakit eksantem pada anakanak.
2) Kausa Umur
Faktor umur dapat menyebabkan terjadinya gigi impaksi walaupun tidak ada
kausa lokal antara lain:
a) Kausa Prenatal, yaitu keturunan dan miscegenation.
b) Kausa Postnatal, yaitu

ricketsia, anemi, syphilis congenital, TBC,

gangguan kelenjar endokrin, dan malnutrisi.


c) Kelainan Pertumbuhan, yaitu Cleidocranial dysostosis, oxycephali,
progeria, achondroplasia, celah langit-langit.
(Paul, 2009).
d. Klasifikasi
Klasifikasi yang dicetuskan oleh George Winter ini cukup sederhana. Gigi
impaksi digolongkan berdasarkan posisi gigi molar ketiga terhadap gigi molar
kedua. Posisi-posisi tersebut meliputi :
1) Vertical
2) Horizontal
3) Inverted
4) Mesioangular (miring ke mesial)
5) Distoangular (miring ke distal)
6) Bukoangular (miring ke bukal)
7) Linguoangular (miring ke lingual)
5

8) Posisi tidak biasa lainnya yang disebut unusual position

Gambar 2.5. A = Vertical Impaction, B = Soft Tissue Vertical Impaction, C = Bony


Vertical Impaction.

Gambar 2.6. D = Distal Impaction (distoangular), E = Mesial Impaction


(mesioangular), F = Horizontal Impaction.
Sedangkan klasifikasi menurut Pell dan Gregory
a. Berdasarkan hubungan antara ramus mandibula dengan molar kedua dengan
cara membandingkan lebar mesio-distal molar ketiga dengan jarak antara
bagian distal molar kedua ke ramus mandibula.
1.) Kelas I : Ukuran mesio-distal molar ketiga lebih kecil dibandingkan jarak
antara distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.

Gambar 2.7. Maloklusi Kelas 1

2.) Kelas II: Ukuran mesio-distal molar ketiga lebih besar dibandingkan jarak
antara distal gigi molar kedua dengan ramus mandibula.

Gambar 2.8. Maloklusi Kelas 2


3.) Kelas III : Seluruh atau sebagian besar molar ketiga berada dalam ramus
mandibula

Gambar 2.9. Maloklusi Kelas 3


b. Berdasarkan letak molar ketiga di dalam rahang
Posisi A: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada setinggi garis oklusal.
Posisi B: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada dibawah garis oklusal tapi
masih lebih tinggi daripada garis servikal molar kedua.
Posisi C: Bagian tertinggi gigi molar ketiga berada dibawah garis servikal

molar kedua
Gambar 2.10. Kasifikasi Maloklusi Posisi A, B, dan C
(Paul, 2009)
c. Berdasarkan posisi aksis panjang gigi impaksi terhadap molar kedua seperti
klasifikasi yang dikemukakan George Winter.
e. Diagnosis
7

Ada beberapa orang yang mengalami masalah dengan terjadinya gigi impaksi.
Dengan demikian mereka merasa kurang nyaman melakukan hal-hal yang
berhubungan dengan rongga mulut. Tanda-tanda umum dan gejala terjadinya gigi
impaksi adalah :
1. Inflamasi,yaitu pembengkakan disekitar rahang dan warna kemerahan pada gusi
disekitar gigi yang diduga impaksi.
2. Resorpsi gigi tetangga, karena letak benih gigi yang abnormal sehingga
meresorpsi gigi tetangga.
3. Kista (folikuler).
4. Rasa sakit atau perih disekitar gusi atau rahang dan sakit kepala yang lama
(neuralgia).
5. Fraktur rahang (patah tulang rahang).
Pada pemeriksaan ekstra oral yang menjadi perhatian adalah adanya pembengkakan,
pembesaran limfonodi (KGB), dan parastesi. Sedangkan pada pemeriksaan intra oral
yang menjadi perhatian adalah keadaan gigi erupsi atau tidak, karies, perikoronitis,
adanya parastesi, warna mukosa bukal, labial dan gingival, adanya abses gingival,
posisi gigi tetangga, hubungan dengan gigi tetangga, ruang antara gigi dengan ramus
(pada molar tiga mandibula). Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah
pemeriksaan radiografik. Jenis radiografi yang dapat digunakan, antara lain:
1) Periapikal, tomografi panoramik (atau oblique lateral) dan CT scan untuk gigi molar
tiga rahang bawah.
2) Tomografi panoramik (atau oblique lateral, atau periapikal yang adekuat) untuk gigi
molar tiga rahang atas.
3) Parallax film (dua periapikal atau satu periapikal dan satu film oklusal) untuk gigi
kaninus rahang atas.
(Obiechina, 2001).
f. Terapi
Secara umum sebaiknya gigi impaksi dicabut baik itu untuk gigi molar tiga,
caninus, premolar, incisivus. Pencabutan gigi yang impaksi dengan pembedahan

disebut odontektomi.Indikasi pencabutan gigi impaksi antara lain untuk mencegah


terjadinya patologi yang berasal dari folikel atau infeksi, mencegah perluasan
kerusakan oleh gigi impaksi, usia muda, adanya penyimpangan panjang lengkung
rahang dan membantu mempertahankan stabilisasi hasil perawatan ortodonsi, dan
untuk kepentingan prostetik dan restoratif (Elih dan Salim, 2008).
Kontraindikasi pencabutan gigi impaksi pasien dengan usia sangat
ekstrim,telalu muda atau lansia; compromised medical status; kerusakan yang luas
dan berdekatan dengan struktur yang lain; pasien tidak menghendaki giginya
dicabut; apabila tulang yang menutupi gigi yang impaksi sangat termineralisasi dan
padat; apabila kemampuan pasien untuk menghadapi tindakan pembedahan
terganggu oleh kondisi fisik atau mental tertentu (Elih dan Salim, 2008).
3. MALOCCLUSSION
a. Definisi
Malocclussion (maloklusi) adalah bentuk oklusi yang menyimpang dari bentuk
standar yang diterima sebagai bentuk normal. Maloklusi juga berarti kelainan ketika
gigi-geligi atas dan bawah saling bertemu ketika menggigit atau mengunyah. Maloklusi
dapat berupa kondisi bad bite atau sebagai kontak gigitan menyilang (crossbite),
kontak gigitan yang dalam (overbite), gigi berjejal (crowdeed), adanya ruang kosong
antar gigi (spacing), posisi gigi maju ke depan (protusi) (Gotlieb, 1996).
b. Gambar

A
C

B
D

Gambar 3.1. A = Crossbite, B = Overbite, C = Crowded, D = Spacing, E = Prostusi.


c. Etiologi
Faktor penyebab maloklusi dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Faktor luar atau faktor umum, misalnya herediter, kelainan kongenital,
perkembangan atau pertumbuhan yang salah pada masa prenatal dan posnatal,
malnutrisi, kebiasaan jelek, sikap tubuh, trauma, dan penyakit-penyakit dan
keadaan metabolik yang menyebabkan adanya predisposisi ke arah maloklusi
seperti ketidakseimbangan kelenjar endokrin, gangguan metabolis, penyakitpenyakit infeksi.
2. Faktor dalam atau faktor lokal, yaitu anomali jumlah gigi seperti adanya gigi
berlebihan (dens supernumeralis) atau tidak adanya gigi (anodontis), anomali
ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenulum labii yang abnormal, kehilangan
dini gigi desidui, persistensi gigi desidui, jalan erupsi abnormal, ankylosis dan
karies gigi.
d. Klasifikasi
Menurut Angle, maloklusi digolongkan dalam 3 jenis, yaitu:
1) Maloklusi tipe dental, terjadi jika perkembangan rahang atas dan rahang bawah
terhadap tulang kepala normal, tapi gigi-giginya mengalami penyimpangan.
2) Maloklusi tipe skeletal, terjadi karena hubungan rahang atas dan rahang bawah
terhadap tulang kepala tidak harmonis, karena ada gangguan pertumbuhan dan
perkembangan rahang.
3) Maloklusi fungsional, terjadi karena adanya kelainan otot-otot, sehingga timbul
gangguan saat dipakai untuk mengunyah (Gallois, 2006).
Edward Angle mengklasifikasikan maloklusi ke dalam 3 kelas, antara lain:
1) Kelas I Angle
a) Tonjol Mesiobukal M1 atas beroklusi dengan cekung bukal M1 bawah
b) Neutroklusi
2) Kelas II Angle
10

a) Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih kemesial dari posisi kelas 1


b) Telah melewati puncak tonjol mesiobukal M1 bawah
c) Gigi M1 bawah lebih ke distal: Distoklusi
d) Dibagi dalam 2 divisi, yaitu :
Tabel 3.1 Pembagian Divisi Kelas II Angle

3) Kelas III Angle


a) Tonjol mesiobukal M1 atas berada lebih Ke distal dari posisi klas 1
b) Telah melewati puncak tonjol distobukal M1 bawah
c) Gigi M1 bawah lebih ke mesial: Mesioklusi

Gambar 3.2. Klasifikasi Maloklusi menurut Angel


(Dentisha, 2010)
e. Diagnosis
Maloklusi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada pengunyahan dan
bicara. Gangguan pengunyahan yang terjadi yaitu dapat berupa rasa tidak nyaman
saat mengunyah, terjadinya rasa nyeri pada Temporo Mandibula Junction (TMJ)
dan juga mengakibatkan nyeri kepala dan leher. Pada gigi yang berjejal dapat
mengakibatkan

kesulitan

dalam

pembersihan.

Tanggalnya

gigi-gigi

akan
11

mempengaruhi pola pengunyahan misalnya pengunyahan pada satu sisi, dan


pengunyahan pada satu sisi ini juga dapat mengakibatkan rasa sakit pada TMJ
(Gallois, 2006).
Biasanya kelainan oklusi ditemukan saat pemeriksaan rutin gigi. Dokter gigi
akan mengecek seberapa keadaan oklusi dari gigi atas dan bawah. Bila ditemukan
kelainan, akan dirujuk kepada ahli orthodonti untuk mendiagnosis dan
menatalaksana. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah radiografik gigi,
kepala, dan wajah (Gallois, 2006).
f. Terapi
Alat cekat gigi, lazim disebut kawat gigi, dapat digunakan untuk mengoreksi
posisi gigi. Jangka waktu penggunaan alat cekat bervariasi, dari 6 bulan sampai 2
tahun, tergantung pada keparahan kasus. Pembedahan dilakukan pada kasus yang
jarang, terutama untuk memperbaiki posisi rahang, proses ini disebut bedah
orthognatik.
Adalah penting untuk menjaga kebersihan gigi dan rongga mulut setiap hari
serta kontrol rutin ke dokter gigi. Plak dapat terakumulasi pada alat cekat sehingga
meninggalkan tanda permanen di gigi dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan gigi
bila tidak ditangani. Setelah posisi gigi terkoreksi, alat cekat digantikan retainer untuk
mempertahankan posisi gigi yang baru (Rosenberg, 2010).
Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan alat cekat adalah kerusakan
gigi, ketidaknyamanan saat perawatan, iritasi mulut dan gusi karena alat cekat, dan
susah menelan atau berbicara selama penggunaan alat cekat.

4. SUMBING PADA BIBIR DAN PALATUM


a. Definisi
Bibir sumbing (labial cleft) adalah kelainan berupa celah pada bibir atas
yang didapatkan seseorang sejak lahir. Bila celah berada pada bagian langit-langit
rongga mulut (palate), maka kelainan ini disebut cleft palate. Pada cleft palate, celah
akan menghubungkan langit-langit rongga mulut dengan rongga hidung. Sekitar
98,8% dari facial cleft didominasi oleh labial cleft dengan atau tanpa palatecleft,
bilateral maupun unilateral. Sekitar 50-70% kasus labial dan palatal cleft berdiri
sendiri tanpa ada sindrom penyerta (Naidich, 2003).
12

Ada tiga jenis kelainan cleft, yaitu:


1. Cleft lip tanpa disertai cleft palate,
2. Cleft palate tanpa disertai cleft lip, dan
3. Cleft lip disertai dengan cleft palate.
Sekitar separuh dari semua kasus cleft melibatkan bibir atas dan langit-langit
sekaligus. Celah dapat hanya terjadi pada satu sisi (unilateral) atau pada kedua sisi
(bilateral) bibir. Cleft lip dan cleft palate terbentuk saat bayi masih dalam kandungan
(CCA, 2009).

b. Gambar

Gambar 5.1. Labial dan palatal cleft dibandingkan dengan kondisi normal.

c. Etiologi
Secara garis besar, penyebab labial dan palatal cleft dibagi menjadi dua,
genetik dan lingkungan. Resiko seorang anak terkena labial dan palatal cleft sekitar
4% jika salah satu orang tua atau salah satu saudara juga menderita labial dan palatal
cleft. Namun resiko ini meningkat menjadi 17% apabila keduanya (salah satu orang

13

tua dan salah satu saudara) terkena. Peningkatan risiko tersebut mengindikasikan
adanya faktor genetik sebagai salah satu komponen etiologi (CCA, 2009).
Faktor lingkungan di dalam kandungan juga berperan penting pada kejadian
labial dan palatal cleft. Defisiensi suplemen gizi maupun paparan zat teratogenik
dapat meningkatkan kejadian labial dan palatal cleft. Suplementasi gizi dengan
vitamin B6 dan asam folat selama trimester pertama kehamilan terbukti menurunkan
resiko terjadinya rekurensi pada wanita yang sebelumnya melahirkan anak dengan
labial dan palatal cleft. Teratogen yang dihubungkan dengan kejadian ini termasuk
kortison, antikonvulsan seperti fenitoin, salisilat, aminopterin, organik solvents,
alkohol, merokok, diabetes melitus maternal, rubela, dan usia dari orang tua. Merokok
selama kehamilan merupakan faktor resiko yang paling jelas pada kejadian labial dan
palatal cleft. Merokok dapat menyebabkan polimorfisme gen TGF-alfa yang
kemudian dapat meningkatkan resiko kejadian palatal cleft. Secara statistik,
ditemukan peningkatan signifikan dari laktat dehidrogenase dan kreatin fosfokinase
pada cairan amnion fetus dengan labial/palatal cleft (CCA, 2009).
d. Patogenesis
Proses terbentuknya kelainan ini sudah dimulai sejak minggu-minggu awal kehamilan
ibu. Saat usia kehamilan ibu mencapai 6 minggu, bibir atas dan langit-langit rongga mulut
bayi dalam kandungan akan mulai terbentuk dari jaringan yang berada di kedua sisi dari lidah
dan akan bersatu di tengah-tengah. Bila jaringan-jaringan ini gagal bersatu, maka akan
terbentuk celah pada bibir atas atau langitlangit rongga mulut.
Sebenarnya penyebab jaringan-jaringan tersebut tidak menyatu dengan baik belum
diketahui dengan pasti. Namun, faktor penyebab yang diperkirakan adalah kombinasi antara
faktor genetik dan faktor lingkungan seperti obat-obatan, penyakit atau infeksi yang diderita
ibu saat mengandung, konsumsi minuman beralkohol atau merokok saat masa kehamilan.
Resiko terkena akan semakin tinggi pada anak-anak yang memiliki saudara kandung atau
orang tua yang juga menderita kelainan ini, dan dapat diturunkan baik lewat ayah maupun
ibu. Cleft lip dan cleft palate juga dapat merupakan bagian dari sindroma penyakit tertentu.
Kekurangan asam folat juga dapat memicu terjadinya kelainan ini.
e. Klasifikasi
Klasifikasi celah bibir veau:
14

1) Kelas I: terdapat takik unilateral pada tepi merah bibir dan meluas sampai bibir
2) Kelas II: Bila takik pada merah bibir sudah meluas ke bibir, tetapi tidak mengenai
dasar hidung
3) Kelas III: Sumbing unilateral pada merah bibir yang meluas melalui bibir ke
dasar hidung.
4) Kelas IV: Setiap sumbing bilateral pada bibir yang menunjukkan takik tak
sempurna atau merupakan sumbing yang sempurna
Klasifikasi celah langit-langit veau:
1) Kelas I: celah palatum lunak sampai ke uvula
2) Kelas II: celah palatum lunak dan keras di belakang foramen incisivum
3) Kelas III: celah palatum lunak dan keras yang mengenai alveolus dan bibir pada
satu sisi
4) Kelas IV: celah palatum lunak dan keras yang mengenai alveolus dan bibir pada
kedua sisi
f. Diagnosis
Tanda yang paling jelas adalah adanya celah pada bibir atas atau langit-langit
rongga mulut. Bayi dengan cleft lip dapat mengalami kesulitan saat menghisap ASI
karena sulitnya melakukan gerakan menghisap. Besarnya cleft bukan indikator
seberapa serius gangguan dalam berbicara, bahkan cleft yang kecil pun dapat
menyebabkan kesulitan dalam berbicara. Anak dapat memperbaiki kesulitannya
dalam berbicara setelah menjalani terapi bicara, walaupun kadang tindakan operasi
tetap diperlukan untuk memperbaiki fungsi langit-langit rongga mulut (Naidich,
2003).
Anak dengan cleft kadang memiliki gangguan dalam pendengaran. Hal ini
disebabkan oleh kemungkinan adanya infeksi yang mengenai tuba Eustachia
(saluran yang menghubungkan telinga dengan rongga mulut). Semua telinga anak
normal memproduksi cairan telinga yang kental dan lengket. Cairan ini dapat
menumpuk di belakang gendang telinga. Adanya cleft dapat meningkatkan
kemungkinan terbentuknya cairan telinga ini, sehingga menyebabkan gangguan atau
bahkan

kehilangan

pendengaran

sementara.

Biasanya

cleft

palate

dapat

mempengaruhi pertumbuhan rahang anak dan proses tumbuh kembang dari gigigeliginya. Susunan gigi-geligi dapat menjadi berjejal karena kurang berkembangnya
rahang (Naidich, 2003).
15

g. Terapi
Tindakan bedah plastik dilakukan pada bayi kondisi baik. Pembedahan biasanya
dilakukan ketika anak berumur sekitar 3 bulan. Tujuan operasi plastik ini adalah:
1) Memulihkan struktur anatomi.
2) Mengoreksi cacat.
3) Menormalkan fungsi menelan, napas, bicara.
(Budiono, 2011)
Idealnya, anak dengan labioschisis ditatalaksana oleh tim labio-palatoschizis yang
terdiri dari spesialistik bedah maksilofasial, terapis bicara dan bahasa, dokter gigi,
ortodonsi, psikolog, dan perawat spesialis.
Ada tiga tahap penanganan bibir sumbing:
1) Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi
menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan
berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai
adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg ,
Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu, jika bayi belum mencapai
rule of ten ada beberapa nasihat yang harus diberikan pada orang tua agar
kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah misalnya memberi
minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot dibalik susu dapat memancar
keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga
membuat bayi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi
tidak cukup.
2) Pada tahapan operasi yang diperhatikan adalah kesiapan tubuh si bayi menerima
perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah. Usia
optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini
dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga
jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah
terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap
menjadi kurang sempurna. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal
pada usia 18 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum
anak masuk sekolah. Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti
dengan tindakan speech theraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau
pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang
16

salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang
salah.

Bila

gusi

juga

terbelah

(gnatoschizis)

kelainannya

menjadi

labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8 9 tahun


bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.
3) Pada tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap jenis
operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan
memberikan instruksi pada orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir
sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap menggunakan sendok
atau dot khusus untuk memberikan minum bayi.
Banyaknya penderita bibir sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas
usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja
sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau
dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak
banyak

bermanfaat.

Adapun

operasi

yang

bisa

dilakukan

untuk

kasus

labiopalatoschizis adalah:
a. Chieloraphy/ labioplasti

: 3 bulan

b. Palatoraphy

: 10-12 bulan

c. Speech Theraphy

: 4 tahun

d. Pharyngoplasty

: 5-6 tahun

e. Perawatan Orthodontis

: 8-9 tahun

f. Alveolar Bone Graft

: 9-10 tahun

g. Le Fort I Osteotomy

:17-18 tahun
(CCA, 2009).

5. MICROGNATIA DAN MACROGNATIA


Micrognatia
a. Definisi
Micrognatia merupakan istilah untuk menyebut rahang yang lebih kecil dari
ukuran normal. Dalam kasus ini baik maksila maupun mandibula dapat terkena.
Biasanya ditemukan bersamaan dengan microglossi (lidah kecil). Jika
micrognathia, microglossi dan celah pada pallatum molle terjadi bersamaan
disebut Sindroma Pierre Robin. Secara garis besar, micrognathia dibagi
menjadi: (1) Apparent micrognathia; (2) True micrognathia (Patel, 2009).
17

b. Gambar

Gambar 5.1. Micrognatia


c. Etiologi
Penyebab micrognatia dapat terjadi secara kongenital dan acquired
(didapat). Micrognatia kongenital diduga berasal dari genetik yang disebabkan
kelainan kromosom dan kerusakan genetik, dijumpai pada penderita sindroma
Pierre Robin, Treacher Collins, cat cry, Down, Turner, dan progeria.
Micrognatia acquired disebabkan trauma atau infeksi yang menimbulkan
gangguan pada sendi rahang, dijumpai pada penderita ankilosis yang terjadi
pada masa anak-anak (Morokumo, 2010).
d. Klasifikasi
a. Micrognatia sejati (true micrognathia)
Adalah keadaan dimana rahang cukup kecil yang terjadi akibat
hipoplasia rahang.
b. Micrognatia palsu (false micrognathia)
Adalah keadaan micrognatia jika terlihat posisi pada salah satu rahang
terletak lebih ke posterior atau hubungan abnormal maksila dan
mandibula.
Macrognatia
18

a. Definisi
Istilah macrognatia mengarah pada kondisi di mana ukuran rahang lebih dari
normal. Macrognathia juga disebut dengan megagnitia. Macrognathia
mengalami gambaran klinis yaitu dagu berkembang lebih besar. Sebagian besar
macrognatia tidak menyebabkan terjadinya maloklusi (Patel, 2009).
b. Gambar

Gambar 5.2 Macrognotia


c. Etiologi
Etiologi

macrognatia

berhubungan

dengan

perkembangan

protuberantia yang berlebih, dapat bersifat kongenital dan dapat pula bersifat
didapat melalui penyakit. Beberapa kondisi yang berhubungan dengan
macrognatia adalah gigantisme pituitary, pagets disease, dan akromegali.
Pertumbuhan berlebihan ini akibat pelepasan hormon pertumbuhan berlebihan
yang disebabkan oleh tumor hipofisa jinak (adenoma). Penderita biasanya
menunjukkan hipertiroidisme, lemah otot, parestesi, pada tulang muka dan
rahang terlihat perubahan orofasial seperti penonjolan tulang frontal, hipertrofi
tulang hidung, dan pertumbuhan berlebih tulang rahang (mandibula) yang
dapat menyebabkan rahang menonjol (prognatisme) (Morokumo, 2010).

19

BAB II
FOKUS INFEKSI
1. DEBRIS
a. Definisi
Debris memiliki arti kotoran. Sisa makanan yang menetap di rongga mulut
setelah makan, yang terakumulasi di leher gigi dan di sela-sela gigi inilah yang
berkontribusi pada debris gigi. Sisa makanan ini dapat mendorong terbentuknya plak
dan terjadinya akumulasi plak.
Debris dibedakan menjadi food retention (sisa makanan yang mudah
dibersihkan dengan air liur, pergerakan otot-otot mulut, berkumur, atau dengan
menyikat gigi) dan food impaction (makanan yang terselip dan tertekan di antara gigi
dan gusu, biasanya hanya dapat dibersihkan dengan dental floss / benang gigi atau
tusuk gigi) (Toothclub, 2011).

b. Gambar

Gambar 6.1. Oral Debris


c. Kriteria Perhitungan Debris Index (DI)
20

Debris Index (DI) adalah skor dari endapan lunak yang terjadi karena adanya sisa
makanan yang melekat pada gigi penentu. Gigi penentu tersebut adalah:
Rahang atas:
a. Gigi 6 kanan kiri permukaan bukal
b. Gigi 1 kanan permukaan lingual
Rahang bawah :
a. Gigi 6 kanan kiri permukaan lingual
b. Gigi 1 kiri permukaan labial

Tabel 6.1. Kriteria pemeriksaan Debris Index (DI) menurut Depkes RI 1999
No
1

Kriteria
Nilai
Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada debris lunak dan
0

tidak ada pewarnaan ekstrinsik


a. Pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak yang

menutupi permukaan gigi seluas < 1/3 permukaan


b. Pada permukaan gigi yang terlihat, tidak ada debris lunak,
akan tetapi ada pewarnaan ektsrinsik yang menutupi
3

permukaan gigi sebagian atau seluruhnya


Pada permukaan gigi yang terlihat, ada debris lunak yang

menutupi permukaan tersebut, seluas > 1/3 gigi tetapi < 2/3
4

permukaan gigi
Pada pemukaan gigi yang terlihat, ada debris yang menutupi

permukaan tersebut seluas > 2/3 permukaan atau seluruh


permukaan gigi

Gambar 6.2. Debris Index

21

Menghitung debris Indeks (DI)


DI = __Jumlah nilai debris___
jumlah gigi yang diperiksa
Kriteria DI adalah sebagai berikut :
1) 0,0-0,6

= Baik

2) 0,7-1,8

= Sedang

3) 1,9-3,0

= Buruk
(Nurhayani, 2004)

d. Terapi dan Pencegahan


Penatalaksaan dan pencegahan debris yakni menjaga kebersihan gigi. Ada
berbagai alat untuk membersihkan gigi. Alat yang utama yaitu sikat gigi. Alat bantu
pembersih gigi selain sikat gigi adalah benang gigi (dental floss). Dental floss
merupakan benang yang terbuat dari silk atau nilon dan dipergunakan untuk
membersihkan bagian gigi yang terletak di bawah kontak dua gigi (Nurhayani, 2004).
2. CALCULUS
a. Definisi
Calculus adalah material keras dari garam inorganik yang terdiri dari kalsium
karbonat dan fosfat yang bercampur dengan debris, mikroorganisme, dan sel epitel
yang telah terdeskuamasi. Lapisan kerak yang terbentuk adalah hasil mineralisasi plak
gigi dan, melekat erat mengelilingi mahkota dan akar gigi. Selain pada permukaan gigi,
kalkulus juga terdapat pada gigi tiruan dan restorasi gigi dan hanya bisa hilang dengan
tindakan skeling (Lelyati, 1996). Nama lain dari calculus adalah karang gigi. Tidak ada
komposisi tetap dari calculus gigi karena calculus dipengaruhi oleh berbagai faktor
lokal seperti :
1) Konsentrasi kalsium dan fosfat
2) Jumlah relatif dari masing-masing ion pembentuk calculus
3) pH
4) Adanya jenis ion pembentuk lain seperti magnesium

22

b. Gambar

Gambar 7.1. Calculus


c. Etiologi dan Patogenesis
Bakteri aktif penyebab karang gigi yaitu streptococcus dan anaerob yang
mengubah glukosa dan karbohidrat pada makanan menjadi asam. Kombinasi bakteri,
asam, sisa makanan dan air liur dalam mulut membentuk suatu subtansi berwarna
kekuningan yang melekat pada permukaan gigi yang disebut plaque. Karang gigi
(calculus) adalah plaque yang telah mengalami pengerasan, kalsifikasi atau
remineralisasi (Susanto, 2009).
Calculus terbentuk dari dental plak yang mengeras pada gigi dan menetap dalam
waktu yang lama. Dental plak merupakan tempat ideal bagi mikroorganisme mulut,
karena terlindung dari pembersihan alami oleh lidah maupun saliva. Akumulasi plak
juga dapat menyebabkan iritasi dan inflamasi gusi yaitu gingivitis. Jika akumulasi
plak terlalu berat, maka dapat menyebabkan periodontis. Maka plak, sering disebut
juga sebagai penyebab primer penyakit periodontis. Sementara, calculus pada gigi
membuat dental plak melekat pada gigi atau gusi yang sulit dilepaskan hingga dapat
memicu pertumbuhan plak selanjutnya. Karena itu calculus disebut juga sebagai
penyebab sekunder periodontis. Calculus dapat terbentuk di atas gusi atau
supragingival, atau pada sulcus, yaitu saluran antara gusi dan gigi. Ketika terjadi plak
supragingival, maka bakteri yang terkandung di dalamnya hampir semuanya
merupakan bakteri aerobik, atau bakteri yang dapat hidup di lingkungan penuh
oksigen. Plak subgingival, terutama terdiri dari bakteri anaerobik, yaitu bakteri yang
tidak dapat hidup pada lingkungan yang mengandung oksigen. Bakteri anaerobik
inilah yang berbahaya bagi gusi dan jaringan yang menempel pada gigi, yang
menimbulkan periodontis. Pada umumnya, orang yang mengalami periodontis
memiliki deposit calculus subgingival (Leylati, 1996).

23

Penurunan aliran air liur adalah salah satu hal yang mempercepat pembentukan
karang gigi, terutama jika penyikatan gigi tidak optimal. Air liur sangat berperan
untuk self-cleaning, dengan adanya air liur, sisa makanan dan plaque yang terdapat di
permukaan gigi akan terbilas secara mekanis namun hanya efektif pada daerah 2/3
mahkota gigi dan tidak pada daerah leher gigi. Oleh karena itu karang gigi paling
banyak terbentuk di daerah leher gigi yaitu daerah mahkota gigi yang berbatasan
dengan gusi, yang terlihat sebagai garis kekuningan atau kecoklatan (Mozharta,
2010).
d. Pemeriksaan
Kriteria perhitungan Calculus Index (CI) sebagai berikut:
1) Nilai 0, jika tidak terdapat calculus
2) Nilai 1, jika terdapat calculus supraginggiva pada sepertiga permukaan gigi.
3) Nilai 2, jika terdapat calculus supraginggiva lebih dari sepertiga tetapi tidak lebih
dari dua pertiga permukaan gigi atau terdapat titik calculus subginggiva pada
cervical gigi.
4) Nilai 3, jika terdapat kalkulus supraginggiva lebih dari dua pertiga permukaan
gigi atau terdapat calculus subginggiva disepanjang cervical gigi.

Gambar 7.2. Calculus Index


Menghitung Calculus Indeks (CI)
CI = Jumlah nilai calculus
jumlah gigi yang diperiksa
Kriteria CI adalah sebagai berikut:
1) 0,0-0,6

= Baik

2) 0,7-1,8

= Sedang

3) 1,9-3,0

= Buruk

24

Gambar 7.3 Derajat Calculus


Skor indeks oral higiene individu diperoleh dengan menjumlahkan nilai
indeks debris (DI-S) dan indeks kalkulus (CI-S), dengan interval OHI-S:
1) Sangat baik

= 0;

2) Baik

= 0,1-1,2;

3) Sedang

= 1,3-3,0;

4) Buruk

= 3,1-6,0.
(Findya, 2010)

e. Terapi
Untuk menghilangkan dental plaque dan calculus perlu dilakukan scaling atau root
planing, yang merupakan terapi periodontal konvensional atau non-surgikal. Terapi ini
selain mencegah inflamasi juga membantu periodontium bebas dari penyakit.
Prosedur scaling menghilangkan plaque, calculus, dan noda dari permukaan gigi
maupun akarnya. Prosedur lain adalah root planing, terapi khusus yang
menghilangkan cementum dan permukaan dentin yang ditumbuhi calculus,
mikroorganisme, serta racun-racunnya. Scalling dan root planning digolongkan
sebagai deep cleaning, dan dilakukan dengan peralatan khusus seperti alat ultrasonik,
seperti periodontal scaler dan kuret (Findya, 2010).

3. PLAQUE
a. Definisi
Plaque gigi adalah suatu lapisan yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang
berkembang biak dan melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan
(Pintauli, 2008).
25

Plaque gigi adalah lapisan lunak atau keras yang terdiri dari kumpulan
mikroorganisme yang berkembang biak diatas suatu matriks yang terbentuk dan
melekat erat pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan dan sukar dilihat. Ada tiga
komposisi plaque dental yaitu :
1) Mikroorganisme
2) Matriks interseluler yang terdiri dari komponen organik dan anorganik
3) Protein
(Rifki, 2010).
b. Gambar

Gambar 8.1. Plaque


c.

Etiologi
Plaque merupakan kumpulan dari koloni bakteri dan mikroorganisme
lainnya yang bercampur dengan produk-produknya, sel-sel mati dan sisa makanan.
Metabolisme anaerob menghasilkan asam yang menyebabkan:
1) Demineralisasi permukaan gigi
2) Iritasi gusi di sekitar gigi menyebabkan ginggivitis (merah, bengkak, gusi
berdarah)
3) Plaque gigi dapat termineralisasi dan membentuk calculus.

d. Patofisologi
Proses pembentukan plak dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu pembentukan
pelikel, kolonisasi awal pada permukaan gigi serta kolonisasi sekunder dan
pematangan plak. Pembentukan pelikel pada dasarnya merupakan proses perlekatan
protein dan glikoprotein saliva pada permukaan gigi. Pelikel tersebut berasal dari

26

saliva dan cairan sulkular. Pada fase awal permukaan gigi atau restorasi akan dibalut
oleh pelikel glikoprotein.
Kolonisasi awal pada pemukaan gigi di permukaan enamel dalam 3-4 jam
didominasi oleh mikroorganisme fakultatif gram positif, seperti Streptokokus
sanguins, Streptokokus mutans, Streptokokus mitis, Streptokokus salivarius,
Actinomyces viscosus dan Actinomyces naeslundii. Pengkoloni awal tersebut
melekat ke pelikel dengan bantuan adhesion, yaitu : molekul spesifik yang berada
pada permukaan bakteri.
Pada tahap kolonisasi sekunder dan pematangan plak, plak akan meningkat
jumlahnya setelah kolonisasi awal permukaan gigi melalui dua mekanisme terpisah,
yaitu multiplikasi dari bakteri yang telah melekat pada permukaan gigi dan
multiplikasi serta perlekatan lanjut bakteri yang ada dengan bakteri baru.
e.

Komposisi Plaque
Komposisi utama plaque dental adalah mikroorganisme. Satu gram plaque
(berat basah) mengandung sekitar 2 x 10 bakteri. Diperkirakan lebih dari 325
spesies bakteri dijumpai di dalam plaque. Mikroorganisme non-bakteri yang
dijumpai dalam plaque adalah spesies Mycoplasma, ragi, protozoa dan virus.
Mikroorganisme tersebut terdapat diantara matriks interseluler yang juga
mengandung sedikit sel jaringan seperti sel-sel epitel, makrofag, dan leukosit
(Walton dan Torabinejad, 1998).
Matriks interseluler plaque mengandung 20% 30% massa plaque, terdiri
dari bahan organik dan anorganik yang berasal dari saliva, cairan sulkular, dan
produk bakteri. Bahan organiknya mencakup polisakarida, protein, glikoprotein, dan
lemak. Glikoprotein saliva adalah komponen penting dari pelikel yang pertama-tama
membalut permukaan gigi yang tadinya bersih, disamping terlibat dalam
pembentukan biofilm plaque. Polisakarida yang diproduksi oleh bakteri terdiri dari
dekstran (paling dominan) dan albumin (diduga berasal dari cairan sulkular). Bahan
lemaknya terdiri dari debris membrane bakteri yang hancur dan sel-sel pejamu, serta
kemungkinan pula debris makanan (Walton dan Torabinejad, 1998).
Komponen anorganik plaque yang paling utama adalah kalsium dan posfor,
sejumlah kecil mineral lain seperti natrium,kalium,dan fuor. Sumber bahan
anorganik plaque supragingival adalah saliva. Sebaliknya komponen anorganik

27

plaque subgingival berasal dari cairan sulkular yang merupakan transudat (Walton
dan Torabinejad, 1998).
f.

Mekanisme Pembentukan Plaque


Penumpukan plaque sudah dapat terlihat dalam 1-2 hari setelah seseorang tidak
melakukan prosedur hygiene oral. Plaque tampak sebagai massa globular berwarna
putih, keabu-abuan atau kuning. Gesekan jaringan dan bahan makanan terhadap
permukaan gigi akan membersihkan permukaan gigi, namun pembersihan yang
demikian hanya efektif pada dua pertiga koronal permukaan gigi. Dengan demikian
plaque umumnya dijumpai pada sepertiga gingival permukaan gigi, karena pada
daerah tersebut tidak terganggu oleh gesekan makanan maupun jaringan.
Penumpukan plaque lebih sering terjadi pada retakan, pit dan fissure pada
permukaan gigi dan sekitar gigi yang erupsinya tidak teratur (Widyanti, 2005).
Lokasi dan laju pembentukan plaque adalah bervariasi diantara individu.
Faktor yang mempengaruhi laju pembentukan plaque adalah hygiene oral, serta
faktor-faktor pejamu seperti diet dan komposisi serta laju aliran saliva (Widyanti,
2005). Proses pembentukan plaque dapat dibagi atas tiga tahap (Widyanti, 2005):
5) Pembentukan Pelikel Dental
Pembentukan pelikel dental pada permukaan gigi merupakan fase awal
dari pembentukan plaque. Pada tahap awal ini permukaan gigi atau restorasi
(cekat maupun lepasan) akan dibalut oleh pelikel glikoprotein. Pelikel tersebut
berasal dari saliva dan cairan sulkular, begitu juga dari produk sel bakteri,
pejamu dan debris.
6) Kolonisasi Awal Pada Permukaan Gigi
Dalam waktu beberapa jam bakteri akan dijumpai pada pelikel dental.
Bakteri yang pertama-tama mengkoloni permukaan gigi yang dibalut pelikel
adalah didominasi oleh mikroorganisme mikroorganisme fakultatif gram positif,
seperti Actinomyces Viscosus dan Streptokokus Sanguis. Pengkoloni awal
tersebut melekat ke pelikel dengan bantuan adhesin, yaitu molekul spesifik yang
berada pada permukaan bakteri. Adhesin akan berinteraksi dengan reseptor pada
pelikel dental.
Massa plaque kemudian mengalami pematangan bersamaan dengan
pertumbuhan bakteri yang telah melekat, maupun kolonisasi dan pertumbuhan
spesies lainnya. Dalam perkembangannya terjadi perubahan ekologis pada
28

biofilm, yaitu peralihan dari lingkungan awal yang aerob dengan spesies bakteri
fakultatif gram positif menjadi lingkungan yang sangat miskin oksigen. Dimana
yang dominan adalah mikroorganisme anaerob gram negatif.
7) Kolonisasi Sekunder dan Pematangan Plaque
Pengkoloni sekunder adalah mikroorganisme yang tidak turut sebagai
pengkoloni awal ke permukaan gigi yang bersih, diantaranya Prevotella
intermedia, Prevotella Loescheii, Spesies Capnocytophaga, Fusobacterium
Nucleatum, dan Porphyromonas Gingivalis.
Mikroorganisme tersebut melekat ke sel bakteri yang telah berada
dalam

massa

plaque.

Proses

perlekatannya

adalah

berupa

interaksi

stereokhemikal yang sangat spesifik dari molekul-molekul protein dan


karbohidrat yang berada pada permukaan sel bakteri, dan interaksi yang kurang
spesifik yang berasal dari tekanan hidrofobik, tekanan elektrostatik, dan
tekanan van der waals.
Interaksi yang menimbulkan perlekatan bakteri pengkoloni sekunder ke
bakteri pengkoloni awal dinamakan koagregasi. Koagregasi pengkoloni
sekunder ke pengkoloni awal terjadi antara Fusobacterium Nucleatum dengan
Streptokokus Sanguis, Provotella Loescheii dengan Actinomyces Viscosus, dan
Capnocytophaga Ochracea dengan Actinomyces Viscosus. Pada stadium akhir
pembentukan plaque, yang dominan adalah koagregasi diantara spesies gram
negatif, misalnya koagregasi Fusobacterium Nucleatum dengan Porphyromonas
Gingivalis (Daliemunthe, 2008).
g. Indeks Plaque
Index plaque adalah metode pengukuran luasnya keberadaan plaque (Harty,
1995). Indeks plaque dikeluarkan oleh Loe dan Silness pada tahun 1964. Indeks ini
diindikasikan untuk mengukur skor plaque berdasarkan lokasi dan kuantitas plaque
yang berada dekat margin gingiva.
Menurut Debnath (2002), indeks ini dapat dikeluarkan dengan menggunakan
larutan pewarna yang dioleskan ke seluruh permukaan gigi dan kemudian diperiksa.
Setiap gigi diperiksa empat permukaan yaitu permukaan yaitu permukaan mesial,
distal, lingual dan palatinal. Kemudian skornya dihitung. Cara pemberian skor untuk
indeks plaque:
0 = tidak ada plaque pada gingival

29

1 = dijumpai lapisan tipis plaque yang melekat pada margin gingiva di daerah yang
berbatasan dengan gigi tetangga
2 = dijumpai tumpukan sedang plaque pada saku gingiva dan pada margin gingiva
dan atau pada permukaan gigi tetangga yang dapat dilihat langsung
3 = terdapat deposit lunak yang banyak pada saku gingiva dan atau pada margin dan
permukaan gigi tetangga.

Gambar 8.2. Indeks plaque


Cara penghitungan skor:
Untuk satu gigi = jumlah seluruh skor dari empat permukaan
4
Untuk keseluruhan gigi = jumlah skor indeks plaque
jumlah gigi yang ada
Penilaian secara umum tentang indeks plaque (Pintauli,2008):
1) Berkisar 0 1 dikategorikan baik
2) Berkisar 1,1 2 dikategorikan sedang
3) Berkisar 2,1 3 dikategorikan buruk
h. Diagnosis
Plaque gigi hanya dapat dilihat dengan pewarnaan pada gigi. Perwarna yang
digunakan juga khusus dikenal dengan nama disclosing agent. Bahan pewarna
(disclosing material) yang biasa digunakan adalah iodine, mercurochrome, bahan
pewarna makanan seperti gincu kue berwarna merah dan bismarck brown. Ada juga
larutan fuschin dan eritrosin, tapi tidak dianjurkan lagi karena terbukti bersifat
karsinogenik (Anggraeni, 2007).
Bahan pewarna ada yang berbentuk cairan dan tablet. Untuk bahan pewarna
cairan, cairan pewarna diteteskan beberapa tetes ke kapas yang dibulatkan, lalu
dioleskan pada seluruh permukaan gigi, kemudian kumur dengan air atau cairan
pewarna dibiarkan di dalam mulut selama 15-30 detik baru dibuang. Sedangkan
penggunaan bahan pewarna tablet, tablet dikunyah dan kemudian biarkan bercampur

30

dengan saliva dan biarkan saliva di dalam mulut sekitar 30 detik baru dibuang
(Anggraeni, 2007)
i.

Terapi
Cara terbaik untuk menghilangkan plaque adalah dengan menyikat gigi
(terutama di malam hari dan pagi hari), dengan pembersihan interdental oleh benang
gigi, tusuk gigi atau sikat antar gigi. Lebih ideal jika menggunakan bantuan
disclosing agent untuk melihat apakah penyikatan gigi yang dilakukan sudah benarbenar sempurna. Gigi yang terbebas dari plaque ditandai dengan tidak adanya
pewarnaan oleh disclosing pada gigi. Selain itu perabaan dengan lidah
mengidentifikasikan dalam bentuk gigi terasa kesat, bukan licin. Jika masih terasa
licin maka masih terdapat plaque (Anggraeni, 2007).

4. KARIES GIGI (DENTAL DECAY)


a.

Definisi
Dental decay atau karies merupakan suatu penyakit pada jaringan keras gigi, yaitu

email, dentin dan sementum yang disebabkan aktivitas jasad renik yang ada dalam suatu
karbohidrat yang diragikan. Proses karies ditandai dengan terjadinya demineralisasi pada
jaringan keras gigi, diikuti dengan kerusakan bahan organiknya (Noriyuki, 2008).

b. Gambar

Gambar 9.1. Penjalaran Caries Gigi

31

Gambar 9.2. Dental decay


c.

Etiologi
Karies gigi disebabkan oleh 4 faktor/komponen yang saling berinteraksi
yaitu:
1) Komponen dari gigi dan air ludah (saliva) yang meliputi: komposisi gigi,
morfologi gigi, posisi gigi, pH saliva, kuantitas saliva, kekentalan saliva.
2) Komponen mikroorganisme yang ada dalam mulut yang mampu menghasilkan
asam melalui peragian yaitu: Streptococcus, Lactobasillus.
3) Komponen makanan, yang sangat berperan adalah makanan yang mengandung
karbohidrat misalnya sukrosa dan glukosa yang dapat diragikan oleh bakteri
tertentu dan membentuk asam.
4) Komponen waktu: kemampuan saliva untuk meremineralisasi selama proses
karies, menandakan bahwa roses tersebut terdiri atas periode perusakan dan
perbaikan yang silih berganti, sehingga bila saliva berada dalam lingkungan
gigi, maka karies tidak akan menghancurkan gigi dalam hitungan hari atau
minggu, melainkan dalam hitungan bulan.
(Kidd, 1992).

d. Patogenesis
Enamel adalah jaringan keras yang kaya akan mineral. Karies dapat terjadi
pada enamel melalui proses kimiawi yaitu lingkungan asam yang diproduksi oleh
bakteri. Gula akan dicerna oleh bakteri dan energy yang dihasilkan akan dipakai
bakteri untuk memproduksi asam laktat. Asam laktat akan menyebabkan
demineralisasi kristal hidroksiapatit pembentuk enamel. Karies enamel yang tidak
ditangani dapat berkembang menjadi karies dentin (Tarigan, 2010).
Dentin terdiri dari saluran-saluran mikroskopis (tubula dentin) yang
menghubungkan pulpadengan enamel. Bentukan tubula dentin inilah yang
menyebabkan karies dentin berkembang lebih cepat. Ketika ada infeksi bakteri,
dentin menghasilkan immunoglobulin sebagai mekanisme pertahanan. Sementara itu
juga terjadi peningkatan mineralisasi di dentin.Kedua keadaan ini menyebabkan
konstriksi tubula dentin sehingga penyebaran bakteri terhalang. Bila demineralisasi
terus berlangsung, karies dapat berkembang ke profunda dan mencapai rongga pulpa
(Tarigan, 2010).
e.

Klasifikasi
32

Karies gigi bisa diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan kedalamannya.


1) Karies berdasarkan lokasi permukaan kunyah dapat dibagi :
a) Karies oklusal
b) Karies labial
c) Karies bukal
d) Karies palatal/lingual
e) Karies aproksimal
f) Karies kombinasi (mengenai semua permukaan)
2) Pembagian lain dari karies berdasarkan lokasi:
a) Karies yang ditemukan di permukaan halus
Ada tiga macam karies permukaan halus:
1. Karies proksimal adalah tipe yang paling sulit dideteksi; tidak dapat
dideteksi secara visual atau manual dengan sebuah explorer gigi;
memerlukan pemeriksaan radiografi.
2. Karies akar adalah tipe karies yang sering terjadi; terbentuk ketika
permukaan akar telah terbuka karena resesi gusi. Bila gusi sehat,
karies ini tidak akan berkembang karena tidak dapat terpapar oleh
plaque bakteri. Permukaan akar lebih rentan terkena proses
demineralisasi daripada enamel atau email karena sementumnya
demineralisasi pada pH 6.7, di mana lebih tinggi dari enamel. Gigi
geraham atas adalah lokasi tersering dari karies akar.
3. Karies celah atau fisura.
b) Karies berdasarkan kedalamannya
i)

Karies superficial, karies yang hanya mengenai email.

ii)

Karies media, mengenai email dan telah mencapai setengah dentin

iii)

Karies profunda, mengenai lebih dari setengah dentin dan bahkan


menembus pulpa.
(Tarigan, 2010).

f.

Diagnosis
1) Karies dini/karies email tanpa cavitas yaitu karies yang pertama terlihat secara
klinis, berupa bercak putih setempat pada email.
Anamnesis

: terdapat bintik putih pada gigi

Pemeriksaan Objektif : ekstra oral tidak ada kelainan


33

Intra oral

: kavitas (-) , lesi putih (+)

Terapi

: pembersihan gigi, diulas dengan flour edukasi pasien/


Dental Health Education

2) Karies dini/karies email dengan kavitas yaitu karies yang terjadi pada email
sebagai lanjutan dari karies dini.
Anamnesa

: gigi terasa ngilu

Pemeriksaan objektif

: ekstra oral tidak ada kelainan

Intra oral

: kavitas (+) baru mengenai email

Terapi

: dengan penambalan

3) Karies dengan dentin terbuka/dentin hipersensitif yaitu peningkatan sensitivitas


akibat terbukanya dentin.
Anamnesa

: - kadang-kadang terasa ngilu saat makan, minum air


dingin
- rasa ngilu hilang setelah rangsangan dihilangkan
- tidak ada rasa sakit spontan

Pemeriksaan objektif

: ekstra oral tidak ada kelainan

Intra oral

: kavitas mengenai email

Terapi

: dengan penambalan.
(Tarigan, 2010).

g.

Terapi
Penataksanaan karies gigi ditentukan oleh stadium saat karies terdeteksi:
1) Penambalan (filling) dilakukan untuk mencegah progresi karies lebih lanjut.
Penambalan biasa yang dilakukan pada karies yang ditemukan pada saat iritasi
atau hiperemia pulpa.
2) Perawatan saluran akar (PSA) atau root canal treatment dilakukan bila sudah
terjadi pulpitis atau karies sudah mencapai pulpa. Setelah dilakukan PSA, dibuat
restorasi.
3) Ektraksi gigi merupakan pilihan terakhir dalam penatalaksanaan karies gigi,
ekstraksi yang telah diekstraksi perlu diganti dengan pemasangan gigi palsu
(denture), implant atau jembatan (brigde).
(Tarigan, 2010).
Pencegahan karies gigi:

34

1) Menjaga kebersihan mulut (oral hygiene) dengan baik dengan menggosok gigi
dengan benar dan teratur, flossing, obat kumur (mouthwash), memeriksakan gigi
2 kali setahun.
2) Diet rendah karbohidrat
3) Fluoride melalui pasta gigi, mouthwash, suplemen, air minum, gel fluoride.
4) Penggunaan pit and fissure sealant (dental sealant).
5. PULPITIS
a.

Definisi
Pulpitis adalah peradangan pada pulpa gigi yang menimbulkan rasa nyeri.
Pulpa terdiri dari pembuluh darah dan jaringan saraf, sehingga peradangan pulpa akan

menimbulkan hiperemia / peningkatan aliran darah ke gigi (Medicastore, 2012).


b. Gambar

Gambar 10.1. Pulpitis


c.

Etiologi
Penyebab pulpitis dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Pembusukan gigi, trauma gigi, pengeboran gigi selama proses perawatan gigi.
2) Paparan cairan yang men-demineralisasi gigi, pemutih gigi, asam pada makanan
dan minuman.
3) Infeksi, baik yang menyerang ruang pulpa maupun infeksi yang berasal dari
abses gigi.
(Medicastore, 2012).

d. Klasifikasi
1) Pulpitis reversible adalah radang pulpa ringan sampai sedang akibat rangsang,
dapat sembuh bila penyebab pulpitis telah dihapus dan gigi diperbaiki. Obatobatan tertentu dapat digunakan selama prosedur restorative dalam upaya untuk
mempertahankan gigi tetap vital (hidup).
35

2) Pulpitis irreversibel dicirikan oleh kepekaan yang berkepanjangan terhadap


dingin atau panas. Radang pulpa yang ringan atau telah berlangsung lama
ditandai nyeri spontan/dirasakan terus menerus. Terjadi kerusakan saraf
sehingga membutuhkan perawatan saluran akar.
(Medicastore, 2012).
e.

Diagnosis dan Terapi


1) Pulpitis reversibel/hiperemi pulpitis/ pulpitis awal yaitu peradangan pulpa awal
sampai sedang akibat rangsangan.
a) Anamnesis:
i)

Biasanya nyeri bila minum panas, dingin, asam dan asin

ii)

Nyeri tajam singkat tidak spontan, tidak terus menerus

iii)

Rasa nyeri lama hilangnya setelah rangsangan dihilangkan

b) Pemeriksaan Objektif:
i)

Ekstra oral: tidak ada pembengkakan.

ii)

Intra oral: perkusi tidak sakit, karies mengenai dentin/karies profunda,


pulpa belum terbuka, sondase (+), chlor etil (+)

c) Terapi: dengan penambalan/pulp cafing dengan penambalan Ca(OH) 1


minggu untuk membentuk dentin sekunder.
2) Pulpitis irreversibel yaitu radang pulpa ringan yang baru dapat juga yang sudah
berlangsung lama. Pulpitis irreversibel terbagi :
a) Pulpitis irreversibel akut yaitu peradangan pulpa lama atau baru ditandai
dengan rasa nyeri akut yang hebat.
i)

Anamnesis: nyeri tajam spontan yang berlangsung terus-menerus


menjalar kebelakang telinga dan penderita tidak dapat menunjukkan
gigi yang sakit.

ii)

Pemeriksaan Objektif
-

Ekstra oral: tidak ada kelainan

Intra oral: kavitas terlihat dalam dan tertutup sisa makanan, pulpa
terbuka bisa juga tidak, sondase (+), Chlor ethil (+), perkusi bisa
(+) bisa (-).

iii)

Terapi: menghilangkan rasa sakit dan dengan Perawatan Saluran Akar


(PSA).

36

b) Pulpitis irreversibel kronis yaitu peradangan pulpa yang berlangsung lama.


i)

Anamnesis: gigi sebelumnya pernah sakit, rasa sakit dapat hilang


timbul secara spontan, nyeri tajam menyengat (bila ada rangsangan
seperti

panas,

dingin,

asam,

manis),

penderita

masih

bisa

menunjukkan gigi yang sakit.


ii)

Pemeriksaan Objektif
-

Ekstra oral: tidak ada pembengkakan

Intra oral: karies profunda (bisa mencapai pulpa bisa tidak),


sondase (+), perkusi (-)

c) Nekrosis pulpa adalah matinya pulpa, dapat sebagian atau seluruhnya,


tergantung pada seluruh atau sebagian yang terlibat.
i)

Anamnesis: nyeri spontan atau tidak ada keluhan nyeri tapi pernah
nyeri spontan, bau mulut, gigi berubah warna, lesi radiolusen yang
berukuran kecil hingga besar disekitar apeks dari salah satu atau
beberapa gigi, tergantung pada kelompok gigi.

ii)

iii)

Pemeriksaan Objektif:
-

Gigi berubah warna, menjadi abu-abu kehitam-hitaman

Sondase (-), Perkusi (-), dan Palpasi (-)

Terdapat lubang gigi yang dalam

Terapi : perawatan saluran akar dan restorasi. Bila apkes gigi lebar/
terbuka dilakukan perawatan apeksifikasi. Setelah preparasi selesai,
saluran akar diisi dengan Ca(OH)2 sampai 1-2 mm dari ujung akar
dan ditumpat tetap. Evaluasi secara berkala 3-6 bulan sampai terjadi
penutupan apeks (dengan menggunakan pemeriksaan radiografik).
(Medicastore, 2012).

6. PERIODONTITIS
a.

Definisi
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan penyangga gigi
yaitu yang melibatkan gingival, ligament periodontal, sementum, dan tulang
alveolar. Periodontitis dapat berkembang dari gingivitis (peradangan atau infeksi
pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi akan meluas dari gusi ke arah tulang di bawah
37

gigi sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih luas pada jaringan periodontal
(Orstavik, 2007).
b. Etiologi
Penyebab utama periodontitis adalah plak. Plak gigi adalah suatu lapisan lunak
yang terdiri atas kumpulan mikroorganisme yang berkembang biak dan melekat erat
pada permukaan gigi yang tidak dibersihkan. Selain plak gigi sebagai penyebab
utama periodontitis, ada beberapa faktor yang menjadi faktor resiko periodontitis.
Faktor ini bisa berada di dalam mulut atau lebih sebagai faktor sistemik terhadap
host. Secara umum faktor resiko penyakit periodontal adalah oral hygiene yang
buruk, penyaki sistemik, umur, jenis kelamin, taraf pendidikan dan penghasilan
(Orstavik, 2007).
Periodontitis dimulai dengan gingivitis. Gingivitis yang tidak dirawat akan
menyebabkan kerusakan tulang pendukung gigi atau disebut periodontitis. Sejalan
dengan waktu, bakteri dalam plak gigi akan menyebar dan berkembang kemudian
toksin yang dihasilkan bakteri akan mengiritasi gingiva sehingga merusak jaringan
pendukungnya. Gingiva menjadi tidak melekat lagi pada gigi dan membentuk saku
(poket periodontal) yang akan bertambah dalam sehingga makin banyak tulang dan
jaringan pendukung yang rusak.
Poket periodontal digolongkan dalam 2 tipe, didasarkan pada hubungan antara
epitelium junction dengan tulang alveolar.

Poket periodontal suprabony yaitu dasar poket merupakan bagian koronal


dari puncak tulang alveolar.

Poket periodontal infrabony yaitu dasar poket merupakan bagian apikal dari
puncak tulang alveolar (Orstavik, 2007).

38

Gambar 11.2. Perbedaan Gigi Sehat dan Periodontitis


c.

Diagnosis
Pasien bisa saja datang tidak dengan keluhan sakit gigi atau gejala lainnya,
namun melalui anamnesis dan pemeriksaan gigi, tanda-tanda periodontitis yang
perlu diperhatikan adalah:
1) Gusi berdarah saat menggosok gigi,
2) Gusi berwarna merah, bengkak dan lunak,
3) Terlihat adanya bagian gusi yang turun dan menjauhi gigi,
4) Terdapat nanah diantara gigi dan gusi,
5) Gigi goyang.
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan periodontal probing, yaitu teknik yang
digunakan untuk mengukur kedalaman pocket periodontal (kantong yang terbentuk
di antara gusi dan gigi). Kedalaman pocket ini dapat menjadi salah satu petunjuk
seberapa jauh kerusakan yang terjadi. Sebagai tambahan, pemeriksaan radiografik
(x-rays) juga perlu dilakukan untuk melihat tingkat keparahan kerusakan tulang
(Orstavik, 2007).

d. Terapi
Perawatan periodontitis dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:

Fase I : fase terapi inisial, merupakan fase dengan cara menghilangkan beberapa
faktor etiologi yang mungkin terjadi tanpa melakukan tindakan bedah
periodontal atau melakukan perawatan restoratif dan prostetik. Berikut ini
adalah beberapa prosedur yang dilakukan pada fase I :

1. Memberi pendidikan pada pasien tentang kontrol plak.


2. Scaling dan root planing

39

3. Perawatan karies dan lesi endodontik


4. Menghilangkan restorasi gigi yang over kontur dan over hanging
5. Penyesuaian oklusal (occlusal ajustment)
6. Splinting temporer pada gigi yang goyah
7. Perawatan ortodontik
8. Analisis diet dan evaluasinya
9. Reevaluasi status periodontal setelah perawatan tersebut di atas

Fase II : fase terapi korektif, termasuk koreksi terhadap deformitas anatomikal


seperti poket periodontal, kehilangan gigi dan disharmoni oklusi yang
berkembang sebagai suatu hasil dari penyakit sebelumnya dan menjadi faktor
predisposisi atau rekurensi dari penyakit periodontal. Berikut ini adalah
bebertapa prosedur yang dilakukun pada fase ini:
1. Bedah periodontal, untuk mengeliminasi poket dengan cara antara
lain: kuretase gingiva, gingivektomi, prosedur bedah flap periodontal,
rekonturing tulang (bedah tulang) dan prosedur regenerasi periodontal
(bone and tissue graft).
2. Penyesuaian oklusi
3. Pembuatan restorasi tetap dan alat prostetik yang ideal untuk gigi
yang hilang.

Fase III: fase terapi pemeliharaan, dilakukan untuk mencegah terjadinya


kekambuhan pada penyakit periodontal. Berikut ini adalah beberapa prosedur
yang dilakukan pada fase ini:
a) Riwayat medis dan riwayat gigi pasien.
b) Reevalusi kesehatan periodontal setiap 6 bulan dengan mencatat skor
plak, ada tidaknya inflamasi gingiva, kedalaman poket dan mobilitas
gigi.
c) Melakukan radiografi untuk mengetahui perkembangan periodontal
dan tulang alveolar tiap 3 atau 4 tahun sekali.
d) Scalling dan polishing tiap 6 bulan seksli, tergantung dari efektivitas
kontrol plak pasien dan pada kecenderungan pembentukan calculus.
40

e) Aplikasi tablet fluoride secara topikal untuk mencegah karies


(Orstavik, 2007)
7. GINGIVITIS
a.

Definisi
Gingivitis adalah sebuah inflamasi dari gusi yang disebabkan oleh akumulasi
plaque dan bakteri. Gingivitis adalah suatu kelainan berupa peradangan pada gusi.
Gingivitis adalah suatu bentuk dari penyakit periodontal. Penyakit periodontal
terjadi ketika inflamasi dan infeksi menghancurkan jaringan yang menghancurkan
gigi, termasuk gusi, ligamen periodontal, soket gigi (tulang alveolar). Gingivitis
disebabkan efek jangka panjang dari penumpukan plaque (RSMK, 2011).
Karakteristik ginggiva yang sehat adalah warnanya merah muda, bagian tepi
ginggiva tipis dan tidak bengkak, permukaan ginggiva tidak rata tapi stippled, sulkus
ginggiva tidak dalam (< 2 mm, jika lebih disebut poket), tidak ada eksudat, tidak
mudah berdarah, konsistensi kenyal. Sedangkan pada ginggivitis warnanya merah
keunguan, bagian tepinya bengkak, ada eksudat, mudah berdarah, konsistensinya
empuk/lunak (Salmiah, 2009).

b. Gambar

41

Gambar 12.1 Gingivitis


c.

Etiologi dan Patogenesis


Gingivitis dapat disebabkan beberapa hal, diantaranya kebersihan mulut yang
buruk dan penumpukan karang gigi (kalkulus/tartar).Sisa-sisa makanan yang tidak
dibersihkan secara seksama menjadi tempat pertumbuhan bakteri. Dengan
meningkatnya kandungan mineral dari air liur, plaque akan mengeras menjadi karang
gigi (kalkulus). Karang gigi dapat terletak di leher gigi dan terlihat oleh mata sebagai
garis kekuningan atau kecoklatan yang keras dan tidak dapat dihilangkan hanya
dengan menyikat gigi. Kalkulus juga dapat terbentuk di bagian dalam gusi (saku
gusi/poket). Kalkulus adalah tempat pertumbuhan yang baik bagi bakteri, dan dapat
menyebabkan radang gusi sehingga gusi mudah berdarah (Salmiah, 2009).

d. Gejala
1) Mulut kering
2) Pembengkakan pada gusi
3) Warna merah menyala atau merah ungu pada gusi
4) Gusi terlihat mengkilat
5) Perdarahan pada gusi
6) Gusi lunak pada saat di sentuk tapi tanpa rasa sakit.
(RSMK, 2011).
e.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Gusi yang meradang tampak merah, membengkak dan mudah berdarah
(Medicastore, 2012).

f.

Terapi
Kondisi yang menyebabkan dan memperburuk gingivitis harus diatasi. Plaque
dibersihkan dan kebersihan mulut diperbaiki. Pasien diedukasi untuk melakukan
sikat gigi minimal dua kali sehari, pada pagi hari setelah sarapan dan malam hari
sebelum tidur. Selain itu, flossing dilakukan sekali dalam sehari untuk
membersihkan plaque dan sisa makanan di celah gigi. Bila terdapat kalkulus, dapat
42

dilakukan pembersihan / skeling. Antibiotik diberikan bila ada indikasi. Penyakit


sistemik yang mendasari gingivitis juga harus diatasi. Penanganan gingivitis yang
sama berlaku pada ibu hamil. Pada pasien leukemia, perdarahan gusi dapat dikurangi
dengan menggunakan bantalan busa sebagai ganti sikat gigi (RSMK, 2011).
8. KANDIDIASIS MULUT
a. Definisi
Candidiasis mulut merupakan infeksi pada rongga mulut yang disebabkan
oleh pertumbuhan berlebihan dari jamur Candida terutama Candida albicans.
Candida merupakan organisme komensal normal yang banyak ditemukan dalam
rongga mulut dan membran mukosa vagina. Dalam rongga mulut, Candida albicans
dapat melekat pada mukosa labial, mukosa bukal, dorsum lidah, dan daerah palatum.
Candidiasis oral dapat menyerang semua usia baik usia muda, usia tua dan pada
penderita defisiensi imun seperti AIDS. Pada pasien HIV/AIDS, Candida albicans
ditemukan paling banyak yaitu sebesar 95% (Magdalena, 2009; Sufiawati dan
Rahmayanti, 2011).

b. Gambar

43

Gambar 13.1. Gambaran klinis bentuk primer candidosis oral: candidosis


pseudomembranous akut (kiri atas), candidosis eritematous kronik (kanan atas),
candidosis eritematous akut (kiri bawah) dan candidosis hiperplastik kronik (kanan
bawah).
c.

Etiologi
1) Faktor Lokal
a) Perubahan epitel pada barier mukosa oral seperti atrofi, hiperplasi atau
displasia
b) Kondisi saliva: penurunan kualitas dan kuantitas saliva (misal pada pasien
dengan DM, kemoterapi, dan radioterapi), perubahan pH saliva.
c) Penurunan sistem fagosit di pertahanan mukosa (misal pada pasien dengan
AIDS dan candidiasis mukokutaneus kronik
d) Morfogenesis mikroorganisme: bentuk hifa lebih invasif dan patogenik
terhadap host.
2) Faktor Sistemik
a) Individu yang imunokompromis: DM, HIV, leukemia, limfoma
b) Individu dengan gangguan nutrisi: defisiensi besi, defisiensi vitamin
3) Faktor Iatrogenik
a) Terapi antibiotik
b) Terapi kortikosteroid
44

c) Radioterapi dan kemoterapi


d) Merokok
(Scully, 2010).
d. Klasifikasi
1) Bentuk Primer Candidosis Oral
a. Candidosis Pseudomembranous akut
-

Keluhan pasien: rasa terbakar di mulut.

Pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis: plak mukosa yang putih,


difus, bergumpal atau seperti beludru, terdiri dari sel epitel deskuamasi,
fibrin, dan hifa jamur, dapat dihapus meninggalkan permukaan merah
dan kasar.

Dijumpai pada mukosa pipi, lidah, dan palatum lunak.

Diderita oleh pasien dengan sistem imun rendah, seperti HIV/AIDS,


pada pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid, dan menerima
kemoterapi.

b. Candidosis Eritematous akut


Bentuk candidosis eritematous akut ini sering terjadi pada
pemberian antibiotik spektrum luas, yang menyebabkan penurunan populasi
bakteri dalam mulut sehingga terjadi pertumbuhan berlebihan spesies
Candida. Jenis infeksi ini dapat terjadi pada mukosa buccal, namun paling
sering timbul sebagai lesi kemerahan di dorsum lidah dan juga
palatum.Candidosis eritematous akut adalah satu-satunya bentuk candidosis
oral yang menimbulkan nyeri terus-menerus.Resolusi spontan dapat terjadi
dengan menghentikan pemberian antibiotik spektrum luas.
c. Candidosis Eritematous kronik
Candidosis eritematous dapat terjadi secara kronik. Lesi termasuk
lesi atrofik yang sering dikaitkan dengan keilitis angular dan denture
stomatitis. Candidosis eritematous kronik sering terjadi pada individu
dengan HIV positif dan pasien AIDS.
d. Candidosis Hiperplastik kronik
Candidosis hiperplastik kronik (kadang disebut sebagai candidal
leukoplakia) dapat timbul pada semua permukaan mukosa mulut baik
sebagai lesi homogen atau lesi putih noduler. Tidak seperti lesi candidosis
pseudomembranous, lesi candidosis hiperplastik kronik tidak dapat
45

dihilangkan dengan kerokan halus. Lesi paling sering muncul bilateral pada
regio komisura mukosal buccal dengan prevalensi paling tinggi pada lakilaki setengah baya yang merokok. Hal yang penting diketahui dari bentuk
infeksi ini adalah hubungannya dengan perubahan ke arah keganasan.
Secara in vitro, sel ragi terbukti dapat menghasilkan nitrosamin
karsinogenik, N-nitrosobenzylmethylamine dari molekul prekursor.

2) Bentuk Sekunder
a. Keilitis Angular
Keilitis angular adalah kondisi di mana lesi timbul pada sudut mulut
dan secara mikrobiologis sampel lesi menunjukkan adanya C.albicans,
sering bersama dengan bakteri S.aureus.Peranan Candida pada bentuk ini
masih belum jelas, namun penting diperhatikan bahwa keilitis angular
sering terjadi pada pasien dengan candidosis oral di mana jumlah spesies
Candida meningkat.

Gambar 13.2 Angular Cheilitis

b. Median Rhomboid Glossitis


Median rhomboid glossitis merupakan kondisi kronik yang muncul
sebagai lesi berbentuk kristal di posterior midline dorsum lidah. Didapatkan
jumlah spesies Candida yang tinggi dari lesi tersebut. Kondisi ini sering
dikaitkan dengan individu yang sering menggunakan steroid inhaler atau
individu yang merokok.
(Williams, 2011)
e.

Diagnosis
Berdasarkan hasil anamnesa dapat diperoleh informasi mengenai keadaan
rongga mulut yang dialami pasien. Keluhan yang bisa terjadi pada candidiasis oral
seperti adanya rasa tidak nyaman, rasa terbakar, rasa sakit, dan pedih pada rongga
mulut. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan melihat gambaran klinis lesi yang
terdapat pada rongga mulut. Gambaran klinis candidiasis oral yang terlihat bisa
46

berbeda-beda sesuai dengan tipe candidiasis yang terjadi pada rongga mulut pasien.
Di samping itu, pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sitologi eksfoliatif,
kultur swab, uji saliva, dan biopsi sangat diperlukan dalam mendukung diagnosa
candidiasis oral (Sufiawati dan Rahmayanti, 2011).
f.

Terapi
Pengobatan farmakologis kandidiasis oral dikelompokkan dalam tiga kelas
agen antifungal yaitu: polyenes, azoles, dan echinocandins. Antifungal Polyenes
mencakup Amphotericin B dan Nystatin. Amphotericin B dihasilkan oleh
Streptomyces nodosus dan memiliki aktivitas antijamur yang luas. Di samping
keuntungannya, antifungal ini dapat menimbulkan efek nefrotoksik. Obat antifungal
lain yang sekarang banyak digunakan adalah Nystatin. Azoles dibagi dalam dua
kelompok yaitu imidazoles dan triazoles. Azoles akan menghambat ergosterol yang
merupakan unsur utama sel membran jamur sedangkan Caspofungin termasuk
golongan antifungal echinocandins yang digunakan untuk pengobatan terhadap
infeksi jamur Kandida dan spesies aspergillus (Andryani, 2010).
Obat anti jamur dapat diberikan secara topikal maupun sistemik, dengan
syarat pemakaiannya harus sesuai dengan tipe kandidiasis yang akan dirawat. Obat obat anti jamur yang dapat diberikan secara topikal berupa: clotrimazole lozenge,
nystatin pastiles, dan nystatin suspensi oral, sedangkan obat anti jamur yang dapat
dibenkan secara sistemik yaitu: ketoconazole tablet, itraconazole tablet, fluconazole
tablet. Hal yang sangat penting dilakukan oleh pasien adalah menjaga kebersihan
rongga mulut, sehingga kandida albikans yang merupakan mikroorganisme
komensal dan flora normal di rongga mulut tidak berubah menjadi agen infeksius
opportunistik penyebab kandidiasis oral. Pasien juga harus menghindari faktorfaktor predisposisi yang dapat menimbulkan kandidiasis (Andryani, 2010).

9. MOUTH ULCER
a. Definisi
Mouth ulcer adalah menghilangnya atau adanya erosi pada bagian membran
mukosa rongga mulut (pipi atau bibir sebelah dalam, lidah dan bawah lidah, gusi,
47

langit-langit). Gambaran sariawan itu sendiri berupa suatu luka yang terdapat pada
selaput lendir atau mukosa rongga mulut (pipi atau bibir sebelah dalam, lidah dan
bawah lidah, gusi, langit-langit) yang terkadang dapat dilapisi dengan suatu lapisan
putih (Scully, 2003).
Terdapat 3 jenis mouth ulcer: minor, mayor, dan herpetiform. Tipe minor itu
adalah yang sering kita jumpa sehari-hari, bisa satu atau multiple berukuran kurang
dari 1cm dan luka tidak terlalu dalam. Tipe mayor luka lebih besar dan lebih dalam
(biasanya pada keganasan, kasus gizi buruk). Bentuk herpetiform berupa
gelembung-gelembung bergerombol seperti buah anggur (biasanya pada infeksi
herpes simplek virus) (Scully, 2003).
b. Gambar

C
Gambar 14.1 A = Minor ulcer, B = Major ulcer, C = Herpetiform Ulcer.
c.

Etiologi
1) Trauma
a. Minor physical injuries
Trauma yang terjadi pada mulut merupakan penyebab yang umum
terjadinya mouth ulcer. Cedera - seperti bergesekan dengan gigi palsu atau
kawat gigi, tergores dari sikat gigi yang keras,begesekan dengan gigi yang
tajam, dan lain-lain.
48

b. Chemical injuries
Bahan-bahan kimia seperti aspirin dan alkohol dapat menyebabkan mukosa
oral menjadi nekrosis yang akan menyebabkan terjadinya ulcer. Selain .
Sodium lauryl sulfate (SLS), adalah bahan utama yang terdapat pada
kebanyakan pasta gigi, juga meningkatkan insiden terjadinya mouth ulcer.
2) Infeksi
a. Viral
Yang paling umum adalah Herpes simplex virus yang menyebabkan
herpetiform ulcerations yang berulang.
b. Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya mouth ulcer antara lain adalah
Mycobacterium tuberculosis (TBC) dan Treponema pallidum (sifilis).
c. Jamur
Coccidioides

immitis

(demam

lembah),

Cryptococcus

neoformans

(kriptokokosis), Blastomyces dermatitidis ("Amerika Utara Blastomycosis")


diduga menyebabkan terjadinya mouth ulcer.
d. Protozoa
Entamoeba histolytica, suatu parasit protozoa ini terkadang menyebabkan
mouth ulcer.
3) Sistem Imun
Peneliti menenukan bahwa mouth ulcer merupakan produk akhir dari suatu
penyakit yang diperantarai oleh sistem imun.
a. Imunodeficiency
Adanya mouth ulcer yang terjadi secara berulang merupakan indikasi
adanya immunodeficiency. Kemoterapi, HIV, dan mononukleosis adalah
semua penyebab immunodeficiency pada mouth ulcer yang menjadi
manifestasi umum.
b. Autoimun
Autoimmunity juga merupakan penyebab mouth ulcer. Pemphigoid
Membran mukosa, reaksi autoimmune epitel membran basal, menyebabkan
desquamation / ulserasi dari mukosa oral.
c. Alergi
4) Diet
49

Defisiensi dari vitamin B12, zat besi dan asam folat diduga merupakan
penyebab terjadinya mouth ulcer.
5) Kanker pada mulut.
(Scully, 2003).
d. Gejala
Mouth ulcer biasanya didahului oleh adanya sensasi terbakar. Kemudian
setelah beberapa hari membentuk sebuah titik merah atau benjolan, diikuti oleh luka
terbuka. Mouth ulcer muncul dengan lingkaran atau oval yang berwarna putih atau
kuning dengan tepi merah meradang. Ulkus yang terbentuk sering sekali sangat
perih terutama pada saat berkumur atau menyikat gigi, atau juga ketika ulkus
teriritasi dengan salty, spicy atau sour foods. Selain itu juga bisa ditemukan adanya
pembesaran dari kelenjar getah bening pada submandibula. Berkurangnya nafsu
makan biasa ditemukan pada mouth ulcer (Scully, 2003).
e. Diagnosis
Penting untuk menetapkan penyebab ulkus mulut. Beberapa penyelidikan
meliputi:
1) Pemeriksaan fisik - tergantung pada berat ringannya penyakit tersebut. Sebagai
contoh, jika luka besar dan kuning, itu kemungkinan besar disebabkan oleh
trauma. Cold sores di dalam mulut cenderung sangat banyak dan tersebar di
sekitar gusi, lidah, tenggorokan dan bagian dalam pipi. Demam menandakan
lika dapat disebabkan oleh infeksi herpes simpleks.
2) Darah rutin - untuk memeriksa tanda-tanda infeksi.
3) Biopsi kulit - jaringan dari ulkus diambil dan diperiksa di laboratorium.
(Scully, 2003).
f. Klasifikasi
Klasifikasi lesi ulkus di mukosa mulut:
1. Lesi Multipel Akut
a. Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis (ANUG)

50

b. Eritema Multiformis

c. Stomatitis Alergika

d. Stomatitis Viral Akut


1) Infeksi virus herpes simpleks primer

2) Infeksi virus coxsackie

51

3) Infeksi virus varicella zoster

e. Ulkus oral karena kemoterapi kanker


2. Ulkus Oral Rekuren
a. Recurrent Aphtous Stomatitis (RAS)
1) Aphtae minor berdiameter kurang dari 1 cm dan sembuh tanpa
disertai pembentukan jaringan parut.
2) Aphtae mayor berdiameter lebih dari 1 cm dan membentuk jaringan
parut jika sembuh.
3) Ulkus herpetik formis bermanifestasi sebagai suatu kumpulan ulkus
kecil rekuren yang banyak yang timbul di seluruh mulut.

b. Sindrom Behcets

52

c. Infeksi virus herpes simpleks rekuren


3. Lesi Multipel Kronik
a. Pemphigus Vulgaris

b. Pemphigus Vegetan

c. Pemphigoid Bulosa

d. Pemphigoid Sikatrik
e. Lichen Planus Bulosa Erosif

53

4. Ulkus Tunggal
a. Histoplamosis

b. Blastomikosis

c. Mucormikosis

d. Infeksi virus herpes simplex kronis

(Scully, Gorsky, dan Lozada, 2003).


54

g. Terapi
Pada kebanyakn kasus, mouth ulcer dapat sembuh dengan sendirinya pada
beberapa hari. Namun ada beberapa cara yang sederhana untuk mengurangi rasa
sakit dan kesulitan makan:
1) Hindari makanan pedas, asam, keras, atau terlalu panas
2) Hindari minuman soda atau air jeruk
3) Pakai sedotan waktu minum
4) Berkumur dengan air garam
5) Ada yang menganggap bahwa madu dapat mengurangi rasa sakit
6) Mengganti pasta gigi dengan pasta gigi yang tidak mengandung natrium lauryl
sulfat (SLS).
(Scully, 2003).
Obat kumur chlorhexidine dapat mengurangi rasa sakit. Mungkin juga
membantu luka untuk sembuh lebih cepat. Hal ini juga membantu untuk mencegah
luka menjadi terinfeksi. Obat kumur chlorhexidine biasanya digunakan dua kali
sehari (Scully, 2003).
g. Pencegahan
Cara untuk mengurangi kemungkinan mouth ulcer meliputi:
1) Menyikat gigi setidaknya dua kali setiap hari.
2) Floss secara teratur.
3) Mengunjungi dokter gigi secara teratur.
4) Sikat gigi dengan lembut
5) Makan makanan yang bergizi yang sehat dan seimbang
6) Pastikan bahwa kondisi-kondisi yang mendasari, seperti diabetes melitus dan
penyakit inflamasi usus, dikelola dengan tepat.
(Scully, 2003).
h. Komplikasi
Jika mouth ulcer tidak diobati atau dibiarkan maka akan dapat menyebabkan
beberapa komplikasi yaitu :
1) Infeksi bakteri
2) Inflamasi pada mulut
3) Tooth absess
(Scully, 2003).

55

15. GLOSSITIS
a. Definisi
Glossitis adalah peradangan atau infeksi pada lidah. Hal ini menyebabkan
lidah membengkak dan perubahan warna (Zieve dan Juhn, 2009).
b. Gambar

Gambar 15.1. Glossitis


c. Etiologi
Glossitis secara umum dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1) Infeksi
Bakteri dan infeksi virus adalah penyebab umum menularnya glossitis. Hal ini
sering dikaitkan dengan temuan lain seperti luka mulut (lepuh, borok), nyeri dan
kadang-kadang demam. Infeksi jamur lidah kurang umum dan lebih sering
terlihat pada pasien immunocompromised (HIV, diabetes mellitus tidak
terkontrol).
2) Trauma
Trauma adalah penyebab umum glossitis dan biasanya akut dengan etiologi
jelas. Faktor mekanis atau kimia yang mengiritasi/melukai lidah:
a) Burns
b) Makanan, minuman dan suplemen - rempah-rempah, asam, pewarna buatan
terkonsentrasi dan flavorants, vitamin kunyah
c) Produk perawatan gigi (kebersihan oral) - formulasi terkonsentrasi atau
beracun
d) Merokok - tembakau, obat-obatan narkotika
e) Tembakau dan daun sirih / mengunyah pinang
f) Alkohol - menyebabkan trauma kimia dan menyebabkan kekurangan
vitamin (glossitis atrofi)

56

g) Bergerigi gigi dan peralatan gigi kurang pas/ prostetik seperti jembatan,
implan, gigi palsu dan pengikut - cenderung menyebabkan borok pada sisi
lidah (aspek lateral)
h) Tindik lidah (buruk dilakukan), terutama bila terinfeksi
3) Alergi
Banyak faktor yang sama bertanggung jawab atas trauma lidah juga dapat
menyebabkan alergi glossitis. Ini lebih cenderung terjadi pada individu
hipersensitif.
4) Kekurangan Vitamin dan Mineral
Merupakan penyebab umum dari glossitis atrofi. Penipisan lapisan mukosa lidah
dan atrofi papila eksposur pembuluh darah yang mendasari menyebabkan
kemerahan lidah. Vitamin dan mineral tersebut meliputi:
a) Vitamin B12 - anemia pernisiosa
b) Riboflavin (vitamin B2)
c) Niacin (vitamin B3) - pellagra
d) Pyridoxine (vitamin B6)
e) Asam folat (vitamin B9)
f) Besi - anemia kekurangan zat besi
g) Kekurangan vitamin C.
5) Penyakit kulit
Banyak dari penyakit kulit juga melibatkan selaput lendir mulut, termasuk
lapisan mukosa lidah.
(Zieve dan Juhn, 2009).
d. Diagnosis
Pemeriksaan oleh dokter gigi atau penyedia layanan kesehatan menunjukkan
lidah bengkak (atau patch pembengkakan). Para nodul pada permukaan lidah
(papila) mungkin tidak ada. Tes darah bisa mengkonfirmasi sistemik penyebab
gangguan tersebut (Zieve dan Juhn, 2009).
e. Terapi
Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi peradangan. Perawatan
biasanya tidak memerlukan rawat inap kecuali lidah bengkak sangat parah. Baik
kebersihan mulut perlu, termasuk menyikat gigi menyeluruh setidaknya dua kali
sehari, dan flossing sedikitnya setiap hari (Zieve dan Juhn, 2009).

57

Kortikosteroid seperti prednison dapat diberikan untuk mengurangi


peradangan glossitis. Untuk kasus ringan, aplikasi topikal (seperti berkumur
prednison yang tidak ditelan) mungkin disarankan untuk menghindari efek samping
dari kortikosteroid ditelan atau disuntikkan (Zieve dan Juhn, 2009).
Antibiotik, obat antijamur, atau antimikroba lainnya mungkin diresepkan jika
penyebab glossitis adalah infeksi. Anemia dan kekurangan gizi harus diperlakukan,
sering dengan perubahan pola makan atau suplemen lainnya. Hindari iritasi (seperti
makanan panas atau pedas, alkohol, dan tembakau) untuk meminimalkan
ketidaknyamanan (Zieve dan Juhn, 2009).

58

BAB III
KEGANASAN
1. NONCANCEROUS GROWTH
a.

Definisi
Terdapat banyak tipe pertumbuhan non-kanker pada rongga mulut, dan dapat
terjadi pada semua orang di semua umur. Pertumbuhan massa dapat berasal dari kista
yang berisi cairan, pertumbuhan tulang yang berlebihan, atau jaringan yang fibrosis
(De Pietro, 2010).

b. Gambar

C
Gambar 16.1. A = Torus Palatinus, B = Papiloma, C = Epulis Fibromatosa
c.

Etiologi
Noncancerous growth di rongga mulut dapat disebabkan oleh berbagai faktor.
Misalnya peningkatan pertumbuhan C.albicans yang menyebabkan candidiasis oral,
menyebabkan suatu growth yang disebut trush. Sariawan sering disebabkan oleh
trauma di area mulut. Fibroma dan mukokel sering disebabkan bibir atau bukal yang
59

tidak sengaja tergigit. Jenis lain seperti torus palatinus tidak diketahui penyebabnya
(De Pietro, 2010).
d. Macam-macam Noncancerous Growth
Massa rongga mulut yang biasa terjadi termasuk di dalamnya adalah sariawan.
Tipe lain dari massa pada rongga mulut termasuk papiloma, lipoma, dan fibroma.
Mukokel, torus palatinus dan kandidiasis yang juga disebut sebagai oral trush, juga
merupakan tipe lain dari massa non kanker di rongga mulut (De Pietro, 2010).
2. LEUKOPLAKIA
a. Definisi
Leukoplakia adalah lesi putih keratosis berupa bercak atau plak pada mukosa
mulut yang tidak dapat diangkat dari mukosa mulut secara usapan atau kikisan
(Rangkuti, 2007).
b. Gambar

Gambar 17.1 Leukoplakia


c. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dari leukoplakia digolongkan menjadi 2, yaitu faktor lokal dan faktor
sistemik.
1) Faktor lokal terdiri dari tembakau, alkohol, iritasi mekanis dan kemis, reaksi
elektrogalvanik dan kandidiasis. Penggunaan rokok merupakan faktor risiko
utama penyebab leukoplakia, karena unsur resin dan tar di dalamnya mudah
mengiritasi mukosa.
2) Faktor sistemik terdiri dari defisiensi vitamin A, vitamin B kompleks, sifilis
tertier dan anemia siderofenik. Keadaan ini disertai dengan glossitis atrofik
sehingga pasien-pasien ini mudah sekali terkena leukoplakia dan karsinoma
mulut.
Perubahan patologis mukosa mulut menjadi leukoplakia terdiri dari dua
tahap.Yaitu tahap praleukoplakia dan tahap leukoplakia.Pada tahap praleukoplakia
60

mulai terbentuk warna plaque abu-abu tipis, bening, translusen, permukaannya halus
dengan konsistensi lunak dan datar. Tahap leukoplakia ditandai dengan pelebaran lesi
ke arah lateral dan membentuk keratin yang tebal sehingga warna menjadi lebih putih,
berfisura dan permukaan kasar sehingga mudah membedakannya dengan mukosa
sekitarnya.
(Patterson, 2004).
d. Klasifikasi
Berdasarkan bentuk klinisnya Bucket dalam Patterson (2004) menggolongkan
leukoplakia dalam 3 jenis:
1) Homogenous leukoplakia (leukoplakia kompleks)
Suatu lesi setempat atau bercak putih yang luas, memperlihatkan suatu pola
yang relatif konsisten, permukaan lesi berombak-ombak dengan pola garis-garis
halus, keriput atau papilomatous.
2) Nodular leukoplakia (bintik-bintik)
Suatu lesi campuran merah dan putih, dimana nodul-nodul keratotik yang kecil
tersebar pada bercak-bercak atrofik (eritroplaqueik) dari mukosa.Dua pertiga
dari kasus menunjukkan tanda-tanda displasia epitel atau karsinoma pada
pemeriksaan histopatologik.
3) Verrucous leukoplakia
Lesi putih di mulut, dimana permukaannya terpecah oleh banyak tonjolan
seperti papila yang berkeratinisasi tebal, serta menghasilkan suatu lesi pada
dorsum lidah.

e. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan
klinis rutin yang teliti (bentuk morfologi lesi, warna, predileksi tempat dan
perubahan-perubahan serta perbedaan-perbedaan dengan jaringan sekitar) dan yang
terakhir dengan pemeriksaan biopsi.
a. Anamnesis
Anamnesis meliputi usia, jenis kelamin, pekerjaan, kesehatan umum, kebiasaan
sehari-hari misalnya merokok, minum alkohol, mengunyah sirih dan menyuntil
tembakau. Dahulu, penderita leukoplakia didominasi oleh usia lanjut akibat
penurunan daya tahan tubuh. Namun sekarang lebih didominasi oleh usia muda
61

akibat konsumsi rokok. Frekuensi penderita pria dan wanita adalah seimbang
karena sudah banyak wanita yang merokok.
b. Gambaran Klinis
Pada keadaan awal, lesi tidak terasa pada perabaan, agak bening dan putih
keruh. Selanjutnya plaque meninggi dengan tipe yang berkembang tidak teratur.
Lesi berwarna putih kabur. Kemudian lesi menjadi tebal, berwarna putih,
menunjukkan anya pengerasan, membentuk fisura-fisura dan terakhir adalah
pembentukan ulser.Gambaran klinis leukoplakia bentuk homogen (kecuali yang
didasar mulut) cenderung mempunyai risiko displasia rendah, namun nodular,
speckled dan erosiva mempunyai risiko tinggi, khususnya jika mempunyai
displasia berat. Bentuk-bentuk lesi leukoplakia yang kemudian berubah menjadi
ganas adalah bentuk verukosa dan bentuk nodular.
c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan morfologi sel atau jaringan pada sediaan mikroskop dengan
pewarnaan rutin Hematoksilin-Eosin (HE).
d. Pemeriksaan sitologik eksfoliatif
Digunakan untuk menegakkan diagnosis keganasan. Pemeriksaan sitologik
eksfoliatif memiliki kelebihan yaitu dapat mendeteksi keadaan keganasan sedini
mungkin dan merupakan kontrol pada false negatif biopsi serta menghindari
biopsi yang tidak perlu. Faktor yang mempengaruhi ketepatan pemeriksaan
adalah lokasi dan jenis lesi, ketebalan lapisan keratin atau keadaan
hiperkeratotik akan menyebabkan sel-sel yang mengalami diskeratosis sulit
untuk ikut teridentifikasi karena tersembunyi.
(Amin, 2010).
f. Terapi
Perawatan dan pencegahan yang paling pas adalah mengurangi atau
menjauhi faktor-faktor penyebabnya, seperti berhenti merokok atau konsumsi
alkohol. Ketika ini cara itu sudah ditempuh dan tidak efektif atau menunjukkan
tanda-tanda awal kanker, kemungkinan untuk menyembuhkannya dengan operasi
atau laser untuk menghancurkan sel-sel kanker (Amin, 2010; Medineplus, 2012).
3. ORAL SQUAMOUS CELL CARCINOMA
a. Definisi
62

Oral squamous cell carcinoma adalah suatu neoplasma malignant yang timbul
dari jaringan epitel mukosa lidah dengan selnya berbentuk squamous cell carcinoma
(sel epitel gepeng berlapis) dan terjadi akibat rangsangan menahun, juga beberapa
penyakit-penyakit tertentu (premalignant) seperti syphilis dan plumer vision
syndrome, leukoplasia, reytoplasia. Kanker ganas ini dapat menginfiltrasi ke daerah
sekitarnya, di samping itu dapat melakukan metastase secara limfogen dan hematogen
(Sararock, 2010).
b. Gambar

Gambar 18.1. Oral Squamous Cell Carcinoma


c. Etiologi
Faktor etiologi yang dapat memicu berkembangnya kanker mulut antara lain
sebagai berikut:
1) Tembakau
Tembakau mengandung zat-zat karsinogenik seperti nikotin, yang salah satunya
merupakan zat adiktif paling kuat di samping polisiklik aromatik hidrokarbon,
nitrosodietanolamin, nitrosoprolin dan polonium.
2) Alkohol
Identifikasi alkohol saja sebagai faktor karsinogenik tunggal sangat sulit
dibuktikan karena kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol
keduanya ada pada sebagian besar penderita kanker rongga mulut.Alkohol dan
tembakau memberikan efek sinergis yang menyebabkan perubahan displastik
pada mukosa..
3) Faktor pendukung lain

63

Faktor pendukung lain yang dimaksudkan di sini antara lain adalah faktor
penyakit kronis, faktor gigi dan mulut, defisiensi nutrisi, jamur, virus, dan faktor
lingkungan.
a) Penyakit kronis
Penyakit kronis dapat menjadi faktor predisposisi bagi timbulnya
keganasan. Penyakit tersebut antara lain sifilis dan liken planus.
b) Faktor gigi dan mulut
Tingkat oral hygiene yang rendah, restorasi yang tidak tepat, tepi gigi geligi
yang tajam, gesekan gigi tiruan yang longgar, bersama faktor-faktor lain
diperkirakan sebagai salah satu faktor penyebab berkembangnya keganasan
dalam rongga mulut. Jika etiologi kanker dimulai oleh sebab lain, faktorfaktor ini dapat memperhebat proses yang sudah terjadi.
c) Defisiensi nutrisi
Defisiensi

riboflavin

menyebabkan

perubahan

displastik

mukosa

oral.Sebagian dijelaskan hubungannya dengan alkohol yang menyebabkan


defisiensi riboflavin dan kanker rongga mulut. Anemia defisiensi besi
dengan sindroma Plummer-Vinson, yang paling sering diamati pada wanita,
juga dapat menyebabkan displasia mukosa oral dan faring. Perubahanperubahan tersebut menyebabkan insidensi kanker mulut dan orofaring
pada kelompok ini meningkat.
d) Jamur
Organisme oportunistik ini dalam rongga mulut mempengaruhi patogenesis
dari kanker mulut.Penelitian telah membuktikan bahwa terdapat metaplasia
sel skuamosa dan kecenderungan proliferatif epitel dari embrio anak ayam
yang terinfeksi oleh C.albicans.
e) Virus
Virus dipercaya dapat menginduksi kanker dengan mengubah struktur DNA
dan kromosom yang diinfeksi.Virus Herpes simplex tipe 1 (HSV-1) dan
Human

Immunodeficiency

Virus

(HIV)

memgang

peranan

dalam

patogenesis karsinoma sel skuamosa.


f) Faktor lingkungan
64

Faktor lingkungan seperti sengatan sinar matahari, karsinogen alami,


ataupun polusi pabrik mempengaruhi insiden kanker mulut dan
menyebabkan adanya variasi dalam distribusi kanker di dalam rongga mulut
(Syafriza, 2000).
d. Gejala
Gejala-gejala kanker lidah adalah biasanya terdapat luka (ulkus) seperti
sariawan yang tidak sembuh dengan pengobatan yang adekuat, mudah berdarah,
nyeri local, nyeri yang menjalar ke telinga, nyeri menelan, sulit menelan, dan
pergerakan lidah menjadi sangat terbatas. Pada stadium dini, kanker lidah tidak
menimbulkan nyeri dan biasanya ditemukan pada pemeriksaan rutin gigi. Kanker
biasanya tumbuh di bagian pinggir lidah. Hampir tidak pernah di pangkal lidah
kecuali pada seseorang yang pernah menderita sifilis yang tidak diobati selama
beberapa tahun. Karsinoma sel skuamosa pada lidah seringkali tampak seperti luka
terbuka (borok) dan cenderung tumbuh ke dalam jaringan di bawahnya (Sararock,
2010).
e. Diagnosis
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:
1) Pemeriksaan klinis
a) Anamnesis
b) Pemeriksaan fisik
i) Status general
ii) Status lokalis
Dengan cara : inspeksi dan palpasi bimanual
Kelainan dalam rongga mulut diperiksa dengan cara inspeksi
dan palpasi dengan bantuan spatel lidah dan penerangan dengan
menggunakan lampu senter atau lampu kepala. Seluruh rongga mulut
dilihat mulai dari bibir sampai orofaring posterior. Perabaan lesi
rongga mulut dilakukan dengan memasukkan 1-2 jari ke salam
rongga mulut. Untuk menentukan dalamnya lesi dilakukan dengan
perabaan bimanuil. Satu- dua jari tangan kanan atau kiri dimasukkan
ke dalam rongga mulut dan jari-jari tangan lainnyameraba lesi ari luar
mulut.
Untuk dapat inspeksi lidah dan orofaring maka ujung lidah
yang telah diberi kasa 2x2 inch dipegang dengan tangan kiri
65

pemeriksa dan ditarik keluar rongga mulut dan diarahkan kekanan


dan kekiri untuk melihat permukaandorsal, vemtral, dan lateral lidah,
dasar mulut, dan orofaring. Inspeksi bisa lebih baik lagi jira
menggunakan cermin pemeriksa. Tentukan lokasi tumor primer,
bagaimana bentuknya, berapa besar dalam sentimeter, berapa luas
infiltrasinya, bagaimana operabelitasnya.
iii) Status regional
Palpasi apakah terdapat pembesaran kelenjar getah bening
leheripsilateral atau contra latera. Bila ada pembesaran tentukan
lokasinya, jumlahnya, ukurannya, dan mobilitassnya
2) Pemeriksaan radiografi yaitu rontgen foto polos
3) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti: darah, urine, SGOT/SGPT, alkali
fosfatase, BUN/kreatinin, albumin, globulin, serum elektrolit, faal hemostasis,
untuk menilai keadaan umum dan persiapan operasi.
4) Pemeriksaan patologi
Semua penderita kanker rongga mulut atau diduga sebagai kanker rongga
mulut harus diperiksa patologis dengan teliti.
(Syafriza, 2000).
f. Terapi
Terapi Squamous Cell Carcinoma tergantung stadium, pada stadium satu
dimana belum ada keterlibatan kelenjar getah bening dilakukan eksisi jaringan tumor
dan jaringan sehat di sekelilingnya, bila perlu di lakukan neck disection yaitu
pengangkatan kelenjar betah bening leher untuk mencegah metastase labih jauh.
Radioterapi dan Kemoterapi di berikan pada stadium lebih tinggi (Evy, 2007).

BAB IV
66

SISTEM KEKEBALAN RONGGA MULUT


1. XEROSTOMIA
a. Definisi
Xerostomia yang berarti mulut kering berasal dari kata xeros yang berarti
kering dan stoma yang berarti mulut. Keadaan berkurangnya produksi saliva dan
mengakibatkan mulut kering inilah yang dimaksud dengan xerostomia (Philip, 2008;
Ronald, 1996).
b. Gambar

Gambar 19.1. Xerostomia


c. Etiologi
Xerostomia dapat timbul karena faktor fisiologis maupun faktor patologis.
Faktor fisiologis yang menimbulkan xerostomia seperti usia, hormon, dan puasa.
Faktor patologis mengurangi produksi saliva karena keadaan tertentu pada pasien,
seperti adanya penyakit sistemik, defisiensi gizi, gangguan emosional dan
psikologis, gangguan sistem saraf, penggunaan obat-obatan, gangguan kelenjar
ludah, penyinaran pada daerah kepala-leher, juga gangguan penggunaan air dan
elektrolit (Philip, 2008; Ronald, 1996).
d. Patofisiologi
Sensasi mulut kering seperti halnya yang dirasakan pada saat stress yang akut
yang disebabkan adanya perubahan komposisi saliva pada saat ini stimulasi saraf
simpatis lebih dominan selama periode ini. Selain itu gejala mulut kering ini juga
disebabkan oleh dehidrasi mukosa rongga mulut dimana output kelenjar saliva minor
dan mayor menurun serta lapisan saliva yang melapisi mukosa oral berkurang
(Lukisari, 2010).
e. Diagnosis
1) Anamnesis
67

Pasien xerostomia sering mengeluhkan adanya rasa tidak enak pada mulut,
halitosis (bau mulut), sakit pada lidah, sulit berbicara, sulit untuk memakai
gigi tiruan, sulit mengunyah, sulit menelan, dan hilang pengecapan.
2) Gejala dan tanda klinis
Produksi saliva yang berkurang dapat menimbulkan gejala-gejala klinis,
seperti: kering dan pecah-pecah pada lidah dan bibir, pipi kering, lidah
berlapis, gingivitis, candidiasis dan merah pada mukosa bibis, lidah dan pipi,
adanya karies.
3) Pemeriksaan tambahan
Kondisi mulut pasien juga dapat dinilai dengan menggunakan kaca mulut yang
ditempelkan ke pipi pasien, jika kaca menempel dapat dipastikan pasien
menderita xerostomia. Saliva yang kental yang menempel pada kaca mulut
jika ditarik juga menandakan keadaan xerostomia pada pasien.
(Philip, 2008; Ronald, 1996).
f. Terapi
Pada penderita xerostomia dicari penyebab utama terjadi nya xerostomia.
Terapi utama adalah dengan mengendalikan faktor penyebab seperti obat-obatan,
gangguan sekresi saliva, dan gangguan organ terkait. Selain itu juga dapat diberikan
obat perangsang saliva (Lukisari, 2010).
2. ANGINA LUDWIG
a. Definisi
Angina Ludwig merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat
(selulitis) pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup
penyakit infeksi odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti
gigi, lidah, gusi, tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina
Ludwig dari infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta
kedua ruang submandibularis (sublingualis dan submaksilaris) pada kedua sisi
(bilateral).
b. Etiologi
Dilaporkan sekitar 90% kasus angina Ludwig disebabkan oleh odontogen baik
melalui infeksi dental primer, postekstraksi gigi maupun oral hygiene yang kurang.
Selain itu, 95% kasus angina Ludwig melibatkan ruang submandibular bilateral dan
68

gangguan jalan nafas merupakan komplikasi paling berbahaya yang seringkali


merenggut nyawa. Rute infeksi pada kebanyakan kasus ialah dari terinfeksinya molar
ketiga rahang bawah atau dari perikoronitis, yang merupakan infeksi dari gusi sekitar
gigi molar ketiga yang erupsi sebagian. Hal ini mengakibatkan pentingnya
mendapatkan konsultasi gigi untuk molar bawah ketiga pada tanda pertama sakit,
perdarahan dari gusi, kepekaan terhadap panas/dingin atau adanya bengkak di sudut
rahang.
Selain gigi molar ketiga, gigi molar kedua bawah juga menjadi penyebab
odontogenik dari angina Ludwig. Gigi-gigi ini mempunyai akar yang terletak pada
tingkat m. myohyloid, dan abses seperti perimandibular abses akan menyebar ke ruang
submandibular. Di samping itu, perawatan gigi terakhir juga dapat menyebabkan
angina Ludwig, antara lain: penyebaran organisme dari gangren pulpa ke jaringan
periapikal saat dilakukan terapi endodontik, serta inokulasi Streptococcus yang
berasal dari mulut dan tenggorokan ke lidah dan jaringan submandibular oleh
manipulasi instrumen saat perawatan gigi.

Gmbar 20.1 Proses penyebaran ke bagian superior dan posterior yang


mendorong lantai dasar mulut dan lidah. Pada penyebaran secara anterior,
batas os hyoid meluas ke arah inferior dan menyebabkan gambaran bull
neck.

c. Manifestasi Klinis

69

Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras
seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang
submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema
pada organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakkan, nyeri dan
peninggian lidah; nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam
artikulasi bicara (disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular
yang dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien
tidak mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan
sianosis menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat
penanganan segera.
d. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesa
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu
terasa tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan
mengalami

kesulitan

membuka

mulut,

berbicara,

dan

menelan,

yang

mengakibatkan keluarnya air liur terus-menerus serta kesulitan bernapas. Penderita


juga dilaporkan mengalami kesulitan makan dan minum. Dapat dijumpai demam
dan rasa menggigil.
b. Pemeriksaan fisik
Dasar mulut akan terlihat merah dan membengkak. Saat infeksi menyebar
ke belakang mulut, peradangan pada dasar mulut akan menyebabkan lidah
terdorong ke atas-belakang sehingga menyumbat jalan napas. Jika laring ikut
membengkak, saat bernapas akan terdengar suara tinggi (stridor). Biasanya
penderita akan mengalami dehidrasi akibat kurangnya cairan yang diminum
maupun makanan yang dimakan. Demam tinggi mungkin ditemui, yang
menindikasikan adanya infeksi sistemik.
c. Pemeriksaan penunjang
70

Meskipun diagnosis angina Ludwig dapat diketahui berdasarkan anamnesa


dan pemeriksaan fisik, beberapa metode pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium maupun pencitraan dapat berguna untuk menegakkan diagnosis.
Laboratorium:

Pemeriksaan darah: tampak leukositosis yang mengindikasikan adanya infeksi


akut. Pemeriksaan waktu bekuan darah penting untuk dilakukan tindakan insisi
drainase.

Pemeriksaan kultur dan sensitivitas: untuk menentukan bakteri yang


menginfeksi (aerob dan/atau anaerob) serta menentukan pemilihan antibiotik
dalam terapi.

Pencitraan:

R: walaupun radiografi foto polos dari leher kurang berperan dalam


mendiagnosis atau menilai dalamnya abses leher, foto polos ini dapat
menunjukkan luasnya pembengkakkan jaringan lunak. Radiografi dada dapat
menunjukkan perluasan proses infeksi ke mediastinum dan paru-paru. Foto
panoramik rahang dapat membantu menentukan letak fokal infeksi atau abses,
serta struktur tulang rahang yang terinfeksi.

USG: USG dapat menunjukkan lokasi dan ukuran pus, serta metastasis dari
abses. USG dapat membantu diagnosis pada anak karena bersifat non-invasif
dan non-radiasi. USG juga membantu pengarahan aspirasi jarum untuk
menentukan letak abses.

CT-scan: CT-scan merupakan metode pencitraan terpilih karena dapat


memberikan evaluasi radiologik terbaik pada abses leher dalam. CT-scan dapat
mendeteksi akumulasi cairan, penyebaran infeksi serta derajat obstruksi jalan
napas

sehingga dapat sangat membantu dalam memutuskan kapan

dibutuhkannya pernapasan buatan.

MRI: MRI menyediakan resolusi lebih baik untuk jaringan lunak


dibandingkan dengan CT-scan. Namun, MRI memiliki kekurangan dalam lebih
panjangnya waktu yang diperlukan untuk pencitraan sehingga sangat
berbahaya bagi pasien yang mengalami kesulitan bernapas.

e. Penatalaksanaan
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:

pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.


71

kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan


membatasi penyebaran infeksi.

ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.


Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan

operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang
lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta
mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti
dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam.
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole,

clindamycin,

cefoxitin,

piperacilin-tazobactam,

amoxicillin-

clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan


regimen terapi.
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat
pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam
tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis
tengah secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi
dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam
sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas
os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi
dari penyakit ini, maka gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan.
Pasien di rawat inap sampai infeksi reda.

BAB V
72

FOCAL INFEKSI
1. STROKE
a. Definisi
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang
cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya
penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Stroke dibagi menjadi stroke hemoragik
dan stroke iskemik (PAPDI, 2011).
b. Patofisiologi
1. Mekanisme langsung agen infeksi dalam pembentukkan atheroma
P. gingivalis dapat melakukan invasi dan proliferasi pada sel endotel
menginduksi agregasi dari platelet trombus ischemik stroke
2. Mekanisme tidak langsung
Penyebab infeksi (infectious agents) dapat merangsang atau meningkatkan
proses kejadian aterosklerosis
2. DIABETES MELITUS
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan
metabolik akibat ganguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik
pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis pada
pemeriksaan dengan mikroskop electron (PAPDI, 2011).
Hasil dari penelitian longitudinal, menunjukkan bahwa pada dasarnya
periodontitis yang berat berhubungan dengan control glikemik yang buruk dan
komplikasi diabetes. Penyakit periodontal dapat menyebabkan peningkatan inflamasi
sistemik kronis. Infeksi bakteri akut dan virus dapat meningkatkan resistensi insulin
pada orang tanpa diabetes, dimana kondisi ini sering berlangsung selama bermingguminggu sampai berbulan-bulan setelah pemulihan klinis dari penyakit. Infeksi
periodontal kronis gram-negatif juga dapat mengakibatkan peningkatan resistensi
insulin dan control glikemik yang buruk.
Sedangkan pada penderita diabetes melitus, diabetes melitus ini merupakan
salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jaringan
periodonsium. Terdapat beberapa hal yang terjadi pada pasien diabetes sehingga
penyakit ini cenderung memperparah kesehatan jaringan periodonsium dan
73

meningkatkan inflamasi pada gingiva. Kandungan glukosa yang terdapat di dalam


cairan sulkus gingiva dan darah pada penderita diabetes dapat mengubah lingkungan
dari mikroflora dalam rongga mulut sehingga terjadi perubahan kualitatif bakteri yang
berpengaruh terhadap keparahan dari penyakit periodontal.
Patofisiologi
Pada orang non-DM
Penyakit periodontal

Terbentuknya mediator inflamasi seperti C-reactive protein (CRP), IL-6, dan


fibrinogen (inflamasi kronik)

meningkatkan resistensi insulin

Menurunkan kontrol glikemik

Diabetes melitus
Pada orang DM
Pada penderita DM kandungan glukosa yang terdapat di dalam cairan sulkus
ginggiva dan darah pada penderita diabetes dapat mengubah lingkungan dari
mikroflora dalam rongga mulut (asam) keparahan dari penyakit periodontal

74

DAFTAR PUSTAKA

Adulgopar. 2009. Anodontia. http://adulgopar.files.wordpress.com/2009/12/anodontia.pdf

Anggraeni
(2007).
Plaque
gigi
sumber
penyakit
gigi
dan
mulut.
http://www.answers.com/topic/dental-plaque-1/ Diakses tanggal 10 November
2013.

Amin H (2010). Leukoplakia. http://sehat-enak.blogspot.com/ Diakses tanggal 11 November


2013

Benediktsdttir and Sara. 2003. Predictors of dental implant survival. J MA Dent Soc 54:3438.

Childrens Craniofacial Association (CCA) ( 2009). A guide to understanding cleft lip and
palate. http://www.ccakids.com/Syndrome/CleftLipPalate.pdf9 Diakses tanggal 11
November 2013.

De Muynck S, Schollen E, Matthijs G, Verdonck A, Devriendt K, Carels C (2004). A novel


MSX1 mutation in hipodontia. Am J Med Genet A 128:401-403

De Pietro MA (2010). A non-cancerous growth in the mouth. http://www.livestrong.com/


article/273295-a-non-cancerous-growth-in-the-mouth Diakses tanggal 11 November
2013.

Dentisha (2010). Maloklusi. http://luv2dentisha.wordpress.com/ Diakses tanggal 11


November 2013

Elih dan Salim ( 2008). Perawatan gigi impaksi 21 dengan alat cekat standar edgewise.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/perawatan_gigi_impaksi.pdf
Diakses tanggal 11 November 2013
75

Evy (2007). Squamous cell carcinoma. http://senyumsehat.wordpress.com/2007/09/17


/izakod-bekal-izakod-kai/ Diakses tanggal 10 November 2013

Findya A (2010). Pemeliharaan oral hygiene dan penanggulangan komplikasi perawatan


ortodonti. Sumatera Utara: USU.

Gallois R (2006). Classification of malocclusion.http://www.columbia.edu/itc/hs/dental/


D5300/Classification%20of%20Malocclusion%20GALLOIS
%2006%20final_BW.pdf. Diakses tanggal 11 November 2013.

Gottlieb E, Nelson AH, Vogels DS. JCO study of orthodontic diagnosis and treatment
procedures. Part I: Results and trends. J Clin Orthod. 1996;30:615629. [PubMed

Irfan. 2011. Definisi Impaksi Gigi. http://www.kesehatangigidanmulut.info/17.html (9


November 2013)
Kidd AM (1992). Dasar-dasar karies. Jakarta: EGC
Magdalena M (2009). Candida albicans. Sumatera Utara: USU
Medicastore (2012). Gingivitis (radang gusi). http://medicastore.com/ Diakses tanggal 10
November 2013
Medicastore (2012). Pulpitis (radang pulpa gigi). http://medicastore.com/ Diakses tanggal
11 November 2013.
Medineplus (2012). Leukoplakia. http://mahkotadewa.co.id/herbalshop/2012/03/leukoplakia/
Diakses tanggal 10 November 2013
Morokumo (2010). Abnormal fetal movement, micrognatia and pulmonary hypoplasia: a
case report. Abnormal fetal movement. http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/
PMC2931455/pdf/1741-2393-10-46.pdf Diakses tanggal 10 November 2013.
Mozartha M (2010). Plaque dan karang gigi. http://etalaseilmu.wordpress.com/
2010/04/29/plaque-dan-karang-gigi/ Diakses tanggal 11 November 2013

76

Nasir M, Mawardi. Perawatan impaksi impaksi gigi insisivus sentralis maksilan dengan
kombinasi teknik flep tertutup dan tarikan ortodontik (laporan kasus). Dentika Dental
Jurnal 2003;8(2):95

Noriyuki H. et al. 2011. Management of dental decay. www.sciencedirect.com (9 November


2013)
Nurhayani (2004). Perbedaan jumlah debris yang terdorong keluar apeks gigi pada
preparasi saluran akar teknik step back dan crown down. Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.

Obiechina AE (2001). Third Molar Impaction: evaluation of the symptoms and pattern of
impaction of mandibular third molar teeth in nigerians. Odonto Stomatologie
Tropicale Vol. 93.
Orstavik D (2007). Apical periodontitis: microbial infection and host responses.
http://www.blackwellpublishing.com/content/BPL_Images/Content_store/Sample_cha
pter/9781405149761/9781405149761_4_001.pdf. Diakses 11 November 2013

Patel A (2009). The developmental disturbences of jaws. http://www.scribd.com/doc/


44674594/The-Developmental-Disturbences-of-Jaws Diakses tanggal 10 November
2013.
Paul T (2009). Management of impacted teeth. http://faculty.ksu.edu.sa/Falamri/Presentations
/Impacted-teeth.pdf Diakses tanggal 10 November 2013.
Patterson ( 2004). Leukoplakia. http://www.breadentistry.com/files/pdf/OPG_leuk.pdf.
Diakses tanggal 30 Oktober 2013

Philip C (2008). Xerostomia: recognition and management. American Dental Hygienist: pp 17.

Pintauli S (2008). Fairway to oral health in general practice. Medan: USU Press

Qirreish. 2005. Orthodontic aspects of the use of oral implants in adolescents: a 10-year
follow-up study. Eur J Orthod
77

Ramil R (2010). Penatalaksanaan pada anodontia. http://www.ilmukesehatan.com/ Diakses


tanggal 11 November 2013.

Rangkuti NH (2007). Pebedaan leukoplakia dan hairy leukoplakia di rongga mulut. Medan:
Universitas Sumatera Utara. Skripsi

Rifki A (2010). Perbedaan efektifitas menyikat gigi dengan metode roll dan horizontal pada
anak usia 8 dan 10 tahun di medan. Medan, Universitas Sumatera Utara. Skripsi.

Ronald LE (1996). Review: Xerostomia: A symptom which acts like a disease. Age and
Ageing Vol. 26: pp 409-412.

RSMK (2011). Gingivitis (peradangan gusi). http://www.mitrakeluarga.com/bekasitimur/


category/gigi/ Diakses tanggal 10 November 2013

Sararock (2010). Merokok merupakan pemicu utama terjadinya kanker lidah. Diakses
tanggal 11 November 2013.

Scully C (2003). The diagnosis and management of recurrent aphthous stomatitis: a


consensus approach. J Am Dent Assoc vol. 134: pp 200-207

Scully C (2010). Candidiasis, mucosal. http://emedicine.medscape.com/article/ 1075227overview#showall Diakses tanggal 11 November 2013

Setiani dan Sufiawati (2005). Efektifitas heksetidin sebagai obat kumur terhadap frekuensi
kehadiran jamur candida albicans pada penderita kelainan lidah.
http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/EFEKTIVITAS
%20HEKSETIDIN%20SBG%20OBAT%20KUMUR.pdf Diakses tanggal 11
November 2013.

78

Syafriza D (2000). Skripsi: diagnosa dini karsinoma sel skuamosa di rongga mulut. Medan:
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

Tarigan R (2010). Karies gigi. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20092 /


4/Chapter%20II.pdf Diakses tanggal 11 November 2013
Walton, Torabinejad (1998). Prinsip dan praktek ilmu endodonsi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.
Zieve D, Juhn G (2009). Glossitis. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article /
001053.htm. Diakses tanggal 11 November 2013.

TEMUAN KASUS DI RSUD DR MOEWARDI


CANDIDIASIS ORAL
Identitas Pasien
Nama
Usia
Jenis kelamin
Alamat
Bangsal
Tanggal Pemeriksaan
No. RM

: Tn. ST
: 61 tahun
: Laki-laki
: Nglorog, Sragen
: Melati 3 / 9C
: 7 Oktober2014
: 01273083

79

Gambar Pasien dengan candidiasis oral

2) Anamnesis
a. Keluhan Utama : bercak putih pada mulut
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh muncul bercak putih pada mulut sejak 1 bulan yang lalu pada
lidah, langit mulut, serta pipi kanan dan kiri. Bercak dirasakan makin lama
makin banyak. Selain itu, pasien juga mengeluhkan nyeri saat mengunyah
serta menelan sehingga nafsu makan pasien menurun.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit gula

: disangkal
80

Riwayat sakit serupa


Riwayat darah tinggi
Riwayat sakit jantung
Riwayat mondok

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat penyakit gula
: disangkal
Riwayat sakit serupa
: disangkal
Riwayat darah tinggi
: disangkal
e. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien bekerja sebagai petani. Pasien mempunyai satu orang istri dan 4 orang
anak. Pasien berobat dengan menggunakan BPJS.
f. Riwayat kebiasaan
Riwayat merokok
: (+) 30 tahun, 1 bungkus/hari
3) Pemeriksaan Fisik
Kondisi umum
Vital Sign
Kulit
Kepala
Mata
Telinga
Hidung
Mulut

: Compos mentis, tampak sakit sedang, gizi kesan kurang


: TD 100/80 mmHg, Nadi 92x/menit, RR 20x/menit, T : 390C
: warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-)
: mesocephal, luka (-), rambut warna hitam
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (+/+)
: sekret (-/-), nyeri tragus (-/-), nyeri mastoid (-/-)
: sekret (-/-), epistaksis (-/-)
: bibir kering (-), sianosis (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-),
stomatitis (-), oral thrust (+), papil lidah atrofi (-)

A. Oral Status
1. Extra oral
Maxilla

:
: tak ada kelainan

Mandibula : tak ada kelainan


Lips
2. Intra Oral

: tak ada kelainan


:

Palatum

: tak ada kelainan

Lingua

: tampak bercak warna putih, multipel

Upper ginggiva : tak ada kelainan


Lower ginggiva : tak ada kelainan
Left Bucal

: tak ada kelainan

Right Bucal

: tak ada kelainan

3. Oral higiene

Sedang

81

B. Dental Formula
Permanen Teeth
1

10

11

12

13

14

15

16

32

31

30

29

28

27

26

25

24

23

22

21

20

19

18

17

Element

:-

Sondation

: tidak dilakukan

Palpation

: lunak

Percution

: tidak dilakukan

Chlor etil

: tidak dilakukan

Tenggorokan
Leher

: tonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-)


: simetris, trachea di tengah, JVP tidak meningkat, KGB servikal
membesar (-), tiroid membesar (-), nyeri tekan (-)

Thorax

: normochest, simetris, retraksi supraternal (-), pernapasan tipe


thoraco-abdominal

Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Paru
:
Anterior
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Posterior
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

:
: Ictus cordis tidak tampak
: Ictus cordis tidak kuat angkat, teraba di SIC VI LMCS
: Batas jantung kesan tidak melebar
: BJ I-II intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)
: statis: permukaan dada kanan = kiri
dinamis: pengembangan dada kanan = kiri
: fremitus raba kanan = kiri
: sonor / sonor
: suara dasar vesikuler (+/+), ST (-/-), RBK (+/+)
: statis: permukaan dada kanan = kiri
dinamis: pengembangan dada kanan = kiri
: fremitus raba kanan = kiri
: sonor / sonor
: suara dasar vesikuler (+/+), ST (-/-), RBK (+/+)
: dinding perut sejajar dinding dada
: BU (+) normal
: timpani
: supel, nyeri tekan (+), hepar dan lien tidak teraba

82

Rectal toucher
Ekstremitas

: TMSA (+), massa (+) jam 7 kenyal terfiksir, STLD (+),


feces (+)
: oedem (-/-), akral dingin (-/-), luka (-/-).

4) Pemeriksaan Laboratorium
Hb
: 12.6 g/dl
Hct
: 34 %
AL
: 11,9 x 103/ul
AT
: 367 x103/ul
AE
: 4.80 x 106/ul
PT
: 13.4 detik
APTT : 26.1 detik
GDS
: 133 mg/dl
Albumin: 2.8 g/dl
Kreatinin: 0.9 mg/dl
Ureum : 30 mg/dl
Natrium : 127 mmol/l
Kalium : 3,5 mmol/l
Klorida : 97 mmol/l
Hbs Ag : non reactive
PSA
: 6,54 ng/ml
CEA
: 47,73 ng/ml

5) Assessment

Tumor rectosigmoid
candidiasis oral

Terapi
Mondok bangsal interna
Bed rest total
IVFD NaCl 0,9% : KAEN 3B : Aminovel = 1 : 1 : 1
Plasbumin 25%
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam
Injeksi metamizol 1 g/8 jam
Paracetamol 3x500mg
Jaga higienitas mulut
Nystatin 5 x gtt 1
7) Prognosis
Ad vitam
Ad sanam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
83

Ad fungsionam : dubia ad malam

84

Anda mungkin juga menyukai