PENDAHULUAN
Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme tubuh
membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap stressor fisiologis dan
lingkungan. Keseimbangan cairan adalah esensial bagi kesehatan. Dengan kemampuannya yang
sangat besar untuk menyesuaikan diri, tubuh mempertahankan keseimbangan, biasanya dengan
proses-proses faal (fisiologis) yang terintegrasi yang mengakibatkan adanya lingkungan sel yang
relatif konstan tapi dinamis.1
Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh
total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling
bergantung satu dengan yang lainnya, jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada
yang lainnya.
Gangguan cairan dan elektrolit adalah hal yang sangat sering terjadi dalam masa
perioperatif maupun intraoperatif. Sejumlah besar cairan intravena sering dibutuhkan untuk
mengkoreksi kekurangan cairan dan elektrolit serta mengkompensasi hilangnya darah selama
operasi. Oleh karena itu, ahli anestesi harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang fisiologi
normal cairan dan elektrolit serta gangguannya. Gangguan yang besar terhadap keseimbangan
cairan dan elektrolit dapat secara cepat menimbulkan perubahan terhadap fungsi kardiovaskular,
neurologis, dan neuromuskular.4
Dari refrat ini, diharapkan dapat memberi informasi mengenai fisiologi normal cairan dan
elektrolit, gangguan cairan elektrolit, terapinya, serta implikasi-implikasi anestesinya.
BAB II
FISIOLOGI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
2.1 Definisi Cairan Tubuh
Tubuh manusia sebagian besar terdiri atas cairan, persentasenya dapat berubah tergantung
pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada bayi usia < 1 tahun cairan tubuh
adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi usia > 1 tahun mengandung air sebanyak 7075%. Seiring dengan pertumbuhan seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan
berangsur-angsur turun yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita
dewasa 50 % berat badan, tabel dibawah menunjukan estimasi total cairan tubuh manusia
berdasarkan usia.5
Usia
Bayi premature
80
3 Bulan
70
6 Bulan
60
1-2 tahun
59
11-16 tahun
58
Dewasa
58-60
40-50
Dewasa kurus
70-75
gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum
tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan
intravaskular dan intersisial.5
Manusia
Jaringan
(40%)
Intraselular
(40%)
Cairan
(60%)
Ekstraselular
(20%)
Interstitial (15%)
Intravaskular (5%)
Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter pada
orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh,
volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa.
-
Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume plasma).
Hingga saat ini belum ada alat yang tepat/pasti untuk mengukur jumlah darah seseorang, tetapi
jumlah darah tersebut dapat diperkirakan sesuai dengsan jenis kelamin dan usia, komposisi darah
terdiri dari kurang lebih 55% plasma, dan 45% sisanya terdiri dari komponen darah seperti sel
darah merah, sel darah putih dan platelet.
-
Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal,
perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan
sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat
masuk dan keluar dari ruang transeluler.
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka
bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat menyebabkan
gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara adekuat sebelum
tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.1,4
Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi cairan
intravaskular dan intersisial.
Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.
Elektrolit merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik.
Elektrolit dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan
anion dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).5
2.2.1 Kation
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation utama
dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di dinding sel
tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.
Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam
mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135 -155 mEq/liter. Kadar natrium dalam
plasma diatur lewat beberapa mekanisme:
- Left atrial stretch reseptor
- Central baroreseptor
- Renal afferent baroreseptor
- Aldosterone (reabsorpsi di ginjal)
- Atrial natriuretic factor
- Sistem renin angiotensin
- Sekresi ADH
- Perubahan yang terjadi pada air tubuh total (TBW=Total Body Water)
Kadar natrium dalam plasma 135-145mEq/liter dimana kurang lebih 70% atau
40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi natrium dalam urine 100-180mEq/liter, feces
35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter. Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl).5
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam
dan keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah, diare) sedangkan asupan
terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium. Kekurangan air dan
natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan interstitial. Apabila
kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan apabila volume plasma
tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.5
Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting di
dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53
mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah
kalium yang terikat dengan protein didalam sel.5
Kadar kalium plasma 3,5-5,5 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB.
Keseimbangan kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium
lewat urine 60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.5
Adapun kation lain yang tidak kurang penting yaitu kalsium dan magnesium.
2.2.2 Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl -) dan bikarbonat, sedangkan
anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat. Karena kandungan elektrolit dalam
plasma dan cairan interstitial pada intinya sama maka nilai elektrolit plasma mencerminkan
komposisi dari cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.7,8
Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir
daripada metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang
akan dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting
peranannya dalam keseimbangan asam basa.
Klorida
Kadar ion klorida berlebih di ruang ekstrasel, dan merupakan komponen utama dari
sekresi kelenjar gaster. Berfungsi dalam membantu proses keseimbangan natrium. Sumber ion
klorida banyak terdapat dalam garam dapur.
Fosfat
Fosfat merupakan bagian dari fosfat buffer system. Berfungsi untuk menjadi energi pad
metabolisme sel dan bersama dengan ion kalsium meningkatkan kekuatan dan kekerasan tulang.
Fosfat juga masuk dalam struktur genetik yaitu: DNA dan RNA.
2.3 Definisi Non Elektrolit
Non elektrolit merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam
cairan. Zat lainya termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.5
BAB III
GANGGUAN HOMEOSTASIS CAIRAN DAN ELEKTROLIT
3.1 Asupan dan Kehilangan Cairan dan Elektrolit
Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres
akibat operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit
atau traktus gastrointestinal.
Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500 ml per
hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan cairan ratarata 250 ml dari
feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari
(insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.
Kepustakaan lain menyebutkan asupan cairan didapat dari metabolisme oksidatif dari
karbohidrat, protein dan lemak yaitu sekitar 250-300 ml per hari, cairan yang diminum setiap
hari sekitar 1100-1400 ml tiap hari, cairan dari makanan padat sekitar 800-100 ml tiap hari,
sedangkan kehilangan cairan terjadi dari ekskresi urin (rata-rata 1500 ml tiap hari, 40-80 ml per
jam untuk orang dewasa dan 0,5 ml/kg untuk pediatrik), kulit (insensible loss sebanyak rata-rata
6 ml/kg/24 jam pada rata-rata orang dewasa yang mana volume kehilangan bertambah pada
keadaan demam yaitu 100-150 ml tiap kenaikan suhu tubuh 1 derajat celcius pada suhu tubuh di
atas 37 derajat celcius dan sensible loss yang banyaknya tergantung dari tingkatan dan jenis
aktivitas yang dilakukan), paru-paru (sekitar 400 ml tiap hari dari insensible loss), traktus
gastrointestinal (100-200 ml tiap hari yang dapat meningkat sampai 3-6 L tiap hari jika terdapat
penyakit di traktus gastrointestinal), third-space loses.7
Minum
1100 1400
Air Kemih
1200
Makan
800 1000
Tinja
100 -200
Hasil Oksidasi
300
Paru
400
Keringat
500 600
3.3.4 Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5.5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat
yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa intravena
kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau
diuretik, hemodialisis.7
3.3.5 Hipokalsemia
Hipokalsemia harus didiagnosis berdasarkan konsentrasi ion kalsium plasma. Bila
pemeriksaan [Ca] plasma secara langsung tidak dapat dilakukan, konsentrasi kalsium total tetap
harus dikoreksi untuk menurunkan konsentrasi albumin plasma.
Hipokalsemia yang berhubungan dengan keadaan hipoparatiroid relatif sering
menyebabkan hipokalsemia simptomatik. Hipoparatiroid dapat terjadi karena surgical, idiopatik,
bagian dari kelainan endokrin multipel (paling sering insufisiensi adrenal), atau berhubungan
dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium dikatakan dapat menggagalkan sekresi PTH dan
mengantagonis efeknya pada tulang. Hipokalsemia yang terjadi pada saat sepsis berhubungan
dengan supresi pelepasan hormone paratiroid. Hiperfosfatemia juga merupakan penyebab yang
relatif sering dari hipokalsemia terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Hipokalsemia
yang berhubungan dengan defisiensi vitamin D kemungkinan terutama disebabkan karena
reduksi intake (nutrisional), malabsorbsi vitamain D, atau abnormalitas metabolisme vitamin D.7
3.3.6 Hiperkalsemia
Hiperkalsemia dapat timbul akibat berbagai kelainan. Terutama adalah hiperparatioid
dimana sekresi paratiroid hormon akan meningkat dan hal ini tidak dipengaruhi oleh [Ca].
Sebaliknya pada keadaan hiperparatiroid skunder (gagal ginjal kronik atau malabsorbsi)
peningkatan jumlah hormon paratiroid adalah merupakan respon dari keadaan hipokalsemia
kronik. Hiperparatiroid skunder yang berlarut kadang-kadang akan menyebabkan sekresi PTH
13
(hiperparatiroid tersier).
Pasien dengan kanker dapat memberikan gambaran hiperkalsemia baik apakah itu dengan
metastase pada tulang ataupun tidak. Destruksi tulang yang terjadi secara langsung atau sekresi
mediator humoral pada hiperkalsemia (PTH like substance, sitokin,, atau prostaglandin)
kemungkinan bertanggung jawab pada sebagian besar pasien. Hiperkalsemia yang berhubungan
dengan peningkatan pengeluaran kalsium dari tulang dapat pula terjadi pada pasien dengan
penyakit yang tidak ganas seperti Paget`s disease dan imobilisasi yang kronis. Peningkatan
absorbsi kalsium oleh intestinal dapat menimbulkan hiperkalsemia pada pasien dengan milkalkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake kalsium), hipervitaminosis D, atau penyakit
granulomatosa (memperkuat sensitivitas terhadap vitamin D). Mekanisme lain terjadinya
hiperkalsemia belum banyak diketahui.7
3.3.7 Hipofosfatemia
Hipofosfatemia merupakan akibat dari keseimbangan fosfor yang negatif atau ambilan
selular tehadap fosfor ekstraselular (pergeseran interkompartemen). Pergeseran fosfor
interkompartemen dapat terjadi pada keadaan alkalosis, dan setelah memakan sejumlah
karbohidrat atau pemberian insulin. Pemberian dosis besar antasid yang mengandung alumunium
atau magnesium, luka bakar berat, suplementasi fosfor yang tidak adekuat selama
hiperalimentasi, ketoasidosis diabetic, alkohol withdrawal, dan alkalosis respiratorik yang
memanjang dapat menyebabkan keseimbangan fosfor yang negative dan dapat menjadi
hipophosfetemia berat (<0,3 mmol/dL atau <1.0 mg/dL). Sebaliknya pada alkalosis metabolik
jarang menyebabkan terjadinya hipofosfatemia.
3.3.8 Hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia dapat terjadi pada intake fosfor yang meningkat (penyalahgunaan
laksatif fosfor atau pemberian potassium fosfat yang berlebihan ), penurunan ekskresi fosfor
(pada insufisiensi renal), atau lisis sel yang massif (setelah kemoterapi pada limfoma atau
leukemia).7
14
hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah
sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus gradual
selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang sering.9
BAB IV
PENATALAKSANAAN CAIRAN
4.1 Terapi Cairan Intravena
Infus cairan intravena (intravenous fluids drip) adalah pemberian sejumlah cairan ke
dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk
menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh.
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:
1) Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah); 2) Trauma
abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) ; 3) Fraktur (patah tulang),
khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponendarah);
4) Kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi (karena Heat stroke, demam dan diare); 5) Semua
trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).2
Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous
Cannulation): 1) Pemberian cairan intravena (intravenous fluids); 2) Pemberian nutrisi parenteral
16
(langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas; 3) Pemberian kantong darah dan
produk darah; 4) Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu); 5) Upaya profilaksis (tindakan
pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar dengan risiko perdarahan, dipasang
jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga untuk memudahkan pemberian obat);
6) Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan
cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga
tidak dapat dipasang jalur infus.
Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah
Vena: 1) Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus; 2) Daerah
lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan
fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah); 3) Obat-obatan yang
berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh
vena di tungkai dan kaki).2
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus: 1) Hematoma, yakni
darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau
kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau tusukan
berulang pada pembuluh darah; 2) Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan
sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah; 3)
Tromboflebitis atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang
tidak dipantau secara ketat dan benar; 4) Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi
darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah; 5)
Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus; 6) Rasa perih/sakit;
7)Reaksi alergi.2
4.1.1 Jenis Cairan Infus 2
Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas
serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip
cairan berpindah dari osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel
17
yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci
darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi)
dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba
cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan
tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan
Dekstrosa 2,5%.
Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair
dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien
yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).
Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung
kongestif dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan
garam fisiologis (NaCl 0,9%).
Cairan hipertonik
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik
cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan
tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya
kontradiktif dengan cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose
5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.
4.1.2 Pembagian Cairan
Kristaloid
Kristaloid bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume
expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat (relatif sebentar di
intravaskuler), dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat
dan NaCl 0,9%.3,6
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Keuntungan
dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak
18
perlu dilakukan cross match, tidak menimbulkan alergi atau syok anafilaktik, penyimpanan
sederhana dan dapat disimpan lama.
Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata
sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler.
Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.3
Heugman et al (1972) mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat
terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1
liter NaCl 0,9%. Penelitian Mills dkk (1967) di medan perang Vietnam turut memperkuat
penelitan yang dilakukan oleh Heugman, yaitu pemberian sejumlah cairan kristaloid dapat
mengakibatkan timbulnya edema paru berat. Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan
juga dapat menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati
menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi
bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic
acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Larutan Tonisitas
Na+
Cl-
K+
Ca2+
Glukosa
Laktat
Hipotonis
50
154
154
(253)
Normal Isotonis
19
Saline
D5
(308)
Isotonis
38,5
50
77
50
154
50
130
109
28
Laktat
(273)
D5 RL
Hipertonis 130
109
50
28
NS
D5
38,5
(330)
Hipertonis 77
NS
(407)
D5 NS
Hipertonis 154
(561)
Ringers Isotonis
(525)
Produksi
Tipe
BM
Waktu
rata-rata
paruh
Indikasi
Plasma
Human
4-5
a. Pengganti
protein
plasma
human albumin
hari
volume
b.Hiponatremia
20
Dextran
Leuconostoc D 60/70
60.000 6 jam
c. Hemodilusi
a. Hemodilusi
mesenteroid
70.000
b. Gangguan
B 512
Gelatin
mikrosirkulasi
Hidrolisis
dari kolagen
binatang
- Modifien
35.000
gelatin
2-3
(stroke)
Substitusi volume
jam
- Urea linked
- Oxylopigelatin
Starch
Hidrolisis
asam
hydroxy ethyl
Hydroxy ethyl
450.000
6 jam
dan
a. Substitusi
volume
ethylen
b. Hemodilusi
oxyde
treatment
dari kedelai
dan jagung
Polyvinyl
Sintetik
- Subtosan
pyrrolidone polimer
- Periston
vinyl
50.000
Substitusi volume
25.000
pyrrolidone
2.
Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis
osmotik.
3.
Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan elektrolit
4.
Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari traktus
gastrointestinal.
5.
6.
7.
Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif karena
hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.
22
2.
3.
4.
Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang
besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan.
2.
3.
4.
Hiperkalemia
Asidosis metabolic
Alkalosis metabolic
Asidosis respiratorik
Alkalosis repiratorik
Hal ini dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada penderita bedah
elektif (sektar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai penyakit
bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada penderita
dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi, demam
dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti sebelum
dilakukan pembedahan.
Kehilangan cairan saat pembedahan
a. Perdarahan2
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari : 1) Botol penampung darah yang disambung
dengan pipa penghisap darah (suction pump); 2)Kasa yang digunakan sebelum dan setelah
pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan
tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah 10-100 ml.
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bias ditentukan
berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang
kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang
(serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma
terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada
luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain
penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.
b. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal.
Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan
luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah
perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan
intravaskuler.
Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan sequestrasi
sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau ke lumen
24
usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat. Pergeseran
cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat merugikan
secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat merugikan fungsional
cairan dalam ruang ekstraseluler.
Gangguan fungsi ginjal
Trauma, pembedahan dan anestesia dapat mengakibatkan: Laju Filtrasi Glomerular (GFR
= Glomerular Filtration Rate) menurun, reabsorbsi Na+ di tubulus meningkat yang sebagian
disebabkan oleh meningkatnya kadar aldosteron, meningkatnya kadar hormon anti diuretik
(ADH) menyebabkan terjadinya retensi air dan reabsorpsi Na+ di duktus koligentes (collecting
tubules) meningkat, Ginjal tidak mampu mengekskresikan free water atau untuk menghasilkan
urin hipotonis.
4.2.2 Pengganti defisit Pra bedah
Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.
Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya.2,6
Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup diganti dengan ciran hipotonis seperti garam
fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat
nutrisi yang cukup maka sebaiknya diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi.
Penderita dewasa yang dipuasakan karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus
mendapatkan penggantian cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa.
Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan (hipovolemik, dehidrasi) yang
seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti dengan melakukan resusitasi cairan
atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.6
4.2.3 Terapi cairan selama pembedahan
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar
ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan
25
penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.
Jenis Operasi
Kebutuhan
Cairan
(sampai dengan)
Minor
(Tendon
repair, 3 mL/KgBB/Jam
Tympanoplasty
Moderate
(Histrektomi, 6 mL/KgBB/Jam
Inguinal Hernia
Major
(Total
hips 9 mL/KgBB/Jam
replacement, peritonitis)
Volume Darah
Prematur Neonatus
90 Kg/BB
Fullterm Neonatus
85 Kg/BB
Bayi
80 Kg/BB
Laki-laki
70-75 Kg/BB
Wanita
60-65 Kg/BB
26
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk
penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari
pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karenaadanya pelepasan kalium dari
sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress pembedahan,
akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air dan natrium.
Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium. Penderita dengan
keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150
mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan
protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian
cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan garam isotonis.
Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.
2.
- Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1C suhu tubuh
- Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
- Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan humidifikasi.
3.
Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum
selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah
untuk memperbaiki daya angkut oksigen.
4.
28
BAB V
KESIMPULAN
Cairan tubuh adalah larutan yang terdiri dari air (pelarut) dan zat tertentu (zat terlarut).
Cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen utama yang dipisahkan oleh membran
sel menjadi: cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler (cairan intravaskuler dan interstisial).
Sedangkan elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan partikel-partikel bermuatan listrik yang
disebut ion jika berada dalam larutan. Elektrolit yang terdapat di dalam tubuh mencakup natrium,
kalium, kalsium, magnesium, Klorida, bikarbonat, fosfat, dan sulfat. Keseimbangan Cairan dan
elektrolit tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: usia, jenis kelamin, sel-sel lemak, stres,
kondisi sakit, diet, temperatur lingkungan, pengobatan, tindakan medis, dan pembedahan.
Keseimbangan cairan dan elektrolit berarti adanya distribusi yang normal dari air tubuh
total dan elektrolit ke dalam seluruh bagian tubuh. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling
bergantung satu dengan yang lainnya, jika salah satu terganggu maka akan berpengaruh pada
yang lainnya. Masing-masing gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit mempunyai
manifestasi klinis yang berbeda sehingga menyebabkan penatalaksanaannya pun berbeda. Selain
itu, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit juga berpengaruh terhadap pertimbangan
anestetik.
Penggantian cairan tubuh baik kristaloid, koloid maupun darah sangat vital dalam
keadaan tertentu, penggantian darah dapat optimal apabila pemilihan jenis darah yang digantikan
tepat dan sesuai kondisi pasien pada saat itu, dengan mempertimbangkan komplikasi yang dapat
terjadi dalam reaksi transfusi darah penggantian darah ataupun komponen-komponen darah
merupakan suatu tindakan yang sangat berarti bagi pasien sesuai dengan tujuan utama transfusi
yaitu memelihara dan mempertahankan kesehatan donor, memelihara keadaan biologis darah
29
atau komponen agar lebih bermanfaat, memelihara dan mempertahankan volume darah yang
normal pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah). mengganti kekurangan komponen
seluler atau kimia darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, memperbaiki fungsi hemostatis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Intravenous Fluids. Clinical Practice Guidelines. Royal Childrens Hospital Melbourne.
http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm
2. C Waitt, P Waitt, M Pirmohamed. Intravenous Therapy. Postgrad. Med. J. 2004; 80; 1-6.
3. Latief AS, dkk. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan. Edisi
Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI. 2002
4. Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania: W.B.
saunders company; 1997: 375-393
5. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri:
Elsevier-mosby; 2005.p3-227
6. Morgan G.E, et al. Clinical Anesthesiology. Fourth edition. New York: Lange Medical
Books McGraw Hill Companies. 2006: 662-689
7. Ellsbury DL, George CS. Dehydration. eMed J [serial online] 2006 Mar
URL:http://www.emedicine.com/CHILD/topic925.htm.
30
31