HEMOFILIA
Referat Ini Di Buat Untuk Melengkapi Persyaratan Mengikuti Kepanitraan
Klinik Senior Di Bagian Kesehatan Anak RSU. Haji Medan
Disusun Oleh:
Bilqis Nabilah (20360133)
Pembimbing:
dr. Syarifah Mahlisa Soraya, Sp.A
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga Paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul
“Hemofilia”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dara cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan dalam
penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari semua pihak.
Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat bermanfaat bagi
pembacanya. Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. Syarifah
Mahlisa Soraya , Sp.A yang telah membimbing dan mengarahkan dalam
menyelesaikan paper ini.
Akhirnya semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................................1
1.2. Tujuan ...............................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
1.2 Tujuan
Penulisan karya ini ditujukan untuk mempelajari kasus Hemofilia yang
berlandaskan teori guna memahami bagaimana cara mengenali, mengobati kasus
Hemofilia sehingga dapat mengoptimalisasi kemampuan dan pelayanan dalam
merawat pasien yang menderita Hemofilia.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.3 Etiologi Hemofilia
Hemofilia terjadi karena adanya mutasi atau penggantian pada satu gen
yang bertanggungjawab mengahasilkan protein faktor pembekuan yang
diperlukan untuk membentuk bekuan darah. Gen tersebut terletak pada kromosom
X. Laki-laki mempunyai satu kromosom X dan satu kromosom Y (XY) sedangkan
wanita mempunyai dua kromosom X (XX). Laki-laki mendapatkan kromosom X
dari ibu dan mendapatkan kromosom Y dari ayah pasien. Sedangkan perempuan
mendapatkan kromosom X satu dari ayah dan satu dari ibu.(5)
4
menurunkan kromosom X yang bermasalah tersebut kepada anak-anaknya.
Namun wanita yang “carrier” bisa saja memiliki anak yang tidak mengalami
hemofilia karena masih mempunyai presentasi memiliki anak yang normal.(5)
Gambar 2.1
1. Pada contoh ini, didapatkan ibu carrier gen hemofilia dan ayah tidak
memiliki hemofilia.
o Terdapat kemungkinan sebesar 50% tiap anak laki-laki mengalami
hemofilia
o Terdapat kemungkinan sebesar 50% tiap anak perempuan membawa
gen carrier hemofilia. (7)
5
Gambar 2.2
Gambar Penurunan hemofilia dari ibu carrier gen hemofilia dan ayah
tidak memiliki hemofilia(7)
Gambar 2.3
Gambar Penurunan hemofilia dari ibu tanpa hemofilia dan ayah dengan
hemofilia(7)
3. Pada contoh berikut, ayah tidak mengalami hemofilia dan ibu bukan
merupakan carrier gen hemofilia.
o Tidak ada anak (laki-laki maupun perempuan) yang
memiliki/membawa gen hemofilia. (7)
6
Gambar 2.4
Gambar Penurunan hemofilia dari ibu tidak memiliki hemofilia dan
ayah tidak memiliki hemofilia(7)
7
Deformitas sendi dan lumpuh jika tidak
dicegah atau diobat dengan memadai
1-5 Penyakit sedang
Perdarahan setelah trauma minor
Kadang perdarahan spontan
>5 Penyakit ringan
Perdarahan hanya setelah trauma
signifikan, operasi
Tabel 2.1
Korelasi aktivitas factor koagulasi dan keparahan penyakit pada hemophilia
A dan B (6)
Hemofilia diturunkan secara sex linked, yaitu X-linked recessive. Gen untuk
faktor VIII dan IX terletak pada ujung lengan panjang (q) kromosom X. Oleh karena
itu, perempuan sebagai pembawa sifat (carrier) sedangkan laki-laki biasanya
menjadi penderita. Perempuan pembawa sifat hemofilia yang menikah dengan laki-
laki normal dapat menurunkan satu atau lebih anak lelaki penderita hemofilia atau
satu atau lebih anak perempuan pembawa sifat. Sedangkan laki-laki penderita
hemofilia yang menikah dengan perempuan normal akan menurunkan anak lelaki
yang normal atau anak perempuan pembawa sifat.(1)
Ketika endotelium vaskular mengalami cedera, proses hemostatik akan
memulai kaskade koagulasi untuk mengembalikan integritas vaskular dan
mencegah perdarahan lebih lanjut. Aktivasi trombosit yang terjadi di tempat
rupturnya vaskular akan merangsang faktor pembekuan dan pembentukan fibrin
yang menghasilkan sumbat platelet-fibrin untuk menghambat perdarahan lebih
lanjut.(9)
Faktor VIII adalah protein yang diproduksi oleh hepar, faktor tersebut
merupakan faktor major yang berfungsi pada jalur intrinsic pada cascase
pembekuan darah. Faktor tersebut juga berfungsi esenisal untuk mengaktivasi
faktor X yang berfungsi mengubah prothrombin menjadi thrombin dan
8
pembentukan fibrin untuk menghambat perdarahan lebih lanjut. Faktor VIII terikat
dengan faktor von Willebrand untuk melindunginya dari degradasi proteolitik.(9)
Perdarahan pada hemofilia disebabkan oleh stabilisasi fibrin yang cacat akibat
pembentukan fibrin yang tidak adekuat yang menyebabkan kegagalan hemostasis
sekunder. Kurangnya trombin dalam kaskade koagulasi menghasilkan kelangkaan
fibrin. Tanpa koagulasi yang adekuat dan formasi pembekuan darah yang tidak
adekuat maka hemostasis tidak dapat tercapai dengan baik.(10)
Seperti halnya faktor VIII, faktor IX juga disintesis oleh hepar dan
produksinya bergantung pada vitamin K. Faktor IX berpartisipasi dalam fase
intermediate jalur koagulasi darah. Dalam kompleks dengan faktor VIIIa pada
permukaan membran, faktor IXa kemudian mengaktifkan faktor X, dan kemudian
dapat mengbah prothrombin menjadi thrombin.(11)
Gambar 2.5
Gambar kaskade koagulasi (6)
2.6 Diagnosis Hemofilia
9
APTT (activated partial thromboplastin time/masa tromboplastin parsial
teraktivasi), dan TT (thrombin time/masa trombin). Pada hemofilia A atau B akan
dijumpai pemanjangan APTT sedangkan pemeriksaan hemostasis lain dalam batas
normal.(12)
10
Manifestasi klinis perdarahan yang terjadi pada hemofilia tergantung pada
konsentrasi faktor VIII atau faktor IX didalam plasma. Pasien dengan hemofilia
berat biasanya mengalami perdarahan spontan. Perdarahan spontan dapat terjadi
di sendi, otot, sistem saraf pusat, kepala dan leher, dan sistem pencernaan. Pasien
dengan hemofilia berat juga dapat mengalami perdarahan masif setelah trauma
minor, operasi, atau setelah pemberian vaksin intramuskular. Pada hemofilia
ringan ataupun sedang seringkali tidak terdiagosa hingga remaja atau dewasa
karena tidak ada tanda yang jelas kecuali mungkin dapat mengalami perdarahan
masif setelah prosedur gigi, kecelakaan atau operasi seperti sikumsisi.(13)
11
Perdarahan pada Otot
Perdarahan pada otot dapat terjadi pada bagian otot manapun. Biasanya
perdarahan ini terjadi akibat trauma langsung atau peregangan mendadak pada
otot. Perdarahan otot secara dapat dikenali dengan pemeriksaan radiologi maupun
gejala klinis berupa nyeri dengan atau tanpa bengkak dan gangguan fungsi.
Perdarahan otot dapat terjadi pada otot superfisial seperti otot biceps brachii,
triceps, gastrocnemius, quadriceps, dan gluteus. Tekanan lokal dapat
menyebabkan neuropati akibat jepitan, seperti neuropati nervus femoralis akibat
perdarahan pada iliopsoas, akan menyebabkan gejala trias berupa, nyeri di
pangkal paha, nyeri saat fleksi pinggul dan kehilangan sensori kulit ditempat
distribusi saraf femoralis. Apabila terjadi perdarahan di betis, lengan bawah atau
otot peroneus dapat menyebabkan nekrosis iskemik hingga kontraktur.(6,14)
Langkah yang harus dilakukan secepatnya adalah meningkatkan kadar
factor yang kurang. Idealnya lakukan terapi saat pasien mengalami gejala pertama
berupa rasa tidak nyaman pada bagian tertentu setelah terjadi trauma. Istirahatkan
dan tinggikan bagian yang mengalami trauma. Lakukan splint pada otot dan
fiksasi pada posisi nyaman dimana nyeri yang dirasakan minimal. Serta lakukan
kompres es selama 15-20 menit tiap 4-6 jam untuk mengurangi nyeri. Infus faktor
ulang mungkin diperlukan selama 2-3 hari atau lebih pada pasien yang sampai
mengalami sindrom kompartemen. Jika hal ini terjadi maka pasien juga perlu di
rehabilitasi.(6)
12
Tabel 2.2
Manifestasi perdarahan dan perbedaan keparahan hemophilia A dan B (13)
13
Kadar faktor VIII diukur menggunakan pemeriksaan immunologi assays,
untuk mendeteksi abnormalitas faktor VIII. Jika kadar antigen faktor VIII normal
namun aktivitas pembekuan menurun, maka pasien memiliki disfungsi molekul
faktor VIII.
Tabel 2.3
14
pengobatan jauh. Selanjutnya dalam waktu 2 jam setelah perdarahan pasien harus
mendapatkan faktor pembekuan yang diperlukan.(1)
Gambar 2.7
Poster pertolongan pertama RICE (16)
A. Jenis Terapi Lainnya
a. Desmopressin
Desmopressin atau 1-deamino-8-D-arginine vasopresin (DDAVP)
merupakan hormon artifisial yang ditujukan untuk terapi hemofilia A
derajat ringan. Obat ini tidak digunakan untuk terapi hemofilia B atau
hemofilia A derajat berat. Walaupun mekanisme kerja dari terapi
hemofilia tidak diketehui dengan jelas, namun pemberian desmopressin
didapatkan dapat meningkatkan kadar plasma faktor VIII dan faktor von
15
Willebrand dengan cara meningkatkan simpanan faktor pada endotel
vaskular. Desmopressin bekerja pada reseptor V2 di endotel vaskular dan
menstimulasi eksositosis badan Weibel-palade yang mengandung VWF
dan di beberapa jaringan FVIII. Desmopressin meningkatkan faktor VIII
sebanyak 3-5 kali dari faktor VIII dalam keadaan basal. Faktor von
Willebrand dapat mengikat faktor VIII dan menyebabkan faktor VIII
bertahan lebih lama di pembuluh darah.(10,15)
Dosis desmopressin sebesar 0,3 mcg/kg subkutan atau intravena
dalam 30 NS selama 30 menit. Desmopressin juga dapat diberikan dengan
sediaan nasal spray dengan dosis 150 mcg/1 spray/lubang hidung untuk
berat badan 50 kg. DDAVP diberikan secara injeksi atau dengan nasal
spray. Desmopressin intravena mencapai kadar puncak dalam waktu 30-
60 menit dan 90-120 menit jika diberikan secara subkutan atau intranasal.
Kontraindikasi penggunaan desmopresin adalah riwayat kejang dan gagal
jantung kongestif. Efek samping dari desmopressin adalah sakit kepala
dan flushing. Efek samping yang lebih serius dapat terjadi berupa retensi
cairan, hiponatremi dan kejang. Pemberian obat ini biasanya diberikan
sebelum prosedur gigi dan sebelum melakukan jenis olahraga. Hal tersebut
bertujuan untuk mencegah dan mengurahi perdarahan.(10,15)
b. Antifibrinolitik
Terdapat 2 jenis antifibrinolitik yang digunakan sebagai terapi
hemofilia, yaitu asam trankesamat dana asam amino kaproat. Obat ini
menstabilkan bekuan fibrin dengan cara menginhibisi plasminogen.
Antifibrinolitik tidak mencegah terjadi perdarahan namun efektif sebagai
terapi tambahan khususnya pada pasien dengan perdarahan mukosa
seperti epistaksis atau pasien yang akan melakukan prosedur dentis.
Terapi antifibrinolitik (asam traneksamat dan asam epsilon
aminokaproat) dapat digunakan sebagai terapi pengganti.(18) Pada
hemofilia derajat ringan, penggunaan terapi pengganti tidak terlalu berarti.
Terkadang DDAVP diberikan untuk meningkatkan kadar faktor VIII.
Sedangkan pada hemofilia derajat sedang perlu diberikan terapi pengganti
saat terjadi perdarahan atau untuk mencegah terjadinya perdarahan saat
16
mengikuti aktivitas tertentu. DDVAP dapat diberikan sebelum melakukan
prosedur medis kecil atau melakukan aktivitas yang meningkatkan risiko
perdarahan. Pada hemofilia berat, pasein sering mendapatkan terapi
pengganti untuk mencegah perdarahan yang dapat merusak sendi, otot dan
lain-lain. Pemberian terapi tersebut diberikan 2-3 kali/minggu secara
mandiri.(18) Dosis asam kaproat pada dewasa 5 gram dan dilanjutkan 1
gram tiap 8 jam sampai perdarahan berhenti. Dosis pada anak sebesar 50-
100 mg/kg (maksimum 5 g) tiap 6-8 jam. Asam traneksamat lebih efektif
daripada asam kaproat dalam menginhibisi reseptor yang mengikat
activator plasminogen.
Antifibrinolitik tidak boleh diberikan pada pasien dengan
perdarahan ginjal karena dapat meningkatkan risiko nefropati obstruktif.
Dosis asam traneksamat 3-4 gram/hari dibagi 2 dosis selama 5-10 hari.
Pada anak-anak dosis asam traneksamat 15-25 mg/kg, 3 kali sehari.
Secara garis besar terapi hemofilia harus dilakukan secara
komphrensif. Terapi yang dilakukan berupa nonfarmakologi dan
farmakologi. Terapi nonfarmakologi merupakan terapi suportif berupa
melakukan tidakan RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation) yang sangat
penting dilakukan saat terjadi perdarahan otot atau sendi. Selain hal
tersebut dapat dilakukan splints, casts, atau penggunaan tongkat untuk
mengistirahatkan otot atau sendi yang terganggu. Kompres air dilakukan
selama 20 menit tiap 4-6 jam. Setelah nyeri dan bengkak hilang maka
dapat dilakukan fisioterapi untuk memelihara fungsi sendi dan otot.(17)
17
Tabel 2.4
Do the 5, berupa:
1. Kontrol rutin
4. Olahraga dan pertahankan berat badan ideal untuk memelihara kesehatan sendi
5. Lakukan kultur darah rutin untuk deteksi dini infeksi via transfuse(5)
Selain hal tersebut terdapat dua jenis profilaksis lainnya sebagai tindakan
preventif, yaitu profilaksis primer dan sekunder. Profilaksis primer didapatkan
menyebabkan kehidupan anak dengan hemofilia berat lebih baik, kejadian
perdarahan akut lebih jarang, dan komplikasi orthopedic lebih sedikit. Jika
profilaksis primer dilakukan pada awal usia dan dilakukan secara kontinu maka
profilaksis primer dapat mencegah arthropati pada hemofili.(5)
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Gatot D, Moeslichan S. Hemofilia. Dalam: Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar
Hematologi dan Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012. 174
4. World Federation of Hemophilia. 2017. Report on the Annual Global Survey 2016.
Canada: 28-35.
5. Center for Disease Control and Prevention. Basic about hemophilia [internet].
CDC.2018. Available from https://www.cdc.gov/ncbddd/hemophilia/facts.html
6. Hoffbrand AV, Moss PA. Kapita Selekta Hematologi ed 6. Jakarta: EGC; 2013. 3227.7.
Center for Disease Control and Prevention. How Hemophilia is Inherited [internet].
CDC.2018. Available from https://www.cdc.gov/ncbddd/hemophilia/inheritance-
pattern.html
11. Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ et al. Hematology: Basic Principlas and Practice, 4th
ed. Phildelphia: Elsevier; 2005. 115.
12. Setiabudy R. Diagnosis Hemofilia secara laboratorik. Bagian Patologi Klinik FKUI-
RSCM Jakarta. Dalam Simposium Diagnosis dan Penatalaksanaan Hemofilia.
FKUI Jakarta; 2002.
13. Arceci RJ, Hann IM, Smith OP. Pediatric Hematology, ed 3. Massachusetts, USA:
Blackwell Publishing; 2006. 586.32
20
14. Hoffbrand AV, Higgs DR, Keeling DM, Mehta AB. Postgraduate Haematology, ed
7. UK: Wiley Blackwell; 2016. 716.
15. Christine AL, Berntorp EE, Hoots WK. Textbook of Hemophilia. Australia:
Blackwell Publishing; 2005. 251-4.
16. Indonesian Hemophilia Society. Poster Pertolongan Pertama (RICE). Diakses dari
http://hemofilia.or.id/tentang-hemofilia/perawatan-hemofilia/
17. World Federation of Hemophilia. Guideline for The Management of Hemophilia, 2nd
18. Hemophilia. National Heart and Lung, and Blood Institute. Diakses dari
https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/hemophilia
21