Anda di halaman 1dari 17

Referat

HEMOFILIA PADA ANAK


Referat ini di buat untuk melengkapi persyaratan mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Anak
RSU. Haji Medan

Pembimbing:
dr. Syarifah Mahlisa Soraya, Sp. A

Disusun Oleh:
Ega Eryzkia (21360039)

KEPANITRAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

karunia-Nya sehingga Paper ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dengan judul

“Hemofilia”.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih

jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan dalam

penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari semua pihak.

Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat bermanfaat bagi

pembacanya. Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. Syarifah

Mahlisa Soraya, Sp.A yang telah membimbing dan mengarahkan dalam menyelesaikan

paper ini.

Akhirnya semoga paper ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,

khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat

dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin.

Medan, Juni 2022

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL.......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3


2.1 Definisi.................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi........................................................................................................3
2.3 Patofisiologi.........................................................................................................4
2.4 Gejala Klinis.........................................................................................................5
2.5 Diagnosis..............................................................................................................6
2.6 Penatalaksanaan...................................................................................................7
2.7 Komplikasi...........................................................................................................8
2.8 Kualiitas Hidup....................................................................................................11

BAB III PENUTUP....................................................................................................14


3.1 Kesimpulan..........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hemofilia adalah kelainan perdarahan herediter akibat defisiensi kongenital

faktor pembekuan darah. Faktor pembekuan yang paling sering terganggu adalah

faktor VIII (FVIII) pada hemofilia A dan faktor IX (FIX) pada hemofilia B. Faktor

pembekuan ini merupakan kelainan perdarahan resesif. Angka kejadian hemofilia A

adalah 1 dari 10.000 kelahiran, sedangkan hemofilia B 1 dari 60.000 kelahiran.

Jumlah penderita hemofilia di Indonesia sudah menembus 20.000 orang Hemofilia

(Prasetyawaty, et al, 2016).

Hemofilia tidak mengenal ras, perbedaan warna kulit atau suku bangsa.

Hemofilia paling banyak diderita hanya pada pria, wanita akan benar-benar

mengalami hemofilia jika ayahnya adalah seorang hemofilia dan ibunya adalah

pembawa sifat (carrier) dan ini sangat jarang terjadi sebagai penyakit yang

diturunkan ( Schnabel, F 2019).

Hemofilia dapat terjadi dalam bentuk ringan, sedang, dan berat berkaitan

dengan kadar faktor plasma. Hemofilia ringan memiliki kadar faktor plasma antara

6-40%, sedang antara 1-5%, dan berat kurang dari 1%. Secara umum, semakin

sedikit kadar koagulasi dalam darah maka akan semakin besar risiko terjadinya

pendarahan di persendian, gejala umum penderita hemofilia ialah di persendian.

Pasien hemofilia berat dapat diobati dengan pemberian konsentrat faktor pembekuan

2-3 kali per minggu untuk mencegah pendarahan atau hanya saat terjadi pendarahan,

jika tidak dilakukan pemberian Faktor VIII (Septarini & Windiastuti, 2010).
Pada pasien hemofilia di belanda pemberian terapi profilaksis sangat di

rekomendasikan, dapat meningkatkan kualitas hidup penderita hemofilia dan

mengurangi kerusakan pada sendi yang mengakibatkan pasien hemofilia mengalami

gangguan keterbatasan fisik.

Berbeda hal dengan di Polandia di sana angka pendarahan berulang dan pendarahan

serius lebih tinggi dibandingkan dengan negara Belanda dan Irlandia (Noone,

Mahony, Vandijk &Prihodova. 2013)

Gangguan fungsi fisik terjadi karena perdarahan sendi yang berulang sehingga

dapat mengakibatkan nyeri, deformitas sendi, terbatasnya pergerakan sendi, dan

kecacatan. Penderita hemofilia juga cenderung mengurangi aktivitas fisik untuk

menghindari terjadinya perdarahan. Hal tersebut berdampak pada terbatasnya

aktivitas penderita hemofilia.

Short Form-36 (SF-36) merupakan salah satu instrumen baku untuk menilai

kualitas hidup terutama untuk pasien yang penderita penyakit kronis. SF- 36 dapat

memberikan gambaran lebih lengkap dengan menggambarkan 8 aspek yaitu 1)

pembatasan aktifitas fisik karena masalah kesehatan yang ada, 2) pembatasan

aktifitas sosial karena masalah fisik dan emosi, 3) pembatasan aktifitas sehari-hari

karena masalah fisik, 4) nyeri seluruh badan, 5) kesehatan mental secara umum, 6)

pembatasan aktifitas sehari-hari karena masalah emosi, 7) vitalitas hidup, dan 8)

pandangan kesehatan secara umum (Ware, J. 2005)

Setiap individu mengejar kebahagiaan dalam hidupnya. Kebahagiaan

sendiri merupakan keadaan psikologis yang positif ditandai dengan tingginya derajat

kepuasan hidup, emosi positif, dan rendahnya derajat emosi negatif penting yang

turut menentukan kualitas hidup individu. Kualitas hidup secara umum dibedakan

menjadi kualitas eksternal dan internal individu.


Kualitas eksternal berkaitan dengan kondisi lingkungan iindividu, sedangkan kualitas

internal bberhubungan dengan kondisi subbjektif individu seperti

otonommi,kreativitas,kontrol terhadap realitas,serta kesejahteraan subjektif dan

kebahagiaan yangg dirasakan individu.. kondisi subjektif dianggap lebih berperan

dalam mempengaruhi kuualitas hidup, karena kondisi kehidupan tertentu tidak

menghasilkan reaksi yang sama pada setiap individu, tiap-tiap individu memiliki

definisi masing-masing mengenai hal-hal yang mengindikasikan kualitas hidup yang

baik dan buruk (Jacob,2018)

Gambaran kualitas hidup terkait kesehatan subjek hemoofilia dewasa di

indonesia berdasarkan SF-36 menunjukkan hasil lebih rendah pada komponen fisik

dibandingkan komponen mental. Derajat hemofilia secara klinis yang berat dan

keterlibatan sendi yang berat merupakan faktor prediktor kualitas hidup buruk pasien

hemofilia dewasa. Gabungan derajat hemofilia secara klinis dan keterlibatan sendi

memiliki nilai prediksi yang lebih baik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan

pasien hemofilia dewasa (Prasetyawati, et al , 2016).

Berdasarkan Hasil Dari hasil studi pendahuluan pada tanggal 21 Desember

2019 di komunitas Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia Yogyakarta terdapat

3 penderita mengatakan dalam 4 minggu terakhir kesehatan fisik dan aktivitas sosial

mengalami sedikit terganggu dan terdapat 5 orang mengatakan rasa sakit/nyeri

sangat mengganggu aktivitas sehari-hari dan pekerjaan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Hemofilia adalah gangguan perdarahan yang bersifat herediter, pertama kali

ditemukan di abad kedua oleh kerajaan Babilonia. Hemofilia berasal dari bahasa

Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang berarti darah dan philia yang

berarti cinta atau kasih sayang sehingga diartikan sebagai suatu penyakit kelainan

darah yang diturunkan dari ibu kepada anaknya.4

Penyakit hemofilia pertama kali dipublikasikan sebagai penyakit genetik

sex x-linked recessive oleh dr. John Conrad Otto pada tahun 1803. Klasifikasi

hemofilia menjadi dua jenis yaitu hemofilia A (defisiensi faktor VIII) dan

hemofilia B (defisiensi faktor IX) pada tahun 1947. Penyakit ini diturunkan secara

x-linked recessive sehingga sering dijumpai pada anak laki-laki. Sekitar sepertiga

kasus disebut kasus sporadik dimana tidak ada riwayat keluarga hemofilia namun

terjadi mutasi baru di gen kromosom X pada faktor VIII atau IX. Hemofilia A

lebih sering dijumpai dengan cakupan 80-85% dan sisanya adalah hemofilia B.1,16

Pembagian derajat hemofilia berdasarkan kadar faktor plasma yaitu

hemofilia ringan, sedang dan berat. Derajat hemofilia berkaitan dengan beratnya

gejala perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di sendi, otot, intrakranial dan

berbagai organ interna lainnya.1

2.2 Epidemiologi

Hemofilia tidak menunjukkan kecenderungan ras dan dapat terjadi pada semua

kelompok etnis. Angka kejadian hemofilia A adalah 1 dari 5.000 kelahiran,

sedangkan hemofilia B adalah 1 dari 30.000 kelahiran.2

Hasil survei laporan tahunan World Federation of Hemophilia (WFH) pada


tahun 2017 menunjukkan bahwa sekitar 196.706 penderita hemofilia di seluruh dunia

tersebar di 116 negara, dimana 158.225 orang adalah penderita hemofilia A dan

31.247 orang adalah penderita hemofilia B. Adapun sebanyak 1.787 penderita

hemofilia A dan 267 penderita hemofilia B dari Indonesia telah teregistrasi dalam

survei tersebut.3 Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terakhir yang

dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007, prevalensi nasional hemofilia adalah

0.7%.17 Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) melaporkan hingga

bulan Juni 2012, jumlah penderita yang tercatat telah mencapai 1.410 orang.18

2.3 Patofisiologi

Hemostasis adalah kemampuan alami dan proses normal sebagai respon

untuk menghentikan perdarahan pada lokasi luka. Komponen-komponen yang

berperan dalam hemostasis yaitu sel endotelial, trombosit dan faktor koagulan.

Proses terjadinya hemostasis terdiri dari respon pembuluh darah,adhesi trombbosit,

agregasi trombosit, pembentukan pembekuan darah,stabilisasi bekuan

darah,pembatasan bekuan darah pada tempat luka oleh reguulasi antikoagulan,dan

pemulihan aliiran darah melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh

darah.

Pada bagian luka pembuluh darah, trombosit melekat pada jaringan ikat

subendotel yang terbuka. Faktor von Willebrand (vWF) akan teraktifasi dan diikuti

adhesi trombosit. Trombosit yang melekat akan menjadi trombosit yang aktif dan

melepaskan tromboksan A2 dan adenosine diphosphatase (ADP). Tromboksan A2

dan ADP yang dilepaskan menyebabkan semakin banyak trombosit yang beragregasi

sehingga dapat menyumbat dan menutupi luka. Setelah agregasi trombosit, terjadi
aktivasi model koagulasi berbasis sel dan pembentukan jaringan fibrin yang kuat

untuk menghentikan perdarahan.16,19

Model koagulasi berbasis sel (cell-based model of coagulation) dapat dilihat

pada Gambar 2.1 menyatakan bahwa koagulasi muncul pada tahapan yang

overlapping yaitu inisiasi, amplifikasi, dan propagasi.20

Gambar 2.1. Model koagulasi berbasis sel16

Fase inisiasi dimulai saat terjadi cedera dan melepaskan tissue factor (TF).

Faktor VIIa dengan cepat mengikat TF untuk mengaktifkan faktor X menjadi faktor

Xa. Selanjutnya, faktor Xa berikatan dengan faktor Va pada permukaan sel dan

menghasilkan trombin dalam jumlah yang sedikit. Pada fase amplifikasi terdapat

trombin yang dihasilkan pada tahap inisiasi akan mengaktifkan trombosit,

melepaskan vWF dan mengaktivasi faktor V, faktor VIII, dan faktor IX. Fase

propagasi terjadi di permukaan platelet yang teraktivasi kompleks tenase (faktor

VIIIa dan faktor IXa) dan protrombinase (faktor Va dan faktor Xa) terbentuk.

Kompleks tenase akan mengaktivasi faktor Xa dan segera berikatan dengan faktor

Va sehingga mengubah protrombin menjadi trombin. Selanjutnya, pembentukan

trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin.20


Pada hemofilia A (defisiensi faktor VIII) disebabkan oleh mutasi pada gen F8

yang terletak pada lokus 28 dari lengan panjang kromosom X (Xq28).

Gen F8 ini memiliki ukuran 186 kb serta mengandung 26 ekson dan 25

intron. Defek F8 yang berkaitan dengan hemofilia A dapat disebabkan oleh inversi,

delesi atau insersi, dan missense. Hemofilia B (defisiensi faktor IX) disebabkan oleh

mutasi pada gen faktor IX yang terletak pada lokus 27 lengan panjang kromosom X

(Xq27). Gen faktor IX secara signifikan lebih kecil dan kurang komplek

dibandingkan dengan faktor VIII. Gen faktor IX berukuran 33.5 kb dan mengandung

8 ekson. Mutasi genetik yang dapat terjadi pada hemofilia B yaitu mutasi spontan (de

novo), point mutation delesi dan frameshift mutation faktor IX pada lengan panjang

kromosom X.21

2.4 Gejala klinis

Hemofilia perlu dicurigai ketika perdarahan yang sukar berhenti pada pasien

laki-laki. Hemofilia A dan B tidak bisa dibedakan secara klinis. Derajat berat

hemofilia secara klinis ditentukan oleh derajat berat defisiensi faktor pembekuannya.

Secara klinis hemofilia dapat diklasifikasikan menjadi hemofilia ringan (konsentrasi

F VIII atau F IX 0.05-0.4 IU/mL = 5-40%), hemofilia sedang (konsentrasi F VIII

atau F IX 0.01-0.5 IU/mL = 1-5%) dan hemofilia berat (konsentrasi F VIII atau F IX

dibawah 0.01 IU/mL = dibawah 1%). Manifestasi klinis yang muncul tergantung

pada umur dan defisiensi faktor pembekuan darah yang terkait.1,4,16

Hemofilia ringan sering tidak terdeksi untuk beberapa waktu sampai

penderita menjalani tindakan operasi ringan seperti sirkumsisi atau cabut gigi

dan setelah trauma berat. Pada hemofilia sedang, perdarahan spontan dapat terjadi

atau dengan trauma ringan. Sedangkan hemofilia berat sering terjadi perdarahan

spontan di berbagai organ seperti sendi, otot, gastrointestinal, genitourinaria, dan


intrakranial.16

Angka kejadian perdarahan intrakranial berkisar antara 2.2-7.5% pada pasien

hemofilia anak dan dewasa, serta 1-4% pada neonatus. Perdarahan intrakranial dapat

terjadi secara spontan atau akibat trauma kepala. 12 Manifestasi lain seperti mudah

memar, hematoma intramuskular, dan perdarahan sendi (hemartrosis) dimulai saat

pasien mulai merangkak. Selain perdarahan intrakranial, hemartrosis merupakan

perdarahan yang paling sering ditemukan pada hemofilia. Sendi yang paling sering

terkena adalah sendi lutut, siku, pergelangan kaki dan tangan. Pada hemofilia derajat

berat, 90% episode perdarahan spontan melibatkan sistem muskuloskeletal dengan

80% kasus diantaranya mengenai sendi.1,2

2.5 Diagnosis

Diagnosa hemofilia ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis diperoleh riwayat kecenderungan terjadi

perdarahan yang sulit berhenti setelah suatu tindakan, atau timbulnya hematoma

setelah trauma ringan atau terjadinya hemartrosis. Riwayat keluarga dengan

hemofilia terutama saudara laki-laki atau dari pihak ibu. Pemeriksaan laboratorium

pada hemofilia berupa pemeriksaan darah rutin yang biasanya normal, masa

pembekuan, activated partial thromboplastin time (APTT) memanjang. Sedangkan

masa perdarahan dan masa protrombin umumnya normal. Diagnosis pasti adalah

dengan memeriksa kadar faktor VIII untuk hemofilia A dan kadar faktor IX untuk

hemofilia B. Diagnosis molekuler yang dilakukan saat antenatal yaitu dengan

memeriksa petanda gen hemofilia pada kromosom X.1,16

2.6 Penatalaksanaan

Hemofilia merupakan gangguan perdarahan yang paling sering dijumpai


sehingga perlu di tatalaksana secara dini untuk mencegah disabilitas jangka panjang.

Perdarahan akut perlu dihentikan segera dengan penekanan pada lokasi perdarahan,

kompres dengan es, imobilisasi dan terapi faktor pembekuan diberikan dalam 2 jam

setelah perdarahan.23 Terapi pengganti diutamakan menggunakan konsentrat faktor

VIII atau IX. Pemberian kriopresipitat sebagai sumber dari faktor VIII atau fresh

frozen plasma (FFP) sebagai sumber dari faktor IX jika faktor konsentrat tidak

tersedia. Dosis konsentrat faktor VIII adalah berat badan (kg) x % (target kadar

plasma-kadar faktor VIII penderita) x 0.5 diberikan tiap 12 jam sedangkan dosis

konsentrat faktor IX adalah berat badan (kg) x % (target kadar plasma-kadar faktor

IX penderita)

Aktivitas olahraga dianjurkan pada anak dengan hemofilia karena dapat

meningkatkan kekuatan otot, menurunkan frekuensi perdarahan, dan meningkatkan

rasa percaya diri. Olahraga yang dianjurkan seperti berenang, bersepeda dan berjalan.

Aktivitas olahraga kontak seperti sepak bola, tinju, dan gulat tidak dianjurkan.27

Selain tatalaksana yang telah disebutkan, anak dengan hemofilia dan

keluarganya perlu memperoleh dukungan psikologik serta sosial untuk menerima

suatu penyakit yang bersifat kronik yang seringkali menimbulkan nyeri, dan

kadangkala mengancam jiwa. Dukungan psikososial yang dapat diberikan seperti

menjelaskan penyakit hemofilia kepada anak dan orang tua, memberi perhatian,

memberi semangat untuk mengerjakan aktivitas produktif sehari-hari.28

2.7 Komplikasi

Hemofilia dapat menimbulkan komplikasi kronik pada muskuloskeletal

berupa atropati kronik, sinovitis kronik, kontraktur, fraktur, dan deformitas tulang.

Artropati kronis terjadi akibat perdarahan intraartikular berulang sehingga terjadi


kerusakan sendi dan cairan sinovial serta kartilago artikular yang menyebabkan

sinovitis kronik. Pada anak dalam masa pertumbuhan, sinovitis juga menyebabkan

hipertrofi lempeng pertumbuhan epifisis yang berpotensi terjadinya deformitas

tulang seperti hipertrofi tulang, perbedaan panjang kaki, dan kelainan bentuk sudut

sendi anggota gerak.2

Deformitas tulang, sinovitis, dan hemartrosis dapat menimbulkan rasa nyeri bagi

penderita hemofilia. Nyeri dapat membatasi fungsi fisik, menimbulkan pengaruh

negtif pada suasana hati, dan secara signifikan berdampak pada kualitas hidup.6

Komplikasi kronik lain yaitu infeksi yang berhubungan dengan produk darah dan

faktor pembekuan seperti human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis B virus

dan hepatitis C virus. Komplikasi yang paling penting adalah munculnya antibodi

atau inhibitor terhadap faktor VIII atau faktor IX. Inhibitor terhadap faktor VIII dapat

timbul sekitar 20-30% penderita hemofilia A berat dan sekitar 5-10% pada hemofilia

sedang atau ringan.26 Inhibitor jarang ditemukan pada hemofilia B, hanya kurang dari

5% dari total penderita.21

2.6 Kualitas hidup

dengan lingkungan, dan spiritual. 30 Pengertian lain kualitas hidup adalah

kemampuan individu untuk memaksimalkan fungsi fisik, sosial, psikologis, dan

pekerjaan yang merupakan indikator kesembuhan atau kemampuan beradaptasi

dalam penyakit kronis.31

Kualitas hidup dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu kondisi kesehatan termasuk

terapi, status sosioekonomi, pola asuh, dan lingkungan tempat seorang anak

dibesarkan. Kondisi kesehatan merupakan aspek yang penting berkontribusi terhadap

kualitas hidup anak, sehingga muncul definisi lain yaitu kualitas hidup yang
berhubungan dengan kesehatan (health related quality of life, HRQoL). Kualitas

hidup yang berhubungan dengan kesehatan didefinisikan sebagai tujuan, harapan,

standar individu terhadap status kesehatannya termasuk penyakit dan tatalaksananya

meliputi fungsi fisik, psikologi, sosial, dan kesejahteraan

BAB III

KESIMPULAN
Hemofilia adalah kelainan perdarahan herediter akibat defisiensi kongenital

faktor pembekuan darah. Faktor pembekuan yang paling sering terganggu adalah

faktor VIII (FVIII) pada hemofilia A dan faktor IX (FIX) pada hemofilia B. Faktor

pembekuan ini merupakan kelainan perdarahan resesif. Angka kejadian hemofilia A

adalah 1 dari 10.000 kelahiran, sedangkan hemofilia B 1 dari 60.000 kelahiran.

Jumlah penderita hemofilia di Indonesia sudah menembus 20.000 orang Hemofilia

(Prasetyawaty, et al, 2016). Hemofilia tidak dapat dicegah. Namun ada beberapa

hal sebagai tindakan preventif yaitu pencegahan terjadinya perdarahan akibat

trauma disamping pencegahan terhadap terjadinya trauma sendiri. Kalau seseorang

mengidap hemofilia maka beberapa hal yang harus

diperhatikan :

- Pencegahan terhadap penggunakan aspirin dan nonsteroidal

anti-inflammatory drugs (NSAIDs).

- Vaksinasi tetap dilakukan pada semua orang termasuk pada

bayi, terutama untuk vaksin hepatitis B.

- Tindakan sirkumsisi tidak boleh dilakukan terhadap anak lakilaki.

(14,15)

DAFTAR PUSTAKA

1. Scott JP, Flood VH. Hereditary clotting factor deficiencies (bleeding disorder).
Dalam: Kliegman MR, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-20. Saunders Elsevier; 2015. h.2384-89
2. Zimmerman B, Valentino LA. Hemophilia : In review. American Academy of
Pediatrics. Pediatr Rev. 2013; 34: 289-295
3. World Federation of Hemophilia. Report on the annual global survey. 2017
4. Smith J, Smith OP. Hemophilia A and B. Dalam: Arceci RJ, Hann IM, Smith OP,
penyunting. Pediatric Hematology. Edisi ke-3. Massachusetts: Blackwell Publishing;
2006. h.585-97
5. Monahan PE, Baker JR, Riskie B, Soucie JM. Physical functioning in boys with
hemophilia in the U.S. Am J Prev Med. 2011; 41:S360-8
6. Sherry DD. Avoiding the impact of musculoskletal pain on quality of life in children
with hemophilia. Orthop Nurs. 2008; 27:103-8
7. Trzepacz AM, Vannatta K, Davies WH, Stehbens JA, Noll RB. Social, emotional, and
behavioral functioning of children with hemophilia. J Dev Behav Pediatr. 2003;
24:225-32
8. Shapiro AD, Donfield SM, Lynn HS, Cool VA, Stehbens JA, Hunsbergert SL, et al.
Defining the impact of hemophilia: the academic achievement in children with
hemophilia study. PEDIATRICS. 2001; 108:1-6
9. Cassis FR, Querol F, Forsyth A, Iorio A, HERO International Advisory Board.
Psychosocial aspects of hemophilia:a systematic review of methodologies nd
findings. Hemophilia. 2012; 18:e101-14
10. Dunn J, Mc Guire S. Sibling and peer relationship in childhood. J Child Pscyhol
Psychiatry. 1992; 33:67-105
11. Tregidgo C, Elander J. The invisible child: Sibling experiences of growing up with a
brother with severe haemophilia- An interpretative phenomenological analysis.
Haemophilia. 2019; 25:84-91
12. Ghanizadeh A., Baligh-Jahromi P. Depression, anxiety and suicidal behaviour in
children and adolescent with hemophilia. Hemophilia. 2009; 15:528-32
13. Manikandasamy V, Arumugasamy S, Mathevan G. Impact of hemophilia on quality
of life of affected children and their parents, a hospital based cross sectional study.
Int J Contemp Pediatr. 2017; 4:1620-1625
14. Bagheri S, Beheshtipoor N, Rambod M, Karimi M, Zare N, Hashemi F. The quality of
life of children with hemophilia in Shiraz, Iran. IJCBNM. 2013;1(2):110-120
15. Phadnis S, Kar A. The impact of a haemophilia education intervention on the
knowledge and health related quality of life of parents of Indian children with
haemophilia. Haemophilia. 2017; 23:82-88
16. Acharya S, Sarangi SN. Disorders of coagulation. Dalam: Lanzkowsky P, penyunting.
Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-6. Massachusetts: Elsevier;
2016. h.279-332
17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2007. Bakti Husada; 2007. h.118- 19
18. Indonesian Hemophilia Society. Profil himpunan masyarakat hemofilia Indonesia.
Diunduh dari : www.hemophilia.or.id. Diakses Maret 2019
19. Scott JP, Raffini LJ. Hemostasis. Dalam: Kliegman MR, Stanton BF, St Geme JW,
Schor NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-
20. Saunders Elsevier; 2015. h.2379-84
20. Kurniawan LB, Arif M. Hemostasis berlandaskan sel hidup (in vivo). Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2013; 19:204-10
21. Nogami K, Shima M. Pathogenesis and treatment of hemophilia. Dalam: Ishii E.
Hematological disorders in children. Singapore: Springer, 2017. h.189-201
22. Ljung RC. Intracranial haemorrhage in hemophilia A and B. British J Haematol.
2008; 140:378-84
23. Gatot D, Moeslichan S. Gangguan pembekuan darah yang diturunkan : Hemofilia.
Dalam : Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
penyunting. Buku ajar hemato-onkologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2012. h.174-76

Anda mungkin juga menyukai