“HEMOFILIA”
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan Tugas Pengenalan
Profesi. Salawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi besar
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikut-pengikutnya
hingga akhir zaman.
Saya menyadari bahwa laporan Tugas Pengenalan Profesi (TPP) ini jauh
dari sempurna oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna perbaikan di masa mendatang sangat saya harapkan. Dalam
penyelesaian tugas pengenalan profesi ini, saya banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih kepada Allah SWT, Pembimbing dr Wieke Anggraini, Teman-
teman seperjuangan dan semua pihak yang terkait.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung saya dan harapnya semoga laporan
tugas pengenalan profesi ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Semoga kita selalu dalam perlindungan Allah SWT. Aamiin.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2
1.3 Tujuan Kegiatan..........................................................................................2
1.4 Manfaat...................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hemofilia.......................................................................................3
2.2Teori-Teori HIV-AIDS
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kelainan faal koagulasi yang
bersifat herediter dan diturunkan secara X-linked recessive sehingga hanya
bermanifestasi pada laki-laki, sedangkan wanita hanya menjadi karier atau
pembawa sifat penyakit ini. Dikenal tiga tipe hemofilia yaitu hemofilia A, B,
dan C yang secara klinis ketiganya tidak dapat dibedakan.
(Yantie dan Ariawati 2012).
Kemungkinan penderita hemofilia telah meninggal sebelum terdiagnosis.
Anak-anak yang menderita hemofilia bisa tumbuh dewasa secara normal bila
kondisinya dikelola dengan baik melalui pengobatan dan penanganan yang
tepat ditambah dengan dukungan keluarga.
Hemofilia terjadi oleh karena adanya defisiensi atau gangguan fungsi salah
satu faktor pembekuan yaitu faktor VIII pada hemofilia A serta kelainan
faktor IX pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C. Hemofilia A
merupakan bentuk yang paling sering dijumpai (hemoflia A 80-85%,
hemofilia B 15-20%). Prevalensi hemofilia sebesar 5000-10.000 penduduk
lakilaki yang lahir hidup, dengan insiden hemofilia A di Indonesia sampai
pertengahan 2001 disebutkan sebanyak 314 kasus (Djajadiman 2003).
Salah satu manifestasi klinis perdarahan pada hemofilia adalah hemartrosis
atau perdarahan sendi. Hemartrosis akut merupakan manifestasi perdarahan
yang tersering pada hemofilia berat yaitu sekitar 85% dari seluruh episode
perdarahan. Angka kejadian hemofilia A adalah 1 dari 10.000 kelahiran,
sedangkan hemofilia B 1 dari 60.000 kelahiran. Hemofilia C pada laki-laki
dan perempuan secara merata dan masing-masing memiliki prevalensi
sebanyak sekitar 1 kasus per 100 000 penduduk dan 0.2-1 individu per 1 000
000 penduduk per tahun terutama pada usia tua. Hemofilia dapat terjadi dalam
bentuk ringan, sedang, dan berat berkaitan dengan kadar faktor plasma.
Hemofilia ringan memiliki kadar faktor plasma 6-40%, sedang 1-5% dan berat
kurang dari 1%.4 Secara umum, semakin sedikit kadar faktor koagulasi dalam
1
darah, maka semakin besar risiko terjadi perdarahan (Prasetyawaty Findi dkk.
2016).
Hemofilia A adalah sebuah penyakit heterogen dimana faktor VIII yang
berfungsi pada darah terdapat dengan jumlah yang menurun. Jumlah faktor
VIII yang menurun ini dapat disebabkan karena memang jumlah faktor VIII
yang diproduksi menurun, terdapatnya protein yang abnormal dan tidak
fungsional, atau keduanya. Pada hemofilia A berat dapat terjadi perdarahan
spontan ke dalam sendi, otot dan organ dalam. Pada hemofilia A sedang dapat
terjadi perdarahan jika ada trauma ringan, trauma berat atau tindakan bedah.6
(Murray 2014).
2
BAB II
TEORI-TEORI
2.1 Pengertian
3
Tromboplastin plasma: faktor christmas), sedangkan pada hemofilia
Cdisebaabkan kurangnya faktor XI (Antesenden tromboplastin
plasma). Perbedaan proses pembekuan darah orang noral dengan penderita
hemofilia:
(Susanto 2016)
2.2.2 Epidemiologi
Hemofilia A adalah penyakit X-linked resesif yang paling sering di
dunia dan penyakit perdarahan defisiensi faktor yang kedua tesering setelah
4
penyakit von Willebrand. Insiden dunia untuk hemofilia A adalah sekitar 1 per
5000 laki-laki dan 1/3 dari individu tidak memiliki sejarah penyakit pada
keluarga. Hernofilia A ditemukan hampir di seluruh dunia. Selain itu salah satu
penelitian mengatakan Insiden hemofilia A adalah I dalam 20.000 sampai 1 dalam
10.000 orang pertahun.r Insiden lebih tinggi ditemukan pada penduduk Afrika,
penduduk asli Amerika, dan Asia. Hemofilia A merupakan kelainan yang
diturunkan melalui kromosom X, secara X-linked recesstve. (WFH 2005)
2.2.3 Etiologi
Hemofilia A dan hemofilia B disebabkan oleh kerusakan pada
pasangan kromosom. Defek genetik ini berpengaruh pada produksi
dan fungsi dari faktor pembekuan. Semakin sedikit faktor pembekuan
tersebut maka semakin berat derajat hemofili yang diderita. Hemofilia A
disebabkan oleh kelainan produksi dari faktor VIII, sedangkan hemofilia B
disebabkan oleh kelainan produksi dari faktor IX. Hemofilia juga dapat
timbul secara spontan ketika kromosom yang normal mengalami
abnormalitas (mutasi) yang berpengaruh pada gen untuk faktor pembekua
VIII atau IX. Anak yang mewarisi mutasi tersebut dapat lahir
dengan hemofilia atau dapat juga hanya sebagai carrier.
Sementara itu untuk hemofilia C disebabkan defisiensi kongenital
faktor XI yang disebabkan mutasi gen faktor XI. Hal ini dapat terlihat dari
orang Ashkenazi Jewish, dimana pada pasien hemofilia C tersebut terlihat
adanya mutasi gen faktor XI. Akibat dari mutasi ini terjadi
kegagalan produksi protein aktif yang berkaitan dengan disfungsi
molekul factor pembekuan. (Tambunan KL, Widjanarko A 1990)
5
hyphema, dan perdarahan intrakranial. External bleeding dapat
berupa
perdarahan dari hidung (mimisan) tanpa sebab yang jelas, perdarahan yang
berlebihan saat cabut gigi, dan perdarahan yang berlebihan ketika adanya luka.
Walau tidak dapat dibedakan secara klinis, kasus yang lebih berat ditemukan
pada pasien-pasien dengan hemofilia A dibandingkan hemofilia B. Hemofilia
C pada umumnya tidak separah kasus hemofilia A dan B. Hemofilia dapat
dibagi menjadi penyakit ringan, sedang, atau parah berdasarkan gejala dan
jumlah fakt Beratnya perdarahan pada seorang penderita hemofilia ditentukan
oleh kadar F VIII C di dalam plasma.
a. Hemofilia berat : kadar F VIII C di dalam plasma 0-2% Perdarahan
spontan sering terjadi. Perdarahan pada sendi-sendi (hemarthrosis)
sering terjadi. Perdarahan karena luka atau trauma dapat mengancam jiwa.
b. Hemofilia sedang: kadar F VIII C di dalam plasma 3-5% Perdarahan
serius biasanya terjadi bila ada trauma. Hemarthrosis dapat terjadi
walaupun jarang dan akalu ada biasanya tanpa cacat.
c. Hemofilia ringan : kadar F VIII C di dalam plasma berkisar antara 6-25%
Perdarahan spontan biasanya tidak terjadi. Hemarthrosis tidak
ditemukan. Perdarahan biasanya ditemukan sewaktu operasi berat, atau
trauma.x
Salah satu gejala khas dari hemofilia adalah hemarthrosis yaitu
perdarahan ke dalam ruang sinovia sendi, misalnya pada sendi
lutut.
Persendian besar lainnya seperti lengan dan bahu juga dapat
terkena.
Perdarahan ini bisa dimulai dengan luka kecil atau spontan dalam sendi. Darah
berasal dari pembuluh darah sinovia, mengalir dengan cepat mengisi ruangan
sendi. Penderita dapat merasakan permulaan timbulnya perdarahan pada sendi
ini karena ada rasa panas. Akibat perdarahan, timbul rasa sakit yang hebat,
menetap disertai engan spasme otot, dan gerakan sendi yang terbatas. Karena
perdarahan berlanjut, tekanan di dalam ruangan sendi terus meningkat dan
6
menyebabkan iskemia sinovia dan pembuluh-pembuluh darah kondral.
Keadaan ini merupakan permulaan kerusakan sendi yang permanen.
Gejala klinis lainnya yang biasanya terjadi yaitu hematoma, pseudotumor
(kista darah), hematuria, perdarahan intrakranial, perdarahan pada
mulut,
akibat tindakan operasi, dan perdarahan membran mukosa.
7
beratnya penyakit dan pengobatan yang diberikan. Prognosis ini akan diperburuk
oleh komplikasi virus yang terjadi selama pemberian terapi pengganti. Demikian
juga halnya jika terjadi perdarahan intrakranial maupun organ vital lainnya serta
terjadinya pendarahan massif pada organ akan memperjelek keadaan penderita.
(Powell 2009)
2.2.7 Diagnosis
Diagnosis hemofilia dibuat berdasarkan riwayat perdarahan, gambaran
klinik dan pemeriksaan laboratorium. Pada penderita dengan gejala perdarahan
atau riwayat perdarahan, pemeriksaan laboratorium yang perlu diminta adalah
pemeriksaan penyaring hemostasis yang terdiri atas xvi hitung trombosit, uji
pembendungan, masa perdarahan, PT (prothrombin time – masa protrombin
plasma), APTT (activated partial thromboplastin time – masa tromboplastin
parsial teraktivasi) dan TT (thrombin time – masa trombin). Seorang dengan
hemofilia dapat didiagnosa dengan assay faktor, pola perdarahan, dan sejarah
keluarga (apabila ada). Seorang dengan hemofilia A, B, dan C memiliki lab yang
menunjukkan nilai aPTT yang memanjang serta nilai PT dan TT normal. Pada
kasus hemofilia ringan, aPTT dapat hanya memanjang sedikit atau bahkan
normal, terutama apabila faktor VIII dan IX masih berada pada nilai 20% atau
lebih. Diagnosis definitif untuk hemofilia dapat dilakukan dengan penilaian assay
spesifik untuk aktifitas faktor VIII dan IX. Usia diagnosis untuk hemofilia berat
adalah 1 bulan, hemofilia sedang adalah pada usia-usia muda beberapa tahun
kehidupan pertama, dan hemofilia ringan pada masa-masa jauh ke depan. Sekitar
95% dari kasus hemofilia akan terdiagnosa pada saat usia 15 tahun dengan sekitar
50% memiliki penyakit yang berat. ( Kasper 2004)
2.3 Tata Laksana Hemofilia
Dasar dari terapi hemofilia adalah pencegahan perdarahan dan pengobatan
pada perdarahan tersebut secara cepat dan tepat. Pada penderita hemofilia
dilakukan pengobatan kriopresipitat. Komponen utama krioprisipitat adalah faktor
VIII atau anti hemophylic globulin yang berfungsi sebagai factor pembekuan atau
untuk menghentikan pendarahan. Pengobatan kriopresipitat pada penderita
hemofilia disesuaikan dengan berat ringannya perdarahan. Pada perdarahan ringan
bila kadar F VIII mencapai 30% sudah cukup untuk menghentikan perdarahan,
8
Perdarahan sedang memerlukan kadar F VIII 50% dan pada perdarahan berat
memerlukan F VIII 100%.
Selain pemberian faktor pembekuan, pasien juga dapat diberikan DDVAP
(hanya dapat diberikan pada hemofilia A), antifibrinolitik, dan fibrin glue.
DDVAP merupakan suatu hormon sintesis anti diuretik yaitu 1-deamino-8-D-
arginine vasopressine (DDAVP) dapat menaikkan kadar F VIII C. Pada kasus-
kasus hemofilia ringan dan sedang, obat ini menaikkan kadar F VIII C 3-6 kali
lipat.
(Kaushansky, 2016)
2.4 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh penderita hemofilia dan
menyebabkan kematian yaitu, Komplikasi virus yang timbul antara lain infeksi
HIV penyebab kematian terutama disebabkan perdarahan intrakranial dan
perdarahan lainnya dari AIDS serta serosis hepatis. Komplikasi lainnya adalah
penyakit hepatitis dan sirosis hepatis. Jika ini terjadi maka angka kematian akan
meningkat menjadi 1,2 kali lebih banyak dibandingkan kematian hemofilia murni.
Perdarahan intrakranial terjadi pada 2-8% penderita dan hal ini menyebabkan
kematian. Perdarahan lainnya yang dapat timbul terutama pada jaringan lunak
akibat obstruksi saluran napas atau kerusakan organ dalam. (Elzinga 2002)
9
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang pria Kaukasia Swiss berusia 77 tahun dirawat di rumah sakit
perifer karena sindrom kompartemen betis kirinya setelah trauma ringan,
multiple myeloma yang ganas sebagai penyebab yang mendasarinya. Keluarga
pasien dan riwayat pribadi negatif untuk penyakit hematologi. Dua bulan
sebelumnya, pasien telah menjalani kolonoskopi lancar dengan polipektomi
dimulai karena melena. Tidak ada tes koagulasi yang tersedia sejak saat itu.
Meskipun dua intervensi bedah, pendarahan ke betis tetap ada. Enam hari
setelah masuk awal, AHA dicurigai, dan pasien dipindahkan ke rumah sakit
kami. rumah sakit kami. Hasil evaluasi laboratorium pasien mengungkapkan
waktu tromboplastin parsial teraktivasi yang berkepanjangan (aPTT; 119
detik; rentang referensi 25,0–36,0 detik), dan FVIII:C sebesar 2% dengan
adanya inhibitor FVIII titer tinggi dari 102 unit Bethesda ( BU)/ml
mengkonfirmasi diagnosis AHA.
Pengobatan dengan prednisolon (1 mg/kg berat badan) dan
siklofosfamid (150 mg/hari) dimulai pada hari perawatan di rumah sakit kami.
Karena sindrom kompartemen yang akan segera terjadi dan potensi kebutuhan
intervensi bedah lebih lanjut, imunoadsorpsi dimulai sesuai dengan protokol
Bonn Malmö yang dimodifikasi [3] untuk dengan cepat menghabiskan
inhibitor FVIII. Secara keseluruhan, kami melakukan tujuh sesi imunoadsorpsi
yang memproses sekitar dua total volume plasma pasien per sesi selama 13
10
hari ke depan. Dalam 1 bulan, aPTT dan FVIII:C telah normal, sedangkan titer
inhibitor menurun secara signifikan tetapi masih terdeteksi (1,04 BU/ml).
Setelah dua siklus, inhibitor FVIII semakin menurun menjadi 0,31
BU/ml. Imunoglobulin monoklonal masih dapat dideteksi dengan fiksasi imun
tetapi tidak lagi dapat diukur. Selanjutnya, intensitas pengobatan dikurangi
menjadi rejimen VRD-lite [4] karena trombositopenia, polineuropati ringan,
dan tanda-tanda gagal jantung kongestif. Selama tindak lanjut, tidak ada
perdarahan lebih lanjut terjadi. Setelah sembilan siklus terapi induksi dan lima
siklus terapi konsolidasi dengan rejimen VRDlite, pasien dalam remisi
lengkap dari AHAnya dan dalam remisi parsial yang sangat baik dari PCNnya.
\
11
BAB IV
PEMBAHASAN
12
Di bawah imunoadsorpsi, peningkatan cepat aktivitas pembekuan FVIII
mencapai tingkat yang aman diamati, dan perawatan lebih lanjut dengan
produk bypass tidak diperlukan. Pertukaran plasma dan imunoadsorpsi untuk
menghilangkan antibodi FVIII dilakukan. Dan setelah menjalani perawatan,
tidak ada perdarahan lebih lanjut terjadi. Setelah sembilan siklus terapi induksi
dan lima siklus terapi konsolidasi dengan rejimen VRDlite, pasien dalam
remisi lengkap dari AHAnya dan dalam remisi parsial yang sangat baik dari
PCNnya.
Pada laporan kasus tersebut dapat diketahui jika memang PCN atau
Plasma Cell Neoplasm yang memiliki kemun gkinan sebagai penyebab yang
mendasari Acquired Hemophilia A. Terjadinya perdarahan yang berlebihan
dan tidak dapat dijelaskan pada pasien yang didiagnosis dengan PCN harus
meningkatkan kecurigaan AHA. Dengan demikian pada kasus melaporkan
bahwa , intervensi dini dengan imunoadsorpsi dapat menyelamatkan nyawa
pada kasus dengan titer inhibitor FVIII yang tinggi, terutama pada pasien yang
memerlukan intervensi bedah.
BAB V
KESIMPULAN
13
4. Dasar dari terapi hemofilia adalah pencegahan perdarahan dan
pengobatan pada perdarahan tersebut secara cepat dan tepat. Pada
penderita hemofilia dilakukan pengobatan kriopresipitat. Komponen
utama krioprisipitat adalah faktor VIII atau anti hemophylic globulin
yang berfungsi sebagai factor pembekuan atau untuk menghentikan
pendarahan. Pada kasus telah diberikan imunoadsorbsi menstabilkan
FVIII
5. Untuk komplikasi, beberapa komplikasi yang dapat dialami oleh
penderita hemofilia dan menyebabkan kematian yaitu, Komplikasi virus
seperti HIV. Komplikasi lainnya adalah hepatitis dan sirosis hepatis.
Pada kasus tidak terjadi komplikasi.
6. Diagnosis hemofilia dibuat berdasarkan riwayat perdarahan, gambaran
klinik dan pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan penyaring
hemostasis yang terdiri atas hitung trombosit, uji pembendungan, masa
perdarahan, PT, APTT dan TT).
DAFTAR PUSTAKA
14
Prasetyawaty Findi dkk. 2016. ‘Prediktor Kualitas Hidup terkait Kesehatan
pada Pasien Hemofilia Dewasa di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo’. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia. Vol 3. No. 3
Setiabudy R. Diagnosis hemofilia secara laboratorik. Bagian Patologi
Klinik FKUI-RSCM Jakarta. Dibacakan pada Simposium Diagnosis
dan Penatalaksanaan Hemofilia. FKUI Jakarta, 2002.
Susanto, M & Kurniawan, A. (2016). Hemofilia. Medicinus. 6(1), 25-29.
Tambunan KL, Widjanarko A. Kelainan hemostasis bawaan. Dalam
:Ssoeparman dkk (eds). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta, 1990 : 452-9
WFH. Guidelines for the management of hemophilia. Montreal World
Federation of hemophilia 2005.
Yantie Veny K dan Ariawati K. 2012. 'Inhibitor Pada Hemofilia'. Jurnal
Ilmiah Kedokteran. MEDICINA. Vol 43. No. 1
LAMPIRAN
15
16