Anda di halaman 1dari 23

KONSEP KEPERAWATAN HEMOPHILIA PADA ANAK

MAKALAH

Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok pada matakuliah Keperawatan Anak
dengan dosen pembimbing Ns. Veny Erlisa,S.Kep.,M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 8 :

1. Heri Hermansyah (AOA0190901)


2. John Saprinal Saogo (AOA0190904)
3. Zakiyatul Asfiya’ (AOA0190925)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

SEKOLAH TINGGA ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segalah rahmat
dan hidayahnya tercurahkan kepada kita yang tak terhingga ini, Karena anugerah dan bimbingan-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang merupakan salah satu tugas dari mata kuliah
“Keperawatan Anak” tepat waktu.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak sekali terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi kesempurnaan makalah ini.Kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kami khususnya dan kepada para pembaca umumnya.

Malang,23 April 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

2.1 Konsep Dasar Hemophilia ............................................................. 3


2.1.1 Pengertian ......................................................................... 3
2.1.2 Etiologi ............................................................................. 3
2.1.3 Manifestasi Klinis ............................................................. 4
2.1.4 Klasifikasi ......................................................................... 4
2.1.5 Patofisiologi ...................................................................... 5
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang .................................................... 6
2.1.7 Penatalaksanaan ................................................................ 7
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan ............................................. 8
2.2.1 Pengkajian ......................................................................... 8
2.2.2 Diagnosa ........................................................................... 9
2.2.3 Intervensi ........................................................................... 9
2.2.4 Implementasi .................................................................... 9
2.2.5 Evaluasi ............................................................................. 9

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 15

1.1 Kesimpulan ................................................................................................ 15


1.2 Saran .......................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu haima yang
berarti darah dan philia yang berarti suka/cinta atau kasih sayang; hemofilia berarti penyakit
suka berdarah. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan
secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis
herediter, di mana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau
IX (hemofilia B). Biasanya bermanifestasi pada anak laki-laki namun, walaupun jarang,
hemofilia pada wanita juga telah dilaporkan. Wanita umumnya bertindak sebagai karier
hemofilia.
Pada keadaan normal bila seseorang mengalami suatu trauma atau luka pada pembuluh
darah besar atau pembuluh darah halus/kapiler yang ada pada jaringan lunak maka sistem
pembekuan darah/koagulation cascade akan berkerja dengan mengaktifkan seluruh faktor
koagulasi secara beruntun sehingga akhirnya terbentuk gumpalan darah berupa benang-
benang fibrin yang kuat dan akan menutup luka atau perdarahan, proses ini berlangsung
tanpa pernah disadari oleh manusia itu sendiri dan ini berlangsung selama hidup manusia.
Sebaliknya pada penderita hemofilia akibat terjadinya kekurangan F VIII dan F IX akan
menyebabkan pembentukan bekuan darah memerlukan waktu yang cukup lama dan sering
bekuan darah yang terbentuk tersebut mempunyai sifat yang kurang baik, lembek, dan lunak
sehingga tidak efektif menyumbat pembuluh darah yang mengalami trauma, hal ini dikenal
sebagai prinsip dasar hemostasis.
Darah pada seorang penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya
secara normal. Proses pembekuan darah pada seorang penderita hemofilia tidak secepat dan
sebanyak orang lain yang normal. Ia akan lebih banyak membutuhkan waktu untuk proses
pembekuan darahnya.
Manifestasi klinik hemofilia A dan B sama yaitu berupa perdarahan yang dapat
terjadi setelah trauma maupun spontan. Perdarahan setelah trauma bersifat “delayed
bleeding“, karena timbulnya perdarahan terlambat. Jadi mula-mula luka dapat ditutup oleh
sumbat trombosit, tetapi karena defisiensi F VIII atau IX maka pembentukan fibrin terganggu
sehingga timbul perdarahan. Gambaran yang khas adalah hematoma dan hemartrosis atau
perdarahan dalam rongga sendi. Perdarahan yang berulang-ulang pada rongga sendi dapat
mengakibatkan cacat yang menetap dan perdarahan pada organ tubuh yang penting seperti
otak dapat membahayakan jiwa. Beratnya penyakit tergantung aktivitas F VIII dan IX.
Hemofilia berat jika aktivitas F VIII atau F IX kurang dari 1%, hemofilia sedang jika
aktivitasnya 1-5% dan hemofilia ringan jika aktivitasnya 5-25%.
Penderita hemofilia kebanyakan mengalami gangguan perdarahan di bawah kulit;
seperti luka memar jika sedikit mengalami benturan, atau luka memar timbul dengan
sendirinya jika penderita telah melakukan aktifitas yang berat; pembengkakan pada
persendian, seperti lulut, pergelangan kaki atau siku tangan. Penderitaan para penderita
hemofilia dapat membahayakan jiwanya jika perdarahan terjadi pada bagian organ tubuh
yang vital seperti perdarahan pada otak.
Jumlah penderita hemofila di seluruh dunia diperkirakan mencapai 400.000 orang.
Sekitar 20.000 terdapat di Indonesia. Hemofilia A lebih umum terjadi bila dibandingkan
hemofilia B, yaitu sebanyak 80-85% dari seluruh kejadian hemofilia.
Gejala penyakit ini adalah pendarahan pada sendi, otot dan organ. Setelah mengalami
pendarahan pasien akan mengalami fase akut kemudian fase kronik. Seseorang yang
mengalami pendarahan akan mengalami gangguan fungsi gerak yang mengakibatkan
aktivitas sehari-harinya terganggu, sehingga produktivitas dan kualitas hidupnya menurun.
Disebutkan bahwa lutut dan siku paling banyak mengalami pendarahan karena sering dipaksa
kerja. Cara penanganan dari setiap fase berbeda-beda dari mulai yang sederhana, yaitu
istirahat yang cukup lama dengan posisi tertentu, melakukan terapi, hingga melakukan
rekreasi/olahraga.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Hemipholia?
2. Bagaimana etiologi dari Hemipholia?
3. Bagaimana patofisiologi Hemipholia?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari Hemipholia?
5. Bagaimana Asuhan Keperawatan Hemipholia
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi Hemipholia
2. Memahami etiologi Hemipholia
3. Mengetahui patofisiologi Hemipholia
4. Mengetahui manifestasi Hemipholia
5. Mengetahui asuhan keperawatan Hemipholia
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP HEMOFILIA
1 Pengertian Hemofilia
Hemofilia merupakan penyakit pembekuan darah congenital yang disebabkan karena kekurangan
factor pembekuan darah, yakni factor VIII dan factor IX. Factor tersebut merupakan protein
plasma yang merupakan komponen yang sangat dibutuhkan oleh pembekuan darah khususnya
dalam pembekntukan bekuan fibrin padah daerah trauma.

Istilah hemofilia mengacu kepada sekelompok gangguan perdarahan karena adanya


defisiensi salah satu faktor yang diperlukan untuk koagulasi darah. Walaupun terdapat gejala
serupa tanpa dipengaruhi faktor pembekuan mana yang mengalami defisiensi, identifikasi
defisiensi faktor pembekuan darah yang spesifik memungkinkan terapi definitif dengan agens
pengganti.

Pada sekitar 80% kasus hemofilia, pola pewarisannya terlihat sebagai resesif terkait-X (X-
linked recessive). Dua bentuk gangguan yang paling sering dijumpai adalah defisiensi faktor
VIII (hemofilia A, atau hemofilia klasik) dan defisiensi faktor IX (hemofilia B, atau penyakit
christmas). Penyakit von willebrand (von willebrand disease, vWD) merupakan gangguan
perdarahan herediter yang ditandai oleh defisiensi, abnormalitas atau tidak adanya protein yang
dinamkan faktor von willwbrabd (vWD) dan defisiensi faktor VIII. Berbeda dengan hemofilia,
vWD dapat terjadi pada pria maupun wanita. Pembahasan berikut ini terutama berkaitan dengan
defisiensi faktor VIII, yang menyebabkan sekitar 75% kasus.

2. Etiologi Hemofilia
Hemofilia disebabkan oleh adanya defek pada salah satu gen yang bertanggung jawab terhadap
produksi faktor pembekuan darah VIII atau XI. Gen tersebut berlokasi di kromosom X.
Laki-laki yang memiliki kelainan genetika di kromosom X-nya akan menderita hemofilia.
Perempuan harus memiliki kelainan genetika di kedua kromosom X-nya untuk dapat menjadi
hemofilia (sangat jarang). Wanita menjadi karier hemofilia jika mempunyai kelainan genetika
pada salah satu kromosom X, yang kemudian dapat diturunkan kepada anak-anaknya..
Gambar 3. Pola penurunan pada Hemofilia Gambar 4. Pola penurunan pada Hemofilia 2

3. Klasifikasi Hemofilia
Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan kadar atau aktivitas faktor pembekuan (F VIII
atau F IX) dalam plasma. Pada hemofilia berat dapat terjadi perdarahan spontan atau akibat
trauma ringan (trauma yang tidak berarti). Pada hemofilia sedang, perdarahan terjadi akibat
trauma yang cukup kuat; sedangkan hemofilia ringan jarang sekali terdeteksi kecuali pasien
menjalani trauma cukup berat seperti ekstraksi gigi, sirkumsisi, luka iris dan jatuh terbentur
(sendi lutut, siku, dll).
1) Hemofilia A
Hemofilia A (hemofilia klasik, hemofilia faktor VIII) adalah defisiensi faktor pembekuan
herediter yang paling banyak ditemukan. Prevalensinya adalah sekitar 30-100 tiap sejuta
populasi. Pewarisannya berkaitan dengan jenis kelamin, tetapi hingga 33% pasien tidak
mempunyai riwayat dalam keluarga dan terjadi akibat mutasi spontan. Hemofilia A
(hemofilia klasik, hemofilia defisiensi faktor VIII) merupakan kelainan yang diturunkan
di mana terjadi perdarahan akibat defisiensi faktor koagulasi VIII. Pada kebanyakan
kasus, protein koagulan faktor VIII (VIII:C) secara kuantitas berkurang, tapi pada
sejumlah kecil kasus protein koagulan terdapat pada pemeriksaan imunoassay namun
fungsinya terganggu.
Gen faktor VIII terletak di dekat ujung lengan panjang kromosom X (regio Xq2.6).
2) Hemofilia B
Hemofilia B (penyakit Christmas, hemofilia faktor IX) merupakan penyakit gangguan
pembekuan darah yang diturunkan akibat berkurangnya faktor koagulasi IX. Faktor IX
dikode oleh gen yang terletak dekat gen untuk faktor VIII dekat ujung lengan panjang
kromosom X.
Kebanyakan kasus jumlah faktor IX berkurang secara kuantitatif, namun pada sepertiga
kasus terdapat fungsi yang abnormal dari faktor IX melalui pemeriksaan imunoassay.
Jumlah kasus hemofilia defisiensi faktor IX adalah sebanyak sepertujuh dari jumlah
kasus hemofilia defisiensi faktor VIII; namun dilihat secara klinis dan pola penurunannya
identik.
PTT memanjang dan kadar faktor IX menurun jika dilakukan pengukuran dengan tes
yang spesifik. Temuan laboratorium lainnya sama dengan hemofilia defisiensi faktor
VIII.

4. Manifestasi Klinis Hemofilia


Manifestasi klinis hemofilia
1) Perdarahan berkepanjangan pada setiap tempat dari atau di dalam tubuh
2) Perdarahan akibat trauma tanggalnya gigi susu, sirkumsisi, luka tersayat, epistaksis, injeksi
3) Memar yang berlebihan bahkan akibat cedera ringan seperti terjatuh
4) Perdarahan subkutan dan intramuscular
5) Hemartrosis (perdarahan kedalam rongga sendi), khususnya sendi lutut, pergelangan kaki,
dan siku
6) Hematoma nyeri, pembengkakan , dan gerakan terbatas Hematuria spontan
(Wong, 2008)

5. Komplikasi Hemofilia
Komplikasi terpenting yang timbul pada hemofilia A dan B adalah :
1) Timbulnya inhibitor. Suatu inhibitor terjadi jika sistem kekebalan tubuh melihat
konsentrat faktor VIII atau faktor IX sebagai benda asing dan menghancurkannya.
2) Kerusakan sendi akibat perdarahan berulang. Kerusakan sendi adalah kerusakan yang
disebabkan oleh perdarahan berulang di dalam dan di sekitar rongga sendi. Kerusakan
yang menetap dapat disebabkan oleh satu kali perdarahan yang berat (hemarthrosis).
Namun secara normal, kerusakan merupakan akibat dari perdarahan berulang ulang pada
sendi yang sama selama beberapa tahun. Makin sering perdarahan dan makin banyak
perdarahan makin besar kerusakan.
3) Infeksi yang ditularkan oleh darah seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C yang
ditularkan melalui konsentrat faktor pada waktu sebelumnya.
Komplikasi yang sering ditemukan adalah artropati hemofilia, yaitu penimbunan darah
intra artikular yang menetap dengan akibat degenerasi kartilago dan tulang sendi secara
progresif. Hal ini menyebabkan penurunan sampai rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang
tidak dikelola dengan baik juga dapat menyebabkan sinovitis kronik akibat proses
peradangan jaringan sinovial yang tidak kunjung henti. Sendi yang sering mengalami
komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.
Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan medis sering ditemukan jika tidak
dilakukan terapi pencegahan dengan memberikan faktor pembekuan darah bagi hemofilia
sedang dan berat sesuai dengan macam tindakan medis itu sendiri (cabut gigi, sirkumsisi,
apendektomi, operasi intraabdomen/intratorakal). Sedangkan perdarahan akibat trauma
sehari-hari yang tersering berupa hemartrosis, perdarahan intramuskular dan hematom.
Perdarahan intrakranial jarang terjadi, namun jika terjadi berakibat fatal.

6. Patofisiologi Hemofilia
Defek dasar pada hemofilia A adalah defisiensi faktor VIII (faktor antihemofilik [AHF]).
AHF diproduksi oleh hati dan sangat diperlikan untuk pembentukan tromboplastin dan fase 1
koagulasi darah. Semakin sedikit AHF yang ditemukan alam darah, semakin berat berat
penyakit. Pasien hemofilia memiliki dua dari tiga faktor yang diperlukan untuk koagulasi,
yaitu: pengaruh vaskular dan trombosit. Oleh karena itu, pasien dapat mengalami perdarahan
dalam jangka waktu lebih lama tetapi tidak dengan laju yang lebih cepat.
Perdarahan kedalam jaringan dapat terjadi dimana saja, tetapi perdarahan ke dalam rongga
sendi dan otot merupakan tipe perdarahan internal yang paling sering ditemukan. Perubahan
tulang dan deformitas yang menimbulkan cacat fisik terjasi sesudah pasien mengalami
episode perdarahan yang berulang selama beberapa tahun. Perdarahan dalam leher, mulut atau
toraks merupakan keadaan yang serius karena jalan napas dapat terobstruksi. Perdarahan
intrakranial dapat berakibat fatal dan merupakan salah satu penyebab kematian. Perdarahan di
sepanjang saluran GI dapat menimbulkan anemia, dan perdarahan ke dalam rongga
retroperitoneum (dibelakang peritoneum) merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena
darah dapat berkumpul di dalam rongga yang luas tersebut. Hematoma pada medula spinalis
dapat menyebabkan paralisis. (wong, 2008)
Gambar 11.3 Genetik

Bagan Terjadinya Hemofilia

Hemofilia

Defisiensi Faktor
VII (globulin
antihemilitik)

Perdarahan

Memberan mukosa Sendi, jaringan yang Genito urinarius Otot, kulit


laserasi

7. Pemeriksaan Diagnostik Hemofilia


Perdarahan yang jelas dan berlangsung lama mudah terlihat; perdarahan kedalam jaringan
lebih sedikit terlihat. Biasanya diagnosis dibuat berdasarkan riwayat episode perdarahan,
bukti adanya pewarisan genetik terkait-kromosom X (hanya sepertiga kasus yang merupakan
mutasi baru), dan hasil pemeriksaan laboratorium. Tes yang spesifik untuk plasma pasien
hemofilia bergantung pada faktor-faktor spesifik terjadinya reaksi, seperti waktu parsial
tromboplastin (partial thromboplastin time, PTT). Penentuan defisiensi faktor yang spesifik
memerlukan prosedur assay yang biasanya dilakukan dalam laboratorium khusus.deteksi
karier pada penyakit hemofilia klasik dimungkinkan dengan menggunakan tes DNA dan
merupakan pertimbangan penting dalam keluarga yang anak perempuannya mungkin telah
mewarisi sifat pembawa tersebut. (Wong, 2008)

8. Penatalaksanaan Hemofilia
Panatalaksanaan Terapeutik
Terapi primer pada penyakit hemofilia adalah penggantian faktor pembekuan yang hilang.
Prosuk yang kini tersedia meliputi konsentret faktor VIII dari plasma darah yang dikumpulkan atau
preparat rekombinannya yang dibuat lewat rekayasa genetik, untuk disusun kembali dengan air steril
sesaat sebelum digunakan , dan DDAVP (1-deamino-8-D-arginine vasopressin). Suatu bentuk
vasopresin sintetik yang erupakan terapi pilihan pada penyakit hemofilia ringan dan penyakit von
willibrand (kecuali tipe IIB dan III) jika anak memperlihatkan respons yang tepat terhadap pemberian
preparat ini. Terapi yang agresif perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kecacatan kronis akibat
perdarahan sendi.

Obat-obat lain dapat diikutsertakan dalam rancanagan terapi dan hal ini bergantung
pada sumber perdarahan. Kortikosteroid dapat diberikan pada kasus hematuria, hemartrosis
akut dan sinovitis kronis. Obat anti-inplamasi non steroid (NSAID), seperti ibuprofen,
merupkan preparat yang efektif untuk meredakan nyeri akibat sinovitis; namun, NSAID harus
diberikan dengan hati0hati karena akan menghambat fungsi trombosit (Dragone dan Karp
1996; Hilgarther dan Corrigan, 1995). Pemberian preparat asam epsilon-aminokaproat
(Amicar) per oral atau lokalakan mencengah penghancuran bekuan darah, namun, pemberian
preparat ini terbatas hanya paada pembedahan mulut atau trauma, dan sebelumnya harus
diberikan preparat konsentrat faktor pembekuan.

Program latihan yang teratur dan fisioterafi merupakan asfek penatalaksanaan penting
pada penyakit hemofilia. Aktifitas fisik dalam batas wajar akan menperkuat otot-otot di
sekitar sendi dan dapat mengurangi sejumlah episode perdarahan spontan.

Terapi yang dilakukan dengan segera akan menghasilkan kesembuhan yang lebih
cepat dan penurunan kecendrungan komplikasi; oleh karena itu, sebagian besar anak yang
memderita heofilia menjalani terapi di rumah. Keluarga dapat diajarkan teknik melakukan
penyuntikan IV dan menberikan ADF kepada anak yang berusia 2 hingga 3 tahun. Anak dapat
menpelajari prosedur pemberian obat sendiri ketika berusia 8 hingga 12 tahun. Terapi yang
dilaksanakan di rumah memilki angka keberhasilan cukup tinggi, selain dapat dilakukan
segera , keuntungan lainnya adalah kehidupan keluarga tidak begitu terganggu, absen dari
sekolah atau tempat kerja lebih sedikit, dan rasa percaya diri dan kemandirian anak
meningkat.

Terapi profilaksis primer padaa pasien hemofilia telah dipraktikkan selama bertahun-
tahun di negara-negara eropa ( Nillson dkk, 1994; van den berg dkk, 1994) dan terbukti
sangan efektif untuk mencengah atrofi.profilaksis primer meliputi pemberian konsentrat
faktor VIII per IV secara teratur sebelum terjadi awitan kerusakan sendi. Pada tahun 1994,
the Medical and Scientific Advisory Council (MASAC) of the National Haemophilia
Foundation merekomendasikan bahwa rtindakan profilaksis dianggap sebagai bentuk terapi
yang optimal bagi anak-anak yang menderita hemofilia berat (MASAC, 1994). Profilaksis
sekunder meliputi pemberian konsentrat faktor VIII per IV secara teratur sesudah anak
mengalami perdarahan sendi yang pertama. Pemberian infus ini dilakukan tiga kali dalam
seminggu. Terpi sulih (pengganti) faktor pembekuan yang dilakukan secara agresif (atau
“peningkatan episode perawatan”) merupakan tindakan alternatif yang efektif dari segi biaya
nya jika dibandingkan dengan terapi profilaksis primer. Tindakan ini meliputi pemberian
infus konsentrat faktor VIII dengan dosis tinggi jika terjadi perdarahan sendi; diikuti dengan –
pemberian konsentrat faktor VIII dengan dosis yang lebih standar selama 2 hari (Cross dan
Koerper, 1997)

Progonsis . walaupuun tidak ada terapi penyembuhan untuk kasus hemofilia, namun
gejalanya bisa dikendalikan dengan deformitas yang berpotensi menimbulkan cacat banyak
pasien hemofilia yang mengalami kerusakan sendi. Anak-anak ini merupakan anak-anak
normal yang memiliki harapan hidup rata-rata dalam setiap aspek seperti anaka lain kecuali
satu hal: mereka cenderung mengalami perdarahan, yang menjadi gangguan /masalah
signifikan terapi tidak selalu mengancam nyawa.

Sayangnya pasien hemofilia yang mendapat terapi sebelumnya adanya teknik


konsentrat faktor VIII (diantara tahun1979 dan 1985) mungkin terkena virus HIV.
Diperkirakan lebih dari 50% pasien ini mengalami serokonversi yang berstatus HIV- positif ,
sementar 30% lainnya menderita penyakit AIDS (Hilgarter dan Corrigan, 1995) ketikan
pasien ini sudah aktif dalam hubungan seksual, masalah penuran HIV melalui hubungan seks
menjadi hal sangat penting. Para remaja harus memiliki pengetahuan tentang prilaku seksual
yang aman. Pasien hemofilia ynag didiagnosis dan diterapi dengan konsentrat faktor
pembekuan sesudah tahun 1985 pada hakikatnya tidak menghadapi risiko tertular HIV dari
pengobatannya. Baru-baru ini, teknik pembuatan konsentrat faktor pembekuan juga telah
sangat mengurangi risiko penularan hepatitis.

Terapi gen terbukti menjadi sebuah pilihan terapi di masa depan. Terapi ini meliputi
tindakan memasukkan kopi gen faktor VIII normal ke dalam tubuh pasien yang kopi gennya
cacat (Cross dan Koerper, 1997)

WOC Hemofilia
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Hematologis
- Hemoragi dan perdarahan lama
- Memar superficial
- Splenomegali
b. Genitorinaria
- Hematuria spontan
c. Musculoskeletal
- Tanda dan gejala perdarahan otot profunda (nyeri, tegang pada area yang terkena,
ROM terbatas), dan peningkatan suhu serta edema pada tempat perdarahan)
- Tanda dan gejala hemartrosis (nyeri, ROM terbatas, dan peningkatan suhu, serta
edema pada tempat perdarahan)
d. Meta, telinga, hidung, dan tenggorok
- Epistaksis
- Gusi berdarah

2. Diagnosa
1) Resiko cedera (hemoragi) yang berhubungan dengan penyakit.
2) Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan dan pembengkakan
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan ROM akibat perdarahan dan
pembengkakkan
4) Resiko cidera yang berhubungan dengan rawat inap atau prosedur di rumah sakit (atau
keduanya)
5) Gangguan harga diri yang berhubungan dengan penyakit kronis dan rawat inap dirumah
sakit
6) Ketidakefektifan koping keluarga: gangguan yang berhubungan dengan rawat inap
berulang dirumah sakit serta penyakit kronis anak
7) Deficit pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan dirumah
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Kasus Semu
Seorang anak perempuan bernama D usia 5 tahun datang ke klinik dengan memar dan
perdarahan pada ekstremitas bawah akibat terjatuh dari sepeda yang dinaikinya, luka yang
dialami adalah luka robek sepanjang 2 cm, perdarahan tidak berhenti >5 menit, frekuensi
napas 30 x/menit, suhu 36 C, nadi 80 x/menit, saat dilakukan pengkajian anak memiliki
riwayat penyakit hemofili.
2. Pengkajian
Anamnesa
a. Identitas
Nama :An. D
Usia : 5 tahun
b. Keluhan Utama: pasien mengalami memar dan pendarahan pada ekstremitas bawah
akibat jatuh
c. Riwayat Penyakit Sekarang : pasien mengalami luka robek sepanjang 2 cm dan
perdarahan tidak berhenti >5 menit
d. Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak Ada Riwayat Dahulu
e. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak Ada Riwayat Keluarga
f. Riwayat Psikososial : Tidak ada riwayat
3. Pemeriksaan Fisik
TTV
RR : 30x/menit
Suhu : 36 C
Nadi : 80x/menit
Ektremitas
Kaki : Memar , luka robek 2 cm , pendarahan > 5 mnt
4. Analisa Data
ANALISIS DATA

Data Etiologi Masalah Keperawatan


DS : Hemoragi Resiko Cidera
- Ibu pasien mengatakan
pendarahan pada luka
robekan
DO :
- Kaki pasien mengalami
pendarahan > 5 mnt pada
daerah luka robekan

DS : Luka Perdarahan dalam Nyeri Akut


- Anak berteriak “sakit, bu, Jaringan
sakit”.

DO :
- Anak tampak menangis
dan memegang area luka
dikakinya.
- Skala nyeri 5.

5. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko cedera (hemoragi) yang berhubungan dengan penyakit.
2) Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan dan pembengkakan
6. Intervensi
INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosis Tujuan Intervensi


Keperawatan
1. Resiko Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam Pencegahan Pendarahan
cedera diharapkan resiko cedera pasien dengan Observasi :
Ekspektasi : menurun
(hemoragi) - Monitor tanda gejala
Dengan kriteria hasil :
berhubung 1 2 3 4 5 pendarahan
an dengan -kejadian ×  - Monitor nilai
penyakit cedera
hematocrit/hemoglobin
-luka / lecet × 
- ketegangan X  sebelum dan sesudah
otot kehilangan darah
-perdarahan X  - Monitor tanda – tanda vital
- gangguan X 
mobilisasi ortostatik
- gangguan x  - Monitor koagulasi
kognitif (mis.prothrombin time (PT),
Keterangan :
partial thromboplastin time
1 = meningkat
2 = cukup meningkat (PTT))
3 = sedang Terapeutik :
4 = cukup menurun
- Pertahankan bed rest selama
5 = menurun
 = ekspektasi perdarahan
× = kondisi saat ini - Batasi tindakan invasive, jika
perlu
- Hindari pengukuran suhu
rektal
- Gunakan kasur pencegah
dekubitas
Edukasi :
- Jelaskan tanda dan gejala
perdarahan
- Anjurkan menghindari aspirin
atau antikoagulan
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan
- Kolaborasi pemberian produk
darah ,jika perlu
2. Nyeri Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 jam Observasi :
Akut diharapkan nyeri pasien dengan - Indentifikasi
Ekspektasi : menurun
berhubung lokasi,karakteristik,durasi,frekuensi,
Dengan kriteria hasil :
an dengan kualitas,insensitas nyeri
1 2 3 4 5
pencederaa -keteganggan ×  - Identifikasi skala nyeri
n fisik otot - Indentifikasi factor yang
-ekspresi ×  memperberat dan memperingan
wajah
nyeri
kesakitan
- iritabilitas X  Terapeutik :
- Berikan teknik nonfarmokologi
untuk mengurangi rasa nyeri
Keterangan :
dengan kompres hangat dan terapi
1 = meningkat
2 = cukup meningkat pijat
3 = sedang - Kontrol lingkungan yang
4 = cukup menurun memperberat rasa nyeri
5 = menurun
- Fasilitasi istirahat dan tidur
 = ekspektasi
Edukasi :
× = kondisi saat ini
- Jelaskan penyebab,priode,dan
pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
7. Implementasi
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Tgl Jam Dx Implementasi Evaluasi


10- 18.00 Resiko - Memonitor tanda gejala S:
cedera - Ibu mengatakan
12- pendarahan
(hemoragi) sepertinya
2020 berhubungan - Memonitor nilai perdarahan sedikit
dengan berkurang.
penyakit hematocrit/hemoglobin
O:
sebelum dan sesudah - Tampak perdarahan
minimum.
kehilangan darah
- Suhu : 36o, nadi : 76
- Memonitor tanda – tanda x/menit, RR : 26
x/menit.
vital ortostatik
A:
- Memonitor koagulasi Masalah resiko cidera
teratasi sebagian.
(mis.prothrombin time (PT),
partial thromboplastin time P:
Intervensi dilanjutkan.
(PTT))
- Mempertahankan bed rest
selama perdarahan
- Membatasi tindakan
invasive, jika perlu
- Menghindari pengukuran
suhu rektal
- Menggunakan kasur
pencegah dekubitas
- Menjelaskan tanda dan
gejala perdarahan
- Menganjurkan menghindari
aspirin atau antikoagulan
- Mengkolaborasi pemberian
obat pengontrol perdarahan
- Mengkolaborasi pemberian
produk darah ,jika perlu
10- 18.00 Nyeri Akut - Mengindentifikasi S:
berhubungan lokasi,karakteristik,durasi,fre - Ibu mengatakan anak
12-
D tampak lebih
2020 dengan kuensi,kualitas,insensitas tenang dan tidak
pencederaan nyeri terlalu rebut daripada
saat mau dibawa ke
fisik - Mengidentifikasi skala nyeri RS.
- Mengindentifikasi factor O:
- Anak tampak sedikit
yang memperberat dan
tenang, tetapi masih
memperingan nyeri memegangi daerah
- Memberikan teknik luka dikaki.
A:
nonfarmokologi untuk Masalah nyeri teratasi.
mengurangi rasa nyeri dengan
P:
kompres hangat dan terapi Hentikan intervensi.
pijat
- Mengkontrol lingkungan
yang memperberat rasa nyeri
- Menfasilitasi istirahat dan
tidur
- Menjelaskan
penyebab,priode,dan pemicu
nyeri
- Menjelaskan strategi
meredakan nyeri
- Mengajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2008. Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC.


Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing Interventions Classifications (NIC)
Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Doenges, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Ed.3. Jakarta: EGC.
Dorland. 1994. Kamus Kedokteran Dorland. Ed.26. Jakarta: EGC.
Guyton dan Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Hoffbrand, dkk. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Ed4. Jakarta: EGC.
Juall, Lynda. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Carpenito – Moyet. Jakarta: EGC.
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Ed3. Jakarta: Media Aesculapius.
Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth Swanson. 2008. Nursing
Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed4. Jakarta: EGC.
Smeltzer dan Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Volume
2 Edisi 8. Jakarta: EGC.
Suryo. 1986. Genetika Manusia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai