Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

TERAPI CAIRAN

Oleh:
Indriyati Januar Trisnawan 20360250
Ipan Ferrel Head 20360251
Irman Saputra 20360192
Muhammad Nizar Nugraha Kamil 20360204
Tangguh Wili Andyry 20360263

Refarat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di SMF
Ilmu Anastesi RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam

Pembimbing:
dr. Gloria G. Situmeang, Sp.An
KSMF ILMU ANASTESI
RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM
SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan refarat ini

guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian SMF Ilmu Anastesi

RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam dengan judul “Terapi Cairan”.

Refarat ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori yang

diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik SMF Ilmu Anastesi RSUD Deli

Serdang Lubuk Pakam dan mengaplikasikannya untuk kepentingan klinis kepada

pasien. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Gloria G. Situmeang, Sp.An yang

telah membantu penulis dalam penulisan refarat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa telaah refarat ini masih memiliki

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang membangun dari semua

pihak yang membaca telaah jurnal ini. Harapan penulis semoga telaah jurnal ini dapat

memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Lubuk Pakam, February 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Y
KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3

2.1 Cairan Tubuh............................................................................................................4

2.2 Terapi Cairan............................................................................................................ 5

2.3 Jenis Cairan Dan Indikasinya................................................................................. 5

2.4 Jalur Pemberian Terapi Cairan............................................................................. 12

2.5 Terapi Cairan Perioperatif.................................................................................... 13

BAB III KESIMPULAN......................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
1

Terapi Cairan
BAB I

PENDAHULUAN

Tubuh manusia terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian yang padat dan bagian

yang cair. Bagian padat terdiri dari tulang, kuku, otot, dan jaringan yang lain.

Sedangkan bagian yang cair berupa cairan intraselular dan ekstraselular. Cairan

ekstraseluler dibagi menjadi plasma darah sebanyak 5% dan cairan interstitial sebanyak

15%. Cairan antarsel khusus disebut cairan transeluler, seperti cairan serebrospinal,

cairan persendian, cairan peritoneum, dan lain-lainnya. Dalam cairan ekstraseluler dan

intraseluler, terdapat elektrolit-elektrolit utama yang berbeda. Elektrolit utama dalam

cairan ekstraseluler adalah natrium dan klorida, sedangkan elektrolit utama dalam cairan

intraseluler adalah kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat. Cairan dan elektrolit sangat

dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat menjaga dan mempertahankan

fungsinya, sehingga tercipta kondisi yang sehat pada tubuh manusia.

Cairan dan elektrolit di dalam tubuh merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan. Komposisi cairan dan elektrolit di dalam tubuh sudah diatur sedemikian

rupa agar keseimbangan fungsi organ vital dapat dipertahankan. Apabila terjadi

gangguan keseimbangan, baik cairan atau elektrolit, maka akan memberikan pengaruh

pada yang lainnya. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat

terjadi pada keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat

yang berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water loss)

secara berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada ginjal

dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam keadaan
2

tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh yang hilang,

dengan segera dapat digantikan.

Terapi cairan merupakan terapi yang sangat mempengaruhi keberhasilan

penanganan pasien kritis. Selain dapat mengganti cairan yang hilang, terapi cairan dapat

dilakukan untuk mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung, mencukupi

kebutuhan per hari, mengatasi syok, dan mengatasi kelainan akibat terapi lain.

Administrasi terapi cairan melalui intravena adalah salah satu rute terapi yang paling

umum dan penting dalam pengobatan pasien bedah, medis dan sakit kritis.

Pemilihan pemberian terapi cairan untuk perbaikan dan perawatan stabilitas

hemodinamik pada tubuh cukup sulit. Karena pemilihannya tergantung pada jenis dan

komposisi elektrolit dari cairan yang hilang. Meskipun kesalahan terapi cairan jarang

dilaporkan, namun disebutkan satu dari lima pasien dengan terapi cairan dan elektrolit

intravena menderita komplikasi atau morbiditas karena pemberian terapi cairan yang

tidak tepat. Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk membahas

terapi cairan.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CAIRAN TUBUH

Tubuh manusia sebagian besar terdiri atas cairan, persentasenya dapat

berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada

bayi usia < 1 tahun cairan tubuh adalah sekitar 80-85% berat badan dan pada bayi

usia > 1 tahun mengandung air sebanyak 70-75%. Seiring dengan pertumbuhan

seseorang persentase jumlah cairan terhadap berat badan berangsur-angsur turun

yaitu pada laki-laki dewasa 50-60% berat badan, sedangkan pada wanita dewasa

50 % berat badan, tabel dibawah menunjukan estimasi total cairan tubuh manusia

berdasarkan usia.

Bayi premature 80
3 Bulan 70
6 Bulan 60
1-2 tahun 59
Usia Total Cairan per kilogram BB (%)

11-16 tahun 58
Dewasa 58-60
Dewasa dengan obesitas 40-50
Dewasa kurus 70-75

Tabel 2.1 Perubahan cairan tubuh total sesuai usia.


4

Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular


dan kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi
menjadi cairan intravaskular dan intersisial.5

Jaringan
Manusia
Intraselular

Cairan

Ekstraselular (20%)

Interstitial (15%) Intravaskular

Diagram 2.1 Persentase Cairan Tubuh.

a. Cairan intraselular

Cairan intraseluler merupakan cairan yang terkandung di dalam sel. Cairan

intraseluler berjumlah sekitar 40% dari berat badan. Pada cairan intraseluler

memiliki ion kalium dan fosfat dalam jumlah besar, ion magnesium dan sulfat

dalam jumlah sedang, ion klorida dan natrium dalam jumlah kecil, dan hampir

tidak ada ion kalsium. Sel juga memiliki protein dalam jumlah besar, hampir

lebih dari empat kali lipat di dalam plasma.

b. Cairan ekstraselular

Jumlah relatif cairan ekstraselular menurun seiring dengan bertambahnya usia,

yaitu sampai sekitar sepertiga dari volume total pada dewasa. Cairan

ekstraselular terbagi menjadi cairan interstitial dan cairan intravaskular. Cairan


5

interstitial adalah cairan yang mengelilingi sel dan termasuk cairan yang

terkandung diantara rongga tubuh seperti serebrospinal, perikardial, pleura,

sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Sementara, cairan

intravaskular merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah, dalam

hal ini plasma darah. Pada orang dewasa normal, rata-rata asupan air setiap

harinya adalah 2500 ml, yang termasuk kira-kira 300 ml sebagai produk

sampingan dari metabolisme substrat energi. Rata-rata kehilangan cairan per hari

adalah 2500 ml dimana 1500 ml di urin, 400 ml dievaporasi saluran pernafasan,

400 ml di evaporasi kulit, 100 ml di keringat, dan 100 ml di feses. Penguapan

sangat diperlukan untuk pengaturan suhu karena mekanisme ini secara normal

menyumbang 20-25% kehilangan panas. Perubahan pada komponen cairan dan

volume sel akan memicu kerusakan fungsi yang serius, khususnya pada otak.

2.2 TERAPI CAIRAN

Terapi cairan adalah salah satu terapi yang sangat menentukan

keberhasilan penanganan pasien kritis. Dalam langkah-langkah resusitasi, langkah

D (“drug and fluid treatment”) dalam bantuan hidup lanjut, merupakan langkah

penting yang dilakukan secara simultan dengan langkah-langkah lainnya.

Tindakan ini seringkali merupakan langkah “life saving” pada pasien yang

menderita kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah

mencret dan syok.

2.3 JENIS CAIRAN DAN INDIKASINYA


6

Secara garis besar, cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan

kristaloid dan koloid.

a. Cairan Kristaloid

Kristaloid berisi elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida).

Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik dan karena itu tidak terbatas dalam

ruang intravascular dengan waktu paruh kristaloid di intravascular adalah 20-30

menit. Beberapa peneliti merekomendasikan untuk setiap 1 liter darah, diberikan 3

liter kristaloid isotonik. Kristaloid murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan

reaksi imun. Larutan kristaloid adalah larutan primer yang digunakan untuk terapi

intravena prehospital. Tonisitas kristaloid menggambarkan konsentrasi elektrolit

yang dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan yang dari plasma tubuh. Ada 3

jenis tonisitas kritaloid, diantaranya:

- Isotonis. Ketika kristaloid berisi sama dengan jumlah elektrolit plasma, ia

memiliki konsentrasi yang sama dan disebut sebagai “isotonik” (iso, sama; tonik,

konsentrasi). Ketika memberikan kristaloid isotonis, tidak terjadi perpindahan

yang signifikan antara cairan di dalam intravascular dan sel. Dengan demikian,

hampir tidak ada atau minimal osmosis. Keuntungan dari cairan kristaloid adalah

murah, mudah didapat, mudah penyimpanannya, bebas reaksi, dapat segera

dipakai untuk mengatasi defisit volume sirkulasi, menurunkan viskositas darah,

dan dapat digunakan sebagai fluid challenge test. Efek samping yang perlu

diperhatikan adalah terjadinya edema perifer dan edema paru pada jumlah

pemberian yang besarContoh larutan kristaloid isotonis: Ringer Laktat, Normal

Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% in ¼ NS.


7

- Hipertonis Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu

lebih terkonsentrasi dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik,

konsentrasi). Administrasi dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut

akan menarik cairan dari sel ke ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik

lain adalah meningkatkan curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload,

tetapi peningkatan curah jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik

positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi

kapiler viseral. Kedua keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ

vital. Efek samping dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia

dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam ½

Normal Saline, Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan

Dextrose 5% dalam RL.

- Hipotonis Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari

plasma dan kurang terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah;

tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan

berpindah dari intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose

5% dalam air, ½ Normal Saline.

b. Cairan Koloid

Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi

dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak

lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada

pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik


8

sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat

dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar).

Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik yang

dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander yang merupakan suatu

sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan plasma darah yang

hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian dari ‘plasma expander’ ini

yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi anafilaktik (walau

jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match. Berdasarkan jenis

pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:

1. Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia (5%

dan 25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam

untuk membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma

selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta

globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor

fragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan

hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.

2. Koloid Sintetik

• Dextran Koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah

yang besar. Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena peningkatan

berat molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih lama di

dalam ruang intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena efek

samping terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan di

dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan


9

pada cross-matching darah. Tersedia dalam bentuk Dextran 40

(Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex)

dengan berat molekul 60.000-70.000.

• Hydroxylethyl Starch (Hetastarch) Cairan koloid sintetik yang sering

digunakan saat ini. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan

dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya, yaitu starch

yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu 8 hari. Hetastarch

nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi anafilaktoid. Low

molecular weight Hydroxylethyl starch (PentaStarch) mirip Heta starch,

mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume yang

diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai

plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan

tidak mengganggu koagulasi maka Pentastarch dipilih sebagai koloid untuk

resusitasi cairan jumlah besar.

• Gelatin Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin,

biasanya berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi.

Larutan gelatin adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari

kolagen sapi. Berat molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika

dibandingkan dengan koloid lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek

ekspansi plasma segera dari gelatin adalah 80-100% dari volume yang

dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi normovolemik. Efek ekspansi

plasma akan bertahan 1-2 jam. Tidak ada batasan dosis maksimum untuk

gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering daripada

larutan HES. Meskipun produk mentahnya bersumer dari sapi, gelatin


10

dipercaya bebas dari resiko penyebaran infeksi. Kebanyakan gelatin

dieskskresi melalui ginjal, dan tidak ada akumulasi jaringan.

Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat

kelompok, yaitu:

1. Cairan Pemeliharaan Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu

pada penyediaan IV cairan dan elektrolit untuk pasien yang tidak dapat memenuhi

kebutuhan mereka dengan rute enteral, namun sebaliknya baik dalam hal

keseimbangan cairan dan elektrolit dan penanganan (yaitu mereka yang pada

dasarnya euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit, kerugian yang abnormal

yang sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal yang kompleks).

Tujuan saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk menyediakan cukup

cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible losses (500-1000 ml),

mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan dan memungkinkan

ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500 ml.). Jenis cairan rumatan

yang dapat digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer

laktat/asetat, NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari

saluran cerna ataupun ginjal, glukosa 5% atau glukosa salin.7,8 Jumlah

kehilangan air tubuh berbeda sesuai dengan umur, yaitu Dewasa 1,5-2 ml/kg/jam,

Anak-anak 2-4 ml/kg/jam Bayi 4-6 ml/kg/jam, Neonatus 3 ml/kg/jam Kebutuhan

cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na dan Cl kurang lebih

1mmol/kg/hari. Kebutuhan glukosa 50-100 g/hari. Setelah cairan pemeliharaan

intravena diberikan, monitor dan lakukan penilaian ulang pada pasien. Hentikan

cairan intravena jika tidak ada indikasi yang tepat. Cairan nasogastrium atau

makanan enteral lebih dipilih untuk kebutuhan pemeliharaan lebih dari 3 hari.
11

2. Cairan Pengganti Banyak pasien yang membutuhkan cairan intravena memiliki

kebutuhan spesifik untuk menutupi penggantian dari deficit cairan atau kehilangan

cairan atau elektrolit serta permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang

berlangsung, sehingga harus dihitung untuk pemilihan cairan intravena yang

optimal. Cairan dan elektrolit intravena pengganti dibutuhkan untuk mengangani

deficit yang ada atau kehilangan yang tidak normal yang sedang berlangsung,

biasanya dari saluran pencernaan (contoh: ileostomy, fistula, drainase

nasogastrium, dan drainase bedah) atau saluran kencing (contoh: saat pemulihan

dari gagal ginjal akut). Secara umum, terapi cairan intravena untuk penggantian

harus bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit

seperti kebutuhan pemeliharaan, sehingga homeostasis dapat kembali dan terjaga.

Lakukan penilaian cairan dan elektrolit pasien dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik, monitor klinis, dan pemeriksaan laboratorium. Cari defisit, kehilangan yang

sedang berlangsung, distribusi yang tidak normal atau permasalahan kompleks

lainnya. Periksa kehilangan yang sedang berlangsung dan perkirakan jumlahnya

dengan mengecek untuk muntah dan kehilangan NG tube, diare, kehilangan darah

yang berlangsung. Periksa redistribusi dan masalah kompleks lainnya dengan

memeriksa pembengkakan, sepsis berat, dan lainnya. Berikan tambahan cairan

dari kebutuhan pemeliharaan rutin, mengatur sumber-sumber cairan dan elektrolit

yang lain. Monitor dan periksa ulang pasien setelah meresepkan.

3. Cairan untuk Tujuan Khusus Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang

digunakan khusus, misalnya natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk

tujuan koreksi khusus terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.


12

4. Cairan Nutrisi Cairan nutrisi biasanya digunakan untuk nutrisi parenteral pada

pasien yang tidaak mau makan, tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral.

Jenis cairan nutrisi parenteral pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi baik

untuk parenteral parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun

syarat pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:

• Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia

intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.

• Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis berat,

status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, stenosis arteri

mesenterika, diare berulang.

• Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan, pseudo-

obstruksi dan skleroderma.

• Kondisi dimana jalur enteral tidak dimungkinkan seperti pada gangguan

makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemesis

gravidarum.

2.4 JALUR PEMBERIAN TERAPI CAIRAN

Secara umum telah disepakati bahwa pemberian terapi cairan dilakukan

melalui jalur vena, baik vena perifer maupun vena sentral melalui kanulasi

tertutup atau terbuka dengan seksi vena.

1. Kanulasi Vena Perifer Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah vena di daerah

ekstremitas atasm berikutnya dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah.

Hindari vena di daerah kepala karena sangat tidak fiksasinya, sehingga mudah

terjadu hematom. Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa digunakan untuk
13

kanulasi terutama dalam keadaan darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi vena

perifer ini adalah untuk:

a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Apabila lebih dari tiga

hari, harus pindah lokasi vena dan set infus harus diganti pula.

b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti

kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.

c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara kontinyu atau

berulang.

2. Kanulasi Vena Sentral Kanulasi dengan penggunaan jangka panjang, misalnya

untuk nutrisi parenteral total, kanulasi dikalukan melalui vena subklavikula atau

vena jugularis interna. Sedangkan untuk jangka pendek, dilakukan melalui

venavena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan vena seksi.

Tujuan dari kanulasi vena sentral ini tersendiri adalah:

a. Terapi cairan dan nutrisi pareterla jangka panjang. Terutama untuk cairan

nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi untuk mencegah iritasi

pada vena.

b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya cardio vascular,

vena perifer sulit diidentifikasi.

c. Untuk pemasanganan alat pemacu jantung.

2.5 TERAPI CAIRAN PERIOPERATIF

Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan atau

defisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan

bedah seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca

pembedahan. Menurut National Confidential Enquiry into Patient Outcome and


14

Death menyatakan bahwa pasien dengan hipovolemik yang mendapatkan terapi

cairan perioperative dengan jumlah tidak adekuat mengalami peningkatan angka

mortalitas 20,5% dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan

dengan jumlah yang adekuat.

1. Terapi Cairan Prabedah Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk

mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan

yang digunakan adalah:

a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan.

b. Untuk koreksi defisist puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid.

c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfuse.

2. Terapi Cairan selama Operasi Tujuan dari pemberian cairan selama operasi

adalah sebagai koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti

peredarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ eksresi. Idealnya,

perdarahan seharusnya diatasi dengan penggantian cairan dengan kristaloid atau

koloid untuk menjaga volum intravascular (normovolemia) sehingga resiko

terjadinya anemia dapat diatasi. Namun jika terjadi anemia berat pada pasien

dapat diatasi dengan pemberian transfusi darah. Untuk menentukan jumlah

transfusi yang akan diberikan dapat ditentukan dari hematokrit dan dengan

menghitung estimated blood volume.

Hal yang terpenting juga berdasarkan dari kondisi klinis pasien dan

prosedur operasi yang akan pasien jalani. Jumlah kehilangan darah dapat

dihitung dengan beberapa cara diantaranya:

1. Menghitung Estimated Blood Volume = 65ml/kg dikalikan dengan

berat badan pasien.


15

2. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit preoperatif (RBCV

preop)

3. Menghitung volume sel darah merah pada hematokrit 30% (RBCV 30%)

4. Hitung jumlah kehilangan volume sel darah merah (RBCV lost); RBCV

lost = RBCV preop – RBCV 30%.

5. Hitung Allowable Blood Loss = EBV x (Hct preop – Hct 30%): Hct

preop

Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan:

• Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau tabung

suction

• Tambahan berat kasa yang digunakan (1 gram = 1 ml darah)

• Ditambah dengan factor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang terukur

ditambah terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat pada kain

penutup lapangan operasi).

3. Terapi Cairan Pasca Bedah Pemberian cairan pasca bedah digunakan

tergantung dengan masalah yang dijumpai, bisa mempergunakan cairan

pemeliharaan, cairan pengganti atau cairan nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan

pasca bedah adalah:

a. Dewasa:

• Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah, diberikan

cairan pemeliharaan.

• Apabila pasien puasa dan diperkirakan < 3 hari diberikan cairan

nutrisi dasar yang mengandung air, eletrolit, karbohidrat, dan asam


16

amino esensial. Sedangkan apabila diperkirakan puasa > 3 hari bisa

diberikan cairan nutrisi yang sama dan pada hari ke lima ditambahkan

dengan emulsi lemak.

• Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra bedah yang

buruk segera diberikan nutrisi parenteral total.

b. Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama, hanya

komposisinya berbeda, misalnya dari kandungan elektrolitnya, jumlah karbohidrat

dan lain – lain.

c. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau anemia,

penatalaksanaanya disesuaikan dengan etiologinya. Satu atau lebih komplikasi

yang terjadi pasca operasi memberikan dampak buruk dalam jangka waktu pendek

atau panjang. Pencegahan angka morbiditas pada pasca operasi adalah kunci

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas.


BAB III

KESIMPULAN

Air merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia. Persentase cairan tubuh

tergantung pada usia, jenis kelamin, dan derajat status gizi seseorang. Seluruh cairan

tubuh tersebut secara garis besar terbagi ke dalam 2 kompartemen, yaitu intraselular dan

ekstraselular. Apabila terjadi deficit atau kekurangan cairan pada tubuh maka perlu

segera diberikan penanganan atau pencegahan untuk mencegah terjadinya masalah

kekurangan cairan.

Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid

merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula yang paling sering

dan paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi. Keuntungan dari cairan ini

antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di setiap pusat kesehatan, tidak perlu

dilakukan cross match, sedangkan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat

molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung

bertahan agak lama dalam ruang intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada

pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik.

Berdasarkan penggunaannya dibagi menjadi cairan pemeliharaan, pengganti, nutrisi,

dan untuk tujuan khusus.

Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer dimana

masing memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperative juga diperlukan

pada saat sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan kehilangan

darah pada pasien perioperative juga menentukan jenis terapi cairan yang akan

diberikan.
DAFTAR PUSTAKA

Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From

Physiology to Therapy. Verlag Italia: Springer. 2013.

Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, et al: ESPEN Guidelines on

Parenteral Nutrition: surgery. Clin Nutr 2009.

Brugnolli, A, RN, MSN, Canzan F, RN, MSN, PhD. Fluid Therapy

Management in Hospitalized Patients: Results From a

Cross-sectional Study.2017.

Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients

with Fluid and Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan &

Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-

Graw Hill. 2013.

Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous fluids principles of

treatment. Clinical Pharmacist Vol.3. 2011.

Gaol, H. L., Tanto, C. & Pryambodho, Terapi Cairan. In: C. Tando,

F. Liwang, S. Hanifati & E. A. Pradipta, eds. Kapita

Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.

Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the

Perioperative Setting. Cambridge: Cambridge University

Press. 2012..

Hall, J. E., 2006. Guyton's Textbook of Medical Physiology. 11 ed.

Philadelpia: Elsevier. Chow JL, B. K. a. B. L. Critical


Care Handbook of the Massachusetts General Hospital.

3rd ed. US: Lippincott Williams & Wilkins.2004.

Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base

Disorders. Dalam Handbook for Stoelting’s Anesthesia

and Co-Existing Disease 4th ed. Philadelphia: Elsevier

Inc. 2013.

Intravenous Fluid Selection [cited 2017 May 5]. Available from

catalogue.pearsoned.co.uk. 2005.

Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical

update. Japanese Society of Anesthesiologist. 2010.

Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi

Indonesia. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan

Perioperatif.2010.

Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and

Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and

Physiology in Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia:

Wolters Kluwer Health. 2015.

Voldby AW, Branstrup B. Fluid Therapy in the Perioperative Setting.

Journal of Intensive Care. 2016.

Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al: ESPEN Guidelines on

Enteral Nutrition: surgery including organ transplantation.

Clin Nutr 2006.

Anda mungkin juga menyukai