Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

TERAPI CAIRAN

Oleh :
I Putu Raditya Dananjaya Sukarata
(1302006118)

Pembimbing :
Dr. I Putu Kurniyanta, Sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa
karena atas karunia-Nya sehingga tinjauan pustaka dengan judul “Terapi Cairan”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan tinjauan pustaka ini, penulis mendapat banyak bantuan,
petunjuk, saran, serta dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian/SMF di Bagian
Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif yang telah memberi kesempatan untuk
belajar di bagian ini.
2. dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN selaku Koordinator Pendidikan di
Bagian/SMF Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif yang telah mengizinkan
untuk mengerjakan tugas ini
3. dr. I Putu Kurniyanta, Sp.An, sebagai dosen pembimbing yang penuh
perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada
penulis.
4. dr. Putu Novita Pradnyani, sebagai residen pembimbing, serta dokter
residen lainnya yang selalu senantiasa sabar memberikan pengetahuan
terkait tinjauan pustaka penulis.
5. Keluarga dan teman yang selalu memberikan dukungan kepada penulis
dalam mengerjakan tinjauan pustaka ini.
6. Dan seluruh orang yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
mendukung tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan dalam upaya
penyempurnaan.

Denpasar, 19 Mei 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................ i
Kata Pengantar ............................................................................................... ii
Daftar Isi......................................................................................................... iii
Daftar Tabel ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 3
2.1 Cairan Tubuh .................................................................................. 3
2.1.1 Komposisi dan Distribusi Cairan Tubuh ............................... 4
2.1.2 Kebutuhan dan Keseimbangan Harian Cairan Tubuh ........... 4
2.1.3 Homeostasis Cairan ............................................................... 5
2.2 Terapi Cairan .................................................................................. 6
2.2.1 Jenis Cairan dan Indikasinya ................................................. 6
2.2.2 Terapi Cairan Perioperatif ..................................................... 11
2.2.3 Jalur Pemberian Terapi Cairan .............................................. 13
2.2.4 Komplikasi Terapi Cairan...................................................... 14
BAB V KESIMPULAN ................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Distribusi Cairan Tubuh ................................................................. 3


Tabel 2.2 Kebutuhan Cairan per Hari ............................................................ 4
Tabel 2.3 Perbandingan Kristaloid dan Koloid .............................................. 9
Tabel 2.4 Rata – rata Volume Darah .............................................................. 12

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Tubuh manusia terdiri dari berbagai macam komponen yang saling


berhubungan. Cairan merupakan salah satu komponen penting dalam tubuh
manusia. Hampir 60 % dari komposisi tubuh manusia merupakan cairan yang
berupa larutan ion dan zat lainnya. Jumlah cairan tubuh total pada masing-masing
individu dapat bervariasi berdasarkan umur, berat badan, maupun jenis kelamin.
Cairan dan elektrolit tersebut memiliki komponen utama yang berbeda dan
fungsinya masing-masing sebagai struktur penting yang membentuk dan
menunjang tubuh manusia, sehingga dapat berfungsi dengan baik melalui
mekanisme pengaturan yang sedemikian rupa.
Cairan dalam tubuh manusia dibagi menjadi cairan intraseluler dan cairan
ekstraseluler. Kedua cairan tersebut dipisahkan oleh membran sel yang sangat
permeabel terhadap air, tetapi tidak permeabel terhadap sebagian besar elektrolit.
Komponen cairan ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida dan bikarbonat
yang jumlahnya banyak serta ditambah berbagai zat gizi untuk sel, seperti
oksigen, glukosa, asam lemak, dan asam amino. Komponen penting dari cairan
ekstraseluler adalah cairan interstisial, yang jumlahnya mencapai tiga perempat
dari keseluruhan cairan ekstraselular, dan seperempat lainnya merupakan plasma.
Sedangkan cairan intraseluler mengandung banyak ion kalium, magnesium dan
fosfat dibandingkan dengan ion natrium dan klorida yang banyak ditemukan pada
cairan ekstraseluler.1
Keseimbangan distribusi cairan dan elektrolit diatur melalui proses
pengaturan mekanisme yang beraneka ragam dan saling terkait dalam satu
kesatuan. Bila terjadi gangguan keseimbangan dari cairan dan elektrolit,
normalnya segera diikuti oleh proses kompensasi untuk mempertahankan kondisi
normal cairan dan elektrolit sehingga fungsi organ vital dapat dipertahankan. Agar
keseimbangan cairan dan elektrolit dapat dipertahankan secara optimal dan terus
menerus, diperlukan proses pengaturan keseimbangan yang adekuat. Apabila
terjadi gangguan di salah satu komponen tersebut bisa menimbulkan keadaan
patologis yang mengancam tubuh manusia.2

1
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh dapat terjadi
pada keadaan diare, muntah-muntah, sindrom malabsorbsi, ekskresi keringat yang
berlebih pada kulit, pengeluaran cairan yang tidak disadari (insesible water loss)
secara berlebihan oleh paru-paru, perdarahan, berkurangnya kemampuan pada
ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Dalam
keadaan tersebut, pasien perlu diberikan terapi cairan agar volume cairan tubuh
yang hilang dapat digantikan dengan segera.3
Pemberian metode terapi cairan dengan tujuan perbaikan dan perawatan
stabilitas hemodinamik pada pasien memerlukan berbagai pertimbangan, karena
pemilihannya tergantung pada jenis dan komposisi elektrolit dari cairan yang
hilang dari tubuh. Jumlah kasus kesalahan terapi cairan jarang dilaporkan, namun
diketahui satu diantara lima pasien dengan pemberian terapi cairan dan elektrolit
intravena menderita komplikasi atau morbiditas karena pemberian terapi cairan
yang tidak tepat.4 Mengetahui pentingnya pemberian terapi cairan dan
pertimbangan lainnya terhadap pasien membuat penulis tertarik untuk membahas
terapi cairan.

2
BAB II
ISI

2.1 Cairan Tubuh


2.1.1 Komposisi dan Distribusi Cairan Tubuh
Tubuh manusia tersusun sebagian besar oleh cairan. Hampir 60% berat
badan orang dewasa terdiri dari cairan. Jumlah cairan tubuh total pada masing-
masing individu dapat bervariasi menurut umur, berat badan, jenis kelamin serta
jumlah lemak tubuh. Air menyusun sekitar 60 persen dari total berat tubuh pada
laki laki dewasa. Untuk tubuh wanita dewasa mengandung cairan sekitar 50
persen dari total berat badannya. Hal ini disebabkan karena jumlah jaringan
adiposa yang relatif lebih banyak pada wanita dibandingkan dengan pria. Pada
bayi, 75 persen komposisi tubuhnya terdiri dari cairan dibandingkan dengan orang
dewasa. Sejalan dengan pertumbuhan seseorang, maka persentase total cairan
tubuh terhadap berat badan akan semakin menurun. Hal ini berhubungan dengan
faktor bertambahnya usia, yang menyebabkan berkurangnya persentase cairan
dalam tubuh.1,5
Tabel 2.1 Distribusi Cairan Tubuh1

Perempuan
Distribusi cairan Laki-laki Dewasa Bayi
Dewasa
Total air tubuh (%) 60 50 75
Intraseluler 40 30 40
Ekstraseluler 20 20 35
- Plasma 5 5 5
- Intersisial 15 15 30

Cairan tubuh terdistribusi antara dua kompartemen cairan utama yang


dipisahkan oleh membran sel, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler.
Cairan ekstraseluler dibagi menjadi intravaskular atau plasma dan kompartemen
interstitial. Selain itu ada pula kompartemen kecil yang juga disebut sebagai
cairan transeluler. Bagian tersebut terdiri dari cairan dalam rongga sinovial,
peritoneum, perikardium serta cairan serebrospinal. Cairan tersebut termasuk ke
dalam jenis khusus cairan ekstraseluler.1

3
1. Cairan intraseluler
Cairan mengandung sejumlah besar ion kalium dan fosfat ditambah ion
magnesium dan sulfat dalam jumlah sedang, yang mana semua ion ini
memiliki konsentrasi yang rendah di cairan ekstraseluler. Sel ini juga
mengandung sejumlah besar protein, hampir empat kali jumlah protein
dalam plasma.1
2. Cairan ekstraseluler
Komponen cairan ekstraseluler terdiri dari ion natrium, klorida dan
bikarbonat yang jumlahnya banyak serta ditambah berbagai zat gizi untuk
sel, seperti oksigen, glukosa, asam lemak, dan asam amino. Komponen
penting dari cairan ekstraseluler adalah cairan interstisial, yang jumlahnya
mencapai tiga perempat dari keseluruhan cairan ekstraselular, dan
seperempat lainnya merupakan plasma.1
2.1.2 Kebutuhan dan Keseimbangan Harian Cairan Tubuh
Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh dengan cara oral
dapat menjadi asupan cairan dan elektrolit dalam keadaan normal. Total air tubuh
juga dipengaruhi oleh proses metabolisme yang berlangsung. Normalnya,
keluaran cairan tubuh dapat terjadi melalui urin, insensibel water loss, dan juga
melalui saluran cerna. Sedangkan dari keadaan patologis seperti muntah, diare,
trauma, ataupun perdarahan aktif, merupakan beberapa cara yang menyebabkan
tubuh dapat kehilangan cairan. Kebutuhan cairan setiap harinya dapat ditentukan
dengan rumus Holiday Segar.4
Tabel 2.2 Kebutuhan Cairan per Hari4
Berat badan Kebutuhan Cairan per Kebutuhan cairan per
Hari Jam
10 kg pertama 100 ml/kg 4 ml/kg
10 kg kedua 50 ml/kg 2 ml/kg
Berat badan selebihnya 20 ml/kg 1 ml/kg

Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh dapat dilakukan dengan


mengurangi total cairan masuk dan cairan keluar. Balans cairan sebaiknya tidak
melebihi dari 200-400 ml per harinya. Insensibel water loss yang termasuk ke
dalam cairan keluar, dihitung dengan perkiraan 15 ml/kgBB/hari. Kehilangan

4
akibat peningkatan suhu tubuh dihitung kurang lebih 10% dari kebutuhan cairan
per hari.2,4
2.1.3 Homeostasis Cairan
Keseimbangan normal cairan dan elektrolit pada kompartemen
intraseluler, ekstraselular, baik pada komponen interstisial maupun intravaskular
harus bekerja sesuai kontrol fisiologis normal agar fungsi seluler dan organ dapat
berlangsung dengan efektif. Terjadinya proses homeostatis tubuh dalam
menyesuaikan keseimbangan antara cairan dan elektrolit dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti penyakit, cedera ataupun respons stres. Respon terhadap
stres yang terjadi adalah mempertahankan air dan natrium dengan cara
meningkatkan pelepasan hormon anti-diuretik (ADH), katekolamin dan aktivasi
sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS). Karena respon inflamasi,
peningkatan permeabilitas kapiler memungkinkan albumin untuk menembus
ruang interstisial, yang mengakibatkan deplesi cairan intravaskular dan aktivasi
sistem RAAS berkelanjutan. Aktivasi RAAS juga dapat menurunkan kadar
potasium, yang akan mengganggu ekskresi dari natrium.
Selain itu, pasien yang sakit mungkin mengalami peningkatan kehilangan
cairan akibat demam, muntah atau diare ditambah dengan penurunan asupan oral
dikarenakan mual. Pemberian cairan intravena merupakan tindakan yang
dibutuhkan bagi pasien. Harus diingat bahwa tujuan pemberian cairan intravena
adalah memulihkan kondisi patologis yang terjadi dan mengembalikan pasien
dalam keseimbangan cairan dan elektrolit normal. Bagi praktisi kesehatan, banyak
rekomendasi maupun guideline yang ada untuk memudahkan dalam pengambilan
keputusan dalam pemberian terapi intravena. UK National Institute for Health
and Care Excellence (NICE) merekomendasikan untuk menilai 5 R yang terdiri
dari :
1. Resuscitation (Resusitasi)
2. Replacement (Penggantian)
3. Routine Maintenance (Pemeliharaan Rutin)
4. Redistribution (Redistribusi)
5. Reassessment (Penilaian Ulang)

5
Penting untuk melakukan penilaian menyeluruh terhadap pasien, termasuk berat
badan dan keseimbangan cairan terakhir pasien, serta perlu mempertimbangkan
kebutuhan elektrolit harian pasien.6
2.2 Terapi Cairan
Terapi cairan merupakan pilihan terapi yang dapat keberhasilan
penanganan pasien kritis. Terapi cairan bertujuan untuk mempertahankan sirkulasi
atau mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat pada pasien
yang tidak mampu mengendalikan keseimbangan cairan dalam tubuhnya,
sehingga mampu menciptakan hasil yang menguntungkan bagi kondisi pasien.
Dalam penerapan bantuan hidup lanjut, langkah penting yang dapat dilakukan
secara simultan bersama langkah lainnya merupakan drug and fluid treatment.
Pada pasien yang mengalami kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi
karena muntah, mencret dan syok, langkah tersebut dapat menyelamatkan pasien.2
2.2.1 Jenis Cairan dan Indikasinya
Cairan intravena dibagi menjadi dua, yaitu cairan kristaloid dan koloid.
a. Cairan Kristaloid
Elektrolit (contoh kalium, natrium, kalsium, klorida) merupakan
komponen dari kristaloid. Karakteristik kristaloid ditandai dengan pengaruhnya
terhadap status asam-basa. Kristaloid digunakan untuk menggantikan kehilangan
sodium atau mempertahankan status quo. Cairan kristaloid perawatan
mengandung konsentrasi natrium yang sama dengan konsentrasi total tubuh
normal (70 mmol / L), sedangkan cairan kristaloid pengganti memiliki kandungan
natrium pada konsentrasi yang mirip dengan plasma normal (kira-kira 140
mmol/L). Kristaloid tidak mengandung partikel onkotik, dengan waktu paruh
kristaloid di intravaskular berkisar antara 20-30 menit. Keuntungan dari kristaloid
diantaranya murah, mudah dibuat, dan tidak menimbulkan reaksi imun. Untuk
terapi intravena prehospital, larutan kristaloid merupakan larutan utama yang
digunakan pada pasien. Ada 3 jenis tonisitas kritaloid, diantaranya3 :
- Isotonis.
Apabila jumlah elektrolit plasma terisi kristaloid pada jumlah yang sama
dan memiliki konsentrasi yang sama maka disebut sebagai isotonis. (iso, sama;
tonis, konsentrasi). Tidak terjadi perpindahan signifikan antara cairan di dalam sel

6
dengan intravaskular saat pemberian kristaloid isotonis. Hal tersebut
menyebabkan hampir tidak adanya osmosis. Dalam pemberian kristaloid isotonis
pada jumlah besar perlu diperhatikan adanya efek samping seperti edema perifer
dan edema paru yang dapat terjadi pada pasien. Contoh larutan kristaloid isotonis:
Ringer Laktat, Normal Saline (NaCl 0.9%), dan Dextrose 5% dalam ¼ NS.3,7
- Hipertonis
Kristaloid disebut hipertonis apabila jumlah elektrolit dari kristaloid
lebih banyak dibandingkan dengan plasma tubuh. Apabila pemberian kristaloid
hipertonik dilakukan terhadap pasien akan menyebabkan terjadinya penarikan
cairan dari sel ke ruang intravaskuler. Gejala yang timbul dari pemberian larutan
hipertonis adalah peningkatan curah jantung yang bukan hanya disebabkan oleh
karena perbaikan preload, tetapi juga disebabkan oleh efek sekunder karena efek
inotropik positif pada miokard dan penurunan afterload sekunder akibat efek
vasodilatasi kapiler viseral. Hal ini dapat menyebabkan perbaikan aliran darah ke
organ-organ vital. Namun pemberian larutan hipertonis dapat menyebabkan efek
samping seperti hipernatremia dan hiperkloremia. Contoh larutan kristaloid
hipertonis antara lain Dextrose 5% dalam ½ Normal Saline, Dextrose 5% dalam
Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam RL.3,4,7
- Hipotonis
Jika plasma memiliki elektrolit yang lebih banyak dibandingkan
kristaloid dan kurang terkonsentrasi, maka disebut sebagai “hipotonik” (hipo,
rendah; tonik, konsentrasi). Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat
akan berpindah dari intravaskular ke sel. Dextrose 5% dalam air, ½ Normal Saline
merupakan beberapa contoh dari larutan kristaloid hipotonik.
b. Cairan Koloid
Cairan koloid bertahan lebih lama di dalam ruang intravaskuler
disebabkan oleh karena aktivitas osmotik serta mempunyai zat-zat yang berat
molekulnya tinggi. Pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok
hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan transfusi darah ataupun pada
penderita hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya
pada luka bakar) dapat diberikan cairan koloid sebagai salah satu langkah
resusitasi. Cairan koloid merupakan turunan dari plasma protein dan sintetik.

7
Kerugian dari „plasma expander‟ ini yaitu harganya yang mahal, dapat dapat
menyebabkan gangguan pada cross match dan menimbulkan reaksi anafilaktik
(walau jarang).3,7 Berdasarkan jenis pembuatannya, larutan koloid terdiri dari:
1. Koloid Alami yaitu fraksi albumin ( 5% dan 25%) dengan protein plasma
5%. Dibuat dengan cara memanaskan plasma dalam suhu 60°C selama 10
jam agar virus hepatitis dan virus lainnya terbunuh. Fraksi protein plasma
selain mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan
beta globulin. Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor
fragments) terdapat dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan
hipotensi dan kolaps kardiovaskuler.3
2. Koloid Sintetik
 Dextran
Dextrans digunakan untuk mengganti cairan karena memiliki
rentang waktu efek yang lebih lama pada ruang intravaskuler. Cairan
koloid ini berasal dari molekul polimer glukosa dengan jumlah besar. Efek
samping dari pemberian Dextran di antaranya gagal ginjal sekunder akibat
pengendapan di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet,
koagulopati dan gangguan pada cross-matching darah. Oleh karena
banyaknya efek samping yang disebabkan, cairan ini jarang dipilih.
Contoh sediaan yang ada, antara lain : Dextran 40 (Rheomacrodex)
dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex) dengan berat
molekul 60.000-70.000.8
 Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)
Hetastarch merupakan golongan nonantigenik dan reaksi
anafilaktoid jarang dilaporkan terjadi. Rekomendasi dosis maksimal harian
penggunaan cairan HES adalah 33-50 ml/kgBB/hari. Low molecular
weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip dengan Hetastarch.
Pentastarch memiliki kemampuan untuk mengembangkan volume plasma
hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan dapat berlangsung selama 12
jam. Pentastarch menjadi opsi dari jenis koloid yang dapat digunakan
sebagai cairan resusitasi jumlah besar karena potensinya sebagai plasma

8
volume expander dengan toksisitas yang rendah dan tidak menyebabkan
terganggunya proses koagulasi.4
 Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang bersumber dari gelatin,
biasanya berasal dari collagen bovine. Larutan gelatin adalah urea atau
modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Jika dibandingkan
dengan jenis koloid lainnya, gelatin memeliki berat molekul yang relatif
rendah yaitu 30,35 kDa. Efek ekspansi plasma segera dari gelatin adalah
80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi hemodilusi
normovolemik. Gelatin dapat memicu reaksi hipersensitivitas, lebih sering
daripada larutan HES. Ekskresi gelatin dilakukan di ginjal, dan tidak ada
akumulasi jaringan.9
Tabel 2.3 Perbandingan Kristaloid dan Koloid.3,8
Sifat Kristaloid Koloid
Berat molekul Lebih kecil Lebih besar
Distribusi Lebih cepat: 20-30 menit Lebih lama dalam
sirkulasi (3-6 jam)
Faal hemostasis Tidak ada pengaruh Mengganggu
Penggunaan Dehidrasi Perdarahan masif
Koreksi perdarahan Diberikan 2-3x jumlah Sesuai jumlah perdarahan
perdarahan

Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi empat


kelompok, yaitu :
1. Cairan Pemeliharaan
Terapi cairan intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada
penyediaan cairan dan elektrolit intravena untuk pasien yang terjaga
keseimbangan cairan dan elektrolitnya, namun tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan cairannya via enteral. Pemberian cairan
pemeliharaan rutin bertujuan agar tersedianya cairan dan elektrolit yang
adekuat untuk memenuhi insensible losses, status normal kompartemen
cairan tubuh dapat dipertahankan dan memungkinkan terjadinya ekskresi
ginjal dari produk-produk limbah. Jenis cairan rumatan yang dapat
digunakan adalah NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, atau ringer

9
10,11
laktat/asetat. Cairan rumatan dibutuhkan sekitar 25-30 ml/kg/hari.
Kebutuhan K, Na dan Cl kurang lebih 1mmol/kg/hari, sedangkan glukosa
dibutuhkan tubuh sebanyak 50-100 gram perhari. Perlu dilakukan monitor
dan penilaian ulang pada pasien setelah memberikan cairan pemeliharaan
intravena pada pasien. Cairan nasogastrium atau makanan enteral dipilih
untuk kebutuhan pemeliharaan lebih dari 3 hari.12,13
2. Cairan Pengganti
Penghitungan optimal dari cairan intravena perlu dilakukan karena pasien
yang membutuhkan cairan intravena memiliki kebutuhan spesifik untuk
mengganti kehilangan cairan atau elektrolit yang terjadi serta
permasalahan redistribusi cairan internal yang sedang berlangsung. Pada
kasus-kasus kehilangan cairan tidak normal yang sedang berlangsung,
seperti dari saluran pencernaan atau saluran kencing, dibutuhkan cairan
pengganti. Terapi cairan pengganti intravena memiliki tujuan untuk
menjaga dan mengembalikan homeostasis yang adekuat dengan cara
memenuhi kebutuhan ekstra dari cairan dan elektrolit.12 ,13
3. Cairan untuk Tujuan Khusus
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus, misalnya
natrium bikarbonat 7,5%, kalsium glukonas, untuk tujuan koreksi khusus
terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.12
4. Cairan Nutrisi
Pasien yang tidak mengkonsumsi makanan peroral ataupun yang tidak
boleh makan dapat diberikan cairan nutrisi.. Jenis cairan nutrisi parenteral
pada saat ini sudah dalam berbagai komposisi, baik untuk parenteral
parsial atau total maupun untuk kasus penyakit tertentu. Adapun syarat
pemberian nutrisi parenteral yaitu berupa:
 Gangguan absorpsi makanan seperti pada fistula enterokunateus,
atresia intestinal, kolitis infektiosa, obstruksi usus halus.
 Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pankreatitis
berat, status preoperatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal,
stenosis arteri mesenterika, diare berulang.

10
 Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan,
pseudo-obstruksi dan skleroderma.
Kondisi dimana jalur enteral tidak memungkinkan untuk diberikan kepada pasien
antara lain pada pada pasien dengan gangguan makan, muntah terus menerus,
gangguan hemodinamik, maupun dengan hiperemesis gravidarum.14,15
2.2.2 Terapi Cairan Perioperatif
Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk mengganti hilangnya
cairan atau defisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah
pada tindakan bedah seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama,
dan pasca pembedahan. National Confidential Enquiry into Patient
Outcome and Death menyatakan bahwa terjadi peningkatan angka
mortalitas sebesar 20,5% pada pasien dengan syok hipovolemik yang
mendapatkan terapi cairan perioperative dengan jumlah tidak adekuat
dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan dengan
jumlah yang adekuat.17
1. Terapi Cairan Prabedah
Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan
kalori yang dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan
adalah18:
a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan
b. Untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi diberikan cairan
kristaloid
c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau
transfusi darah.
2. Terapi Cairan selama Operasi
Pemberian cairan selama operasi bertujuan untuk mengoreki hilangnya
cairan akibat luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan
yang hilang melalui eksresi organ. Pemberian cairan kristaloid ataupun
koloid merupakan langkah penting untuk mengatasi perdarahan agar
volume intravascular (normovolemia) dapat terjaga sehingga resiko
anemia dapat teratasi. Namun, apabila pasien mengalami anemia berat,
pemberian transfusi darah kepada pasien perlu untuk dilakukan.

11
Penghitungan estimated blood volume dapat dilakukan untuk menentukan
jumlah transfusi darah yang akan diberikan kepada pasien.
Tabel 2.4 Rata – rata Volume Darah.3

Usia Volume Darah


Neonatus
Prematur 95 ml/kg
Matur 85 ml/kg
Infan 80 ml/kg
Dewasa
Pria 75 ml/kg
Wanita 65 ml/kg

Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan:


 Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampung atau
tabung suction
 Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1 ml darah )
 Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% kali jumlah yang
terukur ditambah terhitung (jumlah darah yang tercecer dan
melekat pada kain penutup lapangan operasi).3
3. Terapi Cairan Pasca Bedah
Pemberian cairan pasca bedah digunakan tergantung dengan masalah
yang dijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan
pengganti atau cairan nutrisi. Prinsip dari pemberian cairan pasca bedah
adalah4,8 :
a. Dewasa:
 Pasien yang diperbolehkan makan/minum pasca bedah,
diberikan cairan pemeliharaan
 Apabila pasien puasa dan diperkirakan < 3 hari diberikan
cairan nutrisi dasar yang mengandung air, eletrolit,
karbohidrat, dan asam amino esensial. Sedangkan apabila
diperkirakan puasa > 3 hari bisa diberikan cairan nutrisi

12
yang sama dan pada hari ke lima ditambahkan dengan
emulsi lemak
 Pada keadaan tertentu, misalnya pada status nutrisi pra
bedah yang buruk segera diberikan nutrisi parenteral total
b. Bayi dan anak, memiliki prinsip pemberian cairan yang sama,
hanya komposisinya berbeda, misalnya dari kandungan
elektrolitnya, jumlah karbohidrat dan lain – lain.
c. Pada keadaan tertentu misalnya pada penderita syok atau
anemia, penatalaksanaanya disesuaikan dengan
etiologinya.4,9,11
Satu atau lebih komplikasi yang terjadi pasca operasi memberikan dampak
buruk dalam jangka waktu pendek atau panjang. Pencegahan angka morbiditas
pada pasca operasi adalah kunci untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
berkualitas. 10,14
2.2.3 Jalur Pemberian Terapi Cairan
Pemberian terapi cairan dapat dilakukan melalui jalur vena, baik vena
perifer maupun vena sentral, melalui kanulasi tertutup atau terbuka dengan seksi
vena.2,16
1. Kanulasi Vena Perifer
Syarat dari pemilihan kanulasi ini adalah dimulai dari vena di daerah
ekstremitas atas lalu dilanjutkan pada vena bagian ekstremitas bawah.
Vena di area kepala perlu dihandari karena hematom mudah terjadi.
Pada bayi baru lahir, vena umbilikalis bisa digunakan untuk kanulasi
terutama dalam keadaan darurat. Tujuan dilakukannya kanulasi vena
perifer ini adalah untuk :
a. Terapi cairan pemeliharaan dalam waktu singkat. Lokasi
pemasangan harus dipindah serta penggantian set infus perlu
dilakukan, jika pemberiannya melebihi 3 hari.
b. Terapi cairan pengganti dalam keadaan darurat, untuk menganti
kehilangan cairan tubuh atau perdarahan akut.
c. Terapi obat lain secara intravena yang diberikan secara
kontinyu atau berulang

13
2. Kanulasi Vena Sentral
Pemberian jangka panjang, misalnya untuk nutrisi parenteral total,
dilakukan kanulasi pada vena subklavikula atau vena jugularis interna.
Sedangkan dalam pemberian jangka pendek, dilakukan melalui vena-
vena di atas ekstremitas atas secara tertutup atau terbuka dengan vena
seksi. Tujuan dari kanulasi vena sentral ini tersendiri adalah2,15,16 :
a. Terapi cairan dan nutrisi parenteral jangka panjang. Terutama
untuk cairan nutrisi parenteral dengan osmolaritas yang tinggi
untuk mencegah iritasi pada vena.
b. Jalur pintas terapi cairan pada keadaan darurat, misalnya
kardiovaskuler, vena perifer sulit diidentifikasi.
c. Untuk pemasangan alat pemacu jantung.
2.2.4 Komplikasi Terapi Cairan
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah cairan yang masuk ke dalam
tubuh terlalu banyak. Ketika hal ini terjadi, jantung gagal memompa volume
sirkulasi yang terekspansi secara efektif. Distensi berlebih pada ventrikel kiri
dapat menyebabkan gagal jantung, dengan konsekuensi berupa edema paru.
Pasien dengan edema paru akan memendekkan pernapasan dan menyebabkan
batuk, terdengar crackles pada auskultasi dan penurunan saturasi oksigen.
Manifestasi klinis ini seringkali diikuti oleh meningkatnya denyut jantung. Gagal
ginjal dan kerusakan ventrikel yang sudah ada dapat memperburuk kondisi.
Abdominal compartment syndrome dan Acute Respiratory Distress Syndrome
adalah konsekuensi dari kelebihan resusitasi cairan dan kelebihan cairan.
Penanganan khusus juga harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung atau
gagal nafas, ataupun pada orang dengan resiko ketidakstabilan hemodinamik.11

14
BAB III
KESIMPULAN

Tubuh manusia sebagian besar tersusun dari air. Cairan tubuh pada
masing-masing individu berbeda tergantung dari beberapa faktor usia, jenis
kelamin, dan derajat status gizi seseorang. Seluruh cairan tubuh tersebut secara
garis besar terbagi ke dalam dua kompartemen, yaitu intraselular dan
ekstraselular. Apabila terjadi defisit atau kekurangan cairan pada tubuh maka
perlu segera diberikan penanganan atau pencegahan untuk mencegah terjadinya
masalah kekurangan cairan.
Terapi cairan secara garis besar dibagi menjadi kristaloid dan koloid.
Kristaloid merupakan larutan berbasis air yang mengandung elektrolit atau gula
yang paling sering dan paling pertama digunakan sebagai cairan resusitasi.
Keuntungan dari cairan ini antara lain harga murah, tersedia dengan mudah di
setiap pusat kesehatan, tidak perlu dilakukan cross match, sedangkan koloid
mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler dan baik untuk resusitasi cairan pada pasien dengan defisit cairan
berat seperti pada syok hipovolemik/hemorhagik. Berdasarkan penggunaannya
dibagi menjadi cairan pemeliharaan, pengganti, nutrisi, dan untuk tujuan khusus.
Jalur pemberian cairan dapat melalu kanulasi vena sentral dan perifer
dimana masing memiliki indikasi tersendiri. Pemberian cairan perioperatif juga
diperlukan pada saat sebelum, selama, dan setelah atau pasca operasi. Pemantauan
kehilangan darah pada pasien perioperatif juga menentukan jenis terapi cairan
yang akan diberikan.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Hall, J. (2014). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 12th ed.
Singapore: Elsevier Health Sciences.
2. Mangku G, Senapathi TGA. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam
Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta: Indeks; 2017. 6 (5):
h.272 – 301.
3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Management of Patients with
Fluid and Electrolyte Disturbances. Dalam Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology 5th ed. New York: Mc-Graw Hill. 2013; 4 (49): h. 1107 –
40.
4. Hahn RG. Crystalloid Fluids. Dalam Clinical Fluid Therapy in the
Perioperative Setting. Cambridge: Cambridge University Press. 2012; 1 :
h. 1 – 10.
5. Nice.org.uk. (2017). Intravenous fluid therapy in adults in hospital |
Guidance and guidelines | NICE. [online] Available at:
https://www.nice.org.uk/guidance/cg174 [Accessed 14 May 2017].
6. Plumb B, Brown J, Fluid Therapy for Anaesthetists and Intensivists,
Anaesthesia and Intensive Care Medicine (2015),
http://dx.doi.org/10.1016/j.mpaic.2015.06.021
7. Stoelting RK, Rathmell JP, Flood P, Shafer S. Intravenous Fluids and
Electrolytes. Dalam Handbook of Pharmacology and Physiology in
Anesthetic Practice 3rd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer Health. 2015; 17
: h. 341 – 49.
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reaminasi Indonesia.
2010. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. PP IDSAI, 108-
142.
9. Niemi TT, Miyasitha R, Yamakage M. Colloid solutions: a clinical update.
Japanese Society of Anesthesiologist. 2010.
10. Intravenous Fluid Selection [cited 2017 May 16]. Available from
catalogue.pearsoned.co.uk. 2005.
11. Floss K, Borthwick M, Clark C. Intravenous Fluids Principles of
Treatment. Clinical Pharmacist Vol.3. 2011.
12. Agro FE, Fries D, Vennari M. Body Fluid Management From Physiology
to Therapy. Verlag Italia: Springer. 2013.
13. Hines RL, Marschall KE. Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders.
Dalam Handbook for Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease 4th
ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2013; 18: h.216 – 230.
14. Braga M, Ljungqvist O, Soeters P, et al: ESPEN Guidelines on Parenteral
Nutrition: Surgery Clinical Nutrition. 2009;28:378.
15. Weimann A, Braga M, Harsanyi L, et al: ESPEN Guidelines on Enteral
Nutrition: Surgery Including Organ Transplantation Clinical Nutrition.
2006;25:224.
16. Gaol, H. L., Tanto, C. & Pryambodho, 2014. Terapi Cairan. In: C. Tando,
F. Liwang, S. Hanifati & E. A. Pradipta, eds. Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta: Media Aesculapius, pp. 561-564.
17. Brugnolli, A, RN, MSN, Canzan F, RN, MSN, PhD. 2017. Fluid Therapy
Management in Hospitalized Patients: Results From a Cross-sectional
Study
18. Voldby AW, Branstrup B. Fluid Therapy in the Perioperative Setting.
Journal of Intensive Care. 2016; 4 : h.27 – 39.

Anda mungkin juga menyukai