Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

EFEK NYERI TERHADAP KARDIOVASKULAR


DAN RESPIRASI

Oleh:
Ni Nyoman Yuliantini
NIM. 1302006062

Pembimbing:
dr. I Wayan Aryabiantara, Sp.An. KIC

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RSUP SANGLAH
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat-Nya maka tinjauan pustaka dengan topik “Efek Nyeri terhadap
Kardiovaskular dan Respirasi” ini dapat terselesaikan.
Dalam penyusunan tinjauan pustaka ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat:
1. dr. I Ketut Sinardja, Sp.An, KIC selaku Kepala Bagian/SMF dan dr. I Gede
Budiarta, Sp.An, KMN selaku Koordinator Pendidikan di bagian Ilmu Anestesi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah
Denpasar yang telah memberikan kesempatan untuk belajar di bagian ini.
2. dr. I Wayan Aryabiantara, Sp.An. KIC selaku pembimbing yang telah
memberikan pengarahan, kritik, dan saran kepada penulis.
3. Dokter-dokter residen yang turut membimbing dan memberi masukan yang
bermanfaat kepada penulis.
4. Teman-teman dokter muda dan seluruh pihak yang membantu penulis dalam
penyusunan tinjauan pustaka.
Penulis menyadari laporan ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari pembaca, sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan tinjauan pustaka ini. Terimakasih.

Denpasar, Mei 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ......................................................................................... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 3
2.1 Nyeri ............................................................................................................ 3
2.1.1 Definisi nyeri ................................................................................... 3
2.1.2 Mekanisme nyeri ............................................................................. 3
2.1.3 Penggolongan nyeri ......................................................................... 5
2.1.4 Pengukuran nyeri ............................................................................ 7
2.1.5 Penatalaksanaan nyeri ..................................................................... 7
2.2 Fisiologi Kardiovaskular ............................................................................. 8
2.3 Fisiologi Respirasi ..................................................................................... 10
2.4 Efek Nyeri terhadap Kardiovaskular dan Respirasi .................................. 13
2.4.1 Efek Nyeri terhadap Kardiovaskular ............................................. 13
2.4.2 Efek Nyeri terhadap Respirasi ...................................................... 14
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri merupakan keluhan tersering yang membuat pasien datang berobat ke


dokter.1 Secara global diperkirakan satu dari lima orang dewasa mengalami nyeri
dan satu dari sepuluh orang dewasa didiagnosis nyeri kronik setiap tahunnya. 2
Nyeri sering timbul sebagai manifestasi klinis dari proses patologis. Gejala ini
memiliki penyebab yang luas, mulai dari kondisi yang relatif jinak hingga cedera
akut, iskemi miokard, perubahan degeneratif, atau keganasan.1 Terdapat berbagai
jenis penggolongan nyeri, namun menurut timbulnya nyeri, nyeri dapat dibagi
menjadi nyeri akut dan kronik.3
Nyeri tidak hanya sebuah sensasi, tetapi juga sebuah pengalaman. The
International Association for the Study of Pain mendefinisikan nyeri sebagai
perasaan yang tidak menyenangkan baik itu sensasi maupun emosi berkaitan
dengan adanya suatu kerusakan jaringan.1 Definisi ini menunjukkan aspek objektif
dari nyeri yaitu proses fisiologi nyeri dan aspek subjektif yaitu emosi dan
psikologis. Setiap individu memiliki respon atau ambang nyeri yang berbeda karena
nyeri bersifat subjektif. Respon nyeri sangat bervariasi antar individu maupun pada
individu yang sama dalam waktu yang berbeda.1,4
Nyeri berfungsi sebagai mekanisme proteksi, defensif, dan penunjang
diagnostik, namun dalam hal yang lain nyeri juga dapat memperberat penderitaan
pasien. Persepsi nyeri terjadi akibat adanya mekanisme yang dimulai dari
transduksi, transmisi, modulasi, dan pada akhirnya terjadilah persepsi nyeri.3 Ketika
suatu rangsangan dipersepsikan sebagai nyeri, tubuh berespon dengan melepaskan
hormon-hormon katabolik yang secara umum disebut sebagai respon stres. Kondisi
tersebut dapat menimbulkan berbagai efek terhadap berbagai sistem organ,
diantaranya kardiovaskular dan respirasi.3
Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung, pembuluh darah, dan darah.
Sistem ini berfungsi untuk menghantarkan oksigen dan nutrien kepada sel-sel,
pembuangan metabolit dan CO2, perantara sel-sel dari sistem hormon-imun, dan
memelihara suhu badan. Sedangkan repirasi adalah pertukaran gas-gas antara
organisme hidup dengan lingkungan sekitarnya. Respirasi pada manusia terdiri dari

1
2

respirasi eksternal dan internal.5 Nyeri dapat berdampak terhadap kedua sistem
organ tersebut, misalnya dapat menimbulkan takikardia, hipertensi, kesulitan
bernapas, hingga dapat membuat penderita mudah mengalami atelektasis,
hipoksemia, dan berbagai gangguan kardiovaskular serta respirasi lainnya.3
Tinjauan pustaka ini akan membahas beberapa hal terkait nyeri, fisiologi
kardiovaskular dan respirasi, serta efek nyeri terhadap kardiovaskular dan respirasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri
2.1.1 Definisi nyeri
Nyeri menurut The International Association for the Study of Pain
merupakan bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang
menunjukkan kerusakan jaringan.1,3,6 Definisi tersebut mencakup aspek
objektif, yaitu proses fisiologi nyeri, dan subjektif, yaitu emosi dan psikologi.
Respon nyeri sangat bervariasi antar individu maupun pada individu yang sama
dalam waktu yang berbeda.1
Nyeri dapat menimbulkan penderitaan, namun dapat berfungsi sebagai
mekanisme proteksi, defensif, dan penunjang diagnostik. Mekanisme proteksi
memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab
nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh.
Mekanisme defensif yang dimaksud adalah memungkinkan seseorang untuk
immobilisasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga
sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.
Nyeri sebagai penuntun diagnostik karena dengan adanya nyeri pada daerah
tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui.3
2.1.2 Mekanisme nyeri
Trauma akan menyebabkan sel-sel rusak dengan konsekuensi
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul disekitarnya.
Rangsangan zat-zat algesik tersebut pada reseptor nyeri akan menimbulkan
nyeri.3,5 Reseptor-reseptor nyeri banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit
dan beberapa jaringan di dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi,
otot rangka, dan pulpa gigi.3
Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung bebas serat saraf aferen A delta
dan C. Serat saraf aferen A delta merupakan serat aferen bermielin yang sangat
halus dengan kecepatan transmisi relatif sangat cepat (12-30 m/dt), dan

3
4

berperan menerima rangsang mekanik dengan intensitas menyakitkan atau


disebut juga hight-threshold mechanoreceptors. Serat aferen C merupakan serat
saraf yang sangat halus, tidak bermyelin, kecepatan transmisinya sangat lambat
(2-3 m/dt) dan ambang rangsangannya lebih tinggi dibandingkan dengan saraf
A delta.7,8 Reseptor-reseptor ini diaktifkan oleh adanya rangsang-rangsang
dengan intensitas tinggi, misalnya rangsang termal, mekanik, elektrik, atau
rangsang kimiawi. Zat-zat algesik yang mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion
K, H, asam laktat, serotonin, bradikinin, histamin, dan prostaglandin. Setelah
reseptor nyeri diaktifkan, impuls nyeri disalurkan ke sentral melalui beberapa
saluran saraf. Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan
(sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu
proses elektro-fisiologik yang disebut nosisepsi (nociception).3
Nosisepsi berasal dari kata noci (bahasa latin: cedera) yang digunakan
untuk menggambarkan persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang
berpotensi dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Semua nosisepsi
menghasilkan nyeri, tetapi tidak semua nyeri diakibatkan oleh nosisepsi.
Banyak pasien mengalami nyeri tanpa adanya stimulus noksius, sehingga
penting untuk membedakan nyeri menjadi nyeri akut yang diakibatkan
nosisepsi dan nyeri kronis yang mungkin juga disebabkan nosisepsi, akan tetapi
faktor psikologi dan perilaku memegang peranan penting.1,8
Terdapat empat proses yang mengikuti suatu proses elektro-fisiologik
nosisepsi, yaitu:3,5
1. Transduksi merupakan proses stimuli nyeri (naxious stimuli) yang
diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktivitas listrik pada
ujung-ujung saraf.
2. Transmisi merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf
sensoris setelah proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh
serabut saraf A delta dan C sebagai neuron pertama dari perifer ke
medula spinalis. Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang
ke terminal di medula spinalis disebut neuron aferen primer.
Jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan
talamus disebut neuron penerima kedua. Neuron yang
5

menghubungkan dari talamus ke korteks serebri disebut neuron


penerima ketiga.
3. Modulasi merupakan proses interaksi antara sistem analgesik
endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medula
spinalis. Sistem analgesik endogen terdiri dari enkefalin, endorfin,
serotonin, dan noradrenalin yang menekan impuls nyeri pada kornu
posterior medula spinalis. Kornu posterior diibaratkan sebagai pintu
gerbang nyeri yang bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan
impuls nyeri. Proses tertutupnya atau terbukanya pintu nyeri
tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen.
4. Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan
unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi, dan modulasi
yang menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri. Nyeri sangat dipengaruhi oleh faktor
subjektif, walaupun mekanismenya belum jelas.
2.1.3 Penggolongan nyeri
Nyeri dapat digolongkan menjadi:1,3,4,8
1. Menurut jenisnya: nyeri nosiseptik, neurogenik, dan psikogenik. Nyeri
nosiseptik adalah nyeri yang timbul akibat perangsangan pada nosiseptor
(serabut a-delta dan serabut c) oleh rangsang mekanik, termal, atau kemikal.
Nyeri neurogenik timbul akibat cedera struktur saraf perifer maupun sentral.
Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak memenuhi kriteria nyeri somatik
dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria untuk depresi atau kelainan
psikosomatik.
2. Menurut timbulnya nyeri: nyeri akut dan kronik.
a. Nyeri akut merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan
dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan
yang nyata (pain with nociception).
b. Nyeri kronik adalah sensasi yang tidak menyenangkan terjadi tanpa
disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without
nociception).
3. Menurut penyebabnya: nyeri onkologik dan non onkologik
6

4. Menurut derajat nyerinya: nyeri ringan, sedang, dan berat.


a. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, timbul saat melakukan
aktivitas sehari-hari dan menghilang saat tidur.
b. Nyeri sedang adalah nyeri yang terus menerus, mengganggu aktivitas,
dan hanya hilang saat penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang
hari, pederita tidak bisa tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri
sewaktu tidur.
Berbagai penggolongan nyeri tersebut berguna untuk pemilihan
penatalaksanaan dan pemberian obat.4 Namun pada tinjauan pustaka ini akan
lebih dibahas mendalam terkait nyeri akut.
Nyeri akut terjadi karena stimulus noksius akibat cedera, proses
penyakit atau fungsi abnormal otot atau viseral dan hampir selalu karena
nosisepsi. Nyeri akut yang paling sering yaitu nyeri paska trauma, paska bedah,
dan nyeri obstetri, atau yang berkaitan dengan penyakit medis akut seperti
infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal. Nyeri akut umumnya akan sembuh
sendiri atau berkurang dengan terapi dalam beberapa hari atau minggu. Ketika
nyeri gagal disembuhkan baik karena penyembuhan yang abnormal, terapi tidak
proporsional, atau terapi tidak adekuat, maka akan menjadi nyeri kronis.
Berdasarkan asal dan bentuk nyerinya, nyeri akut dibedakan menjadi dua, yaitu:
1,4,5,9,10

1. Nyeri Somatis
a. Nyeri somatis superfisial adalah nyeri karena rangsangan nosisepsi
berasal dari kulit, jaringan subkutan, dan membran mukosa. Nyeri
ini dapat dilokalisir, tajam atau terasa terbakar.
b. Nyeri somatis dalam berasal dari otot, tendon, dan sendi tulang.
Nyeri ini terasa tumpul dan sulit dilokalisir.
2. Nyeri Viseral
Nyeri viseral adalah nyeri karena penyakit atau disfungsi organ internal,
misalnya pleura parietal, perikardium, atau peritoneum. Nyeri ini dapat
dibagi menjadi empat tipe yaitu nyeri viseral terlokalisir, nyeri parietal
terlokalisir, nyeri viseral menjalar, dan nyeri parietal menjalar.
7

2.1.4 Pengukuran nyeri


Pengukuran nyeri dapat dilakukan degan pengukuran satu dimensional
(one-dimensional) atau pengukuran berdimensi ganda (multi-dimensional).
Pengukuran dimensional umumnya hanya mengukur satu aspek nyeri saja,
misalnya seberapa berat rasa nyeri menggunakan pain rating scale yang dapat
berupa:3,4,8,11
1. Pengukuran nyeri secara kategorikal atau kualitatif dibagi menjadi
tidak ada nyeri, nyeri ringan, sedang, dan berat.
2. Pengukuran nyeri secara numerikal (numerical rating scale)
merupakan pengukuran nyeri dimana pasien diminta menentukan
derajat nyerinya dari 0 sampai 10 pada penggaris yang berisi skala,
dimana angka 0 menunjukkan tidak ada nyeri dan 10 menunjukkan
nyeri terhebat yang tak tertahankan.
3. Visual analogue scale (VAS) dimana menggunakan satu garis lurus
sepanjang 10 sentimeter dan pasien diminta memberikan garis tegak
lurus yang menandakan derajat nyeri yang dirasakan. Nilai di bawah
4 sebagai nyeri ringan, nilai antara 4-7 sebagai nyeri sedang, dan di
atas 7 sebagai nyeri berat. Sedangkan untuk anak-anak digunakan
faces scale, dimana intensitas nyeri digambarkan oleh karikatur
wajah dengan berbagai bentuk mulut.
Sedangkan pengukuran multi dimensional untuk informasi lebih lanjut
tentang karakteristik nyeri dan dampaknya terhadap individu tersebut.
Pengukuran ini tidak hanya terbatas pada aspek sensorik, tetapi juga mengukur
dari segi afektif dan proses evaluasi nyeri, salah satu contohnya menggunakan
McGill Pain Questionaire dalam bentuk format lengkap atau Short Form (SF-
MPQ).4,8
2.1.5 Penatalaksanaan nyeri
Strategi terapi farmakologi nyeri untuk nyeri akut maupun kronik
mengikuti WHO Three-Step Analgesic Ladder, yang terdiri dari:3,4
1. Menggunakan obat analgesik non opiat
2. Jika masih nyeri, tambahkan obat opioid lemah misalnya kodein
8

3. Jika nyeri belum reda atau menetap, gunakan opioid keras yaitu
morfin
Pasien dengan nyeri kronik dapat mengikuti langkah tangga 1-2-3 dan
nyeri akut mengikuti langkah tangga 3-2-1. Apabila dianggap perlu, pada setiap
langkahnya dapat ditambahkan adjuvan atau obat pembantu. Obat-obat
pembantu (adjuvan) tersebut dapat lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, atau kemampuan untuk bertindak
sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu.3,4

2.2 Fisiologi Kardiovaskular


Kardiovaskular merupakan sistem yang terdiri dari jantung sebagai pompa,
pembuluh darah sebagai saluran, dan darah. Kerjasama ketiga komponen tersebut
menyebabkan darah mengalir ke seluruh tubuh membawa oksigen dan nutrien
untuk menunjang kehidupan sel dan jaringan tubuh. Fungsi kardiovaskular adalah
penyampaian O2 dan nutrien kepada sel-sel, pembuangan metabolit dan CO2,
perantara sel-sel dari sistem hormon-imun, dan memelihara suhu badan.5,7
Sistem sirkulasi mendistribusikan darah sekitar 84% di sirkulasi sistemik
dan 16% di dalam jantung dan paru. Dari 84% tersebut, 64% di vena, 13% di arteri,
dan 7% di arteriol sistemik dan kapiler. Jantung mengandung 7% darah sedangkan
pembuluh darah paru mengandung 9%. Pembuluh limfe merupakan jalan alternatif
pada kelebihan cairan dari ruang interstitial ke sirkulasi darah.5,12 Kekuatan dan
irama kontraksi jantung, jumlah darah yang mengalir atau yang kembali ke jantung,
serta diameter pembuluh darah yang dilalui oleh darah sangat menentukan
adekuatnya perfusi jaringan.5,7 Beberapa hal yang terlibat dalam sistem
kardiovaskular antara lain:
1. Tekanan darah arteri
Tekanan darah arteri adalah tekanan darah pada dinding pembuluh darah
arteri yang terdiri dari tekanan sistolik dan diastolik. Tekanan sistolik merupakan
tekanan maksimal selama mendorong darah dan tekanan diastolik merupakan
tekanan minimal dan terjadi pada akhir pengisian jantung.7
Curah jantung adalah jumlah darah yang dipompakan jantung per menit,
yang merupakan perkalian isi sekuncup dan denyut jantung. Isi sekuncup
9

dipengaruhi oleh aliran darah balik ke jantung dan kontraktilitas otot jantung.
Kontraktilitas otot jantung dipengaruhi oleh:7
a. Aktivitas saraf simpatis, dimana jika aktivitasnya meningkat atau
peningkatan kadar katekolamin akan meningkatkan kontraktilitas.
b. Obat-obat inotropik positif seperti golongan simpatomimetik akan
meningkatkan kontraktilitas.
c. Obat-obat inotropik negatif seperti quinidine, lignokain, tiopenton,
halotan akan menurunkan kontraktilitas.
d. Hipoksia, hiperkapnia, asidemia akan menurunkan kontraktilitas.
e. Integritas ventrikel pada keadaan iskemia atau miopati akan menurunkan
kontraktilitas.
Tahanan pembuluh darah sistemik dipengaruhi oleh diameter internal
pembuluh darah. Diameter internal lumen pembuluh darah dipengaruhi oleh:7
a. Aktivitas saraf simpatis, dimana stimulasi simpatis menyebabkan
vasokonstriksi sedangkan hambatan simpatis menyebabkan vasodilatasi.
b. Elastisitas dinding pembuluh darah.
c. Keadaan endotil pembuluh darah, misalnya edema pada endotil akan
menyebabkan diameter lumen pembuluh darah sempit.
Aliran darah per unit jaringan, baik dalam keadaan basal atau pada aliran
maksimum bervariasi antar organ. Kecepatan aliran ditentukan oleh tekanan
pendorong, yaitu perbedaan antara tekanan arteri rata-rata atau mean arterial
pressure (MAP), tekanan vena rata-rata atau mean venous pressure (MVP), dan
tahanan terhadap aliran tersebut.5
Aliran = MAP – MVP
Tahanan
MAP = Mean Arterial Pressure
MVP = Mean Venous Pressure
Hipovolemia disebabkan oleh ketidakseimbangan antara volume dan
kapasitas sirkulasi yang nantinya menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Hal ini
dapat disebabkan karena perdarahan yang banyak, dehidrasi, atau anestesia spinal
tinggi. Hipovolemia dapat menurunkan tekanan pengisian atrium dan menurunkan
curah jantung. Hipotensi akan direspon oleh baroreseptor dengan meningkatkan
10

denyut jantung serta membuat vasokonstriksi. Aliran darah ke otak dan jantung
dipertahankan dengan mengurangi aliran darah ke kulit, otot, dan visera dalam
tubuh. Penurunan perfusi yang lama dan berat akan menyebabkan gagal organ
misalnya gagal ginjal.5
2. Tekanan vena adalah tekanan darah pada dinding pembuluh darah vena yang
dipengaruhi oleh tonus dinding vena dan volume darah yang beredar.7
3. Sirkulasi koroner, dimana aliran darah koroner normal kira-kira 250 ml/menit
atau 5% dari curah jantung. Jumlah oksigen yang dikonsumsi otot jantung pada
waktu istirahat adalah 40 ml/menit atau 15% dari konsumsi oksigen seluruh
tubuh.7
4. Hantaran oksigen adalah laju aliran oksigen ke seluruh jaringan tubuh yang
dipengaruhi oleh kandungan oksigen darah arteri dan curah jantung.7

2.3 Fisiologi Respirasi


Respirasi adalah pertukaran gas-gas antara organisme hidup dan lingkungan
sekitarnya. Fungsi utama respirasi adalah pertukaran gas O2 dan CO2 antara darah
dan udara pernapasan. Fungsi tambahannya adalah pengendalian keseimbangan
asam basa, metabolisme hormon, dan pembuangan partikel. Paru adalah satu-
satunya organ tubuh yang menerima darah dari seluruh curah jantung. Respirasi
pada manusia dikenal dua macam, yaitu eksternal dan internal. Respirasi eksternal
adalah pertukaran gas-gas antara darah dan udara sekitarnya. Pertukaran ini
meliputi beberapa proses yaitu:5,12
1. Ventilasi yaitu proses masuknya udara sekitar hingga masuk ke alveoli.
2. Distribusi dan pencampuran molekul-molekul gas intrapulmoner.
3. Difusi yaitu masuknya gas-gas menembus selaput alveolo-kapiler.
4. Perfusi yaitu pengambilan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang
adekuat.
Respirasi internal adalah pertukaran gas-gas antara darah dan jaringan.
Pertukaran ini meliputi beberapa proses yaitu:5,12
1. Efisiensi kardiosirkulasi dalam menjalankan darah kaya oksigen.
2. Distribusi kapiler
11

3. Difusi yaitu perjalanan gas ke ruang interstitial dan menembus dinding


sel.
4. Metabolisme sel yang melibatkan enzim
Secara anatomis sistem respirasi dibagi menjadi bagian atas terdiri dari
hidung, ruang hidung, sinus paranasalis dan faring yang berfungsi menyaring,
menghangatkan, dan melembabkan udara yang masuk ke saluran pernapasan.
Sistem respirasi bagian bawah terdiri dari laring, trakea, bronki, bronkioli, dan
alveoli.5
Secara fisiologis sistem respirasi dibagi menjadi bagian konduksi dari ruang
hidung sampai bronkioli terminalis dan bagian respirasi terdiri dari bronkioli
respiratorius sampai alveoli. Paru kanan terdiri dari tiga lobus (atas, tengah, dan
bawah) dan paru kiri dua lobus (atas dan bawah).5
Orang dewasa normal memiliki udara inspirasi atau ekspirasi (volume tidal)
sekitar 500 ml atau berkisar 7-10 ml/kgBB, sedangkan frekuensi pernapasan
berkisar 15 kali/menit, sehingga jumlah udara yang dihirup dalam 1 menit sebanyak
7500 ml. Ruang rugi anatomis pada jalan napas menyebabkan hanya 350 ml atau
5250 ml/menit udara yang dihirup mencapai alveloli dan ikut dalam pertukaran
gas.7
Difusi paru berlangsung pasif sehingga tidak membutuhkan energi maupun
oksigen. Tekanan parsial O2 alveoli (PaO2) adalah 100 mmHg, sedangkan PO2
dalam darah kapiler paru 40 mmHg. Perbedaan tekanan sebanyak 60 mmHg
menyebabkan O2 bisa berdifusi melalui membrane ke dalam darah dengan
kecepatan yang cukup tinggi, sehingga PaO2 mencapai 97 mmHg. Tekanan parsial
CO2 (PCO2) darah vena adalah 46 mmHg, sedangkan PCO2 udara alveolus adalah
40 mmHg. Walaupun perbedaan tekanan hanya 6 mmHg, CO2 tetap bisa berdifusi
dengan mudah karena kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar dibandingkan O2.7
Oksigen berdifusi dari bagian konduksi paru ke bagian respirasi paru sampai ke
alveoli. Setelah O2 menembus epitel alveoli, membran basalis dan endotel kapiler,
dalam darah sebagian besar O2 bergabung dengan hemoglobin (97%) dan sisanya
larut dalam plasma (3%). Dalam keadaan normal 100 ml darah yang meninggalkan
kapiler alveoli mengangkut 20 ml O2. Rata-rata dewasa muda normal membutuhkan
O2 setiap menitnya 225 ml.5
12

Karbon dioksida (CO2) adalah hasil metabolisme aerobik dalam jaringan


perifer dan produksinya bergantung jenis makanan yang dikonsumsi. Dalam darah
sebagian besar CO2 (70%) diangkut dan diubah menjadi asam karbonat dengan
bantuan enzim carbonic anhidrase (CA). Sebagian kecil CO2 diikat oleh Hb dalam
sel eritrosit. Sisa CO2 (23%) larut dalam plasma.5
Volume statik dan kapasitas paru terdiri dari:5
1. Volum alun (TV, Tidal Volume)
Volum udara inspirasi atau ekspirasi pada setiap daur napas tenang.
Dewasa ± 500 ml.
2. Volum cadangan inspirasi (IRV, Inspiratory reserve volume)
Volum maksimal udara yang dapat diinspirasi setelah akhir inspirasi
tenang.
Dewasa ± 1500 ml.
3. Volum cadangan ekspirasi (ERV, Expiratory reserve volume)
Volum maksimal udara yang dapat diekspirasi setelah akhir ekspirasi
tenang.
Dewasa ± 1200 ml.
4. Volum sisa (RV, Residual Volume)
Volume udara yang tersisa dalam paru setelah akhir ekspirasi maksimal
Dewasa ± 2100 ml.
5. Kapasitas inspirasi (IC, Inspiratory capacity), TV + IRV
Volum maksimal udara yang dapat diinspirasi setelah akhir ekspirasi
tenang.
Dewasa ± 2000 ml.
6. Kapasitas sisa fungsional (FRC, Functional residual capacity), ERV +
RV
Volum udara yang tersisa dalam paru setelah akhir ekspirasi tenang
Dewasa ± 3300 ml.
7. Kapasitas vital (VC, Vital capacity), IRV + TV + IRV
Volum maksimal udara yang dapat diekspirasi dengan usaha maksimal
setelah inspirasi maksimal
Dewasa ± 3200 ml.
13

8. Kapasitas paru total (TLC, total lung capacity), IRV + TV + ERV + RV


Volum udara dalam paru setelah akhir inspirasi maksimal
Dewasa ± 5300 ml.

2.4 Efek Nyeri terhadap Kardiovaskular dan Respirasi


Respon tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi endokrin
berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan timbulnya reaksi immunologik,
yang umumnya disebut sebagai respon stres. Besar dan durasi respon stres yang
berlangsung tergantung pada derajat kerusakan jaringan yang bisa menetap selama
beberapa hari atau lebih. Respon stres ini dapat berefek ke berbagai sistem organ,
diantaranya kardiovaskular dan respirasi yang pada gilirannya dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.1,3
2.4.1 Efek Nyeri terhadap Kardiovaskular
Respon stres terhadap nyeri, khususnya setelah pembedahan dan nyeri
pasca operasi menyebabkan aktivasinya sistem saraf simpatis yang dapat
meningkatkan kebutuhan oksigen miokard dengan meningkatkan laju jantung
dan tekanan arterial. Aktivasi sistem saraf simpatis juga menyebabkan
vasokonstriksi arteri koroner, kemudian terjadi penurunan sediaan oksigen
miokardium yang dapat memicu iskemi miokard.1,6,13,14
Nyeri menyebabkan peningkatan kerja simpatis, vasokonstriksi,
peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik, peningkatan curah jantung yang
meningkatkan isi sekuncup dan laju jantung, peningkatan kerja miokard dalam
laju metabolik dan konsumsi oksigen. Pelepasan hormon-hormon katabolik
yang terlibat antara lain Katekolamin, Aldosteron, Kortisol, ADH, dan aktivasi
Angiotensin II akan menimbulkan efek kardiovaskular. 1,3,10,15
Hormon katabolik tersebut dapat berefek pada miokardium atau
pembuluh darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Katekolamin dapat
menimbulkan takikardi, meningkatkan kontraktilitas otot jantung, dan resistensi
vaskuler perifer, sehingga terjadi hipertensi.1,9 Curah jantung meningkat pada
kebanyakan pasien normal namun dapat menurun pada pasien dengan fungsi
ventrikular yang menurun. Angiotensin II dapat menimbulkan vasokonstriksi.
Takikardi serta disritmia dapat menimbulkan iskemia miokard. Nyeri dapat
14

memperburuk atau memicu iskemi miokard karena terjadi peningkatan


kebutuhan oksigen miokard. Kondisi tersebut diperparah dengan retensi Na dan
air sehingga dapat menimbulkan gagal jantung kongestif.1,3,13
2.4.2 Efek Nyeri terhadap Respirasi
Stimulasi nosiseptif dari pusat batang otak menyebabkan peningkatan
respiratory drive, walaupun hipoventilasi segmental mungkin terjadi akibat
hasil dari peningkatan tonus otot atau spasme bronkus.13,15 Peningkatan
konsumsi oksigen tubuh total dan karbon dioksida menyebabkan peningkatan
kebutuhan ventilasi per menit, yang kemudian meningkatan kerja napas,
khususnya pada pasien dengan penyakit paru yang mendasari. Nyeri di daerah
dada atau abdomen, misalnya setelah pembedahan akan menimbulkan
peningkatan tonus otot yang dapat menimbulkan risiko hipoventilasi, kesulitan
bernapas dalam dan mengeluarkan sputum. Penurunan gerakan dinding dada
menurunkan volume tidal dan kapasitas sisa fungsional yang dapat
menyebabkan atelektasis, mengganggu ventilasi perfusi paru, intrapulmonary
shunting, hipoksemia, dan terkadang hipoventilasi. Penurunan kapasitas vital
menyebabkan penurunan reflek batuk dan pembersihan sekret. Pasien nyeri
yang tirah baring lama atau imobilisasi dapat mengalami perubahan yang sama
pada fungsi paru.1,3,10,13
Fungsi respirasi, khususnya pada paru, akan terganggu secara signifikan
akibat adanya nyeri yang ditimbulkan setelah operasi. Perubahan fungsi
respirasi yang disebabkan oleh respon stress adalah penurunan functional
residual capacity (FRC). FRC adalah jumlah udara yang tersisa di paru pada
akhir ekspirasi normal. Penyebab utama penurunan FRC adalah nyeri pasca
operasi, yang menurunkan kedalaman dan laju pernapasan. Ketika FRC
menurun, kondisi udara di paru menjadi kurang dari closing capacity, yaitu
volume udara di paru yang diperlukan untuk mencegah alveoli kolaps. Ketika
FRC kurang dari closing capacity, terjadi penutupan saluran napas, dengan hasil
ketidakseimbangan ventilasi perfusi, shunting of blood, dan hipoksemia.14
BAB III
PENUTUP

Nyeri merupakan alasan paling banyak seseorang berobat ke dokter untuk


mencari pertolongan agar memperoleh keadaan bebas nyeri. Nyeri dapat timbul
akibat adanya stimulus atau rangsangan berupa termal, mekanik, elektrik, atau
rangsangan kimiawi. Mekanisme terbentuknya nyeri melewati empat proses, yaitu
transduksi, transmisi, modulasi dan kemudian dipersepsi menjadi perasaan nyeri.
Tubuh akan merespon saat terdapat perasaan nyeri dan respon setiap individu
berbeda-beda. Dampak akibat nyeri terhadap tubuh salah satunya dapat dilihat dari
sistem kardiovaskular dan respirasi.

Nyeri dapat berefek pada sistem kardiovaskular akibat aktivasinya sistem


saraf simpatis dan pelepasan berbagai hormon katabolik yang menyebabkan
terjadinya kondisi vasokonstriksi, peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik,
peningkatan curah jantung yang meningkatkan isi sekuncup dan laju jantung,
peningkatan kerja miokard dalam laju metabolik dan konsumsi oksigen yang dapat
menimbulkan proses patologis pada vaskular dan jantung.

Efek nyeri terhadap sistem respirasi yaitu dapat meningkatkan konsumsi


oksigen tubuh total dan karbon dioksida menyebabkan peningkatan kebutuhan
ventilasi per menit yang kemudian meningkatan kerja napas. Respon klasik
pulmoner terhadap stres yang ditimbulkan setelah operasi abdomen bagian atas
diantaranya adalah peningkatan laju pernapasan, penurunan volume tidal, kapasitas
vital dan kapasitas residu fungsional. Respon tubuh tersebut dapat memperburuk
keadaan pasien dan akhirnya akan memperlambat proses penyembuhan penyakit
yang diderita pasien.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. Edisi kelima. United States: Mc Graw Hill Education. 2013.
h.1023-39.
2. Goldberg D, McGee S. Pain as a global public health priority. BMC Public Health.
2011;11(1).
3. Mangku G dan Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Dalam:
Wiryana IM, dkk, editor. Jakarta: PT. Indeks. 2010. h.217-26.
4. Ministry of Health Republic of Rwanda. Pain Management Guidelines. 2012.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokeran Universitas
Indonesia. 2007.
6. Saccò M, Meschi M, Regolisti G, Detrenis S, Bianchi L, Bertorelli M et al. The
Relationship Between Blood Pressure and Pain. The Journal of Clinical
Hypertension. 2013;15(8):600-605.
7. Mangku G. Diktat Kumpulan Kuliah, Buku I. Denpasar: Universitas Udayana
Fakultas Kedokteran Laboratorium Anestesiologi dan Reanimasi. 2002.
8. Setiyohadi B, Sumariyono, Kasjmir YI, Isbagio H, Kalim H. Nyeri. Dalam: Setiati,
S., dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keenam. Jakarta Pusat:
Interna Publishing. 2014. h.3115-25.
9. Burton A, Birznieks I, Bolton P, Henderson L, Macefield V. Effects of deep and
superficial experimentally induced acute pain on muscle sympathetic nerve activity
in human subjects. The Journal of Physiology. 2009;587(1):183-193.
10. Berry PH, dkk. Pain: Current Understanding of Assessment, Management, and
Treatments. National Pharmaceutical Council dan Joint Commission on
Accreditation of Healthcare Organizations. 2001.
11. Breivik H. Patients’ subjective acute pain rating scales (VAS, NRS) are fine; more
elaborate evaluations needed for chronic pain, especially in the elderly and
demented patients. Scandinavian Journal of Pain. 2017;15:73-74.

16
12. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-12. Jakarta: EGC.
2011.
13. Miller R, Pardo M. Basics of Anesthesia. Edisi ke-6. California: Elsevier. 2011.
h.650-3.
14. Aitkenhead AR, Moppett IK, Thompson JP. Textbook of Anaesthesia. Edisi
keenam. China: Churcill Livingstone Elsevier. 2013. h.932-5.
15. Lamont LA, Tranquilli WJ, Grimm KA. Physiology of pain. Management of pain.
2000; 30(4).

17

Anda mungkin juga menyukai